By the way…ikhlas… Oleh : Roni Basa Friday, 2 Muharram 1429 17:23:07
Made Gede Yuliasa Wiwaha, hampir saja lutut rampingnya dipuja oleh keseluruhan kerengkahan yang saya miliki. Orang kedua dalam hidup saya yang diidentifikasi sebagai makhluk tanpa hati, yang mampu berkehidupan dengan tidak atau setidaknya belum mau – mungkin- men-fungsikan hatinya untuk berdialog dengan makna, etika dan emosi. Mendekap tangannya di altar depan dupa, aroma wangi daun pandan merebak, menutup matanya, nafasnya teratur turun-naik menghirup aura kepedihan. “Kamu datang dengan cerita melankolismu tentang resah jiwa akibat…ditinggal oleh…apa…kamu sebut…jiwamu?, lupakan, meditasiku lebih penting!!!”, tanpa merubah sikap apapun dia menyentak sejak pertama kali saya membuka pintu teatrikal dengan hamburan ukiran daun lotus pintu kamarnya. “Bukan tentang itu, aku direkomendasikan untuk bersikap ikhlas, itu yang aku ingin dapatkan pencerahan darimu”, sebisa mungkin saya mengklarifikasi. “Hmm…gak terlalu penting buatku, toh ujungnya ialah bagaimana kamu dan manusia yang merekomendasikanmu bersikap ikhlas itu mendapat tenang dari realitas yang kalian nafikkan ada dengan berlindung dibalik dogma ikhlas, gak penting..”. Meskipun baru dalam hitungan bulan kami bersahabat, kawan saya yang satu ini memang gak pernah tendeng aling-aling kalau bicara. Pernah satu saat ia mengepalkan genggamannya tepat di depan wajah seseorang sebab dengan lugas menyatakan bahwa sejarah adalah romantisme yang menjadikan rasionalisasi manusia menjadi tidak mampu menatap masa depan, sebab romantisme telah selesai masa pengabdiannya saat waktu melewatinya, betapapun indah dan penuh makna, sejarah tak lebih dari hiperbola, dan hiperbola jelaslah absurd. Dengan intonasi suara tinggi sahabat saya –yang saya kira tak punya nalar kemanusiaan- ini bicara “Bodoh..kamu bodoh...kamu kira kamu bukan makhluk sejarah, kamu kira kamu dapat berada dalam detik waktu saat ini tanpa harus melewati pintu kesejarahan, kamu kira makna dari setiap realitas dapat hilang dari rasionalitas fikiranmu sebab waktu menerpanya,sungguh, kamu tak lebih cerdas dari para insinyur yang tiap malam nongkrong di depan laptopnya dengan ratusan rumus pasti untuk meredam mulut lubang lumpur Lapindo dengan melupakan bahwa Tuhan tidak menciptakan hati untuk tidak dapat merasakan kepedihan rakyat yang dirampas hampir seluruh hajatnya oleh ketidakbecus-an mereka menggunakan rasionalitasnya; rumus-rumus pastinya, fikiran, yang diagungkannya. Pernah memang saya mengutarakan konteks cerita kepedihan yang menguji keseluruhan potensi hidup saya yang memang menyesakkan dada dengan keseluruhan fungsi biologisnya, sama halnya dengan bau dupa wangi daun pandan diruangannya. Dan bab keikhlasan ini sebenarnya telah saya utarakan pula kepadanya, bagaimana kemudian seharusnya menjadi ikhlas itu, makhluk berasal darimanakah ia, berwujud dan berfungsi untuk apakah ia sesungguhnya. Lalu kemudian saya sadar, mengutarakan kepadanya memang tindakan konyol.
Saya tidak terlalu yakin menganggap berteman dengannya ialah berkah dari fenomena kehidupan, awalnya mungkin sebab begitu ‘mengalir’ hidupnya membuat saya merasakan ada kenyamanan yang berbeda untuk dapat berinteraksi lebih, selanjutnya lebih mirip dengan dilema berkepanjangan setiap kali bertukar informasi berkenaan dengan hidup dan kehidupan, mulai dari konsepsi jelata dan konspirasi ke-negara-an, mang Udin sang penjual siomay dengan keberanian menganggap dirinya adil lantas menikah dan men-duakan istrinya, perselingkuhan antara press dan politikus, pendidikan dan kepentingan pem-bodohannya, sampai dengan gosip-gosip terbaru selebritis. Baginya semesta ini tak lebih ruang hampa yang dia hanya butuhkan untuk melesakkannya ke arasy nirwana, tempat dimana ia akan kekal dengan menggenggam seluruh makna Dewata. Sebab itulah, membicarakan ikhlas dengannya seperti menabur serbuk di angkasa; butirannya jelas memenuhi ranah fikiran namun tanpa jejak lantas tersapu waktu. Sebenarnya bukan sebab ia tidak menanam memori tentang setiap perbincangan, namun ikhlas, kelahiran, konsepsi, dalam ontologi ilmiah, apalagi implementasi untuknya adalah suatu hal yang sangat tidak logis, etis bahkan tanpa moral jika diperbincangkan dengan lisan. Ikhlas dalam terminologi idiologinya merupakan bahasa hati yang memiliki arti yang berseberangan dengan ikrar, term yang bukan hanya membatasi pola kerja dasarnya tetapi juga pola implementsi serta interaksi dengan apa yang disebut komunikasi. Dalam ontologi logikanya, ikhlas bersemayam, bergerak dan terus mengendalikan area kinestetis- psikomotorik, selebihnya, ikhlas hanya meninggalkan jejak di area kognitif dengan pesan besar yang tertera di pintu gerbangnya “selamat datang di alam tanpa tendensi”. Dalam kronologi sejarahnya, ikhlas ialah kekuatan yang pernah dilakukannya demi menguji konsepsi dasar ahimsa milik agamanya, yang kemudian menuntutnya untuk tidak melakukan hal yang sama kepada seorang perempuan dimana ia telah menaruh seluruh kehidupan, hidup dan mimpi masa depan suci lantas dengan semerta membuyarkan semuanya untuk kemudian bersama ‘yang lain’; membunuh kefanaan hidupnya. Untuknya juga, ikhlas tak perlu kembali dibicarakan dalam dialektika, menjadi konsumsi sofistifikasi atas lenguhan kelelahan menjawab realitas, retorika dari usaha untuk menyenangkan kepedihan orang lain-yang celakanya kita telah menjadi salah satu penyebabnya. Ikhlas baginya, ethic-casuistis yang kerap sekali muncul berwajah manis dengan ratusan fatamogana yang menyelimutinya ketika seseorang mengalami ‘ketidak cocokan’ dengan harapan lalu berada dalam tekanan psiologis, lantas “yang ikhlas ya kamu menjalaninya, Tuhan tidak melempar dadu, semua pasti ada hikmahnya, jalani dengan sabar, semoga apa yang telah terjadi membawa kamu lebih baik dari sekarang” terucapkan dengan lancar atau mungkin memang hambar dan sekedar ethic-casuistis. Kita tidak benar-benar mengerti apa yang sebenarnya dimaksud dengan ikhlas itu kecuali bentuk kasat matanya yang telah menjelma dalam bentuk etika komunikasi, bahkan dalam bentuk yang sangat ekstrimnya sebagai media citra untuk membangun dan mengembangkan good profile identity bagi kita dan komunitas yang menjadikan kita bagiannya baik secara genetis maupun idiologis, geografis maupun ekologis.
Nilai substansialnya belum dengan serius kita tengok dengan kalbu, nilai substansialnya sementara ini hanya mampu kita ajak jalan-jalan di taman spiritualitas yang penuh keindahan agung tanpa noda, kita biarkan keikhlasan hanya mampu men-up date kepentingan telinga kita mendengarkan keindahan janji yang ditawarkannya di sisi Tuhan. Adapun informasi mengenai ikhlas memang berbatas pada sikap dan perilaku keseharian para nabi dan rasul, the messengers, perjalanan hidup yang kemudian dipertegas kebenarannya melalui kitab suci Tuhan, yang kemudian sampai di telinga kita menjadi petuah tetua dan orang tua, lebih- lebih saat ikhlas seringkali diucapkan oleh penerus the messengers; alim ulama dan cendekia. Darisanalah ikhlas menempati khasanah kehidupan kita, sebagi sebuah khasanah tentunya setiap orang memiliki hak untuk menempatkannya dimana saja yang ia mau, yang ia suka, sesuai dengan kondisi, disesuaikan dengan kebutuhannya, bahkan tidak dipakai sama sekali. Duplikasi seluruh informasi tersebut lantas kita –terkadang dengan genit - diadopsi menjadi bagian dari kehidupan keseharian, untuk sanak famili yang tengah berduka karena satu dan lain hal, kita ungkapkan ikhlas, seperti layaknya Tuhan mendekap penuh kasih para kekasihnya saat dera-an duka dialaminya. Untuk teman kerja kita yang terancam diberhentikan sebab progress kerjanya tidak memenuhi standar kebutuhan perusahaan, ikhlas disampaikan untuk menenangkan sekaligus bentuk solidaritas. Kepada teman-teman dalam kehidupan kita dengan varian kondisi yang menjadi beban hidupnya, ikhlas kita sampaikan agar eksistensi nilai persahabatan tetap terjaga utuh. Kepada kekasih dalam kehidupan kita, ikhlas kita sampaikan sebagai ungkapan penyesalan akan apa yang sudah terjadi sekaligus dukungan moril bagi kehidupannya agar mampu bergerak kembali setelah kita memastikan diri meninggalkannya untuk satu dan lain hal yang terkadang justru dipermanis atas dasar ikhlas itu sendiri. Ikhlas disampaikan kepada siapapun, untuk apapun, dimanapun, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi. Menyampaikan dan mengingatkan ikhlas-keikhlasan berarti kita punya moralitas dalam hidup. Menyampaikan dan mengingatkan ikhlas-keikhlasan berarti kita memiliki etika berkomunikasi dan hidup sosial. Menyampaikan dan mengingatkan ikhlas-keikhlasan berarti kita melakukan juga perbuatan kekasih-kekasih Tuhan yang sudah pasti kelak berada disisiNya. Menyampaikan dan mengingatkan ikhlas-keikhlasan berarti juga melakukan nilai baik seperti yang telah diajarkan tetua dan orang tua kita. Atau, menyampaikan dan mengingatkan ikhlas-keikhlasan berarti kita berselingkuh dengan kepanikan yang berada jauh di dasar realitas kehidupan kita sendiri, menyampaikan dan mengingatkan ikhlas-keikhlasan berarti masih tersedia celah bagi kita untuk tetap menjaga citra baik dikehidupan sosial, menyampaikan dan mengingatkan ikhlas-keikhlasan berarti kita punya kesempatan untuk meneguhkan eksistensi di tengahtengah identitas baru pada komunitas tertentu, menyampaikan dan mengingatkan ikhlaskeikhlasan berarti ada peluang kita untuk –mungkin- melakukan perbuatan yang menyakitkan bagi orang lain. Siapa tahu?. Saya sendiripun masih berada diarena mistis entah apa jika membicarakan tentang ikhlas ini kepada Made, setelah hari saat saya menyampaikan bahwa seseorang mengingatkan dan merekomendasikan bersikap ikhlas dalam menghadapi ujian kehidupan, maka setalah itu juga segan untuk saya mengutarakan hal ini lagi kepadanya.
“Berhentilah memikirkan ikhlas kawan, ikhlas itu bukan perbuatan lisan yang distimulan oleh otak kita, diakselerasi dengan peredaran darah kita lantas diterjemahkan dengan fasih oleh setiap anggota badan kita, ikhlas tidak berada dalam logika fikiran kita. Ikhlas disimpan rapat dalam dekapan sifat rahman dan rahiim Tuhan, dan Dia hanya membukakan pintu untuk manusia yang Dia pilih mampu menjaga dan benar-benar mampu melakukannya. Kita ini, sementara ini, menjadikan ikhlas masih sebatas khasanah religius, etika sosial dan kajian dialektika…bersabar sajalah, atau lebih tepatnya, berkaca dulu sajalah untuk bisa mendapatkan penuh nilai ikhlas yang hanya dimilikiNya”, pernyataannya tiba-tiba menghentikan terdengar kembali. Sungguh saya ingin sekali membuka kembali perbincangan mengenai yang satu ini, namun pernyataannya yang terakhir membuat saya menghentikan niat.
By
an
da r
on
at
6:
23
am
,J
an
25
,2
00
8
By the way, ikhlas…apakah dan perbuatan siapakah ia, apa kemudian ia akan tidak menjadi dirinya saat ia terlahir dari lisan atau bahkan hati?. Sebelum saya memulai kembali perbincangan dengan teman ini, ia sudah beranjak dari altarnya, meraih gitar Gibson, memetik dawai, segera saya mengenalnya, …”ode”… - PADI.