Tugas Tifoid 2.docx

  • Uploaded by: Anonymous yVdItF
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Tifoid 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,756
  • Pages: 7
Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.

Tatalaksana umum Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.

Tatalaksana antibiotik Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.1 Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah

golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2. Tabel 1. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.2,3 Terapi optimal Kepekaan Antibiotik Dosis harian Lama pembe(mg/kg BB) rian (hari) Sensitif Fluorokuinolon 15 5–7

MDR Resisten kuinolon

Fluorokuinolon Atau Sefiksim Azitromisin atau Seftriakson

15 15 – 20 8 – 10 75

5–7 7 – 14 7 10 – 14

Obat alternatif Antibiotik Dosis harian (mg/kg BB) Kloramfenikol 50 – 75 Amoksisilin 75 – 100 TMP – SMX 8 – 40 Azitromisin 8 – 10 Sefiksim 15 – 20 Sefiksim 20

Lama pemberian (hari) 14 – 21 14 14 7 7 – 14 7 - 14

Tabel 2. Pengobatan demam tifoid yang berat.2,3 Kepekaan

Sensitif

MDR Resisten kuinolon

Terapi optimal Obat alternatif Antibiotik Dosis harian Lama Antibiotik (mg/kg BB) Pemberian (hari) Fluorokuinolon 15 10 – 14 Kloramfenikol Amoksisilin TMP – SMX Fluorokuinolon 15 10 – 14 Seftriakson atau sefotaksim Seftriakson 60 10 – 14 Fluorokuinolon atau Sefotak- 80 sim

Dosis harian Lama pembe(mg/kg BB) rian (hari) 100 100 8 – 40 60 80 20

14 – 21 14 14 10 – 14 7 - 14

Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk pengobatan demam tifoid pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kloramfenikol ditemukan pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae. Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini dalam dua wabah tifus di tahun 1948, kloramfenikol menjadi antibiotik pertama yang diproduksi

dalam skala besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan bahwa obat ini dapat menyebabkan anemia aplastik yang serius dan berpotensi fatal, sehingga pemakaian obat ini menurun drastis. Karena alasan itulah, dengan pengecualian untuk daerah di mana biaya dan ketersediaan membuatnya tetap menjadi terapi utama untuk demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan obat pilihan untuk infeksi tertentu di beberapa negara maju.4 Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan penurunan demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.5 Tabel 3. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid. 6 Jenis antibiotik

Saat demam turun setelah pemberian antibiotik (hari)

Ampisilin/Amoksisilin

5,2 ± 3,2

Trimetoprim-Sulfametoksazol

6,5 ± 1,3

Kloramfenikol

4,2 ± 1,1

Seftriakson

5,4 ± 1,5

Sefiksim

5,7 ± 2,1

Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia masih sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih sangat rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Selama kurun waktu 4 tahun (2008 – 2012), jumlah kasus demam tifoid yang dirawat di RSCM dan mendapat pengobatan kloramfenikol sebanyak 13 orang, dengan hasil membaik pada demam atau hari sakit ke-6 sebanyak 23,1

%. Sedangkan berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotik di RSCM pada tahun 2009-2010, menunjukkan jumlah spesimen dengan hasil biakan S. typhi yang positif ada 8 spesimen. Dari biakan tersebut, sensitifitas kloramfenikol menunjukkan lebih dari 75%. Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan lekopenia yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat pada amoksisilin dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan AmoksisilinAsam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian amoksisilin oral selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari pengobatan.7 Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk kasus demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya yang rendah.8 Obat ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-1.9 Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.10 Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini. Bahkan

untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim. Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan.11 Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon, termasuk siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin merupakan obat pilihan yang optimal untuk pengobatan demam tifoid, khususnya pada dewasa dan anak di beberapa negara. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat ini banyak digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini telah banyak ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon.2 Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat demam tifoid, sementara di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-kasus berat atau kasus yang dicurigai resisten terhadap kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara lainnya menganggap obat ini tetap bisa digunakan dengan mempertimbangkan rasio keuntungan dan resikonya. Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau trimetropim-sulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam tifoid, beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol, siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya digunakan pada penderita demam tifoid anak.

Tabel 4. Pengobatan demam tifoid karier.4 Antibiotik

Dosis harian

Rute

Dosis

Lama pemberian

Ampisilin/Amoksisilin + probenesid

100 mg/kg + 30 mg/kg

Oral

2-3x/hari

6-12 mgg

Ko-trimoksazol

4-20 mg/kg

Oral

2 x/hari

6-12 mgg

Siprofloksasin

1500 mg

Oral

2 x/hari

4 minggu

Norfloksasin

800 mg

Oral

2 x/hari

4 minggu

Keterangan : obat fluorokuinolon menggunakan dosis dewasa

13

Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid

Tabel 5. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid.11 Jenis antibiotik Ampisilin/Amoksisilin Trimetoprim-Sulfametoksazol Kloramfenikol Seftriakson Sefiksim

Saat demam turun setelah pemberian antibiotik (hari) 5,2 ± 3,2 6,5 ± 1,3 4,2 ± 1,1 5,4 ± 1,5 5,7 ± 2,1

Tabel 65. Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik Departemen IKA RSCM Diagnosis

Terapi Empirik Monoterapi

Demam Tanpa Kloramfenikol tifoid komplikasi 100mg/kgBB/

Lama Mikroor- Terapi

Dosis

Ket.

Dosis Maks. Kloramfenikol: Anak: 40 mg/ kg Dewasa: 2 g

Hati-hati Anemia Aplastik. Saran: pengecekan DPL pada penggunaan Kloramfenikol hari ketiga

Kombi- terapi ganisme Definitif nasi 10-14 hari

hari oral, maks.

Salmonella typhi

2 gram, Tidak direkomenda-

Sesuai hasil kultur dan resistensi

sikan untuk pasien dengan

Dosis Maks. Kotrimoksazol: Anak: 4 mg/kg Dewasa: 80160 mg

jumlah leukosit

<2000/Ul Trimetoprim 10

mg/kgBB/hari – Sulfametok-

sazol 50 mg/ kgBB/hari

Dosis Maks. Amoksisilin Anak: 15-25 mg/kg Dewasa: 0,25-1 g

Amoksisilin 100

mg/kgBB/hari

Dengan Seftriakson komplikasi (sefalosporin gen.III) 50 - 80 mg/kgBB/hari Multidrug Resistance

5 hari

Salmonella typhi (multidrug resistance)

Sesuai hasil kultur dan resistensi Sefiksim 10 - 20 mg/ (sefalo- kgBB/hari, oral sporin selama 10 hari gen.III)

Dosis Maks. Anak: 25 mg/kg

Azitromisin

Dosis Maks. Anak: 15mg/kg

20 mg/kgBB/ hari selama 7 hari Fluo15 mg/kgBB/ rokuino- hari selama lon 10-14 hari

Dosis Maks. Anak: 5 mg/kg

tidak direkomendasikan untuk anak < 14 tahun

Related Documents

Tugas Tifoid 2.docx
November 2019 16
Tifoid Kehamilan.pptx
December 2019 15
Demam Tifoid
June 2020 23
Demam+tifoid
October 2019 31

More Documents from "Florentinaria"

The Pituitary Gland.docx
November 2019 18
Daftar Pustaka.docx
November 2019 18
Tugas Tifoid 2.docx
November 2019 16
Lampiran 5.docx
November 2019 18