402_demam Tifoid-icha Kayen.docx

  • Uploaded by: Florentinaria
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 402_demam Tifoid-icha Kayen.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,674
  • Pages: 31
PORTOFOLIO LAPORAN KASUS IGD

DEMAM TIFOID

Dokter Pembimbing : dr. Herry Kristianto dr. Nur Kartika Sari

Disusunoleh : dr. R.A Risa Noviana K.

PROGRAM DOKTER INTERNSIP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAYEN KABUPATEN PATI 2018

Portofolio Kasus

No. ID dan Nama Peserta : dr. R.A Risa Noviana K. No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kayen, Kabupaten Pati Topik : Demam Tifoid Tanggal (kasus) : Nama pasien : Ny. P

No. RM :000458

Tanggal presentasi : 15 Februari 2018

Nama Pendamping : dr. Herry Kristianto

Tempat presentasi : RSUD Kayen, Kabupaten Pati Objektif presentasi : √ Keilmuan □ Keterampilan□ Penyegara □ Tinjauan Pustaka √ Diagnostik □ Neonatus

□ Manajemen □ Bayi

□ Masalah

□ Anak

□ Remaja

□ Istimewa √Dewasa

□ Lansia

□Bumil

□ Deskripsi: Pasien perempuan usia 30 tahun datang dengan keluhan demam sejak 7 hari. □ Tujuan: 

Menganalisis etiologi timbulnya manifestasi keluhan penderita.



Menentukan diagnosis yang tepat sehingga mendapatkan penanganan yang tepat pula.

Bahan bahasan:

□ Tinjauan Pustaka

Cara membahas :

□ Diskusi

□ Riset

√Presentasi dan diskusi

√ Kasus

□ Audit

□ E‐mail

□ Pos

Data pasien:

Nama: Ny. P

Nomor Registrasi:000458

Nama klinik:

Telp: -

Terdaftar sejak: 05 Februari 2018

Data utama untuk bahan diskusi : 1. Diagnosis / gambaran klinis : Pasien datang dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Demam dirasakan hilang timbul,dirasakan terutama sore dan malam hari. Tidak menggigil, tidak ada nyeri pada persendian, mimisan (-). Keluhan disertai dengan batuk dan pilek. Dahak (+) putih kental, darah (-), sesak (-). Mual (+), muntah (+) setiap makan, nyeri perut terutama di ulu hati, nafsu makan menurun. BAK 5-6x sehari, kuning, darah(-), nanah (-) , BAB konsistensi padat, warna kekuningan, darah (-), lendir(-)

2. Riwayat pengobatan : Riwayat pengobatan sebelumnya membeli obat penurun panas di warung merk Panadol dan sudah diminum 3x1 tablet selama 2 hari. 3. Riwayat penyakit dahulu : - Riwayat keluhan serupa ± 1 tahun yang lalu. Opname di Rumah Sakit dengan diagnosa demam tifoid. - Riwayat Hipertensi diakui - Riwayat konsumsi obat rutin disangkal - Riwayat alergi disangkal

4. Riwayat Keluarga : 1. Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa 2. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit kronis 5. Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien tinggal dengan suami dan anaknya. Biaya pengobatan menggunakan biaya pribadi. Kesan : sosial ekonomi menengah.

6.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : Compos mentis, GCS E4V5M6, tampak sakit ringan Tanda Vital

:

Tekanan Darah

: 150/110 mmHg

Frekuensi nadi

: 80x/menit,reguler, isi dan tegangan cukup

Frekuensi nafas : 20x/menit, reguler Suhu

: 37,8°C per axilla

VAS

: 3-4

Rambut

: warna hitam dan tidak mudah dicabut.

Mata

: konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 2mm / 2mm, reflek cahaya (+/+)

Telinga

: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)

Hidung

: nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)

Mulut

: bibir sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-)

Tenggorok

: Tonsil : T1-1, hiperemis (-)

Leher

: JVP R+2 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi servikal (-),

Toraks

: retraksi (-), venektasi (-)

Pulmo Inspeksi

: simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-).

Palpasi

: fremitus taktil kanan = kiri

Perkusi

: sonor / sonor

Auskultasi

: suara dasar suara tambahan

: (vesikuler/vesikuler) : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Cor Inspeksi Palpasi

: iktus kordis tidak tampak : iktus kordisteraba di 2cm lateral linea mideoclavicularis sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)

Perkusi

: Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra Batas jantung kiri bawah : SIC V2 cm medial linea medioclavicularis sinistra → konfigurasi jantung kesan normal

Auskultasi Abdomen

: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-) :

Inspeksi

: Dinding perut setinggi dinding dada

Auskultasi

: Peristaltik usus (+)

Perkusi Palpasi

: Timpani : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, nyeri lepas (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas

:

superior

inferior

Oedem

-/-

-/-

Akral dingin

-/-

-/-

Tonus

normotonus

7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah (05 Februari 2018)

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Rujukan

Hemoglobin

10,2

g/dl

12.0 – 16

Hematokrit

28,7

%

34 – 48

Leukosit

8.2

ribu/µl

4.6 – 11

Trombosit

472

ribu/C

150 – 400

GDS

115

mg/dl

70 - 160

Hematologi rutin

Lain-lain HbsAg

Non reactive

Widal St – O

(+) 1/320

Widal St – H

(+) 1/80

Widal SptA – H

(+) 1/160

Widal SptB - H

(+) 1/80

Hasil Pembelajaran : 1. Diagnosis Demam Tifoid 2. Tata Laksana awal Demam Tifoid

SOAP

Non reactive

1. SUBJEKTIF : Pasien mengeluhkan demam hilang timbul terutama sore dan malam hari sejak 7 hari sebelum masuk Rumah Sakit,tidak menggigil, tidak mimisan dan tidak ada nyeri pada persendian. Keluhan disertai dengan mual dan muntah setiap makan, nyeri perut terutama di bagian ulu hati. Riwayat pengobatan sebelumnya dengan membeli obat warung merk Panadol dan sudah diminum selama 2 hari tapi keluhan belum membaik. Riwayat keluhan serupa ± 1 tahun yang lalu. Pasien opname di rumah sakit dan didiagnosis demam tifoid. Memiliki riwayat hipertensi tapi tidak mengkonsumsi obat secara rutin.

Berdasarkan data di atas kemungkinan terdapat infeksi bakteri. Obat penurun panas hanya mengobati gejala tapi tidak mengobati penyebab.

2. OBJEKTIF : hasil diagnosis pada kasus ini ditemukan berdasarkan : Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak sakit ringan, kesadaran komposmentis. Pada pemeriksaan abdomen pada palpasi ditemukan nyeri tekan pada epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (8.200/ul). Seluruh pemeriksaan tersebut mendukung diagnosis Febris hari 7 dengan penyebab infeksi bakteri. 3. “ Plan” : Assessment : Demam Tifoid IP Dx

: S:O:-

IP Tx

: - Infus RL 20 tpm - Inj. Ceftriaxon 2x1 gr - Inj. Ranitidin 2x1 amp - Inj. Ondancetron 2x1 amp - Paracetamol tab 4 x 500mg - Amlodipin tab 1 x 5mg - Sucralfat syr 3x1 C

IP Mx

: Evaluasi keadaan umum, tanda vital, dan balans cairan.

IP Ex

: 1. Memberitahu keluarga mengenai kondisi pasien

PROGNOSIS 

Ad vitam

: dubia ad bonam



Ad sanationam

: dubia ad bonam



Ad fungsionam : dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.1

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.2

EPIDEMIOLOGI

Demam typhoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar disuatu daerah dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan S.typhi, yaitu pasien dengan demam typhoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non-endemik.

Distribusi Demam Tifoid

Geografi Demam tifoid terdapat diseluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada keadaan iklim,tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu yang kurang baik. Musim Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid. Jenis kelamin Tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden demam tifoid pada pria dan wanita. Umur Di daerah endemik demam tifoid, insiden tertinggi didapatkan pada anakanak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal.

ETIOLOGI

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.

Mempunyai

makromolekular

lipopolisakarida

kompleks

yang

membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.3

PATOGENESIS

Kuman S.typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh kuman tersebut. Sebagian kuman di musnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang kemudian mengalami hipertrofi. Kuman S.typhi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S.typhi masuk aliran darah (bakteremia primer) dan menuju ke organ Retikulo Endotelial Sistem (RES) terutama hati dan limpa melalui sistem portal. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang lolos dari fagositosis tetap berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limfa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia ini kuman melepaskan endotoksin Lipopolisakarida yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam typhoid. Tapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksin bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid. Endotoksin S.typhi berperan pada patogenesis demam typhoid,karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada typhoid disebabkan

karena S.typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di dalam darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam. Pada demam typhoid ini kelainan utama terjadi di ileum terminal dan plaque peyeri yang hiperplasia (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dimana ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.

MANIFESTASI KLINIS3,4 Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawata. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu serta lama sakit di rumahnya. Demam Penampilan demam pada kasus demam tifoid memiliki istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam akan turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam

lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya Gangguan saluran pencernaan Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih, ujung dan tepi lidah hiperemis dan tremor (coated tongue), pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya pasien sering mengeluh nyeri perut terutama regio epigastrik disertai mual dan muntah. Pada pasien juga sering ditemukan konstipasi atau diare.

Gangguan kesadaran Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol. Hepatosplenomegali Terkadang ditemukan pembesaran pada hepar dan limpa. Hepar terasa kenyal dan terdapat nyeri tekan. Berbeda dengan buku bacaan Barat, pada anak di Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan dengan splenomegali. Bradikardia relatif dan gejala lain Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 kali per menit. Gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan pada regio abdomen, toraks, extremitas, dan punggung pada kulit orang putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahak menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid

KOMPLIKASI4 Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya : Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati) Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas-batas normal Syok Septik Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bakteremia Salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diatas, penderita jatuh ke dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin. Akan berbahaya bila syok menjadi irreversible Perdarahan dan Perforasi Intestinal Pada anak, perforasi usus dapat terjadi pada 0.5-3%, sedangkan perdarahan pada usus terjadi pada 1-10%. Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu ke-2 demam atau setelahnya. Perdarahan dengan gejala hematoskhezia atau dideteksi dengan occult blood test. Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, defans muskular, nyeri tekan kuadran kanan bawah abdomen. Suhu tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir dengan syok. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan tanda-tanda ileus, bising usus melemah, dan pekak hepar menghilang. Perforasi dapat dipastikan dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid yang paling serius karena sering menimbulkan kematian. Peritonitis Biasanya menyertai perfotasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi. Ditemukan gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung serta nyeri lepas pada penekanan. Hepatitis Tifosa Demam tifoid yang disertai gejala ikterus, hepatomegali, dan peningkatan SGOT, SGPT, dan bilirubin darah. Pada histopatologi didapatkan nodul tifoid dan hiperplasi sel-sel kuffer.

Pankreatitis Tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Gejalanya adalah nyeri perut hebat disertai dengan mual dan muntah kehijauan, meteorismus dan bising usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat, dapat dibantu dengan pemeriksaan USG atau CT Scan. Pneumonia Dapat disebabkan oleh basil Salmonella atau koinfeksi dengan mikroba lain yang menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan gejala klinis pneumonia serta gambaran khas pneumonia pada foto polos thoraks. Komplikasi lain Karena basil salmonella bersifat intra makrofag dan dapat beredar keseluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang menimbulkan infeksi yang bersifat fokal antara lain seperti osteomielitis, artritis, miokarditis, perikarditis, endokarditis, pielonefritis, serta peradangan di tempat lainnya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG3,4 Gambaran Darah Tepi4 Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni, limfositosis relatif, monositosis, an eosinofilia, dan trombositopenia ringan. Terjadi leukopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada. Diperkirangan kejadian leukopenia 25%. Namun banyak laporan bahwa dewasa ini hitung leukositosis kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan. Kejadian trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES. Sedangkan anemia juga disebabkan produksi hemoglobin yang menurun serta kejadian akibat occult bleeding. Perlu diwaspadai bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, yang biasanya disebabkan oleh perdarahan hebat dalam abdomen.

Pemeriksaan Bakteriologis3 Pada dua minggu pertama sakit kemungkinan mengisolasi S.typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesismen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi

hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik. Biakan Salmonella Typhi4 Spesimen untuk biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses, dan urin yang ditanam dalam biakan empedu (gall culture). Spesimen darah diambil pada minggu pertama sakit saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin pada minggu ke II dan minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan “Basil Salmonella tumbuh” maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. Bila pada

minggu ke-4 biakan feses masih positif maka pasien sudah tergolong karier. Tes Widal3 Uji serologi widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinin terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukakan nilai normal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi bila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi

kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi karier. Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif. 

TUBEX® Tes Tubex® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogroup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan Tes Tubex® ini, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji widal.5 Penelitian mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah, dan sederhana, terutama di negara yang berkembang.6 Pemeriksaan lain3 Pada akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah, serum, dan urin bahkan DNA S.typhi dalam darah dan feses. Polymerase Chain Reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah.

DIAGNOSIS BANDING3 Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronchitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.

PENATALAKSANAAN Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik serta asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,yaitu: 1. Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

2. ManagemenNutrisi Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi, antara lain: a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein b. Tidak mengandung banyak serat. c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. d. Makanan lunak diberikan selama istirahat. Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai

kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syaratsyarat diet sisa rendah adalah: a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal 8gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan. g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam. h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan parenteral.

TATALAKSANA FARMAKOLLOGI Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3hari perlu dibantu dengan paraffin atau lava sedeng anglistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.

A. Pemberian antimikroba Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. a. Kloramfeniko Dierapre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%. Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit,

menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 35hari. Dosis untuk orang dewasa adalah 4kali 500mg perhari sampai 7 hari bebas demam.

oral

atau

intravena,

Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena

hidrolisis ester tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun1970. Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier kronik, toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di beberapa negara berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5. b. Tiamfenikol Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-6 sampai ke-6.

c. Ampisilin dan Kotrimoksazol Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol. Ampicilin

dan

Trimetoprim-Sulfametoksazol(TPM-SMZ) menjadi pengobatan yang

utama. Munculnya strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan kotrimoksazol telah mengurangi kemanjuran obat ini. Pada tahun 1989, muncul MDR S.Typhi.

Bakteri

ini

resisten

terhadap

kloramfenikol,

ampicilin,

Trimetoprim-

Sulfametoksazol (TPM-SMZ), streptomycin, sulfonamid dan tertacyklin. Di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia Tenggara, dan Afrika), seluruh pasien diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau sefalosporin generas III hingga hasil kultur dan tersensitive aster sedia. d. Quinolon Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu, dan memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid. Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tingi, tidak ada karier S.Typhi yang muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk

menggunakan antibiotik

quinolon.

Ciprofloksasin juga telah ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain S.typhi dan S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul khususnya di daerah India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan pefloxacin, terbukti efektif

dalam percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan ofloxacin (10-15mg/kg dibagi dua selama 2-3hari) muncul lebih simpel, aman dan efektif dalam terapi inkomplit MDR demam tifoid. Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. e. Sefalosporin Generasi 1 Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama 5-7hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan diberikan untuk 1014hari. f. Antibiotik lainnya Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam tifoid dengan aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan lebih efektif dari pada kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektifdi Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik makrolida baru diberikan dengan dosis1gr sekali sehari selama 5hari juga bermanfaat untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan azitromycin adalah kedua obat ini dapat digunakan pada anak-anak,ibu hamildan menyusui. B. Penggunaan Glukokortikosteroid Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan gangguankesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian. Selain itu, juga diberikan kepada pasien dengan demam yang tidak turun-turun. 

Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral



Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau Prednison 2 X 10 mg oral



Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral



Hari ke 4: Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral



Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5 mg oral

C. Antipiretik Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan darah (bradikardi relatif).

2.6 KOMPLIKASI

Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:7

1. Komplikasi Intestinal

Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.

Perdarahan intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderitademam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila

transfusi

yang

diberikan

tidak

dapat

mengimbangi

perdarahan

yang

terjadi,makatindakanbedahperlu dipertimbangkan. Perforasi usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi)

ditemukan udara pada

rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup

menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.Beberapa faktor yang dapat meningkatkankejadian perforasi adalah umur (biasanya20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan aerobik pada flora usus. Umumnya

diberikan

antibiotik

spektrum

luas

dengan

kombinasikloramfenikoldan

ampisilinintravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/ metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. 2. Komplikasi ekstraintestinal a.Komplikasi hematologi Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan protombin time, peningkatan partialthromboplastin time, peningkatan fibrindegradation product sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memiliki peranan. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi ;baik KID kompensata maupundekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun adapula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

b. Hepatitistifosa Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepato

ensefalopati dapat terjadi.

c. Pankreatitis tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG/ CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti ceftriakson atau quinolon.

d. Miokarditis Miokarditis

terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan

elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.

e. Manifestasi neuropsikiatrik/ tifoidtoksik Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semikoma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindroma otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoidtoksik, sedangkan penulis lainnya menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat,

langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg ditambah ampisilin 4x1gram dan deksametason3x5mg.

PROGNOSIS3 Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, da nada tidaknya komplikasi. Di Negara maju dengan teraoi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan

hebat, meningitis, endocarditis, dan pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan Salmonella Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

PENCEGAHAN3 Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan S.typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. S.typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57°C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman S.typhi. penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

VAKSIN DEMAM TIFOID3 Saat ini dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup, dan komponen Vi dari S.typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. parathypi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara suntikan subkutan. Namun, vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman S.typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian lapangan didapatkan hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit.

Vaksin yang berisi komponen Vi dari S.typhi yang diberikan secara suntikan intramuskular

memberikan

perlindungan

60-70%

selama

3

tahun.

DAFTAR PUSTAKA 1. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73. 2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43. 3. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75. 4. Anonim, 2006, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, Menkes RI, Jakarta. 5. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18. 6. Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. Diagnostic value of dot-enzyme- immunoassay test to detect outer membrane protein antigen in sera of patients with typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2001;32(3):507-12. [Abstract]

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO Pada hari ini tanggal ……………………..…………... telah dipresentasikan oleh : Nama Peserta

:

Dengan Judul/Topik :

NO.

Nama Pendamping

:

Nama Wahana

:

Nama Peserta Presentasi

Tanda Tangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Pendamping,

dr. Herry Kristianto

More Documents from "Florentinaria"