Case 1 Brpn, Pertusis.docx

  • Uploaded by: Desi Purnamasari Yanwar
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case 1 Brpn, Pertusis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,902
  • Pages: 36
LAPORAN KASUS ANAK SEORANG PEREMPUAN DENGAN PERTUSIS

Pembimbing : dr. Arifiyah, Sp.A

Disusun oleh: Desi Purnamsari Yanwar 030.14.047

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH PERIODE 15 JANUARI – 24 MARET 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI TEGAL, MARET 2019

PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul “SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN PERTUSIS”

Penyusun: Desi Purnamasari Yanwar 030.14.047

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing dr. Arifiyah, Sp.A, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal Periode 18 Februari – 26 April 2019

Tegal, 24 Maret 2019

dr. Arifiyah, Sp.A

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama : Desi Purnamsari Yanwar

Pembimbing : Dr. Arifiyah, Sp.A

NIM

Tanda tangan :

1.1

: 030.14.047

IDENTITAS PASIEN DAN ORANG TUA/WALI DATA

PASIEN

AYAH

IBU

Nama

An. R

Tn. O

Ny. U

Umur

4 bulan

32 tahun

28 tahun

Jenis Kelamin

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Debong Lor, Kec. Tegal Barat

Alamat

1.2

Agama

Islam

Islam

Islam

Suku Bangsa

Jawa

Jawa

Jawa

Pendidikan

-

SD

SD

Pekerjaan

-

Buruh

IRT

Penghasilan

-

 Rp. 2.000.000,/bulan

-

Keterangan

Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi

BPJS PBI

No. RM

944304

ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap Ibu kandung pasien pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 12.00 WIB, di Ruang PICU RSU Kardinah Tegal.

3

1.2.1 Keluhan Utama Batuk sejak 1 bulan SMRS

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dibawa ke IGD RSU Kardinah pada tanggal 10 Maret 2019 pukul 07.30 WIB dengan keluhan batuk sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih dan sesak nafas. Pada saat batuk pasien menarik napas yang panjang dan batuk susah untuk berhenti. Terkadang diakhiri dengan muntah kadangkadang berupa lendir. Sebelum batuk pasien sesak dan setiap kali batuk muka pasien sampai berwarna kemerahan, namun tidak menjulurkan lidah. Batuk lebih meningkat dimalam hari dibandingkan dengan siang hari, sehingga mengganggu aktivitas tidur pasien. Batuk yang dialami oleh pasien awalnya ringan, tetapi lama kelamaan batuk menetap dan terus menerus. Pasien menjadi rewel dan gelisah, Saat pasien menangis, maka batuk akan bertambah hebat. Ibu OS mengatakan kadang-kadang timbul demam yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan menjadi menurun. Sepuluh hari SMRS pasien mengalami BAB cair lebih dari 3 kali dalam sehari. Feses ber4zbentuk cair, terdapat lender, tidak ada ampas dan darah. Sebelum ke RSUD Kardinah pasien sudah sempat berobat ke RS Islam Tegal 2 minggu yang lalu, dan dikatakan bahwa pasien menderita batuk 100 hari atau oertusis. Pasien telah mendapat pengobatan dari RS Islam namun batuk tidak mengalami perbaikan.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Menurut ibu pasien, pasien sudah sempat berobat ke RS Islam 2 minggu yang lalu dan diagnose menderita batuk 100 hari atau pertussis.Riwayat penyakit jantung dan paru lainnya disangkal.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama seperti yang dialami oleh pasien. Tidak ada yang mengalami sesak atau batuk lama. 4



Riwayat Konsumsi Obat o Azitromisin o Eritromisin o Ekspectoran o Mucous drop o Zink

Diberikan saat pasien berobat ke RS Islam

1.2.5 Riwayat Kebiasaan Keluarga: Pada anggota keluarga ada memiliki kebiasaan merokok, yaitu ayah pasien. Kesimpulan Riwayat Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala dan penyakit yang serupa dengan pasien namun ayah pasien memiliki kebiasaan merokok.

1.2.6 Riwayat Lingkungan Perumahan Pasien tingga di rumah sendiri. Rumah tersebut berukuran ± 50 m2, beratap genteng, berlantai ubin, berdinding tembok. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien dan pasien. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, mempunyai 3 jendela rumah, penerangan rumah memakai listrik, sumber air bersih berasal dari sumur. jarak rumah dengan septik tank ±5 m2 Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan kurang sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan baik.

1.2.7 Riwayat Sosial Ekonomi Ayah pasien berprofesi sebagai buruh dengan penghasilan  Rp. 2.000.000,/bulan. Ibu pasien sebagai ibu rumah tangga dan tidak berpenghasilan. Dengan penghasilan yang tidak menetap Kesan: Riwayat sosial ekonomi kurang baik.

5

1.2.8 Riwayat Kehamilan, Pemeriksaan Prenatal, dan Kelahiran Anemia (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-), Morbiditas kehamilan penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-), infeksi (-), minum alkohol (-) Rutin kontrol ke bidan 1 kali setiap bulan. Riwayat imunisasi TT (+) 2 x, konsumsi suplemen selama kehamilan (-), riwayat minum obat tanpa Kehamilan resep dokter dan jamu (-) Perawatan antenatal

Tempat persalinan Penolong persalinan Cara persalinan Masa gestasi

Klinik Bidan Bidan Spontan Pervaginam Cukup bulan (9 bulan) Berat lahir: 3200 gram Panjang lahir: 48 cm Kelahiran Lingkar kepala : (orangtua pasien tidak ingat) Keadaan lahir : Langsung menangis kuat,tidak Keadaan bayi pucat dan tidak biru Air ketuban : Jernih Nilai APGAR: (orangtua pasien tidak ingat) Kelainan bawaan: (-) Kesan : Riwayat perawatan antenatal cukup baik, riwayat morbiditas/penyulit tidak ada, Neonatus aterm, lahir spontan pervaginam, air ketuban jernih, bayi dalam keadaan bugar.

1.2.9 Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Puskesmas dan Posyandu sebulan sekali dan anak dalam keadaan sehat. 1.2.10 Corak Reproduksi Ibu Ibu P4A0, pasien adalah anak ke-4 yang berusia 4 bulan berjenis kelamin perempuan. ç 1. 2. 3.

Tanggal lahir (umur) 27/07/2009 4/06/2013 15/10/2015

Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Hidup + + +

Lahir mati -

Abortus -

Mati (sebab) -

Keterangan kesehatan Sehat Sehat Sehat 6

1.2.11 Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien mengaku saat ini tidak menggunakan KB.

1.2.12 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak o Pertumbuhan : Berat badan lahir anak 3200 gram, panjang badan 48cm dengan berat badan sekarang 5200 gram dengan panjang badan sekarang 57 cm. o Perkembangan : o Pada usia 4 bulan pasien sudah bisa 

Motorik Kasar : tengkurap terlentang sendiri



Motoric halus : memgang mainan



Komunikasi/berbicara : tertawa/berteriak



Personal sosial : memandang tangannya

Kesan: Perkembangan pasien dalam batas normal

1.2.13 Riwayat Makan dan minum Umur (bulan)

ASI/PASI

Buah/ Biskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

0–2

ASI

-

-

-

2–4

ASI

-

-

-

4–6

-

-

-

-

Kesan: Pasien masih mengkonsumsi ASI ekslusif

1.2.14 Riwayat Imunisasi VAKSIN

ULANGAN

DASAR (umur)

(umur)

BCG

-

-

-

-

DTP/ DT

-

-

-

Saat

-

-

POLIO

-

-

-

-

-

-

-

-

-

7

lahir -

-

-

Saat

-

-

CAMPAK HEPATITIS B

-

-

-

-

-

-

-

lahir

Kesan: Imunisasi dasar pasien tidak lengkap, hanya melakukan 2x imunisasi saat lahir yaitu, hepatitis B dan Polio

1.2.15 Riwayat pernikahan Ayah Tn. O 1 22 tahun SD Jawa Islam Sehat -

Nama Perkawinan keUmur saat menikah Pendidikan terakhir Suku Agama Keadaan kesehatan Kosanguinitas 1.3

Ibu Ny. U 1 18 tahun SMP Jawa Islam Sehat -

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Maret 2019, pukul 10.00 WIB, di Ruang

PICU RSU Kardinah Tegal 1.3.1 Keadaan Umum Kesadaran : Compos Mentis Kesan

: tampak sakit sedang, tampak lemah

Kesan gizi

: kesan gizi baik

1.3.2 Tanda Vital Tekanan darah

: -

Nadi

: 117 x/menit reguler

Laju nafas

: 42 x/menit

Suhu

: 36,4 oC, Axilla

8

1.3.3 Data Antropometri Berat badan sekarang

: 5,2 kg

Panjang badan sekarang

: 57 cm

Lingkar kepala

: 41 cm

1.3.4 Status generalis i. Kepala: Normocephali, ubun-ubun kecil teraba datar tidak tegang, sutura tidak melebar, mollage (-)  Rambut: Hitam, tampak terdistribusi merata, tidak mudah dicabut.  Wajah : Simetris, tidak tampak kelainan dismorfik  Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra (-/-), mata cekung (-/-), mata merah dan berair (-/-), pupil isokor, reflex cahaya langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+), strabismus (-/-), dry eyes (-/-)  Hidung : Bentuk normal, simetris, septum deviasi (-/-), sekret (-/-), pernafasan cuping hidung (-)  Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), discharge (-/-)  Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), pucat (-), stomatitis (-), mukosa hiperemis (-), saliva (+),Koplik spot (-) ii. Leher : Kelenjar tiroid tidak membesar, kelenjar getah bening tidak membesar. iii.Toraks: Dinding toraks normotoraks dan simetris. o Paru:  Inspeksi: Bentuk datar, Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi (-)  Palpasi: Simetris tidak ada hemithoraks yang tertinggal  Perkusi: Sonor  Auskultasi: Suara napas vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-). o Jantung:  Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.

9

 Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS IV 1 cm midklavikula sinistra, thrill (-)  Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan  Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-). iv. Abdomen:  Inspeksi: datar, simetris, smiling umbilicus (-),  Auskultasi: Bising usus () frekuensi 5x/menit  Palpasi: Supel, distensi (-), hepar dan lien tidak teraba membesar  Perkusi: Timpani pada seluruh kuadran abdomen v. Genitalia: tidak dilakukan pemeriksaan vi. Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan vii.

Kulit : warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis.

viii. Ekstremitas: Keempat ekstremitas lengkap, simetris Superior

Inferior

Akral Dingin

-/-

-/-

Akral Sianosis

-/-

-/-

CRT

<2”

<2”

Oedem

-/-

-/-

10

1.3.5 PEMERIKSAAN KHUSUS Pengukuran lingkar kepala (Kurva Nellhaus) Lingkar kepala: 41 cm = -2SD s/d +2SD

Kesan: = Normocephali Pengukuran Status Gizi

Berat badan : 5,2 kg = -2SD s/d +2SD 11

Kesan : Berat badan normal

Panjang badan : 57cm = diantara -1SD s/d +2SD Kesan : Perawakan normal

BB :5,2kg , PB : 57cm = -2SD s/d +2SD (Normal) Kesan : Berat badan baik, Perawakan normal, Gizi baik 12

1.3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. lab darah 10/03/2019

Nilai Rujukan

Hemoglobin

11,3

10,1-12,9 g/dl

Lekosit

6,9

6,0-17,5 103/µl

Hematokrit

33,4

28-42 %

Trombosit

283

229-553 103/µl

Eritrosit

4,5

3,2-5,2 106/µl

RDW

16,8 (H)

11,5-14,5%

MCV

74,6

73-109 U

MCH

25,2

21-33 Pcg

MCHC

33,8 (H)

28-32 g/dl

DIFF COUNT

10/03/2019

Netrofil

42,5

%

25 – 60

Limfosit

52,3 (H)

%

25 – 50

Monosit

2,9

%

1–6

Eosinofil

2

%

1–5

Basofil

0,6

%

0–1

ELEKTROLIT

10/03/2019

Natrium

SP<≪<

Hematologi

Kalium

SP<≪<

Nilai Rujukan

Nilai Rujukan Mmol/L

132 -145

Mmol/L

3,1 – 5,1

Klorida

SP<≪<

Mmol/L

96 - 111

Glukosa Sewaktu

128 H

Mg/dl

50 - 80 13

2. Rontgen Thorax AP

Deskripsi : COR : bentuk dan letak jantung normal PULMO : corakan bronkovaskuler tampak meningkat Tampak bercak pada kedua lapangan paru Tak tampak penebalan hilus kanan kiri Sinus costophrenicus kanan kiri tampak lancip Tak tampak kelainan pada tulang maupun soft tissu Kesan : Cor tak membesar Gambran bronkopneumonia

1.4

RESUME Pasien dibawa ke IGD RSU Kardinah pada tanggal 10 Maret 2019 pukul 07.30 WIB

dengan keluhan batuk sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih dan sesak nafas. Pada saat batuk pasien menarik napas yang panjang dan batuk 14

susah untuk berhenti. Terkadang diakhiri dengan muntah kadang-kadang berupa lendir. Sebelum batuk pasien sesak dan setiap kali batuk muka pasien sampai berwarna kemerahan, namun tidak menjulurkan lidah. Batuk lebih meningkat dimalam hari dibandingkan dengan siang hari, sehingga mengganggu aktivitas tidur pasien. Batuk yang dialami oleh pasien awalnya ringan, tetapi lama kelamaan batuk menetap dan terus menerus. Pasien menjadi rewel dan gelisah, Saat pasien menangis, maka batuk akan bertambah hebat. Ibu OS mengatakan kadang-kadang timbul demam yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan menjadi menurun. Sepuluh hari SMRS pasien mengalami BAB cair lebih dari 3 kali dalam sehari. Feses berbentuk cair, terdapat lender, tidak ada ampas dan darah. Sebelum ke RSUD Kardinah pasien sudah sempat berobat ke RS Islam Tegal 2 minggu yang lalu, dan dikatakan bahwa pasien menderita batuk 100 hari atau oertusis. Pasien telah mendapat pengobatan dari RS Islam namun batuk tidak mengalami perbaikan. Pemeriksaan fisik pasien tampak lemah, tampak sesak. HR 125 x/menit, RR 46 x /menit, suhu 37,1 0C. Auskultasi napas vesikuler didapatkan adanya ronki pada kedua paru (+/+). Status gizi baik, status imunisasi dasar tidak lengkap. Laboratorium : limfositosis Rontgen dengan kesan gambaran bronkopneumonia.

F. DAFTAR MASALAH -

Subjektif : o Batuk sejak 1 bulan SMRS o Whopping cough o Nafas cepat o Diare akut o Status imunisasi dasar sesuai umur tidak lengkap

-

Objektif : o RR : 52x/menit →takipnea o Auskultasi : Rhonki basah halus (+/+) o Laboratorium : limfositosis (52,3%) o Foto thorax : gambaran bronkopneumonia

15

G. DIAGNOSIS BANDING Batuk 1 bulan (kronis)

-

Pertusis TB paru Asma

Whopping cough

-

Pertusis

Sesak nafas

-

Bronkopneumonia Pertusis

BAB cair >10 kali

-

Diare Akut

H. DIAGNOSIS KERJA: Pertusis dengan komplikasi bronkopnemonia Diare Akut

I. PEMERIKSAAN ANJURAN  

Lakukan biakan sekret nasofaring pada stadium kataral dan paroksismal. Pemeriksaan serologis diperlukan pada stadium konvalesens: IgM, IgG, IgA terhadap FHA dan PT (cara ELISA) dan IgG toksin

J. PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa - Rawat inap untuk monitoring gejala -

Tirah baring (bed rest).

-

Memperbaiki keadaan umum penderita

b. Medikamentosa -

O2 sungkup 2 liter/menit (k/p)

-

IVFD D5 ¼ Ns 20cc/jam

-

Inj. Cefotaxim 3 x 200mg

-

Inj. Parasetamol 50mg/6jam

-

Inj. Dexametason 3 x mg 16

-

Per Oral : o Zink 1 x 10mg o L-Bio 1x1 sachet o Azitromisin 1 x 50mg (pulv)

-

Nebulisasi combivent + NaCl 0,9% 2ml tiap 12 jam

c. Edukasi -

Jelaskan bahwa penularan hanya mungkin terjadi melalui droplet manusia (pasien dan karier/pembawa) baik langsung maupun tidak langsung.

-

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya penularan  Sanitasi pribadi yang kurang baik termasuk kebiasaan cuci tangan, dan memakai masker pada pasien yang batuk

-

Terangkan mengenai vaksin untuk pencegahanpertusis:  Parenteral: DPT atau DPaT  Indikasi pemberian vaksin.

-

Pengobatan profilaksis untuk orang yang terpapar dengan penderita

K. PROGNOSIS Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam

: dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad malam

17

FOLLOW UP (R. PICU) 10/03/2019 Perawatan hari ke-1 S O

A

P

11/03/2019 Perawatan hari ke-2

S : Batuk (+), whopping cough, sesak (+), BAK cair (+), demam (-) KU: CM, tampak sakit sedang TTV: HR 110 x/m, RR 52x/m, S 36,5ºC, SpO2 92%

Batuk (+), sesak (+), BAK cair (+), demam (-)

Status generalis: • Kepala: Normocephali • Mata: CA(-/-),SI (-/-) • Thoraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),g (-), retraksi (-) • Abdomen: Supel, BU (), distensi (-), tugor (N) • Ekstremitas atas-bawah:AH(+/+), OE (-/-) CRT <2 detik

Status generalis: • Kepala: Normocephali • Mata: CA(-/-),SI (-/-) • Thoraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),g (-), retraksi (-) • Abdomen: Supel, BU (), distensi (-), tugor (N) • Ekstremitas atas-bawah:AH(+/+), OE (-/-) CRT <2 detik

• Bronkopneumonia dd pertussis • Diare akut

KU: CM, tampak sakit sedang TTV: HR 110 x/m, RR 46x/m, S 36,5ºC, SpO2 98%

• Bronkopneumonia dd pertussis • Diare akut

• O2 nasal kanul 1-2 lpm • O2 nasal kanul 1-2 lpm • IVFD D5 ¼ NS 20 cc/jam • IVFD D5 ¼ NS 20 cc/jam • Inj. Cefotaxim 3x200 mg • Inj. Cefotaxim 3x200 mg • Inj. Paracetamol 50mg/6jam (bila demam) • Inj. Paracetamol 50mg/6jam (bila demam) • Inj. Dexametason 3 x 1 mg • Inj. Dexametason 3 x 1 mg P.O : P.O : • Zink 1 x 1omg • Zink 1 x 1omg • L-Bio 1 x 1 sachet • L-Bio 1 x 1 sachet • Nebulisasai combivent + Nacl 0,9% 2cc • Azitromisin 1 x 50mg (pulv) 2x/hari • Nebulisasai combivent + Nacl 0,9% 2cc 2x/hari • Pemeriksaan anjuran: • Rontgen thorax • Darah rutin, diff count • Elektrolit

18

12/03/2019 Perawatan hari ke-3

13/03/2019 Perawatan hari ke-4

S

Batuk (), sesak berkurang, BAK cair ampas 3x/sehari , demam (-)

Batuk (+), sesak (-), BAK cair sudah berkurang, ampas (+), demam (-)

O

KU: CM, tampak sakit sedang TTV: HR 110 x/m, RR 36x/m, S 36,5ºC, SpO2 98%

KU: CM, tampak sakit sedang TTV: HR 110 x/m, RR 34x/m, S 36,5ºC, SpO2 96%

Status generalis: • Kepala: Normocephali • Mata: CA(-/-),SI (-/-) • Thoraks: SNV (+/+), rh (/), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),g (-), retraksi (-) • Abdomen: Supel, BU (N), distensi (-), tugor (N) • Ekstremitas atas-bawah: AH(+/+), OE (-/-) CRT <2 detik

Status generalis: • Kepala: Normocephali • Mata: CA(-/-),SI (-/-) • Thoraks: SNV (+/+), rh (/), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),g (-), retraksi (-) • Abdomen: Supel, BU (N), distensi (-), tugor (N) • Ekstremitas atas-bawah: AH(+/+), OE (-/-) CRT <2 detik

A

P

• Bronkopneumonia dd pertussis • Diare akut

• Bronkopneumonia • Diare akut

• IVFD D5 ¼ NS 20 cc/jam • O2 nasal kanul 1-2 lpm • Inj. Cefotaxim 3x200 mg • IVFD D5 ¼ NS 20 cc/jam • Inj. Paracetamol 50mg/6jam (bila demam) • Inj. Cefotaxim 3x200 mg • Inj. Dexametason 3 x 1 mg • Inj. Paracetamol 50mg/6jam (bila demam) P.O : • Inj. Dexametason 3 x 1 mg • Zink 1 x 1omg P.O : • L-Bio 1 x 1 sachet • Zink 1 x 1omg • Azitromisin 1 x 50mg (pulv) • L-Bio 1 x 1 sachet • Nebulisasai combivent + Nacl 0,9% 2cc • Nebulisasai combivent + Nacl 0,9% 2cc 2x/hari 2x/hari •

19

BAB II ANALISIS KASUS

Dasar diagnosis Diagnosis pertussis dapat ditegakan melaui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis : o Batuk sudah berlangsung kurang lebih selama 1 bulan, batuk sering bisa mencapai 5-10 kali. o batuk sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih dan berbunyi whoop, disertai sesak nafas. o Pada saat batuk pasien menarik napas yang panjang dan batuk susah untuk berhenti. Terkadang diakhiri dengan muntah kadang-kadang berupa lendir. o Sebelum batuk pasien sesak dan setiap kali batuk muka pasien sampai berwarna kemerahan, namun tidak menjulurkan lidah. o

Batuk lebih meningkat dimalam hari dibandingkan dengan siang hari, sehingga mengganggu aktivitas tidur pasien.

o Dari hasil anamnesis kemungkinan pasien menderita pertussis stadium konvalesen, dikarenakan saat pasien berobat ke RS kardinah freukuensi batuk pasien sudah berkurang, dan sudah jarang muntah setelah batuk. • Pemeriksaan fisik : o Tampak sakit berat o Tanda vital : Kesadaran compos mentis, HR : 112x/m, RR : 52x/m, Sp02 : 97%, T : 36,4 o Dijumpai batuk paroksismal, disertai bunyi whoop saat batuk o Auskultasi : Rhonki (+/+) • Pemeriksaan penunjang : o Limfositosis (52,3%)

20

o Pada pasien diduga terdapat penyulit bronkopneumonia sehingga dilakukan pemeriksaan foto thorax AP 

Corakan bronkovaskuler tampak meningkat dan tampak bercak pada kedua lapangan paru



kesan gambaran bronkonpenumonia.

• Pengakan diagnosis o Gold standar penegakan diagnosis untuk penyakit Pertusis sendiri adalah dengan terdeteksinya Bordatella pertussis dari specimen nasofaring dan pemeriksaan serologis yang biasa dilakakukan pada stadium konvalesens : IgM, IgG, IgA terhadap FHA dan PT (cara ELISA) dan IgG toksin o Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab o Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien mengarah pada diagnosis pertusis, karena ditandai dengan bunyi batuk yang khas (whoop), durasi batuk 1 bulan, muntah setelah batuk dan juga anak belum diimunisasi vaksis pertussis. o Namun pada saat pasien sudah datang ke RS Kardinah pasien sudah sempat mendapat pengobatan antibiotic eritromisin di RS Islam onset penyakitnya yang sudah lebih dari 1 bulan menyebabkan pada saat pemeriksaan gejala klinis pasien sudah berkurang. o Bronkopneumonia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada pasien pertussis yang disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. 

Tanda yang menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat.

o Kesimpulan 

Diagnose akhir pada pasien ini adalah pertussis dengan komplikasi bronkopenumonia.

21

• Rencana penatalaksaan : o Nutrisi dan hidrasi yang cukup o Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) atau jenis makrolid lainnya selama 14 hari merupakan pengobatan baku o Namun karena pada pasien ini dijumpai komplikasi pneumonia maka dipilih antibiotika intravena yaitu kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari dan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, diberikan selama 7-10 hari. o Untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksismal, dan lamanya whoop diberikan salbutamol dan kortikosteroid • Imunisasi dasar tidak lengkap o Rencana terapi : Catch up imunisasi  Vaksin DTP  Imunisasi ulangan hepatitis B pada  Imunisasi ulangan polio-1,polio-2, polio-3  Vaksin BCG (>3bulan uji tuberkulin terlebih dahulu) o Bisa dilakukan imunisasi catch up pada usia 5 bulan

22

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pertusis Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3. Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.

B. Epidemiologi Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6. Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan

23

laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%7. Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765. Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1.

C. Etiologi Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. B. pertussis cirinya kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-).Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertussis, dan biasanya tumbuh baik pada “glycerin-potato-blood agar media (border-gengou)”. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8. Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Organisme yang didapat umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam kultur dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. 4

24

Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. B.pertussis juga

menghasilkan

beberapa

bahan

aktif,

yang

banyak

darinya

dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominant menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. 2,3,4 TP mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran enzim. TP akan merangsang pengeluaran Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi fungsi dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan saluran napas dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia. Yang pada akhirnya bias mengarah ke komplikasi bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri

lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus

influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis karena apnea dan ventilation perfusion mismatch. 2,3 TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.

D. Patogenenis Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9. Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah 25

terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough1,9. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi1,9. Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9. Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

E. Manifestasi Klinis Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah 26

terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.

Gambar 1. Manifestasi klinis pertussis

Perjalanan klinis pertusis dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens. Manivestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak usia kurang dari 2 tahun terdapat pada tabel 1. Tabel 1. Gejala pertusis pada anak usia kurang dari 2 tahun Batuk paroksismal

100%

Whoops

60-70%

Emesis

66-80%

Dispnea

70-80%

Kejang

20-25%

27

Pada anak yang lebih besar, manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang lebih dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini. (1,2)

a. Stadium Kataral (1-2 minggu) Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.(1,2) Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan dengan common cold. Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel.

b. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu) Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir serangan batuk. Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi whoop akibat udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas 28

menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik. Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas, di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.(2,4,6) Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop, hanya ada batuk yang bertahan lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih ringan, tetapi bisa menular. (1,2,4,6) 10

Gambar 4. Batuk paroksismal pada pertusis Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan berangsur – angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang.(2,4,6)

c. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu) Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada 29

beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.(1,2,4,6)

F. Diagnosis 1. Anamnesis Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi. 2. Pemeriksaan fisik Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. 3. Pemeriksaan laboratorium Pada minggu pertama dapat terjadi leukopenia seperti gambaran infeksi virus. Pada minggu kedua, hitung limfosit absolut >10.000. Reaksi lukomoid ditandai dengan peningkatan leukosit 20.000-50/000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10. Beberapa penunjang diagnosis Pertusis antara lain kultur, polymerase chain reaction (PCR), dan serologi. 

Kultur – gold standard diagnosis Pertusis, umumnya sampel diambil dari nasofaring posterior (bukan tenggorok) : Idealnya bakteri terisolasi pada 2 minggu pertama (fase catarrhal / awal paroksismal), padahal pasien baru muncul setelah > 2 minggu sehingga kultur sering tidak dapat digunakan. Bakteri B. pertusis sulit dikultur, dapat memakan waktu hingga 2 minggu, dan kemungkinan positifnya bervariasi (30-50%). Media kultur dapat berupa Bordet Gengoi (potato-blood-glycerol agar) dan medium yang mengandung charcoal (Regan Lowe).[1,4]



Polymerase Chain Reaction (PCR) : Dapat mengkonfirmasi Pertusis pada outbreak, sangat sensitif [10]

30



Serologi : Dapat mengonfirmasi penyakit pada tahap akhir infeksi setelah tidak terdeteksi kultur. Idealnya dilakukan 2- 8 minggu setelah onset batuk.

4. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau emfisema.

G. Diagnosis Banding Secara umum, diagnosis banding Pertusis sangat luas, namun dapat dipersempit dengan menimbang durasi penyakit. Batuk berdurasi di bawah 3 minggu termasuk akut, batuk antara 3 – 8 minggu termasuk subakut, sementara batuk lebih dari 8 minggu termasuk kronik.[2,5] Beberapa penyakit memiliki batuk persisten dan subakut sehingga dapat menyerupai Pertusis. Berikut penyakit yang gejala klinisnya mirip Pertusis: 

Infeksi pernapasan karena adenoviral – gejala awal mirip berupa demam, konjungtivitis, terkadang nyeri tenggorokan.



Pneumonia – pada pasien yang kecil dapat menunjukkan gejala batuk stakato (inspirasi di antara setiap batuk).



Infeksi pernapasan virus syncytial (Respiratory syncytial virus)/RSV. – umumnya pada saluran pernapasan bawah, sering ditemukan rhonki basah dan mengi. Selain penyakit-penyakit di atas, batuk kronis akibat merokok, GERD (gastroesophageal reflux disease), asma, drip post-nasal, dan batuk akibat penggunaan ACE-inhibitor juga dapat menyerupai Pertusis pada pasien dewasa. Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda

asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab1.


H. Penatalaksanaan Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan 31

tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam1,11. Pada kasus ringan, umumnya anak-anak umur ≥ 6 bulan, dilakukan pengobatan rawat jalan. Sedangkan pada anak < 6 bulan perlu dirawat di Rumah sakit. Selain itu, anak dengan penyulit juga perlu dirawat, misalnya pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.15 Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons1,11. Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 : 1. Agen Antimikroba Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan 32

dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, TrimethoprimSulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti. 2. Salbutamol Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal. 3. Kortikosteroid Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

I. Pencegahan 1. Imunisasi aktif : Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anakanak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi1,11,13,14. Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar13,14. Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,

33

mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam1,11,14. Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5

C

dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis1,11,13,14. 2. Kontak dengan penderita : Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit1,11,12. Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12.

J. Komplikasi Komplikasi dapat terjadi pada berbagai macam sistem, terutama sistem respirasi dan saraf pusat1,11.

34

1. Pneumonia merupakan komplikasi paling sering. Pada 90% kasus, kematian pada anak-anak bukan disebabkan karena B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11. 2. TBC laten dapat menjadi aktif. 3. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. Infeksi sekunder terjadi dan dapat menimbulkan demam tinggi. 4. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap. 5. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. 6. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi1,11. 7. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi1,10. 8. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.

K. Prognosis Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th edition. Chapter 62. h : 1018-1023. 2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86. 3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders, 2004. 17th edition. Chapter 180. h: 908-912,1079. 4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699. 5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566. 6. Top KA. Halperin SA. Pertussisn and Other Bordetella Infection. Dalam: Kasper DL. Hauser SL. Jameson JL. Fauci AS. Longo DL. Loscalzo J. Penyunting. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th edition. NewYork : McGrawHill 7. Yeh S, et al. Pertussis infection in infants and children: Clinical features and diagnosis [Artikel dari internet]. [Dikutip Oktober 2017]. Dapat diakses melalui [URL]: https://www.uptodate.com/contents/pertussis-infection-in-infants-and-children-clinicalfeatures-and-diagnosis 8. Brooks GF. Carroll KC. Butel JS. Morse SA. Mietzner TA. 2013. Jawetz, Melnick & Adelberg’s Medical Microbiology 26th edition. New York : McGrawHill 9. Cornia P, et al. Pertussis infection in adolescents and adults: Clinical manifestations and diagnosis [Artikel dari internet]. [Dikutip Oktober 2017]. Dapat diakses melalui [URL]: https://www.uptodate.com/contents/pertussis-infection-in-adolescents-and-adultsclinical-manifestations-and-diagnosis 10. Bocka J. Pertussis [Artikel dari internet]. [Dikutip Oktober 2017]. Dapat diakses melalui [URL]: https://emedicine.medscape.com/article/967268-overview 11. Schläpfer G, Cherry JD, Heininger U, et al. Polymerase chain reaction identification of Bordetella pertussis infections in vaccinees and family members in a pertussis vaccine efficacy trial in Germany. Pediatr Infect Dis J 1995; 14:209. 12. Schmidt-Schläpfer G, Liese JG, Porter F, et al. Polymerase chain reaction (PCR) compared with conventional identification in culture for detection of Bordetella pertussis in 7153 children. Clin Microbiol Infect 1997; 3:462.

36

Related Documents

Case 1 Brpn, Pertusis.docx
December 2019 29
Brpn Linda.docx
December 2019 15
3. Brpn Firdaus.docx
November 2019 11
Case 1
November 2019 18

More Documents from ""

Case 3 Hiperbilirubin.docx
November 2019 26
Case 1 Brpn, Pertusis.docx
December 2019 29
Tata Laksana Konstipasi.docx
December 2019 26
Pemeriksaan Fisik Anak
November 2019 35
Case 2 Talassemia.pptx
December 2019 29
Brpn.docx
November 2019 22