Case .docx

  • Uploaded by: Rezki Pratama Sadeli
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case .docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,780
  • Pages: 30
HIPERTENSI RENOVASKULAR

PENDAHULUAN

DEFENISI DAN EPIDEMIOLOGI

Tekanan darah yang meningkat terutama tekanan diastolik, sering menyebabkan kelainan yang serius dan kematian. Institut Jantung, Paru dan Darah Amerika pada tahun 1981 melaporkan bahwa satu dari enam orang Amerika, atau 35.000.000 orang menderita tekanan darah tinggi. Dari mereka yang menderita ini, 18.000.000 sadar akan penyakitnya; 12.000.000 mendapat pengobatan, tetapi hanya 5.000.000 yang mendapat terapi secara adekuat. Kematian akibat infark myocard dan stroke akan berkurang 20% jika hipertensi dapat dikenal sejak awal dan mendapat pengobatan yang tepat. (1) Hipertensi yang tidak tertangani dengan baik, secara bermakna akan mengurangi harapan hidup karena terjadi kerusakan pada jantung, otak, dan ginjal. Pria dengan tekanan darah 150/100 mmHg memiliki resiko kematian dua sampai tiga kali lebih besar daripada mereka dengan tekanan darah 110/70 mmHg. Bahkan peningkatan tekanan darah di atas 82 mmHg mempunyai korelasi dengan peningkatan mortalitas, terutama wanita kelompok umur 15–40 tahun. Kontrol optimal tekanan darah sering sulit. Bermacam-macam pengobatan mungkin diperlukan, dan masalah efek samping obat serta kesadaran pasien membuat sulitnya pemberian terapi yang baik. Prinsip terapi adalah mengurangi penderitaan pasien, probabilitas untuk sembuh pada pasien yang dikoreksi dengan operasi besarnya sekitar 5 – 15% dari populasi penderita hipertensi. (1) Pada kebanyakan pasien yang tidak diketahui penyebabnya, keadaan ini disebut hipertensi esensial. Penyakit ginjal ditemukan sebagai penyebab hipertensi sebanyak 5-15%, yang disebut hipertensi renalis. Hipertensi renalis dapat terjadi karena gangguan pada vaskular (misal oleh karena oklusi arteri renalis); dapat berkaitan dengan penyakit parenkim ginjal; atau dapat juga merupakan kombinasi dari keduanya (5). Hipertensi renovaskular merupakan 1-4 % dari seluruh penderita

1

hipertensi.

(7)

Pada banyak kasus hipertensi bersifat reversibel jika dapat

ditegakkan diagnosis penyakitnya dan terapi yang tepat. (14) Lebih dari itu, pembedahan revaskularisasi dari iskemi ginjal sekarang sudah dapat dilakukan. Dengan tindakan pembedahan ini banyak pasien yang dapat dikurangi hipertensinya. (5) Hipertensi renovaskular dapat didefinisikan sebagai peningkatan tekanan diastolik dan sistolik disertai dengan oklusi arteri renalis. Keadaan ini pasti mengakibatkan pengurangan aliran darah total renalis, yang menyebabkan aparatus jukstaglomerularis mensekresikan renin. (4) Dari sekitar 1 – 4% hipertensi disebabkan oleh hipertensi renovaskular, maka sebanyak 5% merupakan hipertensi yang terjadi pada anak-anak. Perkembangan lambat stenosis arteri renalis menimbulkan kolateral dan dapat menyebabkan peningkatan berlebihan renin yang semakin menyokong timbulnya hipertensi renovaskular. Obstruksi arteri renalis yang akut biasanya menyebabkan infark sebagian atau penuh dan atrofi, tanpa adanya hipersekresi renin. Yang termasuk faktor resiko hipertensi renovaskular adalah (i) tekanan darah diastolik yang lebih dari 95 mm Hg pada pasien yang sudah tidak dapat diatasi lagi dengan tiga jenis obat hipertensi; (ii) hipertensi akselerasi; (iii) kehilangan tiba-tiba dari kontrol hipertensi sebelumnya; (iv) fungsi renal yang rusak akibat terapi dengan kaptopril; (v) atau bruit abdominal. (7)

ANATOMI PEMBULUH DARAH GINJAL

Kejadian yang paling serius pada operasi ginjal adalah hemoragi, terutama hemoragi yang berasal vena cava inferior, arteri renalis aberans, aorta abdominalis, atau akibat dari pengkleman arteri renalis utama. Memahami hubungan pembuluh darah ginjal merupakan faktor yang penting pada tindakan operasi. (7) 1. Pasokan arteri Arteri renalis merupakan cabang langsung dari permukaan lateral aorta untuk masing masing ginjal. Arteri renalis dipercabangkan sedikit di bawah arteri mesenterika superior, setinggi bagian atas vertebra lumbal kedua.(10) Arteri renalis

2

kanan sedikit lebih lebar dari kiri, berjalan posterior dari vena cava inferior.(13) Arteri renalis kanan terletak di belakang vena renalis kanan dan sedikit lebih atas. Anterior arteri dan vena renalis kanan berlekatan dengan duodenum dan kaput pankreas. Arteri renalis kiri biasanya terletak di belakang dan sedikit atas dari vena renalis kiri dan berada di belakang tepat di bawah dari korpus pankreas dan vena lienalis yang berjalan sepanjang permukaan posterior pankreas. Sedangkan vena mesenterika inferior berjalan naik melintasi anterior dari vena dan arteri renalis.

(10)

Secara normal arteri renalis memberikan cabang arteri suprarenalis

inferior dan cabang-cabang kecil ke kapsul ginjal dan jaringan di sekitarnya.(13) Arteri renalis mempunyai cabang anterior dan posterior. Cabang posterior mensuplai segmen media dari permukaan posterior. Cabang anterior mensuplai baik bagian atas maupun bagian bawah permukaan anterior. Arteri renalis seluruhnya merupakan end arteri. (15) Di hilus renis masing-masing arteri renalis bercabang menjadi arteri segmentalis 3–5 cabang, yang kemudian di dalam sinus bercabang menjadi 6–10 cabang arteri lobaris, masing-masing untuk pyramid dan korteks. Arteri lobaris kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang masuk ke dalam ginjal di sekitar papila, dan berada pada bagian bawah dari calix minor. Arteri interlobaris ini saling beranastomosis satu dengan yang lainnya(10,13) Arteri interlobaris kemudian bercabang menjadi arteri arkuata yang berjalan pararel pada permukaan ginjal di antara piramid dan puncak kortex. Arteri ini tidak saling beranastomis, namun memberikan cabang arteri interlobularis ke arah permukaan ginjal. Korteks mendapat darah dari arteri interlobularis yang merupakan cabang dari arteri arkuata.

(12,13)

Arteriol afferent berasal dari arteri interlobularis menuju

glomerulus. Dari glomerulus arteriol efferent berjalan mengitari tubulus, atau membentuk arteriol lurus yang berjalan ke medulla. (12) Di ginjal terdapat daerah avaskular yang disebut avascular line, yaitu daerah perbatasanyang terletak sedikit dorsal dari pinggir atas lateral ginjal. (10) 2. Aliran vena Drainase vena mengikuti jalannya arteri. Kapiler kortikal mendrainase ke vena interlobularis, yang juga menerima darah vena dari medulla. Vena interlobularis mendrainase ke vena arkuata, yang kemudian mengosongkan diri ke

3

vena interlobaris. Di dalam sinus ginjal, vena interlobaris bersatu ke dalam vena lobaris, kemudian ke dalam vena segmentalis atau vena stelata pada permukaan dalam dari kapsula renalis dan berjalan melalui jaringan ginjal ke hilus, yang akhirnya ke dalam vena renalis yang terdapat di hilus. (12,13) Masing-masing vena renalis biasanya mengalirkan darah langsung ke vena cava inferior. Oleh karena ginjal kiri letaknya lebih ke garis medial kanan, maka vena renalis kiri lebih panjang dari kanan. Vena renalis kiri berjalan di sebelah anterior dari aorta, tepat kaudal dari tepi arteri mesenterika superior. (13) 3. Sirkulasi ginjal Seperlima darah dari ventrikel kiri menuju ke ginjal pada saat tubuh sedang istirahat. Suplai darah ini tidak hanya dibutuhkan untuk memproduksi urin; tetapi juga diperlukan untuk kehidupan sel-sel nefron. Tekanan darah sistemik yang mendadak turun seperti hemoragi masif dapat menyebabkan kematian sel nefron yang luas sehingga mengakibatkan gangguan fungsi ginjal, bila pasien tidak segera ditangani. (13)

ETIOLOGI Terdapat berbagai penyebab hipertensi renovaskular, tetapi 90 – 95% akibat dua kelainan utama: aterosklerosis dan displasia fibromuskular.(3) Sebanyak 80% penyebab kelainan di arteri renalis disebabkan oleh aterosklerosis, yang disertai dengan hipertensi. Ini merupakan penyakit utama yang terjadi pada pria berumur antara 55 – 75 tahun.(1) Kelainannya terutama terdapat pada ostium dan sepertiga proksimal dari arteri renalis utama. Sisi sebelah kiri lebih sering terjadi daripada sebelah kanan dan kurang lebih sepertiga pasien memiliki kelainan bilateral dengan satu sisi umumnya memiliki stenosis lebih berat daripada sisi lainnya. Sedangkan 18% penyebab kelainan di arteri renalis disebabkan oleh fibrodisplasia; sedangkan menurut Franklin

(1)

terdapat sebanyak 35%. Ini

merupakan penyakit utama pada orang muda, yang kebanyakan etiologinya terdapat pada anak-anak dan wanita muda masa subur. Displasia fibromuskular mempunyai berbagai bentuk, yang paling umum adalah displasia fibromuskular

4

tunika medialis. Arteri renalis kanan paling sering terjadi yaitu sebanyak 85%. Ginjal kanan merupakan ginjal yang paling mobile dan terjadi ketegangan selama masa kehamilan. Aneurisma sering disertai dengan fibrodisplasia medialis, yang merupakan akibat sekunder dari proses ini. Faktor predisposisi pada wanita kemungkinan disebabkan oleh ketegangan yang berkelanjutan dari arteri renalis akibat kehamilan, dan atau mungkin juga disertai dengan estrogen yang diketahui menyebabkan degenerasi tunika medialis dari dinding pembuluh darah. Kondisi ini disertai juga dengan trombosis, yang disebabkan oleh oklusi vasa vasorum. (1) Etiologi displasia fibromuskular pada anak-anak masih belum jelas. Kelainan umumnya berupa hiperplasia tunika intima dan displasia tunika media. Kelainan displasia fibromuskular tunika media dapat menyebabkan dilatasi, secara langsung. Kerusakan tunika intima dan tunika media arteri renalis tidak dapat berdilatasi. (1) Selain kedua penyebab utama tersebut di atas, terdapat juga beberapa penyebab lain dari stenosis arteri renalis unilateral atau bilateral pada arteri utama ataupun pada cabang arteri renalis(7): (i) arteritis; (ii) poliarteritis nodusa; (iii) diseksi aorta; (iv) neurofibromatosis; (v) akibat trauma; (vi) katerisasi arteri umbilikalis; (vii) kompresi ekstrinsik arteri renalis atau cabangnya; (viii) infark renalis baik secara total maupun parsial (ix) aneurisma arteri renalis; (x) tumor pada aparatus jukstaglomerularis; (xi) hidronefrosis; (xii) kelainan abnormal ginjal lainnya.

PATOFISIOLOGI

Hipertensi renovaskular dibagi menjadi dua model utama berdasarkan “Goldblatt hypertension” (3): 1). model two-kidney, oneclip(2K-1C) dimana satu arteri renalis konstriksi dan ginjal kontralateralnya utuh, dan 2). model onekidney, one – clip (1K-1C) dimana satu arteri renalis konstriksi dan ginjal kontralateral diangkat. Kedua model “Goldblatt hypertension” berkembang melalui fase akut, fase transisi,dan fase kronik. Pada fase akut, induksi iskemi pada kedua model baik

5

pada 2K-1C maupun 1K-1C mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang cepat, disertai aktivitas sistem renin-angiotensin. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya ketergantungan renin sehingga pemberian segera antagonis angiotensin II atau penghambat enzim angiotensin-konverting akan menormalkan tekanan darah. Lebih dari itu, pengangkatan klip arteri renalis atau nefrektomi unilateral dari stenosis ginjal mengakibatkan pemulihan cepat tekanan darah menjadi normal. Fase transisi berakhir selama dua hari atau beberapa minggu, ini bergantung pada model eksperimen dan spesies. Pada model 2K-1C, ginjal iskemi meretensi natrium dan air, yang akan meningkatkan volume dan menekan natriuresis pada ginjal kontralateral. Ginjal kontralateral ini memperlihatkan buntunya natriuresis, kerusakan autoregulasi aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomerulus. Fungsi-fungsi abnormal ini untuk merefleksikan perfusi ginjal kontralateral dengan peningkatan angiotensin II yang dilepaskan dari ginjal iskemi ipsilatera. (3) Fase kronik hipertensi renovaskular ditandai dengan retensi garam dan air dan peningkatan volume yang menekan sekresi renin. Pada model 1K-1C, fase menahun sangat cepat terjadi, biasanya dalam jangka waktu 3-5 hari pada anjing dan beberapa minggu pada tikus. Namun bila model 1K-1C ini diterapi dengan preparat diuretik untuk mengkoreksi keseimbangan positif sodium, akan terlihat peningkatan nilai renin; peningkatan tekanan darah yang menetap, tetapi sekarang menjadi sensitif terhadap penghambat sistem renin-angiotensin. Sebaliknya, model 2K-1C menekan natriuresis dari ginjal kontralateral sebagai kompensasi terhadap penurunan ekskresi sodium pada ginjal iskemi ipsilateral. Lebih dari satu periode, ginjal kontralateral mengakibatkan kerusakan pembuluh darah yang mengakibatkan tekanan darah meningkat, yang kemudian menyebabkan penurunan fungsi ekskretoris dan peningkatan volume.Meskipun derajat sirkulasi renin-angiotensin II umumnya normal pada fase menahun, namun studi menunjukkan adanya peningkatan sistem renin-angiotensin jaringan vaskular yang ikut memberi perubahan vaskular pada model 2K- 1C tikus; namun demikian, penurunan secara bermakna tekanan darah dapat dicapai dengan pemberian inhibitor enzim konverting atau antagonis angiotensin II. Perlu juga dipertimbangkan bahwa peningkatan sistem saraf simpatis baik sentral maupun

6

perifer dapat menyebabkan hipertensi renovaskular yang menetap selama fase kronik baik pada model 2K-1C maupun 1K-1C.(3) Pada stenosis arteri renalis, tekanan transkapiler yang memacu filtrasi glomerulus dipertahankan oleh peningkatan tahanan arteriol efferen di belakang glomerulus. Peningkatan tahanan arteriole efferen ini dipertahankan oleh angiotensin II (yang diproduksi sebagai respons terhadap peningkatan sekresi renin dari ginjal yang terkena). Angiotensin II juga merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal yang berperan terhadap retensi cairan dan natrium. Bila tingkatan kritis stenosis arteri renalis tercapai (sekitar 60-70% lumen), maka baroreseptor ginjal akan menyebabkan penurunan tekanan darah pada arteriol efferen, yang mengakibatkan peningkatan pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerularis. Keadaan ini meningkatkan produksi angiotensin I. Angiotensin I dibuat di perifer ginjal oleh kerja enzim konverting angiotensin menjadi angiotensin II.(7) Renin dihasilkan bila terdapat penurunan aliran darah dan peningkatan tekanan pada parenkim ginjal. Ini memacu selsel jukstaglomerularis untuk menghasilkan renin yang banyak yang kemudian mempengaruhi produksi angiotensin. Penggunaan antagonis angiotensin II (seperti kaptopril) telah diketahui efektif untuk diagnosis dan terapi hipertensi renovaskular. Kaptopril memiliki toksisitas renal dan dapat menyebabkan trombosis arteri renalis. Olehkarenanya, kaptopril sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi definitif untuk hipertensi renovaskular.(1) Pada pasien dengan stenosis arteri renalis atau renovaskular hipertensi pada satu atau dua ginjal, kaptopril dapat memicu terjadinya kegagalan ginjal akut, tetapi efek ini biasanya hanya sementara. (7) Hipertensi renovaskular pada manusia sesungguhnya lebih kompleks dari pada binatang. Sebagai contoh, hipertensi berat, yang merupakan bagian dari gejala stenosis arteri renalis yang berkembang cepat. Trombosis atau emboli akut bahkan menyebabkan plasma renin yang tinggi disertai dengan hipertensi akselerasi yang berat. Sebaliknya perkembangan stenosis arteri renalis yang lambat sebagai akibat aterosklerosis atau lesi displasia fibromuskular hanya mengakibatkan hipertensi ringan atau sedang, yang meningkat secara bertahap selama periode tertentu dan kemudian hanya akan menjadi berat atau mengalami peningkatan bila kelainan stenosis menjadi lebih berat. Dengan cara yang sama,

7

kelainan segmental dari berbagai penyebab dapat meningkat menjadi lebih berat atau oklusi total. Hal ini disebabkan karena ukuran yang kecil dari cabang-cabang arteri. Karena alasan inilah, stenosis segmental berkecenderungan meningkatkan derajat plasma renin disertai dengan hipertensi yang meningkat dan berat. (3)

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi

klinis

hipertensi

renovaskular

tidak

jelas.

Hipertensi

renovaskular merupakan salah satu penyebab hipertensi yang sering dijumpai pada anak-anak dan biasanya tidak mudah dikontrol dengan obat. Onset hipertensi yang tiba-tiba pada orang dewasa perlu dipikirkan kemungkinan adanya penyakit oklusi arteri renalis. Tanda dari hipertensi renovaskular adalah terjadinya peningkatan tekanan darah diastolik yang tidak dapat dikontrol dengan terapi hipertensi umumnya. Perlu dipikirkan pada anak-anak, remaja, wanita muda, dan pria yang menderita aterosklerosis kemungkinan adanya penyakit oklusi arteri renalis bila mereka menderita hipertensi. (1) Etiologi hipertensi renovaskular dibagi menjadi dua kategori : (a) aterosklerotik pada penderita rata-rata berumur 50 tahun, memiliki tekanan sistolik yang lebih tinggi, lebih sering terdapat penyakit vaskular ekstrarenalis dan lebih mudah terjadi kerusakan organ dibandingkandengan hipertensi esensial, (b) hiperplasia fibromuskular rata-rata terdapat pada penderita umur 35 tahun, kebanyakan perempuan dan sedikit terkena kerusakan organ. Selain itu pasien yang menderita aterosklerotik rata-rata memiliki kenaikan berat badan 15% dari berat badan ideal dibandingkan dengan pasien yang menderita hipertensi esensial. (3)

Berdasarkan pengalaman tampak bahwa terdapat beberapa gambaran diagnostik yang penting dari hipertensi renovaskular. Ini termasuk kejadian hipertensi yang tiba-tiba, sering pada umur 35 tahun atau setelah 55 tahun, dengan tidak terdapatnya riwayat keluarga dan keadaan hipertensi yang lebih buruk diikuti dengan rasa sakit pada bahu, dan adanya peningkatan atau hipertensi maligna pada umur berapa saja. (5)

8

Pemeriksaan fisik mungkin dapat menolong untuk menegakkan diagnosis penyakit oklusi arteri renalis. Gambaran fisik bisa terdapat pada pasien koartasio aorta yang ditunjukkan dengan adanya pengurangan pulsasi arteri femoralis dan mungkin terdapat bruit pada aorta torakalis atau aorta abdominalis.

(1)

Koartasio

aorta adalah penyempitan aorta kongenital yang terjadi di proximal atau distal dari duktus arteriosus. Keadaan ini merupakan penyebab tersering hipertensi bayi atau anak.

(1)

Bruit pada ginjal sering terdapat pada pasien dengan penyakit oklusi

renovaskular, tetapi karena obesitas agak sukar didengar. Harus diingat bahwa bruit juga dapat berasal dari arteri yang lain dan dapat membingungkan, terutama pada pasien aterosklerotik. Auskultasi pada punggung di sudut kostovertebralis kadangkadang dapat menolong menemukan bruit.

(1)

Menurut Sabiston

(5)

, bruit

abdominal yang terdapat pada epigastrium atau kuadran atas merupakan gambaran diagnostik yang penting. Keadaan ini dapat ditemukan sekitar 50 – 80 % dengan hipertensi renovaskular, dimana pada pasien dengan hipertensi esensial hanya terdapat 5%. Sedangkan menurut Franklin

(3)

bruit pada panggul atau abdomen

atas ditemukan hampir 49% pada pasien yang menderita hipertensi renovaskular dan hanya 10% ditemukan pada pasien dengan hipertensi esensial. Namun meskipun bruit tersebut ditemukan hampir lima kali lebih sering pada hipertensi renovaskular, diagnosisnya sangat terbatas untuk membedakannya dengan hipertensi esensial. Perlu dicatat bahwa bruit pada stenosis arteri renalis sering berupa nada tinggi dengan durasi yang panjang (biasanya memanjang sampai diastolik), dan terdengar sampai pada lateral garis tengah; keadaan ini tidak ditemukan pada bruit plak aorta. Perlu dicatat bahwa pasien yang berada dalam kelompok aterosklerotik bisa juga terdapat penyakit lain, terutama pembuluh darah subklavia, sehingga sebaiknya jangan menegakkan diagnosis hipertensi hanya dengan pengukuran satu tekanan darah. Mengukur tekanan darah pada kedua sisi lengan sangat dianjurkan bila diduga ada kenaikan tekanan darah.

(1)

Pemeriksaan laboratorium rutin

terutama ditujukan untuk gangguan elektrolit, khususnya adenoma glandula suprarenalis yang memproduksi aldosteron. Penderita hipertensi yang sering diobati dengan diuretik sering mengalami gangguan ketidakseimbangan elektrolit. (1)

9

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan yang diperlukan adalah urinalisis dengan kultur, serum kreatinin,

serum

elektrokardiografi. hipertensi

potasium, (5)

aktivitas

plasma

renin,

rontgen

thorax,

Stenosis arteri renalis merupakan penyebab penting pada

sekunder,

tetapi

skrining

terhadap

stenosis

arteri

renalis

mengalamiberbagai problematik. Test noninvasif seperti urografi intravena dan skan ginjal, belum secara adequat dapat membedakan hipertensi renovaskular dari hipertensi esensial. (15)

1.Test dasar Pemeriksaan laboratorium dengan dugaan adanya hipertensi renovaskular harus dimulai dengan test dasar yang berhubungan dengan kesehatan umum, yaitu : hitung darah yang lengkap, serum elektrolit dan gula darah puasa, nitrogen urea dan serum kreatinin, urinalisa dan kultur urin, serta EKG. (14)

2.Pielografi intravena Pielogram intravena bukan merupakan uji tapisan yang baik untuk pasien dengan dugaan hipertensi renovaskular. Akurasinya kurang untuk pasien anakanak dan orang dewasa dengan aterosklerotik. Terdapat 75% negatif palsu pada anak-anak dan 20 – 28 % negatif palsu pada orang dewasa dengan aterosklerotik. (14)

3.Aktivitas renin plasma Pada pasien yang telah diketahui menderita hipertensi, sebaiknya dimulai dengan memeriksa aktivitas renin plasma. Aktivitas renin plasma akan meningkat pada 80% pasien yang menderita hipertensi renovaskular. Namun, 15% pasien dengan hipertensi esensial juga memiliki renin yang meningkat, namun lebih rendah dari hipertensi renovaskular. (14)

10

Dengan mengukur aktivitas renin plasma membantu untuk pemisahan pasien-pasien yang mekanisma humoralnya terlibat dengan sistem reninangiotensin-aldosteron yang sering berkaitan dengan hipertensi renovaskular. Nilai aktivitas renin plasma membantu untuk menentukan pasien mana yang perlu dioperasi. (5) Adanya peningkatan aktivitas renin plasma pada vena perifer dengan diet sodium normal dan tanpa pemberian obat diuretik dan adanya hipertensi maligna sangat menunjukkan adanya stenosis arteri renalis. (5)

3.Tes kemampuan kaptopril Tes kemampuan captopril didasarkan atas respon berlebihan renin pada penderita stenosis arteri renalis. (15) Aktivitas renin plasma diukur sebelum dan 60 menit setelah pemberian kaptopril (penghambat enzim konverting) dosis 25 mg secara oral. Pada hipertensi dengan kebergantungan terhadap renin, akan terdapat penghambatan terhadap enzim konverting. (14) Tonus arteriola afferen terutama di atur oleh pemasukan kalsium yang terdapat dalam sel otot polos dan dihambat oleh penghambat terowongan kasium (nifedipin dan verapamil).(7)

4.Urografi intravena Kriteria positif bila terdapat keadaan di bawah ini pada ginjal:

(5)

(1).

Kontras mediumnya muncul terlambat, diikuti oleh gambaran paradoks dari sistem pielokalikses. Urografi intravena sederhana, mempunyai gambaran anatomi yang baik untuk tes skrining terhadap hipertensi renovaskular. Test ini dapat juga digunakan untuk menentukan ada tidaknya penyakit ginjal parenkim primer. (2). Ginjal mengecil lebih dari 1,5 cm. Urogram mempunyai batasan diagnostik yang penting dalam mendeteksi lesi segmental atau cabang arteri, penyakit arteri renalis bilateral, dan penyakit parenkim ginjal bilateral yang tidak sama beratnya, serta pada anomali tertentu dari ginjal kongenital .

5.Radioisotop renografi

11

Bila dengan urografi intravena tidak dapat dihasilkan gambaran yang baik, maka dapat dilakukan dengan pemeriksaan radioisotop renografi dan skan ginjal. Namun prosedur ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang alergi terhadap media kontras iodium. Adanya teknik baru noninvasif yaitu dengan menggunakan kamera Anger dan rapidsequence scintillation studies dapat memberikan harapan lebih besar untuk menegakkan diagnosis dimasa mendatang. (5) Scan ginjal radioisotop membantu ahli bedah untuk mengevaluasi aliran darah ginjal. Kebanyakan skan ginjal bergantung kepada fungsi ginjal. Kemampuan untuk membedakan penyakit oklusi arteri renalis primer dan penyakit intraparenkim difus pada skan ginjal sulit. Oleh karena alasan ini skan ginjal tidak sering digunakan sebagai pemeriksaan rutin pada pasien dengan penyakit oklusi arteri renalis. (1) Pemeriksaan skintigrafi penghambat ACE positif menunjukkan adanya hipertensi renovaskular dan tampak perubahan hemodinamika menunjukkan adanya stenosis arteri renalis (lebih besar 60-75% lumen). Pemeriksaan kaptopril positif sebagai petunjuk kuat perbaikan operasi pada hipertensi renovaskular. (7)

6.Arteriografi ginjal Untuk mengetahui lokasi anatomi dari lesi arteri renalis digunakan arteriografi ginjal. Pemeriksaan ini terutama ditujukan bagi pasien hipertensi renovaskular yang akan dilakukan tindakan operasi.

(5)

Arteriografi masih

merupakan metoda diagnostik yang paling akurat terhadap penyakit pembuluh darah oklusi yang melibatkan ginjal.

(1)

Tehnik transfemoral retrograd per

kutaneus cukup baik, dan tampak “flush” arteriografi yang berhubungan dengan injeksi kontras arteri renalis spesifik menambah jelasnya gambaran arteri secara rinci. (5) Pemeriksaan fungsi ginjal Sebagai tambahan untuk mengetahui kelainan anatomi, maka pemeriksaan fungsi ginjal juga diperlukan. Sayangnya, evaluasi fungsi total ginjal sering gagal untuk menunjukkan lesi anatomik yang mengakibatkan hipertensi. (5)

7.Biopsi ginjal

12

Biopsi ginjal perkutaneus kadang-kadang dapat menolong pada evaluasi preoperatif pasien dengan penyakit oklusi arteri renalis. (1)

8.Ultrasound duplex Arteriografi merupakan standart utama untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis. Namun ada penelitian yang meneliti tentang kegunaan duplex ultrasound scanning, yaitu pemeriksaan noninvasif yang mengkombinasikan visualisasi langsung arteri (Bmode imaging) dengan pengukuran faktorfaktor hemodinamik pada arteri utama dan ginjal (Doppler imaging). (2) Dari penelitian terhadap 102 penderita yang berhubungan dengan hipertensi yang sulit dikontrol, penyakit vaskular perifer, atau azotemia yang tidak jelas dengan melalui pemeriksaan arteriografi dan ultrasound duplex, maka didapat hasil yang menunjukkan bahwa sensitifitas dan spesifitas dari scanning ultrasound duplex adalah 98 % dibandingkan dengan arteriografi. Namun walaupun pemeriksaan dengan ultrasound duplex akurasinya cukup tinggi, pemeriksaan noninvasif ini memiliki teknik yang sulit dan membutuhkan pemeriksa yang sudah berpengalaman.(2)

PENATALAKSANAAN Tujuan terapi utama manajemen hipertensi renovaskular ditujukan untuk:(3) (i) mencegah komplikasi hipertensi dengan mengontrol tekanan darah, (ii) mencegah progresifitas stenosis arteri renalis yang dapat menyebabkan kehilangan fungsi ginjal dan (iii) memulihkan fungsi ginjal dengan mengkoreksi stenosis arteri renalis yang berat. Terapi medis dengan obat-obat anti-hipertensi dapat mengontrol hipertensi tetapi tidak berefek pada progresifitas lesi tersebut. Oleh karena itu, pendekatan konservatif umum dari manajemen medis bukan merupakan pilihan utama; setiap kasus harus dicari penyebabnya untuk menentukan tindakan angioplasti atau operasi. (3)

13

Terapi medis Terapi medis untuk hipertensi renovaskular pada tahun 1960an dengan menggunakan obat-obat seperti diuretik, hidralasin, guanetidin, dan metildopa. Kontrol tekanan darah yang baik dilaporkan sebanyak 35-45% pasien. Dengan munculnya obat beta blocker pada tahun 1970-an, digunakan bersama dengan diuretik dan vasodilator sebagai triple terapi, frekuensi kesuksesan mencapai 50-80%. Kemudian ACE inhibitor diperkenalkan tahun 1980-an, kaptopril (dosis inisial 25 mg dua kali sehari, dapat ditingkatkan 50 mg dua kali sehari) dan enalapril (dosis inisial 5 mg/hari, dapat ditingkatkan 40 mg/hari), digunakan bersama dengan diuretik, kontrol yang sukses terhadap hipertensi dilaporkan sebanyak 85-95% dari pasien hipertensi renovaskular. (3) Efek terbesar dari ACE inhibitor adalah hubungannya dengan patofisiologi hipertensi renovaskular. Respon penekanan cepat dari obat ini adalah berhubungan langsung dengan penanganan aktivitas plasma renin. Pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral yang berat, kontrol yang efektif terhadap tekanan darah menyebabkan pro-gresifitas yang lamban pada fungsi ginjal dengan menurunkan tekanan perfusi. Kegagalan ginjal akut reversibel telah dilaporkan setelah penanganan dengan inhibitor enzim konverting pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral, stenosis unilateral dengan disfungsi ginjal kontralateral, atau ginjal tunggal dengan stenosis arteri renalis. Kegagalan ginjal dapat terjadi terutama bila tidak ada penurunan tekanan darah yang bermakna dengan ACE inhibitor. ACE inhibitor menyebabkan dilatasi arteriola efferen melalui bloking angiotensin II dengan menyebabkan penurunan tekanan perfusi glomerulus dan filtrasi glomerulus. Penggunaan bersama dengan antidiuretik, meningkatkan ketergantungan peningkatan angiotensin II dan mungkin mempengaruhi aliran plasma ginjal, yang memainkan peran utama terhadap kerusakan fungsi ginjal.

(3)

Disfungsi renal yang diinduksi oleh ACE inhibitor merupakan dasar terjadinya stenosis arteri renalis bilateral, tetapi hubungan ini belum diteliti lebih lanjut. Dari penelitian terhadap 108 penderita hipertensi dengan resiko tinggi terhadap stenosis arteri renalis (misal: penyakit vaskular, peningkatan creatinin, penderita hipertensi yang kurang respon memberi terhadap terapi bermacammacam obat), menunjukkan bahwa kreatinin yang stabil selama terapi dengan ACE inhibitor biasanya mengakibatkan terjadinya resiko stenosis arteri renalis bilateral yang

14

berat. Namun, peningkatan kreatinin bukan merupakan faktor yang spesifik untuk stenosis arteri renalis bilateral. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perlu dilakukan monitor secara cermat terhadap fungsi ginjal setelah memulai terapi dengan penghambat enzim konverting pada pasien yang beresiko tinggi terkena penyakit renovaskular.

(4)

ACE inhibitor mungkin dapat memperbaiki pasien

dengan nefropati iskemi yang berkaitan dengan penyakit renovaskular bilateral, tetapi penelitian lebih lanjut akan validitas diagnostik ini belum ada. Dari penelitian pada 108 penderita dengan resiko aterosklerosis pada penderita penyakit renovaskular yang berat dan dibandingkan dengan pemeriksaan angiografi, maka ditemukan bahwa tidak terjadi kegagalan ginjal akut pada penelitian ini dan kreatinin plasma selalu ditemukan kembali setelah pemakaian penghambat enzim konverting diberhentikan. Oleh karena itu peningkatan kreatinin plasma yang diinduksi oleh penghambat enzim konverting merupakan alat yang sangat sensitif terhadap penyakit renovaskular bilateral pada kelompok yang beresiko tinggi. (2) Sebagai kesimpulannya, terapi dengan obat tidak dapat memperbaiki stenosis arteri renalis yang sudah ada, meskipun kontrol tekanan darah baik. Sebanyak 40-45 % kasus, stenosis arteri renalis yang progresif dapat merusak fungsi ginjal pada ginjal yang bersangkutan. Sesungguhnya, ginjal dengan stenosis derajat tinggi, efektif kontrol tekanan darah dengan obat dapat menurunkan tekanan perfusi, ikut menyebabkan iskemi lebih lanjut dan menyebabkan kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Dengan menggunakan obat antihipertensi secara teratur, kontrol tekanan darah menjadi baik berkisar 85 – 95 % pada pasien dengan hipertensi renovaskular. Kegagalan pengobatan dimungkinkan karena adanya stenosis derajat tinggi dengan produksi renin yang meningkat atau stenosis arteri renalis bilateral yang berat dengan terdapatnya retensi garam dan air. Oleh karena bisa terjadi progresifitas stenosis arteri renalis, maka perlu dilakukan monitor fungsi ginjal pada pasien yang mendapat terapi dengan obat. Ini vital karena tekanan darah dapat terus terkontrol dengan baik dengan obat dan menyingkirkan kehilangan fungsi ginjal secara progresif. Lebih dari itu, serum kreatinin atau kreatinin kliren tidak berubah pada stenosis arteri renalis unilateral oleh karena adanya efek sebaliknya dari fungsi ginjal

15

kontralateral yang tanpa stenosis arteri renalis. Oleh karena itu, baik klirens kreatinin (beberapa kali per tahun) maupun ukuran ginjal (sekali setahun) merupakan tanda yang penting untuk diamati. Ukuran ginjal dapat diperiksa dengan tomografi, sonografi, atau skanning. (3) Sebagai pembanding kita dapat melihat bahwa amlodipine dapat mengurangi resistensi vaskular pada penderita hipertensi esensial, dan menaikkan aliran darah ginjal. Amlodipine juga meningkatkan laju filtrasi glomerulus dengan mengurangi jumlah kreatinin serum sedangkan ekskresi mikroalbumin pada urine tidak

berkurang

atau

tidak

berubah.

Kemampuan

amlodipine

untuk

mempertahankan aliran darah ginjal pada saat tekanan diastolik dan sistolik turun, kemungkinan disebabkan oleh 2 faktor: yaitu efek dilatasi pada arteri renalis, disertai dengan adanya efek vasokonstriksi, termasuk angiotensin II dan juga endothelin-1.

(9)

Penderita yang mengalami ateroskleoris pada arteri renalis juga

dapat diterapi dengan amlodipine, karena amlodipine mempengaruhi ratio HDL/LDL dan menstabilkan membran plasma.(9)

Tindakan operatif Pemilihan pasien untuk tindakan pembedahan bergantung dari penentuan bahwa hipertensi yang terjadi oleh karena sebab langsung dari lesi arteri renalis. Di samping itu juga perlu dipertimbangkan umur dan keadaan umum pasien, riwayat penyakit, kemungkinan perbaikan pembuluh darahnya dibandingkan nefrektomi, perbandingan kontrol hipertensi dengan obat-obat antihipertensi, dan mortalitas pembedahan. Sebagai contoh, pasien yang telah tua dengan lesi atherosklerotik memiliki mortalitas pembedahan lebih tinggi. Sebaliknya, pasien muda dengan lesi fibromaskular sangat ideal untuk dilakukan pembedahan.

(5)

Jenis-jenis pembedahan: (5) 1. Reseksi segmental arteri renalis dengan reanastomosis. 2. Anastomosis arteri splanika ke arteri renalis (meninggalkan lien in situ dengan

mendapatkan

suplai

darah

dari

cbangcabang

arteri

gastroepiploika dan gastrika brevis). 3. Yang jarang dilakukan adalah reimplantasi arteri renalis ke dalam aorta diikuti dengan eksisi stenosis

16

4. Autograf 5. Enarterektomi 6. Prostetik arterial graft 7. Ex vivo rekonstruksi arteri renalis dilakukan untuk kasus-kasus yang rumit. 8. Renal autotransplatasi dilakukan pada pasien anak-anak karena pembuluh darahnya terlalu kecil untuk dilakukan anastomosis (bisa menimbulkan restenosis). 9. Angioplasti renal transiluminasi per Kutaneus Angioplasti lebih berhasil dilakukan pada pasien: (3) 1. Displasia fibrosa dibandingkan dengan penyakit atherosklerosis. 2. Pembuluhpembuluh darah yang hanya dengan satu atau dua stenosis pendek 3. Pada stenosis komplit di dalam arteri renalis daripada lesi yang melibatkan dinding aorta atau orifisium arteri renalis. Meskipun angioplasti transluminal per kutaneus sudah banyak digunakan untuk penanganan terhadap hipertensi renovaskular, namun belum pernah dievaluasi secara random. Dari penelitian terhadap 464 pasien dengan atherosklerosis penyebab hipertensi renovaskular dan 193 dengan hiperplasia fibromuskular,

ditemukan

bahwa

angioplasti

efektif

untuk

hiperplasia

fibromuskular, tetapi masih merupakan tanda tanya terhadap aterosklerosis. (6) Parsial nefrektomi atau total nefrektomi merupakan pilihan utama pada pasien: (3) 1. Atropi renalis dengan panjang lebih kurang 9 cm 2. Oklusi arteri renalis utama dengan infark. 3. Nefrosklerosis arteriola yang berat. 4. Penyakit parenkim unilateral 5. Infark renalis unilateral 6. Hipoplasia renalis segmental (Ask-Upmark kidney). 7. Penyakit renovaskular yang tidak dapat diperbaiki seperti aneurisma intrarenalis atau malformasi arteriovena.

17

Dari Januari 1993 sampai Mei 1996 Rodriguez-Lopez dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap 108 pasien (64 pria, 44 wanita, rata-rata berumur 72 tahun, rentang umur 37-87 tahun) dilakukan tindakan angioplasti transluminal per kutaneus dan implantasi stent pada arteri renalis dengan aterosklerosis. Dari tindakan tersebut ditemukan bahwa sebanyak 73 pasien (68%) mengalami perbaikan. Analisa retrospektif ini menunjukkan bahwa kombinasi angioplasti transluminal per kutaneus dengan implantasi stent terhadap pasien hipertensi renovaskular karena stenosis arteri renalis cukup efekif. (11) Terapi operasi efektif untuk penyakit oklusi arteri renalis dimaksudkan untuk mengurangi tekanan darah dalam jangka panjang.

(1)

Hampir 45–50%

pasien dengan hipertensi renovaskular aterosklerosis dapat disembuhkan dengan tindakan pembedahan revaskularisasi, 25–35% dapat diperbaiki, sedangkan 25– 35% pasien tersebut sebenarnya tidak terjadi perubahan pada hipertensinya. Pada pasien dengan displasia fibromuskular, tindakan pembedahan umumnya berhasil lebih baik dengan tingkat kesembuhan 50–70% dan kegagalan 5–10%. Mortalitas untuk penyakit aterosklerotik berkisar 2–5% sedangkan displasia fibromuskular 1–3 %. Mortalitas untuk keseluruhan berkisar 5–10 %.(5)

PEMILIHAN TERAPI

Tidak mudah untuk menentukan terapi yang cocok untuk hipertensi renovaskular. Keputusan terapi pertama bergantung pada keberadaan stenosis arteri renalis dan anatominya serta variabel patalogi yang menyertainya Demikian juga keadaan umum pasien dan keinginan untuk menjalani prosedur invasif. Bila perlu, pasien perlu diberi untuk pilihan terapi yang mungkin dan sebaiknya mengambil keputusan bersama dengan dokter yang menanganinya. (3) Kontroversi antara terapi medis dengan terapi operasi terus berlanjut. Obat baru untuk terapi hipertensi renovaskular bukan tanpa ada kekurangan. ACE inhibitor seperti kaptopril telah memberikan harapan bagi pasien hipertensi renovaskular. Ini mungkin untuk beberapa pasien, namun ada masalah dengan pasien yang disertai dengan membrana glomerulopati yang mendapat pengobatan

18

jangka lama. Protein uria dan kerusakan ginjal irreversibel dapat saja muncul oleh karena menggunakan obat ini. (1) Pada umumnya angioplasti perlu dilakukan sebagai prosedur inisial pada seluruh pasien hipertensi renovaskular bila stenosis mencapai 70% atau lebih. Pendekatan ini berguna untuk menjaga fungsi ginjal. Tindakan operasi merupakan pilihan utama bila terdapat lesi ostium predominan, lesi oklusif total, dan penyakit aorta iliaka yang berat. Oleh karena tindakan operasi beresiko besar, pengamatan rasio renin vena ginjal perlu dilakukan. Bila terdapat stenosis arteri renalis bilateral derajat tinggi, atau ginjal tunggal, angioplasti merupakan pilihan pertama, kemudian baru diikuti operasi jika angioplasti gagal. Akhirnya, terapi medikal merupakan pilihan bagi pasien dengan lesi ekstensif segmental dan atau bilateral yang tidak dapat dilakukan tindakan operasi dan dilatasi, pada pasien yang menolak prosedur invasif dan pada pasien yang tidak terlalu beresiko untuk operasi namun memiliki lesi arteri yang tidak dapat dilakukan dilatasi. (3)

19

ILUSTRASI KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 30 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 16 juli 2018, pukul 11.00 WIB dengan:

Keluhan utama : (auto anamnesis) Nyeri kepala berulang sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang : 

Nyeri kepala berulang sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit, Nyeri dirasakan diseluruh kepala, rasa berdenyut-denyut, berkurang dengan minum obat penghilang nyeri, Nyeri kepala tidak disertai muntah menyemprot. Riwayat trauma kepala tidak ada.



Pusing berputar disangkal



Berdebar-debar tidak ada.



Riwayat mata kabur disangkal, riwayat pandangan ganda disangkal.



Penurunan berat badan tidak ada.



Mual tidak ada, muntah tidak ada



Lemah anggota gerak tidak ada.



Riwayat menstruasi normal.



Buang air kecil biasa, tidak ada riwayat nyeri buang air kecil, riwayat keluar batu atau buang air kecil kemerahan disangkal.



Buang air besar jumlah dan konsistensi biasa normal.



Pasien telah dulakukan pemeriksaan CT-Scan Angiografi dengan kesan : Stenosis arteri renalis sinistra proximal (51%)



Pasien telah dikenal hipertensi sejak 3 bulan yang lalu dengan tekanan darah sistolik tertinggi yaitu 210 mmHg. Kontrol teratur di puskesmas terdekat dengan obat amodipin 1x5 mg dan candesartan 1x8 mg

20

Riwayat Penyakit Dahulu : 

Riwayat sakit gula tidak ada.



Riwayat sakit ginjal tidak ada.



Riwayat sakit jantung tidak ada



Riwayat trauma kepala tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga : 

Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama



Tidak ada anggota keluarga yang menderita dengan riwayat keganasan sebelumnya



Tidak ada keluarga yang menderita sakit gula

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan : 

Pasien seorang bidan, bekerja didaerah pedalaman Mentawai



Riwayat kebiasaan makan makanan yang asin disangkal



Riwayat kebiasaan makan makanan yang berlemak ada



Riwayat kebiasaan minum kopi disangkal



Tidak ada riwayat merokok atau konsumsi obat-obatan sebelumnya.

Riwayat pengobatan 

Riwayat konsumsi obat-obatan penurun tekanan darah: amlodipine 1x5mg, candesartan 1x8mg, dan Paracetamol (bila nyeri) sejak 3 bulan yang lalu

Riwayat tumbuh kembang 

Pasien lahir normal ditolong bidan, BB normal, kebiruan ketika lahir (-)



Riwayat sering nyeri kepala (+)

21

PemeriksaanFisik : PemeriksaanUmum : Keadaanumum :sedang

Tinggi badan

:158cm

Kesadaran

Berat badan

:63 kg

BMI

: 25,2kg/m2

: CMC

Tekanandarah :190/120 mmHg

(kesan : Overweight) Nadi

: 84 x/menit, kuat angkat, teratur

Sianosis

: (-)

Nafas

: 16 x/menit

Anemis

: (-)

Suhu

: 37oC

Ikterus

: (-)

VAS

: 3-4

Edema

: (-)

Kulit

: turgor baik, petechia (-), purpura (-), ekimosis (-),

KGB

: tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher, aksila, dan inguinal

Kepala

: normochepal

Rambut

: hitam, uban (-)

Mata

: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), reflex cahaya (+/+), pupil isokor, diameter 3mm/3mm

Telinga

: Auricula normal, meatus externa tidak hiperemis

Hidung

: deviasi septum tidakada

Tenggorokan : tonsil T1-T1, tidak hiperemis Mulut

: caries (+), oral candidiasis (-), atrofi papil lidah (-)

Leher

: JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Dada

:

Paru-paru

:

Parudepan

:

Inspeksi

: hemitoraks tampak simetris kiri = kanan statis dan dinamis dinamis :gerakan nafas kiri = kanan. Retraksi sela iga (-)

Palpasi

: fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor kiri= kanan, batas pekak hepar RIC V dekstra.

Auskultasi

: vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Paru belakang : Inspeksi

: simetris kiri = kanan, statis dan dinamis

22

Palpasi

: fremitus kiri = kanan

Perkusi

: sonor, batas peranjakan paru 2 jari.

Auskultasi

: vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V, tidak kuat angkat, luas 1 ibu jari, thrill (-)

Perkusi

: batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas kiri 1 jari medial RIC V

Auskultasi

: bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-), M1>M2, P2
Abdomen Inspeksi

: tidak tampak membuncit

Palpasi

: turgor baik, hepar tidak teraba. Lien teraba S0

Perkusi

: tympani, shifting dullness (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Punggung

: nyeri tekan dan nyeri ketok CVA (-/-), bruit (-)

Alat kelamin : tidak tampak kelainan Anus (RT)

: tidak tampak kelainan

Ekstremitas

: edema (-/-), akral teraba hangat, refilling kapiler< 2 detik, reflex fisiologis (+/+), reflek patologis (-/-)

PemeriksaanLaboratorium : Darah rutin Hb

: 12,9 g/dl

Leukosit

: 7730/mm3

Trombosit

: 474.000 /mm3

Ht

: 39 %

Diff count

: 0/2/0/57/37/4

Gambaran darah tepi: normositik normokrom Kesan : Dalam batas normal

23

Urin Makroskopis

Mikroskopis

Kimia

Warna

: Kuning

Lekosit

:0-1

Protein

: Negatif

Kekeruhan

:+

Eritrosit

:0–1

Glukosa

: Negatif

BJ

: 1.010

Silinder

: Negatif

Bilirubin

: Negatif

pH

: 6,0

Kristal

: Negatif

Urobilinogen

: Positif

Epitel

: Gepeng

Kesan : Hasil dalam batas normal

Feses: Warna

: kuning

Konsistensi : lunak Leukosit

: 0 – 1/LPB

Eritrosit

: 0 – 1 /LPB

Telurcacing

:-

Darah

:-

Lendir

:-

Kesan: pemeriksaan feses dalam batas normal

MASALAH 

Nyeri kepala



Hipertensi

Diagnosis Kerja : •

Hipertensi Urgensi ec Renovascular

Diagnosis banding 

Hipertensi Urgensi ec tumor ginjal



Hipertensi Urgensi ec essential

Terapi : 

Istirahat/MB RG II



Candesartan 1x16mg (po)



Amlodipin 1x10mg (po)

Rencana : 

Cek elektrolit



Cek profile lipid



Cek HbsAg

24

Follow Up 17 juli 2018 S/nyerikepala (+)↓, batuk (-),demam (-) O/

KU

sedang

Kes

TD

CMC 170/100 mmHg

Nadi

Nafas T

84x/i 16 x/I 37oC

VAS 3

Keluar hasil laboratorium: 

Natrium

: 139mmol/L



Kalium

: 3,6mmol/L



Clorida

: 107 mmol/L



Kalsium

: 9,4 mmol/L



Ur/Cr

: 13/0,9

Konsul Konsultan Ginjal Hipertensi Kesan : Hipertensi sekunder ec renovaskuler Advise: 

Konsul Kardiologi



Terapi lanjut

Konsul Konsultan Kardiovaskular Kesan : Hipertensi sekunder ec renovaskuler Advise: 

Persiapkan PTRA



Terapi lanjut



Hipertensi Urgensi ec Hipertensi Renovaskular



Terapi lanjut



Konsul departement jantung untuk PTRA

A/

P/

25

18 Juli 2018 S/ nyeri kepala (+)↓, batuk (-),demam (-) O/

KU sedang

Kes

TD

Nadi

CMC 160/90 mmHg

Nafas T

VAS

80x/i 16 x/I 37oC

2

Keluar hasil laboratorium: 

Kolesterol total

: 238 mg/dl



HDL colesterol

: 39 mg/dl



LDL colesterol

: 166 mg/dl



Trigliserida

: 164 mg/dl

Kesan: Dislipidemia Konsul Konsultan Endokrin Metabolik Diabetes Kesan : Hipertensi sekunder ec renovaskuler dengan dislipidemia Advise: 

Simvastatin 1x40mg (po)



Hipertensi Renovaskular pro PTRA



Terapi lanjut



PTRA hari ini

A/

P/

19 Juli 2018 S/ nyeri kepala (-), batuk (-),demam (-) O/

KU sedang

Kes

TD

CMC 130/80 mmHg

Nadi

Nafas

84x/i 16 x/I

T 37oC

VAS 2

A/ •

Hipertensi Renovaskular post PTRA



Rawat jalan



Brilinta 2x90 mg (5 hari)



Aspilet 1x160 mg (5 hari)



Simvastatin 1x40mg

P/

26

DISKUSI Telah dirawat Seorang pasien perempuan, usia 30 tahun, di bangsal Penyakit Dalam RSUP dr. M.Djamil sejak tanggal 16 juli 2018, pukul 11.00 WIB dengan diagnosis: 

Hipertensi urgensi ec renovaskuler

Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa ditemukan adanya sakit kepala berulang, riwayat keluarga yang tidak ada hipertensi sebelumnya, dan peningkatan tekanan darah yang terjadi pada usia muda. Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 190/120mmHg dan tidak adanya bising/bruit epigastrium. Namun menurut literature bahwa bruit eigastrium dapat ditemukan sebanyak 70% kasus. Pada urinalisa tidak ditemukan adanya proteinuria. Proteinuria disebabkan terjadinya hipertensi intraglomerular sebagai akibat transmisi tekanan sistemik yang meningkat pada ginjal kontralateral yang tidak terjadi stenosis arteri renalis. Pemeriksaan penunjang radiologis yang lain tidak selalu dapat dilakukan karena memerlukan biaya mahal dan tidak selalu tersedia. Angiografi dilakukan merupakan baku emas pemeriksaan dan ditemukan adanya stenosis arteri renalis sebesar 51%. Skrining dilakukan pada kelompok pasien yang mempunyai gambaran klinik yang mencurigakan kemungkinan hipertensi renovaskuler yaitu: hipertensi yang timbul pada usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 50 tahun. Tanda dari hipertensi renovaskular adalah terjadinya peningkatan tekanan darah diastolik yang tidak dapat dikontrol dengan terapi hipertensi umumnya. Perlu dipikirkan pada anak-anak, remaja, wanita muda, dan pria yang menderita aterosklerosis kemungkinan adanya penyakit oklusi arteri renalis bila mereka menderita hipertensi. aterosklerotik pada penderita rata-rata berumur 50 tahun, memiliki tekanan sistolik yang lebih tinggi, lebih sering terdapat penyakit vaskular ekstrarenalis dan lebih mudah terjadi kerusakan organ dibandingkan dengan hipertensi esensial, hiperplasia fibromuskular rata-rata terdapat pada penderita umur 35 tahun, kebanyakan perempuan dan sedikit terkena kerusakan organ.

27

Selain itu pasien yang menderita aterosklerotik rata-rata memiliki kenaikan berat badan 15% dari berat badan ideal. Terapi medis dengan obat-obat antihipertensi dapat mengontrol hipertensi tetapi tidak berefek terhadap progresifitas kelainan tersebut. Oleh karena itu pendekatan konservatif dengan terapi medis bukan merupakan pilihan utama, setiap kasus harus dicari penyebabnya. Renografi merupakan salah satu diagnostik yang sering dipakai untuk menilai fungsi dari keseluruhan perfusi dan fungsi, serta menilai vaskular pada pasien ini pemeriksaan diagnostik tersebut dapat dilakukan dengan hasil stenosis arteri renalis sinistra proximal 51%, dan kemudian dilakukan tindakan pelebaran arteri dengan PTRA (percutaneus transluminal renal angiografi) tanpa stent, sehingga penyempitan arteri renalis dapat teratasi. Setelah tindakan PTRA, tekanan darah pasien kembali normal 130/80. Pada pasien tidak dipasang stent dikarenakan ukuran arteri renalis pasien 7mm sedangkan stent yang tersedia 5mm Pada pasien setelah pulang dari rawatan diberikan edukasi agar tetap mengontrol tekanan darah walaupun telah normal, karena ada kemungkinan penyempitan kembali pada arteri renalis sebab tidak dipasangnya stent pembuluh.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Fry WJ, Fry RE. Surgically correctable hypertension. In : Schwartz, Shires, Spencer. editors. Principle of surgery. 5th ed. New York: McGrawHill Information Services Company; 1989. p. 1041 – 59. 2. Van de Ven PJG, Beutler JJ, Kaatee R, Beek FJ, Mah WP, Koomans HA. Angiotensin converting enzyme inhibitor-induced renal dysfunction in atherosclerotic renovacsular disease. Kidney Int 1998;53 : 986-93. 3. Brett AS. The Captopril test for diagnosis renovascular hypertension, Journal

Watch,

27

March

1990.

Available

from

URL:

http://www.jwatch.org/gm/current.shtml. 4. Franklin SS. Renovascular. In: Shaul GM, Richard JG. Textbook of nephrology Vol.2, 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1988. p.1081 – 9. 5. Gunnels JC,Sabiston DC. The surgical management of renovascular hypertension. In: Davis- Christopher. Textbook of surgery. 11th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1981. p. 2001 – 8. 6. Ramsey LE, Waller PC. Blood pressure response to percutaneous transluminal angioplasty for renovascular hypertension: an overview of published series. Br Med J 1990;300: 569-72. 7. Mc Biles, Williams SC. Renovascular hypertension. J Nucl Med 1995: 6. 8. Olin JW, Piedmonte MR, Young JR, De Anna S, Grubb M, Childs MB. The utility of duplex ultrasound scanning of the renal arteries for diagnosing significant renal artery stenosis. Ann Intern Med 1995;122 : 833-8. 9. Nayler WG. Amlodipine: an overview. Clinical drug investigation;1997:l3 ( Suppl.1) :1-9. 10. Piestley JT. The kidneys, ureters, and suprarenal glands. In: Hollinshead WH. Editor. Anatomy for surgeon.Vol.2.A Tokyo: John Weatherhill Inc.; 1966. p. 533-81. 11. Rodriguez-Lopez JA, Werner A, Renal artery stenosis treated with stent deployment. J Vasc Surg 1999; 29: 617 – 24..

29

12. Romanes GJ. The Kidneys. In Cunningham’s Manual of Practical Anatomy. Vol. 2. 14th ed. Oxford: University Press; 1977.p. 143 – 7. 13. Rogers AW. The kidneys and ureters. In : Textbook of anatomy. 1st ed. New York: Churchill Livingstone; 1992.p. 632 – 3. 14. Sosa RE, Vaughan, ED. Renovascular hypertension. In : Smith’s general urology, 14th ed. Lange medical Book, Prenctice-Hall International Inc.; 1995.p.728 – 36. 15. Tanagho EA. Anatomy in the genitourinary tract. In : Smith’s general urology. 14th ed. Lange Medical Book, Prentice-Hall International Inc.; 1995.p. 1- 3.

30

Related Documents

Case .docx
June 2020 7
Case .docx
May 2020 19
Case 5.docx
June 2020 5
Summary ( Case Study).docx
December 2019 13
Case-1.docx
June 2020 5
Case 1.docx
May 2020 20

More Documents from "mae"