Brpn.docx

  • Uploaded by: Desi Purnamasari Yanwar
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Brpn.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,712
  • Pages: 15
2.1

PNEUMONIA DEFINISI Pneumonia ialah suatu proses inflamasi pada parenkim paru dengan konsolidasi ruang alveolar disebabkan oleh mikroorganisme dan non-mikroorganisme yaitu aspirasi makanan atau isi lambung, hidrokarbon, bahan lipoid, reaksi hipersensititas, imbas obat dan radiasi. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi: 

Pneumonia lobaris



Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)



Pneumonia intertisial (bronkiolitis) Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus

atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Bronkopneumonia mengacu pada inflamasi paru yang terfokus pada area bronkiolus dan memicu produksi mukopurulen yang dapat menyebabkan obstruksi saluran respiratori berkaliber kecil dan menyebabkan konsolidasi yang merata ke lobulus yang berdekatan.

EPIDEMIOLOGI Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia kurang dari 5 tahun. Insiden pneumonia pada anak berusia <5 tahun adalah 10-20 kasus/ 100 anak di negara berkembang dan 2-4 kasus/ 100 anak/tahun di negara maju. Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).

ETIOLOGI Adapun mikroorganisme penyebab pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae (tersering), kemudian Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. selain itu dapat juga disebabkan oleh Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophyllus influenzae, Mycobacterium tuberculosis, Salmonella, Eschericia coli, Pneumocystis jiroveci.

Pada bayi dan anak < 5 tahun 45% pneumonia disebabkan oleh virus dan yang terbanyak yaitu respiratory syncytial virus dan virus influenza, dan penyebab yang lain adalah parainfluenza virus, adenovirus, rhinovirus, dan metapneumovirus. Penyebab tersering adalah respiratory syncytial virus (RSV) pada bayi dan anak berusia kurang dari lima tahun, dan Mycoplasma pneumonia pada anak berusia lebih dari 5 tahun. Streptococcus pneumonia terjadi pada anak segala usia, selain usia neonatus.

PATOFISIOLOGI Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negative.(3) Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S. pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar.(3) Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan.(3) Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M. catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering didapatkan

pada pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia. Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunisupresi disertai lekopeni.(3) Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.(3)

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu : 1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.(4) Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2. Stadium II (48 jam berikutnya).(4) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.(4)

3. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.(4) 4. Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.(4) Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.(5) Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :  Filtrasi partikel di hidung  Pencegahan aspirasi dengan system epiglottis  Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk  Pembersihan kearah system oleh mukosiliar  Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar  Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal  Drainase melalui system limfatik.

Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme pertahanan awal yang berupa filtrasi rambut hidung, refleks batuk dan aparatus mukosilier dan mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit,

komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol yang infeksius, dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulomonal. Dari ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi agen – agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas ( hidung, orofaring ) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur ( 50% ) juga pada keadaan penurunan kesadaran. Sekret dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8 – 10 /mL, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret ( 0,001 – 1,1 mL ) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan saluran napas bagian bawah, tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama. Gambaran patologi tergantung dalam batas tertentu tergantung pada agen etiologinya. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan eksudat intraalveolar supuratif disertai konsolidasi. Awalnya, mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Kemudian, disusul dengan konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel – sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel – sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimaakan. Secara garis besar terdapat 3 stadium, yaitu stadium prodromal, stadium hepatisasi, dan stadium resolusi. Pada stadium prodromal, yaitu 4 – 12 jam pertama, alveolus – alveolus mulai terisi sekret dari pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor yang ditimbulkan infeksi dengan

kuman patogen yang berhasil masuk. Pada 48 jam berikutnya, paru tampak merah dan bergranulasi, seperti hati, dimana alveoli terisi dengan sebukan sel – sel leukosit terutama sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman, yang disebut dengan stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, selama 3 – 8 hari, terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit fibrin dan leukosit yang semakin bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu. Sebagai akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat menjalankan fungsi pernapasan (jadi merupakan gangguan restriksi). Di samping itu, pada saat yang bersamaan juga ada peningkatan kebutuhan oksigen sehubung dengan panas yang tinggi. Proses radang juga akan mengenai pleura viseralis yang membungkus lobus tersebut. Dengan demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat. Nyeri dada ini juga akan menyebabkan ekspansi paru terhambat. Ketiga faktor ini akan menyebabkan penderita mengalami sesak napas, tetapi karena tak ada obstruksi bronkus, maka tidak akan terdengar wheezing. Bila penderita dapat mengatasi infeksi akut ini, maka pada hari ke – 7 sampai 11 terjadi stadium resolusi dimana jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang, dan isi alveolus akan melunak untuk berubah menjadi dahak dan yang akan dikeluarkan lewat batuk, dan jaringan paru kembali kembali pada struktur semulanya. Proses infeksi tersebut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi, dimana pada pneumonia lobaris konsolidasi ditemuka pada seluruh lobus dan pada bronkopneumonia terjadi penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter 3 – 4 cm yang mengelilingi bronki. Pada pneumonia akibat virus atau Mycoplasma pneumoniae, gambaran patologi ditandai dengan peradangan interstisial yang disertai penimbunan infiltrat dalam dinding alveolus, meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari eksudat dan tidak ada konsolidasi.

KLASIFIKASI PNEUMONIA 1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis: a. Pneumonia komuniti ( community – acquired pneumonia ) : pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram positif ( Pneumokokus, Staphylococcus ), basil Gram negatif ( Haemophillus influenzae ), dan bakteri atipik. b. Pneumonia nosokomial ( hospital – acquired pneumonia ) : pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering disebabkan oleh bakteri gram negatif ( Staphylococcus aureus ) dan jarang oleh pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae.

c. Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain makanan dan asam lambung d. Pneumonia pada penderita immunocompramised 2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab a. Pneumonia bakterial / tipikal b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah ( immunocompromised ) 3. Berdasarkan predileksi infeksi a. Pneumonia lobaris b. Bronkopneumonia c. Pneumonia interstisial

MANIFESTASI KLINIS Pneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnoe, pernapasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.

1. Pneumonia pada Neonatus dan Bayi Kecil Gambaran klinis pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, grunting, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Pada bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis sering terjadi pada bayi berusia di bawah 2 bulan, dimana gejala baru timbul pada usia 4 – 12 minggu dan pada beberapa kasus pada usia 2

minggu, tetapi jarang setelah usia 4 bulan. Gejala timbul perlahan – lahan, dan dapat berlangsung hingga berminggu – minggu. Gejala umum berupa gejala infeksi respiratori ringan – sedang, ditandai dengan batuk staccato ( inspirasi diantara setiap satu kali batuk ), kadang – kadang disertai muntah, umumnya pasien tidak demam. Bila berkembang menjadi pneumonia berat yang juga dikenal sebagai sindroma pneumonitis, terdapat gejala klinis ronki atau mengi, takipnea, dan sianosis.

2. Pneumonia pada Balita dan Anak Pada anak – anak prasekolah, keluhan meliputi demam, menggigil, batuk ( nonproduktif/produktif ), takipneu, dan dispneu yang ditandai oleh retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja dapat dijumpai demam, batuk ( nonproduktif/produktif ), nyeri dada, sakit kepala, anoreksia, dan kadang – kadang keluhan gastrointestinal seperti mual atau diare, dan juga dehidrasi. Secara klinis ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta ( chest indrawing ), sianosis, dan napas cuping hidung. Ronki basah halus ( fine crackles ) khas pada anak besar dapat tidak dijumpai pada bayi. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Iritasi pleura dapat mengakibatkan nyeri dada dan bila berat gerakan dada akan menurun waktu inspirasi. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveolar. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Bula efusi pleura bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul. Kadang – kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi pneumonia.

3. Pneumonia Akibat Infeksi Mycoplasma pneumoniae Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat. Masa inkubasi kurang lebih 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza ( influenza like syndrome ) seperti demam, malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal,

dan batuk. Suhu tubuh jarang mencapai 38,5 °C. Batuk terjadi setelah awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu – minggu.

4. Pneumonia Akibat Infeksi Clamidia pneumoniae Clamidia pneumoniae merupakan penyebab tersering infeksi saluran napas atas, seperti faringitis, rinosinusitis, dan otitis, tetapi dapat menyebakan pnumonia juga. Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori umumnya tidak mencolok. Leukosit darah tepi biasanya normal. Gambaran foto toraks menunjukan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis.

DIAGNOSIS Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.

Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Takipneu berdasarkan WHO: a.

Usia < 2 bulan

: ≥ 60 x/menit

b.

Usia 2-12 bulan

: ≥ 50 x/menit

c.

Usia 1-5 tahun

: ≥ 40 x/menit

d.

Usia 6-12 tahun

: ≥ 28 x/menit

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil.

Pemeriksaan Penunjang -

Pemeriksaan radiologis

Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia. -

C-Reactive Protein

Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. - Uji serologis Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis. - Pemeriksaan mikrobiologi Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.

Kriteria Diagnosis Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini : a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada b. Panas badan c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan) Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun. Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun Pneumonia berat  bila ada sesak napas  harus dirawat dan diberikan antibiotic Pneumonia  bila tidak ada sesak napas  ada napas cepat dengan laju napas o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun  tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral Bukan pneumonia  bila tidak ada napas cepat dan sesak napas  tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut: Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.9 Bayi di bawah 2 bulan

Pneumonia  bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas  harus dirawat dan diberikan antibiotic Bukan pneumonia  bila tidak ada napas cepat dan sesak napas  tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat: 1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas cepat saja, dimana napas cepat adalah: a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit 2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini: a. kepala terangguk – angguk b. pernapasan cuping hidung c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. ) Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:  Napas cepat o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit  Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda  Pada auskultasi terdengar o crackles ( ronki ) o suara pernapasan menurun o suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:  tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya

 kejang, letargi, atau tidak sadar  sianosis  distress pernapasan berat.

TATALAKSANA Penatalaksaan umum - Pemberian oksigen 2-4 L/menit - Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit. - Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

Penatalaksanaan khusus Tatalaksana Pneumonia Berdasarkan WHO

PROGNOSIS Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-kanak dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

More Documents from "Desi Purnamasari Yanwar"

Case 3 Hiperbilirubin.docx
November 2019 26
Case 1 Brpn, Pertusis.docx
December 2019 29
Tata Laksana Konstipasi.docx
December 2019 26
Pemeriksaan Fisik Anak
November 2019 35
Case 2 Talassemia.pptx
December 2019 29
Brpn.docx
November 2019 22