Case 3 Hiperbilirubin.docx

  • Uploaded by: Desi Purnamasari Yanwar
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case 3 Hiperbilirubin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,201
  • Pages: 36
BAB I LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Desi Purnamsari Yanwar

Pembimbing : dr. Arifiyah, Sp.A

NIM

Tanda tangan :

: 030.14.047

1.1 IDENTITAS PASIEN DATA

PASIEN

AYAH

IBU

Nama

By.Ny. R

Tn.D

Ny.R

Umur

3 hari

28 tahun

24 tahun

Jenis Kelamin

Laki-laki

Laki-laki

Perempuan

Alamat

Panggung Timur RT 08/ RW 05

Agama

Islam

Islam

Islam

Suku Bangsa

Jawa

Jawa

Jawa

Pendidikan

-

SMA

SMA

Pekerjaan

-

Karyawan

Ibu Rumah Tangga

Penghasilan

-

+ Rp. 5.000.000 per Bulan

Keterangan

Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung

Asuransi

BPJS Non PBI

No. RM

941993

1

1.2 ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 11.00 WIB, di Ruang Dahlia Kardinah Tegal a. Keluhan Utama: Bayi Tampak Kuning b. Keluhan Tambahan: demam c. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien pindahan dari ruang mawar pada tanggal 14 Maret 2015 dengan keluhan bayi tampak kuning. Lahir bayi laki-laki dari ibu berusia 21 tahun P1A0 lahir aterm (40 minngu), secara SC tanggal 12/03/19 pukul 12.10am atas indikasi oligohidramnion dan fetal distress di RSUD Kardinah tegal dengan berat badan lahir rendah (2300 gram), PB 46cm, LK 31cm, LD 32cm, air ketuban berwarna hijau, bayi langsung menagis dengan, APGAR skor 8-8-9, anus (+). Setelah bayi lahir langsung dilakukan Inisiasi menyusui dini. Setelah lahir bayi berada di ruang perawatan gabungan bersama Ibu pasien, bayi bergerak aktif, warna kulit kemerahan. Satu hari setelah lahir (13/03/19), bayi tampak kuning dan terdapat demam dengan suhu 37,8 C. Buang air besar tidak tampak seperti dempul dan buang air kecil tidak tampak berwarna teh pekat. d. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat ibu sakit tekanan darah tinggi selama kehamilan disangkal. Riwayat sakit kuning, kelainan darah dan kekurangan darah dalam keluarga disangkal. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan/jamu selaindari bidan selama hamil/saat bersalin disangkal. riwayat memelihara kucing disangkal. e. Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien berprofesi sebagai Pengajar dengan penghasilan ± Rp 5.000.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup. f. Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal Anemia (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-), sakit kuning (-), kelainan darah (-). penyakit jantung (-), Kehamilan Morbiditas kehamilan

penyakit paru (-), merokok (-), infeksi (-), perdarahan (-), selama kehamilan mengalami demam (-), minum alkohol (-)

2

Oligohidramnion, fetal distress Kontrol ke dokter spesialis kandungan TM 1 : 3x TM II : 2x Perawatan antenatal

TM III : 3x Riwayat imunisasi TT (+) 1 kali, konsumsi suplemen selama kehamilan (+), riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu (-)

Tempat persalinan

RSUD Kardinah Tegal

Penolong persalinan

Dokter

Cara persalinan

Sectio Caesaria

Masa gestasi

40 minggu

Air ketuban

Hijau Berat lahir: 2300 gram Panjang lahir: 46 cm

Kelahiran

Lingkar kepala: 31 cm Lingkar dada : 32 cm Keadaan bayi Bayi langsung menangis Kemerahan Nilai APGAR: 8-8-9 Kelainan bawaan: -

Kesan : Riwayat perawatan antenatal baik, Neonatus aterm, lahir SC atas indikasi oligohidramnion dan fetal distress, air ketuban hijau, bayi dalam keadaan bugar.

g. Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kelahiran belum dapat dievaluasi. h. Corak Reproduksi Ibu Pasien adalah anak pertama, dari ibu P1A0 i.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Berat badan lahir 2300 gram, panjang badan 46 cm, lingkar kepala 31 cm. 3

Berat badan usia 2 hari : 2180 gram Berat badan usia 3 hari : 2315 gram

j.

Riwayat Makan dan Minum Bayi mengkonsumsi ASI dari Ibu Kandung pasien, sebanyak kurang lebih 10cc setiap menyusui, frekuensi menyusui setiap 2 jam. Karena jumlah ASI ibu yang masih sedikit yang keluar, ditambahkan PASI untuk memenuhi kebutuhan bayi.

k. Riwayat Imunisasi Imunisasi Hepatitis B sesaat setelah lahir

Riwayat pernikahan Ayah

Ibu

Nama

Tn. M

Ny. K

Perkawinan ke-

1

1

Umur saat menikah

31 tahun

28 tahun

Pendidikan terakhir

SD

SMP

Suku

Jawa

Jawa

Agama

Islam

Islam

Keadaan kesehatan

Sehat

Sehat

Kosanguinitas

-

-

Golongan darah

AB

O

1.3 PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 15 Maret 2019, pukul 11:30 WIB, di Ruang Dahlia RSU Kardinah Tegal.

I. Keadaan Umum Tampak sakit ringan, tanda-tanda preterm (-), bergerak aktif, menagis kuat, bayi tampak kuning, tidak tampak sesak

II. Tanda Vital Tekanan darah

: Tidak dilakukan pemeriksaan 4

Nadi

: 122x/menit reguler, kuat, isi cukup

Laju nafas

: 38x/menit

Suhu

: 36,8 oC, Axilla

SpO2

: 98%

III. Data Antropometri Berat badan sekarang

: 2315 gram

Panjang badan sekarang

: 46 cm

Lingkar Kepala

: 31 cm

IV. Status Internus  Kepala

: Normosefali, ubun-ubun kecil teraba datar tidak tegang,

mollage (-), kaput seksedaneum (-), sefal hematom(-)   Rambut : Hitam, tampak terdistribusi merata, tidak mudah dicabut  Mata

: Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-

/-), mata cekung (-/-)  Hidung

: Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas

cuping hidung (-)  Telinga

: Normotia, discharge (-/-), pinna keras, berbentuk dan recoil

segera  Mulut

: Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-

)  Leher

: Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB

 Thorax

: Dinding thorax normothorax dan simetris

o Paru :  Inspeksi : Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi (-), aerola mammae penuh benjolan 3mm  Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal  Perkusi : tidak dilakukan  Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-). o Jantung : 5

 Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

 Palpasi

: Iktus kordis teraba di ICS IV 1 cm midklavikula

sinistra, thrill (-)  Perkusi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

 Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),

gallop (-)  Abdomen :  Inspeksi

: Datar, simetris

 Auskultasi

: Bising usus (+)

 Palpasi

: Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik,

hepar tidak teraba, lien tidak teraba , ascites (-)  Perkusi

: Redup di 2 kuadran atas, timpani 2 kuadran

bawah  Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin perempuan  Anorektal : Anus (+)  Kulit

: Warna kulit merah, ikterik (+), lanugo umunya tidak ada

 Refleks Primitif : Refleks Oral Refleks Hisap

: (+)

Refleks Rooting

: (+)

Refleks Moro

: Tidak dilakukan

Refleks Palmar Grasp : (+) Refleks Plantar Grasp : (+)  Ekstremitas

: Keempat ekstrimitas lengkap, simetris Superior

Inferior

Akral Dingin

-/-

-/-

Akral

-/-

-/-

CRT

<2”

<2”

Oedem

-/-

-/-

Tonus Otot

hipotonus

hipotonus

Trofi Otot

Normotrofi

Normotrofi

Sianosis

6

Ref. Fisiologis

+

+

Ref. Patologis

-

-

1.4. PEMERIKSAAN KHUSUS D. PEMERIKSAAN KHUSUS • Maturitas Bayi Berat badan lahir : 2300 gram Usia kehamilan : 40 minggu Kesan: Neonatus cukup bulan, kecil masa kehamilan

7

• New Ballard Score

Maturitas neuromuskuler

Poin

Maturitas fisik

Poin

Sikap tubuh

4

Kulit

4

Jendela siku-siku

3

Lanugo

3

Rekoil lengan

3

Lipatan telapak kaki

4

Sudut popliteal

4

Payudara

2

Tanda Selempang

3

Bentuk telinga

3

Tumit ke kuping

3

Genitalia (perempuan)

2

Total

20

Total

18

Score = maturitas neuromuskular + maturitas fisik = 20+18 = 38 poin = 38 minggu 8

Kesan : maturitas bayi aterm 40 minggu • Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Lingkar kepala bayi lahir : 31 cm Kesan: Mikrosefali • Bell Squash Score Parameter

Skor

Partus tindakan (SC, forcep, vakum ekstraksi, sungsang)

1

Ketuban tidak normal

1

Kelainan bawaan

0

Asfiksia

0

Preterm

0

Berat badan lahir rendah

1

Infeksi tali pusat

0

Riwayat penyakit Ibu

0

Riwayat penyakit kehamilan

1

Total Skor

4

Kesan ≥4 : Neonatal infeksi 9

• Gupte Score Prematuritas

0

Cairan amnion berbau busuk

2

Ibu demam

0

Asfiksia (APGAR menit 1 ≤ 6)

0

Partus lama

0

Vagina tidak bersih

0

KPD

0

Total Skor

2 Kesan: Skrining Neonatal infeksi

Faktor Resiko Pemberian Antibiotik Bayi Baru Lahir Untuk Infeksi 

Demam pada ibu > 38o C



Ketuban pecah > 18 jam



Nyeri tekan uterus



Air ketuban hijau kental



Berbau Bila ada salah satu faktor risiko dan ibu mendapat antibiotik < 4 jam maka

beri ampicillin dan gentamicin sesuai protokol, pada pasien terdapat faktor resiko

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal: 

Laboratorium Darah 13/02/19

Nilai Rujukan

Hemoglobin

16,2

12.7 – 18.7 g/dl

Lekosit

6,3

13.0 – 38.0 103/µl

Hematokrit

49,9

44 – 72 %

Trombosit

240

229 – 553 103/µl

CBC

10

Eritrosit

4,7

4.3 – 6.3 106/µl

RDW

18,2 (H)

11,5 – 14,5%

MCV

106,2

98 – 122 U

MCH

38,7 (H)

33 – 41 Pcg

MCHC

36,5 (H)

31 – 35 g/dl

Netrofil

53,5

%

Limfosit

29,5

%

Monosit

14,5

%

Eosinophil

2

%

Basophil

0,4

%

POS 6

Negatif

40 (L)

50,0-60,0 mg/dL

Diff

Sero Imunologi CRP Kimia klinik Glukosa sewaktu

Golongan darah + Rhesus Golongan darah

B

Rhesus

Positif

Kimia klinik Bilirubin total

24,51 (H)

Bayi 1-2 hari : 2,0-6,0mg/dl

Bilirubin direk

0,43 (H)

0 – 0,20 mg/dl

Bilirubin indirek

24,08 (H)

0 – 0,75 mg/dl

1.6. RESUME lahir bayi laki-laki dari ibu berusia 24 tahun yang merupaka kehamilan pertama. Bayi lahir secara SC atas indikasi oligohidramnion dan fetal distress dengan usia kehamila 40 minggu. Bayi lahir berat badan 2300 gram, langsung menangis, air ketubah berwarna hijau. APGAR score 8-8-9, gerak bayi aktif, tonus otto baik, warna kulit kemerahan. Bayi usia 34 jam tiba-tiba terlihat ikterik dan terdapat demam dengan suhu 37,8. 11

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kuning pada bayi dengan derjat kramer 4. Pada pemeriksan penunjan didapatkan bilirubin total 24,51 mg/dl, bilirubin direk 0,43 mg/dl, bilirubin indirek 24,08 mg/dl dan CRP POS 6.

1.7 DAFTAR MASALAH 

Subjective : o Bayi tampak kuning o Demam o Tidak menyusu sedikit-sedikit o Golongan darah ibu : O, ayah : AB o Riwayat kehamilan : oligohidramnion + fetal distress o Riwayat persalinan : persalinan SC, air ketuban hijau



Objective o Ikterik Kramer IV o BBLR (2300gr) o Kurva Lubchenko : Kecil masa kehamilan o Bell Squash Score 4 : Neontal infeksi o Hyperbilirubinemia (bilirubin total 24,51 mg/dl, bilirubin direk 0,43 mg/dl, bilirubin indirek 24,08 mg/dl) o CRP POS 6

1.8 DIAGNOSIS BANDING Hiperbilirubinemia

 ABO Inkompibilitas  Inkompibilitas rhesus  Breast feeding jaundice

Demam

 Neonatal infection

Males menetek Neonatal aterm

 SMK (Sesuai Masa Kehamilan)  BMK (Besar Masa Kehamilan)  KMK (Kecil Masa Kehamilan)

1.9 DIAGNOSIS KERJA 12



Neonatal Hiperbilirubinemia



Neonatal infection



BBLR



Nenonatal aterm Kecil Masa Kehamilan

1.10 PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa 

Fototerapi 2 x 24 jam



Diet 8-12 x 20cc

b. Medikamentosa

1.11

1.12



Infus D10% 90cc/kg/hari



Inj. Picyn 2 x 175mg



Inj. Gentamicin 1 x 10mg

PROGNOSIS Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

Quo ad fungtionam

: Dubia ad bonam

PEMERIKSAAN ANJURAN



Gambaran darah tepi



Hitung retikulosit



Pemeriksan Coombs, terutama yang direk berguna untuk mengetahui apakah terdapat antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus

FOLLOW UP (R. DAHLIA ) 15/03/2019 Perawatan hari ke-3 S

Bayi usia 3 hari. Bayi gerak aktif (+), tampak kuning (+), Demam (-), tampak sesak (-), kejang (-), mau menyusu (+), sedang menjalani fototerapi 13

O

KU: Gerak aktif (+) TTV: HR 100x/m, RR 38x/m, S 36,8 0C, SpO2 98%. Status generalis: Kepala: Normocephali Mata : SI -/- , CA -/Thoraks : -

Inspeksi: retraksi (-)

-

Auskultasi paru: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-).

-

Auskultasi jantung: BJ I-II reguler, m (-), g (-)

Abdomen: Supel, distensi (-), BU(+) , turgor kulit baik. Ekstremitas: AH(+/+), OE (-/-), ctr < 2’’, ikterik (+) kramer IV BB : 2375kg A

P



Neonatal Hiperbilirubinemia dd ABO Inkompabilitas



Neonatal infection



BBLR



Infus D10% 90cc/kg/hari



Inj. Viciin 2 x 175mg



Inj. Gentamicin 1 x 10mg



Foto terapi 2 x 24 jam (selesai tgl 16/03/19 pukul 12.00)

14

ANALISA KASUS Anamnesis o o o o o o o

Bayi tampak kuning Demam Tidak menyusu sedikit-sedikit Anak pertama Golongan darah ibu : O rhesus +, Ayah : AB rhesus + Riwayat kehamilan : oligohidramnion + fetal distress Riwayat persalinan : persalinan SC, air ketuban hijau

Pemeriksaan fisik  Ikterik Kramer IV  BBLR (2300gr)  Kurva Lubchenko : Kecil masa kehamilan  Bell Squash Score 4 : Neontal infeksi  Hyperbilirubinemia  CRP POS 6  Gol darah : B, Rhesus +

o

Laboratorium 

   

Darah tepi lengkap o Bilirubin total : 24,51 (H) o Bilirubin direk : 0,43 (H) o Bilirubin indirek : 24,08 (H) CRP : POS 6 GDS : 40 (L) Golongan darah : B Rhesus : Positif

Hiperbilirubinemia

Fisiologis

Patologis

Inkompabilitas ABO

Inkompabilitas Rhesus

Infeksi

15



Penegakan diagnosis o Dari anamanesis didaptkan bahwa pasien merupakan anak pertama, dan ibu pasien mempunyai golongan darah O dan ayah gol darah AB, dan dari pemeriksaan golongan darah dan rhesus pasien mempunyai golongan darah B, rhesus +. o Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari, sedangkan jika kadarnya >15 mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus patologik. o Pada pasien ini masuk pada kategori hyperbilirubinemia patologis karena terdapat kadar bilirubin >12 mg/dl pada neonates aterm dan kadar bilirubin direk >2mg/dl. Dimana penyebab tersering adalah hemolysis akibat inkompabilitas golongan darah ABO. o Salah satu penyebab icterus patologis pada bayi baru lahir adalah inkompabilitas ABO, hal ini sering terjadi pada ibu dengan golongan darah O mempunyai anak pertama yang mempunyai golongan darah A atau B. Hal tersebut sesuai dengan pasien ini. o Ibu yang golongan darah O secara alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-B pada sirkulasinya (Nartono, 2013). Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi. Sebagian besar secara alamiah, membentuk antiA atau anti-B berupa antibody IgM (Immunoglobulin M) yang tidak melewati plasenta. Beberapa ibu juga relative mempunyai kadar IgG (Immunoglobulin G) anti-A atau anti-B yang tinggi 15 yang potensial menyebabkan eritroblastosis karena melewati plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih tinggi daripada ibu dengan golongan golongan darah A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O. Penyakit jarang terjadi bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B.

16

o Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus akibat inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut: (1) ibu memiliki golongan darah O dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A,B, atau AB; (2) ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama; (3) terdapat anemia, retikulositosis, dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi; dan (4) kasus hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti. 

Pemeriksaan anjuran o Pemeriksaan sedian apus darah tepi – untuk melihat morfologi dari eritrosit o Perhitungan retikulosit o Tes Coomb - untuk mengetahu apakah terdapat antibody yang menyerang sel-sel darah merah. o Pemeriksaan golongan darah dan rhesus ibu



Rencana tata laksana o Farmakologi 

Penatalaksanaan farmakologi pertama adalah pemberian obat pengikat bilirubin. Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat,

o Non-farmakologi o Fototerapi 

Lakukan terapi sinar jika nilai klinisi biblirubin memenuhi kriteria : 

Bayi sehat dan faktpr risiko



BBLR

17



Pada pasien ini telah masuk dalam kategori yang membutuhkan fototerapi. Pasien sedang menjalani fototerapi 2 x 24jam. Bila setelah fototerapi nilai bilirubin total dan indirek masih tinggi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan transfuse tukar. Sebelum transfuse tukar dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang diperantarai oleh antibody.



Nutrirsi 

Kebutuhan kalori : RDA x BB ideal 



100 x 2,5 = 250 kalori/hari

Pertimbangkan pemeberian Pengganti Air Susu Ibu, karena ASI ibu belum banyak, bayi hipoglikemia (GDS : 40 mg/dl) dan juga bayi kecil untuk masa kehamilan.



Neonatal infeksi o Pada pasien didapatkan

demam naik turun, malas minum, terdapat

penurunan berat badan, nilai bell squash 4,dan didapatkan nilai CRP Positif 6 o Pada pasien terdapat faktor risiko air ketuban berwarna hijau kental maka pasien diberikan ampicilin dan gentamicin.

18

19

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Hiperbilirubinemia 3.1.1. Pengertian Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah meningkat secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan perubahan warna kning pada kult dan mata pada bayi baru lahir atau biasanya disebut dengan jaundice. Hiperbilirubinemia juga merupakan peningkatan kadar bilirubin serum yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan seperti, kelainan bawaan dan dapat menyebabkan ikterus (Imron, 2015). Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar serum bilirubin di dalam darah meningkat dan melebihi batas nilai normal bilirubin serum. Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahirannya. Hal ini dapat disebabkan karena meningkatnya produksi bilirubin atau megalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013). Berikut ini adalah tabel hubungan kadar bilirubin dengan daerah icterus menurut Kramer (Mansjoer, 2013). Tabel 1. Hubungan Kadar Bilirubin dengan Daerah Ikterus

3.1.2. Etiologi Hiperbilirubinemia Hal yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada umunya adalah hemolisis yang timbul akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD). Hemolisis ini dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup atau inkompatabilitas golongan darah Rhesus (Rh). Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia seperti penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain yang juga merupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan polisitemia Peningkatan kadar bilirubin dalam tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Misalnya, pada penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, 20

memendeknya

umur

eritrosit

janin,

atau

terdapatny

peningkatan

sirkulasi

enterohepatik. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah jika terdapat gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra maupun ekstra hepatik (Anggraeni, 2014). Pada derajat tertentu, bilirubin akan bersifat toksik dan dapat merusak jaringan tubuh. Toksisitas ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Hal ini dapat memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi disebut kern icterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya kelainan tersebut dapat terjadi pada sususnan saraf pusat jika kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dL. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi (Gunasegaran, 2013). 3.1.3. Patofisiologi Hiperbilirubinemia Menurut Sacher (2004), bilirubin merupakan produk penguraian dari hemoglobin. Sebagaian besar dari penguraian hemoglobin yaitu sebanyak 85 – 90% dan sebagaian kecil berasal dari penguraian senyawa lain seperti myoglobin sebanyak 10 – 15%. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang dibebaskan sel darah merah kemudian besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis selanjuttnya (Gunasegaran, 2013). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati pada batas normal untuk mengekskresikan bilirubin yang telah dihasilkan dalam jumlah yang normal. Obstruksi saluran ekskresi hati juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Bilirubin akan tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka senyawa ini akan berdifusi kedalam jaringan yang kemudian akan menjadi kuning atau ikterus (Khusna, 2013). 3.1.4. Klasifikasi Hiperbilirubinemia 1. Hiperbilirubinemia Fisiologis Hiperbilirubinemia fisiologis tidak terjadi pada hari pertama setelah bayi dilahirkan (muncul setelah 24 jam). Biasanya peningkatan bilirubin total tidak lebih dari 5 mg/dL perhari. Pada bayi cukup bulan peningkatan bilirubin mencapai puncaknya pada 72 jam dengan serum bilirubin sebanyak 6 – 8 mg/dL. Selama 3 hari, kadar bilirubin akan meningkat sebanyak 2 – 3 mg/dL dan pada hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3 mg/dL (Hackel E, 2013) Setelah hari ke-5, serum bilirubin akan turun secara 21

perlahan sampai dengan normal pada umur bayi sekitar 11 – 12 hari. Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) atau pun prematur bilirubin mencapai puncak pada 120 jam dengan peningkatan serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer, 2013) 2. Hiperbilirubinemia Patologis / Non Fisiologis Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus akan timbul dalam 24 jam pertama setelah bay dilahrikan. Serum bilirubin totalnya akan meningkat lebih dari 5 mg/dL perhari. Pada bayi cukup bulan, serum bilirubin total meningkat sebanyak 12 mg/dL, sedangkan pada bayi prematur serum bilirubin total meningkat sebanyak 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung lebih dari satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi prematur (Imron R, 2015). Pembentukan bilirubin yang berlebihan dapat disebabkankarena adanya hemolisis, hemoglobin (Hb) dan eritrosit abnormal (Hb S pada anemia sel sabit), inkompabilitas ABO, defisiensi enzim Glucose 6 Phosphate Dehydrogenase (G6PD), sepsis, obat-obatan seperti oksitosin, pemotongan tali pusat yang lambat, dan sebagainya (Milla T, 2012).

3.1.5. Manifestasi Klinis Hiperbilirubinemia Pada bayi baru lahir dapat di katakan hiperbilirubinemia jika bayi baru lahir tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin nya sebesar 5 mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013). Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubinindirek pada kulit yang mempunyai kecendrungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk biasanya menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor. Biasanya perbedaan ini ditemukan pada ikterus yang kronis (Ngatisyah, 2013). Gejala hiperbilirubinemia dapat dikelompokkan menjadi dua fase yaitu fase akut dimana bayi merasakan letargi atau perasaan lemas, tidak mau menghisap putting susu ibu, feses dan urin berwarna gelap. Pada fase kronik, bayi akn mengelurakan tangisan yang melengking (high pitch cry), mengalami kejang, perut membuncit disertai pembesaran hati, tampak mata seperti berputar-putar, dan dapat menyebabkan tuli, gangguan bicara, dan gangguan mental (Suframanyan, 2014).

3.1.6. Penegakkan Diagnosis Hiperbilirubinemia Penengakkan diagnosis pada hiperbilirubinemia dapat dilakukan dengan cara menganamnesis bagaimana riwayat kehamilan sang ibu, apakah ada komplikasi seperti diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi, adanya kemungkinan infeksi virus seperti 22

toksoplasma. Bagaimana riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama kehaliman, apakah berpotensi menggeser ikatan bilirubin dengan albumin atau dapat mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD. Bagaimana riwayat persalinan, apakah terdapat persalinan traumatik yang dapat menyebabkan pendarahan atau hemolisis, apakah saat persalinan bayi mengalami asfiksia atau tidak. Bagaimana riwayat ikterus dan terapi sinar pada bayi sebelumnya, apakah ada riwayat inkompatibilitas darah, bagaimana riwayat kesehatan keluarga, apakah ada yang menderita anemia, perbesaran hepar dan limpa (IDAI, 2013). Tabel 2. Penegakkan Diagnosis Ikterus Neonatorum Berdasarkan Waktu Kejadiannya

23

3.2. Inkompatibilitas ABO 3.2.1. Pengertian Inkompatibilitas ABO Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama akibat ketidakcocokan atau inkompatibilitas golongan darah ABO saat melakukan transfusi sehingga terjadi reaksi hemolisis intravaskular akut dan juga dapat disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen dan antibodi yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan. Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO). Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10 – 50 ml), namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak reaksi hemolysis intravaskular akut adalah inkompatibilitas ABO (Khusna, 2014). Peyebab kedua yang mengakibatkan inkompatibilitas pada golongan darah ABO adalah reaksi imunitas antara antigen dan antibodi pada ibu dan janin yang dikandungnya. Inkompatibilitas pada golongan darah ABO terjadi jika ibu golongan darah O mengandung janin golongan darah A atau B. Ibu yang golongan darah O secara alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-B pada sirkulasinya (Nartono, 2013). Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi. Sebagian besar secara alamiah, membentuk antiA atau anti-B berupa antibody IgM (Immunoglobulin M) yang tidak melewati plasenta. Beberapa ibu juga relative mempunyai kadar IgG (Immunoglobulin G) anti-A atau anti-B yang tinggi yang potensial menyebabkan eritroblastosis karena melewati plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih tinggi daripada ibu dengan golongan golongan darah A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O. Penyakit jarang terjadi bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Kehamilan pertama sering terkena sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan melalui kontak dengan antigen A dan B. Penyakit tidak memburuk pada kehamilan berikutnya yang juga terkena dan jika ada penyakitnya cenderung menajdi lebih ringan

3.2.2 Penegakan diagnosis Anamnesis

24

Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain: 1. Identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa 2. Keluhan utama, sejak kapan. 3. Riwayat penyakit sekarang o Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan: 

Sejak kapan?



Bagaimana riwayat kelahiran?



Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?



Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?

4. Keluhan penyerta/keluhan lain 5. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien) o Usia kehamilan? o Pasien adalah anak ke-berapa? 

Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan apakah terjadi hal yang sama (ikterik juga/tidak) pada anak yang sebelumnya?

o Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit infeksi tertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll) o Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu? o Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah? (jika diketahui) o Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah sakit? o Adakah riwayat diabetes melitus? o Adakah riwayat penyakit berat yang lain? 6. Riwayat pribadi (ditujukan pada ibu pasien) o Bagaimana riwayat vaksinasi pasien? (Lengkap/tidak) o Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna obat-obatan, dan lain sebagainya) o Apakah ada riwayat alergi? o Apakah melahirkannya cukup bulan? Normal atau tidak? o Dimana terjadi proses kelahiran si bayi? 25

o Apakah si bayi minum asi? 7. Riwayat keluarga o Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit yang sama? o Apakah ada riwayat penyakit yang diturunkan?3

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada neonatus, terutama terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital mencakup tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan bayi untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru saja dilahirkan, setelah itu pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus pada bayi. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. Selain itu dapat juga kita melakukan penilaian icterus berdasarkan penilaian Kramer. Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusar, pusar bagian bawah sampai tumit, tumitpergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan anemia hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital. Temuan diagnosis yang tipikal pada bayi dengan ibu allo-imunisasi ialah ikterik, kulit pucat dan hepatosplenomegali, hidrops fetal dapat ditemukan pada kasus yang hebat. Ikterus yang terjadi umumnya baru bermanisfestasi segera setelah lahir atau di dalam 24 jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan dengan peningkatan cepat dari kadar bilirubin tidak terkonjugasi. Kadang-kadang, hiperbilirubinemia yang terkonjugasi dapat ditemukan dikarenakan disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada bayi-bayi dengan kasus hemolitik yang 26

berat. Anemia yang terjadi sering oleh karena destruksi sel darah merah yang diselimuti oleh antibodi oleh sistem retikuloendotelial dan pada beberapa janin, anemia terjadi karena destruksi intravaskuler. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa pada kasus berat dapat ditemukan hidrops fetal dan hidrops fetal ini merupakan hasil akhir dari kombinasi beberapa mekanisme tubuh yang terjadi di dalam tubuh janin, yaitu oleh karena hipoksia janin, anemia, gagal jantung kongestif, dan hipoproteinemia sekunder akibat disfungsi hepatik. Secara klinis, ikterus yang signifikan terjadi pada 20% janin dengan inkompatibilitas ABO.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang berguna terutama ialah dengan pemeriksaan darah. Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah dapat diamati pada bayi yang sudah melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan konsentrasi hemoglobin normal, dan temuan apus darah yang normal. Pemeriksan Coombs, terutama yang direk berguna untuk mengetahui apakah terdapat antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus. Janin kemudian dievaluasi dengan uji Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah merah yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif umumnya diserap oleh eritrosit janin D-positif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs direk. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam periode 1 hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu diidentifikasi dan ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan kekhawatiran karena antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis. Titer antibodi dikuantifikasi kemudian. Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui menyebabkan anemia hemolitik, dan jika titer di atas ambang kritis diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut. Untuk antibodi titer-D, titer di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan kematian janin pada penyakit hemolitik, meskipun hal ini bervariasi antara lab. Titer yang sama atau lebih dari kritis ini menandakan kemungkinan penyakit hemolitik yang parah. 27

Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek. Uji Coombs indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang terkena pada inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk akan positif hanya pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO. Karena pada kasus disebutkan bahwa anak tersebut datang dengan keluhan kuning, maka sebaiknya kita juga melakukan pemeriksaan kadar bilirubin. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total dan bilirubin direk. Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari, sedangkan jika kadarnya >15 mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus patologik.6 Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi : untuk mengetahui apakah terjadi inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah.

3.2.3 Diagnosis Kerja Dari skenario tersebut dan dari semua pemeriksaan yang dilaksanakan maka ditegakkanlah diagnose kerja yaitu penyakit hemolitik ec inkompabilitas ABO. Inkompatibilitas ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada neonatus. Sekitar 15% dari bayi yang lahir berisiko untuk mengalami hal ini, namun manifestasi nyata hanya terjadi pada sekitar 0,3-2,2%. Inkompatibilitas pada kelompok golongan darah mayor di antara ibu dan fetus umumnya akan berakhir pada kasus yang lebih ringan dibandingkan pada kasus inkompatibilitas Rh. Antibodi maternal dapat dibentuk untuk melawan sel B apabila ibu bergolongan darah A atau melawan sel A apabila ibu bergolongan darah B. Biasanya ibu bergolongan darah O dan bayi yang dilahirkannya bergolongan darah A atau B. Walaupun inkompatibilitas ABO terjadi pada 20-25% kehamilan, kasus hemolitik baru dapat berkembang pada sekitar 10% bayi baru lahir pada kehamilan tertentu, dan janin umumnya bergolongan darah A1 yang lebih antigenik dibandingkan dengan A2. Antigenisitas yang rendah dari faktor ABO pada fetus dan bayi yang baru dilahirkan dapat menjadi sebab insidens yang rendah untuk kasus hemolitik yang berat. Walaupun antibodi yang melawan faktor A dan faktor B terjadi tanpa imunisasi sebelumnya (antibodi natural), umumnya antibodi ini ialah IgM 28

yang tidak melewati plasenta. Namun, antibodi IgG terhadap antigen A dapat terbentuk dan inilah yang melewati plasenta, jadi kasus hemolitik akibat isoimun A-O dapat ditemukan pada anak pertama. Ibu yang sudah diimunisasi melawan faktor A atau faktor B dari kehamilan sebelumnya yang tidak kompatibel, dapat menghasilkan antibodi IgG. Inilah yang menjadi mediator primer dari kasus isoimun ABO. Diagnosis presumptif didasarkan pada keberadaan inkompatibilitas ABO, baik lemah hingga hasil tes Coombs positif yang moderat, sferosit pada sediaan apus sel darah,

yang

mungkin

saja

mengindikasikan

adanya

sferositosis

herediter.

Hiperbilirubinemia dapat menjadi satu-satunya abnormalitas pada pemeriksaan lab. Kadar hemoglobin umumnya normal, namun dapat juga mencapai angka 10-12 g/dL. Retikulosit dapat meningkat hingga 10-15%, dengan polikromasia meluas dan peningkatan dari sel darah merah yang mengalami nukleasi. Pada 10-20% janin yang terkena, kadar bilirubin serum yang tidak terkonjugasi dapat mencapai 20 mg/dL atau lebih kecuali fototerapi segera dimulai.7 Inkompatibilitas ABO berbeda dengan inkompatibilitas Rh (antigen CDE) dikarenakan oleh beberapa alasan: (1) penyakit ABO sering dijumpai pada bayi yang lahir pertama (2) penyakitnya hampir selalu ringan daripada isoimunisasi Rh dan jarang menyebabkan anemia yang bermakna (3) sebagian besar isoantibodi A dan B adalah immunoglobulin M, yang tidak dapat menembus plasenta dan melisiskan eritrosit janin, oleh karena itu meski dapat menyebabkan penyakit hemolitik pada neonatus, namun isoimunisasi ABO tidak menyebabkan hidrops fetalis dan lebih merupakan penyakit pediatrik daripada obstetris (4) inkompatibilitas ABO dapat mempengaruhi kehamilan mendatang, tetapi tidak seperti penyakit Rh CDE, jarang menjadi semakin parah. Tidak diperlukan deteksi antenatal, induksi persalinan dini, atau amniosentesis, karena inkompatibilitas ABO tidak menyebabkan anemia janin yang parah. Akan tetapi, pada masa neonatus diperlukan perawatan yang cermat karena dapat terjadi hiperbilirubinemia yang membutuhkan terapi. Kriteria yang lazim digunakan untuk menegakkan hemolisis neonatus akibat inkompatibilitas ABO adalah sebagai berikut: (1) ibu memiliki golongan darah O dengan antibodi anti-A dan anti-B di dalam serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A,B, atau AB; (2) ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama; (3) terdapat anemia, retikulositosis, dan eritroblastosis dengan derajat bervariasi; dan (4) kasus hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.

29

Manifestasi klinis: Sebagian besar kasus bersifat ringan, dengan ikterus menjadi manifestas klinis satu-satunya. Bayi tidak terlalu terpengaruh di saat kelahiran, pucatnya kulit juga tidak ada, dan hidrops fetalis sangatlah jarang terjadi. Hati dan limpa tidak mengalami pembesaran yang berarti. Ikterus baru terjadi selama 24 jam pertama. Namun, kasus ini dapat menjadi parah dan tanda-tanda dari kernicterus dapat terlihat, walaupun sangat jarang terjadi.

3.2.4 Diagnosis Banding Hemolitik ec Inkompatibilitas Rh Hemolisis biasanya terjadi bila ibu mempunyai Rhesus NEGATIF dan anak mempunyai Rhesus POSITIF. Bila sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh sehingga membentuk antibodi terhadap Rh. Zat antibodi Rh ini dapat melalui plasenta dan masuk ke peredaran darah janin dan selanjutnya mengakibatkan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah merah dilakukan oleh tubuh bayi secara berlebihan, sehingga akan didapatkan sel darah merah berinti yang banyak. Oleh karena keadaan ini disebut Eritroblastosis Fetalis. Pengaruh kelainan ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, tetapi akan nyata pada anak yang dilahirkan selanjutnya.5 Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfusi darah yang inkompatibel atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai Rhesus POSITIF, pengaruh kelainan inkompabilitas Rhesus ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian.2,3,6 Characteristics

Rh

ABO

Clinical

5%

50%

aspects

First born

Later pregnancies More severe

No increased severity

Stillborn/hydrops Frequent

Rare

Severe anemia

Rare

Frequent

30

Jaundice

Moderate

to Mild

severe, frequent Late anemia

Frequent

antibody Positive

Rare

Laboratory

Direct

findings

test

positive

Indirect Coombs Positive

Usually

test

positive

Spherocytosis

Rare

Weakly

Frequent

Tabel 1. Perbandingan Antara Inkompatibilitas Rh dan ABO6

3.2.5 Komplikasi Komplikasi dari penyakit hemolitik adalah kernicterus yaitu keadaan dimana bilirubin terbawa oleh darah sampai ke otak sehingga menyebabkan kerusakan otak baik sementara maupun permanen. Selain itu jika terjadi anemia yang berat dapat menyebabkan gagal jantung. Dapat juga menyebabkan hidrops fetalis dimana janin yang cacat keluar spontan kira-kira pada usia kehamilan 17 minggu.

3.2.6 Penatalaksanaan Tatalaksana dari hiperbilirubinemia adalah salah satu fokus utama pada bayi dengan inkompatibilitas ABO. IVIG, dinyatakan sangat efektif ketika diberikan di awal terapi. Porfirin Tin (Sn), sebuah inhibitor heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat menurunkan produksi dari bilirubin dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan transfusi tukar. Fokus utama ditekankan pada manajemen dari hiperbilirubinemia.6 Farmakologi: 1. Obat Pengikat Bilirubin Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik nodalitas ini belum diteliti secara ekstensif. 2. Pem-blokade Perubahan Heme Menjadi Bilirubin

31

Modalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan cara menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan menghambat penguraian hem. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik seperti protoporfirin timah dan yang terbukti dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan meningkatkan ekskresi heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi toksisitas dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis obat ini belum diterapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia juga protoporfirin seng atau mesoporfirin4,8 Non-farmakologi 1. Fototerapi Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi. Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen setelah melakukan transfusi tukar. Beberapa penelitian menemukan bahwa seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa terapi sinar mengubah senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air. Namun, teori tersebut belum sepenuhnya benar dikarenakan adanya temuan bahwa penurunan kadar bilirubin darah yang tidak sebanding dengan jumlah dipirol yang terjadi, di samping itu pada terapi sinar juga ditemukan peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum. McDonagh dkk (1981) menemukan fakta bahwa secara in vitro maupun in vivo terjadi isomerisasi bilirubin pada bayi dengan terapi sinar, 32

fotobilirubin inilah yang menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus. Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi kritis, penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 1224 jam, dan harus terus dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Walaupun telah digunakan secara luas, terapi sinar masih

belum

dapat

menggantikan

transfusi

tukar

untuk

kasus

hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus. Oleh karena itu, bagian IKA FKUI-RSCM, menyatakan beberapa kondisi terapi sinar dapat dilakukan, antara lain pada (a) setiap saat apabila bilirubin indirek lebih dari 10 mg%, (b) pra-transfusi tukar, (c) pasca-transfusi tukar, (d) terdapat ikterus di hari pertama yang disertai proses hemolisis. Melihat beberapa keadaan itu, dapat disimpulkan bahwa terapi sinar terutama dilakukan untuk mencegah

hiperbilirubinemia

agar

tidak

mencapai

tingkat

yang

mengharuskannya dilakukan transfusi tukar. Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas bagian kulit bayi yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi terbanyak terjadi pada bagian perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan, jumlah energi cahaya yang menyinari kulit bayi, pengubahan posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber cahaya dengan bayi diatur agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak boleh melebihi 50 cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa didapatkan dari lampu neon 20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang sinar antara 350-470 nm. Selain penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula pleksiglas untuk memblokade sinar ultraviolet, dan filter biru untuk memperbesar energi cahaya yang sampai pada bayi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah: a. Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu bukalah pakaian bayi b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual

33

c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik untuk mendapat energi cahaya yang optimal d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi h. Lama terapi sinar dicatat Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum yang berarti, dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan metabolisme yang harus diperbaiki. Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada bayi dengan terapi sinar, antara lain peningkatan insensible water loss pada bayi sehingga perlu diberikan pemberian cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi meningkat akibat peningkatan peristatltik usus, dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, kerusakan retina yang dilaporkan pada hewan percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko retinopati pada bayi oleh karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting, hipokalsemia yang lebih umum nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang berlebihan. Walau begitu, terapi sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat aman dan tidak memiliki efek samping serius yang berkelanjutan, efek samping akan hilang ketika terapi dihentikan segera.4,8 2. Transfusi Tukar Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut: a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg% b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam c. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung

34

d. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk positif Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi. Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan ketika bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO sehingga jenis ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki risiko neurotoksisitas yang lebih tinggi dibanding ikterus

non-hemolitik.

Prosedur ini

dilakukan

dengan

mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga menghilangkan sekitar 80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi serta melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi. Prosedur ini bersifat invasif dan bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko mortalitas sebesar 1-5%, dapat pula berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC), infeksi, gangguan elektrolit, ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus dilakukan secara hati-hati. Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang diperantarai oleh antibodi.4,8

Tabel 2. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin4 35

Pencegahan Bentuk-bentuk pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kemungkinan hiperbilirubinemia pada bayi, antara lain: 1. Pengawasan antenatal yang baik. 2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa gestasi dan kelahiran, seperti sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain. 3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonates 4. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir 5. Pemberian makanan dini 6. Pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.

Prognosis Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun dapat berkurang sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin yang bertahan hidup dari gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau begitu, abnormalitas neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat beratnya anemia dan asfiksia perinatal. Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.

.

36

Related Documents

Case 3
August 2019 33
Case Study 3-3
April 2020 21
Court Case 3
June 2020 15
Case 3 - Dss.docx
November 2019 27
Fraud Case 3
November 2019 26
Case 3.pdf
December 2019 64

More Documents from "rakesh"

Case 3 Hiperbilirubin.docx
November 2019 26
Case 1 Brpn, Pertusis.docx
December 2019 29
Tata Laksana Konstipasi.docx
December 2019 26
Pemeriksaan Fisik Anak
November 2019 35
Case 2 Talassemia.pptx
December 2019 29
Brpn.docx
November 2019 22