Case 4 Fix.docx

  • Uploaded by: Rezki Pratama Sadeli
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case 4 Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,991
  • Pages: 30
DRUG INDUCED LIVER INJURY Defenisi

Drug Induced Liver Injury (DILI) merupakan komplikasi yang hampIr selalu ada dari semua obat dan baan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh. Kejadian ini jarang terjadi namun akibat yang dihasilkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebahagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang diberikan, dari 1/1000 pasien sampai 1/100000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan setiap golongan obat, sebahagian lagi tergantung dosis obat. Sebahagian besar obat bersifat lipofilik sehingga dapat menembus membran sel intestinal, kemudian diubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi di dalam hepatosit.(1) Menurut International DILI expert working group defenisi dari DILI yaitu peningkatan ALT ≥ 5x atas nilai normal atau peningkatan ALT ≥ 3x atas nilai normal dan bersamaan dengan peningkatan total bilirubin ≥ 2x atas nilai normal atau peningkatan ALP ≥ 2x atas nilai normal dengan peningkatan Gamma GT tanpa adanya penyakit tulang.(2)

Faktor Resiko Drug Induced Liver Injury

Faktor risiko DILI dapat diklasifikasikan sebagai Faktor obat (misalnya, dosis, obat bersamaan, polifarmasi) atau Faktor host (misalnya, usia, jenis kelamin, asupan alkohol, infeksi bersamaan).(3) 1. Faktor obat Yaitu berupa obat yang digunakan, dosis obat, dan polifarmasi. Antibiotik adalah penyebab paling umum dari DILI, diikuti oleh obat-obatan psikiatri neuro, agen imunomodulator, antihipertensi, analgesik, obat antineoplastik, dan obat anti tuberkulosis. 2. Factor host

Kerentanan pada DILI dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin pasien. Pasien yang sangat muda dan sangat tua memiliki peningkatan risiko terjadinya DILI. Resiko DILI meningkat pada usia lanjut karena faktor komsumsi obat yg beragam (polifarmasi) selain itu juga proses penuaan yang menyebabkan penurunan metabolisme, distribusi, serta eliminasi obat dalam tubuh. Beberapa penelitian menemukan bahwa wanita memiliki risiko lebih besar terjadinya DILI daripada pria.

Mekanisme Drug Induced Liver Injury

Drug Induced Liver Injury terjadi melalui 2 mekanisme apoptosis dan necrosis. Pada apoptosis terjadi kerusakan hepatosit imbas asam empedu dimana terjadi penumpukan asam empedu didalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi fasitoplasmik ke membrane plasma dimana reseptorreseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu apoptosis. Sedangkan pada necrosis menyebabkan hilangnya fungsi mitokondria dan deplesi ATP yang menyebabkan pembengkakan dan lisis sel, yang merangsang teradinya proses inflamasi lokal(1,4)

1. Stimulasi Autoimun Cedera autoimun melibatkan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi atau toksisitas sel langsung. Jenis cedera ini terjadi ketika enzim obat bermigrasi ke permukaan sel dan membentuk neoantigen. Neoantigens berfungsi sebagai target untuk serangan sitolitik oleh sel T dan lainnya. 2. Reaksi idiosinkratik Reaksi idiosinkratik jarang terjadi dan biasanya terjadi pada sebagian kecil individu. Reaksi ini sering dikategorikan ke dalam reaksi alergi dan nonallergic. Reaksi alergi mewakili 23% hingga 37% dari semua obat-obatan yang menyebabkan kerusakan hati dan ditandai oleh demam, ruam, eosinofilia, dan granuloma. Mereka biasanya terkait dengan dosis dan memiliki periode latensi pendek (kurang dari 1

bulan). Pada pemaparan ulang terhadap agen, ada rekurensi hepatotoksik yang cepat. reaksi idiosinkratis nonallergic tidak memiliki fitur hipersensitivitas, biasanya memiliki periode laten yang panjang (beberapa bulan), dan tidak berhubungan dengan reinjury cepat dengan rechallenge. Pasien-pasien ini sering memiliki tes fungsi hati normal selama 6 bulan atau lebih dan kemudian tiba-tiba berkembang. hepatotoksisitas. Bergantung pada medikasi, insiden bisa tidak terkait dari dosis atau terkait dosis. 3. Gangguan Homeostasis Kalsium dan Cedera Sel Membran Kerusakan yang disebabkan obat pada protein seluler yang terlibat dengan homeostasis kalsium dapat menyebabkan masuknya kalsium intraseluler yang menyebabkan penurunan tingkat adenosine triphosphate dan gangguan pada perakitan actin fibril. Dampak yang dihasilkan pada sel adalah kerusakan dari membran sel, pecah, dan lisis sel. 4. Aktivasi Metabolik dari Enzim Cytochrome P450 Sebagian besar kerusakan hepatoseluler melibatkan produksi metabolit reaktif energi tinggi oleh sistem CYP450. Metabolit reaktif ini mampu membentuk ikatan kovalen dengan protein seluler (enzim) dan asam nukleat yang menyebabkan pembentukan adduksi. Dalam kasus toksisitas akut, adduksi enzim-obat dapat menyebabkan cedera sel atau lisis sel. Adisi yang terbentuk dengan DNA dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang seperti neoplasia. perbedaan genetik individu dapat memainkan peran penting dalam proses ini. 5. Stimulasi Apoptosis Apoptosis merupakan pola berbeda dari lisis sel yang tunjukan oleh penyusutan sel dan fragmentasi kromatin nukleus. Jalur apoptosis dipicu oleh interaksi antara ligan dan reseptor kematian. Interaksi ini mengaktifkan caspases, yang membelah protein seluler dan akhirnya menyebabkan kematian sel 6. Cidera mitokondria Obat-obatan yang merusak struktur mitokondria, fungsi, atau sintesis DNA dapat mengganggu β-oksidasi lipid dan produksi energi oksidatif dalam hepatosit. Pada penyakit akut, interrupsi β-oksidasi yang berkepanjangan menyebabkan steatosis mikrovesikular, sedangkan pada penyakit kronis, penyakit steatosis makrovesikular.

Kerusakan parah pada mitokondria akhirnya menyebabkan kegagalan hati dan kematian.

Pola klinikopatologi Drug Induced Liver Injury

Obat-obatan dan bahan kimia asing menghasilkan manifestasi kerusakan yang beragam dan perubahan pada hati. Meskipun tidak absolut, obat-obatan biasanya menghasilkan pola-pola cedera yang menjadi ciri khas untuk masing-masing obat. Kategori pada pola klinikopatologi DILI berupa: hepatoselular (atau hepatitic), kolestatik, campuran, atau steatotic.(5) 1. Hepatocellular injury Ditandai dengan peningkatan serum alanine aminotrasferase (ALT) dan aspartate aminotrasferase (AST) yang signifikan. Hy’s Law mendefenisikan hepatoselular injuri dengan peningkatan ALT ≥3x atas batas normal. Pada hepatoselular injuri juga terdapat peningkatan alkali fosfatse (AP) namun peningkatanya bersifat ringan (≤ 2x atas batas normal). Dengan rasio serum ALT/AP = R ≥ 5 2. Cholestatic injury Ditandai dengan peningkatan Alkali Fosfatase yang signifikan. Tipe kolestatik didefenisikan dengan peningkatan AP ≥ 3x. Pada pola kolestatik, terjadi gangguan filamen aktin subseluler di sekitar canaliculi sehingga mencegah pergerakan empedu melalui sistem kanalikuli. Ketidakmampuan hati untuk mengeluarkan empedu menyebabkan racun asam empedu dan produk ekskresi terakumulasi pada intrahepatik. 3. Mixed hepatocellular and cholestatic injury Pola ini sesuai dengan namanya adalah hasil dari kedua hepatosit dan sel-sel kanalikuli empedu yang mengalami kerusakan pada waktu yang hampir bersamaan. Kenaikan baik ALT atau AP dapat mendominasi tetapi keduanya akan meningkat secara signifikan. 4. Steatotic injury (fatty liver)

Dua jenis penyakit yang megakibatkan perubahan lemak di hati: steatosis mikrovesikular menghasilkan perubahan pada partikel lemak droplet kecil sedangkan steatosis macrovesicular dikaitkan dengan perubahan molekul lemak droplet besar. Steatosis macrovesicular lebih ringan dari pada steatosis microvesicular.

Tingkatan kerusakan hati berdasarkan WHO 

Grade 1: 1,25-2,5x baseline ALT atau AP



Grade 2: 2,6-3,5x baseline ALT atau AP



Grade 3: 3,6-5x baseline ALT atau AP



Grade 4: >5x baseline ALT atau AP

Diagnosa Drug Induced Liver Injury Berdasarkan International Consensus Criteria, diagnosis Drug Induced Liver Injury berdasarkan:(1) 1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi nyata : a. sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) b. compatible (<5hari atau >90hari dari awal minum obat) 2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat : a. sangat sugestif (penurunan enzim hati 50% dari batas normal dalam 8 hari) b. sugestif (penurunan enzim hati 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoselular dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) 3. Alternative sebab lain dari reaksi telah dieksklusi. 4. Dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama (kenaikan 2x enzim hati) Hepatotoksisitas imbas obat dikatakan positif jika tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika 2 dari 3 kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat.(1)

Hepatotoksisitas obat Anti RetroViral

Beberapa anti-retroviral (ARV) telah dilaporkan menyebabkan hepatitis akut yang fatal, ARV paling sering menyebabkan peningkatan transaminase asimtomatik. Pembagian anti-retroviral berdasarkan cara kerjanya: (6) 1. Protease inhibitor seperti: Ritonavir, Indinavir, Saquinavir, dan Nelfinavir dapat menyebabkan hepatotoksisitas namun tidak terlalu tinggi. 2. Nucleoside analognes reverse transcriptase inhibitor (NRTI) seperti: Lamivudine,

Zidovudine, Didanosine, Stavudine, Abacavir dan

Tenofovir menyebabkan kerusakan mitokondria yang berpotensial menyebabkan liver injury 3. Non-nucleoside analogues reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti: Nevirapine, Emtricitabine dan Efavirenz, hepatotoksisitas obat ini belum jelas, ada beberapa studi yang menemukan hepatotoksisitas pada Nevirapin namun studi lainnya tidak menemukan.

Efek anti retroviral terhadap hati diistilahkan dengan Antiretroviral drug related liver injury (ARLI). ARLI ditandai dengan peningkatan kadar ALT lebih tiggi dari AST. Pasien dengan kadar ALT dan AST sebelum terapi normal, maka peningkatan 5 kali lipat termasuk sedang dan peningkatan 10 kali lipat termasuk berat. Namun jika sebelum terapi kadar ALT dan AST abnormal maka peningkatan 3,5x termasuk sedang dan peningkatan 5 kali lipat termasuk berat.(1)

Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis

Obat anti tuberculosis (OAT) lini pertama yaitu : Rifampisin, Isoniazid (INH) dan

Pirazinamid

merupakan

hepatotoksik

potensial.

Obat-obatan

tersebut

dimetabolisme di hati. Masing-masing obat bersifat hepatotoksik dan jika diberikan bersamaan akan menambah toksisitasnya. Berdasarkan studi hepatotoxicity diagnosis

criteria dilaporkan insiden kejadian hepatotoksis akibat OAT sekitar 2% sampai 28%.(1,6) Rifampisin dan Isoniazid (INH) meningkatkan kejadian

DILI. Rifampisin

menginduksi enzim sitokrom P450 yang menyebabkan peningkatan produksi metabolit toksis dari asetil hidrazin (AcHz) dan juga meningkatkan metabolisme INH menjadi asam isonicotinic dan hydrazine, dimana keduanya bersifat hepatotoksis. Isoniazid juga dimetabolisme menjadi produk toxin oleh sitokrom P450. Mekanisme pirazinamid menginduksi toksisitas belum diketahui.(6,7,8) Tatalaksana Drug Induced Liver Injury(9) 1. Hentikan OAT jika a. Gejala klinis ikterik, mual atau muntah b. Gejala klinis disertai peningkatan SGOT atau SGPT ≥ 3x atas batas normal 2. Apabila hasil laboratorium bilirubin > 2, atau SGOT, SGPT ≥ 5x tetapi tidak ditemukan gejala klinis maka OAT dihentikan 3. Apabila SGOT, SGPT > 3x, maka pengobatan dilanjutkan dengan pengawasan Cara pemberian OAT yang dianjurkan. Hentikan semua OAT. Setelah itu, monitor gejala klinis dan laboratorium. Jika gejala klinis dan laboratorium kembali normal maka mulai diberikan INH dengan dosis naik perlahan sampai dosis penuh. Kemudian jika gejala dan laboratorium normal tambahkan rifampisin dan obat lainnya dengan dosis perlahan sampai dosis penuh.(9)

Rekomendasi Mengelola OAT

Pengelolaan pemberian obat anti tuberculosis pada pasien yang mengalami drug induced liver injury sangat perlu diperhatikan agar pengobatan berjalan efektif. Rekomendasi The national TB guidelines of Nepal untuk mengelola drug induced liver injury antara lain:(10)

1. Jika pasien terdiagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT dihentikan 2. Tunggu sampai ikterik hilang atau sembuh terlebih dahulu 3. Dalam banyak kasus pasien dapat memulai kembali obat yang sama tanpa hepatitis kembali 4. Jika ikterik kembali, dan pasien belum menyelesaikan fase intensif, berikan dia 2 bulan Streptomisin, INH dan Ethambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Ethambutol. 5. Jika pasien telah menyelesaikan fase intensif, beri INH dan Ethambutol sampai total 8 bulan perawatan untuk Short Course Chemotherapy (SCC) atau 12 bulan untuk rejimen standar.

Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk terapi ulangan pada pasien dengan drug induced liver injury:(10) 1. INH diberikan awalnya dengan dosis 50 mg / hari, meningkat secara bertahap menjadi 300 mg / hari, setelah 2-3 hari jika tidak ada reaksi yang terjadi, terapi dilanjutkan. 2. Setelah 2-3 hari berikutnya tanpa reaksi terhadap INH, rifampisin dengan dosis 75 mg / hari dapat ditambahkan, ditingkatkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, kemudian dinaikan menjadi 450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien setelah 2-3 hari berikutnya tanpa reaksi, terapi dilanjutkan. 3. Terakhir, pyrazinamide dapat diberikan dengan dosis 250 mg / hari, meningkat menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari, dan kemudian ditingkatkan menjadi 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).

ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 28 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 6 November 2018 pukul 21.55 WIB dengan :

Keluhan utama : (autoanamnesis) Mata kuning meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang : 

Mata kuning meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, telah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu.



Demam sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, tidak tinggi, tidak menggigil, dan berkeringat pada malam hari.



Batuk sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak kental, warna dahak kekuningan, batuk darah tidak ada, saat ini keluhan tidak ada



Penurunan nafsu makan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, makan hanya 2-3 sendok per kali makan, frekuensi makan 3x sehari.



Penurunan berat badan ± 12 kg sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.



Perut terasa penuh sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.



Lemah letih sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,



Mual ada sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, mutah tidak ada.



Lidah berwarna keputihan tidak ada.



Kulit terasa gatal tidak ada.



Nyeri otot tidak ada.



Nyeri kepala tidak ada.



Buang air kecil normal, warna kuning muda, buang air kecil seperti berpasir tidak ada, berdarah tidak ada.



Buang air besar normal, konsistensi biasa, buang air besar seperti dempul tidak ada.



Pasien telah dikenal sebagai pasien HIV/AIDS dalam terapi Anti Retro Viral (ARV) sejak 1 bulan yang lalu. Pasien telah dikenal sebagai pasien TB Paru dalam terapi Obat Anti Tuberculosis (OAT) sejak 1,5 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Dahulu : 

Riwayat sakit kuning sebelumnya tidak ada.



Riwayat sakit malaria tidak ada.



Riwayat tranfusi darah sebelumnya tidak ada.



Riwayat alergi obat atau makanan tidak ada.



Riwayat menderita keganasan tidak ada

Riwayat Pengobatan 

Pasien mendapatkan terapi ARV (Atripla 1x1 tab) sejak 1 bulan yang lalu



Pasien mendapatkan terapi OAT kategori 1 fase intensif (INH 1x300mg, Etambutol 1x750mg, Rifampisin 1x450mg dan Pirazinamid 1x1000mg) sejak 1,5 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga : 

Tidak ada riwayat penyakit alergi di keluarga.



Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit paru-paru.



Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keganasan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan : 

Pasien saat ini tidak bekerja, sebelumnya bekerja sebagai fotografer



Pasien anak ke 3 dari 6 bersaudara, belum menikah, tinggal bersama orang tua



Riwayat Minum-minuman beralkohol tidak ada



Riwayat Tato sejak 15 tahun yang lalu.



Riwayat sex bebas sejak 4 tahun yang lalu, dengan pria dan wanita tanpa pengaman.

Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Umum : Keadaan umum : Sakit sedang

Tinggi badan : 171 cm

Kesadaran

Berat badan

: 38 kg

Tekanan darah : 110/80 mmHg

BMI

: 23,8

Nadi

: 85 x/menit, kuat angkat, teratur

Kesan

: Underweight

Nafas

: 20 x/menit

Suhu

: 36.8 oC

Sianosis

: tidak ada

Anemis

: ada

Ikterus

: ada

Edema

: tidak ada

Kulit

: Turgor baik, teraba hangat.

KGB

: Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher, aksila, dan

: CMC

inguinal Kepala

: Normochepal

Rambut

: Tidak mudah rontok

Mata

: Konjungtiva anemis ada, sklera ikterik ada, refleks cahaya ada, pupil isokor, diameter 3mm/3mm

Telinga

: Tidak ada kelainan

Hidung

: Tidak ada kelainan

Tenggorokan : Tidak ada kelainan Mulut

: Caries tidak ada, lidah putih tidak ada

Leher

: Jugularis Venous Pressure 5-2 cmH2O

Toraks Bentuk dada : Normochest Paru depan

:

Inspeksi

: Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi

: Fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi

: sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikular, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.

Paru Belakang : Inspeksi : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis Palpasi

: Fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi

: sonor

Auskultasi : Suara nafas vesikular, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.

Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat Palpasi

: Iktus kordis teraba di medial Linea Mid Clavicularis Sinistra, Ruang

Inter Costa V, tidak kuat angkat, luas 1 ibu jari, Perkusi

thrill tidak ada

: Batas kanan Linea Sternalis Dextra, batas atas Ruang Inter Costa II,

batas kiri 1 jari medial Ruang Inter Costa V Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak ada, M1>M2, P2
Abdomen Inspeksi

: Perut tampak membengkak, vena colateral tidak ada, venaetasi tidak

ada Palpasi

: Hepar teraba 3 jari bawa arkus costarum, 3 jari bawah proxecus

xypoideus, permukaan rata, konsistensi kenyal, pinggir tajam, nyeri tekan tidak ada, nyeri lepas tidak ada, lien tidak teraba. Perkusi

: Timpani, shifting dullness tidak ada

Auskultasi : Bising usus normal

Punggung

: Nyeri ketok CVA tidak ada

Alat kelamin : Tidak ada kelainan Anus

: kondiloma tidak ada, lecet tidak ada

Ekstremitas

: Edema tidak ada, akral teraba hangat, refleks fisiologis ada, reflek patologis tidak ada, pitting edema tidak ada, palmar eritem tidak ada

Pemeriksaan Laboratorium : Darah rutin Hb

: 6,8 g/dl

Leukosit

: 1920 /mm3

Trombosit

: 147.000 /mm3

Ht

: 21 %

Gambaran Darah Tepi : Eritrosit

: Anisositosis normokrom

Leukosit

: jumlah kurang

Trombosit

: jumlah kurang, morfologi normal

Kesan : Anemia berat normositik normokrom, leukopenia, trombositopenia

Urin Makroskopis

Mikroskopis

Kimia

Warna

Kuning muda

Leukosit

0-1/LPB

Protein

negatif

Kekeruhan

negatif

Eritrosit

0-1/LPB

Glukosa

negatif

BJ

1.015

Silinder

Negatif

Bilirubin

negatif

pH

7.5

Kristal

Negatif

Urobilinogen

positif

Epitel

Gepeng (+)

Kesan : Hasil dalam batas normal

Feses: Makroskopis

Mikroskopis

Warna

Coklat

Leukoit

0-1/LPB

Konsistensi

Lunak

Eritrosit

0-1/LPB

Darah

Negatif

Amuba

Negatif

Lendir

Negatif

Telur Cacing

Negatif

Kesan ; Hasil dalam batas normal

EKG: Irama

: Sinus

QRS Komplek

: 0.04 dtk

HR

: 100 x/mnt

ST Segmen

: isoelektrik

Axis

: Normal

Gel T

: normal

Gel P

: Normal

SV1 + RV5 <35

PR interval

: 0.12 dtk

R/S V1 <1

Kesan : Sinus rhytm

MASALAH 

Ikterik



Hepatomegali



Gangguan faal hepar



Underweight



Pansitopenia



TB paru dalam pengobatan



HIV/AIDS dalam pengobatan

Diagnosis Kerja : Diagnosa Primer : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis

Diagnosa Sekunder : 

HIV/AIDS dalam terapi



TB paru dalam terapi



Pansitopenia ec Aplasia sekunder



Malnutrisi

Diagnosa banding 

Hepatitis Viral



Drug Induced Liver Injury ec ARV



Kolestasis

Terapi : 

Istirahat/ Diet Makan lunak diet hepar II



Stop OAT



IVFD Aminofusin Hepar : Triofusin : NaCl 0.9% = 1:1:1 = 8 jam /kolf



Cotrimoxsazole 1x960 mg (PO)



N acetylsistein 3x200 mg (PO)



Atripla 1x1tab (PO)

Rencana : 

Cek Faal Hepar (SGOT/SGPT, Bilirubin I/II, Alkali fosfatase, Gama-GT, Albumin/ Globulin



Cek Hepatitis marker (HbsAg, Anti-HCV, IgM-Anti HAV)



Cek CD4+



Cek elektrolit (Natrium/Kalium/Clorida)



Tranfusi PRC sampai Hb ≥10



USG Abdomen

Follow Up 7 November 2018 S/ Mata kuning (+), batuk (-), demam (-) O/ KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

T

Sedang

CMC

110/70

83

19

37oC

Keluar hasil Laboratorium Retikulosit

1,9%

Albumin

1,7 g/dl

MCV

93 Fl

Globulin

3,8 g/dl

MCH

30 pg

Ureum

13 mg/dl

MCHC

33%

Kreatinin

0,2 mg/dl

SGOT

176 u/l

HbsAg

Non Reaktif

SGPT

103 u/l

Anti HCV

Non Reaktif

Alkali Fosfatase

1187 u/l

Anti HAV

Non Reaktif

Gamma GT

729 u/l

Na

146 Mmol/L

Bil Total

2,5 mg/dl

K

3,6 Mmol/L

Bil direct

1,9 mg/dl

Cl

101 Mmol/L

Bil Indirect

0,6 mg/dl

Kesan : peningkatan bilirubin total, bilirubin direct dan bilirubin indirect, SGOT dan SGPT, Alkali fosfatase, Gamma GT, hypoalbuminemia,

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi: Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis o dd/ Drug Induced Liver Injury ec ARV

Anjuran : 

Heptoprotector



Cek SGOT dan SGPT /3 hari



USG Abdomen

Konsul Konsultan Alergi Immunologi: Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis



HIV/AIDS dalam terapi ARV

Anjuran : 

Hentikan OAT



Lanjut ARV



Cek CD4+

Konsul Konsultan Penyakit Tropic Infeksi Kesan : 

HIV/AIDS dalam terapi ARV

Anjuran : 

ARV dilanjutkan

Konsul Konsultan Pulmonologi Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif

Anjuran : 

Stop OAT



Cek Bilirubin, SGOT/SGPT per 3 hari



Konsul Gastroenterohepatologi untuk hepatoprotector

Konsul Konsultan Hematologi Kesan : 

Pansitopenia ec aplasia sekunder

Anjuran : 

Tranfusi PRC hingga Hb ≥10 gr/dl



Bone Marrow Puncher

Konsul Konsultan Gizi Klinik Kesan : 

Malnutrisi berat dengan hipoalbuminemia, hipermetabolisme sedang

Anjuran : 

IVFD Comafusin hepar 500cc/24jam



Nutrisi Enteral 1200kkal protein 55gr lemak 25%

A/ 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



HIV/AIDS dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi Berat



IVFD comafusin hepar 500cc/24jam



Tranfusi PRC 1 Unit



Hepatoprotector 3x1 Tab



UDCA 3x1 Tab



Terapi lain lanjut

P/

Follow Up 8 November 2018 S/ tampak kuning (+)↓, batuk (-), demam (-) O/ KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

T

Sedang

CMC

120/70

79

20

36,7oC

Keluar hasil laboratorium CD4+

118 sel/µL

CD8

101 sel/µL

CD4 %

40,2%

CD8 %

34,22%

Kesan : Lymphocyte T rendah, T suppressor rendah, ratio CD4CD8 normal

Keluar hasil USG Abdomen Hati : Membesar, permukaan rata, parenkim homogen, parenkim halus, pinggir tajam, vena tidak melebar, ductus biliaris tidak melebar, Kandung empedu : ukuran normal, dinding tipis, Pancreas : normal Lien : normal

Ginjal : tidak membesar, batu tidak ada, Kesan : Hepatomegali.

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi: Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberculosis o dd/ Drug Induced Liver Injury ec ARV

Anjuran : 

Lanjut Heptoprotector



Cek SGOT dan SGPT /3 hari

A/ 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



HIV/AIDS dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi Berat



Tranfusi PRC 1 Unit



Terapi lain lanjut

P/

Follow Up 11 November 2018 S/ tampak kuning (+) ↓, batuk (-), demam (-) O/ KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

T

Sedang

CMC

120/70

78

20

36,7oC

Keluar hasil laboratorium Hb

10,0 g/dl

Bilirubin total

2,2

Leukosit

2.030 /mm3

Bilirubin direct

2,1

Trombosit

92.000 /mm3

Bilirubin indirect

0,1

HT

31 %

SGOT

162 u/l

SGPT

81 u/l

Kesan

:

anemia

ringan

normositik

normokrom,leukopenia,

trombositopenia, hypoalbuminemia, peningkatan SGOT dan SGPT

A/ 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



HIV/AIDS dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi Berat



Terapi lain lanjut

P/

Follow Up 15 November 2018 S/ tampak kuning (+)↓, batuk (-), demam (-) O/ KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

T

Sedang

CMC

110/70

80

19

36,5oC

Keluar hasil laboratorium SGOT

155 u/l

Bilirubin total

1,6 mg/dl

SGPT

80 u/l

Bilirubin direct

1,5 mg/dl

Bilirubin indirect

0,1 mg/dl

Kesan : peningkatan SGOT dan SGPT

Konsul Konsultan Pulmonologi Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif

Anjuran : 

Desensitisasi OAT o Etambutol 1x750mg o INH 1x100mg



Cek Bilirubin, SGOT/SGPT per 3 hari

A/ 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



HIV/AIDS dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi Berat



Etambutol 1x750mg



INH 1x100mg



Terapi lain lanjut

P/

Follow Up 22 November 2018 S/ tampak kuning (-) , batuk (-), demam (-) O/ KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

T

Sedang

CMC

110/80

80

20

36,1oC

Keluar hasil laboratorium Bilirubin total

1,2 mg/dl

SGOT

85 u/l

Bilirubin direct

1,0 mg/dl

SGPT

46 u/l

Bilirubin indirect

0,2 mg/dl

Albumin

2,6 g/dl

Globulin

4,2 g/dl

Kesan : peningkatan SGOT dan SGPT, hipoalbuminemia

Konsul Konsultan Pulmonologi Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif

Anjuran : 

Desensitisasi OAT o Etambutol 1x750mg o INH 1x100mg o Rifampisin 1x450mg



Cek Bilirubin, SGOT/SGPT per 3 hari

A/ 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



HIV/AIDS dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi Berat



Rifampisin 1x450mg



Terapi lain lanjut

P/

Follow Up 25 November 2018 S/ tampak kuning (-) , batuk (-), demam (-) O/ KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

T

Sedang

CMC

110/80

81

21

37,1oC

Keluar hasil laboratorium Bilirubin total

1,7 mg/dl

SGOT

164 u/l

Bilirubin direct

1,5 mg/dl

SGPT

92 u/l

Bilirubin indirect

0,2 mg/dl

Albumin

2,7 g/dl

Globulin

5,1 g/dl

Kesan : peningkatan SGOT dan SGPT, hipoalbuminemia

Konsul Konsultan Pulmonologi Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif

Anjuran : 

Desensitisasi OAT o Etambutol 1x750mg

o INH 1x100mg o Rifampisin 1x450mg (aff) o Pirazinamid 1x1000mg 

Cek Bilirubin, SGOT/SGPT per 3 hari

A/ 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



HIV/AIDS dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi Berat



Pirazinamid 1x1000mg



Terapi lain lanjut

P/

Follow Up 27 November 2018 S/ tampak kuning (-) , batuk (-), demam (-) O/ KU

Kes

TD

Nadi

Nafas

T

Sedang

CMC

110/80

79

21

37,4oC

Keluar hasil laboratorium Bilirubin total

1,1 mg/dl

SGOT

170 u/l

Bilirubin direct

0,9 mg/dl

SGPT

100 u/l

Bilirubin indirect

0,2 mg/dl

Albumin

2,8 g/dl

Globulin

4,9 g/dl

Kesan : peningkatan SGOT dan SGPT, hipoalbuminemia

Konsul Konsultan Pulmonologi Kesan : 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif

Anjuran : 

Desensitisasi OAT o Etambutol 1x750mg o INH 1x100mg o Rifampisin 1x450mg (aff) o Pirazinamid 1x1000mg (aff) o Inj. Streptomicin 1x1000mg (im)



Cek Bilirubin, SGOT/SGPT per 3 hari

A/ 

Drug Induced Liver Injury ec Obat Anti Tuberkulosis



TB Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



HIV/AIDS dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi Berat



Inj. Streptomicin 1x1000mg (im)



Terapi lain lanjut

P/

DISKUSI

Telah dirawat pasien laki-laki usia 28 tahun dibangsal penyakit dalam RSUP M.Djamil Padang dengan: 

Drug Induced Liver Injury ec OAT



Tuberkulosis Paru dalam terapi OAT kategori I fase intensif



Aquired Imunno Deficiency Syndrme dalam terapi ARV



Pansitopenia ec aplasia sekunder



Malnutrisi berat

Diagnosis Drug Induced Liver Injury ec OAT ditegakan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa ditemukan bahwa pasien mengalami mata kuning sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dan adanya perut terasa penuh sejak 1 minggu sebelu masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien telah dikenal menderita penyakit tuberkulosis paru dan telah menjalani pengobatan selama 1,5 bulan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik pada pasien, hepar teraba 3 jari bawah proxesus xypoideus dan 3 jari bawah arcus costarum, permukaan rata, konsistensi kenyal, pinggir tajam, yang menunjukan suatu gambaran hepatomegali dengan suatu gambaran hepatitis. Gejala klinis khas adalah anoreksia, mual, perut terasa penuh dan ikterik. Dari pemeriksaan penunjang ditemukan peningkatan bilirubin lebih dari 2 kali batas normal dengan bilirubin total yaitu 2,5 mg/dl dan peningkatan SGPT dan SGOT lebih dari 3 kali batas normal yaitu 176 u/l dan 103 u/l. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan hepatitis virus (Hepatitis A, Hepatitis B, dan Hepatitis C) yang sering menjadi koinfeksi pada pasien HIV/AIDS dengan hasil yang negatif, sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan terjadinya hepatitis akibat virus. Pemeriksaan penunjang berupa USG abdomen juga dilakukan

untuk

menyingkirkan adanya kelainan hati fokal terutama hepatoma dan menilai patensi pembuluh darah. Pada pasien ini didapatkan hasil hepatomegali yang menyokong gambaran hepatitis dan juga menyingkirkan kemungkinan lain akibat suatu ikterik.

Obat anti tuberkulosis (OAT) berpotensi menyebabkan hepatotoksisitas, antara lain Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid hal ini dikarenakan obat tersebut dimetabolisme di hati. Pada kasus ini prinsip pengobatan adalah penghentian obat anti tuberkulosis dan pemantauan cidera hati. Setelah cidera hati teratasi yang dapat dilihat dari klinis pasien yaitu pengurangan ikterik dan juga dari pemeriksaan laboratorium darah berupa kadar bilirubin total kecil dari 2 mg/dl atau kadar SGPT dan SGOT kurang dari 3x batas normal, pada pasien dilakukan desensitisasi OAT. Desensitisasi OAT pada pasien ini dimulai dengan INH 1x100mg (po) yang dinaikan dosis nya hingga 1x300mg (po) dan etambutol 1x750mg (po). Kemudian bila faal hepar normal ditambahkan Rifampisin 1x450mg, namun pada pasien setelah masuk Rifampisin terdapat kenaikan SGPT dan SGOT, yang kemudian diganti dengan Pirazinamid 1x1000mg (po). Setelah pemberian pirazinamid hasil laboratorium faal hepar pasien tetap meningkat, sehingga pengobatan dialihkan menggunakan streptomisin injeksi 1x1000mg (im). Pada pasien direncanakan pemberian INH 1x300mg (po), Etambutol 1x750mg (po) dan streptomisin 1x1000mg (im) selama 2 bulan fase intensif dan dilanjutkan INH 1x300mg (po) dan Etambutol 1x750mg (po) selama 10 bulan. Obat Anti Retroviral juga dapat menyebabkan Drug Induced Liver Injury, namun pada pasien obat yang digunakan adalah atripla yang merupakan gabungan obat Efavirenz, Emtricitabine dan Tenofovir. Efavirenz dan Emtricitabine merupakan jenis Non-nucleoside analogues reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) yang jarang menyebabkan DILI, namun Tenofovir merupakan ARV jenis Nucleoside analognes reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yang melalui proses kerusakan mitokondria menyebabkan liver injury. Pada pasien pemberian ARV tidak dihentikan karena jika nilai CD4+ < 350 sel/µL dengan adanya Tuberkulosis Paru, ARV tetap diteruskan dan pada pasien ini didapatkan nilai CD4+ adalah 118 sel/µL. Diagnosis pansitopenia ec aplasia sekunder ditegakan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien mengalami lemah letih sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya konjungtiva anemis. Dari pemeriksaan penunjang berupa lab darah, ditemukan adanya penurunan Hb, Leukosit, dan trombosit dari

pasien, dengan ukuran Hb : 6,8 g/dl, Leukosit : 1920 /mm3, trombosit : 147.000 /mm3. Pansitopenia pada pasien timbul karena adanya penyakit AIDS yang dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel stroma sumsum tulang. Hal ini juga berlaku pada pasien dengan penyakit tuberkulosis paru. Tatalaksana pada pasien hanya di lakukan tranfusi PRC sebanyak 2 kantong untuk menaikan Hb menjadi ≥ 10g/dl.

DAFTAR PUSTAKA 1. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 6. Jakarta. 2014. Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran: hal 2007-2012. 2. David

S

and

Hamilton

JP.

Drug

induced

liver

injury.

US

Gastroenterohepatology review. 2010. 1 (2): 73-80. 3. Mohankumar N, Rajan P, and Kumari A. Drug induced liver injury: Diagnosis and treating it early. 2015. The journal of family practice. 60(10): 634-644 4. Kirchain WR, Allen RE. Drug induced liver disease. In: Pharmacotherapy: A pathophysiologic approach. 2014. USA. Mc Graw Hill Education. 261-268 5. Bonkovsky HL, Jones DP, Russo MW, Shedlofsky SI. Drug Induced Liver Injury, In: Boyes TD, Manns MF and Sanyal AJ, Zakim and Boyes Hepatology: A text books of liver disease. 6th edition. 2012. USA. Saunder Elsevier. 417459 6. Pandit A, Sachdeva T and Bafna P. Drug induced hepatotoxicity: A review. Journal of applied pharmaceutical science. 2012. 02(05): 233 – 243. 7. Sukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker, Jereb JA, Nolan CM et al. An official

American

Thoracic

Society

statement:

hepatotoxicity

of

antituberculosis theraphy. American Journal of respirology and critical care medicine. 2006. 174: 935-952. 8. Sharma SK and Mohan A. antituberculosis treatment induced hepatotoxicity: from bench to bedside. Medicine update. 2005. 479-484. 9. Uyainah A, Kurniawan K, Asrizal FW. Perhimpunan respirologi dan penyakit kritis Indonesia. Modul PPM TB perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia (PAPDI). 2017. Jakarta. Perpari. 10. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug induced hepatitis with anti-tubercular chemotherphy: Challenges and difficulties in treatment. Khatmandu university medical journal. 2007. 5(18): 256-260.

Related Documents

Case 4
December 2019 10
Case 4
November 2019 6
Case 4
November 2019 4
Case Study 4-4
April 2020 10
Tugas Pkn Individu Fixdocx
October 2019 113

More Documents from "CJ"