Buku_lembkeusy.pdf

  • Uploaded by: Lailatul Magfiroh
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Buku_lembkeusy.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 78,693
  • Pages: 308
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/323342786

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoretis Praktis Book · November 2012 CITATIONS

READS

2

8,381

1 author: Mohammad Nur Rianto Al Arif Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta 65 PUBLICATIONS   84 CITATIONS    SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Article in Iqtishadia View project

Book of Lembaga Keuangan Syariah View project

All content following this page was uploaded by Mohammad Nur Rianto Al Arif on 22 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 1 KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

A. Definisi Ekonomi Islam Sistem ekonomi dunia yang saat ini bersifat sekuler -dimana terjadi dikotomi antara agama dengan kehidupan duniawi termasuk di dalamnya aktivitas ekonomitelah mulai terkikis. Terjadinya dikotomi ini terjadi pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, dimana pada masa tersebut kekuasaan gereja Katolik sangat dominan. Sehingga hal ini menimbulkan pergerakan yang berupaya untuk mengikis kekuasaan gereja yang terlalu besar pada masa itu. Pergerakan inilah yang pada akhirnya memunculkan suatu aliran pemikiran bahwa harus terjadi suatu pembedaan atau pembatasan antara aktivitas agama dengan aktivitas dunia, sebab munculnya pemikiran keilmuan seringkali dianggap bertentangan dengan doktrin gereja pada masa itu. Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak mengenal pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi. Hal ini terbukti bahwa pada masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru terjadi masa keemasan dan kejayaan Islam. Dimana terjadi pembaharuan dan perkembangan pemikiran oleh para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan pengembangan keilmuan sampai saat ini, seperti ilmu aljabar. Namun hal ini tidak pernah diketahui oleh dunia terutama oleh para generasi muda muslim, sehingga generasi muda muslim saat ini melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Barat pada waktu dark ages –yaitu melakukan dikotomi antara aktivitas spiritual dan aktivitas duniawi- yang justru membuat Islam semakin redup cahayanya. Karena Negara Barat semakin maju ketika jauh dari ajaran agamanya, sementara umat Islam akan semakin tertinggal ketika meninggalkan agamanya. Ekonomi Islam muncul sebagai suatu disiplin ilmu, setelah melalui serangkaian perjuangan yang cukup lama, yang pada awalnya terjadi pesimisme terhadap eksistensi ekonomi Islam dalam kehidupan masyarakat saat ini. Terciptanya suatu pandangan bahwa terdapatnya dikotomi antara agama dengan keilmuan –dalam hal ini termasuk didalamnya ilmu ekonomi-. Namun sekarang hal

1

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

ini sudah mulai terkikis. Dan para ekonom barat pun sudah mulai mengakui eksistensi dari ekonomi Islam sebagai suatu ilmu ekonomi yang memberi warna kesejukan dalam perekonomian dunia. Dimana ekonomi Islam dapat menjadi suatu sistem ekonomi alternatif yang mampu meningkatkan kesejahteraan umat, disamping sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang telah terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan dari umat. Ada banyak pendapat di seputar pengertian dan ruang lingkup ekonomi Islam. Dawam Rahardjo 1, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga kemungkinan pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam adalah sebagai suatu sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat Islam. Ketiga wilayah tersebut, yakni teori, sistem, dan kegiatan ekonomi umat Islam merupakan tiga pilar yang harus membentuk sebuah sinergi. Menurut Adiwarman Karim, 2tiga wilayah level (teori, sistem dan aktivitas) tersebut menjadi basis dalam upaya penegakan syariah dalam bidang ekonomi Islam yang harus dilakukan secara akumulatif. Dengan demikian diperlukan adanya upaya yang sinergi dengan melibatkan seluruh komponen dalam rangka menegakkan syariah dalam bidang ekonomi. Para pemikir muslim yang mendalami ekonomi Islam juga hingga kini belum ada kesatuan pandangan dalam mengkonstruksi teori ekonomi Islam. Terdapat perbedaan penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang dibangun dalam membentuk konsep ekonomi Islam. Hal ini karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki. 3 Merujuk pendapat Aslem Haneef, 4 seorang pemikir ekonomi Islam Malaysia para pemikir muslim di bidang ekonomi dikelompokkan dalam tiga kategori : pertama, pakar bidang fiqih atau

1

M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami ( Jakarta: IIIT Indonesia, 2003). 3 Mohamed Asalam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis, Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co., 1995, h. 11 4 Ketiga kelompok tersebut oleh Aslem Haneef disebut keompok Jurist, Modernist, WesternTrained Muslim Economists. 2

2

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah legalistik dan normatif; kedua, kelompok modernis yang lebih berani dalam memberikan interpretasi terhadap ajaran Islam agar dapat menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat kini; ketiga para praktisi atau ekonom muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat. Mereka mencoba menggabungkan pendekatan fiqih dan ekonomi sehingga ekonomi Islam terkonseptualisasi secara integrated dengan kata lain mereka berusaha mengkonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi konvensional tetapi dengan mereduksi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan Islam dan memberikan nilai islam pada analisis ekonominya. Pendefinisian tentang apakah ekonomi Islam itu akan berbeda antara ekonom yang satu dengan ekonom yang lainnya. Hasanuz Zaman dalam bukunya “Economic Function of an Islamic State (1984)” memberikan definisi: “Islamic Economic is the knowledge and applications and rules of the shariah that prevent injustice in the requisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human being and enable them to perform they obligations to Allah and the society” Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa ekonomi adalah subset dari agama. Kata Ekonomi Islam sendiri difahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma Islam yang sumbernya merujuk pada al Quran dan Sunnah. 5 Menurut Kahf pula, 6 ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang memiliki sifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi Islam tidak dapat berdiri sendiri tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu pendukungnya yang lintas keilmuan termasuk di dalamnya terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti matematika, statistik, logika, ushul fiqh. Sedangkan M N Siddiqi dalam bukunya “Role of State in the Economy (1992)” memberikan definisi: “Islamic economics is ‘the moslem thinker’ response to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience”. 5

Monzer Kahf, The Islamic Economy, Plainfield: Muslim Student Association (US-Canada), 1978, h. 18. 6 Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning od the Islamic Economic System, (T.tt.: Plainfield In Muslim Studies Association of U.S and Canada, 1978), h. 16. Lihat juga Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka Asatruss, 2005, h.275.

3

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Syed Nawab Heider Naqvi dalam bukunya “Islam, Economics, and Society (1994)” memberikan rumusan: “Islamic economics is the representative Moslem’s behaviour in a typical moslem society”. Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan oleh Umer Chapra 7 dimana ilmu ekonomi Islam diartikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber daya alam yang langka yang sesuai dengan Maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan moral masyarakat Muhammad Abdul Manan (1992) 8 berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalahmasalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas. M.M. Metwally (1995) 9 mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti AlQuran, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma. M.M. Metwally (1995) 10 memberikan alasan bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah bagaimana memenuhi kebutuhan dan menggunakan sumber daya yang ada. Dalam Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan berkecukupan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks kemaslahatan bersama.

7

M. Umar Chapra, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001 M. Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice., Delhi.Sh. M. Ashraf, 1970. Lihat juga M.A Mannan, The Making of an Islamic Economic Society, Cairo, 1984. 9 M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995 10 ibid. 8

4

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Mengacu pada pemikiran Choudhury (1998) disepakati bahwa epistemologi fundamental ekonomika Islami adalah didasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan “the primordial stock of knowledge” sehingga disebut sebagai tauhidi epistimologi. Runtun proses bagaimana implementasi epistemologi Tauhidi ke dalam tata aturan kehidupan ditempuh melalui ijtihad yang terekam dalam proses Qiyas maupun Ijma, dan juga pemikiran kontemporer dari pemikir Muslim hingga saat ini. Masih banyak lagi para ahli yang memberikan definisi tentang apa itu ekonomi Islam, namun penjelasan lebih menyeluruh tentang apa itu ekonomi Islam tergambar dalam rancang bangun ekonomi Islam. Sehingga ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta). Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada Al-Qur’an dan Sunnah adalah: 1.

Pemenuhan kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.

2.

Memastikan kesetaraan kesempatan untuk semua orang

3.

Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat.

4.

Memastikan kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral

5.

Memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Kerangka institusional suatu masyarakat Islam yang diajukan oleh

M.Nejatullah Siddiqi dalam artikelnya “Teaching Economics in An Islamic Perspective” adalah: 1.

Meskipun kepemilikan mutlak adalah milik Allah SWT, namun dalam Islam diperkenankan suatu kepemilikan pribadi, dimana dibatasi oleh kewajiban dengan sesama dan batasan-batasan moral yang diatur oleh syariah.

5

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2.

Kebebasan untuk berusaha dan berkreasi sangat dihargai, namun tetap mendapatkan batasan-batasan agar tidak merugikan pihak lain dalam hal ini kompetisi yang berlangsung haruslah persaingan sehat.

3.

Usaha gabungan (joint enterprise) haruslah menjadi landasan utama dalam bekerjasama, dimana sistem bagi hasil dan sama-sama menanggung risiko yang mungkin timbul diterapkan.

4.

Konsultasi dan musyawarah haruslah menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan publik.

5.

Negara bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur individu dalam setiap keputusan dalam rangka mencapai tujuan Islam. Empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi Islam adalah

1. Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh orang lain. Dalam ekonomi Islam Negara memiliki peran yang kecil namun sangat penting dalam menjamin stabilitas perekonomian umat. 2. Batasan moral atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam setiap melakukan aktivitasnya akan mampu pula memikirkan dampaknya bagi orang lain. 3. Kesetaraan kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan. 4. Usaha untuk selalu bermusyawarah dan bekerja sama, sebab hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam. Ekonomi konvensional mempunyai paradigma yang berbeda dengan ekonomi Islam. Karena ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler dan sama sekali tidak memasukkan faktor X (yaitu faktor Tuhan) didalamnya. Sehingga ekonomi konvensional menjadi suatu bidang ilmu yang bebas nilai (positivistik). Sementara ekonomi Islam dibangun di atas prinsip-prinsip syariah. Dalam tataran ini, ekonom muslim tidak berbeda pendapat. Namun ketika diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi Islam itu mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini pemikiran para ekonom muslim

6

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kontemporer terbagi atas tiga mazhab. Kenapa pemikiran para ekonom muslim ini dapat dikatakan sebagai mazhab? Sebab pemikiran-pemikiran mereka telah tersusun secara sistematis. Tiga mazhab tersebut adalah: ♦ Mazhab Iqtishaduna ♦ Mazhab Mainstream ♦ Mazhab Alternatif-kritis 

Mazhab Iqtishaduna Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”.

Dimana mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa berjalan seirama dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah tetap Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian dan filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi Islam (Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada perbedaan cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi termasuk pula dalam alat analisis yang dipergunakan. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia terbatas, dimana faktor utama permasalahan ekonomi adalah masalah kelangkaan. Mazhab ini menolak pernyataan ini, karena menurut mereka Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang mereka pergunakan untuk memperkuat argumentasi mereka adalah Al Qur’an Surat Al Qamar ayat 49       “Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepattepatnya”. Dengan demikian segala sesuatu telah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia. Kemudian mereka mengajukan sanggahan atas keinginan manusia yang tidak terbatas, menurut mereka keinginan manusia pun bersifat terbatas. Sebagai contoh: manusia akan berhenti makan bila sudah kenyang. Sehingga ditarik suatu kesimpulan bahwa keinginan manusia yang tidak terbatas itu adalah salah, sebab kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keinginan manusia terbatas.

7

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Mazhab ini berpendapat bahwa permasalahan dalam ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membenarkan terjadinya eksploitasi atas sekelompok pihak yang lemah oleh sekelompok pihak yang lebih kuat, dimana pihak yang kuat akan mampu menguasai sumber daya yang ada sementara di pihak lain pihak yang lemah sama sekali tidak mempunyai akses terhadap sumber daya tersebut. Sehingga masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas. Oleh karena itu istilah ekonomi Islam adalah istilah yang tidak tepat dan menyesatkan, sehingga istilah ekonomi Islam harus dihentikan. Sebagai gantinya ditawarkan suatu istilah baru yang berasal dari filosofi Islam yaitu iqtishad. Iqtishad menurut mereka bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja. Iqtishad berasal dari bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti equlibrium atau keadaan sama, seimbang atau pertengahan. Oleh karenanya, semua teori ekonomi konvensional ditolak dan dibuang dan diganti oleh teori-teori baru yang disusun berdasarkan nashnash Al Qur’an dan Sunnah. 

Mazhab Mainstream Mazhab kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab kedua

atau yang lebih dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 155               “Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar”. Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah dan bersifat sunatullah. Dalil yang dipakai adalah Al Qur’an surat At Takaatsur ayat 1-5

8

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

                      “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu)”. Perbedaan mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah kelangkaan ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma serta nilai agama ataukah tidak. Dengan kata lain pilihan dilakukan berdasarkan tuntutan nafsu semata (Homo economicus). Sedangkan dalam ekonomi Islam penentuan pilihan tidak bisa seenaknya saja, sebab semua sendi kehidupan kita telah diatur oleh Al Qur’an dan Sunnah. Sehingga kita sebagai manusia ekonomi Islam (Homo Islamicus) harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada. Tokoh-tokoh mazhab antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, M A Mannan, M N Siddiqi, dll. Mayoritas mereka adalah para pakar ekonomi yang belajar serta mengajar di universitas-universitas barat, dan sebagian besar di antara mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB). Sehingga mazhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Salah seorang tokoh mazhab ini Umer Chapra mengatakan bahwa usaha pengembangan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh para ekonom konvensional. Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi suatu proses transformasi keilmuan yang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip syariah Islam. Sebab keilmuan yang saat ini berkembang di dunia Barat pada dasarnya merupakan pengembangan keilmuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim pada era dark ages, sehingga bukan tak mungkin ilmu yang berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang sarat nilai karena merupakan pengembangan dari pemikiran ilmuwan muslim terdahulu.

9

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis



Mazhab Alternatif –kritis Mazhab ketiga dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dll.

Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab pertama dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang pada hakikat aslinya sudah ditemukan oleh orang lain. Mereka menghancurkan teori lama, untuk kemudian menggantinya dengan teori baru yang notabenenya sebagian telah ditemukan. Sedangkan mazhab kedua dikritik sebagai jiplakan dari ekonomi konvensional dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat. Mazhab ketiga ini merupakan mazhab yang kritis, mereka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap ekonomi konvensional yang telah ada, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Sebab ekonomi Islam muncul sebagai tafsiran manusia atas Al Qur’an dan Sunnah, dimana tafsiran ini bisa saja salah dan setiap orang mungkin mempunyai tafsiran berbeda atasnya. Setiap teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya agar ekonomi Islam dapat muncul sebagai rahmatan lil-alamin di dunia ini.

B. Metodologi Ekonomi Islam Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi. Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuaian dengan berbagai sistem yang mengatur aspekaspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh. Suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses

10

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian perbedaan yang nyata seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini, namun pembahasan yang ada tentang ekonomi Islam masih terbatas pada latar belakang hukumnya saja atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai sistem ekonomi. Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari fiqih Islam yang membahas hukum dagang (fiqh muamalah) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut kemudian mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yng berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat muslim. Tidak adanya pembedaan antara fiqh muamalah dan ekonomi Islam merupakan salah satu kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam, sehingga seringkali suatu teori ekonomi berubah menjadi pernyataan kembali mengenai hukum Islam. Hal lain yang tidak menguntungkan dalam pembahasan ekonomi Islam dengan fiqh muamalah adalah menyebabkan terpecah-pecahnya dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi. Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial perlu kembali kepada

sejarah

agar

dapat

melaksanakan

eksperimen-eksperimennya

dan

menurunkan kecenderungan jangka jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi. Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer di satu pihak dan di pihak lain akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan

11

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

aplikasinya. Namun terdapat dua bahaya dalam mengkaji tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam, yaitu pertama, bahaya terlalu kaku dan taqlid antara teori dan aplikasinya, dimana terlalu kaku menggunakan patokan berdasarkan aplikasi yang terdapat pada masa terdahulu dan kurang melakukan inovasi dan pengembangan teori yang didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah serta kurang aplikatifnya teori berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda. Kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya kedua ini muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan para ekonom Islam untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik. Literatur Islam yang ada sekarang mengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode, yaitu metode deduksi dan metode pemikiran retrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli ekonomi Islam dan fuqaha. Metode pertama diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis

muslim

kontemporer

yang

merasakan

tekanan

kemiskinan

dan

keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.

C. Konsepsi Riba Para pakar sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum masehi, baik Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan Mesir Kuno. Pada tahun 2000 sebelum masehi, di Mesopotamia (wilayah Iraq sekarang), telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 tahun sebelum masehi Temple of Babilon mengenakan bunga sebesar 20% setahun. 11

11

Agustiono, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam: Respon terhadap Persoalan Kontemporer, Bandung : Ciptapusaka Media, 2002, h. 140

12

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut catatan sejarah, bangsa Yunani Kuno yang mempunyai peradaban tinggi melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Ditemui bahwa Socrates dan Aristoteles yang mengandalkan pemikiran rasional filosofis menilai sistem bunga sebagai sesuatu yang tercela dan tidak adil. Mereka melarang riba/bunga atas modal pinjaman karena uang dinyatakan sebagai ayam betina yang tidak bertelur, sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan uang lain. Sementara itu, Plato dalam bukunya “Laws”, mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zalim. Dua filosof Yunani terkemuka itu dipandang cukup representatif mewakili pandangan

filosof Yunani tentang bunga. Pada masa ini, interest atau usury

dinyatakan sebagai bagian dari profit. Ini berarti bahwa bagian pemilik modal mendapat imbalan dari modal yang ditanamkan berupa laba dari kegiatan ekonomi, bunga dianggap sebagai cost of money. Di pihak lain, pemilik lahan usaha apabila aktivitasnya di bidang pertanian, memperoleh sewa lahan (land rent). 12 Kerajaan Romawi kuno juga melarang keras setiap pungutan atas bunga dan pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya suku bunga melalui undang-undang. Kerajaan

Romawi

adalah

negara

pertama

yang

menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen. Tradisi bunga juga berkembang di tanah Arab sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul. Catatan sejarah menunjukkan

bangsa Arab cukup

maju dalam

perdagangan. Hal ini digambarkan Al-Quran dalam surah al-Quraisy dan bukubuku sejarah dunia. Bahkan kota Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India dan Cina, Syam dan Yaman. Untuk menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna mendukung kegiatan produksi. Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem bunga. Tegasnya, pinjaman uang saat itu, bukan semata untuk konsumsi, tetapi juga untuk usaha-usaha produktif. Sistem bunga ini selanjutnya yang dilarang Al-Qur’an secara bertahap.

12

Murasa Sarkniputra: “Tauhidi Epistimologi”, Makalah Workshop Silabus Kurikulum Ekonomi Islam, Jakarta: Aula Pascasarjana UIN Syhid, 2003, h. 15.

13

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII, tahun 1545 M mengatakan riba tidak dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan. Gaung Raja Hendri VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menyebarluaskan

menjajah Indonesia, mereka

pandangan Hendri VIII sehingga ada orang Indonesia yang

melarang dan menjauhi riba tetapi membolehkan dan mempraktekkan bunga. 13 Mereka membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba sama saja. Pandangan agama Yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab perjanjian lama pasal 22 ayat 25 yang berbunyi, “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat ku yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berlaku seperti seorang penagih hutang dan janganlah engkau bebankan bunga uang padanya, melainkan engkau harus takut pada Allah-mu supaya saudaramu dapat hidup diantaramu”. Pasal tersebut dengan tegas melarang praktek bunga bagi orang Yahudi. Namun, orang Yahudi suka membuat helah dengan menafsirkan pasal itu sesuai dengan nafsunya. Menurut mereka, bunga hanya terlarang kalau dilakukan sesama Yahudi dan tidak dilarang dipraktekan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Sikap seperti itu dikecam Al-Qu'ran sebagai perbuatan yang zalim dan batil. Sedangkan pandangan agama Nasrani mengenai bunga terdapat dalam kitab perjanjian

lama kitab Deuteronomy pasal 23 ayat 19,”Janganlah engkau

membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan yang dapat dibungakan”. Dalam perjanjian baru, injil lukas ayat 34 disebutkan, “jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya

kehormatan kamu, tetapi berbuatlah kebajikan dan berikanlah

pinjaman dengan tidak mengharapkan kembali karena pahala kamu akan sangat banyak”. Melihat pandangan kedua agama tersebut tentang pelarangan bunga, amat tepat untuk menyimpulkan bahwa non-muslim pun harus menyambut baik gerakan bank tanpa bunga. Hal ini karena bank Islam telah memberikan jalan keluar dari larangan kitab suci di atas. Ini agaknya sarana yang tepat untuk mengembangkan 13

Agustiono, Op. Cit.

14

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kerjasama dalam memerangi bunga yang telah dilarang agama samawi tersebut. Dari paparan di atas, jelas bunga telah dilarang dalam peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu, sejak Yunani kuno, Romawi Kuno dan Mesir Kuno. Demikian pula agama-agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani. Kini seluruh pakar ekonomi Islam di dunia telah ijma' menetapkan keharaman bunga bank, karena itu umat Islam sudah semestinya hijrah dari bank konvensional kepada bank syariah. Secara etimologi, riba berarti ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh) 14, meski ada perbedaan dalam kata tersebut tetapi memiliki makna yang sama yaitu adanya suatu kelebihan atau penambahan pada suatu tertentu. Namun, tidak setiap penambahan atau pertumbuhan dilarang Islam. Dalam bukunya Wahbah az Zuhaili 15 menjelaskan, bahwa menurut Imam Hambali riba adalah tambahan pada sesuatu yang dikhususkan. Abu Hanifah mendefinisikan, melebihkan harta dalam suatu transaksi dengan tanpa pengganti atau imbalan. Maksudnya, tambahan terhadap barang atau uang yang timbul dari suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan oleh berhutang kepada pihak berpiutang pada saat jatuh tempo. Ibn Arabi al-Maliki dalam bukunya Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa riba yang dimaksudkan dalam al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa ada satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Transaksi pengganti atau penyeimbang yang dimaksud yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Secara teknis Riba mengacu kepada pembayaran “premi” yang harus dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo. Dalam pengertian ini riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest). 16 Dengan demikian apabila terjadi pertukaran barang yang digolongkan ke dalam ribawi ukurannya harus sama, baik dari segi berat atau pun ukurannya. Apabila seseorang menukar satu gram emas dengan orang lain maka ia harus menerima satu gram pula. Kalau terjadi kelebihan, maka hal tersebut adalah riba. Demikian juga dalam berkontrak, jika para pihak sudah sepakat menukarkan barangnya dengan barang 14

Abu al Fathi, Lisan al ‘Arab, Beirut: Dar al Sadir, 1989, Jilid VII, h. 345 Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al Fikr al Mu’ashir, 1989, Jilid IV, Cet III, h..3698 16 M. Umer Chapra, Op. Cit., h 22. 15

15

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

lain atau uang maka harus diserahkan secara tunai pada waktu yang sama, tidak boleh menunda penyerahannya baik salah satu maupun keduanya. Di samping itu ukuran harta yang dipertukarkan harus diketahui jumlahnya saat terjadinya kontrak. Dari penjelasan di atas, ada beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba, yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati. Ketiga unsur ini bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya. Ada dua bentuk riba yang berkembang sejak permulaan Islam: riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah banyak berkaitan dengan penangguhan waktu yang diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan tambahan atau premi. Jadi, riba bentuk ini mengacu kepada bunga pada utang. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah prosentase keuntungan dari pokok bersifat tetap atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayar di depan atau pada saat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman. Sementara riba fadhl merupakan kelebihan pinjaman yang dibayar dalam segala jenis, berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama. 17 16F

Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadishadis Rasulullah saw. Di dalam al-Qur'an, menurut para Mufassir mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah secara bertahap, yaitu: Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan Allah dalam surat al-Ruum ayat 39 yang berbunyi :                        

17

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995: 89.

16

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” Ayat ini merupakan ayat pertama berbicara tentang riba, menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyah (ayat-ayat yang di turunkan pada periode Mekah). Akan tetapi, para ulama sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Tahap kedua, Allah telah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaikan-Nya dalam surat al-Nisa' ayat 161 yang berbunyi :                 “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi:               “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukan merupakan syarat dari terjadinya riba tetapi merupakan sifat/karakteristik (‫)ﺣﺎﻝ‬ dari praktek membungakan uang saat itu. Dalam hal ini, Ath-Thabari menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afan dapat terjadi juga atas permintaan perpanjangan waktu saat utang jatuh tempo dan salah satu pihak yang berutang akan memberi

17

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kelebihan ataupun pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas piutangnya. 18 Dengan demikian bunga dalam jumlah besar, berlipat ganda atau 17F

kecil sekalipun tetap merupakan riba. Demikian pula ayat ini juga perlu dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al Baqarah. Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah, 2: 275, 276, 278. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan memusnahkan riba:                                            

              

     “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan

riba,

padahal

Allah

telah

menghalalkan

jual

beli

dan

mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” (276).

18

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari, Jaami’u al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al Qur’an, Jilid IV, Cet. 2., Mesir: Musthafa al Babi al Halabi, 1954, h. 90.

18

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

              “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah; 278) Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar fiqh, terjadi pada akhir abad ke delapan atau awal abad ke sembilan Hijriah. Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah saw. di antaranya adalah sabda Rasulullah saw. dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, di antaranya adalah memakan riba. Dalam riwayat 'Abdullah ibn Mas'ud dikatakan: Rasulullah saw melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya. (HR Abu Daud, dan hadis yang sama juga diriwayatkan Muslim dan Jabir ibn 'Abdillah). Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Qur’an maupun sunnah. tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaski bisnis. Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kedzaliman pada salah satu pihak. Selain mengandung unsur kedzaliman dan eksploitasi pada salah satu pihak, aktivitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan asumsi tanpa bekerja keras seseorang akan memperoleh rate of interest yang bersifat certainty. Hal-hal lain yang berkaitan dengan resiko dinafikan hingga pada saatnya terjadi dan tidak dapat dielakkan dan diderita kerugian besar. Kebiasaan melakukan riba juga akan menghambat tumbuhnya sektor riil yang dalam kerangka makro berimplikasi pada menurunnya partisipasi kerja, beli masyarakat akibat menurunnya pendapatan.

D. Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Sistem ekonomi islam merupakan ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat, maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-undangan Islam (sunnatullah). Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang mandiri dan terlepas dari sistem ekonomi yang lainnya.

19

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Adapun yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah sebagaimana diungkapakan oleh Suroso imam zadjuli dalam Achmad ramzy tadjoedin (1992: 39) 1. Asumsi dasar/norma pokok ataupun aturan main dalam proses maupun interaksi kegiatan ekonomi yang diberlakukan. 2. Prinsip ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan tetap menjaga kelestarian alam. 3. Motif ekonomi Islam adalah mencari “keberuntungan” di dunia dan di akhirat selaku khalifatullah dengan jalan beribadah dalam arti yang luas. Berkaitan dengan dasar-dasar ekonomi Islam, Goenawan Mohammad dalam Ahmad Ramzy Tadjoeddin (1992:61) memberikan tawaran:pertama, ekonomi Islam ingin mencapai masyarakat yang berkehidupan sejahtera di dunia dan di akhirat. Yakni tercapainya pemuasan optimal pelbagai kebutuhan jasamani dan rohani yang seimbang, baik bagi perorangan maupun masyarakat. Kedua, hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk halhal yang halal pula. Keitga. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlantar. Keempat, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang selalu diminta. Oleh karena itu harus dinafkahkan sehingga dapat dicapai pembagian rezeki. Kelima, pada batas waktu tertentu hak milik tersebut dikenakan zakat. Keenam, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang. Ketujuh, tidak ada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama, dan yang menjadi ukuran perbedaan hanyalah prestasi kerja. Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktek ekonomi Islam, dalam konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu utama. Pertama, praktek transaksi keuangan dan posisi mengenai sistem bunga. Kedua, pemikiran mengenai keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga, pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi. Sistem ekonomi Islam memiliki sejumlah karakteristik yang sama baik dengan kapitalisme maupun sosialisme. Dibolehkannya hak milik pribadi dan kebebasan untuk melakukan pertukaran merupakan elemen yang ada dalam kapitalisme. Tapi selain itu, para proponen ekonomi Islam juga menekankan pentingnya intervensi

20

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

negara terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam spektrum yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik, berbeda atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia. Meskipun demikian, para proponen ekonomi Islam umumnya memandang sistem ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua sistem besar. Perbedaan yang utama dan pertama tentu secara epistemologis: ekonomi Islam dipercaya sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Ini kemudian membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam ekonomi konvensional tidak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilainilai yang dibenarkan oleh Islam. Sistem

ekonomi

kapitalis

sekarang

telah

semakin

mendunia

dan

mendominasi perekonomian dunia. Karena lebih menjanjikan kemakmuran masyarakat yang merupakan pencapaian tujuan dari setiap sistem perekonomian. Sedangkan sistem ekonomi sosialis menjadi semakin tidak populer, karena beberapa negara yang mempraktikannya justru telah ambruk perekonomiannya, dan terbukti mencapai kemakmuran yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang menganut paham kapitalis. Bila mencermati lebih dalam dengan pikiran yang jernih, sistem ekonomi Islam sekarang tampil dengan suatu kemasan yang berbeda dari sistem ekonomi lainnya (konvensional). Selanjutnya akan dilihat perbandingan antara ketiga sistem ekonomi ini dari sisi dasar fondasi mikro (basic of the micro foundations) dan dari sisi landasan filosofis (philosofic foundations).

21

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gambar 1.1. Perbandingan Paradigma Sistem Ekonomi Islam, Kapitalis dan Sosialis Economics

Economic system

Socialism

Islamic system

Capitalism

Marxism paradigm

Islamic paradigm

Market economy paradigm

Basic of the micro foundation: No private ownership of the means of the production

Basic of the micro foundation: Foundation of moslem man (ahsani taqwa)

Basic of the micro foundation: Economic man

Philosophic foundation: Dialectical materialism

Philosophic foundation: Individualism in the role of vicegerent of the god on earth with an objective to achieve falah in this world and hereafter

Philosophic foundation: Utilitiarian individualism based on the “laissez faire” philosophy

22

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 2 KONSEP DASAR LEMBAGA KEUANGAN

A. Konsep Dasar Uang Pada awalnya, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri, mereka memperoleh makanan atau berburu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena kebutuhannya masih sangat sederhana, mereka belum membutuhkan orang lain. Dalam periode awal ini, manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli. Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan semakin majunya peradaban, kegiatan serta interaksi antar sesama manusia semakin meningkat. Jumlah dan jenis kebutuhan manusia juga semakin beragam. Satu sama lain mulai saling membutuhkan, karena tidak ada individu yang secara sempurna mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Pada tahapan manusia yang masih sangat sederhana mereka dapat menyelenggarakan tukar menukar kebutuhan dengan cara barter. Pertukaran barter mensyaratkan adanya keinginan dan kebutuhan yang sama pada waktu bersamaan dari pihak-pihak yang melakukan pertukaran. Namun seiring dengan semakin kompleksnya kebutuhan sehingga menimbulkan suatu kendala utama dalam melakukan pertukaran yaitu sulit untuk memperoleh barang dan jasa yang diinginkan dengan jenis barang dan jasa yang dibutuhkan oleh orang lain atau kesulitan mencari kesamaan permintaan (double coincidence of wants). Selain itu kesulitan melakukan pertukaran adalah masalah menentukan nilai yang tepat bagi barang dan jasa yang dipertukarkan. Untuk mengatasi segala kendala yang muncul akibat sistem barter akhirnya dipikirkanlah sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat tukar yang lebih efisien dan efektif. Alat tukar tersebut akhirnya kita kenal dengan nama “uang” seperti sekarang ini. Dengan dimunculkannya uang segala kendala akibat sistem barter dapat diatasi bahkan fungsi uang tidak hanya sebagai alat tukar saja, melainkan beralih ke fungsi-fungsi lainnya yang jauh lebih luas.

23

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Dengan kata lain, bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan dalam melakukan pertukaran baik barang maupun jasa dalam suatu wilayah tertentu saja 1. Dalam perkembangannya uang telah berevolusi, dari perkembangan tersebut uang dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu 2: 1. Uang komoditas (commodity money) Uang komoditas adalah alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau bisa diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai uang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga kondisi utama, agar suatu barang atau komoditas bisa dijadikan uang: -

Kelangkaan, persediaan barang tersebut harus terbatas

-

Daya tahan, barang tersebut harus tahan lama

-

Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan transaksi

Dalam sejarah, penggunaan uang komoditas juga pernah disyaratkan barang yang digunakan sebagai barang kebutuhan sehari-hari seperti garam. Namun uang komoditas memiliki banyak kelemahan salah satunya uang tersebut tidak memiliki pecahan, sulit disimpan serta sulit untuk dibawa. Kemudian penggunaan uang komoditas bergeser pada penggunaan logam mulia, dan yang dipilih adalah emas dan perak. Alasan penggunaan emas dan perak dipilih sebagai uang karena kedua logam tersebut memiliki nilai tinggi, langka dan dapat diterima secara umum sebagai alat tukar. Kelebihan lainnya, emas dan perak dapat dipecah menjadi bagian-begian yang kecil dengan nilai yang tetap serta tidak mudah susut atau rusak.

1

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. ed. Revisi. Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 13 Nurul Huda, dkk. Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Jakarta: Penerbit Kencana, 2008, h. 76-78 2

24

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Uang kertas (token money) Ketika uang logam masih digunakan sebagai uang resmi dunia, ada beberapa pihak yang melihat peluang meraih keuntungan dari kepemilikan mereka atas emas dan perak. Pihak-pihak ini adalah bank, orang yang meminjamkan uang dan goldsmith. Mereka melihat bukti peminjaman, penyimpanan atau penitipan emas dan perak di tempat mereka juga bisa diterima di pasar. Goldsmith mengeluarkan surat bukti penyimpanan dengan nilai yang besar atas nilai emas dan perak yang dimiliki, kemudian bukti penyimpanan ini diterima oleh masyarakat sebagai salah satu alat tukar. Hal ini berlanjut sampai dengan uang kertas menjadi alat tukar yang dominan, dan kemudian semua sistem perekonomian menggunakannya sebagai alat tukar utama. Pada awalnya uang kertas yang kita gunakan saat ini, setiap pencetakannya harus berdasarkan pada cadangan emas yang disimpan pada bank sentral. Namun saat ini pencetakan uang tidak lagi didukung oleh cadangan emas, dan hal inilah salah satu faktor yang menyebabkan ketidakstabilan nilai uang. Penerimaan secara umum oleh masyakat atas uang kertas sepenuhnya didasarkan atas faktor kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, sehingga uang kertas ini sering pula dikenal sebagai fiat money (uang kepercayaan). Karena jika dilihat secara riil, nilai intrinsik uang kertas jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai nominal yang tertera pada uang tersebut. Sehingga jika masyarakat tidak percaya lagi terhadap uang kertas tersebut, maka uang kertas tidak dapat lagi digunakan dalam transaksi pertukaran di dalam perekonomian. Keuntungan penggunaan uang kertas di antaranya adalah biaya pembuatan rendah (nilai intrinsik lebih kecil daripada nilai nominal), mudah dibawa kemana-mana, dapat dipecah dalam nominal berapa pun. Akan tetapi kekurangannya cukup signifikan antara lain uang kertas tidak bisa dibawa dalam jumlah yang sangat besar serta lebih cepat rusak karena terbuat dari kertas.

25

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Uang giral Uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang giral ini merupakan simpanan nasabah di bank yang dapat diambil setiap saat dan dapat dipindahkan kepada orang lain untuk melakukan pembayaran. Kelebihan daripada uang giral sebagai alat bayar adalah: -

Kalau hilang mudah untuk dilacak kembali, sehingga tidak dapat diuangkan oleh yang tidak berhak

-

Dapat dipindahtangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah

-

Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat ditulis sesuai dengan nilai transaksi

Namun di balik kelebihan ini, terdapat suatu kelemahan. Kemudahan perbankan menciptakan uang giral ditambah dengan instrumen bunga menciptakan peluang terjadinya uang beredar yang lebih besar daripada transaksi riilnya. Inilah yang dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi semu (bubble economy). Dalam perekonomian yang semakin modern seperti saat ini uang memainkan peranan yang sangat penting bagi semua kegiatan masyarakat. Uang sudah merupakan suatu kebutuhan, bahkan uang menjadi salah satu penentu stabilitas dan kemajuan perekonomian di suatu negara. Namun demikian, bukan berarti sistem barter sudah tidak ada, tetapi masih digunakan untuk tingkat perdagangan tertentu saja seperti perdagangan antar negara dan di daerah pedesaan. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa uang memiliki manfaat yang dapat diperoleh baik bagi pihak penerima uang maupun pembayar. Adapun manfaat yang diperoleh dengan adanya uang antara lain 3: 1.

Mempermudah untuk memperoleh dan memilih barang dan jasa yang diinginkan secara cepat

2.

Mempermudah dalam menentukan nilai dari barang dan jasa

3.

Memperlancar proses perdagangan secara luas

4.

Digunakan sebagai tempat menimbun kekayaan

3

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, 2008, h. 14

26

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Karakteristik dan Jenis Uang Uang agar dapat menjadi alat tukar harus memenuhi persyaratan dengan tujuan agar sesuatu yang dianggap uang dapat diterima di semua lapisan masyarakat dan dapat digunakan sebagai alat tukar menukar oleh si pemiliknya. Berikut merupakan beberapa kriteria agar sesuatu dapat diakui sebagai uang, yaitu 4: 1.

Ada jaminan Setiap uang yang diterbitkan dijamin oleh pemerintah negara tertentu. Dengan adanya jaminan dari pemerintah tertentu, maka kepercayaan untuk menggunakan uang untuk berbagai keperluan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Khususnya uang logam sudah dijamin oleh nilai yang terkandung di dalam uang tersebut. Oleh karena itu, yang perlu jaminan pemerintah adalah uang kartal kertas. Uang jenis ini digunakan hanya berdasarkan kepercayaan (fiat money).

2.

Diterima umum Uang harus dapat diterima secara umum penggunaannya apakah sebagai alat tukar, penimbun kekayaan atau sebagai standar pencicilan utang. Fungsi uang di sini tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi sebagai alat untuk menimbun kekayaan atau sebagai standar pencicilan utang.

3.

Nilai yang stabil Nilai uang harus memiliki kestabilan dan ketetapan serta diusahakan fluktuasinya sekecil mungkin. Apabila nilai uang sering mengalami ketidakstabilan,

maka

akan

sulit

untuk

dipercaya

oleh

yang

menggunakannya. 4. Mudah disimpan Uang harus mudah disimpan di berbagai tempat termasuk dalam tempat yang kecil namun dalam jumlah yang besar. Artinya uang harus memiliki fleksibilitas, seperti bentuk fisiknya yang tidak terlalu besar, mudah dilipat dan terdapat nominal mulai dari yang kecil sampai nominal yang maksimal.

4

Ibid, h. 14-17

27

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Mudah dibawa Uang harus mudah dibawa ke mana pun dengan kata lain mudah untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu tangan ke tangan yang lain dengan fisik kecil dan nominal besar sekalipun. Uang sebaiknya mudah dibawa untuk keperluan sehari-hari, oleh karena itu dalam hal ini fisik uang juga jangan terlalu besar dan diusahakan sering mungkin. 6. Tidak mudah rusak Uang hendaknya tidak mudah rusak dalam berbagai kondisi, baik robek atau luntur terutama kondisi fisiknya mengingat frekuensi pemindahan uang dari satu tangan ke tangan lainnya demikian besar. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kualitas fisik uang harus benar-benar dijaga dan terjamin kualitasnya sehingga uang dapat digunakan untuk waktu yang relatif lama. 7. Mudah dibagi Uang mudah dibagi ke dalam satuan unit tertentu dengan berbagai nominal yang ada guna kelancaran dalam melakukan transaksi, mulai dari nominal kecil sampai dengan nominal yang besar sekalipun. Kemudian uang tidak hanya agar mudah dibagi, tetapi juga harus mudah dalam pembulatan dengan kelipatan tertentu, terutama dalam nilai bulat. Oleh karena itu, agar uang mudah dibagi harus dibuat dalam nominal yang beragam. 8. Penawaran harus elastis Agar perdagangan dan usaha menjadi lancar jumlah yang beredar di masyarakat haruslah mencukupi. Tersedianya uang dalam jumlah yang cukup disesuaikan dengan kondisi usaha atau kondisi perekonomian suatu wilayah. Apabila dalam dunia usaha terjadi kekurangan uang maka berakibat kurang baik demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, jumlah uang harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Artinya apabila terjadi kekurangan atau kelebihan harus cepat dapat diatasi.

28

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Secara umum fungsi uang adalah sebagai berikut: 1)

Alat tukar menukar Dalam hal ini uang digunakan sebagai alat untuk membeli atau menjual suatu barang maupun jasa. Dengan kata lain, uang dapat dilakukan untuk membayar terhadap barang yang akan dibeli atau diterima sebagai akibat dari penjualan barang dan jasa. Maksudnya, penggunaan uang sebagai alat tukar dapat dilakukan terhadap segala jenis barang dan jasa yang ditawarkan atau dijual.

2)

Satuan hitung Fungsi uang sebagai satuan hitung menunjukkan nilai dari barang dan jasa yang dijual atau dibeli. Besar kecilnya nilai yang dijadikan sebagai satuan hitung dalam menentukan harga barang dan jasa secara mudah. Dengan adanya uang akan mempermudah keseragaman dalam satuan hitung

3)

Penimbun kekayaan Dengan menyimpan uang berarti kita menyimpan atau menimbun kekayaan sejumlah uang yang disimpan, karena nilai uang tersebut tidak akan berubah. Uang yang disimpan menjadi kekayaan dapat berupa uang tunai atau uang yang disimpan di bank dalam bentuk rekening.

4)

Standar pencicilan utang Dengan adanya uang akan mempermudah menentukan standar pencicilan utang piutang secara tepat dan cepat, baik secara tunai maupun secara angsuran. Begitu pula dengan adanya uang, secara mudah dapat ditentukan berapa besar nilai utang piutang yang harus diterima atau dibayar sekarang atau di masa yang akan datang

Uang yang dijadikan sebagai alat untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari terbagi dalam beberapa jenis. Pembagian ini didasarkan kepada berbagai maksud dan tujuan penggunaannya sesuai dengan keperluan berbagai pihak yang membutuhkan.

29

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Jenis-jenis uang dapat dilihat dari berbagai sisi adalah sebagai berikut 5: 1. Berdasarkan bahan Jika dilihat dari bahan untuk membuat uang, maka jenis uang terbagi dari dua macam, yaitu: a) Uang logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat dari logam, baik alumunium, kupronkel, kuningan, emas, perak, perunggu atau bahan logam lainnya. Di Indonesia, uang logam terdiri dari pecahan yang kecil. b) Uang kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas atau bahan lainnya. Uang jenis ini terbuat dari kertas yang berkualitas tinggi, yaitu tahan terhadap air, tidak mudah robek atau luntur. 2. Berdasarkan nilai Jenis uang ini dilihat dari nilai yang terkandung pada uang tersebut, apakah nilai intrinsiknya atau nilai nominalnya. Uang jenis ini terbagi dalam dua jenis, yaitu: a) Bernilai penuh (full bodied money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya sama dengan nilai nominalnya, sebagai contoh uang logam emas dan perak dimana nilai bahan untuk membuat uang tersebut sama dengan nilai nominal yang tertulis di uang. b) Tidak bernilai penuh (representative full bodied money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil daripada nilai nominalnya. Sebagai contoh adalah uang yang terbuat dari kertas. Biasanya nilai intrinsiknya jauh lebih kecil daripada nilai nominalnya 3. Berdasarkan lembaga Berdasarkan lembaga maksudnya adalah badan atau lembaga yang menerbitkan atau mengeluarkan uang. Jenis uang yang diterbitkan berdasarkan lembaga terdiri dari: a) Uang kartal, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank sentral suatu negara, di Indonesia yang menerbitkan uang adalah Bank Indonesia. b) Uang giral, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank umum, seperti cek, bilyet giro, traveler cheque, dan kartu kredit 5

Ibid, h. 19-21

30

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Berdasarkan kawasan Uang jenis ini dilihat dari daerah atau wilayah berlakunya suatu uang, artinya bisa saja suatu jenis mata uang hanya berlaku dalam satu wilayah tertentu dan tidak berlaku di daerah lainnya atau berlaku di seluruh wilayah. Jenis uang berdasarkan kawasan adalah sebagai berikut: a) Uang lokal, merupakan uang yang berlaku di suatu negara tertentu, seperti Rupiah di Indonesia atau Baht di Thailand b) Uang regional, merupakan uang yang berlaku di kawasan tertentu yang lebih luas dari uang lokal seperti untuk kawasan Eropa yang berlaku mata uang tunggal Euro c) Uang internasional, merupakan uang yang berlaku antar negara, seperti US Dollar yang menjadi standar pembayaran internasional.

C. Konsep Uang dalam Islam 1. Uang di zaman Ibnu Taimiyah Ibnu Taimiyah seorang ulama Islam yang hidup pada jaman pemerintahan raja Mamluk, mengalami situasi beredar banyak jenis mata uang dengan nilai kandungan logam mulia yang berlainan satu sama lain. Ketika itu beredar tiga jenis mata uang dinar (emas), dirham (perak), dan fullus (tembaga). Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran dirham berfluktuasi kadang-kadang malah menghilang, sedangkan yang beredar luas adalah fullus. Fenomena inilah yang dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik 6. Pernyataan Ibnu Taimiyah inipun diikuti dalam ekonomi konvensional “bad money driven outs good money” Pemerintahan Mamluk ditandai dengan instabilitas sistem moneter karena banyaknya fullus yang beredar dan karena meningkatnya jumlah tembaga dalam mata uang dirham, maka tidaklah aneh bila sistem moneter modern dengan uang kertas berulang kali mengalami krisis terutama setelah dihapusnya standar emas dalam perekonomian. Penerus raja Mamluk yaitu Sultan Kirbugha menyatakan fullus ditentukan nilainya dari beratnya dan bukan dari nominasinya, maka untuk 6

A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj Anshari T. Surabaya: Bina Ilmu, 1997, h.

177

31

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menambah jumlah fullus harus mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Percetakan uang menjadi industry dengan didirikannya pabrik percetakan fullus di Kairo dan Alexandria. Kemudian terkait dengan praktik impor tembaga dari negaranegara Eropa, Ibnu Taimiyah mengkritiknya sebagai bagian dari bisnis uang. Secara garis besar ada lima hal yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah.

Pertama,

perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya kepercayaan orang akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang melakukan kontrak jangka panjang dan mendhalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap sebagai pegawai. Ketiga, perdagangan domestik akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang. Keempat, perdagangan internasional akan menurun. Kelima, logam berharga akan mengalir keluar dari negara. 2. Uang Menurut Al-Ghazali Al-Ghazali berpendapat bahwa dalam ekonomi, uang dibutuhkan sebagai nilai suatu barang. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, maka uang akan berfungsi pula sebagai media pertukaran. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut AlGhazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak mempunyai harga namun merefleksikan harga semua barang, uang memberikan kegunaan jika uang itu dipergunakan untuk membeli barang. Merujuk pada Al-Qur’an, Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang yang dikatakannya sebagai penjahat. Hal yang lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak, kegiatan mereka lebih rendah dari penimbun uang. Peredaran uang palsu sangat dikecam pula, namun konteks menurut jaman ini uang palsu adalah uang yang kandungannya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh Al-Ghazali. Menurut beliau, mencetak dan mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri, sebab merugikan bagi siapapun yang menggunakannya. Al-Ghazali membolehkan peredaran uang yang sama sekali tidak mengandung emas dan perak asalkan pemerintah menyatakan sebagai alat pembayaran resmi 7.

7

Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002, h. 24-25

32

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3.

Uang Menurut Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun dalam pendapatnya menyatakan bahwa kekayaan suatu negara

bukan ditentukan dari banyaknya uang, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja. Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa uang tidak harus mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah, bahwa ia senilai sepersekian gram emas dan perak. Sekali pemerintah menetapkan nilainya, maka pemerintah tidak boleh merubah standar tersebut.

D. Peran Lembaga Keuangan Dengan semakin berkembangnya aktivitas perekonomian masyarakat, maka mereka membutuhkan suatu institusi yang bertugas untuk mengelola uang yang mereka miliki. Hal inilah yang melahirkan lembaga keuangan, pada awalnya lembaga keuangan modern yang muncul adalah bank. Lembaga keuangan bank dibutuhkan sebagai suatu lembaga intermediary (perantara) antara pihak yang surplus dana kepada pihak yang defisit dana. Perkembangan selanjutnya lembaga keuangan bank maupun non bank semakin berkembang pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 792 Tahun 1990, lembaga keuangan diberi batasan sebagai semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Meski dalam peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai investasi perusahaan namun peraturan tersebut tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga keuangan hanya untuk investasi perusahaan. dalam kenyataannya, kegiatan pembiayaan lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi investasi perusahaan, kegiatan konsumsi dan kegiatan distribusi barang dan jasa.

33

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Secara umum lembaga keuangan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu bank dan bukan bank. mengingat kegiatan utama dari lembaga keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, maka perbedaan antara bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilihat melalui kegiatan utama masing-masing lembaga keuangan tersebut. Tabel 2.1. Perbedaan Kedua Bentuk Lembaga Keuangan 8 Kegiatan Bank Penghimpunan dana 1. Secara langsung berupa simpanan dana masyarakat (tabungan, deposito, dan giro) 2. Secara tidak langsung dari masyarakat (surat berharga, penyertaan, pinjaman/kredit dari lembaga lain) Penyaluran dana 1. Untuk tujuan modal kerja, investasi, konsumsi 2. Kepada badan usaha dan individu 3. Untuk jangka pendek, menengah dan panjang

LKNB Hanya secara tidak langsung dari masyarakat (terutama melalui kertas berharga; dan bisa juga dari penyertaan, pinjaman/kredit dari lembaga lain) 1. Terutama untuk tujuan investasi 2. Terutama kepada badan usaha 3. Terutama untuk jangka menengah dan panjang

Lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank, mempunyai peran yang penting bagi aktivitas perekonomian. Peran strategis bank dan lembaga keuangan bukan bank tersebut sebagai wahana yang mampu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien ke arah peningkatan taraf hidup masyarakat. Bank dan lembaga keuangan bukan bank merupakan lembaga perantara keuangan sebagai prasarana pendukung yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian. Lembaga keuangan berusaha menyalurkan dana dari pihak yang surplus dana kepada pihak yang mengalami defisit dana. Peran

penting lembaga keuangan baik bank maupun non bank dalam

perekonomian ialah 9: 8 9

Y Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 3 Ibid, h. 8

34

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Pengalihan aset (asset transmutation) Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh dari pemilik dana yaitu unit surplus yang jangka waktunya dapat diatur sesuai keinginan pemilik dana. Dalam hal ini bank dan lembaga keuangan bukan bank telah berperan sebagai pengalih aset dari unit surplus (lenders) kepada unit defisit (borrowers). Dalam kasus yang berbeda, pengalihan aset dapat pula terjadi jika bank dan lembaga keuangan bukan bank menerbitkan sekuritas sekunder (giro, deposito berjangka, dana pensiun dan sebagainya) yang kemudian dibeli oleh unit surplus dan selanjutnya ditukarkan dengan sekuritas primer (saham, obligasi, promes, commercial paper, dan sebagainya) yang diterbitkan oleh unit defisit 2. Transaksi (transaction) Bank dan lembaga keuangan bukan bank memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa. Produkproduk yang dikeluarkan oleh bank dan lembaga keuangan bukan bank (giro, tabungan, deposito, saham, dan sebagainya) merupakan pengganti uang dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran 3. Likuiditas (liquidity) Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk produk-produk berupa giro, tabungan, deposito dan sebagainya. Produkproduk tersebut masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbedabeda.

Untuk

kepentingan

likuiditas

pemilik

dana,

mereka

dapat

menempatkan dananya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. 4. Efisiensi (efficiency) Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanannya. Peranan bank dan lembaga keuangan bukan bank sebagai broker adalah mempertemukan pemilik dan pengguna modal. Lembaga keuangan memperlancar dan mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan.

35

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 3 BANK SENTRAL A.

Pendahuluan Bank sentral merupakan salah satu institusi penting dalam pengambilan

kebijakan moneter di setiap negara termasuk di Indonesia. Kunci sentral terkait seluruh pengambilan keputusan maupun kebijakan moneter di setiap negara adalah terletak pada institusi bank sentral, misalkan bank sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia, dan di Amerika bank sentralnya dikenal dengan The Federal Reserve atau biasa disingkat dengan sebutan The Fed. Bank Indonesia berasal dari De Javasche Bank N.V yang merupakan salah satu bank milik pemerintah Belanda. De Javasche Bank N.V didirikan pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1827 dalam rangka membantu pemerintah Belanda untuk mengurus keuangannya di Hindia Belanda pada waktu itu. Kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia tanggal 6 Desember 1951 dengan Undang-undang Nomor 24 tahun 1951 menjadi bank milik pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undangundang Nomor 13 tahun 1968 Bank Indonesia dikukuhkan sebagai bank sentral di Indonesia 1. Pada masa berlakunya Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang bank sentral, otoritas kebijakan moneter di Indonesia pada dasarnya terletak pada pemerintah. Berdasarkan undang-undang tersebut terdapat dua lembaga utama sebagai pelaksana kebijakan moneter, yaitu Bank Indonesia dan Dewan Moneter, meskipun otoritasnya tetap pada pemerintah. Pemerintah melalui Presiden dan Menteri Keuangan mempunyai kekuasaan atau akses yang sangat besar untuk mengarahkan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Dewan Moneter. Presiden mempunyai akses yang besar, karena yang mengangkat Gubernur Bank Indonbesia dan Direktur Bank Indonesia adalah di bawah wewenang Presiden atas usul Dewan Moneter. Menteri Keuangan dan menteri di bidang ekonomi mempunyai akses yang besar karena pada waktu itu anggota Dewan Moneter terdiri dari Menteri keuangan, seorang menteri bidang ekonomi dan 1

Kasmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 177

36

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gubernur BI. Di samping itu, pemerintah mempunyai wewenang berdasarkan UU untuk menentukan berbagai peraturan pelaksanaan dari UU tentang bank sentral Berbagai macam kondisi di atas memiliki beberapa implikasi, yaitu 2: 1. Kebijakan fiskal melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) relatif lebih dapat disinkronkan dengan kebijakan moneter melalui jumlah uang beredar karena otoritas kedua kebijakan tersebut terletak oada satu pihak, yaitu pemerintah. 2. Kebijakan moneter yang bertujuan terutama untuk menjamin sistem pembayaran yang lancar, stabil dan baik seringkali tidak berjalan searah dengan

tujuan-tujuan

pelaksanaan

kebijaksanaan

moneter.

Hal

ini

menyebabkan target kebijakan moneter seringkali tidak dapat dicapai dengan hasil yang maksimal 3. Campur tangan yang besar dari pemerintah mengandung risiko berupa pelaksanaan pembinaan dan pengawasan lembaga keuangan yang tidak efisien. Bahkan lebih lanjut, sistem ini sangat rentan terhadap campur tangan individual pejabat dan pihak lain dalam perumusan kebijakan moneter. Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut serta salah satu akibat dari terjadinya krisis ekonomi dan keuangan serta perbankan pada akhir tahun 1990-an, undang-undang nomor 13 tahun 1968 tersebut diganti dengan Undang-undang tentang bank sentral yang baru yaitu Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. UU ini bertujuan agar otoritas moneter dapat menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien melalui sistem keuangan yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian. UU ini memberikan kewenangan yang besar kepada Bank Indonesia untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter di Indonesia secara lebih independen. Undang-undang ini diperkuat kembali dengan UU nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang semakin memperkuat posisi dan kewenangan yang lebih luas kepada Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter yang diambilnya. 2

Y. Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000,

h. 11

37

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B.

Tujuan dan Tugas Tujuan Bank Indonesia menurut UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 ayat (1)

adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kemudian menurut UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 ayat (2) untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Tugas Bank Indonesia terkait tujuan tersebut menurut UU No. 23 tahun 1999 pasal 8 ialah: 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran 3. Mengatur dan mengawasi bank Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia tersebut diatas. Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia berwenang: 1. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi; 2. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-carayang termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; b) Penetapan tingkat diskonto; c) Penetapan cadangan wajib minimum; d) Pengaturan kredit atau pembiayaan. Cara-cara pengendalian moneter sebagaimana tersebut dapat dilaksanakan juga berdasarkan Prinsip Syariah. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana tersebut ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

38

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan. Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud, wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah. Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri. 4. Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah ditetapkan 5. Bank Indonesia mengelola cadangan devisa. Dalam pengelolaan cadangan devisa sebagaimana dimaksud Bank Indonesia melaksanakan berbagai jenis transaksi devisa. Dalam rangka pengelolaan cadangan devisa sebagaimana dimaksud Bank Indonesia dapat menerima pinjaman luar negeri. 6. Bank Indonesia dapat menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktuwaktu diperlukan yang dapat bersifat makro atau mikro untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud. Pelaksanaan survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh pihak lain berdasarkan penugasan dari Bank Indonesia. Dalam penyelenggaraan survei sebagaimana dimaksud, setiap badan wajib memberikan keterangan dan data yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia atau pihak lain sebagaimana dimaksud wajib merahasiakan sumber dan data individual sebagaimana dimaksud kecuali yang secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-undang. Pelaksanaan ketentuan ditetapkan berdasarkan Peraturan BI.

39

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang: 1. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran 2. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya 3. Menetapkan penggunaan alat pembayaran 4. Mengatur sistem kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan atau valuta asing. Penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan atau valuta asing dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia 5. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dalam mata uang rupiah dan atau valuta asing. Penyelenggaraan kegiatan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia 6. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan, dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah 7. Sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran. Uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bebas dari bea materai. Bank Indonesia dapat mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan penggantian dalam nilai yang sama. Apabila 5 (lima) tahun sesudah tanggal pencabutan masih terdapat uang yang belum ditukarkan, nilai uang tersebut diperhitungkan sebagai penerimaan tahun anggaran berjalan. Uang yang ditukarkan sesudah berakhirnya jangka waktu tersebut diperhitungkan sebagai pengeluaran tahun anggaran berjalan. Hak untuk menuntut penukaran uang yang sudah dicabut, tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal ditetapkan. Pelaksanaan kewenangan-kewenangan di atas ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

40

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia berwenang: 1. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia 2. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank. Memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu 3. Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung. Pelaksanaan pengawasan dilakukan antara lain dengan:  Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Apabila diperlukan, kewajiban tersebut dapat dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasi dari bank  Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. Apabila diperlukan, pemeriksaan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitur bank. Bank dan pihak-pihak yang diperiksa wajin memberikan kepada pemeriksa berupa keterangan dan data yang diminta; kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; dan hal-hal lain yang diperlukan. 4. Menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan

sebagaimana

dimaksud.

Pihak

lain

yang

melaksanakan

pemeriksaan sebagaimana dimaksud wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan. Syarat-syarat bagi pihak yang ditugasi oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. 5. Memerintahkan Bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.

41

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut. Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi 6. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank. Sistem informasi sebagaimana dimaksud dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Penyelenggaraan sistem informasi sebagaimana dimaksud dapat dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan atau pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. 7. Dalam

hal

keadaan

suatu

Bank

menurut

penilaian

Bank

Indonesia

membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku 8. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud akan dilaksanakan selambatlambatnya 31 Desember 2010. Dalam kaitan hubungan dengan pemerintah, Bank Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kegiatan sebagai berikut: 1. Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah 2. Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah terhadap pihak luar negeri 3. Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan/atau mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau masalah lain yang termasuk kewenangan Bank Indonesia

42

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Bank Indonesia memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia 5. Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Sebelum menerbitkan surat utang negara, Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah, tetapi Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara kecuali di pasar sekunder. Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder dinyatakan batal demi hokum 6. Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. Dalam hal Bank Indonesia melanggar ketentuan tersebut, maka perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum Kemudian dalam kaitannya dengan hubungan internasional, Bank Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kegiatan sebagai berikut: 1. Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan bank sentral lainnya, organisasi dan lembaga internasional 2. Dalam hal dipersyaratkan bahwa anggota lembaga internasional dan/atau lembaga multilateral adalah negara, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama negara Republik Indonesia sebagai anggota

C.

Dewan Gubernur Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan

Gubernur. Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Gubernur Senior sebagai wakil. Dalam hal Gubernur dan Deputi Gubernur Senior berhalangan, Gubernur atau Deputi Gubernur Senior menunjuk seorang Deputi Gubernur untuk memimpin Dewan Gubernur. Dalam hal penunjukan sebagaimana ditetapkan karena sesuatu hal tidak dapat dilaksanakan, salah seorang Deputi

43

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gubernur yang paling lama masa jabatannya bertindak sebagai pemimpin Dewan Gubernur. Dewan Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang. Tata tertib dan tata cara menjalankan pekerjaan Dewan Gubernur ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur. Dewan Gubernur mewakili Bank Indonesia di dalam dan di luar pengadilan. Kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Gubernur. Gubernur dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud kepada Deputi Gubernur Senior, dan atau seorang atau beberapa orang pegawai Bank Indonesia, dan atau pihak lain yang khusus ditunjuk untuk itu. Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud dapat diberikan dengan hak substitusi. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Calon Deputi Gubernur diusulkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Gubernur. Dalam hal calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur sebagaimana dimaksud tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengajukan calon baru. Dalam hal calon yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud untuk kedua kalinya tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib mengangkat kembali

Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau

Deputi Gubernur untuk jabatan yang sama, atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur jabatan Dewan Gubernur dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud. Anggota Dewan Gubernur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali dalam jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya dilakukan secara berkala setiap tahun paling banyak 2 (dua) orang Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat antara lain : 1. Warga negara Indonesia; 2. Memiliki ahlak dan moral yang tinggi;

44

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum Sesama Anggota Dewan Gubernur dilarang mempunyai hubungan keluarga sampai derajat ketiga dan besan. Jika setelah pengngkatan, antara sesama anggota Dewan Gubernur terbukti mempunyai hubungan atau terjadi hubungan keluarga yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak terbukti mempunyai atau terjadi hubungan keluarga tersebut, salah seorang diantara mereka wajib mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam hal salah satu anggota Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud tidak bersedia mundur, Presiden menetapkan kedua anggota Dewan Gubernur tersebut untuk berhenti dari jabatannya. Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang : 1. Mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung pada perusahaan mana pun juga; 2. Merangkap jabatan pada lembaga lain kecuali karena kedudukan wajib memangku jabatan tersebut; Dalam hal anggota Dewan Gubernur melakukan salah satu atau lebih larangan sebagaimana dimaksud, anggota Dewan Gubernur tersebut wajib mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam hal Anggota Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud tidak bersedia mengundurkan diri, Presiden menetapkan Anggota Dewan Gubernur tersebut berhenti dari jabatan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, kecuali karena yang bersangkutan: 1. Mengundurkan diri; 2. Terbukti melakukan tindak pidana kejahatan; 3. Tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; 4. Dinyatakan pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur; 5. Berhalangan tetap.

45

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Anggota Dewan Gubernur yang direkomendasikan untuk diberhentikan sebagaimana dimaksud berhak didengar keterangannya. Pemberhentian anggota Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui massa pada setiap awal tahun anggaran yang memuat: 1. Evaluasi terhadap pelalksanaan kebijakan moneter pada tahun sebelumnya. 2. Rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk tahun akan datang dengan mempertimbangkan sasaran laju inflasi serta perkembangan kondisi ekonomi dan keuangan. Informasi sebagaimana dimaksud disampaikan juga secara tertulis kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang kepad Dewan Perwakilan Rakyat setiap 3 (tiga) bulan. Dengan tidak mengurangi kewajiban sebagaimana dimaksud, Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat

D.

Bank Sentral Islam Bagaimanakah positioning bank sentral pada suatu perekonomian dalam

ekonomi Islam. Terdapat tiga pandangan terkait positioning bank sentral dalam perekonomian. 1. Pandangan pertama, adalah satu-satunya bank sentral yang ada haruslah bank sentral Islam. Bank sentral yang ada harus dikonversi secara penuh menjadi bank sentral Islam, dimana seluruh instrument yang dikeluarkan haruslah instrument moneter dengan prinsip syariah. Ini merupakan bentuk bank sentral yang paling ideal untuk diwujudkan dalam suatu perekonomian Islami. Akan tetapi bank sentral Islam hanyalah dapat diwujudkan pada suatu negara yang telah mengkonversi seluruh sistem perekonomiannya sesuai dengan prinsip syariah Islam. Apabila belum dilakukan konversi secara penuh, akan dapat menimbulkan masalah dalam perekonomian, dikarenakan sistem moneter yang mismatch, karena masih ada sub-sistem yang menjalankan aktivitas perekonomian secara konvensional.

46

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Pandangan kedua, dengan dual economic system, dimana dalam suatu negara didirikan ada dua bank sentral, yaitu bank sentral konvensional yang menjalankan kebijakan moneter konvensional dan hadir pula bank sentral Islam yang menjalankan kebijakan moneter Islam. Baitulmaal oleh sebagian ekonom muslim akan dialihkan menjadi bank sentral Islam, yang melaksanakan seluruh kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah Islam. Namun hal ini bila diaplikasikan akan dapat menimbulkan terjadinya dualism proses pengambilan kebijakan moneter, dan akan lebih sulit bila ingin disinkronkan dengan kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah. Oleh karenanya hal inipun akan sulit untuk diaplikasikan dalam perekonomian. 3. Pandangan ketiga, bank sentral konvensional tetap beroperasi namun dapat mengeluarkan kebijakan moneter yang sesuai dengan syariat Islam. Hal inilah dipraktikkan di Indonesia yang menganut dual banking system, sehingga Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter baik yang konvensional maupun yang syariah. Akan tetapi yang harus diperhatikan janganlah kebijakan moneter syariah yang dikeluarkan tidak berbeda dengan yang konvensional dan sekedar mengganti nama semata. Hal terpenting adalah setiap kebijakan moneter yang dikeluarkan haruslah memiliki implikasi ekonomi yang positif terhadap perekonomian dan tidak sekedar menimbulkan bubble economic. Menurut penulis, pandangan ketiga inilah yang paling mungkin diterapkan untuk kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya dikonversi kepada syariat Islam.

47

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 4 BANK SYARIAH

A. Konsep Dasar Bank Islam Praktek perbankan telah ada sejak jaman Babylonia, Yunani dan Romawi, meskipun pada saat tersebut bentuk praktek perbankan tidak seperti saat ini. Pada awalnya hanya terbatas pada tukar menukar uang, namun kemudian berkembang menjadi usaha menerima tabungan, menitipkan ataupun meminjamkan uang dengan memungut bunga pinjaman. Dan hal tersebut semakin berkembang menjadi perbankan modern yang saat ini dilaksanakan secara umum di seluruh dunia. Pada abad ke-20 muncul suatu wacana perlunya suatu bank syariah yang bebas bunga, demi melayani kebutuhan kaum muslim yang tidak berkenan dengan penerapan bunga dalam perbankan karena termasuk dalam riba, yaitu suatu transaksi yang dilarang oleh syariat Islam. Perkembangan bank syariah di dunia maupun di Indonesia saat ini cukup pesat. Hal ini menandakan salah satu momentum kebangkitan ekonomi Islam di dunia terutama perkembangan pada sektor keuangan syariah. Kata bank dari kata banque dalam bahasa Prancis, dan dari banco dalam bahasa Italia, yang berarti peti/lemari atau bangku. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya 1. Pada abad ke-12 kata banco merujuk pada meja, counter atau tempat penukaran uang. Dengan demikian fungsi dasar bank adalah menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman dan menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa 2. Bank konvensional yang pertama beroperasi di Venesia bernama Banco della Pizza di Rialto pada tahun 1587 dan dianggap sebagai awal perkembangan perbankan modern dengan perangkat utamanya bunga. Perbankan yang mulanya hanya ada di daratan Eropa kemudian menyebar ke Asia Barat. Sejalan dengan perkembangan daerah jajahan, maka perbankan pun ikut dibawa ke Negara jajahan 1

Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabet, 2002, h. 2 Rimsky K Judiseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, h. 92-93 2

48

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mereka. Di Indonesia juga tidak terlepas dari penjajahan Belanda yang mendirikan beberapa bank seperti De Javasche Bank, De Post Paar Bank dan lainnya serta bankbank miliki pribumi, Cina, Jepang, Eropa seperti Bank Nasional Indonesia, Batavia Bank dan lainnya. Di jaman kemerdekaan perbankan Indonesia sudah semakin maju, mulai dari bank pemerintah maupun bank swasta 3. Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada msyarkat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik fungsi bank dapat sebagai 4: 1. Agent of trust Dasar utama kegiatan perbankan adalah trust atau kepercayaan, baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan menitipkan dananya di bank apabila dilandasi oleh unsur kepercayaan. 2. Agent of development Sektor dalam kegiatan perekonomian masyarakat yaitu sektor moneter dan sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut harus saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya agar mampu mewujudkan tujuan pembangunan bangsa. 3. Agent of services Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa-jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa-jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum, misalnya jasa pengiriman uang, jasa penitipan barang berharga, jasa penjaminan. Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti zakat, sadaqah, ghanimah (rampasan perang), ba’i (jual beli), dayn (utang dagang), maal (harta), dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi 5. 3

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 26-31 Y. Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 6 5 Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, h. 3 4

49

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam Undang-undang No. 21 tahun 2008 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dari definisi perbankan syariah di atas ada dua kelembagaan yang terdapat pada perbankan syariah yaitu Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Munculnya dua kelembagaan ini pada perbankan syariah di Indonesia terkait dengan dual banking system yang dianut pada sistem perbankan di Indonesia. Menurut Undang-undang No. 21 tahun 2008 Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Permbiayaan Rakyat Syariah. Sementara Unit Usaha Syariah menurut Undang-undang No. 21 tahun 2008 adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Bank syariah secara umum adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan utamanya 6. Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran gerakan renaissance Islam modern, yaitu neorevivalis dan modernis 7. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya dengan berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

6

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 27 7 Abdullah Saeed. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, Leiden: EJ Brill, 1996

50

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sehingga dapat ditarik suatu definisi umum yaitu Bank Syariah ialah lembaga keuangan yang menjalankan fungsi perantara (intermediary) dalam penghimpunan dana masyarakat serta menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Bank syariah bukan hanya bank bebas bunga, namun memiliki orientasi pencapaian sejahtera. Secara fundamental terdapat beberapa karakteristik bank syariah, yaitu 8: 1. Penghapusan riba 2. Pelayanan kepada kepentingan publik dan merealisasikan sasaran sosioekonomi Islam 3. Bank syariah bersifat universal yang merupakan gabungan dari bank komersial dan bank investasi 4. Bank syariah akan melakukan evaluasi yang lebih berhati-hati terhadap permohonan pembiayaan yang berorientasi kepada penyertaan modal, karena bank komersial syariah menerapkan profit-loss sharing dalam konsinyasi, ventura, bisnis atau industri 5. Bagi hasil cenderung mempererat hubungan antara bank syariah dan pengusaha 6. Kerangka yang dibangun dalam membantu bank mengatasi likuiditasnya dengan memanfaatkan instrument pasar uang antar bank syariah dan instrument bank sentral berbasis syariah. Fungsi dan peran bank syariah yang diantaranya tercantum dalam pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution), sebagai berikut 9: 1. Manajer investasi, bank syariah dapat mengeloa investasi dana nasabah 2. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya

8

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009, h.67 9 Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001, h. 24

51

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya 4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank Islam juga wajib memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya Bank syariah mempunyai beberapa tujuan di antaranya adalah 10: 1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islami, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar, dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat 2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang lebar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana 3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin yang diarahkan pada kegiatan usaha yang produktif menuju terciptanya kemandirian usaha. 4. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan yang pada umumnya merupakan program utama dari Negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam mengentaskan kemiskinan berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama

10

Isa Abdurrahman, Al Muamalat Al Haditsah wa Ahkamah, Cairo, h. 29 dalam Warkum Sumitro, Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan Takaful di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, h. 18

52

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan 6. Untuk

menyelamatkan

ketergantungan

umat

Islam

terhadap

bank

konvensional yang masih menerapkan sistem bunga.

B. Sejarah Perkembangan Bank Syariah Upaya awal penerapan sistem profit-loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir. Lembaga Islamic Rural Bank dengan Mit Ghamr Bank binaan Prof Dr. Ahmad Najjar beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam 11. Permodalan Mit Ghamr Bank dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi, bank pedesaan yang beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip syariah ini sangat populer dan tumbuh dengan baik pada mulanya. Empat tahun kemudian Mit Ghamr Bank dapat membuka sembilan cabang dengan nasabah sekitar satu juta orang. Namun pada tahun 1967, karena persoalan politik bank ini ditutup. pada pertengahan tahun 1967 bank ini diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central bank of Egypt sehingga beroperasi atas dasar bunga. Pada tahun 1972, sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi dengan berdirinya Nasser Social Bank di Mesir yang berdiri lebih dasar sosial daripada komersial 12. Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional muncul dalam konferensi Negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21-27 April 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta. Konferensi tersebut memutuskan beberapa hal, yaitu 13:

11

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 18-19 12 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2000, h. 11 13 Muh. Zuhri, Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, h. 159

53

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk riba dan riba itu sedikit atau banyak hukumnya haram 2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin 3. Sementara menunggunya berdirinya bank syariah, bank-bank

yang

menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam keadaan darurat. Pembentukan bank syariah semula banyak diragukan, antara lain karena 14: 1. Banyak yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah suatu hal yang tidak mungkin dan tidak lazim 2. Adanya

pertanyaan

tentang

bagaimana

bank

akan

membiayai

operasionalnya, tetapi di lain pihak bank Islam adalah suatu alternatif sistem ekonomi Islam. Untuk lebih mempermudah berkembangnya bank syariah di Negara-negara muslim perlu ada usaha bersama di antara Negara muslim. Maka pada bulan Desember 1970, pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan, delegasi Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Bank) dikaji dari delapan belas Negara Islam. Pada siang Menteri Luar Negeri OKO di Benghazi, Libya pada Maret 1973 usulan tersebut kembali diagendakan. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili Negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan pendirian bank syariah. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua pada bulan Mei 1974. Pada sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah pada 1974 disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar dinar atau ekuivalen dengan 2 miliar SDR 14

Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve, 1994, h. 233

54

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

(special drawing right) IMF 15. Negara-negara Islam termotivasi untuk mendirikan lembaga keuangan syariah pasca berdirinya IDB. Pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, lembaga keuangan syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, serta Turki. Selain itu ada pula Negara-negara Barat yang mendirikan Bank Islam, seperti Inggris, Denmark, Swiss dan Luxemburg 16. Secara garis besar lembaga-lembaga keuangan syariah terbagi dalam dua kategori, yaitu: Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank) dan lembaga investasi dalam bentuk International Holding Companies. Pesatnya industri keuangan syariah menimbulkan ketertarikan beberapa bank konvensional untuk menawarkan produk-produk bank syariah. Hal tersebut terlihat dari tindakan beberapa bank konvensional yang membuka sistem tertentu di dalam masing-masing bank dalam menawarkan produk bank syariah. Sementara di Indonesia gagasan pendirian bank syariah telah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa alasan yang menghambat terealisasinya ide ini 17: 1. Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur oleh perundang-undangan, dan karena itu tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku yakni UU No. 14 tahun 1967 2. Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis karena bagian dari atau berkaitan dengan konsep Negara Islam dan karena itu tidak dikehendaki pemerintah 3. Masih dipertanyakan siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih dicegah antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia

15

Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, h. 21 M. Metwally, Essays on Islamic Economic, Calcutta: Academic Publisher, 1993 17 M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999, h. 405 16

55

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gagasan mengenai kehadiran bank syariah di Indonesia muncul kembali pada tahun 1988, di saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para ulama pada waktu itu berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada perangkat hukum yang dapat dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja menerapkan bunga sebesar 0%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990 dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Pada tahun 1992, berdirilah Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia yeng merupakan hasil kerja tim perbankan MUI tersebut. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991, pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382. dana tersebut berasal dari presiden dan wakil presiden, sepuluh menteri kabinet pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya, Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai yayasan penopang bank syariah 18. Undang-undang yang mengatur tentang kehadiran bank syariah di Indonesia adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang ini belum secara

eksplisit

mengatur

mengenai

bank

syariah,

yang

tertera

adalah

diperkenankannya kehadiran Bank dengan prinsip bagi hasil. Serta diikuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Perkembangan bank syariah pasca kehadiran UU No. 7 tahun 1992 masih sangat lambat, hal ini terlihat dari jumlah bank syariah yang tidak bertambah semenjak kehadiran Bank Muamalat Indonesia.

18

Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 31

56

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Fondasi perekonomian Indonesia yang rapuh, akhirnya menuai hasil dengan melandanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Namun di balik krisis ini ada berkah tersendiri bagi kehadiran lembaga keuangan syariah dalam sistem perekonomian Indonesia. Fakta membuktikan ketika banyak bank konvensional pada saat krisis mengalami negative spread, ternyata Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia mampu melewati krisis ekonomi dengan baik. Bukti ini memberikan kepercayaan bahwa bank syariah harus diakomodir secara lebih baik dalam sistem perbankan di Indonesia. Kepercayaan kepada bank syariah pasca krisis ekonomi tahun 1997, melahirkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan secara tegas, bahwa Indonesia menganut dual banking system dalam sistem perbankan nasional dengan diakui kehadirannya bank dengan prinsip syariah untuk beroperasi baik sebagai Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah dari bank konvensional. Pasca lahirnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang memperkenankan Indonesia untuk menganut dual banking system, perkembangan perbankan syariah di Indonesia semakin pesat. Hal ini terlihat dari banyaknya bank konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah maupun lahirnya bank umum syariah selain Bank Muamalat Indonesia. Tahun 1999, keluarlah UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang ini mengakomodasi Bank Indonesia untuk mengambil kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, dimana Bank Indonesia bertanggung jawab terhadap pengaturan dan pengawasan bank komersial termasuk bank syariah. Instrumen moneter syariah yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia yaitu: Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS), Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), serta diperbolehkan pinjaman antar bank syariah dengan menggunakan sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA). Pada tahun 2001, di Bank Indonesia didirikan suatu unit kerja Biro Perbankan Syariah yang khusus menangani perbankan syariah. Kemudian pada tahun 2004, keluar UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang mengamandemen UU No. 23 tahun 1999, dimana mempertegas penetapan kebijakan moneter BI dengan prinsip syariah. Pada tahun ini pula terjadi perubahan Biro Perbankan Syariah menjadi Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia.

57

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pada tahun 2006, terbit Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Dalam PBI ini diperbolehkan bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah agar dapat melayani transaksi berdasarkan prinsip syariah pada kantor cabang bank konvensional, sistem dikenal sebagai office channeling. Apabila sebelum lahirnya PBI ini, nasabah yang membutuhkan transaksi syariah hanya bisa dilayani pada kantor cabang syariah dari bank konvensional saja, maka dengan PBI ini nasabah yang membutuhkan transaksi syariah bisa dilayani pada kantor cabang bank konvensional. Meskipun dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang sudah mengakomodir kehadiran perbankan syariah dalam sistem dual banking system di Indonesia, namun bagi kalangan perbankan syariah undang-undang tersebut masih belum mampu mengakomodir seluruh kebutuhan dari bank syariah. Kalangan perbankan syariah menginginkan lahirnya suatu undang-undang khusus yang mengatur secara terpisah mengenai bank syariah. Hal ini dibutuhkan agar akselerasi perbankan syariah dapat semakin memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia. Tanggal 16 Juli 2008, telah disahkan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan disahkannya undang-undang ini memberikan landasan hukum industri perbankan syariah nasional dan diharapkan mampu mendorong perkembangan industri perbankan syariah menjadi lebih baik. Karena target pencapaian market share perbankan nasional sebesar 5% belum mampu tercapai pada tahun 2009. Salah satu hal krusial dalam undang-undang ini yang mampu mengakselerasi perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah terkait pemisahan (spin-off) unit usaha syariah baik secara sukarela maupun wajib apabila aset unit usaha syariah telah mencapai 50% aset bank induknya.

58

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bab 4.1. Konsep Dasar Perbankan Konvensional 3. Kredit

1. Menabung

Penabung

2. Bunga tabungan

Bank

Peminjam

4. Bunga pinjaman

C. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Ada perbedaan konsep mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional. Pada bank konvensional terdapat dua perjanjian yang saling terpisah, yaitu: pertama, perjanjian antara pihak bank dengan nasabah penabung, dimana penabung menaruh dananya di bank tersebut dengan mendapat sejumlah persentase tertentu bunga dari pihak bank; kedua, perjanjian antara pihak bank dengan nasabah peminjam, dimana bank meminjamkan dananya kepada nasabah peminjam dan berhak mendapatkan sejumlah persentase tertentu bunga dari nasabah peminjam. Keuntungan bank adalah dengan mengambil selisih tingkat bunga dari yang ditawarkan kepada nasabah penabung dengan tingkat bunga yang dikenakan kepada nasabah peminjam. Ini dapat dilihat pada gambar 4.1. Sementara pada bank syariah terdapat kesatuan perjanjian antara bank dengan nasabah penabung dan antara bank dengan nasabah pembiayaan. Nasabah penabung menaruh dananya di bank syariah dengan mendapatkan sejumlah nisbah bagi hasil. Kemudian dana tersebut digunakan untuk pembiayaan kepada nasabah pembiayaan, dan bank mendapatkan sejumlah tertentu nisbah bagi hasil atas usaha yang dibiayai tersebut. Sehingga bagi hasil yang akan didapatkan oleh nasabah penabung tergantung kepada bagi hasil yang diterima bank syariah dari nasabah pembiayaannya. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.2.

59

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bab 4.2. Konsep Dasar Perbankan Syariah 2. Pembiayaan

1. Menabung

Penabung

4. Bagi hasil

Bank

Peminjam

3. Bagi hasil

Terdapat beberapa ciri-ciri bank syariah yang membedakan dengan bank konvensional, yaitu 19: 1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak 2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir, sehingga yang dipergunakan adalah nisbah bagi hasil. 3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata. Tingkat keuntungan yang dipergunakan adalah tingkat keuntungan aktual, apabila tingkat keuntungan aktual lebih kecil daripada tingkat keuntungan proyeksi maka yang dipergunakan adalah tingkat keuntungan aktual tersebut. 19

Warkum Sumitro, Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan Takaful di Indonesia, h. 20-22

60

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsipprinsip syariah sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti 5. Terdapatnya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi bank syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam. Unsur Dewan Pengawas Syariah inilah hal utama yang membedakan struktur organisasi antara bank syariah dan bank konvensional. 6. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya. Tabel 4.1. Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional20 Bank Syariah

Bank Konvensional

1. Melakukan investasi yang halal saja

1. Investasi yang halal dan haram

2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli 2. Memakai perangkat bunga dan sewa 3. Profit dan falah oriented 4. Hubungan

dengan

nasabah

bentuk hubungan kemitraan

3. Profit oriented dalam 4. Hubungan

dengan

nasabag

dalam

bentuk hubungan debitur-kreditur

5. Penghimpunan dan penyaluran dana 5. Tidak terdapat dewan sejenis harus sesuai dengan fatwa DPS

20

M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, h. 34

61

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut M. Syafi’i Antonio ada beberapa perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu 21: 1. Akad dan aspek legalitas Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka. Setiap akad dalam perbankan syariah haru memenuhi ketentuan akad, seperti berikut: a. Rukun, seperti:  Penjual  Pembeli  Barang  Harga  Akad/Ijab qabul b. Syarat, seperti:  Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah  Harga barang dan jasa harus jelas  Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi  Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan 2. Lembaga penyelesai sengketa Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua pihak diarahkan untuk tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, melainkan sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbritase Syariah Nasional atau Basyarnas.

21

Ibid, h. 29-34

62

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Struktur organisasi Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi ada tambahan satu struktur lagi di dalam struktur organisasi bank syariah, yaitu dengan masuknya unsur Dewan Pengawas Syariah, yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank agar produk-produknya sesuai dengan prinsip syariah 4. Bisnis dan usaha yang dibiayai Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah, karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan 5. Lingkungan kerja dan corporate culture Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah, baik dalam hal etika, profesionalitas, kapabilitas dan kepribadian. Tabel 4.2. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional No 1

Perbedaan Falsafah

2

Operasional

3

Aspek sosial

4

Organisasi

Bank syariah Bank Konvensional Tidak berdasarkan bunga, spekulasi Berdasarkan bunga dan ketidakjelasan - Dana masyarakat berupa titipan - Dana masyarakat berupa dan investasi yang baru akan simpanan yang harus mendapatkan hasil jika dibayar bunganya pada ‘diusahakan’ terlebih dahulu saat jatuh tempo - Penyaluran pada usaha yang - Penyaluran pada sektor halal dan menguntungkan yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama Dinyatakan secara eksplisit dan Tidak diketahui secara tegas tegas yang tertuang dalam visi dan misi Harus memiliki Dewan Pengawas Tidak memiliki Dewan Syariah Pengawas Syariah

Sumber: IBI, 2002

63

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D.

Analisis SWOT Perbankan Syariah 1. Kekuatan Perbankan syariah memiliki karakteristik yang menjadi keunggulan

perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Keunggulankeunggulan tersebut menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan perbankan syariah di Indonesia untuk berkembang ke arah lebih baik dalam rangka memperluas market share perbankan syariah. a. Kesesuaian dalam prinsip syariah Selama ini ada sebahagian masyarakat terutama bagi kelompok masyarakat yang religious enggan untuk menyimpan dananya di bank karena untuk menghindari riba berupa bunga bank. Maka kelahiran bank syariah memberikan pemecahan masalah terhadap masyarakat agar dapat menyimpan dananya di bank dan tidak lagi menyimpan di rumah. Selain itu dengan kehadiran bank syariah maka kondisi kedaruratan yang selama ini menjadi dasar masyarakat muslim untuk menabung di bank konvensional telah hilang seiring dengan telah hadirnya bank syariah di Indonesia. Sehingga apabila masih ada orang yang berargumentasi menabung di bank konvensional boleh secara agama karena situasi darurat, maka itu adalah argumentasi yang keliru. Akad-akad muamalah yang menjadi landasan dalam setiap transaksi di perbankan syariah menunjukkan bahwa setiap transaksi itu selalu dengan prinsip syariah. Produk-produk perbankan syariah baik produk penghimpunan dana maupun produk penyaluran dana keduanya sesuai dengan prinsip syariah. Apabila pada bank konvensional terjadi perjanjian yang terpisah antara pihak bank dengan nasabah penabung dan antara pihak bank dengan nasabah peminjam, sehingga keuntungan bank adalah selisih antara bunga yang diberikan kepada nasabah penabung dengan bunga yang dikenakan kepada nasabah peminjam. Maka pada bank syariah akad yang terjadi adalah akad yang terintegrasi baik antara pihak bank dengan nasabah penabung maupun dengan nasabah peminjam. Sehingga apabila bagi hasil yang diberikan dari nasabah peminjam kecil maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan kecil pula.

64

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pola pengawasan pada bank syariah terjadi dua tahap, yaitu pengawasan terhadap kinerja pengelolaan bank syariah dari aspek manajemen dilakukan oleh dewan komisaris. Sementara dari aspek pengawasan terhadap pelaksanaan aturan syariat dilakukan oleh dewan pengawas syariah. Selain itu produk yang akan dikeluarkan pun harus memperoleh fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, hal ini menimbulkan ketenteraman bagi pihak nasabah bahwasanya seluruh akad, produk dan penyaluran pada bank syariah sudah benar-benar sesuai dengan aturan prinsip syariat. b. Sistem adil dan menenteramkan Sistem perbankan syariah lebih adil baik dari aspek nasabah penabung maupun nasabah peminjam. Nasabah penabung saat ini tidak perlu lagi takut dananya hilang seperti pada saat krisis 1997 dimana banyak bank yang terpaksa dilikuidasi, karena bank syariah dalam setiap aktivitasnya selalu didasarkan pada sektor riil. Dan bagi hasil pun dapat lebih besar daripada bunga yang diberikan oleh bank konvensional, apabila bagi hasil yang diberikan oleh nasabah peminjam besar maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan besar pula. Sehingga sistem ini akan terbukti lebih adil dan menenteramkan bagi nasabah penabung. Sementara

nasabah peminjam pun tidak perlu lagi takut dengan bunga

tinggi, pada krisis 1997 banyak usaha yang bangkrut akibat kesulitan dalam membayar bunga kredit yang tinggi. Dalam sistem bunga, bank tidak peduli dengan kondisi perusahaan yang dibantu, yang penting bagi bank adalah perusahaan tersebut. Berbeda dengan bank syariah, dimana yang diterapkan adalah bagi hasil sehingga apabila pendapatan usaha pada saat itu sedang kecil maka bagi hasil yang dibagikan akan kecil pula. Begitu pula sebaliknya apabila pendapatan usaha meningkat, maka bagi hasil yang dibagikan pun akan meningkat pula. Sehingga nasabah yang mengajukan pembiayaan di bank syariah tidak perlu takut terhadap beban bunga yang tinggi lagi. Sebab bagi hasil yang disetorkan kepada pihak bank tergantung pada pendapatan usaha yang diperoleh.

65

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c. Terbukti tahan krisis Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada semenjak pertengahan tahun 1997 berawal dari gejolak moneter di negara tetangga, sehingga nilai tukar rupiah mengalami depresiasi besar. Kebijakan uang ketat sebagai upaya untuk menahan tekanan depresiasi rupiah direspons oleh pasar dengan berkurangnya kepercayaan investor terhadap rupiah. Intervensi Bank Indonesia dalam bentuk menaikkan tingkat suku bunga SBI sebagai upaya dalam menahan tekanan terhadap pelemahan nilai tukar mengakibatkan kenaikan tingkat suku bunga perbankan yang menyebabkan ekonomi kekurangan likuiditas yang mengakibatkan kegiatan dunia usaha menjadi stagnan. Gejolak yang terjadi ini merupakan konsekuensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Uang tidak lagi hanya sekedar berfungsi sebagai alat tukar melainkan telah menjadi barang komoditas sebagai akibat adanya motif spekulasi dari para pemegang uang. Sehingga sektor moneter seringkali telah lebih maju daripada sektor riil yang mengakibatkan munculnya fenomena bubble economic, yaitu seakan-akan ekonomi mengalami pertumbuhan yang tinggi namun tanpa memiliki fondasi yang kuat, sehingga apabila diterpa sedikit masalah maka akan langsung goyah dan telah terbukti dengan adanya krisis ekonomi tahun 1997. Ketidakterkaitan antara sektor moneter dan riil ini mengakibatkan persoalan serius. Beban bunga yang tinggi tidak akan mungkin mampu ditanggung oleh para pengusaha. Namun karena pengusaha memerlukan likuiditas kredit bunga tinggi terpaksa diambil. Tahap berikutnya bank tersebut mengalami kredit macet, karena para pengusaha tidak mampu membayar beban yang harus ditanggungnya. Selanjutnya, bank-bank yang mengalami kredit macet yang besar itu terancam eksistensinya, karena di satu pihak bank harus membayar bunga deposito yang tinggi, sedangkan di sisi lain pendapatannya menurun drastic karena kredit macet. Oleh karenanya, negative spread yang diderita bank-bank itu sangat besar yaitu sekitar 20%, sehingga modal dari sebagian besar bank telah habis dimakan non performing loan dan negative spread. 22

22

Zainul Arifin, Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. (Alfabet), h. 129

66

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Hal ini berbeda pada sistem keuangan syariah yang menganggap uang hanya sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditas. Sebagai alat tukar uang tidak akan menghasilkan nilai tambah apapun kecuali apabila dikonversi menjadi barang atau jasa. Dengan demikian setiap transaksi keuangan harus dilatarbelakangi dengan sektor riil. Ketika banyak bank konvensional yang mengalami negative spread dan mengalami kesulitan likuiditas, Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia mampu melewati krisis ekonomi ini dengan baik tanpa mengalami gejolak yang berarti. Hal ini menunjukkan bank syariah tidak akan mengalami gejolak yang berarti apabila terjadi krisis ekonomi, karena segala aktivitas perbankan syariah selalu mempunyai sandaran sektor riil. Kemampuan perbankan syariah dalam melewati krisis ini mendapat pengakuan dari pemerintah yang membuahkan hasil dengan keluarnya Undangundang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Hal ini menandai diakuinya perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan di Indonesia, apabila dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang diakui hanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil maka dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 mulai diakuinya perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Sehingga semenjak UU No. 10 tahun 1998 ini diberlakukan Indonesia secara resmi menganut dual banking system dalam sistem perbankannya, dimana perbankan konvensional dan perbankan syariah berdampingan dalam sistem perbankan di Indonesia. d. Mempunyai payung hukum perundang-undangan Dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, perbankan syariah memiliki peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum dalam operasional perbankan syariah di Indonesia. Selama ini kendala dalam perkembangan perbankan syariah adalah ketiadaan payung hukum tersendiri yang khusus mengatur tentang perbankan syariah. Apabila kita melakukan kilas balik sejarah dari awal berdirinya bank syariah di Indonesia pada tahun 1992, pada waktu itu istilah bank syariah belum diakui dalam sistem perbankan di Indonesia. Hanya saja waktu itu bank syariah diakomodir dengan diakuinya bank dengan prinsip bagi hasil dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang mengakibatkan perkembangan perbankan syariah pada rentang waktu tersebut sangat lambat.

67

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sampai dengan tahun 1998 hanya ada satu perbankan syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia. Seiring waktu sebagai pembuktian akan bank syariah yang tahan krisis maka lahirlah Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang mulai mengakui bank berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Dan mulai bermunculan bank-bank syariah baik berupa bank umum maupun unit usaha syariah yang merupakan unit usaha dari bank konvensional yang khusus berkonsentrasi dalam menangani nasabah yang hendak bertransaksi secara syariah serta bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), yang diikuti perkembangan asset dan nasabah bank syariah yang cukup pesat. Akan tetapi masih ada keresahan dari pihak perbankan syariah bahwasanya mereka masih membutuhkan Undangundang yang khusus mengatur tentang perbankan syariah, hal ini perlu dilakukan mengingat banyaknya instrument yang dibutuhkan oleh perbankan syariah tidak mampu atau belum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan tentang perbankan yang berlaku. Dan hal yang dinantikan ini akhirnya terwujud dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008. Diharapkan dengan lahirnya Undangundang ini diharapkan target penguasaan market share perbankan syariah sebesar 5% yang tidak tercapai pada tahun 2008 mampu direalisasikan pada tahun 2009. Dan semoga ke depannya perbankan syariah mampu memiliki penguasaan market share yang seimbang dengan perbankan konvensional. 2. Kelemahan Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selain memiliki kekuatan namun ada pula beberapa kelemahan dan kendala yang dihadapi oleh perbankan syariah di Indonesia: a. Keterjangkauan jaringan yang masih rendah dan belum merata Hal ini merupakan salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk melihat preferensi masyarakat terhadap bank syariah. Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang salah satunya caranya diatasi dengan office channeling, yaitu bank konvensional

68

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

yang memiliki unit usaha syariah dapat membuka konter layanan syariah di cabang konvensionalnya. Apabila sebelumnya bank yang memiliki unit usaha syariah hanya dapat melayani nasabah yang ingin membuka rekening di unit usaha syariah harus datang ke cabang syariah. Maka dengan adanya office channeling ini mereka tidak perlu datang ke cabang syariah, tapi bisa dilayani di cabang konvensionalnya yang membuka konter layanan syariah. Bank umum syariah banyak yang mengambil kebijakan untuk bekerjasama dengan bank konvensional atau instansi lain dalam rangka memperluas pasarnya. Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia mengambil kebijakan untuk bekerjasama dengan PT Pos Indonesia dalam rangka memperluas pasarnya dalam memasarkan shar-e. Dengan jaringan PT Pos Indonesia yang luas ke seluruh kecamatan di Indonesia, diharapkan akan memberi kemudahan kepada nasabah yang ingin bertransaksi di seluruh Indonesia. Selain itu Bank Muamalat Indonesia bekerjasama dengan Bank BCA, sehingga kartu ATM shar-e dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi baik tunai maupun non tunai di seluruh jaringan ATM yang dimiliki BCA. b. Loyalitas nasabah Dalam perkembangan nasabah yang menggunakan jasa perbankan syariah terbagi atas dua segmen nasabah, yaitu yang pertama adalah nasabah yang loyal terhadap perbankan syariah, dimana ia menggunakan jasa perbankan syariah karena semangatnya untuk menegakkan syariat. Sehingga ia tidak akan mempersoalkan berapa besaran persentase bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah jika dibandingkan dengan besaran tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional. Jenis nasabah ini sering dikatakan sebagai nasabah emosional, yaitu menggunakan jasa perbankan syariah berdasarkan penerapan aturan syariat yang dilaksanakan. Segmen nasabah yang kedua adalah nasabah yang tidak loyal kepada perbankan

syariah,

dimana

mereka

menabung

di

bank

syariah

dengan

memperbandingkan berapa besaran persentase bagi hasil di bank syariah dengan tingkat suku bunga di bank konvensional. Dengan selisih sekitar dua persen (dari tingkat bunga bank konvensional), segmen nasabah ini masih loyal di bank syariah,

69

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tetapi lebih dari itu, segmen nasabah ini bisa berpindah ke bank konvensional. Jenis nasabah ini seringpula dikatakan sebagai nasabah rasional yaitu bertransaksi dengan bank syariah berdasarkan keuntungan yang didapat. Walaupun sebenarnya dikotomi antara nasabah emosional dan nasabah rasional tidak sepenuhnya tepat, karena nasabah bank syariah yang loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang rasional yang melihat segala sesuatu tidak hanya keuntungan jangka pendek semata akan tetapi juga memperhitungkan keuntungan jangka panjang. Begitu pula pada nasabah yang tidak loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang emosional yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek semata. c. Miniminya dana pemasaran dan promosi Promosi yang dilakukan oleh dunia perbankan syariah masing sangat kurang, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana mengakses layanan perbankan syariah. Aspek pendanaan memang menjadi kendala utama dalam melakukan promosi di bank syariah, minimnya anggaran promosi yang dimiliki menyebabkan kurang gencarnya promosi yang dilakukan oleh bank syariah. Sementara anggaran promosi di bank konvensional relatif lebih besar dibandingkan dengan di bank syariah, akhirnya menyebabkan gaung perbankan syariah masih kalah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini dapat disiasati dengan dilakukannya promosi bersama oleh seluruh bank syariah yang ada termasuk bekerjasama dengan Bank Indonesia. Salah satu bentuk pemasaran bersama yang dilakukan adalah dengan memperkuat brand perbankan syariah melalui peluncuran logo iB (Islamic Banking) oleh Bank Indonesia. Diharapkan hal ini akan memperkuat branding perbankan syariah, karena setiap layanan perbankan syariah saat ini menggunakan nama yang sama yaitu iB, dan tidak lagi menggunakan istilah yang membingungkan masyarakat. Penamaan produk yang lebih sederhana menyebabkan masyarakat awam lebih mudah mengingat mengenai perbankan syariah, apabila sebelumnya jika masyarakat mau menabung maka produk tabungannya adalah “tabungan mudharabah”, mungkin hal ini menyebabkan sebahagian masyarakat tidak mudah mengingatnya karena istilah ini masih asing.

70

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Saat ini apabila mereka hendak menabung, maka produk tabungannya di seluruh bank syariah diberi nama tabungan iB, yang berguna untuk memperkuat branding di masyarakat yang menyebabkan mereka tidak sulit lagi untuk mengingat produk layanan yang ditawarkan oleh perbankan syariah. Tanpa promosi yang memadai maka kemudahan masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah tidak akan optimal. Bank syariah harus mampu merancang suatu strategi promosi yang efektif agar masyarakat mengerti tentang berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah. Berdasarkan hal tersebut, Perbankan Syariah Indonesia dituntut untuk lebih giat mengembangkan usahanya, baik dalam sosialisasi, inovasi instrumen dan produk bank, pemberian pelayanan yang memuaskan dan memfungsikan Bank Syariah bukan hanya sekedar sebagai lembaga finansial dan komersial tapi juga lembaga keuangan sosial karena dengan masuknya Bank Syariah dalam kegiatan sosial akan melahirkan sentimen positif dalam berbagai hal. d. Minimnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat Bank Syariah kini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Perkembangan perbankan Syariah yang pesat serta pelajaran yang diberikan oleh krisis keuangan yang terjadi 1997, telah memunculkan harapan pada sebahagian masyarakat bahwa pengembangan ekonomi Syariah merupakan suatu solusi bagi peningkatan ketahanan ekonomi nasional, juga sebagai pelaksanaan kewajiban Syariat Islam. Namun sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dirasakan masih kurang, sehingga banyak masyarakat yang berasumsi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional hanya sekedar menambahkan label syariah di belakang nama banknya serta merubah istilah bunga menjadi bagi hasil. Ketidaktahuan masyarakat tentang sistem bagi hasil yang ditawarkan oleh perbankan syariah ini diakibatkan masih kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Bank syariah harus membuat strategi edukasi dan sosialisasi yang mampu mengenalkan bank syariah kepada seluruh segmen masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mendekati tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh formal maupun tokoh informal di suatu daerah tertentu yang memiliki massa dan jaringan yang luas untuk memperkenalkan bank syariah di daerah tersebut. Strategi beberapa bank syariah yang masuk ke dalam kampus adalah salah satu cara

71

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

yang cukup efektif untuk mengenalkan dan memberikan edukasi kepada mahasiswa tentang perbankan syariah dan apa yang membedakannya dengan bank konvensional beserta keunggulan dan kelemahan sistem ini. Karena mahasiswa merupakan kaderkader pemimpin bangsa yang mampu meneruskan perjuangan perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia termasuk didalamnya karena mereka merupakan pangsa pasar potensial yang harus digarap sedari dini. e. Minimnya sumber daya manusia. Bank Syariah seolah-olah disibukan oleh jargon “how to Islamize our banking system” dan lupa akan wacana ” how to Islamize the people involved in the banking industry”. Banyak masalah Bank Syariah disebabkan pemahaman dan kesadaran para praktisi Bank Syariah akan prinsip-prinsip ekonomi Islam (Bank Syariah) belum sepenuhnya dimengerti. Bank syariah saat ini masih kekurangan sumber daya manusia yang menguasai aspek fiqh tentang perbankan syariah dan pengetahuan manajemen perbankan praktis. Permasalahan inilah yang harus dipecahkan bersama oleh seluruh pihak yang perhatian terhadap perkembangan industri keuangan syariah terutama perbankan syariah di Indonesia. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memberikan pengetahuan dasar mengenai ekonomi syariah kepada pelajar dari tingkat SD, SMP dan SMA. Selain itu perlu disepakatinya suatu kurikulum standar yang berlaku di seluruh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan berbasis ekonomi syariah. Selain itu dari sisi internal, bank syariah harus memberikan pelatihan berkala kepada para karyawannya agar ilmu perbankan syariah yang mereka miliki selalu ditingkatkan. Salah satu permasalahan yang muncul adalah ketimpangan antara kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dengan kebutuhan sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh industri. Minimnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang berkiprah di industri keuangan syariah menyebabkan terjadinya fenomena “bajak-membajak” sumber daya manusia di industri keuangan syariah. Seharusnya dalam industri keuangan syariah yang memiliki jargon dan fundamen sistem berdasarkan prinsip syariat Islam, fenomena “bajak membajak” ini tidak terjadi.

72

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Peluang Peluang yang dapat diraih oleh perbankan syariah terutama pasca disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah a. Perluasan market share perbankan syariah Dengan Undang-undang perbankan syariah yang terbaru maka peluang untuk memperluas market share perbankan syariah sangat terbuka karena beberapa alasan berikut: pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah tidak dapat

dikonversi (diubah)

menjadi Bank

Konvensional,

sementara Bank

Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); kedua; Apabila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) yang terjadi antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah, maka bentuk badan hukumnya wajib berubah menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): Unit Usaha Syariah telah mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah. Ketiga hal tersebut beberapa hal yang membuka peluang dalam perluasan market share perbankan syariah. Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian, banyak faktor-faktor pendorong yang terdapat pada Undang-undang Perbankan Syariah dalam menuju akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan. b. Akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional. Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh sebuah investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.

73

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat dilakukan oleh UUS. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah adalah: Pertama, menjamin penerbitan surat berharga; Kedua, penitipan untuk kepentingan orang lain; Ketiga, menjadi wali amanat; Keempat, penyertaan modal; Kelima, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun; Keenam, menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah. Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan kemudian menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat (Pasal 4 ayat 2); kemudian dapat pula menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3). Undang-undang Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam. c. Sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi Adapun peluang Perbankan Syariah di Indonesia yaitu dibutuhkam banyak sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi Syariah, yang tidak saja menguasai ilmu manajemen perbankan tetapi mengerti pula aspek fiqhnya. Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus sebagai tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian ekonomi Islam mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi. Kurikulum ekonomi Islam pun perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana dibutuhkan perpaduan antara pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan kuantitatif empiris. Riset-riset tentang ekonomi Syariah, baik pada skala mikro maupun makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur ekonomi Syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi Syariah secara utuh dan menyeluruh.

74

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

d. Peluang pasar yang cukup luas Kuantitas penduduk ini bisa dijadikan sebagai lahan yang prospektif untuk dijadikan sebagai objek pengembangan Bank Syariah dan sekaligus pangsa pasar. Kapasitas peduduk muslim bukan saja menjadi objek pasar tapi juga sebagai objek Islamisasi ekonomi

sehingga semakin banyak masyarakat yang sadar tentang

ekonomi Islam semakin banyak pula penduduk yang menjadi nasabah Bank Syariah. Jumlah penduduk muslim yang mayoritas di Indonesia merupakan peluang pasar yang cukup luas dan potensial bagi pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Apabila bank syariah mampu memiliki strategi yang efektif, maka akan mampu semakin meningkatkan pertumbuhan bank syariah di Indonesia 4. Tantangan a. Meningkatkan kemurnian bank syariah sesuai syariat Islam Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan keunikan bank syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank syariah. Saat ini masih ada kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada praktik-praktik yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga berakibat loyalitas dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat dipertahankan lama. Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai derajat, misalnya hanya yang sekedar melakukan benchmarking tingkat bagi hasil dengan tingkat bunga bank hingga penempatan dana menganggur pada bank-bank konvensional dengan motif memperoleh pendapatan bunga Dampak dari sosialisasi dan meningkatnya pengetahuan masyarakat pengguna jasa perbankan syariah membuat masyarakat lebih kritis dan menuntut agar bank-bank syariah dapat melakukan purifikasi kegiatan usahanya sehingga terhindar dari keragu-raguan adanya pelanggaran prinsip syariah dalam kegiatannya. Sebenarnya mekanisme pengawasan prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank telah diciptakan melalui kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank syariah, adanya kewajiban bahwa setiap produk dan jasa baru bank syariah untuk memperoleh fatwa kehalalannya terlebih dahulu pada Dewan Syariah Nasional MUI, serta fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia.

75

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b. Potensi pemilikan bank syariah oleh asing Tantangan utama dari Undang-undang ini adalah pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar ke depan bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan. Demikian pula pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat 1) dapat merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan Syariah. c. Kualitas sumber daya manusia yang belum merata Sumber daya manusia perbankan syariah saat ini masih kurang baik secara kualitas maupun kuantitas. Namun perguruan tinggi yang mengajarkan mengenai ekonomi syariah belum mampu menyediakan seluruh sumber daya manusia yang dibutuhkan. Sehingga akhirnya harus dipasok oleh perguruan tinggi umum. Selain itu seringkali terjadi dikotomi antara perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi umum. Apabila perguruan tinggi agama dalam pengajarannya lebih menekankan mengenai aspek fiqh semata dan kurang materi praktisnya. Sementara perguruan tinggi umum terlalu banyak aspek praktisnya dan kurang materi fiqh. Hal ini harus dipecahkan secara bersama bagaimana menyusun suatu kurikulum yang mampu memadukan antara kurikulum umum, fiqh dan praktik. d. Permodalan yang belum kuat Kekuatan permodalan perbankan syariah masih belum kuat, sehingga belum mampu mendukung dalam ekspansi pasar. Hal ini salah satunya disebabkan umur perbankan syariah yang masih muda dibandingkan dengan perbankan konvensional. Pemerintah harus membantu industri perbankan syariah agar mampu tumbuh setara dengan pertumbuhan perbankan konvensional. Pembukaan modal asing untuk masuk dalam industri perbankan syariah merupakan salah satu cara untuk mengatasi permodalan bank syariah yang belum kuat. Dengan permodalan yang kuat diharapkan ke depannya industri perbankan syariah mampu setara dengan perbankan konvensional dalam sistem perbankan di Indonesia.

76

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 5 PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARIAH

Setelah pada bab sebelumnya kita sudah mengerti mengenai konsep dasar bank syariah secara umum, maka pada bab ini kita akan coba membahas sekilas mengenai produk-produk apa saja yang terdapat pada industri perbankan syariah. Tujuan pengenalan produk perbankan syariah adalah agar setelah kita mengenal produkproduk apa yang terdapat di perbankan syariah, maka akan mudah memahami aspek perbankan syariah secara menyeluruh. Secara garis besar produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah menjadi tiga bagian besar, yaitu: 

Produk penghimpunan dana (funding)



Produk penyaluran dana (financing)



Produk jasa (service)

A.

Produk Penghimpunan Dana (Funding) 1.

Tabungan Menurut Undang-undang Perbankan Syariah nomor 21 tahun 2008, tabungan

adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah

atau investasi dana berdasarkan

mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000, tabungan ada dua jenis, yaitu: 1.

Tabungan yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah yang berupa tabungan dengan berdasarkan perhitungan bunga.

2.

Tabungan yang dibenarkan secara prinsip syariah yakni tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.

77

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Tabungan adalah bentuk simpanan nasabah yang bersifat likuid, hal ini memberikan arti produk ini dapat diambil sewaktu-waktu apabila nasabah membutuhkan, namun bagi hasil yang ditawarkan kepada nasabah penabung kecil. Akan tetapi jenis penghimpunan dana tabungan merupakan produk penghimpunan yang lebih minimal biaya bagi pihak bank karena bagi hasil yang ditawarkannya pun kecil namun biasanya jumlah nasabah yang menggunakan tabungan lebih banyak daripada produk penghimpunan yang lain. Pada era sekarang sudah ada produk tabungan yang secara karakteristik merupakan gabungan antara tabungan dan deposito, yaitu produk tabungan berencana dimana karakteristiknya adalah jumlah minimal tertentu yang hampir sama dengan tabungan biasa, namun nasabah wajib menyetorkan dananya secara rutin melalui tabungan tersebut sesuai dengan kemampuan membayarnya, serta tidak boleh diambil dalam jangka waktu tertentu. Untuk bagi hasil dari tabungan berencana ini biasanya akan lebih besar daripada tabungan biasa namun lebih kecil daripada deposito. Biasanya tabungan berencana ini digunakan bagi nasabah yang kesulitan untuk mengatur uangnya dan mereka memiliki keinginan atas sesuatu, sehingga mereka mengambil tabungan berencana ini sebagai bagian dari strategi pengaturan keuangan keluarga. Atau dapat pula sebagai tabungan perencana pendidikan untuk buah hatinya, biasanya pada tabungan berencana ini dilekatkan pula asuransi jiwa di dalamnya. 2.

Deposito Deposito menurut Undang-undang Perbankan Syariah No 21 tahun 2008

adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS). Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000, deposito terdiri atas dua jenis: pertama, deposito yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, deposito yang dibenarkan secara syariah yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.

78

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Deposito adalah bentuk simpanan nasabah yang mempunyai jumlah minimal tertentu, jangka waktu tertentu dan bagi hasilnya lebih tinggi daripada tabungan. Nasabah membuka deposito dengan jumlah minimal tertentu dengan jangka waktu yang telah disepakati, sehingga nasabah tidak dapat mencairkan dananya sebelum jatuh tempo yang telah disepakati, akan tetapi bagi hasil yang ditawarkan jauh lebih tinggi daripada tabungan biasa maupun tabungan berencana. Produk penghimpunan dana ini biasanya dipilih oleh nasabah yang memiliki kelebihan dana sehingga selain bertujuan untuk menyimpan dananya, bertujuan pula untuk salah satu sarana berinvestasi. 3.

Giro Giro menurut Undang-undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008

adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. Sementara dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2000 disebutkan bahwa giro adalah simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Giro ada dua jenis yaitu: pertama, giro yang tidak dibenarkan secara syariah yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, giro yang dibenarkan secara syariah yaitu giro yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah. Giro adalah bentuk simpanan nasabah yang tidak diberikan bagi hasil, dan pengambilan dana menggunakan cek, biasanya digunakan oleh perusahaan atau yayasan dan atau bentuk badan hukum lainnya dalam proses keuangan mereka. Dalam giro meskipun pihak bank tidak memberikan bagi hasil, namun pihak bank berhak memberikan bonus kepada nasabah yang besarannya tidak ditentukan di awal tergantung kepada kebaikan pihak bank. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.

79

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1.

Prinsip wadi’ah Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah

yang

diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah 1, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dititipkan dengan alasan apapun juga, akan tetapi pihak yang dititipkan boleh mengenakan biaya administrasi kepada pihak yang menitipkan sebagai kontraprestasi atas penjagaan barang yang dititipkan. Pada wadi’ah yad dhamanah 2

              

              “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat” (QS An-Nisaa; 58)                                       “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu

1

Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. 2001, h. 85 2 Ibid, h. 87

80

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah; 283) Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada pihak yang orangdititipkan yang telah (bank) mengkhianatimu” bertanggung jawab (HR Abu atas keutuhan Dawud hartadan titipan menurut sehingga Tirmidzi ia bolehhadits memanfaatkan ini hasan, harta sedang titipanImam tersebut. Hakim Dan pihak mengkategorikannya bank boleh memberikan shahih) sedikit keuntungan yang didapat kepada nasabahnya dengan besaran berdasarkan bank. Ibnu Umar berkata kebijaksanaan bahwasanya pihak Rasulullah

telah

bersabda,

“Tiada

kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci” (HR Thabrani) Gambar 5.1. Skema Wa’diah Yad-dhamanah 3. Titip Dana Nasabah Muwaddi’ (penitip)

Bank Mustawda’ (penyimpan) 4. Beri Bonus

1. Bagi Hasil

2. Pemanfaatan Dana

Users of Fund (pengguna dana)

Dalam dunia perbankan prinsip wadi’ah yad-dhamanah biasa diterapkan untuk produk giro serta tabungan, karena bagi produk giro dalam bank tidak menjanjikan adanya bagi hasil kepada nasabah di awal, namun bank diperkenankan untuk

81

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

memberikan bonus kepada nasabah yang besarannya tidak ditentukan di awal, tergantung kepada kebijaksanaan dan keputusan dari bank dalam menentukan besaran bonusnya. Nasabah dalam hal ini bertindak sebagai yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif berupa bonus ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya merangsang masyarkat dalam menabung. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut. 2.

Prinsip mudharabah Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan dana atau deposan

bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Bank kemudian melakukan penyaluran pembiayaan kepada nasabah peminjam yang membutuhkan dengan menggunakan dana yang diperoleh tersebut baik dalam bentuk murabahah, ijarah, mudharah, musyarakah atau bentuk lainnya. Hasil usaha ini selanjutnya akan dibagihasilkan kepada nasabah penabung berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan mudharabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna apabila 3 a. Shahibul maal (pemilik dana), yaitu harus ada pihak yang bertindak sebagai pemilik dana yang hendak ditaruh di bank, dalam hal ini nasabah adalah sebagai shahibul maal b. Mudharib (pengelola), yaitu harus ada pihak yang bertindak sebagai pengelola atas dana yang ditaruh di bank untuk dimanfaatkan, dalam hal ini bank bertindak sebagai mudharib c. Usaha/pekerjaan yang akan dibagihasilkan harus ada d. Nisbah bagi hasil harus jelas dan sudah ditetapkan di awal sebagai patokan dasar nasabah dalam menabung. e. Ijab kabul antara pihak shahibul maal dengan mudharib.

3

Ibid. h, 95

82

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Prinsip mudharabah ini biasanya diaplikasikan di perbankan syariah pada produk tabungan biasa, tabungan berjangka (tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan tertentu seperti tabungan haji, tabungan berencana, tabungan kurban, dan sebagainya) serta deposito berjangka. Mudharabah terbagi dua 4 yaitu mudharabah muthlaqah yaitu bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang member kekuasaan sangat besar. Nasabah menyerahkan sepenuhnya kepada pihak bank untuk bebas berinvestasi atau memanfaatkan di jenis usaha apapun selama tidak melanggar prinsip dan aturan syariat. Sementara yang kedua adalah mudharabah muqayyadah atau biasa dikenal dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dalam yang kedua ini dibatasi oleh batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. Misalkan nasabah menginginkan dana yang ditaruh digunakan untuk berinvestasi atau dimanfaatkan untuk jenis usaha agrobisnis. 3.

Akad pelengkap Seperti yang juga terjadi pada penyaluran dana, maka dalam pelaksanaan

penghimpunan dana, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini juga tidak ditujukan untuk mencari keuntungan karena fee-based income yang didapat dari akad pelengkap ini hanya kecil, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan proses transaksi perbankan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini bank diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar muncul dalam proses transaksi tersebut, seperti biaya administrasi atau biaya transaksi.

4

Ibid, h. 97

83

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Salah satu akad pelengkap yang dapat dipakai untuk penghimpunan dana adalah akad wakalah (perwakilan) yang dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya untuk melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang 5. Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwid. Akan tetapi yang dimaksud sebagai al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu waktu, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.                                           “Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun” (QS Al-Kahfi; 19)          

5

Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2004.

84

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berkata

Yusuf:

Sesungguhnya

"Jadikanlah Aku

adalah

Aku

bendaharawan

orang

yang

negara

pandai

(Mesir);

menjaga,

lagi

berpengetahuan". (QS Yusuf; 55) Gambar 5.2. Skema Al-Wakalah Kontrak + Fee

Nasabah (muwakil) -

Inkaso Transfer uang Collection Payment Co Arranger Agency dll

Investor (muwakil)

B.

Bank (wakil)

Kontrak + Fee

Produk Penyaluran Dana (financing) Pembiayaan atau financing ialah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak

kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan. Menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: 1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; 2. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik 3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna 4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh 5. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa

85

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Adapun secara garis besar pembiayaan dapat dibagi dua jenis, yaitu: 1.

Pembiayaan Konsumtif Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan yang bersifat

konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembelian rumah, kendaraan bermotor, pembiayaan pendidikan dan apapun yang sifatnya konsumtif. 2.

Pembiayaan Produktif Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan sektor produktif, seperti

pembiayaan modal kerja, pembiayaan pembelian barang modal dan lainnya yang mempunyai tujuan untuk pemberdayaan sektor riil. Salah satu fungsi utama dari perbankan adalah untuk menyalurkan dana yang telah dihimpunnya kepada masyarakat melalui pembiayaan kepada nasabah. Secara garis besar produk pembiayaan kepada nasabah yaitu: 1. Pembiayaan dengan prinsip jual beli Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, dimana keuntungan bank telah ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Barang yang diperjualbelikan dapat berupa barang konsumtif maupun barang produktif. Akad yang dipergunakan dalam produk jual beli ini adalah murabahah, salam dan istishna. a) Murabahah Bai’ al-murabahah6 adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah, penjual (dalam hal ini adalah bank) harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pada saat ini inilah produk pembiayaan yang paling banyak digunakan oleh bank syariah karena inilah praktik yang paling mudah dalam implementasinya dibandingkan dengan produk

6

Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. h, 101

86

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pembiayaan yang lainnya. Bank syariah yang bertugas untuk membelikan barang modal yang dibutuhkan. Adapun dasar hukum dari ba’i al-murabahah antara adalah                                                    “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah; 275) “Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaraddah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah) Syarat Bai’ al-murabahah adalah: 1)

Penjual harus memberi tahu biaya modal kepada nasabah

2)

Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan

3)

Kontrak harus bebas dari riba

4)

Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian

5)

Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian

87

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem ini juga sangat sederhana, hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah. Namun ada beberapa risiko yang harus diantisipasi antara lain:  Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran  Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga beli tersebut  Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab  Dijual; karena bai’ al-murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani barang tersebut menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap asset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Gambar 5.3. Skema bai’ al-murabahah 6. Negosiasi dan persyararatan

5. Akad jual beli

Bank

Nasabah 1. Bayar

4. Beli barang

Supplier (penjual)

3. Kirim

2. Terima barang & dokumen

88

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b) Bai’ As-Salam Dalam pengertian sederhana, bai’ as-salam 7 berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan pada saat awal transaksi dilakukan. Adapun landasan syariah dari akad ini adalah: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw datang ke Madinah dimana pendudukanya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua dan tiga tahun. Beliau berkata, “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”. Pelaksanaan bai’ as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini:  Muslam (atau) pembeli  Muslam ilaih (atau) penjual  Modal atau uang  Muslam fiihi atau barang  Sighat atau ucapan Gambar 5.4. Skema bai as-salam Produsen Penjual

Nasabah 2. Kirim pesanan 3. Kirim dokumen

4. Pemesanan barang nasabah & bayar tunai

7

Bank Syariah

1. Bayar

5. Negosiasi pesanan dengan kriteria

Ibid, h. 108

89

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c) Istishna Transaksi bai’ al-istishna 8 merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusahaa melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran. Menurut jumhur fuqaha, bai’ al istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ as-salam, biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ assalam. Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istishan karena alasanalasan berikut:  Masyarakat telah mempraktikkan istishna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali, sehingga sudah menjadi konsensus umum.  Keberadaan istishna didasarkan atas kebutuhan masyarakat  Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak

Gambar 5.5. Skema Bai’ al-istishna Nasabah Konsumen (Pembeli)

Produsen Pembuat

3. Pesan 2. Beli 1. Jual Bank Penjual

8

Ibid, h. 113

90

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2.

Pembiayaan dengan prinsip sewa Pembiayaan dengan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa, dimana

keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang disewakan. Namun dalam beberapa kasus, prinsip sewa dapat pula disertai dengan opsi kepemilikan 9. Yang termasuk dalam kategori ini adalah ijarah dan ijarah muntahia bit tamlik (IMBT). Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Ijarah tanpa akad pemindahan kepemilikan dikenal sebagai operational lease dalam ilmu keuangan konvensional. Sementara ijarah muntahia bit tamlik adalah pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa, diikuti dengan opsi kepemindahan kepemilikan atas barang itu di akhir masa kontrak. Sehingga penyewa memiliki hak untuk memiliki barang yang disewa pada akhir masa kontrak penyewaan dan ini yang sering dikenal sebagai financial lease dalam ilmu keuangan konvensional. Pemindahan kepemilikan inilah yang membedakan antara ijarah dengan ijarah muntahia bit tamlik. Adapun dasar hukum bagi ijarah adalah Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233                                                                            

9

Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2004

91

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah; 233)

Gambar 5.6. Skema al-ijarah

Obyek Sewa

Penjual Supplier

A. Milik

Nasabah

1. Sewa beli 2. Beli obyek sewa

B. Milik

3. Pesan sewa

obyek

Bank Syariah

3.

Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerjasama yang

ditujukan untuk mendapatkan barang dan jasa sekaligus, dimana tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk perbankan yang termasuk dalam kelompok ini dan kerap digunakan oleh perbankan syariah adalah musyarakah dan mudharabah.

92

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a.

Musyarakah Musyarakah 10 adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu 9F

usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang dimiliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud dalam bahasa ekonomi hal ini biasa dikenal sebagai joint venture.                                     Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS Shaad; 24) Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda “sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR Abu Dawud) Aplikasi musyarakah dalam perbankan biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati bersama.

10

Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. h, 90

93

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, secara singkat atau bertahap. Gambar 5.7. Skema Musyarakah Nasabah: Parsial pembiayaan

Bank: Parsial pembiayaan

Proyek Usaha

Keuntungan

Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal (nisbah)

b.

Mudharabah Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.

Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah 11 adalah kerjasama antara dua atau lebih pihak, pengelola modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Sementara kerugian apabila bukan oleh kelalaian si pengelola maka kerugian ditanggung oleh si pemilik modal, namun apabila pengelola dengan sengaja melakukan kecurangan atau kelalaian maka pengelola harus bertanggung

11

Ibid, h. 95

94

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

jawab atas kerugian tersebut. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam paduan kontribusi modal dari shahibul maal dan keahlian mudharib. Aplikasi mudharabah pada pembiayaan dapat diterapkan untuk pembiayaan modal kerja (mudharabah muthlaqah) maupun investasi khusus dimana sumber dana khusus dengan penyaluran khusus dan dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh pihak bank (mudharabah muqayyadah).

Gambar 5.8. Skema Mudharabah

Nasabah: (mudharib)

Perjanjian bagi hasil

Keahlian/ keterampilan

Bank: (shahibul maal)

Modal 100%

Proyek Usaha

Nisbah x%

Pembagian Keuntungan

Nisbah Y%

Pengembalian modal pokok Modal

“Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaraddah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah)

95

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw dan Rasulullah pun membolehkannya” (HR Thabrani) 4.

Pembiayaan dengan akad pelengkap Sedangkan pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk memperlancar

pembiayaan dengan menggunakan tiga prinsip di atas. Berikut akad pelengkap tersebut, yaitu: hawalah (alih hutang-piutang), rahn (gadai), qardh (pinjaman uang), wakalah (perwakilan), kafalah (garansi bank). a.

Hawalah Hawalah adalah 12 pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang

lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. Tujuan hawalah adalah membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya, karena ia memiliki piutang usaha belum dibayar oleh pembeli sehingga tidak memiliki cukup dana untuk memulai pekerjaan berikutnya. Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:  Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang tersebut kepada bank, lalu bank membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.  Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut

12

Ibid, h. 126

96

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gambar 5.9. Skema Hawalah

Muhil (penyuplai)

1. Invoice

5 Bayar

3. Bayar Muhal ‘alaih (Factor/Bank)

b.

Muhal Pembeli

2. Suplai barang

4

Tagih

Rahn Rahn adalah 13 menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan

atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis dan nilai jual sekurang-kurangnya setara dengan pinjaman yang diterima menurut harga pasar. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Produk rahn dalam perbankan dapat dipakai sebagai produk pelengkap sebagai jaminan dalam pembiayaan, ataupun sebagai produk tersendiri atau yang biasa dikenal dengan gadai. “Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi” (HR Bukhari dan Muslim) Anas ra berkata, “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau (HR Bukhari, Ahmad Nasa’I dan Ibnu Majah)

13

Ibid, h. 128

97

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Abu Hurairah ra berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian (atau biaya)” (HR Syafi’I dan Daruqutni) Gambar 5.10. Skema Rahn Marhun bih (pembiayaan)

1. Permohonan pembiayaan

1c 2. Akad pembiayaan Murtahin Bank

3. Utang + mark up

Rahin Nasabah 1a

1b. Titipan/gadai pembiayaan

c.

Marhun Jaminan

Qardh Qardh adalah 14

             Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak. (QS Al-Hadiid; 11)

14

Ibid, h. 131

98

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah” (HR Ibnu Majah; Ibnu Hibban dan Baihaqi) Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, “Aku melihat pada waktu malam di isra’kan pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan” (HR Ibnu Majah dan Baihaqi) Gambar 5.11. Skema Qardh Perjanjian Qardh

Nasabah

Tenaga kerja

Bank

Modal 100%

Proyek Usaha

pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau Kembali diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. 100% Pembagian

modal

Keuntungan dalam aqd tathawwui atau akad Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan

saling membantu dan bukan transaksi komersial. Aplikasi qardh, antara lain sebagai d. Wakalah 15 pinjaman talangan haji, wikalah pinjamanberarti tunai dari produk kartu kredit syariah. Wakalah atau penyerahan, pendelegasian atau pemberian

mandat. Dalam bahasa Arab hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwid. Akan tetapi yang dimaksud sebagai al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu waktu, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Aplikasi wakalah dalam penyaluran dana di perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti L/C, inkaso dan transfer uang. 15

Ibid, h. 120

99

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

e.

Kafalah Kafalah merupakan 16

             Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya". (QS Yusuf; 72) Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)….Rasulullah saw bertanya “apakah dia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab, “Tidak”. Rasulullah saw bertanya lagi, “apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab “Ya, sejumlah tiga dinar”. Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari) Gambar 5.12. Skema kafalah

Penanggung (Bank)

Tertanggung (Jasa/Obyek)

Jaminan

16

Ditanggung (Nasabah)

Kewajiban

Ibid, h.123

100

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

C. Produk Jasa (service) Selain menjalankan jaminan fungsinya yang sebagai diberikan intermediaries oleh penanggung (penghubung) (kafil) kepada antara untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. pihak ketiga yang kelebihan dana (surplus of fund) dan kekurangan dana (deficit ofDalam fund), pengertian lain,dapat kafalah berarti mengalihkan tanggungjasa jawab seseorangkepada yang Bank syariah pulajuga melakukan berbagai pelayanan perbankan dijamin dengan mendapat nasabah berpegangimbalan pada tanggung berupa sewa jawab atau orang keuntungan. lain sebagai Jasa perbankan penjamin. Kafalah antara tersebut memiliki lainbeberapa berupa: macam yaitu: (1) kafalah bin-nafs; (2) kafalah bil-maal; (3) 1. kafalah Sharfbit-taslim; (jual beli valuta (4) kafalah asing)al-munjazah; (5) kafalah al-muallaqah. Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf

17

. Jual beli

mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini. Prinsip ini dipraktikkan pada bank syariah devisa yang memiliki ijin untuk melakukan jual beli valuta asing. Landasan syariah Sharf: “Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW berkata: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual sekehendakmu asal tunai.” Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda: “(boleh menjual) emas dengan emas dengan setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding.” (HR. Ahmad, Muslim & Nasa’i.) Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: “(Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya.” (HR. Muslim) Dari Abi Bakrah r.a Nabi SAW melarang (menjual) perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami pula.” (HR. Bukhari-Muslim.)

17

Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. h,

101

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Adapun rukun Sharf adalah:  Penjual (Ba’i)  Pembeli (Musytari)  Mata uang yang diperjual-belikan (Sharf)  Nilai tukar (Si’rus Sharf)  Ijab kabul (Sighat) 2.

Wadi’ah (titipan) Jenis produk jasa tambahan yang dapat diterapkan adalah wadi’ah, namun

wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad al-amanah. Aplikasi perbankan wadi’ah yad al-amanah adalah penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) sebagai sarana penitipan barang berharga nasabah. Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut. Gambar 5.13. Skema wadi’ah yad al-amanah 2. Titip barang Nasabah Muwaddi’ (penitip)

1. Bebankan biaya penitipan

Bank Mustawda’ penyimpan

102

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 6 BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (BPRS)

A. Konsep Dasar dan Sejarah BPRS Dalam sistem perbankan di Indonesia diakomodir suatu kehadiran perbankan yang bertugas untuk melayani masyarakat di daerah pedesaan atau pinggiran, atau biasa dikenal dengan rural banking. Di Indonesia rural banking tersebut diakomodir dalam bentuk lembaga Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Lembaga keuangan ini dibutuhkan oleh masyarakat di daerah pedesaan atau pinggiran yang belum terjangkau oleh bank umum, baik dari segi penyimpanan dana nasabah maupun segi pembiayaan. Status hukum BPR diakui pertama kali dalam Paket Kebijakan Oktober (Pakto) tanggal 27 Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Bank Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan atau lembaga lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu 1. Sejak dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut diperjelas melalui ijin dari Menteri Keuangan. Sedangkan dalam perundang-undangan lembaga ini mulai diatur semenjak UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dimana BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.

1

Subagyo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Yogyakarta: STIE YKPN, 2002, h. 118

103

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut Undang-undangNo. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dinyatakan bahwa bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Berdirinya BPRS tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berdirinya lembagalembaga keuangan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Cikal bakal lahirnya bank syariah di Indonesia pertama kali dirintis dengan mendirikan tiga BPR Syariah. Sebagai langkah awal ditetapkan tiga lokasi berdirinya BPR Syariah. Ketiga BPR Syariah tersebut adalah: 1. PT BPR Dana Mardhatillah, Kec. Margahayu, Bandung 2. PT BPR Berkah Amal Sejahtera, Kec. Padalarang, Bandung 3. PT BPR Amanah Rabbaniyah, Kec. Banjaran, Bandung Tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR Syariah tersebut telah medapatkan ijin prinsip dari Menteri Keuangan RI. Selanjutnya dengan bantuan asistensi teknis dari Bank Bukopin cabang Bandung yang memperlancara penyelenggaraan pelatihan dan pertemua para pakar pebankan. Pada tanggal 25 Juli 1991, BPR Dana Mardhatillah, BPR Berkah Amal Sejahtera dan BPR Amanah Rabbaniyah mendapatkan ijin usaha dari Menteri Keuangan RI. Untuk mempercepat proses pendirian BPR-BPR Syariah yang lain dibentuklah lembaga-lembaga penunjang, antara lain 2: 1. Institute for Shariah Economic Development (ISED) ISED bertugas melaksanakan program pendidikan/pemberian bantuan teknis pendirian BPR Syariah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah berpotensi. Hasil yang telah dicapai ISED antara lain: -

BPR Harukat di Aceh

-

BPR Amanah Umah, Kec. Leuweliang, Bogor

-

BPR Pembangunan Cikajang Raya, Kec. Cikajang, Garut

-

BPR Bina Amwalul Hasanah, Kec. Sawangan, Bogor

2. Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah (YPPBS) YPPBS membantu perkembangan BPR Syariah di Indonesia dengan melakukan kegiatan-kegiatan: 2

Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, h. 117

104

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

-

Pendidikan, baik tingkat dasar untuk sarjana baru maupun tingkat menengah untuk para praktisi yang berpengalaman minimal 2 tahun di perbankan

-

Membantu proses pendirian dan memberikan bantuan asistensi teknis

B. Tujuan BPRS Ada beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR Syariah di dalam perekonomian adalah 3: 1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Hal ini untuk menghindari agar mereka tidak terjebak oleh rentenir yang menerapkan bunga berbunga 2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. 3. Membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai 4. Selain itu dengan pendirian BPR Syariah akan mempercepat perputaran aktivitas perekonomian, karena sektor riel akan bergairah. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, perlulah disusun suatu strategi operasional pencapaiannya, yaitu 4: 1. BPR Syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik 2. BPR Syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil 3. BPR Syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan 3

Warkum Sumitro. 2002, h. 119. Lihat juga Karnaer Perwaatmadja dan M. Syafii Antonio. Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, h. 96 4 Warkum Sumitro, 2002, h. 120

105

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

C. Karakteristik BPRS Dalam aktivitas operasional perbankannya berdasarkan UU No. 21 tahun 2008, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dilarang: 1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah 2. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran 3. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia 4. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah 5. Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitas likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah 6. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha yang telah diatur dalam undangundang. Adapun perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah: 1. Akad dan aspek legalitas. Dalam BPRS akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka. 2. Adanya dewan pengawas syariah dalam struktur organisasinya yang bertujuan untuk mengawasi praktik operasional BPRS agar tidak menyimpang dari prinsip syariat 3. Penyelesaian sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah maupun pengadilan agama. 4. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, syubhat ataupun dapat menimbulkan kemudharatan bagi pihak lain 5. Praktik operasional BPRS baik untuk penghimpunan maupun penyaluran pembiayaan menggunakan sistem bagi hasil dan tidak boleh menerapkan sistem bunga

106

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D. Kegiatan Usaha BPR Syariah Secara umum menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) meliputi: 1. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat, penghimpunan dana tersebut dalam bentuk: a. Simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah b. Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah 2. Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, penyaluran dana tersebut dalam bentuk: a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah b. Pembiayaan untuk transaksi jual beli berdasarkan akad murabahah, salam, atau istishna c. Pinjaman berdasarkan akad qardh d. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bit tamlik e. Pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah 3. Menempatkan dana pada bank syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad mudharabah dan/atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah 4. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional dan Unit Usaha Syariah 5. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia

107

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Pendirian BPR Syariah 1. Syarat pendirian Dalam mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR Syariah yang telah ditentukan dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 pasal 7, bentuk badan hukum suatu bank syariah baik berbentuk bank umum, unit usaha maupun BPRS adalah Perseroan Terbatas (PT). Adapun syarat-syarat untuk pendirian BPR Syariah adalah sebagai berikut 5: a. BPR Syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan ijin Direksi Bank Indonesia b. BPR Syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:  Warga negara Indonesia  Badan hukum Indonesia yang seluruh pemilikannya oleh warga negara Indonesia  Pemerintah daerah  Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud di atas Pemberian ijin pendirian BPR Syariah dilakukan dalam dua tahap, yaitu a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR Syariah b. Ijin usaha, yaitu ijin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR Syariah setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan Menurut UU No.21 tahun 2008 tidak memberikan kemungkinan pihak asing untuk mendirikan BPR Syariah. Kemudian menurut SK DIR BI No. 32/36/1999 yang dapat menjadi pemilik BPR Syariah adalah pihak-pihak yang: a. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik, antara lain:  Memiliki akhlak dan moral yang baik  Mematuhi peraturan perundang-perundangan yang berlaku 5

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, No. 32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah

108

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Bersedia mengembangkan BPR Syariah yang sehat Selain dari persyaratan tersebut di atas, khusus untuk dapat menjadi anggota Dewan Komisaris BPR Syariah ditentukan pula bahwa yang bersangkutan wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan. Ketentuan ini tidak mengharuskan yang bersangkutan memiliki pengetahuan da atau pengalaman di bidang perbankan syariah. Sedangkan anggota Direksi sekurang-kurangnya berpendidikan formal setingkat Diploma III atau Sarjana Muda. Menyangkut komposisi anggota direksi, sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari anggota direksi BPR Syariah wajib berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahu sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau pembiayaan. Bagi anggota direksi yang belum berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah. Direksi BPR Syariah dilarang untuk merangkap jabatan sebagai anggota direksi atau pejabat eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan, atau lembaga lain. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai tugas anggota Direksi yang bersangkutan tidak efektif karena anggota Direksi sibuk dengan kegiatannya sebagai anggota Direksi di tempat lain. Sementara anggota Dewan Komisaris BPR Syariah tidak dilarang merangkap jabatan lain, namun membatasi perangkapan sebagai anggota komisaris sebanyakbanyaknya pada 3 (tiga) BPR Syariah. Anggota Dewan Komisaris BPR Syariah dilarang menjabat sebagai anggota Direksi Bank Umum. Namun anggota Dewan Komisaris BPR Syariah tidak dilarang untuk dapat menjadi anggota Direksi BPR Syariah lain. Dalam hal terjadi penggantian anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi BPR Syariah, calon pengganti jabatan tersebut wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Demikian juga jika ada penggantian atau penambahan pemilik BPR Syariah wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.

109

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Permodalan Modal yang disetor untuk mendirikan BPR Syariah ditetapkan sekurangkurangnya sebesar: a. Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di wilayah Jakarta, dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Karawang b. Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di wilayah ibukota propinsi di luar wilayah seperti tersebut pada butir a di atas c. Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di luar wilayah yang disebut pada butir a dan b di atas. Modal yang disetor tersebut, yang digunakan untuk modal kerja bagi BPR Syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50% (lima puluh persen). Dengan kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian BPR Syariah itu tidak boleh melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya. Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang: a. Berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan atau pihak lain di Indonesia b. Berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah termasuk kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum

F. Kendala Pengembangan BPR Syariah Dalam praktek operasionalnya, BPR Syariah mengalami berbagai kendala, kendala tersebut diantara adalah 6: 1. Kiprah BPR syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah, bahkan masih ada sekelompok masyarakat yang menganggap BPR syariah sama dengan BPR konvensional. Oleh karena itu BPR syariah perlu menegaskan dan meneguhkan identitasnya sebagai BPR yang menggunakan prinsip-prinsip syariah, dimana akan banyak perbedaan baik secara konseptual maupun operasional dengan BPR konvensional.

6

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 99-100

110

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Upaya untuk meningkatkan profesionalitas seringkali terhalang rendahnya sumber daya mansusia yang dimiliki oleh BPR syariah, sehingga proses BPR Syariah dalam melakukan aktivitasnya cenderung lambat dan respon terhadap terhadap permasalahan ekonomi rendah. Maka upaya , untuk meningkatkan SDM perlu diarahkan di semua posisi baik di posisi pemegang kebijakan maupun berposisi di lapangan 3. Kurang adanya koordinasi d antara BPR syariah, demikian juga dengan bank syariah dan BMT. Sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syiar Islam tentunya langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang terpadu dapat dilakukan guna mengangkat ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan framework yang bisa dijadikan acuan di antara lembaga keuangan di tingkat kabupaten, kecamatan, desa ataupun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa mengenyampingkan keberadaan lembaga keuangan yang lain 4. Sebagai lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga bertanggung jawab terhadap nilai-nilai ke-Islaman masyarakat yang ada di sekitar BPR syariah tersebut. Aktivitas BPR syariah di bidang keuangan seringkali tidak mengalokasikan waktu untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan dengan syiar Islam.

G. Strategi Pengembangan BPR Syariah Adapun strategi pengembangan BPR Syariah yang perlu diperhatikan adalah langkah-langkah sebagai berikut 7: 1. Langkah-langkah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah bukan saja produknya tetapi sistem yang digunakannya perlu diperhatikan. Upaya ini dapat dilakukan melalui BPR syariah sendiri dnegan menggunakan strategi pemasaran yang halal. Hal lain yang dapat ditempuh adalah perlunya kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan atau non pendidikan yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR syariah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah 7

Ibid, h. 100-101

111

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah serta lingkungan yang mempengaruhinya. Untuk itu diperlukan kerjasama di antara BPR syariah atau kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan untuk membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syariah atau kursus singkat lembaga keuangan syariah. 3. Melalui pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui berapa besar kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang lain dalam mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat kesinambungan kerja di antara BPR syariah, demikian juga kesinambungan kerja BPR syariah dengan bank syariah dan BMT. Sehingga hal ini akan meningkatkan koordinasi di antara lembaga keuangan syariah 4. BPR syariah bertanggung jawab terhadap masalah ke-Islaman masyarakat dimana BPR syariah tersebut berada. Maka perlu dilakukan kegiatan rutin keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan peran Islam dalam bidang ekonomi. Demikian juga dengan pola ini dapat membantu BPR syariah dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada di masyarakat. Hal ini akan menjadikan kebijakan BPR syariah di bidang keuangan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat.

112

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 7 KONSEP DASAR ASURANSI SYARIAH

A. Definisi Asuransi Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan. Secara umum konsep asuransi merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai suatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka. Asuransi

adalah

serapan

dari

kata

“assurantie”

(Belanda),

atau

assurance/insurance (Inggris). Menurut sebagian ahli, kata istilah assurantie itu sendiri sesungguhnya bukanlah istilah asli bahasa Belanda, melainkan berasal dari bahasa latin yang kemudian diserap ke dalam bahasa Belanda yaitu assecurare yang berarti “meyakinkan orang”. Kata ini kemudian dikenal dalam bahasa Prancis sebagai asurance 1. Baik kata assurance maupun kata insurance, secara literal keduanya berarti pertanggungan atau perlindungan. Menurut Dahlan Siamat, kedua istilah ini sesungguhnya memiliki pengertian yang berbeda antara satu dari yang lain. Insurance mengandung arti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi. Sementara assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi Definisi asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 246 adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak tertentu.

1

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Intermedia, 1995, h. 274

113

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara menurut Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, definisi asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Definisi asuransi menurut Prof. Mehr dan Cammack 2 merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung". Definisi asuransi menurut Prof. Mark R. Green adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu. Definisi asuransi menurut C.Arthur William Jr dan Richard M. Heins, yang mendefinisikan asuransi berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:  Asuransi adalah suatu pengaman terhadap kerugian finansial yang dilakukan oleh seorang penanggung.  Asuransi adalah suatu persetujuan dengan mana dua atau lebih orang atau badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi kerugian finansial. Menurut Safir Senduk asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut. Dengan mengambil Asuransi Jiwa, diharapkan bahwa pihak yang Anda tinggalkan tidak mengalami kesulitan dalam membayar Biaya Hidupnya.” 2

http://perlindungandiri.blogspot.com/2007/06/dada.html diakses pada 30 November 2009

114

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut paham ekonomi 3 asuransi merupakan suatu lembaga keuangan yang melaluinya dapat dihimpun dana besar, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, di samping bermanfaat bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam bisnis asuransi. Asuransi bertujuan memberikan perlindungan atau proteksi atas kerugian keuangan atau financial loss, yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak diduga sebelumnya atau fortuitious event. Sehingga asuransi dapat didefinisikan sebagai suatu mekanisme yang memberikan perlindungan pada tertanggung apabila terjadi risiko di masa mendatang. Pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang diperjanjikan antara penanggung dan tertanggung apabila terjadi kerugian, sementara pihak tertanggung harus membayar sejumlah premi kepada pihak penanggung. Dari pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur pokok dalam asuransi yaitu bahaya atau kerugian yang dipertanggungkan, premi pertanggungan, dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Bahaya/kerugian dipertanggungkan sifatnya tidak pasti terjadi. Jumlah premi sangat tergantung pada faktor-faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya tingkat risiko dan jumlah nilai pertanggungan. Jumlah uang santunan sering atau bahkan pada umumnya jauh lebih besar daripada premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi. Mekanisme perlindungan asuransi sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang penuh dengan risiko. Secara rasional para pelaku bisnis akan mempertimbangkan usaha untuk mengurangi risiko yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah tangga asuransi juga dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila ada salah satu anggota keluarga menghadapi risiko cacat atau meninggal. Pada dasarnya ada beberapa manfaat asuransi bagi masyarakat, antara lain: 1.

Memberikan rasa aman dan perlindungan. Polis asuransi yang dimiliki oleh klien akan memberikan rasa aman dari risiko atau kerugian yang mungkin timbul. Kalau risiko atau kerugian tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung (insured) berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis atau ditentukan berdasarkan perjanjian antara tertanggung dan penanggung. 3

Y. Sri Susilo, et.al, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 205

115

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2.

Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil. Prinsip keadilan diperhitungkan dengan matang untuk menentukan nilai pertanggungan dan premi yang harus ditanggung oleh pemegang polis secara periodik dengan memperhatikan secara cermat faktor-faktor yang berpengaruh besar dalam asuransi

tersebut.

Untuk

mendapatkan

nilai

pertanggungan,

pihak

penanggung sudah membuat perhitungan yang tidak merugikan kedua belah pihak. Semakin besar nilai pertanggungan semakin besar pula premi periodik yang harus dibayar oleh tertanggung. 3.

Polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit

4.

Berfungsi sebagai tabungan dan sumber pendapatan. Premi yang dibayarkan setiap periode memiliki substansi yang sama dengan tabungan. Pihak penanggung juga memperhatikan bunga atas premi yang dibayarkan dan juga bonus (sesuai dengan perjanjian dari kedua belah pihak)

5.

Alat penyebaran risiko. Risiko yang seharusnya ditanggung oleh tertanggung ikut dibebankan juga pada penanggung dengan imbalan sejumlah premi tertentu yang didasarkan atas nilai pertanggungan

6.

Membantu meningkatkan kegiatan usaha. Investasi yang dilakukan oleh para investor dibebani dengan risiko kerugian yang bisa diakibatkan oleh berbagai macam hal.

B. Konsep Dasar Asuransi Syariah Dalam literatur arab asuransi dikenal dengan sebutan “at-takaful” dimana secara literal berarti pertanggunan yang berbalasan atau hal saling menanggung. Selain itu juga disebut dengan at-ta’min yang berarti tenang dalam arti ketenangan jiwa dan hilangnya rasa takut. Menurut Isa Abduh yang dimaksud at-ta’min yaitu usaha (ekonomi) yang diperoleh melalui kesepakatan antara dua pihak yakni tertanggung (al-mu’amman) yang menyerahkan sejumlah uang kepada penanggung (al-mu’ammin) untuk kemaslahatan orang 4 lain, sesuai dengan perjanjian yang menghendaki adanya penyerahan (penggantian) dana tatkala nyata-nyata terjadi bahaya pada tertanggung. 4

M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional: teori, sistem,aplikasi, dan pemasaran”, Jakarta: Kholam Publishing, 2006.

116

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asuransi Syariah adalah sebuah lembaga usaha yang saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. Dalam hal ini peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Jadi, jika dalam asuransi konvensional terjadi transfer of risk (memindahkan risiko) dari peserta ke perusahaan, dalam asuransi syariah mekanisme pertanggungannya adalah sharing of risk atau saling menanggung risiko; di mana perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta, bukan sebagai penanggung. Asuransi syariah memiliki beberapa ciri utama, yaitu : 1. Akad asuransi syari'ah adalah bersifat tabarru', sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru', maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba. 2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama'ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama). 3. Dalam asuransi syari'ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama'ah seperti dalam asuransi takaful.

117

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Akad asuransi syari'ah bersih dari maysir, gharar dan riba. 5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental. Adapun asuransi syariah harus dalam prinsip umum syariah yang sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001: 1. Asuransi Syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang menberikan pola pengembalian untuk mengahadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah; 2. Akad yang sesuai syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung

gharar

(penipuan),

maysir

(perjudian),

riba,

zhulm

(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat; 3. Akad

tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan

komersial; 4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikandan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial; 5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad; 6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu: 1.

Pendapat pertama: Mengharamkan Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa

Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth'i (mufti Mesir"). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah: ●

Asuransi sama dengan judi



Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.



Asuransi mengandung unsur riba/renten.



Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila

118

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi. ●

Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.



Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.



Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.

2.

Pendapat kedua: Membolehkan Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad

Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari'ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan: ●

Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi.



Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.



Saling menguntungkan kedua belah pihak.



Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.

3.



Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)



Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta'awuniyah).



Asuransi dianalogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen. Pendapat ketiga: Asuransi sosial boleh dan komersial haram Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru

besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Prinsip Asuransi Syariah, suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i, jika tidak menyimpang dari prinsipprinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

119

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis



Asuransi syariah harus dibangun atas dasar ta’awun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis semata. Allah SWT berfirman," Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan."



Asuransi syariat tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' atau mudhorobah.



Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah, oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.



Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.



Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.



Apabila uang itu akan dikembangkan, harus dijalankan sesuai aturan syar'i. Landasan hukum dari asuransi syariah adalah:

1. Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan (Q.s al-Hasyr: 18)

                    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang kamu kerjakan” 2. Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad bersabda: “Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT. Akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat.”

120

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Dalam hukum positif yang menjadi dasar hukum dalam asuransi syariah adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang masih bersifat global. Sedangkan, dalam menjalankan usahanya secara syariah, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah menggunakan pedoman fatwa DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum

asuransi

syariah. oleh karena fatwa DSN tersebut tidak memiliki kekuatan hukum maka dibentuk peraturan perundangan oleh pemerintah yang berkaitan dengan asuransi syariah. 5 Terkait dengan kontrak dalam Islam ada dua jenis kontrak, yaitu 6: 1. Wa’ad yaitu perjanjian antara satu pihak kepada pihak lain. Pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban kepeda pemberi janji, dan bila terjadi pengingkaran terhadap janji tersebut, pemberi janji tidak dikenakan sanksi selain sanksi moral. 2. Akad merupakan kontrak atau perjanjian yang dibuat 2 belah pihak yang saling mengikat di antara keduanya untuk bersepakat tentang suatu hal. Syarat dan ketentuan harus dijelaskan secara terperinci oleh kedua pihak. Jika ada pelanggaran kontrak, maka pihak yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak tersebut. Akad inilah yang nantinya banyak digunakan dalam asuransi syariah. Ada 2 bentuk akad: a) Akad Tabarru’ yaitu semua bentuk kontrak/akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, dan bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam asuransi syariah, akad ini terdapat pada dana tabarru’ di mana dana ini bersifat saling menguntungkan kedua pihak dan TIDAK digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat komersial. Contoh: transaksi pinjam meminjam, pendelegasian, dan pemberian sesuatu. b) Akad Tijarah yaitu akad yang bertujuan komersial. Akad ini digunakan oleh peserta asuransi syariah dengan pihak perusahaan asuransi. Skema Akad Tijarah terbagi menjadi 2, yakni: Kontrak yang Pasti (KP) dan 5

Widyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, hal 204. 6 http://penasehatkeuangan.wordpress.com/category/asuransi-jiwa-syariah/ diakses pada 3 Desember 2009

121

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kontrak yang Tidak Pasti (KTP). Bila telah ditentukan secara pasti (misal profit), tidak bisa diubah menjadi KTP. Hal ini mengandung unsur Gharar atau ketidakpastian. Sebaliknya, jika tidak disebutkan secara pasti (misal profit) maka tidak boleh diubah menjadi KP, karena hal ini mengandung unsur Riba’. Kedua unsur ini dilarang dalam konsep syariah. Awal terbentuknya sejak tahun 1979 ketika sebuah perusahaan asuransi jiwa di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi syariah. Kemudian di tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab. Tahun 1981, Dar

Al-Maal

Al-Islami,

sebuah

perusahaan

asuransi

jiwa

asal

Swiss,

memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Diiringi oleh penerbitan asuransi syariah kedua di Eropa yang diperkenalkan oleh Islamic Takafol Company [ITC] di Luksemburg pada tahun 1983. Di Asia sendiri, asuransi syariah pertama kali dikenalkan di Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa bernama Takaful Malaysia.

C. Prinsip Asuransi Ada beberapa prinsip dalam asuransi, yaitu 7: 1.

Insurable interest Pada

prinsipnya

merupakan

hak

berdasarkan

hukum

untuk

mempertanggungjawabkan suatu risiko yang berkaitan dengan keuangan, yang diakui sah secara hukum antara tertanggung dengan sesuatu yang dipertanggungkan. Selain itu, sesuatu yang dipertanggungkan itu semata-mata menyangkut kepentingan yang menimbulkan kerugian keuangan tertanggung atas segala sesuatu yang dipertanggungkan tersebut. Ada beberapa kriteria yang perlu dipenuhi agar memenuhi kriteria insurable interest

7

Y. Sri Susilo, et.al, Bank & Lembaga Keuangan Lain, 2000, h. 208

122

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Kerugian- tidak dapat diperkirakan Risiko yang dapat diasuransikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerugian, dimana kerugian tersebut harus dapat diukur. Selanjutnya kemungkinan tersebut tidak dapat diperkirakan terjadinya.  Kewajaran Risiko yang dipertanggungkan dalam asuransi adalah benda atau harta yang memiliki nilai material baik bagi penanggung maupun tertanggung  Catastrophic Agar suatu barang atau harta dapat insurable, risiko yang mungkin terjadi haruslah tidak dapat menimbulkan suatu kemungkinan rugi yang sangat besar, yaitu jika sebagian besar pertanggungan kemungkinan akan mengalami kerugian pada waktu bersamaan.  Homogenous Untuk memenuhi syarat insurable, barang atau harta yang akan dipertanggungkan harus homogeny, yang berarti banyak barang yang serupa atau sejenis. Banyaknya barang yang sejenis berkaitan dengan prinsip bahwa asuransi menutup sejumlah besar risiko supaya dapat membayar beberapa kerugian dari yang dipertanggungkan. 2.

Utmost good faith (itikad baik) Dalam melakukan kontrak asuransi, kedua belah pihak dilandasi oleh itikad

baik. Pihak penanggung perlu menjelaskan secara lengkap hak dan kewajibannya selama masa asuransi. Selain itu yang sangat perlu diperhatikan adalah perlakuan dari penanggung pada saat benar-benar ada risiko yang menimpa tertanggung. Pihak penanggung harus konsisten terhadap hak dan kewajiban yang pernah disampaikan pada tertanggung dan dicantumkan dalam kontrak (polis) termasuk batasan-batasan yang ada sehingga jelas apabila ada risiko yang tidak tercover dalam asuransi. Pihak tertanggung juga perlu

mengungkapkan secara rinci kondisi yang akan

diasuransikan sehingga pihak penanggung memiliki gambaran yang memadai untuk menentukan persetujuan. Kewajiban kedua belah pihak untuk mengungkapkan fakta disebut duty of disclosure. Fakto-faktor yang melanggar prinsip duty of disclosure adalah:

123

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Non disclosure. Adanya data-data penting yang tidak diungkapkan sehingga menyalahi utmost good faith  Concealment.

Secara

sengaja

melakukan

kebohongan

dan

tidak

mengungkapkan fakta-fakta penting  Fraudulent misrepresentation. Sengaja memberikan gambaran yang tidak cocok dengan kondisi riil  Innocent misrepresentation. Secara tidak sengaja member gambaran yang salah yang memiliki pengaruh besar dalam proses asuransi. 3.

Indemnity Konsep indemnity adalah mekanisme penanggung untuk mengompensasi

risiko yang menimpa tertanggung dengan ganti rugi finansial. Prinsip indemnity tidak dapat dilaksanakan dalam asuransi kecelakaan dan kematian. Dalam kedua jenis asuransi tersebut, pihak penanggung tidak dapat mengganti nyawa yang hilang atau anggota tubuh yang cacat/hilang karena indemnity berkaitan dengan ganti rugi finansial. Indemnity ini dapat dilakukan dengan beberapa cara: pembayaran tunai, penggantian, perbaikan dan pembangunan kembali. 4.

Proximate cause Adalah suatu sebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu

peristiwa secara berantai atau berurutan tanpa intervensi suatu ketentuan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen. 5.

Subrogation Subrogation pada prinsipnya merupakan hak penanggung yang telah

memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian. Dengan prinsip subrogation, tertanggung tidak mungkin menerima ganti rugi yang lebih besar dari kerusakan yang dideritanya 6.

Contribution Prinsip kontribusi merupakan salah satu akibat wajar dari prinsip indemnity

yaitu bahwa penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada

124

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

seorang tertanggung meskipun jumlah tanggungan masing-masing belum tentu sama besarnya. Dalam asuransi syariah, perlu dilakukan beberapa modifikasi tambahan yang semata-mata bersumber dari ajaran Islam, yaitu 8: 1) Prinsip ikhtiar dan berserah diri. Allah adalah pemilik mutlak atas segala sesuatu, karena itu menjadi kekuasaan-Nya pula untuk memberikan atau mengambil sesuatu kepada/dari hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki. Manusia memiliki kewajiban untuk berusaha (ikhtiar) sesuai dengan kesanggupannya. Tetapi pada saat yang bersamaan manusia juga harus berserah diri (tawakkal) hanya kepada Allah SWT 2) Prinsip tolong menolong (ta’awun). Prinsip yang paling utama dalam konsep asuransi syariah adalah prinsip tolong menolong atau ta’awun menurut istilah Al-Qur’an. Hal ini mengandung arti bahwa setiap peserta asuransi ketika melangsungkan akad, harus memiliki niat untuk tolong menolong di antara atau dengan sesama peserta yang lain. Saling tolong atau tepatnya saling tanggung dalam konteks ini sangat dianjurkan dalam Islam. 3) Prinsip bertanggung jawab. Para peserta asuransi setuju untuk saling bertanggung jawab antara satu sama lain, dan harus melaksanakan kewajiban di balik menerima yang menjadi hak-haknya 4) Prinsip saling kerja sama dan bantu membantu. Salah satu keutamaan umat Islam adalah saling bekerja sama untuk membantu sesamanya dalam berbuat kebajikan. Kerjasama dan saling membantu dalam Islam, antara lain tersimbolkan dalam konsep kehidupan berjamaah dan berukhuwwah dalam konteksnya yang sangat luas 5) Prinsip saling melindungi dari berbagai kesusahan. Para peserta asuransi syariah setuju untuk saling melindungi dari musibah, bencana, dan sebagainya, terutama melalui perhimpunan dana tabarru’ melalui perusahaan yang diberi kepercayaan untuk itu. Asas saling melindungi ini dijunjung tinggi dalam agama Islam.

8

M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional: teori, sistem,aplikasi, dan pemasaran”, h. 58-59

125

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi syariat Islam, asuransi konvensional hasil produk non Islam ini mengandung sekian banyak cacat syar`i, antara lain : 1. Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil. 2. Akad asuransi ini adalah akad idz'an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung. 3. Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi. 4. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek ribawi. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal. 1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan). 2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga. 3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.

126

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan. 5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa. 6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian. Tabel 7.1. 9 Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional No 1

Prinsip Akad

2 3

Jaminan/risk Kepemilikan dana

4

Sumber hukum

5

DPS

6

Unsur Premi

7

Investasi

Asuransi Konvensional Jual beli (akad mu’awaddah)

Asuransi syariah Akad tabarru’ dan akad tijarah (Mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, dll) Transfer risk Sharing of risk Milik perusahaan Milik peserta, asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah Merupakan pemikiran manusia Al Qur’an dan Hadits,ijtihad dan kebudayaan Tidak ada

Ada, berfungsi sebagai pelaksana operasional perusahaan agar berjalan sesuai prinsip syariah Terdiri dari tabel mortalitas, Terdiri atas unsur tabarru’ dan bunga, biaya asuransi tabungan Tidak ada batasan Ada batasan, sesuai dengan prinsip Syariah

9

Widyaningsiah, et al, bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, hal, 186.

127

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 8 PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH

A.

Pendahuluan Keberadaan lembaga keuangan yang menawarkan berbagai bentuk fasilitas

pembiayaan untuk lebih memperluas penyediaan pembiayaan alternatif bagi dunia usaha dalam sistem perekonomian modern sangatlah dibutuhkan. Lembaga pembiayaan diperlukan guna mendukung dan memperkuat sistem keuangan nasional yang terdiversifikasi sehingga dapat memberikan alternatif yang lebih banyak bagi pengembangan sektor usaha. Kebijakan pengembangan dan perluasan berbagai jenis lembaga keuangan melalui diversifikasi kegiatan pembiayaan landasan operasionalnya diatur lewat Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 sebagai bagian dari deregulasi 20 Desember 1988 (Paket Desember). Melalui PakDes ini diperkenalkan lembaga pembiayaan yang bidang usaha usahanya adalah : 1.

Sewa guna usaha (leasing)

2.

Modal ventura (venture capital)

3.

Anjak Piutang (factoring)

4.

Kartu kredit (credit card)

5.

Pembiayaan konsumen (consumer finance)

6.

Perdagangan surat berharga (securities company) Melihat karakteristik jenis usaha yang beragam, maka perusahaan pembiayaan

yang melakukan lebih dari satu kegiatan sering pula disebut dengan multifinance company. Dalam ketentuan lebih lanjut ada dua kegiatan yang dikeluarkan dari kegiatan perusahaan pembiayaan, yaitu kegiatan perdagangan surat berharga berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1256/ KMK.00/ 1989 tanggal 18 November 1989, karena kegiatan perdagangan surat berharga terkait dengan kegiatan di pasar modal sehingga dialihkan kepada Bapepam sebagai otoritas pasar modal. Selanjutnya modal ventura berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 468/ KMK.017/ 1995 tanggal 3 Oktober 1995 juga dikeluarkan dari bidang usaha lembaga pembiayaan dan dilakukan secara terpisah dengan badan hukum tersendiri

128

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dengan pertimbangan agar bisnis modal ventura dapat lebih berkembang dan berkonsentrasi pada penyaluran pembiayaan untuk membantu usaha kesil menengah. Dalam perkembangan selanjutnya, landasan hukum perusahaan pembiayaan makin kuat dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/ KMK017/ 2000 yang diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 172/ KMK/ 2002. Blakangan diterbitkan pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga Pembiayaan 1. Kegiatan usaha lembaga pembiayaan adalah: 1.

Sewa guna usaha (leasing);

2.

Anjak Piutang (factoring);

3.

Usaha kartu kredit (credit card);

4.

Pembiayaan konsumen (consumer finance). Secara umum perusahaan pembiayaan berfungsi menyediakan produk yang

berkualitas dan pelayanan yang profesional untuk menjamin kesetiaan pelanggan. Memanfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal untuk memperoleh revenue yang dapat memberikan kontribusi bagi pemegang saham, dan kesejahteraan bagi karyawan. Perusahaan pembiayaan selain

beroperasi menggunakan sistem

konvensional juga dapat melakukan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Pembiayaan

berdasarkan

prinsip

syariah

adalah

pembiayaan

berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan pembiayaan tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Pengelolaan dan pengembangan perusahaan pembiayaan dapat dilakukan melalui beberapa bidang, yaitu 2:

1

Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan yang diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 172/KMK.06/2002, dan PMK No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan 2 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009, h. 343

129

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Pemasaran antara lain dengan mebangun kerjasama dengan dealer, sinergis bisnis dengan grup/induk perusahaan, untuk membangun captive market; pemilihan konsumen sangat menetukan terhadap keberhasilan pembayaran kembali produk yang dijual. 2. produk antara lain menciptakan produk yang sederhana di mata konsumen, dan dari sisi mitigasi risiko masih tetap aman; produk yang akan dijual adalah produk yang kualitasnya bagus, serta mudah dijual bila terjadi penarikan kembali dari konsumen. 3. Perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pendanaan dari berbagai sumber; risiko terhadap kenaikan NPL (Non-Performing Loan) dapat dijaga apabila produknya hanya dijual kepada konsumen yang telah memenuhi kriteria kelayakan dan risiko yang dapat diterima; apabila terjadi keterlambatan pembayaran oleh konsumen, harus segera dilakukan analisis dan dilakukan restrukturisasi; diperlukan diversifikasi pembiayaan kepada konsumen agar tidak terjadi penumpkan risiko hanya pada beberapa konsumen tertentu. 4. Permodalan antara lain secara bertahap

perusahaan perlu

melakukan

penambahan modal disetor dari para pemegang saham. Peraturan Menteri Keuangan No. 84/ PMK.012/ 2006 tanggal 29 September 2006 tidak mewajibkan menyesuaikan persyaratan modal disetor bagi perusahaan pembiayaan yang telah berdiri sebelum peraturan Menkeu tersebut dikeluarkan. Namun mengingat risiko usaha pembiayaan yang tinngi, dikhawatirkan pemerintah akan terus melakukan serangkaian kebijakan untuk mengatur perusahaan pembiayaan. 5. Sumber daya insani antara lain diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas agar dapat melakukan marketing, menganalisis risiko, dan melakukan perbaikan jika terjadi risiko gagal bayar dari konsumen; perlu dilakukan training untuk memperkuat jajaran marketing dan analisis risiko, sehingga dapat diperoleh nasabah yang potensial; perlu diperhatikan kemampuan untuk membangun untuk membangun dan menjaga corporate image agar menarik minat konsumen.

130

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Di samping itu, perusahaan pembiayaan harus mempunyai program kerja yang jelas, komprenshif, serta dilakukan pemantauan secara terus-menerus, untuk mengetahui apakah program kerja dapat dilakukan sesuai yang ditentukan, dan apabila ada kendala bagaimana cara mencari solusinya. Di antara program kerja yang dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan 3: 1. Melakukan mapping jenis kegiatan usaha yang selama ini telah dilaksanakan oleh perusahaan. Selanjutnya hasil mapping ini akan di ketahui: nasabahnasabah yang potensial, sektor usaha mana yang masih layak dikembangkan, serta sektor usaha yang risikonya tinggi. 2. Setelah mengetahui hasil mapping kemudian dilakukan langkah-langkah; mengembangkan usaha kepada sektor yang masih mempunyai prospek baik, mencari ceruk jenis usaha lain yang layak dikembangkan, membangun kerja sama dengan dealer. 3. Sedangkan begi sektor usaha yang mempunyai Non-Performing Loan (NPL) tinggi, perlu dilakukan langkah-langkah; menilai kembali apakah masih dapat diperbaiki dengan restrukturisasi, melakukan serangkaian negosiasi dengan konsumen untuk melakukan pembayaran, melakukan penagihan ataupun litigasi bilamana tidak mungkin dapat dibayar kembali. 4. Diversifikasi dalam funding untuk memperbaiki struktur pendanaan. 5. Perlu dilakukan perbaikan-perbaikan agar dapat memenuhi kriteria sebagaimana dituliskan dalam peraturan Menteri Keuangan no. 84/ PMK.012/ 2006 tanggal 29 September 2006, antara lain: a) Pemenuhan setoran modal secara bertahap; b) Perusahaan wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya 40% dari total aktiva; c) Jumlah pinjaman selain kepada bank, sekurang-kurangnya Rp. 1 miliar untuk setiap investor, dengan jangka waktu 1 (satu) tahun; d) Jumlah pinjaman dibanding modal sendiri (net worth) dan pinjaman subordinasi dikurangi penyertaan (gearing ratio) setinggi-tingginya sebesar 10 kali. 6. Perlu dilakukan pemantauan yang terus-menerus, untuk menjaga agar NPL tidak melampaui 5%. Perusahaan juga perlu melakukan diversifikasi pembiayaan, agar terjadi penyebaran risiko. 3

Ibid, h. 345

131

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

7. Meningkatkan dan mengoptimalkan sumber daya manusia. Keberhasilan usaha pembiayaan sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, sehingga perbaikan kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting. perbaikan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui training, baik secara internal maupun eksternal. Pertemuan antara pimpinan dengan staf untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi perlu dilakukan secara rutin, sebagai wadah untuk komunikasi dua arah dan pembahasan rencana ke depan bagi perusahaan.

B.

Konsep Dasar Perusahaan Pembiayaan Syariah Setiap transaksi kegiatan operasional perusahaan pembiayaan syariah harus

memenuhi prinsip syariah. Aturan mengenai transaksi perusahaan pembinaan syariah, antara lain : a. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan syariah wajib tidak bertentangan dengan prinsip syariah. b. Akad-akad syariah yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kecuali memenuhi kondisi : 1

Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya;

2

Akad bertentangan dengan prinsip syariah, atau

3

Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hkum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.

c. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, setiap pihak yang bertransaksi wajib memiliki kecakapan dan kewenagan untuk melakukan perbuatan hukum baik menurut syariah maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, wajib dilaksanakan tanpa unsur paksaan di antara para pihak yang berakad. e. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang diikuti dengan kewajiban melaksanakan asuransi atas objek pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, maka objek diasuransikan wajib diasuransikan pada perusahaan asuransi dengan prinsip syariah juga.

132

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

f. Pencatatan akutansi untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam peraturan ini wajib disusun berdasarkan pernyataan standar akutansi keuangan yang berlaku.

C.

Perusahaan Leasing Syariah Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris to lease yang berarti menyewakan.

Perusahaan leasing di Indonesia disebut perusahaan sewa guna usaha. Kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-barang modal yang diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan di sini artinya jika nasabah membutuhkan barang-barang modal seperti peralatan kantor atau mobil dengan cara disewa atau dibeli secara kredit, maka pihak leasing dapat membiayai keinginan nasabah sesuai dengan perjanjian. Menurut Peratuan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan yang dimaksud dengan sewa guna usaha adalah kegiatan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse) selama jangka waktu berdasarkan pembayaran secara berkala. Sedangkan yang dimaksud dengan sewa guna usaha (leasing) syariah adalah kegiaan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah.Dalam setiap transaksi leasing terdapat paling tidak 5 pihak yang berkepentingan, yaitu : 1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang dan dapat terdiri dari beberapa perusahaan. Lessor merupakan perusahaan yang menyediakan jasa pembiayaan kepada pihak lesse dalam bentuk barang modal. Lessor dalam financial lease bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam operating lease, lessor

133

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bertujuan mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang serta pemberian

jasa-jasa

yang

berkenan

dengan

pemeliharaan

serta

pengoperasian barang modal tersebut. 2. Lesse adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor. Lesse dalam financial lease bertujuan mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara pembayaran angsuran. Pada akhir kontrak, lessee memiliki hak opsi untuk membeli barang tersebut berdasarkan nilai sisa. Dalam operating lease, lessee dapat memenuhi kebutuhan peralatannya disamping tenagta operator dan perawatan alat tersebut tanpa risiko bagi lessee terhadap kerusakan. 3. Supplier

adalah

perusahaan

atau

pihak

yang

mengadakan

atau

menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor. Dalam mekanisme financial lease, supplier langsung menyerakan barang kepada lessee tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan. Sebaliknya dalam operating lease, Supplier menjual barangnya langsung kepada leesor dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu secara tunai atau berkala. 4. Bank terlibat secara tidak langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor terutama dalam mekanisme leverage lease di mana sumber dana pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank. Pihak Supplier juga kemungkinan menerima kredit dari bank untuk memperoleh barang yang nantinya dijual sebagai objek leasing kepada lessee atau lessor. Untuk leasing syariah bank yang menyediakan dana, wajib melalui bank dengan prinsip syariah juga. 5. Asuransi merupakan perusahaan yang akan menanggung risiko terhadap perjanjian antara lessor dengan lessee. Di mana dalam hal lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan menaggung risiko dari barang yang dileasingkan sebesar sesuai dengan perjanjian. Untuk usaha leasing syariah, objek yang diasuransikan wajib diasuransikan pada perusahaan asuransi dengan prinsip syariah juga.

134

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Usaha leasing syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik. a.

Ijarah Akad ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna

(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No. 09/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang pembiayaan Ijarah. Fitur dan Mekanisme a. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), antara lain meliputi: 1. Memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir); dan mengakhiri akad Ijarah apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan. 2. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), antara lain meliputi: a. Menyediakan objek Ijarah yang disewakan; b. Menaggung biaya pemeliharaan objek Ijarah; dan c. Menjamin objek Ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. b. Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi : 1. Menerima objek Ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; dan 2. Menggunakan objek Ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratanpersyaratan yang diperjanjikan. c. Kewajiban penyewa (musta’jir), antara lain meliputi : 1. Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; 2. Mengembalikan objek Ijarah apabila tidak mampu membayar sewa; 3. Menjaga dan menggunakan objek Ijarah sesuai yang diperjanjikan; dan 4. Tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek Ijarah kepada pihak lain.

135

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

d. Objek Ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain: 1. Objek Ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); 2. Manfaat objek Ijarah harus dapat dinilai; 3. Manfaat objek Ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir); 4. Pemanfaatan objek Ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan); 5. Manfaat objek Ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas; dan 6. Spesifikasi objek Ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya. b.

Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan

hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan

penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang

tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa. Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No. 27/ DSN-MUI/ III/ 2002 tentang al-Ijarah alMuntahiyah bi al-Tamlik atau al-Ijarah wa al-Iqtina. Fitur dan Mekanisme a. Dalam pelaksanaan Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) wajib membuat wa’ad yaitu janji pemindahan kepemilikan objek Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik pada akhir masa sewa. Wa’ad yang dibuat pemberi sewa bersifat tidak mengikat bagi penyewa (musta’jir) dan apabila wa’ad dilaksanakan, maka pada akhir masa sewa wajib dibuat akad pemindahan kepamilikan. b. Hak perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), antara lain adalah : 1. Memperoleh pembayaran sewa dari penyewa (musta’jir);

136

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Menarik objek Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan; dan 3. Pada akhir masa sewa, mengalihkan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa (musta’jir) sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa atau mencari calon penggantinya. c. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) antara loain adalah : 1. Menyediakan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik yang disewakan; 2. Menanggung biaya pemeliharaan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kecuali diperjanjikan lain; dan 3. menjemin objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. d. Hak penyewa (musta’jir), antara lain adalah : 1. Menggunakan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan; 2. Menerima objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; 3. Pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan

atas

objek

Ijarah

Muntahiah

Bit

Tamlik

atau

memperpanjang masa sewa; dan 4. Menbayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan; e. Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain adalah : 1. Membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan; 2. Menjaga dan menggunakan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai yang diperjanjikan;

137

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Tidak menyewakan kembali objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada pihak lain; dan 4. Melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik. f. Objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. Objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); 2. Manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang; 3. Manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir); 4. Manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam; 5. Manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan 6. Spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaattanya.

D.

Anjak Piutang Syariah Anjak piutang (factoring) dapat didefinisikan sebagai transaksi pembelian

dan/atau penagihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek klien (penjual) kepada perusahaan anjak piutang, kemudian akan ditagih oleh perusahaan anjak piutang kepada pembeli karena adanya pembayaran kepada klien oleh perusahaan anjak piutang. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, Anjak Piutang (factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kegiatan pokok anjak piutang adalah : 1. Pengambilalihan tagihan suatu perusahaan, baik dengan cara dibeli atau dengan cara lainnya sesuai dengan kesepakatan. 2. Penagihan piutang perusahaan klien. 3. Mengelola usaha penjualan kredit suatu perusahaan.

138

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam kegiatan sehari-harinnya perusahaan anjak piutang seperti halnya perusahaan lainnya juga akan mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan anjak piutang antara lain dari berbagai biaya yang dikenakan terhadap kliennya. Biaya-biaya yang dipungut antara lain : 1.

Jasa penagihan (sevice charge), yaitu biaya yang dibebankan oleh perusahaan anjak piutang kepada kliennya. Besarnya bunga tergantung dari kesepakatan bersama.

2.

Biaya administrasi (discount charge), yaitu biaya yang diterima oleh perusahaan anjak piutang setelah melakukan pengelolaan perusahaan kreditor oleh klien dan besarnya pun tergantung dari kesepakatan bersama. Sedangkan yang dimaksud dengan Anjak Piutang Syariah adalah kegiatan

pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut sesuai dengan prinsip syariah. Anjak piutang (factoring) dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah). Perlu ditekankan disini bahwa secara umum pengurusan piutang tersebut haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara yang dilarang oleh syariah. Beberapa istilah dalam transaksi anjak piutang yang dapat ditemui secara umum adalah: 1. Factor, yaitu perusahaan anjak piutang (factoring company). Yaitu badan usaha yang melakukan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/ atau pengalihan, serta pengurusan piutang atau penagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri. 2. Client (penjual piutang/ supplier), yaitu perusahaan yang menjual dan/ atau mengalihkan piutang

atau tagihannya yang

timbul dari trasaksi

perdagangan kepada perusahaan anjak piutang atau perusahaan yang mendapatkan fasilitas anjak piutang dari perusahaan anjak piutang, baik financing maupun nonfinancing.

139

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Piutang adalah kewajiban pembayaran costumer kepada client atas barang yang telah dibeli dan/atau jasa yang telah diberikan oleh client kepada costumer. 4. Costumer (nasabah) adalah perusahaan atau pihak ketiga yang memberi barang dan/atau jasa dari client yang pembayarannya secara kredit atau dapat dikatakan pula perusahaan yang mempunnyai kewajiban kepada klien. 5. Kontrak adalah perjanjian anjak piutang yang dilakukan oleh dan antara faktor dengan klien. 6. Nilai pembiayaan adalah besarnya nilai pembiayaan yang dilakukan oleh factor atas tagihan yang ditawarkan ole klien. 7. Retention adalah bagian dana dari anjak piutang yang ditahan oleh factor untuk menutup kemungkinan terjadinya penyesuaian jumlah piutang sebelum jatuh tempo atau dapat pula dikatakan bagian dana dari tagihan yang ditawarkan oleh klien kepada factor. Retention akan dikembalikan kepada klien setelah tagihan kepada costumer sudah diterima efektif oleh factor. 8. Recourse adalah hak factor untuk menerima pembayaran dari klien apabila piutang yang dialihkan tidak dapat dibayar oleh nasabah pada saat piutang jatuh tempo. Anjak piutang (factoring) dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan oleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah). Landasan hukum akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No. 10/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Wakalah. Fitur dan Mekanisme a. Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan (wakil) antara lain : 1. Menagih piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada pihak yang berutang (muwakal ‘alaih); 2. Dapat memperoleh upah (ujrah) atas jasa penagihan piutang pengalih piutang (muwakkil) dalam hal diperjanjikan;

140

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with recourse) atau tidak meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (without recourse); dan 4. Membayar atau melunasi utang pihak yang berutang (muwakkal ‘alaih) kapada pengalih piutang (muwakkil). b. Hak dan kewajiban pengalih piutang (muwakkil) antara lain : 1. Memperoleh pelunasan piutang dari perusahaan pembiayaan selaku wakil; 2. Membayar upah (ujarah) atas jasa pemindahan piutang yang sesuai yang diperjanjikan; 3. Dapat menyediakan jaminan kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil dalam hal diperjanjikan; dan 4. Memberitahukan kepada pihak yang berutang (muwakkal ‘alaih) mengenai

transaksi

pemindahan

piutang

kepada

Perusahaan

Pembiayaan selaku wakil. c. Hak dan kewajiban pihak yang berutang (muwakkal ‘alaih), antara lain : 1. Memperoleh informasi yang jelas mengenai transaksi pemindahan utangnya dari pengalihan piutang (muwakkil) kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil;dan 2. Membayar atau melunasi utang kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil. d. Piutang (muwakkal bih) yang menjadi objek Wakalah Bil Ujrah adalah piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang dari 1 (satu) tahun yang memenuhio ketentuan sebagai berikut : 1. Piutang pengalih piutang (muwakkil) yang dipindahkan kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil harus dipastikan oleh pihak belum jatuh tempo dan tidak dalam kategori piutang macet; 2. Piutang yang dialihkan bukan berasal dari transaksi yang diharamkan oleh syariah Islam; dan 3. Piutang pengalih piutang (muwakkil) harus dibuktikan dengan dokumen tagihan dan dipastikan keasliannya oleh para pihak.

141

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

e. Wakalah bil Ujrah antara perusahaan pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil), dan pihak yang berutang (muwakkal, alaih) wajib ditetapkan secara tertulis dalam akad Wakalah bil Ujrah. Proses anjak piutang syariah secara prosedural dapat dijelaskan sebagai berikut 1. Supplier (klien) menjual barang atau jasa kepada pembeli (costumer). Penyerahan barang dengan D/O yang ditandatangani pembeli. Asli D/O kembali kepada supplier. 2. Karena alasan cash flow, supplier atau klien kemudian me-wakalah-kan tagihannya kepada perusahaan anjak piutang atas perstujuan pembeli (custumer). 3. Klien menyerahkan data tagihan, termasuk faktur-faktur atau D/O kepada perusahaan anjak piutang. 4. Kontrak perusahaan wakalah bil ujrah tagihan antara klien dengan perusahaan anjak pitang. 5. Klien memperoleh pelunasan piutang dari perusahaan anjak piutang. 6. Pada saat jatuh tempo perusahaan anjak piutang melakukan penagihan kepada pembeli (customer). 7. Pelunasan utang oleh pembeli.

E.

Pembiayaan Konsumen Syariah Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk

pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran Pembiayaan konsumen termasuk ke dalam jasa keuangan dan dapat dilakukan baik oleh bank ataupun lembaga keuangan non-bank dalam bentuk perusahaan pembiayaan. Menurut Bapepam-LK pembiayaan konsumen adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Sedangkan pembiayaan konsumen syariah adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip syariah. Pembiayaan konsumen diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk

142

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang telah diketahui secara umum, kebutuhan konsumsi terdiri dari kebutuhan primer (makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, pelayanan kesehatan, pendidikan) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer. Konsumsi dalam ekonomi Islam dapat didefinsikan dengan mengonsumsi sesuatu yang baik, halal, dan bermanfaat bagi manusia (QS. 5:4, 5; 2: 172; 23: 51, dan 16: 114), pemanfaatan segala anugerah Allah SWT di muka bumi (QS. 7: 32), atau sebagai sebuah kebajikan, karena kenikmatan yang diciptakan Allh untuk manusia adalah wujud ketaatan kepada-Nya (QS. 2:35 ; 2:168). Namun, terminologi ini tidak berarti seorang konsumen dapat mengonsumsi segala barang yang dikehendaki, tanpa memerhatikan kualitas dan kemurniannya, atau mengonsumsi sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan hak-hak orang lain yang ada di dalamnya. Karenanya, dalam konsumsi, prinsip dasar yang harus dijadikan sebagai acuan adalah kebenaran, kesucian, kesederhanaan, kemaslahatan, dan akhlak. Preferensi konsumen dalam Islam dibangun berdasarkan kebutuhan akan kemaslahatan, baik maslahat yang diterima di dunia maupun di akhirat. Maslahat adalah setiap keadaan yang membawa manusia kepada derajat yang lebih tinggi sebagai makhluk yang sempurna. Maslahat dunia dapat berupa berbentuk fisik, biologis, psikis, dan material. Sedangkan maslahat akhirat berupa pahala yang akan diberikan di akhirat sebagai akibat perbuatan mengikuti ajaran Islam. Dengan demikian, dalam ekonomi Islam, konsumen tidak diarahkan untuk memaksimisasi utilitas yang didasarkan pada rasionalitas sempit sesuai dengan anggaran yang dimilikinya, akan tetapi sarat dengan nilai-nilai kerohanian yang secara tidak langsung mengarahkan konsumen agar tidak konsumtif dan menjaga kemaslahatan baik individual maupun komunal. Itulah sebabnya, apabila seorang muslim memegang uang, maka penggunaan uang dalam Islam dipriotaskan untuk memenuhi kewajiban terlebih dahulu, seperti untuk infak (nafkah) keluarga, zakat, dan nazar yang jatuh tempo. Setelah itu uang dapat digunakan untuk kegiatan sunah seperti untuk sedekah, infak, wakaf, wasiat, dan lain sebagainya. Kemudian untuk kegiatan mubah seperti diikutkan pada kegiatan produksi, perdagangan, kerjasama,

143

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya, barulah kemudian boleh untuk kegiatan makruh seperti pemenuhan kebutuhan tersier kebutuhan tersier, dan seterusnya. Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah. Perusahaan pembiayaan syariah dapat melakukan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran dengan menggunakan akad yang ditetapkan oleh syariah. Pada prinsipnya pembiayaan konsumen dilakukan berdasarkan akad murabahah, salam dan istisna’. Secara umum prosedur pembiayaan konsumen syariah dilakukan sebagai berikut: 1. Pihak konsumen menghubungi perusahaan pembiayaan untuk mengajukan permohonan pembiayaan yang bersifat konsumtif. 2. Perusahaan pembiayaan dan kosumen menyepakati kontrak sesuai dengan akad yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dalam dokumen tertulis yang secara jelas menerangkan syarat dan ketentuan yang disepakati. 3. Penyerahan barang kepada konsumen sesuai dengan permohonan konsumen. 4. Konsumen membayar kepada perusahaan pembiayaan sesuai dengan kesepakatan kontrak.

F.

Kartu Kredit Syariah Kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk po-tongan kertas kecil

atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. Sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda. Secara terminologi kartu kredit yaitu kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Kalau kita terjemahkan kata ‘kredit giro’ ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman.

144

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya: Pertama: Persyaratan Berbau Riba Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini? Ulama Fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua kubu: Pertama: Kubu yang membolehkan. Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut: 1. Sabda Nabi kepada Aisyah ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala' budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena loyalitas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi bersabda kepada Aisyah, "Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya," Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan mereka itu bertentangan dengan yang haq, ini bukan untuk pembolehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada. Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh

145

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dihentikan karena pemaksaan

itu.

Tidak

boleh difatwakan

mengenai

ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syariat Allah. 2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di berbagai negeri dengan adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorangpun ulama yang mengharamkan berlangganan fasilitasfasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya. 3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi: "Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat." Kubu kedua, yakni yang melarangnya. Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah. 1. Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu pertama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena dianggap bertentangan dengan ajaran syariat. Karena kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia? 2. Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepadanya.

146

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya. Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilaku-kan untuk tujuan tersebut. Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari bayaran untuk pedagang. Melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan masalah secara syar'i yang paling tepat berkaitan dengan hal tersebut? Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu tersebut. Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja. Sebagian ada yang mendudukk anya sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya. Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah. Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan

147

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba. Apapun pendudukan masalah yang dipilih di sini, peng-kajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik para pelanggan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, mempermudah proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang. Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membolehkan uang administrasi ini dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemotongan ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa internasional. Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania, dimana uang administrasi yang diambil pihak bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, seperti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apaapa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.

148

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Ketiga: Denda Keterlambatan dan Bunga Riba Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan penutupan hutang, karena penundaan atau karena tersendatnya pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turun-nya ayat al-Qur'an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan Rasul-Nya!!.

149

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 9 PEGADAIAN SYARIAH A. Pendahuluan Dalam realitas sosial ekonomi masyarakat kerapkali ditemukan kondisi masyarakat yang memiliki harta dalam bentuk selain uang tunai dan pada saat yang sama

yang

bersangkutan

sedang

mengalami

kesulitan

likuditas

hingga

membutuhkan dana dalam bentuk tunai. Pilihan transaksi yang sering digunakan oleh masyarakat yang menghadapi masalah seperti di atas lazimnya menggadaikan barang-barang yang berharga. Istilah gadai barang nampaknya sudah sangat akrab di masyarakat kita terutama kalangan masyarakat yang membutuhkan dana tunai saat kondisi likuiditasnya kurang baik. Karena masyarakat yang membutuhkan dana tunai dengan model gadai permintaannya cenderung besar, maka pegadaiaan sebagai lembaga yang merespon kebutuhan masyarakat pun akhirnya dapat eksis dan berkembang pesat. Pegadaian lahir dari interaksi permintaan dan penawaran terhadap dana tunai dalam waktu yang cepat dengan barang berharga sebagai jaminannya. Selama ini bisnis pegadaian relatif tumbuh dan berkembang baik yang dilaksanakan oleh swasta ataupun pemerintah. Tingginya permintaan terhadap praktik gadai bahkan menyebabkan munculnya pelaku bisnis gadai dalam berbagai skala dengan beragam model dan bentuk transaksi. Tak jarang karena masyarakat membutuhkan dana tunai dengan cepat, gadai barang menjadi salah satu modus rentenir dalam menjalankan operasinya. Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang. Dan Pegadaian merupakan

“trademark” dari

lembaga

Keuangan

milik

pemerintah

yang

menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai. Bisnis gadai melembaga pertama kali di Indonesia sejak Gubernur jenderal VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening. Meskipun demikian, diyakini bahwa praktik gadai telah mengakar dalam keseharian masyarakat Indonesia. Pemerintah sendiri baru mendirikan lembaga gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian, pada tanggal 1 April 1901 dengan Wolf von Westerode sebagai Kepala Pegadaian Negeri pertama, dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui pemberian 150

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

uang pinjaman dengan hukum gadai.Seiring dengan perkembangan zaman, Pegadaian telah beberapa kali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bawah IBW (1928), Perusahaan Negara (1960), dan kembali ke Perjan di tahun 1969. Baru di tahun 1990 dengan lahirnya PP No. 10/tahun 1990 tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP No. 103 tahun 2000, Pegadaian berstatus sebagai Perusahaan Umum (PERUM) dan merupakan salah satu BUMN dalam lingkungan Departemen Keuangan RI hingga sekarang. Sesuai dengan PP No. 103 tahun 2000 pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan batu adi, toko emas, industri emas dan usaha lainnya. Konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan, dan hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal. Sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain. Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran. Tidak ada tambahan biaya apapun di atas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk syahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini biaya – biaya seperti materai dan akte notaris menjadi beban

151

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul hassan sangat dianjurkan dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq. Terbitnya PP No. 10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.

B. Konsep Dasar Secara terminologi gadai adalah pinjam

meminjam uang

dengan

menyerahkan barang dan batas waktu (bila telah sampai waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak orang yang memberi pinjaman). 1 Gadai dalam bahasa Arab disebut Ar-Rahn, secara etimologi rahn adalah tetap, kekal, dan jaminan. 2 Begitu pula gadai dinamai al-habsu yang artinya ”penahanan”. Seperti dikatakan Ni’matun Rahinah, artinya ”karunia yang tetap dan lestari”. 3 Untuk al-habsu sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT :

1

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. Ke-16, h. 286. 2 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.251. 3 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 139

152

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

      ”tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al Mudatsir/ 74: 38)

Adapun pengertian rahn secara terminologi didefinisikan beberapa ulama fiqih sebagai berikut: 1. Ulama Malikiyah ”Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat” 2. Ulama Hanafiyah ”Menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagainnya”. 3. Ulama Syafi’iyah ”Menjadikan materi (barang) sebgai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnnya itu.” 4. Ulama Hanabilah ”Harta yang dijadikan jaminan hutang dan dapat dijadikan sebgai pembayar hutang jika penghutang gagal membayar hutangnya kepada pemiutang”. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga yang bersangkutan boleh mengambil atau bisa mengambil sebagai (manfaat) barang itu”. 4 3F

C. Dasar Hukum Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :

4

Ibid, Sayyid Sabiq, h. 139

153

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

                                     “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah; 283)

“Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi” (HR Bukhari dan Muslim) Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah) Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai) Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biayanya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. (HR Jemaah kecuali Muslim dan NasaiBukhari) 154

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad rahn ( al-Zuhaili, alFiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia no. 25/DSNMUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan D. Tujuan dan Manfaat Pegadaian Sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karena itu perum pegadaian bertujuan sebagai berikut 5: 1. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar hukum gadai 2. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap dan pinjaman tidak wajar lainnya 3. Pemnafaatan gadai bebas bnga pada gadai syariah memiliki efek jaring pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/pembiayaan berbasis bunga 4. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah Adapun manfaat pegadaian, antara lain: 1. Bagi nasabah Tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan. Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai suatu barang bergerak secara professional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya 2. Bagi perusahaan pegadaian a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana

5

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: LPFE-UI, 2004, h. 503

155

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas c. Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang relatif sederhana d. Berdasarkan PP No. 10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan untuk: (1) dana pembangunan semesta (55%); (2) cadangan umum (20%); (3) cadangan tujuan (5%); (4) dana sosial (20%) E. Akad dan Rukun Gadai Rukun gadai (rahn) meliputi: 6 1. Rahin (yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu gadai emas syariah adalah nasabah. 2. Murtahin (yang menerima gadai) yaitu bank. 3. Marhun (barang yang digadaikan), adalah emas dan berlian. 4. Marhun Bih (utang), yaitu pembiayaan 5. Sighat (Ijab Qabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara nasabah dengan pihak bank atau pihak yang menggadaikan dengan yang menerima gadai. Sedangkan syarat-syarat gadai meliputi: 1. Rahin dan muntahin: a. Harus cakap bertindak hukum, menurut Jumhur ulama adalah orangorang yang telah baligh dan berakal, karena itu tidak sah rungguhan anak kecil dan orang gila. Sedangkan

menurut ulama Hanafiyah,

kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang

6

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999, h. 215

156

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya. 7 b. Harus layak untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang yang sah melakukan jual beli, ia juga sah untuk melakukan gadai, karena gadai seperti juga jual beli merupakan pengelolaan harta. 2. Sighat (Ijab Qabul) a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan swaktu-waktu di masa depan. b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka, tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu dimasa depan. 3. Marhun Bih (utang) a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada pemiliknya. b. Memungkinkan pemanfaatannya. Bila sesuatu yang menjadi utang itu tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah hukumnya. c. Harus dapat dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan, maka tidak sah. 8 d. Utang boleh dilunasi dengan agunan itu. 9 4. Marhun (barang yang digadaikan) Aturan pokok dalam madzhab Maliki tentang barang yang digadaikan ialah, bahwa gadai itu dapat dilakukan pada semua jenis harga dan semua jenis jual beli, kecuali pada jual beli mata uang (sharf) dan pokok modal salam yang berkaitan dengan tanggungan. Karena pada sharf diisyaratkan tunai (yakni kedua belah pihak saling menerima), oleh karenanya tidak boleh terjadi akad gadai, begitu pula pada harta modal gadai salam. 10

7

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 254 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, h. 215 9 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 255 10 Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, h.215 8

157

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut ulama Syafi’iyah gadai dapat dikatakan sah dengan dipenuhinya tiga syarat, pertama, harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan. Kedua, penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah lewat masa pelunasan utang gadai. Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: a. Harus diperjualbelikan. b. Harus berupa harta yang bernilai. c. Marhun harus bias dimanfaatkan secara syariah. d. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung. e. Harus memiliki rahin (peminjaman atau penggadai) setidaknya harus seizin pemiliknya. 11 Adapun mengenai penggadaian barang milik bersama, fuqaha bersilisih pendapat. Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya, tetapi Imam Malik dan Imam Syafi’i membolehkannya. Di samping syarat-syarat di atas, para ulama sepakat menyatakan bahwa rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahnkan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan utang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Dan syarat terakhir (kesempurnaan rahn) oleh para ulama disebut qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hokum oleh pemberi utang/kreditur). Syarat ini menjadi penting karena firman Allah dalam surat alBaqarah ayat 283 yang menyatakan, bahwa “barang jaminan itu dipegang/dikuasai (secara hokum)”. Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh kreditur, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang itu dibayar. 12

11

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, h. 158 12 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 255

158

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam transaksi gadai terdapat 4 akad untuk mempermudah mekanisme perjanjiannya, 4 akad tersebut adalah 13: 1. Qard al-Hasan Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadaian (marhun) kepada pegadaian (murtahin). Ketentuan transaksi pada akad qard al-hasan adalah: -

Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, elektronik, dll.

-

Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.

2. Mudharabah Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuannya transaksi pada akad mudharabah ialah: -

Barang gadai dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti : emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, bangunan, dll.

-

Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.

3. Ba’i Muqayyadah Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual-beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dapat dimanfaatkan oleh rahin maupun murtahin. 4. Ijarah Obyek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu. Bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.

13

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 387

159

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

F. Hal-hal Berkaitan dengan Gadai 1. Status Barang Gadai Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak hutang piutang bersamaan dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian suatu barang dengan kredit. Status gadai sah setelah terjadinya hutang. Para ulama pun menilai hal ini sah karena hutang tetap memang manuntut pengambilan jaminan. Maka dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan keseluruhan hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang mengadaikan sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi sebagainya, maka keseluruhan barang gadai masih tetap berada di tangan penerima gadai sampai orang yang menggadaikan melunasi seluruh hutangnya. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa barang yang masih tetap berada di tangan penerima gadai hanya sebagiannya saja, yaitu sebesar hak yang belum dilunasi 2. Pemanfaatan Barang Gadai Mengenai penggunaan barang gadai oleh pegadaian terdapat perbedaan pandangan di kalangan musilm. Menurut madzhab Hanafi dan Hambali penerima gadai boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk utang atas izin pemiliknya, karena barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendaki untuk menggunakan hak miliknya. Sedangan menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik bahwa manfaat barang jaminan secara mutlak adalah hak bagi yang menggadaikan barang. Demikian pula biaya pengurusan terhadap barang jaminan adalah kewjaiban bagi yang menggadaikan barang. Akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan menjamin utang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Namun, para ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulallah saw. 14

14

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 256

160

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Akan tetapi pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang jaminan hilang atau rusak. Hanya saja diwajibkan untuk mengambil manfaat ketika berlangsungnya rahn. 15 Namun siapakah yang mengambil manfaat gadai, rahin atau murtahin? a) Pemanfaatan rahin terhadap barang gadaian. Dalam masalah ini ada dua pendapat, pertama pendapat jumhur ulama selain ulama syafi’I melarang rahn untuk memanfaatkan barang gadaian, dan kedua ulama syafi’i: membolehkan selama tidak memadharatkan murtahin. b) Pemanfaat dari Murtahin. Mayoritas ulama, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mempergunakan barang rahn. 3. Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo Sebelum Islam datang, tradisi orang Arab, jika orang yang menggadaiakan barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka barang gadaiannya keluar dari milknya dan kemudian dikuasai oleh pemegang gadaian tesebut. Setelah Islam datang, maka melarang dan membatalkan cara tersebut. Sebagai mana dalam hadits dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far: Bahwa sesorang menggadaiakan sebuah rumah di Madinah untuk waktu tertentu. Kemudian masanya telah lewat. lalu si pemegang gadaian menyatakan bahwa ini menjadi rumahku. Rasullah kemudian bersabda: Dari Abu Hurairah berkata Rasullah SAW bersabda: ”Barang yang digadaikan itu tidak tertutup bagi pemiliknya, ia mendapat keuntungan dan bertanggung jawab atas kerugiannya”. (HR. Ad-Daruquthni).16 Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah mendapatkan pelunasan utang melalui harga barang yang digadaiakan, kalau rahin gagal melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. 17 Jika telah jatuh tempo, maka orang yang menggadaikan barang berkewajiban melunasi hutangnya, jika ia tidak melunasinya 15

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), Cet. Ke-1, h. 172 Imam Kabiir Ali bin Umar Ad Daarulquthni, sunan Ad-Daaruquthni, (Beirut: Daar AlFikr, 1994), Jilid 2, h. 26 17 Wahbah az-Zuahaily, op. cit., h. 275 16

161

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan dia tidak mengijinkan barangnya dijual untuk kepentingannya maka hakim berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang jadikan jaminan. Jika hakim telah menjualnya, kemudian terdapat kelebihan dari kewajiban yang harus dibayar oleh rahin, maka kelebihan itu milik rahin, dan jika masih belum bisa untuk melunasi hutangnya, maka rahin berkewajiban melunasi sisanya. 18 Para fuqaha berpendapat jika telah jatuh tempo, murtahin boleh menuntut rahin untuk melunasi hutangnya jika hutangnya dibayar maka permasalahannya berakhir. Namun, jika rahin tidak melunasi hutangnya dengan melambat-lambatkan waktu, mempersulit atau menghilangkan diri hakim boleh memerintahakan murtahin menjual barang gadaian. 19 4. Musnahnya Barang Gadai Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang barang gadai apabila rusak atau hilang di tangan penerima gadai. Menurut sebagian fuqaha, yaitu Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa barang gadai adalah barang titipan (amanat), dan merupakan barang dari orang yang menggadaikan. pemegang gadai sebagai pemegang amanat tidak dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan tanggungan. Maka jika terjadi pemusnahan ditangan murtahin yang dipegangi dengan kata-kata murtahin diikuti dengan sumpahnya bahwa dia tidak melalaikan dan tidak menganiaya barang tersebut. Secara jelasnya menurut pendapat ini barang gadaian sebagai titipan yang tidak harus ditanggung oleh murtahin. Sebagian fuqaha yaitu, Imam Abu Hanifah dan Jumhur fuqaha Kufah berpendapat bahwa murtahin yang bertanggung jawab jika barang gadai rusak atau musnah ditangan murtahin. Mereka beralasan bahwa barang tersebut merupakan jaminan atas hutang, maka jika barang itu hilang atau rusak kewajiban melunasi hutang juga hilang dikarenakan barang tersebut hilang atau musnah.

18 19

Sayyid Sabiq, op. cit., h. 144-145 Wahbah az-Zuhaily, op. cit., h. 275

162

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Berakhirnya Akad Gadai Akad rahn dipandang berakhir atau habis dengan beberapa keadaan seperti hal-hal berikut: 20 1. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya. dengan penyerahan tersebut maka dengan sendirinya akad rahn berakhir, hal ini mengikut pendapat jumhur ulama selain syafi’i, karena barang gadai merupakan jaminan hutang, maka jika diserahkan kepada pemiliknya tidak ada lagi jaminan. 2. Rahin membayar hutangnya. 3. Dijual dengan perintah hakim atas permintaan rahin 4. Pembebasan hutang. Pembebasan hutang dalam bentuk apa saja, menandakan habisnya rahn meskipun dengan pemindahan oleh murtahin. 5. Pembatalan oleh murtahin. Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin

rahin.

sebaliknya

dipandang

tidak

batal

jika

rahin

membatalkannya. 6. Rusaknya barang rahn bukan oleh tindakan atau pennggunaan murtahin 7. Memanfaatkan barang rahn dengan penyewaan, hibah atau shadaqah, baik dari pihak rahin maupun murtahin.

G. Jasa dan Produk Pegadaian Syariah Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah sebagai berikut: 1. Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai Syaratnya harus terdapat jaminan berupa barang bergerak seperti emas, elektronik, dll. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, besarnya akan sangat tergantung oleh nilai dan jumlah barang yang digadaikan. 20

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), hal. 217

163

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Penaksiran nilai barang Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi tentang taksiran barang yang berupa emas, perak dan berlian. Biaya yang dikenakan adalah ongkos penaksiran barang. 3. Penitipan barang (ijarah) Barang yang dapat dititipkan antara lain : sertifikat motor, tanah, ijazah. Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya. 4. Gold counter Merupakan fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan sebagai bukti kualitas dan keasliannya..

H. Operasional Pegadaian Syariah Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut 21: 1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam pemberian besaran pembiayaan yang dapat diberikan oleh pegadaian syariah kepada nasabah 2. Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan, pelunasan, dan sebagainya 3. Pegadaian syariah menerima biaya-biaya administrasi dibayar di awal, sedangkan untuk jasa simpan di saat pelunasan utang 4. Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh, ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian. Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut di tangan nasabah bukan karena hasil praktik riba, maysir, dan gharar. Barangbarang tersebut antara lain seperti:

21

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 178

164

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Barang perhiasan, seperti perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas, perak, platina, dan sebagainya 2. Barang rumah tangga seperti perlengkapan dapur, perlengkapan makan atau minum, perlengkapan kesehatan, perlengkapan bertaman dan sebagainya 3. Barang elektronik seperti radio, tape recorder, video player, televise, komputer dan sebagainya 4. Kendaraan, seperti sepeda ontel, sepeda motor, mobil dan sebagainya 5. Barang-barang lain yang dianggap bernilai, seperti kain batik tulis. Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15 menit saja ). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat. Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut. 1. Teknik Transaksi Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu. 1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah. 2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi

165

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukad akad Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi : a. Orang yang berakad : 1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang (murtahin). b. Sighat (ijab qabul) c. Harta yang dirahnkan (marhun) d. Pinjaman (marhun bih) Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : 1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas. 2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu. 3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.

166

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur. 5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi. Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang. Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan : 1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan . 2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman. 3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman. Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk o

Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,

o

Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,

o

Atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa

simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak

167

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. 2.

Pendanaan Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan

kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai funder-nya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback-up modal kerja. Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu 1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. 2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan

168

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

I. Perbedaan Pegadaian Syariah dan Pegadaian Konvensional Ada beberapa perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional 22: No

Pegadaian Syariah

1

Biaya barang

2

1 hari dihitung 5 hari

1 hari dihitung 15 hari

3

Jasa simpanan berdasarkan simpanan

Sewa modal pinjaman

4

Bila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan akan dijual kepada masyarakat

Bila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan dilelang kepada masyarakat

5

Uang pinjaman taksiran

6

Penggolongan nasabah D-K-M-I-L

Penggolongan nasabah P-N-I-D-L

7

Jasa simpanan dihitung konstanta x taksiran

Sewa modal dihitung dengan prosentase x uang pinjaman

8

Maksimal jangka waktu 3 bulan

9

Kelebihan uang hasil dari penjualan Kelebihan uang hasil lelang tidak barang tidak diambil oleh nasabah, diambil oleh nasabah, tetapi menjadi diserahkan kepada Lembaga ZIS milik pegadaian

22

administrasi

Pegadaian Konvensional

90

berdasarkan Biaya administrasi berupa prosentase yang didasarkan pada golongan barang

persen

berdasaarkan

uang

dari Uang pinjaman untuk golongan A 92%, sedangkan untuk golongan BCD 8886%

dengan

Maksimal jangka waktu 4 bulan

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 190

169

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 10 DANA PENSIUN SYARIAH

A. Pendahuluan Setiap pekerja membutuhkan kepastian masa tua setelah ia tidak aktif bekerja atau setelah pensiun. Oleh karena kebutuhan tersebut lahirlah suatu program dana pensiun yang bertujuan untuk memberikan kepastian masa tua kepada para pekerja setelah mereka tidak aktif bekerja lagi. Oleh karena ingin kepastian pada hari tua inilah, pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an banyak yang berlomba-lomba untuk mendaftar jadi pegawai negeri sipil (PNS), karena adanya tunjangan pensiun. Meskipun saat ini sudah banyak perusahaan swasta yang telah menyediakan program dana pensiun bagi para karyawannya, baik dengan cara membuka perusahaan dana pensiun sendiri ataupun dengan mempercayakan pengelolaan dana pensiun kepada lembaga keuangan. Dana pensiun diselenggarakan dalam upaya memberikan jaminan kesejahteraan pada karyawan. Jaminan tersebut diberikan dalam bentuk manfaat pensiun pada saat karyawan tersebut memasuki masa pensiun atau mengalami kecelakaan. Jaminan tersebut akan memberikan ketenangan kepada karyawan karena adanya kepastian akan masa depannya. Secara psikologis, jaminan akan masa depan ini akan meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga akan menguntungkan baik pihak perusahaan maupun karyawan itu sendiri. Di Indonesia program dana pensiun dilaksanakan oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Pelaksana dana pensiun yang dikelola oleh pemerintah di Indonesia antara lain: (1) PT Jamsostek (persero), suatu program kontribusi tetap wajib untuk karyawan swasta dan BUMN di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setiap perusahaan diharapkan mendaftarkan karyawannya untuk ikut dalam program Jamsostek untuk kepastian masa tuanya. Namun,

Departemen

Keuangan

memegang

peranan

dalam

pengawasannya (Undang-Undang No. 3/ 1992);

170

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

(2) PT Taspen (persero), yaitu tabungan pensiun pegawai negeri sipil dan program pensiun swasta (dana pensiun lembaga keuangan dan dana pensiun yang disponsori pemilik usaha) yang bertanggungjawab kepada Departemen Keuangan (Keputusan Presiden No. 8/ 1997); (3) PT ASABRI (persero) yaitu dana pensiun bagi pensiunan tentara yang pengelolaannya berada di bawah Departemen Pertahanan (Keputusan Presiden No. 8/ 1997). Ketiga program ini diatur melalui ketentuan hukum yang berbeda-beda. Di samping itu, ada pula UU No. 40/ 2004 tentang sistem Jaminan Sosial Nasional yang terbit tahun 2004. Dalam UU itu, upaya mewujudkan kesejahteraan (memberantas kemiskinan) diupayakan dengan mewujudkan rasa aman bagi setiap penduduk Indonesia, sejak lahir hingga ke liang kubur, dalam bentuk program perlindungan sosial di bidang kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun dan kematian. Undang-Undang Dana Pensiun No. 11 Tahun 1992 merupakan kerangka hukum dasar untuk dana pensiun swasta di Indonesia. Undang-undang ini didasarkan pada prinsip “kebebasan untuk memberikan janji dan kewajiban untuk menepatinya” yaitu, walaupun pembentukan program pensiun bersifat sukarela, hak penerima manfaat harus dijamin. Tujuan utama diajukannya Undang-undang Pensiun adalah untuk menetapkan hak peserta, menyediakan standar peraturan, yang dapat menjamin diterimanya manfaat-manfaat pensiun pada waktunya, untuk memastikan bahwa manfaat pensiun digunakan sebagai sumber penghasilan yang berkesinambungan bagi para pensiunan, untuk memberikan pengaturan yang tepat untuk dana pensiun, untuk mendorong mobilisasi tabungan dalam bentuk dana pensiun jangka panjang, dan untuk memastikan bahwa dana tersebut tidak ditahan dan digunakan oleh pengusaha untuk investasi-investasi yang mungkin berisiko dan tidak sehat, tetapi akan mengalir ke pasar–pasar keuangan dan tunduk pada persyaratan tentang penaggulangan risiko.

171

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun menurut UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. Berdasarkan definisi di atas dana pensiun merupakan lembaga atau badan hukum yang mengelola program pensiun yang dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawan suatu perusahaan terutama yang telah pensiun. Selanjutnya pengertian pensiun adalah hak seseorang untuk memperoleh penghasilan setelah bekerja sekian tahun dan memasuki usia pensiun atau ada sebab-sebab lain sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Penghasilan dalam hal ini biasanya diberikan dalam bentuk uang dan besarnya tergantung dari peraturan yang ditetapkan. Manfaat pensiun bukan saja hanya memberikan kepastian penghasilan di masa depan, akan tetapi juga ikut memberikan untuk lebih giat bekerja. Dengan memberikan program jasa pensiun para peserta akan merasa aman, terutama bagi mereka yang menganggap pada usia pensiun sudah tidak produktif lagi dalam memberikan penghasilan, meskipun ada sebahagian masyarakat yang masih aktif bekerja setelah masa pensiun. Penyelenggaraan program pensiun dapat dilakukan oleh pemberi kerja atau dengan menyerahkan kepada lembagalembaga keuangan yang menawarkan jasa pengelolaan program pensiun, misalnya bank-bank umum atau perusahaan asuransi. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah mewajibkan seluruh lembaga dana pensiun untuk menyusun sekaligus menerapkan Pedoman dan Tata Kelola Dana Pensiun sejak 1 Januari 2008. Keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Ketua Nomor KEP136/BL/2008 dengan tujuan mendorong penyusunan pedoman tata kelola yang baik di lingkungan kerja, pengurus, dan pengawas dana pensiun. Pedoman Tata Kelola Dana Pensiun diharapkan akan disusun dengan berpedoman pada kaidah yang meliputi keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban

(responsibility),

kemandirian

(independency),

serta

kesetaraan dan kewajaran (fairness).

172

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun sebagai suatu organisasi harusnya memiliki struktur organisasi

yang

mengetahui

kewajiban

dan

wewenang,

serta

pertanggungjawaban kerjanya. Dalam organisasi Dana Pensiun terdapat pengurus yang merupakan organ pelaksana dari dana pensiun. Pengurus bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan dana pensiun, pengelolaan dana pensiun, dan melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama dana pensiun serta mewakili dana pensiun di luar dan di dalam pengadilan. Di samping itu, terdapat pula dewan pengawas yang bertugas mengawasi pengelolaan dana pensiun. Dana pensiun syariah adalah dana pensiun yang dikelola dan dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Pertumbuhan lembaga keuangan dana syariah di Indonesia, secara lambat tapi pasti juga mendorong perkembangan dana pensiun yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Sampai saat ini dana pensiun syariah berkembang pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yang dilaksanakan oleh beberapa bank dan asuransi syariah. Kondisi ini memang menujukkan lambannya pertumbuhan dana pensiun syariah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: keterbatasan regulasi; keterbatasan instrument investasi, belum jelasnya model tata kelola dana pensiun syariah serta kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya dana pensiun syariah. Gambar 10.1. Konsep Dasar Dana Pensiun

5. Pembayaran dana pensiun setelah jatuh tempo

Perusahaan Dana Pensiun

4. Keuntungan investasi

1.

3.

investasi

Perjanjian / Akad

2.

Peserta Dana Pensiun

Pembayaran iuran peserta

Perusahaan Investasi

173

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Asas, Tujuan dan Fungsi Berdasarkan

Undang-undang

nomor

11

tahun

1992

tentang

penyelenggaraan dana pensiun didasarkan pada asas-asas sebagai berikut 1: 1.

Asas keterpisahan kekayaan dana pensiun dari kekayaan badan hukum pendirinya Dana pensiun didukung oleh badan hukum tersendiri dan diurus serta dikelola berdasarkan ketentuan undang-undang. Berdasarkan asas ini kekayaan dana pensiun yang terutama bersumber dari iuran terlindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi pada pendirinya

2.

Asas penyelenggaraan dalam sistem pendanaan Penyelenggaraan dana pensiun berdasarkan asas ini baik bagi karyawan maupun bagi pekerja mandiri, haruslah dengan pemupukan dana yang dikelola secara terpisah dari kekayaan pendiri sehingga cukup memenuhi pembayaran hak peserta. Dengan demikian, pembentukan cadangan dalam perusahaan guna membiayai pembayaran manfaat pensiun karyawan tidak diperkenankan.

3.

Asas pembinaan dan pengawasan Agar terhindarkan penggunaan kekayaan dana pensiun dari kepentingankepentingan yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya maksud utama pemumpukan dana yaitu untuk memenuhi hak peserta, maka perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan meliputi sistem pendanaan dan pengawasan atas investasi kekayaan dana pensiun.

4.

Asas penundaan manfaat Penyelenggaraan

program

dana

pensiun

dimaksudkan

agar

kesinambungan penghasilan yang menjadi hak peserta, maka berlaku asas penundaan manfaat yang mengharuskan pembayaran hak peserta hanya dapat dilakukan setelah peserta pensiun yang pembayarannya dilakukan secara berkala.

1

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya ed. Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 333-334

174

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5.

Asas kebebasan untuk membentuk atau tidak membentuk dana pensiun Pembentukan dana pensiun dilakukan atas prakarsa pemberi kerja untuk menjanjikan manfaat pensiun. Konsekuensi pendanaan dan pembiayaan merupakan suatu komitmen yang harus dilakukannya sampai dengan pada saat dana pensiun terpaksa dibubarkan. Tujuan penyelenggaraan program pensiun baik dari kepentingan

perusahaan, peserta dan lembaga pengelola pensiun dapat dijelaskan sebagai berikut 2: 1.

Perusahaan a. Kewajiban moral, dimana perusahaan mempunyai kewajiban moral untuk memberikan rasa aman kepada karyawan terhadap masa yang akan datang karena tetap memiliki penghasilan pada saat mereka mencapai usia pensiun. b. Loyalitas, karyawan diharapkan mempunyai loyalitas terhadap perusahaan

serta

meningkatkan

motivasi

karyawan

dalam

melaksanakan tugas sehari-hari. c. Kompetisi pasar tenaga kerja, dimana perusahaan akan memiliki daya saing dalam usaha mendapatkan karyawan yang berkualitas dan profesional di pasaran tenaga kerja. d. Memberikan penghargaan kepada para karyawannya yang telah mengabdi perusahaan. e. Agar di usia pensiun karyawan tersebut tetap dapat menikmati hasil yang diperoleh setelah bekerja di perusahaannya. f. Meningkatkan citra perusahaan di mata masyarakat dan pemerintah. 2.

Peserta a. Rasa aman para peserta terhadap masa yang akan datang karena tetap memiliki penghasilan pada saat mereka mencapai usia pensiun. b. Kompensasi yang lebih baik, yaitu peserta mempunyai tambahan kompensasi meskipun baru bisa dinikmati pada saat mencapai usia pensiun / berhenti kerja. 2

Ibid, h. 326

175

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3.

Penyelenggara dana pensiun a. Mengelola dana pensiun untuk memperoleh keuntungan. b. Turut membantu dan mendukung program pemerintah. c. Sebagai bakti sosial terhadap para peserta. Adapun fungsi program dana pensiun bagi para peserta antara lain 3:

1.

Asuransi, yaitu peserta yang meninggal dunia atau cacat sebelum mencapai usia pensiun dapat diberikan uang pertanggungan atas beban bersama dari dana pensiun.

2.

Tabungan, yaitu himpunan iuran peserta dan iuran pemberi kerja merupakan tabungan untuk dan atas nama pesertanya sendiri. Iuran yang dibayarkan oleh karyawan dapat dilihat setiap bulan sebagai tabungan dari para pesertanya.

3.

Pensiun, yaitu seluruh himpunan iuran peserta dan iuran pemberi kerja serta hasil pengelolannya akan dibayarkan dalam bentuk manfaat pensiun sejak bulan pertama sejak mencapai usia pensiun selama seumur hidup peserta, dan janda / duda peserta. Norma merupakan aturan-aturan yang ditentukan dalam melaksanakan

program pensiun agar pihak peserta mendapatkan jaminan atas masa depannya setelah tidak dapat bekerja lagi. Norma perhitungan manfaat pensiun, uang pertanggungan dan nilai tunai serta tatacara pembayarannya ditetapkan sebagai berikut 4: 1.

Manfaat pensiun untuk peserta dan keluarganya didasarkan atas himpunan iuran dalam cadangan wajib dari masa kepesertaan, ditambah bonus dari cadangan bonus untuk dan atas nama peserta

2.

Uang pertanggungan diberikan kepada keluarga dari peserta yang meninggal dunia, atau cacat sebelum mencapai usia pensiun didasarkan atas jumlah iuran yang seharusnya terkumpul pada saat peserta tersebut mencapai usia pensiun. Bersamaan saatnya, diberikan lagi sejumlah bonus untuk dan atas nama peserta. Pembayaran dapat dilakukan secara berkala. 3

Y Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 217-218 4 Ibid, h. 218

176

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3.

Nilai tunai bagi peserta yang berhenti sebelum mencapai masa kepesertaan 3 tahun, hanya didasarkan atas himpunan iuran sendiri ditambah bonus dari cadangan bonus

4.

Bagi peserta yang berhenti setelah 3 (tiga) tahun, perhitungan nilai tunai didasarkan atas himpunan iuran sendiri dan iuran pemberi kerja serta bonus

5.

Pembayaran manfaat pensiun, uang pertanggungan dan nilai tunai ditujukan kepada peserta/ahli waris peserta ditunjuk dalam sertifikat dana pensiun. Untuk dapat memahami peran dana pensiun dapat dilihat pada Undang-

undang no. 11 tahun 1992 sebagai berikut: 1.

Sejalan dengan hakekat pembangunan nasional, diperlukan penghimpunan dan pengelolaan dana guna memelihara kesinambungan penghasilan pada hari tua dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

2.

Dana pensiun merupakan sarana penghimpun dana guna meningkatkan peran serta masyarakat dalam melestarikan pembangunan nasional yang meningkat dan berkelanjutan

3.

Dana pensiun dapat pula meningkatkan motivasi dan ketenangan kerja untuk meningkatkan produktivitas.

C. Jenis Dana Pensiun Dana pensiun menurut UU No. 11 Tahun 1992 tantang Dana Pensiun dapat digolongkan dalamn dua jenis, yaitu: 1.

Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) DPPK adalah dana pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang memperkerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. Dengan demikian, dana pensiun jenis ini disediakan langsung oleh pemberi kerja. Pendirian DPPK ini harus mendapatkan

177

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pengesahan dan Menteri Keuangan. Setiap perusahaan dapat mengelola sendiri dana pensiun bagi para karyawannya. Namun pendirian lembaga dana pensiun ini harus tetap memperhatikan prinsip kerja profesional yang berlaku. Misalkan Dana Pensiun Taspen yang bertujuan mengelola dana pensiun bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja bagi negara. 2.

Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) DPLK adalah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bagi perseorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari DPPK bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. Bagi masyarakat pekerja mandiri seperti dokter, petani, nelayan dan lain sebagainya dimungkinkan untuk memanfaatkan DPLK. Tidak tertutup kemungkinan pula bagi karyawan di suatu perusahaan untuk dapat memanfaatkan DPLK sesuai dengan kemampuannya di luar dana pensiun yang dikelola oleh DPPK. Pendirian DPLK oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa harus mendapatkan pengesahan dari Menteri Keuangan. Persyaratan yang harus dimiliki agar perusahaan asuransi jiwa dapat

menyelenggarakan dana pensiun adalah: 1.

Memenuhi tingkat solvabilitas sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan di bidang asuransi sekurangnya 8 bulan terakhir

2.

Memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan DPLK yang dibuktikan dengan kesiapan di bidang organisasi dan personil serta kesiapan sistem administrasi

3.

Memiliki kinerja investasi yang sehat dalam arti memiliki hasil yang memadai dari portfolio investasi dan penempatan investasi tidak menyimpang dari ketentuan tentang investasi yang berlaku di bidang asuransi

4.

Memiliki tingkat kesinambungan pertanggungan yang sehat sekurangnya dalam 2 tahun terakhir. Tolak ukurnya adalah pembatalan pertanggungan yang mempunyai nilai tunai kurang dari 20%

178

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5.

Sanggup untuk menyampaikan laporan hasil penilaian solvabilitas dan laporan investasi perusahaan

6.

Telah menjalankan usaha sekurang-kurangnya 5 tahun Sedangkan bank umum yang mendirikan DPLK harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut: 1.

Memenuhi tingkat kesehatan bank

2.

Memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan dana pensiun

3.

Menyanggupi untuk menyampaikan laporan terakhir tingkat kesehatan bank, baik secara keseluruhan maupun aspek permodalan, kualitas aktiva produktif dan pemenuhan BMPK setiap triwulan.

D. Manajemen Pengelolaan Dana Pensiun Pendanaan suatu program pensiun apakah dalam rangka memenuhi ketentuan atau untuk tujuan pengelolaan manajemen keuangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi kekayaan yang nantinya digunakan untuk membayar manfaat pensiun dan biaya administrasi. Penggunaan secara produktif atas kekayaan dana pensiun akan mengurangi biaya-biaya langsung suatu program pensiun manfaat pasti dan meningkatkan manfaat pensiun yang dapat dibayarkan bagi pensiun iuran pasti. Dana pensiun biasanya mengembangkan suatu kebijakan investasi secara tertulis dalam pengelolaan kekayaannya. Namun tdak semua progam pensiun memiliki kebijakan investasi formal kalaupun ada biasanya relatif sederhana dan banyak yang didelegasikan kepada perusahaan investasi atau perusahaan asuransi. Pada prinsipnya dana pensiun dapat melakukan investasi dalam berbagai bentuk. Portofolio investasi dana pensiun umumnya didominasi dalam bentuk saham, obligasi jangka menengah-panjang, instrumen pasar uang, kontrak anuitas grup dan jenis investasi lainnya. Porsi yang relatif lebih kecil diinvestasikan dalam real estate, surat-surat berharga asing, dan insrtumen investasi baru yang dapat menawarkan prospek yang lebih tinggi daripada keuntungan rata-rata.

179

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun di Indonesia masih belum diperkenankan melakukan investasi dalam surat-surat berharga yang diterbitkan pihak luar negeri. Investasi dana pensiun secara umum diarahkan pada deposito berjangka di bank, deposito on call pada bank, sertifikat deposito pada bank, obligasi yang tercatat di bursa efek, tanah, bangunan, tanah dan bangunan, reksa dana, Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga yang diterbitkan pemerintah, saham, surat pengakuan utang badan hukum RI, penyertaan atau penempatan langsung pada badan hukum RI. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.010/ 2008 tentang Investasi Dana Pensiun dapat melakukan investasi dananya pada : a. Surat berharga negara; b. Tabungan pada bank; c. Deposito berjangka pada bank; d. Deposito on call pada bank; e. Sertifikat deposito pada bank; f. Sertifikat Bank Indonesia; g. Saham yang tercatat di bursa efek di Indonesia; h. Obligasi yang tercatat di bursa efek di Indonesia; i.

Sukuk yang tercatat di bursa efek di Indonesia;

j.

Unit Penyertaan reksa dana dari: 1. Reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana campuran, dan reksa dana saham; 2. Reksa dana terproteksi, reksa dana dengan penjaminan dan reksa dana indeks; 3. Reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas; 4. Reksa dana yang Unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek;

k. Efek beragun asset dari kontrak investasi kolektif efek beragun asset; l.

Unit penyertaan dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif;

180

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

m. Kontrak opsi saham yang tercatat di bursa efek di Indonesia; n. Penempatan langsung pada saham; o. Tanah di Indonesia; dan / atau; p. Bangunan di Indonesia. Bagi dana pensiun yang beroperasi secara syariah, maka kebijakan investasi harus memenuhi prinsip-prinsip syariah. Investasi hanya boleh dilakukan pada instrumen-instrumen yang dibenarkan menurut Fatwa DSNMUI. Dana pensiun syariah harus mengelola dan menginvestasikan dananya pada portofolio instrumen syariah. Hampir seluruh investasi yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan di atas sudah tersedia dalam bentuk instrumen syariah. Kebijakan investasi dan pensiun syariah di samping terpenuhinya prinsip syariah juga minimal mencakup komponen 5: 1.

Tingkat keuntungan (rate of return), yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan memaksimalkan keuntungan dengan memerhatikan keamanan dana dan kebutuhan likuiditas. Beberapa strategi dapat dilakukan baik dengan tidak menyebut suatu jumlah tertentu, menyebutkan besarnya jumlah pengembangan yang diinginkan, atau menyatakan tingkat bunga nominal keuntungan.

2.

Risiko yang dapat diterima, yaitu penentuan jumlah risiko yang mungkin dihadapi dalam kegiatan investasi.

3.

Kebutuhan likuiditas, dana pensiun membutuhkan likuiditas lebih kecil, apabila ada kebutuhan likuiditas khusus, maka perlu ditetapkan dalam pedoman kebijakan investasi.

4.

Diversifikasi yang merupakan metode untuk mencapai tingkat keuntungan yang diinginkan, menjaga berkurangnya dana dari risiko investasi, dan memenuhi risiko likuiditas. Diversifikasi portofolio dapat dilakukan dengan menggunakan jenis kekayaan, sector dan kualitas perangkat asset yang akan dijadikan sebagai instumen investasi.

5

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Penerbit Kencana, 2009, h. 298-299

181

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Dana Pensiun Syariah Sejauh ini, program pensiun syariah di Indonesia masih dilaksanakan secara terbatas oleh DPLK di beberapa bank dan asuransi syariah. Umumnya, produk DPLK syariah merupakan salah satu produk penghimpunan dana yang ditawarkan oleh bank dan asuransi syariah untuk memberikan jaminan kesejahteraan di hari tua atau di akhir masa jabatan karyawan ataupun nasabahnya. Prosedur yang harus dilalui oleh peserta program DPLK syariah, umumnya adalah : 1. Peserta merupakan perorangan atau badan usaha. 2. Usia minimal 18 tahun atau telah menikah. 3. Mengisi formulir pendaftaran kepesertaan DPLK syariah. 4. Iuran dengan minimum jumlah tertentu, misalnya Rp. 100.000. 5. Menyarahkan kopian kartu identitas dir dan kertu keluarga. 6. Membayar biaya pendaftaran. 7. Membayar iuran tambahan berupa premi bagi peserta program dana pensiun plus asuransi jiwa. 8. Memenuhi semua akad yang ditetapkan oleh DPLK syariah. Ummumnya, produk dana pensiun yang ditawarkan oleh DPLK syariah menawarkan produk pensiun dengan konsep tabungan dan produk pensiun plus asuransi jiwa. Karakteristik produk dana pensiun dengan konsep tabungan, antara lain : 1. Berbentuk setoran tabungan dengan jadwal penarikan diatur dalam ketentuan. 2. Selama masa kepesertaan tidak dilindungi oleh asuransi jiwa. 3. Manfaat pensiun sebesar total iuran dan hasil investasinnya. Sedangkan karakteristik produk dana pensiun plus asuransi jiwa antara lain : 1. Berbentuk setoran tabungan dengan jadwal penarikan diatur dalam ketentuan. 2. Selama masa kepesertaan dilindungi oleh asuransi jiwa.

182

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Manfaat pensiun yang akan diterima adalah sebesar : 1).

Manfaat asuransi apabila peserta meninggal dunia sebelum memasuki usia pensiun.

2).

Total iuran ditambah hasil investasinya apabila telah memasuki usia pensiun.

Para peserta DPLK syariah memiliki beberapa hak, antara lain : 1. Menetapkan sendiri usia pensiun, umumnya antara usia 45 s/d 65 tahun. 2. Bebas menentukan pilihan atau perubahan jenis investasi. 3. Melakukan penarikan sejumlah iuran tertentu selama masa kepesertaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Mendapatkan informasi saldo dana pensiun/ statement setiap periode tertentu, misalnya 6 bulan atau melalui telepon setiap saat diingatkan. 5. Menunjuk dan mengganti pihak yang ditunjuk sebagai ahli warisnya. 6. Memilih perusahaan asuransi jiwa guna memperoleh pembayaran dana pensiun bulanan. 7. Mengalihkan kepesertaan ke DPLK lain. 8. Memperoleh manfaat pensiun.

F. Kendala Pengelolaan Dana Pensiun Syariah Pengelolaan dana pensiun yang sesuai dengan ajaran Islam akan memiliki banyak manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang loyal terhadap syariah. Al-Qur’an sendiri mengajarkan umatnya untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah dan menyiapkan hari esok agar lebih baik. Ajaran tersebut dapat dimaknai sebagai pentingnya pencadangan sebagian kekayaan untuk hari depan. Hal ini sangat penting, mengingat setelah pensiun manusia masih memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dengan pencadangan tersebut ketika seseorang memasuki masa kurang produktif, masih memiliki sumber pendapatan.

183

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun syariah memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia dengan sejumlah alasan : 1.

Masih sedikit sekali proporsi masyarakat yang mau mengikuti program dana pensiun. Kecuali pegawai negeri yang secara otomatis menjadi anggota Taspen dan Askes, pegawai swasta dan pegawai mandiri (wiraswasta) yang jumlahnya sangat besar sangat potensial untuk menjadi target pasar program dana pensiun syariah.

2.

Dengan berkembangnya lembaga keuangan dan bisnis syariah, tentunya SDM yang bekerja dalam institusi tersebut menjadi pasar khusus yang jelas bagi dana pensiun syariah.

3.

Rasa percaya, rasa memiliki, dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya industri keuangan dan bisnis syariah yang terus membaik akan menjadi modal dasar yang penting untuk terus memperbesar konsumen dan nasabah yang loyal, terutama bagi dan pensiun syariah. Untuk itu kebijakan dan program akselerasi sangat dibutuhkan untuk

mempercepat pertumbuhan dana pensiun syariah. Kebijakan dan program diharapkan mencukupi untuk dapat mendorong petumbuhan dari sisi supply dan demand secara seimbang dan memperkuat permodalan, manajemen, dan sumber daya manusia (SDM) bagi dana pensiun syariah. Selain itu, sasaran selanjutnya yang juga penting adalah melibatkan seluruh stakeholder dana pensiun syariah untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi secara otoritas, tanggung jawab dan kompetensi masing-masing. Di antara tanggung jawab yang paling mendasar dari institusi dana pensiun syariah adalah menciptakan keyakinan pada skateholder-nya bahwa aktifitas operasinya telah banar-benar sesuai dengan prinsip syariah. Untuk mencapai hal ini ada beberapa langkah yang bisa ditempuh : pertama, adalah dengan mendapatkan pengakuan formal dari dewan syariah tentang kesesuaian semua aktivitasnya dengan syari’ah; kedua, dengan memastikan semua aktivitasnya berjalan sesuai dengan fatwa-fatwa dewan syariah.

184

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berkembangnya kompleksitas bisnis lembaga keuangan sekaligus krisis yang dihadapi sistem keuangan internasional telah meningkatkan fungsi audit eksternal ke posisi sangat penting dalam semua sistem keuangan. Namun hal tersebut menjadi lebih krusial lagi bagi sistem keuangan Islam, terutama bagi dana pensiuh syariah. Auditor eksternal perlu memastikan tidak hanya masalah kesesuaian laporan keuanagan terhadap standar-standar pelaporan keuangan, tetapi juga laba atau rugi yang diumumkan harus merefleksikan kondisi yang sebenarnya, serta profit harus didapat tanpa ada pelanggaran syariah. Dalam konteks Indonesia, untuk memastikan kepatuhan terhadap syariah ini peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) cukup sentral. Oleh karena itu perlu dipastikan bahwa seluruh dana pensiun syariah memiliki dewan syariah ini dalam struktur organisasinya. Selain itu, dalam konteks pemenuhan kepatuhan pada prinsip syariah dan untuk menegakkan Dana Pensiun Syariah yang baik, kedepan trennya juga akan mengarah dibutuhkannya kantor-kantor audit syariah independent. Hal ini untuk mengurangi terlalu tersentralisasinya review syariah di DPS. Harus diakui bahwa perkembangan dana pensiun syariah relatif tertingal bila dibandingkan dengan industri keuangan syariah yang lain. Hal ini terjadi di antaranya disebabkan minimnya dukungan strategi dan regulasi. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa hal : 1.

Dalam konteks strategi pengembengan industri. Ketika perbankan, asuransi dan pasar modal syaiah sudah memiliki dan masuk dalam road map strategi pengembangan masing-masing industri, dana pensiun syariah belum disentuh sedikitpun dalam Kebijakan dan Strategi Pengembangan Indutri Dana Pensiun Taun 2007-2011.

2.

Dalam konteks regulasi. Jika perbankan, asuransi, obligasi dan reksa dana syariah sudah banyak memiliki peraturan dan juga dukungan fatwa DSNMUI, maka dana pensiun syariah belum ada satu pun peraturan dan fatwa yang mendukung. Sehingga regulasi sebagai kerangka operasional dana pensiun syariah hanya mengacu pada peraturan dana pensiun yang umum dan fatwa MUI yang juga umum, tidak bersufat khusus.

185

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3.

Ketentuan investasi langsung dalam UU No. 11/ 1992 tentang Dana Pensiun. Selama ini Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) syariah mengeluhkan tentang produk investasi terikat (mudharabah muqayyadah / resriched investment) yang berpotensi besar, tidak dapat dimasuki oleh DPLK syariah. Produk mudharabah muqayyadah merupakan produk bank syariah berupa investasi di bidang property atau inrfrastuktur dengan nilai proyek yang sangat besar. Selama ini bank syariah kesulitan membiayai proyek tersebut karena terbentur dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BPMK). Hal ini menjadi peluang investasi yang menarik bagi DPLK Syariah. Jika dana pensiun syariah masuk, berpotensi mendapat bagi hasil mencapai 20-30% dari return investasi jenis ini.

4.

Instrumen investasi dana pensiun syariah perlu dimasukkan ke dalam revisi UU Dana Pensiun. DPLK syariah memerlukan regulasi itu untuk memperluas instrument investasi yang sesuai dengan karakternya. Keterbatasan instrumen investasi ini kemudian berakibat dana kelolaan dana pensiun syariah justru kebanyakan ditanam dalam bentuk deposito syariah, baik rupiah maupun valas, juga obligasi, saham, dan reksa dana syariah saja. Padahal dengan potensi besar masyarakat muslim dan dengan pasar yang sangat terbuka lebar tentunya dana pensiun syariah memiliki harapan masa depan yang cerah.

186

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 11 BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)

A. Pengertian Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro

yang dioperasikan dengan prinsip

bagi hasil,

menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan. BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi utama, yaitu : a. Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan pengembangan usahausaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. b. Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Secara harfiah baitul maal berarti rumah dana dan baitut tamwil berarti rumah usaha. Baitul maal dikembangkan berdasarkan sejarah perkembangannya, yakni dari masa nabi sampai dengan pertengahan perkembangan Islam, dimana baitul maal berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus mentasyarufkan dana sosial. Sedangkan baitut tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang menyeluruh bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial. Sebagai lembaga sosial, baitul maal memiliki kesamaan fungsi dan peran dengan lembaga amil zakat (LAZ), oleh karenanya baitul maal ini harus didorong agar mampu berperan secara professional menjadi LAZ yang mapan. Sementara sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan, yakni simpan pinjam.

187

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Baitul mal wat tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mat wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mat wat Tamwil juga bisa menerima titipan zakat, infak dan sedekah serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya. Dengan demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai institusai yang bergerak di bidang investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga keuangan, BMT juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan BMT bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang memercayakan dananya disimpan di BMT dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT) yang diberikan pinjaman oleh BMT. Sedangkan sebagai lembaga ekonomi, BMT berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti mengelola kegiatan perdagangan, industri, dan pertanian. Apabila melakukan kilas balik sejarah, pasca berdirinya Bank Muamalat Indonesia telah timbul peluang untuk mendirikan bank-bank yang berprinsip syariah. Namun operasionalisasi BMI kurang menjangkau usaha masyarakat kecil dan menengah terutama di daerah, sehingga dibutuhkanlah kehadiran BPRS dan BMT di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagai upaya untuk membantu masyarakat dalam menghadapi rentenir. Keberadaan BMT setidaknya harus memiliki beberapa peran, yaitu 1: 1. Menjauhkan masyarakat dari praktik ekonomi non syariah. Aktif melakukan sosialisasi di tengah masyarakat tentang arti pentingnya sistem ekonomi Islam. hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara transaksi yang Islami, misalnya bukti transaksi, dilarang mencurangi timbangan, jujur terhadap konsumen dan sebagainya. 1

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 104

188

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usahausaha nasabah atau masyarakat umum. 3. Melepaskan ketergantungan pada rentenir, masyarakat

yang

masih

tergantung rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam memenuhi dana dengan segera. Maka BMT harus mampu melayani masyarakat lebih baik, misalnya tersedia dana setiap saat, birokrasi yang sederhana dan lain sebagainya 4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata. Fungsi BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks dituntut harus pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk melakukan evaluasi dalam rangka pemetaan skala prioritas yang harus diperhatikan,

misalnya

dalam

masalah

pembiayaan,

BMT

harus

memperhatikan kelayakan nasabah dalam hal golongan nasabah dan jenis pembiayaan. Setiap visi BMT harus mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota, sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan hidup anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Titik tekan perumusan visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah tidak hanya ibadah dalam aspek spiritual namun mencakup segala aspek kehidupan. Sehingga setiap kegiatan BMT harus berorientasi pada upaya mewujudkan ekonomi yang adil dan makmur. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan berstruktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran-berkemajuan, serta makmur-maju berkeadilan berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba-modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Tujuan didirikannya BMT adalah meningkatkan

189

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pengertian tersebut dipahami bahwa BMT harus berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan anggota dan masyarakat. BMT bersifat usaha bisnis dan mandiri serta ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelola secara professional. Dalam perekonomian Baitul Maal wat Tamwil (BMT) harus mampu berfungsi sebagai 2: 1.

Mengidentifikasi,

memobilisasi,

mengorganisasi,

mendorong

dan

mengembangkan potensi serta kemampuan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota muamalat (Pokusma) dan daerah kerjanya 2.

Meningkatkan kualitas SDM anggota dan pokusma menjadi lebih professional dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global

3.

Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota

4.

Menjadi perantara keuangan (financial intermediary), antara agniya sebagai shohibul maal dengan dhuafa sebagai mudharib, terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, dll

5.

Menjadi perantara keuangan (financial intermediary), antara pemilik dana (shohibul maal), baik sebagai pemodal maupun penyimpan dengan pengguna dana (mudharib) untuk pengembangan usaha produktif Sifat BMT, yaitu memilki usaha bisnis yang bersifat mandiri yang

ditumbuhkembangkan dengan swadaya dan dikelola secara profesional serta berorientasi untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat lingkungannya. Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu 3 1.

Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT. dengan mengimplentasikan prinsipprinsip syariah dan muamalah Islam ke dalam kehidupan nyata;

2.

Keterpaduan (kaffah) di mana nilai-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan menggerakan etika dan moral yang dinamis, proaktif, progesif, adil, dan berakhlak mulia; 2 3

Muhamad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 131 Ibid, h. 130

190

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3.

Kekeluargaan (kooperatif);

4.

Kebersamaan;

5.

Kemandirian;

6.

Profesionalisme; dan

7.

Istiqamah; konsisten, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maju ke tahap berikutnya, dan hanya kepada Allah berharap. Adapun Ciri-ciri Utama BMT, yaitu 4:

1.

Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungannya;

2.

Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan zakat, infak, dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak;

3.

Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat di sekitarnya.

4.

Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang dari luar masyarakat itu. Disamping ciri-ciri utama di atas, BMT juga memiliki ciri-ciri khusus yaitu :

1.

Staf dan karyawan BMT bertindak aktif, dinamis, berpandangan produktif, tidak menunggu tetapi menjemput nasabah, baik sebagai penyetor dana maupun sebagai penerima pembiayaan usaha;

2.

Kantor dibuka dalam waktu tertentu dan ditunggui oleh sejumlah staf yang terbatas, karena sebagian besar staf harus bergerak di lapangan untuk mendapatkan nasabah penyetor dana, memonitor, dan mensupervisi usaha nasabah;

3.

BMT mengadakan pengajian rutin secara berkala yang waktu dan tempatnya, biasanya di madrasah, masjid atau mushala, ditentukan sesuai dengan kegiatan nasabah dan anggota BMT. Setelah pengajian biasanya dilanjutkan dengan perbincangan bisnis dari para nasabah BMT.

4.

Manajemen BMT diselenggarakan secara profesional dan islami, dimana :

4

Ibid, h. 132

191

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a.

Administrasi keuangan, pembukuan dan prosedur ditata dan dilaksanakan dengan sistem akutansi sesuai dengan standar akutansi Indonesia yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.

b.

Aktif, menjemput bola, beranjangsana, berprakarsa, proaktif, menemukan masalah dengan tajam dan menyelesaikan masalah dengan bijak, bijaksana, yang memenagkan semua pihak.

c.

Berpikir, bersikap dan berprilaku ahsanu amala (service excellence).

Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat dilihat bahwa tata kerja BMT harus dirumuskan secara sederhana sehingga mudah untuk didirikan dan ditangani oleh para nasabah yang sebagian besar berpendidikan rendah. Aturan dan mekanisme kerjanya dibuat dengan lentur, efisien, dan efektif sehingga memudahkan nasabah untuk memanfaatkan fasilitasnya. BMT mempunyai beberapa komitmen yang harus dijaga supaya konsisten terhadap perannya, komitmen tersebut adalah 5: 1.

Menjaga nilai-nilai syariah dalam operasi BMT. Dalam operasinya BMT bertanggung jawab bukan saja terhadap nilai keIslaman secara kelembagaan, tetapi juga nilai-nilai keIslaman di masyarakat dimana BMT itu berada. Maka setidaknya BMT memiliki majelis taklim atau kelompok pengajian

2.

Memperhatikan

permasalahan-permasalahan

yang

berhubungan

dengan

pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT tidak menutup mata terhadap masalah nasabahnya, tidak saja dalam aspek ekonomi, tetapi aspek kemasyarakatan nasabah yang lainnya. Maka BMT setidaknya memiliki biro konsultasi bagi masyarakat bukan hanya berkaitan dengan masalah pendanaan atau pembiayaan tetapi juga masalah kehidupan sehari-hari mereka 3.

Meningkatkan profesionalitas BMT dari waktu ke waktu. Tuntutan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk menciptakan BMT yang mampu membantu kesulitan ekonomi masyarakat. Maka setiap BMT dituntut mampu meningkatkan SDM dengan melalui pendidikan dan pelatihan.

5

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 105

192

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4.

Ikut terlibat dalam memelihara kesinambungan usaha masyarakat. Keterlibatan BMT di dalam kegiatan ekonomi masyarakat akan membantu konsistensi masyarakat dalam memegang komitmen sebagai seorang nasabah. Pengembangan BMT sendiri merupakan hasil prakarsa dari Pusat Inkubasi

Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) yang merupakan badan pekerja yang dibentuk oleh Yayasan Inkubasi Usaha Kecil dan Menengah (YINBUK). YINBUK sendiri dibentuk oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), dan Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan akta notaris Leila Yudoparipurno, SH. Nomor 5 tanggal 13 Maret 1995. PINBUK didirikan memiliki fungsi : 1. Mensupervisi dan mebina teknis, administrasi, pembukuan, dan financial BMT-BMT yang terbentuk. 2. Mengembangkan sumber daya manusia dengan melakukan inkubasi bisnis pengusaha baru dan penyuburan pengusaha yang ada. 3. Mengembangkan teknologi maju untuk para nasabah BMT sehingga meningkat nilai tambahnya. 4. Memberikan penyuluhan dan latihan. 5. Melakukan promosi, pemasaran hasil dan mengembangkan jaringan perdagangan usaha kecil. 6. Memfasilitasi alat-alat yang tidak mampu dimiliki pengusaha secara perseorangan, seperti faks alat-alat promosi dan alat-alat pendukung lainnya. B. Asas dan Prinsip Dasar BMT BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salaam, yaitu penuh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Prinsip Dasar BMT, adalah : 1. Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu ‘amala (memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai salaam : keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.

193

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Barokah, artinya berdayaguna, berhasilguna, adanya penguatan jaringan, transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat. 3. Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah). 4. Demokratis, partisipatif, dan inklusif. 5. Keadilan sosial dan kesetaraan jender, non-diskriminatif. 6. Ramah lingkungan. 7. Peka

dan

bijak

terhadap

pengetahuan

dan

budaya

lokal,

serta

keanekaragaman budaya. 8. Keberlanjutan,

memberdayakan

masyarakat

dengan

meningkatkan

kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal. BMT bersifat terbuka, independen, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin. Fungsi BMT di masyarakat, adalah untuk : 1. Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi lebih profesional, salaam (selamat, damai, dan sejahtera), dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha (beribadah) menghadapi tantangan global. 2. Mengorganisir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar organisasi untuk kepentingan rakyat banyak. 3. Mengembangkan kesempatan kerja. 4. Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk anggota. 5. Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan sosial masyarakat banyak.

194

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

C. Pendirian dan Permodalan BMT Baitul Mal wat Tamwil merupakan lembaga ekonomi atau lembaga keuangan syariah nonperbankan yang sifatnya informal. Disebut bersifat informal karena lembaga keuangan ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. BMT dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap. Awalnya dapat dimulai sebagai kelompok swadaya masyarakat dengan mendapatkan sertifikat operasi/kemitraan dari PINBUK dan jika telah mencapai nilai aset tertentu segera menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi. Penggunaan badan hukum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi untuk BMT disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut aturan yang berlaku, pihak yang berhak menalurkan dan menghimpun dana masyarakat adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan prinsip bagi hasil. Namun demikian, jika BMT dengan badan hukum KSM atau koperasi yang telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulakan diri kepada pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai Bank Perkreditan Rakyat Syariah dengan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas. Sebelum masuk kepada langkah-langkah pendirian BMT, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan, yaitu mengenai lokasi atau tempat usaha BMT. Sebaiknya berlokasi di temat kegiatan-kegiatan ekonomi para anggotanya berlangsung, baik anggota penyimpanan dana maupun pengembang usaha atau pengguna dana. Selain itu, BMT dalam operasionalnya bisa menggunakan masjid atau sekretariat pesantren sebagai basis kegiatan. BMT dapat didirikan oleh : 1. Sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang. 2. Satu pendiri dengan lainnya sebaiknya tidak memiliki hubungan keluarga vertikal dan horizontal satu kali.

195

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Sekurang-kurangnya 70 % anggota pendiri bertempat tinggal di sekitar daerah kerja BMT. 4. Pendiri dapat bertambah dalam tahun-tahun kemudian jika disepakati oleh rapat para pendiri. Modal BMT, terdiri dari : 1. Simpanan Pokok (SP) yang ditentukan besarnya sama besar untuk semua anggota. 2. Simpanan Pokok Khusus (SPK), yaitu simpanan pokok yang khusus diperuntukkan

untuk

mendapatkan

sejumlah

modal awal

sehingga

memungkinkan BMT melakukan persiapan-persiapan pendirian dan memulai operasinya. Jumlahnya dapat berbeda antar anggota pendiri. Pada pendirian BMT, para pendiri dapat bersepakat agar dalam waktu 4 (empat) bulan sejak disepakati dapat terkumpul uang sejumlah : a. Minimal Rp 75 juta untuk wilayah JABOTABEK. b. Minimal Rp 50 juta untuk wilayah ibukota propinsi. c. Minimal Rp 30 juta untuk wilayah ibukota kabupaten/kota. d. Minimal Rp 20 juta untuk wilayah ibukota kecamatan. e. Minimal Rp 15 juta untuk daerah pedesaan. Setelah BMT berdiri maka perlu diperhatikan bahwa struktur organisasi BMT yang paling sederhana harus terdiri dari badan pendiri, badan pengawas, anggota BMT, dan badan pengelola. Badan pendiri adalah orang-orang yang mendirikan BMT dan mempunyai hak prerogatif yang seluas-luasnya dalam menentukan arah dan kebijakan BMT. Dalam kapasitas ini, badan pendiri adalah salah satu struktur dalam BMT yang berhak mengubah anggaran dasar dan bahkan sampai membubarkan BMT. Badan pengawas adalah badan yang berwenang dalam menetapkan kebijakan operasional BMT. Yang termasuk ke dalam kebijakan operasinal adalah antara lain memilih badan pengelola, menelaah dan memeriksa pembukuan BMT, dan memberikan saran kepada badan pengelola berkenaan dengan operasional BMT. Pihak-pihak yang bisa masuk menjadi badan pengawas ini adalah anggota badan pendiri, penyerta modal awal yang memiliki penyertaan tetap, dan anggota BMT

196

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

yang diangkat dan ditetapkan badan pendiri atas usulan badan pengawas. Anggota BMT adalah orang-orang yang secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota BMT dan dinyatakan diterima oleh badan pengelola. Selain hak untuk mendapatkan keuntungan atau menanggung kerugian yang diperoleh BMT, anggota juga memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota badan pengawas. Anggota BMT bisa terdiri dari para pendiri dan para anggota biasa yang mendaftarkan diri setelah BMT berdiri dan beroperasi. Badan pengelola adalah sebuah badan yang mengelola BMT serta dipilih dari dan oleh anggota badan pengawas (badan pendiri dan perwakilan anggota). Sebagai pengelola BMT, badan pengelola ini biasanya memiliki struktur organisasi tersendiri. Struktur organisasi pengelola BMT secara umum dapat disusun baik secara sederhana maupun secara lengkap. Status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut : 1. Pada awal pendiriannya hingga mencapi aset lebih kecil dari Rp 100 juta, BMT

adalah

Kelompok

Swadaya

Masyarakat

yang

berhak

meminta/mendapatkan Sertifikat Kemitraan dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). 2. Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT diharuskan melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris setempat, antara lain dapat berbentuk : a. Koperasi Syariah (KOPSYAH) b. Unit Usaha Otonom Pinjam Syariah dari KSP (Koperasi Simpan Pinjam), KSU (Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi otonom termasuk pelaporan dan pertanggung jawabannya. Anggota BMT, terdiri dari : 1. Anggota pendiri BMT, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan-simpanan pokok khusus minimal 4 % dari jumlah modal awal BMT yang direncanakan. 2. Anggota biasa, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok dan simpanan wajib.

197

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Calon anggota, yaitu mereka yang memanfaatkan jasa BMT tetapi belum melunasi simpanan pokok dan simpanan wajib. 4. Anggota kehormatan, yaitu anggota yang mempunyai kepedulian untuk ikut serta memajukan BMT baik moril maupun materiil tetapi tidak bisa ikut serta secara penuh sebagai anggota BMT.

D. Kegiatan Usaha BMT Baitul Mal wat Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro syariah. Sebagai lembaga keuangan BMT tentu menjalankan fungsi menghimpun dana dan menyalurkannya. Cara kerja dan perputaran dana BMT secara sderhana dapat digambarkan pada gambar 11.1. Berdasarkan gambar 11.1., dapat dilihat bagaimana perguliran dana BMT. Pada awalnya dana BMT diharapkan diperoleh dari para pendiri, berbentuk simpanan pokok khusus. Sebagai anggota biasa, para pendiri juga membayar simpana pokok, simpanan wajib, dan jika ada kemudahan simpanan sukarela. Dari modal para pendiri ini dilakukan investasi untuk membiayai pelatihan pengelola, mempersiapkan kantor dengan perlatannya, serta perangkat administrasi. Selama belum memiliki penghasilan yang memadai, tentu saja modal perlu juga untuk menalangi pengeluaran biaya harian yang diperhitungkan secara bulanan, biasa disebut dengan biaya operasional BMT. Selain modal dari para pendiri, modal dapat juga berasal dari lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti yayasan, kas masjid, BAZ, LAZ, dan lain-lain. Untuk menambah dana BMT, para anggota biasa menyimpan simpanan pokok, simpanan wajib, dan jika ada kemudahan juga simpanan suka rela yang semuanya itu akan mendapatkan bagi hasil dari keuntungan BMT. Mengenai bagaimana caranya BMT mampu membayar bagi hasil kepada anggota, khususnya anggota yang mentimpan simpanan sukarela, maka BMT harus memiliki pemasukan keuntungan dari hasil usaha pembiayaan berbentuk modal kerja yang diberikan kepada para anggota, kelompok usaha anggota (Pokusma), pedagang ikan, buah, pedagang asongan, dan sebagainya. Karena itu pengelola BMT harus menjemput bola dalam membina anggota pengguna dana BMT agar mereka beruntung cukup besar, dan karenanya BMT juga akan memperoleh untung yang cukup besar pula.

198

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dari keuntungan itulah BMT dapat menanggung biaya operasional dalam bentuk gaji pengelola dan karyawan BMT lainnya, biaya listrik, telepon, air, perlatan computer, biaya operasional lainnya, dan membayar bagi hasil yang memadai dan memuaskan para anggota penyimpan sukarela.

Penggalangan Dana (Funding) Modal Dasar: - Simp. Pokok khusus - Simp. Pokok - Simp. wajib

-

Penyaluran Dana (Financing)

Operasional BMT

SHU dibagikan

Simp. Sukarela Bagi Hasil Simp. Mudharabah biasa Simp. Pendidikan Simp. Haji Simp. Umrah Simp. Kurban, dll Simp. Berjangka (1,3,6,12 bulan)

Mudharabah pembiayaan total Bagi hasil

SHU Bagi hasil

Musyarakah Pembiayaan bersama Bagi hasil Bagi hasil

Murabahah Kepemilikan barang jatuh tempo Margin

Bonus Simp. Sukarela Titipan: - Simp. Wadi’ah Amanah/Zis - Simp. Wadi’ah Damanah

BBA Keoemilikan barang angsuran Infak Qard al-Hasan Pinjaman kebajikan

Biaya Operasional

Pool Pendapatan

Gambar 11.1. Cara Kerja Perputaran Dana BMT

Dalam menjemput bola tersebut, pengelola BMT harus mampu menjelasakan dengan menarik minat anggota atau calon anggota untuk menyimpan simpanan sukarelanya dalam jumlah yang besar, semisal Rp. 100.000,-; Rp. 500.000,-; Rp. 1.000.000,-; sampai dengan Rp. 10.000.000,- atau lebih, dengan menunjukan kemungkinan pembiayaan/pinjaman untuk kegiatan usaha pengusaha kecil yang

199

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menguntungkan itu, kalayakannya, tingkat keuntungannya, dan juga dengan alasan jika menyimpan di BMT dananya akan aman dan bermanfaat bagi masyarakat, lebih menguntungkan dengan prinsip bagi hasil dan bebas dari unsur riba. Dalam menjamin danaya, BMT umumnya menggunakan analisis kelayakan usaha dan jaminan (collateral). Dalam operasionalnya, BMT dapat menjalankan berbagai jenis kegiatan usaha, baik yang berhubungan dengan keuangan maupun non-keuangan. Adapun jenis-jenis usaha BMT yang berhubungan dengan keuangan dapat berupa : 1. Setelah mendapatkan modal awal berupa simpanan pokok khusu, simpanan pokok, dan simpanan wajib sebagai modal dasar BMT, selanjtnya BMT memobilisasi dana dengan mengembangkannya dalam aneka simpanan sukarela (semacam tabungan umum) dengan berasaskan akad mudarabah dari anggota berbentuk : a. Simpanan biasa; b. Simpanan pendidikan; c. Simpanan haji; d. Simpanan umrah; e. Simpanan qurban; f. Simpanan Idul Fitri g. Simpanan walimah h. Simpanan akikah; i.

Simpanan perumahan (pembangunan dan perbaikan);

j.

Simpanan kunjungan wisata; dan

k. Simpanan mudarabah berjangka (semacam deposito 1,3,6,12 bulan) Dengan akad wadi’ah (titipan tidak berbagi hasil), di antaranya : a. Simpanan yad al-amanah; titipan dana zakat, infak, dan sedekah untuk disampaikan kepada yang berhak. b. Simpanan yad ad-damanah; giro yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh penyimpan. 2. Kegiatan pembiayaan/kredit usaha kecil bawah (mikro) dan kecil, antara lain dapat berbentuk :

200

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a. Pembiayaan mudarabah, yaitu pembiayaan modal dengan menggunakan mekanisme bagi hasil. b. Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan bersama dengan manggunakan mekanisme bagi hasil. c. Pembiayaan murabahah, yaitu pemilikan suatu barang tertentu yang dibayar pada saat jatuh tempo. d. Pembiayaan ba’y bi sanam ajil, yaitu pemilikan suatu barang tertentu dengan mekanisme pembayaran cicilan. e. Pembiayaan qard al-hasan, yaitu pinjaman tanpa adanya tambahan pengembalian kecuali sabatas biaya administrasi. Selain kegiatan yang berhubungan dengan keuangan di atas, BMT dapat juga mengembangkan usaha di bidang sektor riil, seperti kios telepon, kios benda pos, memperkenalkan teknologi maju untuk peningkatan produktivitas hasil para anggotanya, mendorong tumbuhnya industri rumah tangga atau pengolahan hasil, mempersiapkan jaringan perdagangan atau pemasaran masukan dan hasil produksi, serta usaha lain yang layak, menguntungkan dan tidak menggangu program jangka pendek, dengan syarat dikelola dengan sistem manajemen yang terpisah dan profesional. Usaha sektor riil BMT tidak boleh menyaingi usaha anggota tetapi justru akan mendukung dan memperlancar pengorganisasian secara bersama-sama keberhasilan usaha anggota dan kelompok anggota berdasarkan jenis usaha yang sama. Untuk mendukung kegiatan sektor riil anggota BMT, terdapat dua jenis kegiatan yang

sangat

mendasar

perlu

untuk

dikembangkan

oleh BMT.

Pertama

mengumpulkan informasi dan sumber informasi tentang berbagai jenis kegiatan produktif unggulan untuk mendukung usaha kecil dan kelompok usaha anggota di daerah itu. Kedua adalah kegiatan mendapatkan informasi harga dan melembagakan kegiatan pemasaran yang efektif sehingga produk-produk hasil usaha anggota dan kelompok usaha dapat dijual dengan harga yang layak dan memenuhi jerih payah seluruh anggota keluarga yang bekerja untuk kegiatan tersebut.

201

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Kesehatan BMT Tingkat kesehatan BMT adalah ukuran kinerja dan kualitas BMT dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran, keberhasilan, dan keberlangsungan usaha BMT, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebuah BMT perlu diketahui tingkat kesehatannya, karena BMT merupakan sebuah lembaga keuangan pendukung kegiatan ekonomi rakyat. BMT yang sehat akan 6: 1. Aman, karena:  Dana anggota akan terpelihara dengan baik dan tidak akan hilang  BMT memiliki legalitas hukum sebagai (1) LKM yang bermitra dengan Pinbuk, (2) koperasi syariah, (3) dan lain-lain  Menggunakan prosedur operasi yang standar dalam pengelolaan dana  Pengawasan internal BMT yang rutin dan istiqomah dari pengurus terhadap pengelola telah tertata dengan sistem yang baik 2. Dipercaya  Memilih pengelola dan pengurus yang amanah dan professional  Menerapkan nilai-nilai Islami dan sistem syariah dalam pengelolaan BMT  Diaudit oleh Pinbuk dan atau akuntan public  Transparan dalam memberikan informasi kepada masyarakat 3. Bermanfaat  Berperan sebagai lembaga penghubung antar anggota pemilik dana yang menyimpan dengan anggota pengusaha mikro dan kecil yang meminjam dari BMT untuk pengembangan usaha  Berperan sebagai lembaga yang memberi peluang saling menguntungkan antara pemilik dana dan pengusaha mikro dan kecil  Memberikan peluang meningkatkan keterampila berusaha pengusaha mikro dan kecil melalui pendampingan  Membentuk dan meningkatkan jaringan komunikasi untuk informasi dan pemasaran produk dari pengusaha mikro dan kecil  Mempersempit kesenjangan sosial ekonomi di antara anggota masyarakat 6

M. Amin Aziz, Pedoman Penilaian Kesehatan BMT, Jakarta: Pinbuk Press, 2005, h. 7

202

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Wadah penampungan dan penyaluran zakat, infak dan sadaqah serta wakaf untuk membantu kehidupan sosial ekonomi dhuafa dan fakir miskin melalui Baitul Maal  Mempraktikkan dalam kehidupan nyata keterpaduan ibadah ubudiah dan ibadah muamalah. Aspek kesehatan BMT dapat dilihat dari7: 1. Apek Jasadiyah, yang meliputi a. Kinerja keuangan BMT mampu melakukan penggalangan, pengaturan, penyaluran, dan penempatan dana dengan baik, teliti, hati-hati, cerdik, dan benar, sehingga berlangsung kelancaran arus pendanaan dalam pengelolaan kegiatan usaha BMT dan akan meningkatkan keuntungan secara berkelanjutan. Indikator keuangan yang dipergunakan ialah:  Struktur permodalan, dengan mengukur rasio modal  kualitas aktiva produktif, dengan mengukur portfolio berisiko, tingkat tunggakan, tingkat pengembalian, tingkat kerugian pembiayaan tahunan  Likuiditas, dengan mengukur rasio cepat dan rasio pembiayan  Rasio efisiensi, dengan mengukur rasio efisiensi usaha1, rasio efisensi usaha2, rasio efisiensi staf, dan rasio efisiensi staf AO  Kemandirian dan keberlanjutan, dengan mengukur rentabilitas aset, rentabilitas modal, rasio simpanan/pembiayaan, kemandirian operasional, dan outstanding pembiayaan b. Kelembagaan dan manajemen BMT memiliki kesiapan untuk melakukan operasinya dilihat dari sisi kelengkapan legalitas, aturan-aturan, dan mekanisme organisasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pendampingan dan pengawasan, SDM, permodalan, sarana, dan prasarana kerja. 2. Aspek Ruhiyah, yang meliputi :

7

Ibid, h. 13

203

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a. Visi dan misi BMT Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggotanya memiliki kemampuan dalam mengaplikasikan visi dan misi BMT. b. Kepekaan sosial Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggotanya memiliki kepekaan yang tajam dan dalam, responsif, proaktif, terhadap nasib para anggota dan nasib (kualitas hidup) warga masyarakat di sekitar BMT tersebut. c. Rasa memiliki yang kuat Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggota serta masyarakat

sekitar

memiliki

kepedulian

untuk

memelihara

keberlangsungan hidup BMT sebagai sarana ibadah. d. Pelaksanaan prinsip-prinsip syariah Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggota memberlakukan aturan dan implementasi operasional BMT sesuai dengan syariah.

F. Kendala Pengembangan BMT Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala, walaupun tidak berlaku sepenuhnya kendala ini terdapat di setiap BMT. Secara umum kendala tersebut adalah 8: 1. Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT. Hal ini yang menjadikan nilai pembiayaan dan jangka waktu pembayaran kewajiban dari nasabah cukup cepat. Dan belum tentu pembiayaan yang diberikan BMT cukup memadai untuk modal usaha masyarakat 2. Walaupun keberadaan BMT cukup dikenal tetapi masih banyak masyarakat berhubungan dengan rentenir. Hal ini disebabkan masyarakat membutuhkan pemenuhan dana yang memadai dan pelayanan yang cepat, walaupun ia membayar bunga yang cukup tinggi. Ternyata ada beberapa daerah yang

8

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 114

204

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terdapat BMT masih ada rentenir, artinya BMT belum mampu memberikan pelayanan yang memadai dalam jumlah dana dan waktu 3. Beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah yang bermasalah. Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah di satu tempat tetapi di tempat lain juga bermasalah. Oleh karena itu perlu upaya dari masing-masing BMT untuk melakukan koordinasi dalam rangka mempersempit gerak nasabah yang bermasalah. 4. BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai pesaing yang harus dikalahkan, bukan sebagai mitra atau partner dalam upaya untuk mengeluarkan masyarakat dari permasalahan ekonomi yang dihadapi. Keadaan ini kadang menciptakan iklim persaingan yang tidak Islami, bahkan hal ini mempengaruhi pola pengelolaan BMT tersebut lebih pragmatis 5. Dalam kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih berorientasi pada persoalan bisnis. Sehingga timbul kecenderungan kegiatan BMT bernuansa pragmatis lebih dominan daripada kegiatan yang bernuansa idealis 6. Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional –terutama untuk produk yang berprinsip jual beli. Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk berpikir profit oriented daripada memahamkan aspek syariah, lewat cara membandingkan keuntungan bagi hasil BMT dengan bunga di bank dan lembaga keuangan konvensional 7. BMT lebih cenderung menjadi baitul tamwil daripada baitul maal. Dimana lebih banyak menghimpun dana yang digunakan untuk bisnis daripada untuk mengelola zakat, infak dan sadaqah 8. Pengetahuan pengelola BMT sangat mempengaruhi BMT tersebut dalam menangkap masalah-masalah dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT tersebut kurang. Selain itu ada beberapa permasalahan pula yang muncul dalam pengelolaan BMT di Indonesia, yaitu

205

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Aspek yuridis formal kelembagaan, sebab sampai saat ini belum ada undangundang atau peraturan khusus yang mengatur mengenai lembaga keuangan mikro termasuk BMT di dalamnya. Hal ini menyebabkan BMT mendekatkan diri kepada koperasi sebagai badan hukum pendiriannya, tetapi hal ini tidak tepat karena karakteristik koperasi dan BMT adalah berbeda. Oleh karenanya perlu disusun suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang mengatur mengenai lembaga mikro termasuk BMT. 2. Minimnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai kehadiran BMT, hal ini menyebabkan BMT masih kurang dikenal di masyarakat. Hal ini diakibatkan pada strategi pemasaran yang terlalu local oriented, sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui atau paham mengenai kehadiran BMT di tengah-tengah masyarakat. 3. Penggunaan teknologi yang masih sangat kurang, sehingga BMT masih menggunakan teknologi yang sederhana, termasuk belum bisanya jaringan online antar BMT. Meskipun di beberapa BMT, mereka telah bisa on-line untuk BMT yang tergabung dalam grup usaha mereka. 4. Minimnya kualitas sumber daya manusia pengelola, karena sangat jarang yang mau untuk berkarir di BMT dikarenakan jenjang karir dan penghasilan yang tidak jelas. Meskipun di beberapa BMT yang telah besar banyak SDM yang berkualitas di dalamnya.

G. Strategi Pengembangan BMT Perkembangan permasalahan ekonomi di

masyarakat

membutuhkan

kecerdasan dari BMT dalam merumuskan strategi jitu untuk mempertahankan eksistensinya. Strategi tersebut antara lain ialah 9: 1. Sumber daya manusia yang kurang memadai kebanyakan berkorelasi dari tingkat pendidikan dan pengetahuan. BMT dituntut meningkatkan sumber daya melalui pendidikan formal ataupun non formal, oleh karena kerjasama dengan lembaga pendidikan yang mempunyai relevansi dengan hal ini tidak bisa diabaikan. 9

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h.

115

206

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Strategi pemasaran yang local oriented berdampak pada lemahnya upaya BMT untuk mensosialisasikan produk-produk BMT di luar masyarakat dimana BMT itu berada. Guna mengembangkan BMT maka upaya-upaya meningkatkan teknik pemasaran perlu dilakukan, guna memperkenalkan eksistensi BMT di tengah-tengah masyarakat 3. Perlunya inovasi. Produk yang ditawarkan kepada masyarakat relatif tetap, dan kadangkala BMT tidak mampu menangkap gejala-gejala ekonomi dan bisnis yang ada di masyarakat. Hal ini timbul dari berbagai sebab; pertama, timbulnya kekhawatiran tidak sesuai dengan syariah; kedua, memahami produk BMT hanya seperti yang ada. Kebebasan dalam melakukan inovasi produk yang sesuai dengan syariah diperlukan supaya BMT mampu tetap eksis di tengah-tengah masyarakat 4. Untuk meningkatkan kualitas layanan BMT diperlukan pengetahuan strategic dalam bisnis. Hal ini diperluka untuk meningkatkan profesionalisme BMT dalam bidang pelayanan. Isu-isu yang berkembang dalam bidang ini biasanya adalah pelayanan tepat waktu, pelayanan siap sedia, pelayanan siap dana, dan sebagainya. 5. Pengembangan aspek paradigmatik, diperlukan pengetahuan mengenai aspek bisnis Islami sekaligus meningkatkan muatan-muatan Islam dalam setiap perilaku pengelola dan karyawan BMT dengan masyarakat pada umumnya dan nasabah pada khususnya 6. Sesama BMT sebagai partner dalam rangka mengentaskan ekonomi masyarakat, demikian antar BMT dengan BPRS ataupun bank syariah merupakan satu kesatuan yang berkesinambungan yang antara satu dengan yang lainnya mempunyai tujuan untuk menegakkan syariat Islam di dalam bidang ekonomi 7. Perlu adanya evaluasi bersama guna memberikan peluang bagi BMT untuk lebih kompetitif. Evaluasi ini bisa dilakukan dengan cara mendirikan lembaga evaluasi BMT atau lembaga sertifikasi BMT. Lembaga ini bertujuan khusus untuk memberikan laporan peringkat kinerja kwartalan atau tahunan BMT di seluruh Indonesia.

207

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sebagai salah satu lembaga keuangan syariah, BMT dipercaya lebih mempunyai peluang untuk berkembang dibanding dengan lembaga keuangan lain yang beroperasi secara konvensional karena hal-hal sebagai berikut : 1. Lembaga keuangan syariah dijalankan dengan prinsip keadilan, wajar dan rasional, dimana keuntungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan adalah benar berasal dari keuntungan penggunaan dana oleh para pengusaha lembaga keuangan syariah. Dengan pola ini, maka lembaga keuangan syariah terhindari dari negative spread, sebagaimana lembaga keuangan konvensial. 2. Lembaga keuangan syariah mempunyai mempunyai misi yang sejalan dengan program pemerintah, yaitu pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga berpeluang menjalin kerjasama yang saling bermanfaat dalam upaya pencapaian masingmasing tujuan. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mengembangkan perekonomian yang berbasis pada ekonomi kerakyatan melalui kredit-kredit program KPPA Bagi Hasil, Pembiayaan Modal Kerja (PMK) BPRS, Pembiayaan Usaha Kecil dan Mikro (PPKM). Hal ini tentu saja membuka peluang bagi BMT untuk mengembangakan pola demi kesejahteraan. 3. Sepanjang nasabah peminjam dan nasabah pengguna dana taat asas terhadap sistem bagi hasil, maka sistem syariah sebenarnya tahan uji atas gelombang ekonomi. Lembaga keuangan syariah tidak mengenal pola eksploitasi oleh pemilik dana kepada pengguna dana dalam bentuk beban bunga tinggi sebagaimana berlaku pada sistem konvensional. Dapat dipahami BMT memiliki peluang cukup besar dalam berperan mengembangkan ekonomi berbasis pada ekonomi kerakyatan. Disebabkan karena BMT ditegakkan di atas prinsip syariah yang memberikan kesejukan dalam memberikan ketenangan bagi pemilik dana maupun kepada pengguna dana. Namun harus diakui bahwa pengembangan BMT masih membutuhkan kerja keras. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Minako Sakai dan Kacung Marijan mengenai pertumbuhan Baitu Mal wat Tamwil (BMT) di Indonesia, terdapat beberapa rekomendasi yang diusulkan dalam rangka pengembangan BMT, yaitu 10:

10

http://www.pkesinteraktif.com/content/view/3654/204/lang.id/ di akses pada tanggal 15 Januari 2010

208

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. BMT seharusnya berkonsentrasi pada pengelolaan pinjaman-pinjaman bernilai kecil kepada usaha-usaha mikro dan kecil (di bawah Rp. 50.000.000,-). Pada nasabah

yang

membutuhkan

jumlah

pinjaman

lebih

besar

sebaiknya

mendapatkan pembiayaan dari bank-bank. 2. BMT

seharusnya

menyelenggarakan

program-program

pelatihan

bisnis/kewirausahaan secara berkala bagi anggota-anggotanya (misalnya melalui pengajian dan rapat-rapat). Kegiatan ini akan membantu meningkatkan modal sosial yang diperlukan guna pengembangan BMT lebih lanjut di Indonesia. 3. Departemen Koperasi seharusnya memprakarsai kegiatan-kegiatan merancang dan mendanai program-program peningkatan kemampuan bagi BMT yang sesuai dengan sifat-sifat kelembagaannya yang unik dan tujuan sosialnya. 4. Upaya-upaya untuk memberi inspirasi kepada masyarakat agar giat memecahkan masalah melalui cara-cara yang kreatif dan inovatif masih lemah. Menciptakan suatu penghargaan yang prestisius juga dapat meningkatkan kebanggaan dan kesadaran masyarakat terhadap usaha-usaha sosial. 5. Departemen Koperasi seharusnya menghimpun pedoman informasi wilayah yang memuat keterangan mengenai BMT-BMT yang ada dan menonjolkan berbagai strategi bisnis, produk dan jasa BMT-BMT terkemuka. Versi elektronik (web site) juga dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan akses terhadap informasi-informasi tersebut. Karena tidak semua BMT berhasil, kalangan BMT tidak mempunyai dana untuk melaksanakan upaya-upaya semacam ini. 6. Dinas Koperasi dan Departemen Koperasi seharusnya memperjuangkan peran yang lebih besar bagi usaha-usaha sosial dalam pengembangan masyarakat. Sesisesi pelatihan untuk mengajarkan masyarakat bagaimana mendirikan dan menjalankan BMT memang direkomendasikan, namun akuntabilitas yang lebih ketat juga diperlukan. Dinas Koperasi sebaiknya mendanai BMT-BMT yang sudah mapan dan mempunyai program pelatihan untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan tersebut. 7. Asosiasi-asosiasi BMT di daerah sebaiknya direformasi. Kelompok-kelompok ini seharusnya berbagai informasi dan mengembangkan prosedur operasi yang

209

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

baku sebagai langkah awal menjadi lembaga yang dapat pengaturan dirinya sendiri. 8. BMT-BMT seharusnya memanfaatkan pengetahuan lokal dan modal sosial untuk memperluas bisnisnya. 9. BMT-BMT memang seharusnya menjamin bahwa dana para anggotanya aman, namun perlu diperhatikan bahwa usaha-usaha sosial membutuhkan kebijakankebijakan pemerintah yang memungkinkan keluwesan yang diperlukan kegiatankegiatan sosial. Mengatur BMT sesuai dengan dasar-dasar hukum perbankan yang sudah ada kemungkinan akan menghancurkan fungsi utama BMT-BMT. 10. Dalam jangka pendek, memasukkan BMT ke dalam UU khusus tentang koperasi lebih layak. Proses perubahan undang-undang sebaiknya melibatkan konsultasikonsultasi dengan para operator BMT yang aktif dewasa ini. 11. Dalam jangka panjang, perlu dibuat satu UU khusus dan menyeluruh yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan BMT (pembiayaan mikro, pelatihan bisnis dan pengelolaan zakat melalui konsultasi dengan para pihak yang berkepentingan. Perlu ditekankan disini bahwa perubahan yang dilakukan pemerintah dewasa ini terhadap UU zakat (yang bertujuan mendelagasikan pengelolaan zakat ke pemerintah) akan mengancam kegiatan-kegiatan baitul maal yang melekat ke BMT-BMT.

210

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 12 PASAR MODAL SYARIAH A. Definisi Dalam konteks ekonomi, sebagian kelompok masyarakat kerap memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Pendapatan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya digunakan untuk aktifitas konsumsi. Bahkan dalam level tertentu, ketika masyarakat memiliki pendapatan yang sangat tinggi kecenderungan mereka untuk menggunakan pendapatannya untuk konsumsi makin menurun. Kelebihan pendapatan tersebut tentu saja dialokasikan untuk ditabung dan atau diinvestasikan pada berbagai portofolio investasi. Dalam kondisi tertentu, terutama ketika perusahaan akan melakukan ekspansi atau menambah skala produksi atau juga mengembangkan bisnisnya menjadi lebih besar, kerap membutuhkan dana tambahan untuk modal kerja. Kebutuhan perusahaan terhadap dana untuk mengembangkan investasi bisnisnya akan mengantarkan perusahaan pada pasar keuangan dan pasar modal. Dalam konteks inilah terjadi interaksi antara penawaran dan permintaan terhadap modal atau dana dalam jangka panjang. Muncullah institusi pasar modal dengan beragam varian produknya. Secara etimologis untuk istilah pasar digunakan kata bursa, exchange dan market. Sedangkan untuk istilah modal sering digunakan kata efek, securities, dan stock. Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dimaksud dengan Pasar modal adalah kegiatan yang berkaitan dengan Penawaran umum dan Perdagangan efek, Perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Sedangkan yang dimaksud dengan efek adalah surat berhaga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari efek. Dalam perkembangannya, Pasar modal dikenal juga dengan nama Bursa efek. Bursa efek menurut Pasal 1 Ayat (4) UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pasar Modal adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan system dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Sebelum tahun 2007, Bursa efek di

211

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Indonesia dikenal Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). 1 Tanggal 30 Oktober 2007 BES dan BEJ sudah dimerger dengan nama Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan demikian saat ini hanya ada satu pelaksana bursa efek di Indonesia yaitu BEI. Bagi pasar modal syariah, listing-nya dilakukan di Jakarta Islamic Index yang telah diluncurkan sejak 3 Juli 2000. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pasar modal, berikut pengertian Pasar Modal menurut beberapa ahli, diantaranya: 1.

Dahlan Siamat, dalam pengertian sempit dan sederhana adalah suatu tempat yang terorganisasi di mana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa Efek. Bursa efek atau stock exchange adalah suatu sistem yang terorganisasi yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui wakil-wakilnya. Fungsi bursa efek ini antara lain menjaga kontinuitas pasar dan menciptakan harga efek yang wajar melalui mekanisme permintaan dan penawaran. Definisi pasar modal dalam arti luas adalah pasar konkret atau abstrak yang mempertemukan pihak yang menawarkan dan yang memerlukan dana jangka panjang, yaitu jangka satu tahun ke atas. 2

2.

Tjipto Darmadji, dkk; adalah pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan baik dalam bentuk utang ataupun modal sendiri. 3

3.

Kasmir, pasar modal dalam arti sempit merupakan tempat para penjual dan pembeli bertemu untuk melakukan transaksi. Artinya pembeli dan pejual langsung beretemu utnuk melakukan transaksi dalam suatu lokasi tertentu. Lokasi atau tempat pertemuan disebut pasar. Namun dalam arti luas pengertian pasar merupakan tempat melakukan transaksi antara pembeli dan penjual, di mana pembeli dan penjual tidak harus bertemu dalam suatu tempat atau bertemu langsung, akan tetapi dapat dilakukan melalui sarana informasi yang ada seperti sarana elektronika 4. 1

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo 2008). h. 208. Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004),, Edisi Keempat, hlm. 249. 3 Tjipto Darmadji, dkk., Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), hlm. 1. 4 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 209 2

212

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dari uraian pengertian di atas, dapat disimpulkan pasar modal secara umum merupakan suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi dalam rangka memperoleh modal. Penjual dalam pasar modal adalah perusahaan yang membutuhkan modal (Emiten), sehingga mereka berusaha untuk menjual efek-efek di pasar modal. Sedangkan pembeli (Investor) adalah pihak yang ingin membeli modal di perusahaan yang menurut pertimbangan mereka dinilai menguntungkan. Sedangkan pasar modal syariah secara sederhana dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang oleh syariat seperti: unsur riba, perjudian, bersifat spekulasi dan lain-lain. Pasar modal syariah secara prinsip sangat berbeda dengan pasar modal konvensional. Sejumlah instrumen syariah sudah diterbitkan di pasar modal Indoneisa seperti dalam bentuk saham dan obligasi dengan kriteria tertentu yang sesuai dengan prinsip syariah. Pasar modal syariah adalah pasar modal yang seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagankan dan mekanisme perdagangannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan yang dimaksud dengan efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip syariah. Adapun yang dimaksud dengan Prinsip-prinsip syariah adalah prinsip yang didasarkan oleh syariah ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI melalui fatwa. 5

B. Karakteristik Secara faktual, Pasar modal pada dasarnya menjalankan dua fungsi secara simultan yaitu pertama, fungsi ekonomi dengan mempertemukan dua pihak, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana, dan kedua, fungsi keuangan yaitu memberikan kesempatan untuk memperoleh imbalan bagi pemilik dana melalui investasi. Dalam konteks fungsi keuangan, pasar modal 5

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Syariah di Bidang Pasar Modal, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: PT Intermasa, 2003) Edisi Kedua, hlm. 272.

213

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

berperan sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi pihak perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). dana yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk pengembangan usaha, ekspansi, penambahan modal kerja dan lain-lain. Sedangkan bagi investor pasar modal menjadi sarana bagi mereka untuk berinvestasi pada instrumen keuangan seperti saham, obligasi, reksa dana, dan lain-lain. Modal yang diperdagangkan dalam pasar modal merupakan modal yang bila diukur dari waktunya merupakan modal jangka panjang atau diatas 1 tahun. Oleh karena itu bagi emiten sangat menguntungkan mengingat masa pengembangannya relatif panjang, baik yang berisfat kepemilikan maupun yang bersifat obligasi. Bagi pemilik saham dapat pula menjualkannya kepada pihak lain, apabila membutuhkan dana atau sudah tidak ingin lagi menjadi pemegang saham pada eprusahaan yang bersangkutan. Sedangkan bagi modal yang bersifat obligasi, jangka waktunya relatif terbatas. dalam waktu tertentu dan dapat pla dialihkan ke pemilik lain jika memang sudah tidak dibutuhkan lagi sebagaimana halnya modal yang bersifat kepemilikan. Saat ini kondisi dan eksistensi Pasar modal kerap menjadi tolak ukur kemajuan perekonomian suatu Negara. Pasar modal memungkinkan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk dapat memanfaatkan dana langsung dari masyarakat tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Ada beberapa manfaat pasar modal, yaitu: 1. Menyediakan sumber pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha 2. Memberikan sarana investasi bagi investor 3. Penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan masyarakat menengah. 4. Penyebaran kepemilikan, keterbukaan dan profesionalisme, menciptakan iklim berusaha yang sehat. 5. Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik. 6. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan mempunyai prospek. 7. Alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi investasi. 8. membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha, memberikan akses kontrol sosial.

214

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Seperti juga fungsi pasar modal dalam konteks perekonomian secara umum, keberadaan pasar modal syariah secara umum berfungsi: 1. memungkinkan bagi masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis dengan memperoleh bagian dari keuntungan dan risikonya. 2. Memungkinkan para pemegang saham menjual sahamnya gnua mendapatkan likuiditas. 3. Memungkinkan perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk membangun dan mengembangkan lini produksinya. 4. Memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka pendek pada harga saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal konvensional. 5. Memungkinkan investasi pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja kegiatan bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham.

C. Perkembangan Pasar Modal di Indonesia Menurut Andri Soemitra 6, secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak zaman colonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk kepentingan pemerintah colonial atau VOC. Rangkaian sejarah pasar modal di Indonesia, sesuai dengan sejarah pasar modal yang dirilis Bapepam, perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut: 7 •

14 Desember 1912: Bursa efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia-Belanda.



1914-1918: Bursa efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I



1925-1942: Bursa efek di Jakarta dibuka kembali bersama dnegan bursa efek di Semarang dan Surabaya



Awal tahun 1939: karena isu politik (Perang Dunia II) bursa efek di Semarang dan Surabaya ditutup.



1942-1952: Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II 6

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Prenada Media Group, 2006, h. 114 7 www.bapepam.go.id.

215

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis



1952: Bursa efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan menteri keuangan (Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagankan: obligasi Pemerintah RI (1950)



1956: Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa efek semakin tidak aktif



10 Agustus 1977: Bursa efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan di bawah Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama.



1977-1987: Perdagangan di bursa efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru

mencapai

24.

Masyarakat

lebih

memilih

instrument

perbankan

dibandingkan instrument pasar modal. •

1987: Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan penawaran umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.



1988-2990: Paket deregulasi di bidang perbankan dan pasar modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meingkat.



2 Juni 1988: Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.



Desember 1988: Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 1988 (PAKDES '88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.



16 Juni 1989: Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh perseroan terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.



13 Juli 1992: Swastanisasi BEJ; Bapepam berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ



22 Mei 1995: Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan system computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).

216

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis



10 November 1995: Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996.



1995: Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya.



3 Juli 1997 lahir danareksa syariah oleh PT Danareksa Invesment Management.



2000: Bursa Efek Indonesia bekerja sama dengan PT Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah.



2002: BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading).



4. Maret 2003: Pasar modal syariah diresmikan oleh Menteri Keuangan Boediono didampingi ketua Bapepam Herwidayatmo, wakil dari MUI, wakil dari DSN pada direksi, direksi perusahaan efek, pengurus organisasi pelaku, dan asosiasi profesi di pasar modal.



2007: Penggabungan BEJ dan BES berdasarkan kesepakatan RUPSLB pada tanggal 30 Oktober 2007 yang kemudian dituangkan dalam Akta Penggabungan dan berganti nama menjadi PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang resmi beroperasi sejak tanggal 1 Nopember 2007. Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa meskipun secara resmi pasar

modal syariah diluncurkan pada tahun 2003, namun instrument pasar modal syariah telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan peluncuran Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT Danareksa Investment Management. Selanjutnya Bursa Efek Indonesia bekerja sama dengan PT Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah. Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat dijadikan sarana berinvestasi dengan penerapan prinsip syariah. Perkembangan selanjutnya, instrument investasi syariah di pasar modal terus bertambah dengan kehadiran Obligasi Syariah PT Indosat Tbk. pada

awal

September 2002. Instrumrn ini merupakan obligasi syariah pertama dan dilanjutkan dengan penerbitan obligasi syariah lainnya. Pada tahun 2004, terbit untuk pertama

217

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kali obligasi syariah dengan akad sewa atau dikenal dengan obligasi syariah Ijarah. Selanjutnya, pada tahun 2006 muncul instrument baru yaitu Reksa Dana Indeks di mana indeks yang dijadikan sebagai underlying adalah Indeks Jakarta Islamic Indeks (JII)8 Menariknya, dalam konteks global, equity fund dan indeks saham secara luas yang mengikuti ketentuan syariah lebih dahulu diluncurkan di Amerika. Equity Fund pertama adalah the Amana Fund yang diluncurkan pada bulan Juni 1986 oleh the North American Islamic Trust. Pada bulan Februari 1999, Dow Jones Indexes meluncurkan Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) dan sampai akhir tahun 2002 Dow Jones terus mengembangkan seri DJIM dengan DJIM-Japan, DJIM-Asia, DJIM-Americas, DJIM-Internet dan yang terakhir DJIM-Extra Liquid. Namun, ternyata kurang dari 5% perusahaan yang diliput dalam DJIM berasal dari Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sementara banyak sekali Islamic private dan mutual fund yang mengikuti DJ Islamic Market Index, termasuk corporate dan retail fund yang diluncurkan oleh lembaga keuangan dari Timur Tengah seperti Al-Baraka, SAMBA dan Wafra. Bahkan pada bulan November 1999, Financial Times Stock Exchange (FTSE) International di London juga telah meluncurkan the FTSE Global Islamic Index Series (FTSE-GIIS) World Bank, telah bekerja sama dengan ANZ Bank meluncurkan benchmark untuk Islamic Leasing Fund.

D. Instrumen Pasar Modal Syariah di Indonesia Instrumen pasar modal pada prinsipnya adalah semua surat-surat berharga (efek) yang umum diperjualbelikan melalui pasar modal. Efek adalah setiap surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, sekuritas kredit, tanda bukti utang, right, warrans, opsi atau setiap derivatif dari efek atau setiap instrumen yang ditetapkan oleh Bapepam LK sebagai efek. Sifat efek yang diperdagangkan di pasar modal (bursa efek) biasanya berjangka waktu panjang. Instrumen yang paling umum diperjualbelikan melalui bursa efek antara lain saham, obligasi, rights, obligasi konversi. Sedangkan pasar modal syariah secara khusus memperjualbelikan 8

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hal 116

218

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

efek syariah. Efek syariah adalah efek yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI dalam bentuk fatwa. Secara umum ketentuan penerbitan efek syariah haruslah sesuai dengan prinsip syariah di pasar modal. Prinsip-prinsip syariah di pasar modal adalah prinsip-prinsip hukum Islam dalam kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), baik fatwa DSN-MUI yang ditetapkan dalam peraturan Bapepam dan LK maupun fatwa DSN-MUI yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya peraturan Bapepam dan LK. Pada pasar modal syariah emiten yang menerbitkan efek syariah harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu: 1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah. Pelaksanaan transaksi efek di pasar modal syariah harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezaliman. Termauk dalam transaksi yang mengandung unsur yang dilarang antara lain: a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu; b. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (efek syariah) yang belum dimiliki (short selling); c. Insider trading,

yaitu

memakai

informasi

orang

dalam untuk

memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang; d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan; e. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut; f. Ihktikar

(penimbunan),

yaitu

melakukan

pembelian

atau

dan

mengumpulkan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan memengaruhi pihak lain;

219

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2.

Jenis kegiatan usaha emiten yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah antara lain: a. Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; b. Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; c. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan d. Produsen, distributor, dan’atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral atau bersifat mudarat; e. Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.

3. Emiten atau perusahaan publik yang bermaksud menerbitkan efek syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas efek syariah yang dikeluarkan. Akad syariah yang digunakan antara lain 9: a. Ijarah, yaitu perjanjian (akad) di mana pihak yang memiliki barang atau jasa (pemberi sewa atau pemberi jasa) berjanji kepada penyewa atau pengguna jasa untuk menyerahkan hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang, dan/atau memberikan jasa yang dimiliki pemberi sewa atau pemberi jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa dan/atau upah (ujrah), tanpa diikuti dengan beralihnya hak atas pemilikan barang yang menjadi objek ijarah. b. Kafalah,

yaitu

perjanjian

(akad)

di

mana

pihak

penjamin

(kafiil/guarantor) berjanji memberikan jaminan kepada pihak yang dijamin (makfuul ‘anhu/ashil/debitor) untuk memenuhi kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak lain (makfuul lahu/kreditor).

9

Peraturan Bapepam-LK o. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, dan Peraturan No. IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di pasar modal.

220

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c. Mudharabah (qiradh) adalah perjanjian (akad) di mana pihak yang menyediakan dana (Shahib al-mal) berjanji kepada pengelola usaha (mudharib) untuk menyerahkan modal dan pengelola

(mudharib)

berjanji untuk mengelola modal tersebut. d. Wakalah, yaitu perjanjian (akad) di mana pihak yang memberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak yang menerima kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu. 4. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Sharia Compliance Officer (SCO). 10 5.

Dalam hal emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan, maka efek yang diterbitkan dengan sendirinya sedah bukan sebagai efek syariah. Harga pasar dari efek syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang

sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa. Dari segi instrumen, dibandingkan dengan pasar modal konvensional, pasar modal syariah memiliki karakteristik yang unik. Segala jenis sekuritas yang menawarkan pemasukan yang sudah ditentukan di awal (predetermined fixed-income) tidak diperbolehkan dalam Islam karena termasuk kategori riba. Dengan demikian, semua sekuritas yang ,mengandung unsur riba (interest bearing securities) baik jangka panjang (long term) maupun jangka pendek (short term) akan masuk dalam daftar investasi yang tidak sah. Masuk juga dalam kategori ini, antara lain preference stocks, debentures, treasury securities and consul, dan commercial papers, obligasi konvensional, medium term notes, dan interst rate swap, sertifikat deposito konvensional, dan repo surat utang konvensional. Sedangkan instrumen keuangan yang berada dalam gray area (questionable) karena dicurigai gharar meliputi produk-produk derivatif, seperti forward, futures, dan juga options. Yang dibolehkan, baik secara penuh atau dengan catatan-catatan meliputi saham (stocks)

10

SCO adalah pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di pasar modal.

221

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan obligasi syariah (Islamic bonds/sukuk), sekuritas pemerintah berbasis bagi hasil dan surat berharga lain yang akadnya sesuai dengan prinsip syariah. 11 Sampai saat ini, efek-efek syariah menurut Fatwa DSN MUI No.40/DSNMUI/X/2003 tentang Pasar Modal mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Belakangan, instrumen keuangan syariah bertambah dalam fawa DSN-MUI Nomor: 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah dan Fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran Syariah pada tanggal 6 Maret 2008.

1. Saham Syariah Saham atau stocks adalah surat bukti atau tanda kepemilikan bagian modal pada suatu perusahaan terbatas. Dengan memiliki saham berarti bukti bahwa yang bersangkutan adalah bagian dari pemilik perusahaan. Semakin besar saham yang dimilikinya, maka semakin besar pula kekuasaannya di perusahaan tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari saham dikenal dengan nama dividen. Pembagian dividen ditetapkan pada penutupan laporan keuangan berdasarkan RUPS ditentukan berapa dividen yang dibagi dan laba ditahan. Di samping itu dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder pemegang saham dimungkinkan memperoleh capital gain yaitu selisih antara harga beli dengan harga jual saham. Namun, pemegang saham juga harus siap menghadapi risiko capital loss yang merupakan kebalikan dari capital gain serta risiko likuiditas, yaitu ketika perusahaan yang sahamnya dimiliki kemudian dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan, maka hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir setelah seluruh kewajiban perusahaan dapat dlunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan). Di pasar sekunder atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari, harga-harga saham mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan. Pembentukan harga saham terjadi karena adanya permintaan dan penawaran atas saham tersebut. 11

Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, Menggagas Konsep dan Politik dan Manajemen Portofolio Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 59-60.

222

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dengan kata lain, harga saham terbentuk oleh supply dan demand atas saham tersebut. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh dari memegang saham antara lain: a. Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan dari laba yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk saham. b. Rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh emiten. c. Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual beli saham di pasar modal. Sedangkan saham syariah adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan yang diterbitkan oleh emiten yang kegiatan usaha maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 12 Saham merupakan surat berharga yang mempresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan. Sementara dalam prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang perjudian, riba, memproduksi barang yang diharamkan seperti minuman beralkohol. Penyertaan modal dalam bentuk saham yang dilakukan pada suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah dapat dilakukan berdasarkan akad musyarakah dan mudharabah. Akad musyarakah umumnya dilakukan pada saham perusahaan privat, sedangkan akad mudharabah umumnya dilakukan pada saham perusahaan publik. Secara praktis, instrument adalah suatu praktik keuangan kontemporer yang belum pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah saw. Dikarenakan belum adanya nash atau teks Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum yang jelas dan pasti tentang keberadaan saham, maka para ulama dan fuqaha kontemporer berusaha untuk menemukan rumusan kesimpulan hukum tersendiri untuk saham. Para fuqaha kontemporer berselisih pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum khususnya dalam jual beli. Ada sebagian yang membolehkan transaksi jual beli 12

Fatwa dewan Syariah Nasional No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah. Fatwa DSN MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah, Fatwa DSN MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

223

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

saham dan ada juga yang tidak membolehkan. Para fuqaha yang tidak membolehkan memiliki beberapa argumentasi sebagai berikut: 13 a.

Saham dipahami sebagaimana layaknya obligasi, dimana saham juga merupakan

utang

perusahaan

terhadap

para

investor

yang

harus

dikembalikan, maka dari itu memperjualbelikannya juga sama hukumnya dengan jual beli utang yang dilarang Islam b.

Banyaknya praktik jual beli najasy di bursa efek

c.

Para investor pembeli saham keluar dan masuk tanpa diketahui oleh seluruh pemegang saham

d.

Harga saham yang diberlukan ditentukan senilai dengan ketentuan perusahaan yaitu pada saat penerbitan dan tidak mencerminkan modal awal pada waktu pendirian

e.

Harta atau modal perusahaan penerbit saham tercampur dan mengandung unsur haram sehingga menjadi haram semuanya

f.

Transaksi jual beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam transaksi tersebut tidak mengimplementasikan prinsip pertukaran (sharf), jual beli saham adalah pertukaran uang dan barang, maka prinsip saling menyerahkan (taqabudh) dan persamaan nilai (tamatsul) harus diaplikasikan. Dikatakan kedua prinsip tersebut tidak terpenuhi dalam transaksi jual beli saham

g.

Adanya unsur ketidaktahuan (jahalah) dalam jual beli saham dikarenakan pembeli tidak mengetahui secara persis spesifikasi barang yang akan dibeli yang terefleksikan dalam lembaran saham. Adapun salah satu syarat sahnya jual beli adalah diketahuinya barang (ma’luumu al mabi’)

h.

Nilai saham pada setiap tahunnya tidak bisa ditetapkan pada suatu harga tertentu, harga saham selalu berubah-ubah mengikuti kondisi pasar bursa saham, untuk itu saham tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran nilai pada saat pendirian perusahaan. Berbeda dengan pendapat pertama, maka para fuqaha yang membolehkan

jual beli saham mengatakan bahwa saham sesuai dengan terminology yang melekat 13

Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, Jakarta: Penerbit Kencana, 2010, h. 224-225

224

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kepadanya, maka saham yang dimiliki oleh seseorang menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Logika tersebut dijadikan dasar pemikiran bahwa saham dapat diperjualbelikan sebagaimana layaknya barang. Aturan dan norma jual beli saham tetap mengacu kepada pedoman jual beli barang pada umumnya, yaitu terpenuhinya rukun, syarat, aspek ‘an taradhin, serta terhindar dari unsur maysir, gharar, riba, haram, dhulm, ghisy, dan najasy. Praktik forward contract, short selling, option, insider trading, “penggorengan saham” merupakan transaksi yang dilarang secara Islam dalam dunia pasar modal. Adanya fatwa ulama kontemporer tentang jual beli saham semakin memperkuat landasan akan bolehnya jual beli saham. Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non syariah, melainkan berupa pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, di Bursa Efek Indonesia terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30 saham yang memenuhi kriteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional (DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan PT Danareksa Invesment Management (DIM). Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui indeks ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ejuiti secara syariah. Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari saham-saham yang sesuai dengan syariah Islam. Penerbitan efek syariah berbentuk saham oleh emiten atau perusahaan publik yang menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Emiten atau perusahaan publik yang melakukan penerbitan efek syariah berupa saham wajib mengikuti ketentuan umum pengajuan pernyataan pendaftaran atau pedoman mengenai bentuk dan isi pernyataan pendaftaran perusahaan publik dan serta ketentuan tentang penawaran umum yang terkait lainnya yang diatur oleh Bapepam LK; dan mengungkapkan informasi tambahan dalam propektus bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan

225

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

usahanya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Secara umum perusahaan yang akan menerbitkan efek syariah harus memenuhi hal-hal berikut 14: a. Dalam anggaran dasar dimuat ketentuan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal; b. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan emiten atau perusahaan publik dimaksud tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal; c. Emiten atau perusahaan publik memiliki anggota direksi dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Selain itu, dalam proses pemilihan saham yang masuk JII, Bursa Efek Indonesia melakukan tahap-tahap pemilihan yang juga mempertimbangkan aspek likuiditas dan kondisi keuangan emiten, yaitu: a. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar). b. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun berakhir yang memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva maksimal sebesar 90%. c. Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selam satu tahun terakhir. d. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler selama satu tahun terakhir. e. Pengkajian ulang akan dilakukan 6 bulan sekali dengan penentuan komponen indeks pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan perubahan pada jenis usaha emiten akan di monitoring secara terus-menerus berdasarkan data-data publik yang tersedia.

14

Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah.

226

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Obligasi Syariah (Sukuk) Obligasi atau bonds secara konvensional adalah merupakan bukti utang dari emiten yang dijamin oleh penanggung yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lainnya serta pelunasan pokok pinjaman yang dulakukan pada tanggal jatuh tempo.15 Di sini obligasi merupakan instrumen utang bagi perusahaan yang hendak memperoleh modal. Dalam hal pendapatan yang diperoleh berupa bunga yang biasanya lebih tinggi daripada bunga tabungan atau deposito. Umumnya bunga diterima sesuai dengan klausul kontrak, ada yang setiap 3 bulan, ada yang 4 bulan, dan ada yang setiap tahun. Pemegang obligasi mendapatkan hak untuk dilunasi terlebih dahulu apabila emiten bangkrut. Di samping itu, investasi obligasi juga bisa mendapatkan capital gain bila saat menjual obligasi mendapatkan harga yang lebih tinggi daripada harga pembeliannya. Capital gain juga bisa diperoleh jika pemegang obligasi mendapat diskon pada saat pembelian. Sedangkan obligasi syariah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002 adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Dengan demikian, pemegang obligasi syariah akan mendapatkan keuntungan bukan dalam bentuk bunga melainkan dalam bentuk bagi hasil./margin/fee. Sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok, antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya akad atau perjanjian antara pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir. Obligasi syariah yang juga dikenal dengan sukuk merupakan efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas kepemilikan aset berwujud 15

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, hlm 270.

227

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tertentu, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu, serta kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. Sejauh ini, obligasi syariah diatur dalam Fatwa DSN MUI antara lain Fatwa DSN MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah, No. 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah, No. 41 /DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah dan No. 59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi. Di samping itu, pada tanggal 7 Mei 2008 disahkan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang menjadi legal basis bagi penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN. Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Ada beberapa alasan mengapa obligasi syariah dibutuhkan, yaitu 16: a.

Perspektif pasar modal, dengan adanya obligasi syariah maka:



Pengembangan pasar modal syariah secara lebih luas sebagai implikasi dari masterplan pasar modal yang dicanangkan Bapepam LK



Pengembangan instrument-instrumen syariah di pasar modal baik pasar primer maupun sekunder



Bentuk pendanaan yang inovatif dan kompetitif sehingga semakin memperkaya pengembangan produk yang ada di pasar modal



Kebutuhan alternatif instrumen investasi berdasarkan Islam seiring berkembangnya institusi-institusi keuangan Islam

b.

Perspektif emiten, dengan adanya obligasi syariah maka:



Mengembangkan akses pendanaan untuk masuk ke dalam institusi keuangan non konvensional



Memperoleh sumber pendanaan yang kompetitif



Memperoleh struktur pendanaan yang inovatif dan menguntungkan



Memberikan alternatif investasi kepada masyarakat pasar modal

16

Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, h. 240

228

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi: a. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya: (i) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk pebankan dan asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan

makanan

dan

minuman

haram;

(iv)

usaha

yang

memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. b. Peringkat investment grade. (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii) memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi publik. c. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen JII. Berbagai jenis struktur sukuk yang dikenal secara internasional dan telah mendapatkan endorsement dari The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan diadopsi dalam UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN: a. Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk ijarah dibedakan menjadi Ijarah al muntahiya bittamlik (sale and Lease back) dan Ijarah headlease dan Sublease. b. Sukuk Mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerja sama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal.

229

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c. Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerja sama menggabungkan modal untuk membangun proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak. d. Sukuk Istima’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Istima’ di mana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan. 3. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Surat Berharga Syariah negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. SBSN memiliki karakteristik: a. Sebagai bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title); pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan; b. Terbebas dari unsur riba, gharar, dan maysir; c. Penerbitannya melalui wali amanat berupa special purpose vehicle (SPV); d. Memerlukan underlying asset (sejumlah tertentu aset yang akan menjadi objek perjanjian (underlying asset)). Aset yang menjadi objek perjanjian harus memiliki nilai ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud, termasuk proyek yang akan atau sefang dibangun. Fungsi underlying asset tersebut adalah: (i) untuk menghindari riba, (ii) sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkannya sukuk di pasar sekunder, dan (iii) akan menentukan jenis struktur sukuk. Dalam sukuk Ijarah Al-Muntahiya Bittamlik atau Ijarah-Sale and Lease Back, penjualan aset tidak disertai penyerahan fisik aset tetapi yang dialihkan adalah hak manfaat (beneficial title) sedangkan kepemilikan aset (legal title) tetap pada obligor. Pada akhir periode sukuk, SPV wajib menjual kembali aset tersebut kepada obligor. e. Penggunaan Proceeds harus sesuai prinsip syariah.

230

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sukuk negara diterbitkan dengan tujuan: a. Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara; b. Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah; c. Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah; d. Diversifikasi basis investor; e. Mengembangkan alternatif instrumen investasi; f. Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara; dan g. Memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh sistem keuangan konvensional. Berinvestasi dalam sukuk negara, khususnya utuk struktur ijarah memiliki beberapa kelebihan, yaitu: a. Memberikan penghasilan berupa Imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif dibandingkan dengan instrumen keuangan lain. b. Pembayaran imbalan dan nilai nominal sampai dengan sukuk jatuh tempo dijamin oleh Pemerintah. c. Dapat diperjualbelikan di pasar sekunder. d. Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital gain). e. Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir (gmabling). f. Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan syariah. Dalam penerbitan SBSN terdapat beberapa pihak yang terlibat, yaitu: a. Obligor, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan sukuk jatuh tempo. b. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk dengan fungsi: (i) sebagai penerbit sukuk, (ii) menjadi counterpart pemerintah dalam transaksi pengalihan aset, (iii) bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan investor. c. Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.

231

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Secara sederhana, mekanisme Penerbitan Sukuk Ijarah Al Muntahiya Bittamlik (Sale and Lease Back) dapat dijelaskan berdasarkan skema berikut: Gambar 12.1. Mekanisme Penerbitan Sukuk Ijarah Al Muntahiya Bittamlik 17 Penerbitan sukuk Pemerintah (Obligor)

3

1

4

SPV

2 Pemegang Sukuk

Keterangan: 1) SPV dan obligor melakukan transaksi jual beli aset, disertai dengan Purchase and Sale Undertaking di mana pemerintah menjamin untuk membeli kembali aset dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada pemerintah, pada saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi default. 2) SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian aset. 3) Pemerintah menyewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa (ijara agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang diterbitkan. 4) Berdasarkan servicing agency agreement, pemerintah ditunjuk sebagai agen yang bertanggung jawab atas perawatan aset.

17

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.149

232

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Keterangan: a. Obligor membayar sewa (imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa. b. Imbalan dapat bersifat tetap (fixet rate) ataupun mengambang (floating rate). c. SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan depada investor.

Keterangan: a. Penjualan kembali oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal Sukuk, pada saat sukuk jatuh tempo. b. Hasil penjualan aset, digunakan oleh SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.

4. Reksa Dana Syariah Reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi. Di samping investasi secara mandiri atau secara langsung, Investor juga dapat meminta pihak lain yang dipercaya dan dipandang lebih memiliki kemampuan untuk mengelola investasi. Sehingga timbul kebutuhan akan manjer investasi yang memahami investasi secara syariah dan kebutuhan akan reksa dana syariah. Manajer investasi, dengan akad wakalah, akan menjadi wakil dari investor untuk kepentingan dan atas nama investor. Sedangkan reksa dana syariah akan bertindak dalam akad mudharabah sebagai mudharib yang mengelola dana/harta milik bersama dari para pemilik harta. Sebagai bukti penyertaan pemilik dana akan mendapat unit penyertaan dari reksa dana syariah. Tetapi reksa dana syariah sebenarnya tidak bertindak sebagai mudharib murni karena reksa dana syariah akan menempatkan kembali dana ke dalam kegiatan emiten melalui pembelian efek syariah. Dalam hal

233

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

ini, reksa dana Syariah berperan sebagai mudharib dan emiten berperan sebagai Mudharib. Oleh karena itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharabah Bertingkat. Dalam kedua situasi tersebut manajer investasi akan memberikan jasa secara langsung atau tidak langsung kepada pemilik harta (investor) yang ingin melakukan investasi mengikuti prinsip Syariah. Oleh karena di samping memahami investasi mengikuti prinsip syariah, manajer investasi juga harus mampu melakukan kegiatan pengelolaan yang sesuai dengan syariah. Sehingga diperlukan adanya panduan mengenai norma-norma yang harus dipenuhi oleh manjer investasi agar investasi dan hasilnya tidak melanggar ketentuan syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan gharar dan maysir. Berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 20/DSN-MUI/IX/2000 mendefinisikan reksadana syariah sebagai reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib almal/rabb al-mal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi. Selain itu fatwa DSN MUI pun memuat antara lain: a. Dalam reksa dana konvensional masih terdapat unsur-unsur

yang

bertentangan dengan Islam baik dari segi akad, pelaksanaan investasi maupun dari segi pembagian keuntungan b. Investasi hanya dapat dilakukan pada instrument keuangan yang sesuai dengan Islam, yang meliputi saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian deviden didasarkan pada tingkat laba usaha, penempatan pada deposito dalam bank umum syariah, dan surat utang yang sesuai dengan Islam. c. Jenis usaha emiten harus sesuai dengan Islam antara lain tidak boleh melakukan usaha perjudian dan sejenisnya, usaha pada lembaga keuangan ribawi, usaha memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman haram serta barang atau jasa yang merusak moral dan membawa

mudharat.

Pemilihan

dan

pelaksanaan

investasi

harus

dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak boleh ada unsur yang

234

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tidak jelas (gharar) . diantaranya tidak boleh melakukan penawaran palsu, penjualan barang yang belum dimiliki, insider trading/menyebarkan informasi yang salah dan menggunakan informasi orang dalam untuk keuntungan transaksi yang dilarang, serta melakukan investasi pada perusahaan yang tingkat utangnya lebih dominan dari modalnya. d. Emiten dinyatakan tidak layak berinvestasi dalam reksa dana syariah jika struktur utang terhadap modal sangat bergantung pada pembiayaan dari utang, yang pada intinya merupakan pembiayaan yang mengandung unsur riba, emiten memiliki nisbah utang terhadap modal lebih dari 82% (utang 45%, modal 55%), manajemen emiten diketahui bertindak melanggar prinsip usaha yang Islami. e. Mekanisme operasional reksa dana syariah terdiri dari: wakalah antara manajer investasi dan pemodal, serta mudharabah antara manajer investasi dengan pengguna investasi f. Karakteristik mudharabah adalah sebagai berikut: (1) pembagian keuntungan antara pemodal (yang diwakili oleh manajer investasi) dan pengguna investasi berdasarkan proporsi yang ditentukan dalam akad yang telah ditentukan bersama dan tidak ada jaminan atas hasil investasi tertentu kepada si pemodal; (2) pemodal menanggung risiko sebesar dana yang telah diberikan; (3) manajer investasi sebagai wakil pemodal tidak menanggung risiko kerugian atas investasi yang dilakukan sepanjang bukan karena kelalaian. g. Penghasilan investasi yang dapat diterima dalam reksa dana syariah adalah: 1) Dari saham dapat berupa:  Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagi dari laba baik yang dibayar dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk saham  Right yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh emiten  Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual beli saham di pasar modal

235

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2) Dari obligasi yang sesuai dengan syariah: bagi hasil yang diterima secara periodik dari laba emiten 3) Dari surat berharga pasar uang yang sesuai dengan Islam: bagi hasil yang diterima oleh issuer 4) Dari deposito dapat berupa: bagi hasil yang diterima dari bank-bank Islam Pada dasarnya setiap kegiatan investasi mengandung dua unsur yaitu keuntungan dan risiko. Adapun keuntungan dalam menginvestasikan dananya melalui reksa dana ialah 18:  Tingkat likuiditas yang baik, yang dimaksud dengan likuiditas di sini adalah kemampuan untuk mengelola uang masuk dan keluar dari reksa dana. Dalam hal ini yang paling sesuai adalah reksa dana untuk saham-saham yang telah dicatatkan di bursa dimana transaksi terjadi setiap hari, tidak seperti deposito berjangka atau sertifikat deposito periode tertentu. Selain itu, pemodal dapat mencairkan kembali saham/unit penyertaan setiap saat sesuai dengan ketetapan yang dibuat masing-masing reksa dana sehingga memudahkan investor untuk mengelola kasnya  Manajer professional, reksa dana dikelola oleh manajer investasi yang handal, ia mencari peluang investasi yang paling baik untuk reksa dana tersebut. Pada prinsipnya, manajer investasi bekerja keras untuk meneliti ribuan peluang investasi bagi pemegang saham/unit reksa dana. Adapun pilihan investasi itu sendiri dipengaruhi oleh tujuan investasi dari reksa dana tersebut  Diversifikasi, adalah istilah investasi dimana anda tidak menempatkan seluruh dana yang dimiliki di dalam satu peluang investasi, dengan maksud membagi risiko. Manajer investasi memilih berbagai macam saham, sehingga kinerja satu saham tidak akan mempengaruhi keseluruhan kinerja reksa dana.

18

Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, h. 257

236

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Biaya rendah, karena reksa dana merupakan kumpulan dana dari banyak investor

sehingga

besarnya kemampuan

melakukan

investasi akan

menghasilnya biaya transaksi yang murah. Selain keuntungan ada pula risiko yang terjadi pada investasi di reksa dana, yaitu 19:  Risiko perubahan kondisi ekonomi dan politik  Risiko berkurangnya nilai unit penyertaan  Risiko wanprestasi oleh pihak-pihak terkait  Risiko likuiditas  Risiko kehilangan kesempatan transaksi investasi pada saat pengajuan klaim asuransi 5. Efek Beragun Aset Syariah Efek Beragun Aset Syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ketentuan melakukan Penawaran umum EBA Syariah, yaitu: a. Mengikuti Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran, Peraturan Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) serta ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya: b. Mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) Syariah dan informasi tambahan dalam propektus hal-hal sebagai berikut:  Bahwa aset yang menjadi portofolio EBA Syariah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;  Wakil manajer investasi yang melaksanakan pengelolaan KIK-EBA Syariah dan penanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan kustodian pada 19

Ibid, h. 258

237

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bank Kustodian mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;  Kata “syariah” pada nama EBA yang diterbitkan;  Mekanisme pembersihan portofolio dan dana EBA Syariah dari unsurunsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;  Bahwa pengelolaan dana EBA Syariah dilarang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;  Akad syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam penerbitan efek;  Ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak;  Besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, margin, atau fee, dan  Rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, margin, atau fee.20 6. Warran Syariah Fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Warran Syariah pada tanggal 6 maret 2008 memastikan bahwa kehalalan investasi di pasar modal tidak hanya berhenti pada instrumen efek yang bernama saham saja, tetapi juga pada produk derivatifnya. Produk turunan saham (derivatif) yang dinilai sesuai dengan kriteria DSN adalah juga warran. Berdasarkan fatwa pengalihan saham dengan imbalan (warran), seorang pemegang saham diperbolehkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain dengan mendapat imbalan. Mekanisme warran bersifat opsional di mana warran merupakan hak untuk membeli sebuah saham pada harga yang telah ditetapkan dengan waktu yang telah ditetapkan pula. Misalkan warran saham ABCD jatuh tempo pada November 2010, dengan exercise price Rp 1000,-. Artinya, jika investor memiliki warran saham ABCD, maka dia berhak untuk membeli satu saham ABCD itu pada bulan November 2010 pada harga Rp 1000,-. Warran sebelum jatuh tempo bisa diperdagangkan. Dan hasil penjualannya warran tersebut merupakan keuntungan bagi investor yang memilikinya.

20

Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah.

238

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Risiko Berinvestasi di Pasar Modal Risiko investasi di pasar modal pada prinsipnya semata-mata berkaitan dengan kemungkinan terjadinya fluktuasi harga (price volatility) 21. 1. Risiko daya beli (purchasing power risk) Investor mencari atau memilih jenis investasi yang memberikan keuntungan yang jumlahnya sekurang-kurangnya sama dengan investasi yang dilakukan sebelumnya. Di samping itu, investor mengharapkan memperoleh pendapatan atau capital gain dalam waktu yang tidak lama. Akan tetapi, apabila investasi tersebut memerlukan waktu 10 tahun untuk mencapai 60% keuntungan sementara tingkat inflasi selama jangka waktu tersebut telah naik melebihi 100%, maka investor akan menerima keuntungan yang daya belinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperoleh semula. 2. Risiko bisnis (business risk) Risiko bisnis adalah suatu risiko menurunnya kemampuan memperoleh laba yang pada gilirannya akan mengurangi pula kemampuan perusahaan (emiten) membayar imbalan (bunga dalam konvensional) atau dividen. 3. Risiko tingkat bunga (interest rate risk) Di tengah-tengah sistem keuangan global yang masih dikelilingi oleh sistem bunga saat ini, naiknya tingkat bunga biasanya akan menekan harga jenis suratsurat berharga yang berpendapatan tetap termasuk harga-harga saham. Biasanya, kenaikan tingkat bunga berjalan tidak searah dengan harga-harga instrumen pasar modal. Risiko naiknya tingkat bunga misalnya jelas akan menurunkan harga-harga di pasar modal. Oleh karena tu, investor di pasar modal syariah harus memposisikan dirinya sebagai rekan bagi perusahaan yang siap berbagi laba dan rugi. 4. Risiko pasar (market risk) Apabila pasar bergairah (bullish) umumnya hampir semua harga saham di bursa efek mengalami kenaikan. Sebaliknya apabila pasar lesu (bearish), saham-saham akan ikut pula mengalami penurunan. Perubahan psikologi pasar dapat

21

Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 157-159

239

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menyebabkan harga surat berharga anjlok terlepas dari adanya perubahan fundamental atas kemampuan perolehan laba perusahaan. 5. Risiko likuiditas (liquidity risk) Risiko ini berkaitan dengan kemampuan suatu surat berharga untuk dapat segera diperjualbelikan dengan tanpa mengalami kerugian yang berarti.

F. Strategi Pengembangan Pasar Modal Syariah Dalam rangka mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang memiliki motif investasi yang didasari prinsip syariah dan dilandasi akan keyakinan potensi berkembangnya pasar modal syariah yang akan menjadi salah satu pilar penunjang industri pasar modal Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK)―Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) telah menyusun Master Plan Pasar Modal Indonesia (2005-2009). 22 Di dalamnya yang di dalamnya terdapat dua strategi utama pengembangan pasar modal berbasis syariah, yaitu: 1. Penyusunan kerangka hukum yang dapat memfasilitasi pengembangan pasar modal berbasis syariah dan mendorong pengembangannya; 2. Mendorong pengembangan serta penciptaan produk-produk pasar modal berbasis syariah. Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Danareksa Investment Management (DIM) pada tahun 2000 telah meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) yang terdiri dari 30 saham yang sesuai dengan prinsip syariah. Selanjutnya dua strategi utama tersebut dijabarkan Bapepam-LK dalam implementasi strategi yaitu: 1. Mengatur penerapan prinsip syariah. 2. Menyusun standar akuntansi. 3. Melakukan sosialisasi penerapan prinsip syariah di pasar modal dalam rangka peningkatan pengetahuan dan pemahaman pelaku pasar. 4. Mengembangkan produk pasar modal berbasis syariah yang telah ada. 5. Menciptakan produk pasar modal berbasis syariah yang baru.

22

Bapepam-LK, Master Plan Pasar Modal Indonesia 2005-2009, 2005, hlm. 64.

240

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

6. Melakukan kerja sama pengkajian pengembangan produk pasar modal berbasis syariah atara regulator, DSN-MUI, dan pelaku pasar. Pada tanggal 23 November 2006, Ketua Bapepam-LK Kemenkeu RI telah menerbitkan dua buah peraturan terkait pasar modal syariah, yaitu: (1) Peraturan No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, dan (2) Peraturan No.IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal. Pada tahun-tahun berikutnya juga akan disusun ketentuan mengenai Standar Akuntansi dan Sertifikasi Profesi yang terkait dengan pasar modal syariah. Untuk pengembangan produk, Bapepam-LK telah bekerja sama dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) sehingga emiten tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan DSN dalam proses penerbitan efek syariah.

241

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 13 LEMBAGA AMIL ZAKAT A.

Definisi Zakat Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyari’atkan Allah kepada umat

Islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah setara dengan shalat, puasa dan ibadah haji. Akan tetapi, zakat tergolong ibadah ma’liah, yakni ibadah melalui harta kekayaan dan bukan ibadah badaniah yang pelaksanaannya dengan fisik. Hal inilah yang membedakan zakat dengan ibadah ritual lainnya, seperti ibadah shalat, puasa maupun haji, dimana manfaatnya hanya terkena kepada individu tersebut semata, sedangkan zakat manfaatnya bukan untuk individu tersebut semata namun bermanfaat pula bagi orang lain. Allah mewajibkan zakat kepada individu yang mampu dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar cinta hamba kepada Penciptanya daripada dengan hartanya. Pelaksanaan zakat oleh manusia bukanlah karena Allah itu miskin, melainkan karena hal itu menjadi suatu mekanisme yang bersifat built-in dalam Islam untuk mengatasi permasalahan sosial di masyarakat. Hal inilah yang tidak terdapat dalam agama lain. Allah SWT menginginkan agar umatnya selain memiliki kesalehan individu –dibuktikan dengan ibadah ritual keseharian seperti shalat, puasa dan haji-, namun harus pula memiliki kesalehan sosial kepada sesama di masyarakat. Ini membuktikan bahwasanya zakat sebagai suatu sistem merupakan sistem jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia ini melebihi sistem jaminan sosial yang ada saat ini yang telah disusun dan diaplikasikan secara sistematis di negara-negara Barat. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti yaitu albarakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), ath-thaharatu (kesucian) dan ash-shalahu (keberesan). Makna keberkahan yang terdapat pada zakat berarti dengan membayar zakat, maka zakat tersebut akan memberikan berkah kepada harta yang dimiliki dan insya Allah akan membantu meringankan kita di akhirat kelak, sebab salah satu harta yang tidak akan hilang meskipun sampai kita di alam barzah adalah amal jariyah selain doa anak yang saleh dan ilmu yang

242

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bermanfaat. Zakat berarti pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda kita, maka terjadilah suatu sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan berkembangnya fungsi uang itu dalam kehidupan perekonomian di masyarakat, hal ini dalam ekonomi sering dikenal dengan efek multiplier zakat. Sedangkan zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda milik orang lain, yang dengan segaja atau tidak sengaja, telah termasuk ke dalam harta benda kita. Menurut Lisan al-Arab arti dasar dari kata zakat, ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji: semuanya digunakan di dalam Qur’an dan Hadits. Sedangkan makna terminologi -istilah yang digunakan dalam pembahasan fiqh Islam- adalah “mengeluarkan sebagian dari harta tertentu yang telah mencapai nishab (takaran tertentu yang menjadi batas minimal harta tersebut diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya)”, diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (berdasarkan pengelompokan yang terdapat dalam Al-Qur’an), dan harta tersebut merupakan milik sempurna –dalam artian merupakan milik sendiri dan tidak terdapat kepemilikan orang lain di dalamnya- serta telah genap usia pemilikannya selama setahun, hal ini dikenal dengan istilah haul. Barang hasil tambang, barang temuan dan hasil pertanian turut pula terkena hal di atas, meskipun untuk jangka waktu kepemilikannya (haul) berbeda. Barang tambang wajib untuk dikeluarkan zakatnya pada saat setelah barang tersebut ditambang. Sementara barang temuan wajib dikeluarkan zakatnya pada saat barang tersebut ditemukan. Dan produk hasil pertanian wajib dikeluarkan zakatnya pada saat panen. Sedangkan secara istilah, zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu dimana yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya. Ibnu Taimiyah berkata, “jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya”. Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan “zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya”.

243

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B.

Sejarah Zakat

1. Syariat Zakat Pra-Rasulullah Pada dasarnya semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang tidak mengenal hubungan dengan kitab suci yang berasal dari langit (samawi), tidak kurang perhatiannya pada segi sosial yang tanpa segi ini persaudaraan dan kehidupan yang sentosa tidak mungkin terwujud. Demikianlah di lembah Eufrat – Tigris 4000 tahun sebelum masehi, kita menemukan Hammurabi, seorang yang buat pertama kalinya menyusun peraturan-peraturan tertulis yang masih dapat dibaca sekarang, berkata, bahwa Tuhan mengirimkannya ke dunia ini untuk mencegah orang-orang kaya bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang lemah, membimbing manusia, serta menciptakan kemakmuran buat umat manusia. Dan beribu-ribu tahun sebelum masehi orang-orang Mesir kuno selalu merasa menyandang tugas agama sehingga mengatakan, “orang lapar kuberi roti, orang yang tidak berpakaian kuberi pakaian, kubimbing kedua tangan orang-orang yang tidak mampu berjalan ke seberang, dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang yang ditimpa hujan badai. Zakat bukan hanya dibawa oleh syari’at Nabi Muhammad SAW. Namun telah lama diturunkan dan dikenal dalam risalah-risalah agama samawiyah sejak dahulu kala sebelum risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, antara lain disampaikan dengan jalan wasiat. Allah mewasiatkan kepada Rasul-Rasul-Nya, lalu mereka menyampaikan kepada umat mereka yang memerintahkan umatnya untuk membayarkan zakat sebagai suatu kesatuan dengan pelaksanaan ibadah shalat. Al-Qur’an, misalnya, mencatat wasiat Allah melalui pembicaraan lisan Isa Al-Masih sebagaimana tertuang dalam surat Maryam, ayat 30-31 yaitu:

                    

244

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

”Isa berkata, Sesunggunya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada. Dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.”(Q.S.Maryam-19 :30-31). Berdasarkan ayat di atas, memperlihatkan bahwa zakat tersebut telah disyariatkan pula kepada kaum Nabi Isa AS. Dimana salah satu syariat yang dibawa oleh beliau adalah syariat untuk menegakkan shalat dan membayar zakat. Hal ini sekaligus membantah argumentasi bahwa syariat zakat hanya diwajibkan kepada kaum Nabi Muhammad Saw semata. Tidak hanya kepada Isa AS, Zakat juga disyari’atkan kepada Nabi-Nabi yang lebih dahulu, mulai Nabi Ibrahim AS, Ismail AS, Ishaq AS, Ya’qub AS, hingga Musa As. Pensyari’atan zakat berada dalam satu rangkaian dengan ibadah fardhu yang lain, seperti shalat dan puasa. Rangkaian ibadah shalat dengan zakat ternyata bukan hanya pada masa Nabi Muhammad saja, tetapi juga telah menjadi rangkaian syariat pada masa-masa Nabi terdahulu. Petunjuk bahwa zakat telah disyari’atkan pula kepada Nabi Ibrahim AS, beserta anak cucunya ada dalam surat Al-Anbiya ayat 72-73:

                           “Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub sebagai suatu anugrah (dari pada kami). Dan masing-masingnya kami jadikan orang-orang yang shaleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpinpemimpin, yang memberi petunjuk dengan perintah kami, dan telah kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada kami mereka selalu menyembah”(Q.S Al-Anbiya : 72-73). Ayat di atas menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq dan Nabi Ya’qub telah diangkat oleh Allah SWT sebagai pemimpin yang memberikan petunjuk kepada umatnya berdasarkan tuntunan yang diajarkan oleh Allah. Dimana

245

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

salah satu ajaran syariat yang dibawa oleh mereka adalah perintah untuk berbuat kebajikan, perintah untuk mengerjakan shalat, dan perintah untuk membayar zakat sebagai wujud kecintaan dan kepatuhan seorang hamba kepada penciptanya. Serta sebagai bukti pengorbanan kepada Allah SWT yang mengalahkan kecintaan umat terhadap harta benda yang dimilikinya. Syari’at zakat untuk Nabi Ismail AS telah dijelaskan di dalam surat Maryam, ayat 54-55, yaitu:

                       “Dan ceritakanlah (hai Muhammad pada mereka) Isa, Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan ia adalah seorang Rasul dan Nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya”.(Q.S. Maryam : 54-55) Syari’at zakat untuk Bani Israil diwahyukan Allah SWT Iewat Nabi Musa AS, dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 12 yang berbunyi :

                                                  “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: ”Sesungguhnya Aku bersama kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan beriman kepada Rasul-Rasul-Ku, dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada mereka Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku

246

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku masukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barang siapa yang kafir diantara kamu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”.(Q.S. Al-Maidah : 12) Sedangkan keadaan Ahli Kitab secara umum yang memperoleh syari’at zakat, Allah jelaskan dalam surat Al-Bayyinah ayat 4-5, yaitu :

                                                            Dan tidak berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan demikian itu adalah agama yang lurus.” (QS Al Bayyinah: 4 -5 ) Jelaskan, bahwa zakat telah lama disyari’atkan sebelum Rasulullah Muhammad SAW diutus untuk menyampaikan agama Islam. Hanya saja, penjelasan Al-Qur’an bersifat global, Al-Qur’an tidak merinci mekanisme pengeluaran, pemungutan, dan pemerataan zakat pada Nabi-Nabi terdahulu. Dengan demikian kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa nasib orang-orang miskin dan lemah itu tergantung kepada belas kasih orang-orang kaya. Bila orang-orang kaya itu tergerak untuk berbuat baik, karena cinta kepada Allah, takut kepada hari kiamat, maupun karena ingin dipuji dan rasa keprimanusiaan, maka mereka akan memberikan

247

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

sesuatu sekalipun sedikit sekali kepada orang-orang lemah dan miskin itu, lalu pantaslah sudah disebut sebagai orang yang baik. Tetapi bila mereka mabuk akan harta dan materi, sengsaralah orang-orang miskin itu dan menjadi mangsa cengkraman kemelaratan, sedangkan orang-orang yang akan membela dan memperjuangkan hak-hak mereka tidak ada, oleh karena mereka tidak memiliki hakhak yang jelas. Demikianlah bahaya kebajikan yang diserahkan kepada kemurahan hati mereka saja. 2. Masa Rasulullah Sebagaimana disyari’atkan kepada Rasul-Rasul terdahulu, zakat juga disyaria’atkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pensyari’atan zakat telah terjadi sejak Nabi berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan shalat. Di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat. Dari sekian ayat itu diantaranya adalah ayat-ayat makiyyah. Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di Kota Mekkah –saat umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan- sudah mempunyai kitab suci yang memberikan perhatian penuh dan terus menerus pada masalah sosial penanggulangan kemiskinan tersebut. Ayat – ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekkah tidak secara tegas menyatakan kewajiban zakat, umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya bercerita tentang hak-hak fakir miskin atau ketentraman dan kebahagiaan orangorang yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturukan pada periode Mekah hanya bersifat anjuran mengenai bershadaqah, lafal yang digunakan pun lebih banyak menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat bahkan disandingkan dengan himbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut masih belum bersifat larangan. Bahwasanya pada periode Mekkah syariat zakat belum menjadi syari’at yang bersifat wajib dan masih bersifat himbauan dan anjuran, karena ayat-ayat Mekkah tidak memakai sighat amar. Hal itu misalnya bisa diperhatikan dalam ayat makkiyah tentang zakat berikut ini :

248

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Hal ini ditambahkan pada surat Lukman ayat 2-4 bahwasanya orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

                   Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (Q.S Luqman 2-4) Keseluruhan ayat-ayat Makiyyah di atas bersifat informatif, belum menetapkan zakat sebagai kewajiban seorang muslim, baik zakat harta maupun zakat fitrah. Zakat hanya dipandang sebagai perilaku orang-orang yang terpuji, ciri orang yang beriman, bertaqwa dan saleh. Ayat-ayat zakat yang turun pada periode Mekkah baru bersifat umum belum ada ketentuan detail hukum dan jenis harta yang wajib dizakati serta batasan nishab dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Semua itu diserahkan kepada rasa iman, kemurahan hati dan rasa tanggung jawab seseorang atas orang lain. Ayat-ayat yang turun di Mekkah tidak hanya hanya menghimbau agar orang-orang miskin diperhatikan dan diberi makan, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang mukmin mendorong pula orang lain memberi makan dan memperhatikan orangorang miskin tersebut dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat. Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di Madinah, tetapi mengapa Qur’an membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu banyak dalam surat-surat yang turun di Mekkah. Hal ini dikarenakan adalah bahwa zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Mekkah itu tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur dan negara bertanggung jawab mengelolanya. Sementara di Mekkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama

249

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

orang-orang yang beriman. Sifat Syari’at zakat pada periode Mekkah yang demikian karena secara sosiologis umat Islam masih merupakan kelompok minoritas yang sering tertindas dan ditindas oleh mayoritas kafir Quraisy. Kaum muslimin di Mekkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama mereka. Mereka tidak memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, kecuali kekuatan Iman dan Islam yang merekat pada jiwa mereka. Karena kebanyakan dari mereka lebih memilih meninggalkan harta bendanya daripada harus meninggalkan iman Islam mereka. Sementara pada periode Madinah, secara politis kaum muslimin telah menjadi sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara sendiri, menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri, mereka terdiri atas penguasa, pemilik tanah, pedagang dan sebagainya. Mereka sudah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena itu beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan tersebut, yaitu bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di samping didasarkan atas perasaan iman tersebut, kecenderungan itu terlihat pula pada penerapan zakat. Dalam kondisi demikian, umat Islam memerlukan perantara untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah terbentuk itu. Ayat-ayat Madaniyah tentang zakat yang mulai terlihat unsur kewajibannya, merupakan bagian dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu. Zakat pada periode Madinah telah menjadi suatu instrumen fiskal utama yang cukup menentukan. Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Pada tahun kedua Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus, yakni penetapan kelompok siapa saja yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq az-zakat). Saat itu, mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan miskin. Karena pada masa itu zakat telah diarahkan sebagai suatu instrumen fiskal yang berfungsi sebagai suatu instrumen pemerataan atas ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat. Hal itu diistinbathkan dari surat Al-Baqarah ayat 271, yaitu:

250

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

                        “Jika kamu menampakkan pemberian sedekahmu, maka itulah pekerjaan yang sebaik-baiknya. Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, dan kamu serahkan kepada orang-orang fakir, maka itulah yang lebih baik bagimu (QS Al-Baqarah: 271)” Ketentuan di atas berlangsung hingga tahun kesembilan Hijriyah. Karena pada tahun kesembilan Hijriyah Allah menurunkan surat At-Taubah ayat 60 yang menetapkan ketentuan baru bahwa yang menjadi kelompok yang berhak untuk menerima zakat tidak hanya terbatas pada fakir dan miskin, tetapi bertambah menjadi enam kelompok lagi.

                          “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.(QS At-Taubah: 60)” Dalam praktiknya, Nabi membagi rata hasil zakat yang terkumpul kepada delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh masing-masing kelompok tersebut. Maka konsekuensinya, ada salah satu kelompok yang tidak memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada kelompok lain yang lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan Nabi adalah berdasarkan azas manfaat dan prioritas, kelompok-kelompok mana saja yang harus menjadi prioritas utama untuk dibagikan zakat dan mana yang menjadi prioritas

251

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terakhir. Skala prioritas ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Untuk mempermudah mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat, Nabi mengangkat petugas khusus yang dikenal sebagai ‘amil. Amil yang diangkat Rasul ada dua macam, pertama, amil yang berdomisili di dalam kota madinah, statusnya bersifat free-lance, tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat. Diantara sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khathab. Kedua, Amil yang tinggal di luar kota Madinah, status mereka adalah sebagai wali pemerintah pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Diantara sahabat yang pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin jabal. Sebagai amil, mereka diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk langsung mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi konsep pendistribusian pada masa Nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana zakat yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat. Karena nabi memandang bahwa setiap daerah tentu memiliki kebutuhan dan orangorang yang akan dibantu sendiri. 3. Masa Khulafaur Rasyidin Pada masa Abu Bakar, selama dua tahun sepeninggal wafatnya Rasullulah SAW, sebenarnya belum terjadi perubahan mendasar tentang kebijakan dalam pengelolaan zakat dibandingkan dengan masa Rasullulah, karena kebijakan yang diambil oleh Abu Bakar secara garis besar sama dengan pada masa Rasulullah. Namun pada periode ini terjadi sebuah peristiwa penting menyangkut zakat, yakni, menjamurnya para pembangkang zakat di berbagai wilayah Islam. Sebahagian kaum muslim menganggap bahwa hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak. Demikian pula hanya pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat tersebut, kelompok pembangkang zakat itu antara lain dipimpin oleh Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah, dan Sajah Tulaihah. Abu Bakar kemudian menyatakan perang kepada mereka, karena mereka dinilai telah murtad.

252

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kebijakan Abu Bakar ini mulanya ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada hadits nabi yang menyatakan,” Saya diutus untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”. Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafal syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan. Namun Abu Bakat beragumen bahwa teks hadist di atas memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu,” kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.” Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogkan zakat dengan shalat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Dengan argumentasi semacam itu akhirnya Umar menyetujui. Dan Abu Bakar pun beragumentasi pada Al-Qur’an, dimana negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara. Sikap Abu Bakar dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Ia tidak dapat sama sekali menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (shalat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah,

walaupun

hanya

berupa

seekor

kambing

ataupun

anaknya.

Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Ia tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka. Sehingga setiap warga negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki. Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkas itu harus diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah utama dalam Islam. Dengan demikian bahwa memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam dalam periode Abu Bakar agaknya pertama kali melancarkan perang untuk

253

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah. Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar pun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orangorang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Ia sendiri mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah. Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk dalam kelompok asnaf penerima zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.

Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah,

tempat yang terletak di daratan tinggi Madinah. Ia tidak mengangkat satu pun pengawal atau pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka ia menjawab.” Jangan takut, tidak ada sedikit pun harta yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan,” Ketika Abu Bakar meninggal, dan usai dikebumikan, Umar bin Khatab memanggil sahabat terpercaya, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan satu dirham pun di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham. Pada masa Umar menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orangorang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah. Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat akseklusif-operasional. Di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul Mal. Lembaga yang berfungsi mengelola sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap tahun

254

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

selama sehari. Umar berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, aku tidak sedikitpun tinggalkan harta di dalamnya.” Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar melakukan ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya pada diri seseorang. Pada situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakkan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik, maka akan lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan diberikan kepada orang lain yang jauh lebih memerlukan. Dan juga pada masa beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin Khattab. Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah yang diterimanya.

Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor

tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat. Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan masjid Nabawi. Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas, sementara itu telah terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj

255

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus mengikuti tuntunan syariat. Kebijakan Ali tentang zakat mengikuti kebijakan pengelolaan zakat seperti pada khalifah-khalifah sebelumnya. Bahkan Ali terkenal sangat berhati-hati dalam mengelola dan mendayagunakan dana hasil zakat. Seluruh harta yang ada di Baitul Mal selalu distribusikan untuk kepentingan umat Islam. Ia tidak pernah mengambil harta tersebut untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Beliau kembali menerapkan kebijakan sesuai dengan kebijakan seperti pada masa Rasulullah dan Abu Bakar yang langsung mendistribusikan keseluruhan dana zakat sampai habis, dan meninggalkan sistem cadangan devisa yang telah dikembangkan pada masa Umar bin Khattab. Meski masa kekhalifahanya menghadapi persoalan berat, akibat peristiwa terbunuhnya Usman yang rentan dengan masalah politik, Ali tidak pernah mengabaikan tugasnya sedikit pun sebagai khalifah, termasuk dalam pengelolaan zakat. Ali sangat memperhatikan fakir miskin dan sangat bersimpati kepada nasib mereka. Karena beliau memandang penting zakat sebagai suatu instrumen fiskal yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan sosial dan mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat. 4. Zakat di Indonesia Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam serta sebagai pendanaan dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Di Sumatra misalnya, Belanda terlibat dalam perang besar berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik, dan juga di tempat-tempat lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam, umumnya mereka kuat dan gigih dalam melawan penjajahan Belanda, karena mereka memiliki sumber dana yang kuat berupa hasil zakat. Tempat yang dijadikan pengelolaan sumber-sumber tersebut adalah masjid, surau atau langgar. Sebelum datang penjajah di Indonesia, terdapat beberapa Kesultanan yang mencapai kejayaan berkat dukungan dana intern dari umat Islam sendiri. Misalnya, Kesultanan di Aceh, Sumatera Barat, Banten, Mataram, Demak, Gowa dan Ternate. Kesultanan- kesultanan tersebut tercatat telah berhasil mendayagunakan potensi ekonomi umat dengan memperbaiki kualitas ekonomi rakyat, antara lain dengan

256

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mengatur

sumber-sumber

keuangan

Islam

seperti

pendayagunaan

zakat,

pemeliharaan harta wakaf, wasiat, infak dan sedekah. Dana yang bersumber dari umat cukup memadai untuk memadai untuk membiayai kepentingan Islam. Saat itu, seorang ulama kenamaan, Muhammad Arsyad Al-Banjari, telah menggulirkan gagasan brilian tentang zakat. Menurutnya, zakat tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi juga harus bersifat produktif. Sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan oleh mustahik. Zakat yang hanya konsumtif tidak akan mampu mengangkat harkat kemanusiaan dan kemiskinan. Sebab zakat yang bersifat konsumtif tidak akan membantu mereka untuk menjadi mandiri, justru mereka akan menjadi semakin malas. Hal ini berakibat bahwa pengelolaan zakat yang tadinya bertujuan untuk membantu mengentaskan kemiskinan, justru menjadi membantu menyuburkan kemiskinan. Karena itu, menurut Al-Banjari, pola alokasi zakat harus dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, bagi fakir miskin yang tidak memiliki keterampilan, hendaknya tidak diberi berupa emas, perak atau uang, tetapi berupa barang atau keterampilan serta keahlian yang bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu lama dan dapat membuat mereka menjadi lebih mandiri. Kedua, bagi fakir miskin yang memiliki keterampilan, diberikan alat-alat keterampilan yang dibutuhkan oleh mereka dalam mewujudkan keterampilan dan keahlian yang mereka miliki. Ketiga, bagi fakir miskin yang telah memiliki pekerjaan, namun belum memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka harus diberi modal usaha agar mereka dapat berdagang sebagai pemasukan hidupnya, sebab ada hadits yang berkata “bahwa 9 dari 10 pintu rejeki terdapat pada perniagaan. Pada masa penjajahan, semula pemerintah Hindia Belanda belum mencampuri urusan sumber-sumber keuangan Islam karena hal itu dipandang sebagai urusan intern umat Islam dan menurut pasal 134 ayat 2 indische Staatsregeling (IS), pemerintah Hindia Belanda harus bersikap netral terhadap semua agama yang ada di seluruh daerah kekusaannya (Policy of religion neutrality). Hal ini didasari karena mereka belum memandang besarnya potensi zakat sebagai suatu sumber keuangan umat, terutama sebagai pendanaan dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, serta dalam membantu mensejahterakan

257

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

umat. Namun setelah melihat betapa besar potensi sumber keuangan Islam, yang umumnya dikelola di masjid-masjid dalam mendukung perjuangan antikolonial, seperti pengalaman Perang Paderi di Sumatera (1821-1837), Perang Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1903), maka serta merta sumbersumber keuangan tersebut diatur dalam suatu ketentuan khusus oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal 4 Agustus 1893, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Bijblad nomor 1892 yang berisi kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat, Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan dalam Bijblad nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905. Kalau pada masa sebelumnya kas-kas masjid yang antara lain bersumber zakat dari zakat dikelola sepenuhnya oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya dan dipergunakan untuk membantu mensejahterakan umat, maka setelah berada di bawah kendali dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, danadana tersebut dimanfaatkan untuk memberikan sumbangan kepada rumah sakit Zending di Mojowarno yang pendirinya diprakarsai oleh Pendeta Johanes Kruyt (1835-1918), kas masjid di Kediri dimanfaatkan untuk membiayai sebuah asrama pelacur, dan secara rutin kas-kas masjid juga dimanfaatkan untuk membantu aktifitas Kristen. Sehingga telah terjadi penyimpangan penggunaan dana umat Islam oleh pemerintah Belanda. Anehnya lagi, kas masjid itu tidak bebas digunakan untuk keperluan umat Islam, seperti pemugaran dan pembangunan masjid, kas masjid lebih bebas digunakan untuk membiayai pemugaran rumah penghulu, peralatan kantor bupati dan tukang kebun penghulu, ketimbang untuk kepentingan masjid. Dalam meminimalkan jumlah saldo juga dilakukan Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dalam rangka mematikan semangat perjuangan rakyat dalam perang antikolonial. Selama Pemerintahan Hindia Belanda efisiensi dan efektifitas sumbersumber keuangan Islam tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemberi zakat tidak lagi memakai jasa amil yang pernah berkedudukan di masjid, tetapi yang

258

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bersangkutan menyerahkan

langsung zakat dan sumbangannya kepada pengelola

keagamaan, karena atas dasar kemaslahatan umat, dan diikuti dengan perasaan takut bahwa apabila menggunakan amil maka zakat tersebut akan disalahgunakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Atas pertimbangan Snouck Hurgronje, dalam kapasitasnya sebagai penasehat senior Hindia Belanda, kebijakan Hindia Belanda akhirnya mengalami perubahan. Ia menyarankan agar kas masjid tidak lagi digunakan untuk kepentingan missionaris kristen dan pelacur, tetapi diarahkan pada sarana

kepentingan

umum

seperti

balai

pertemuan,

pemugaran

masjid,

pemberantasan tikus, dan lain-lain. Ia tidak setuju bila ketentraman ibadat umat Islam terusik, karena secara politis tidak menguntungkan Hindia Belanda. Sebab lama-kelamaan umat yang jenuh dengan kondisi ini justru akan berbalik menjadi memusuhi Hindia Belanda dan mendukung perjuangan melawan antikolonial Belanda. Saat penjajah Jepang datang, awalnya juga tidak memperhatikan sumbersumber keuangan Islam, tetapi beberapa waktu kemudian, setelah mereka menyadari betapa besar dan yang bisa terkumpul melalui sumber-sumber keuangan Islam, maka Opsir Kaigun (pimpinan Angkatan Laut Jepang) mulai mendekati Islam dengan cara merangkul para ulama seraya menjanjikan tiga program dalam bidang sosial keagamaan, salah satunya ialah dengan membangun dan mendirikan kantor pembendaharaan Islam atau Baitul-Mal sebagai lembaga yang akan mengumpulkan semua sumber-sumber keuangan Islam seperti zakat. Namun seiring dengan perjalanan waktu terkuak pula niat buruk mereka, dimana tujuan Jepang membentuk lembaga tersebut adalah sebagai sumber pendanaan perang Jepang, dan sebenarnya tidak mempedulikan nasib rakyat Indonesia khususnya umat Islam. Sehingga hal ini menimbulkan resistensi kembali di kalangan umat. Setelah Indonesia merdeka, seluruh potensi sumber keuangan Islam serta merta dikuasai kembali oleh umat Islam. Kalangan cendekiawan muslim pada periode awal kemerdekaan sudah ada yang mulai menengok potensi besar ini sebagai salah satu alternatif untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang berantakan. Karena zakat dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen fiskal bagi negara, terutama setelah melihat potensi yang dapat dihimpun. Yusuf Wibisono, saat

259

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bertindak sebagai menteri keuangan RI, tertarik memasukkan sumber-sumber keuangan Islam sebagai salah satu komponen dalam sistem perekonomian Indonesia, mengingat besarnya potensi zakat yang dapat dikumpulkan. Demikian pula kalangan parlemen ketika itu menghendaki pengaturan sumber keuangan Islam dalam suatu Undang-undang khusus yang pengelolaan zakat langsung ditangani oleh negara. Namun situasi saat itu tidak memungkinkan lahirnya sebuah undangundang, hal ini terkait dengan kondisi sosial politik yang belum stabil ditambah dengan masih terdapatnya kemungkinan agresi Belanda. Dalam situasi semacam itu, seseorang pakar hukum terkemuka Prof. Hazairin mengembangkan sebuah pola pemahaman yang mendukung gagasan keterlibatan negara, termasuk dengan perangkap perundangan, dalam pengelola zakat. Gagasan tersebut bagi Hazairin tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Justru, Pancasila dan UUD 1945 “merestui” pemerintahan untuk membantu memungut, mengelola dan mendayagunakan zakat bagi kepentingan kemaslahatan umat. Pada dasawarsadasawarsa awal setelah kemerdekaan, dan pengelola zakat masih belum terorganisir secara rapi. Tiap-tiap individu menunaikan zakatnya sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Pengembangan zakat di beberapa kelompok masyarakat secara terbatas dan tidak teratur. Kadang ada kelompok fakir miskin tidak menerima dana zakat. Sebagaimana masyarakat ada yang memberikan zakatnya kepada kalangan tertentu, seperti ustadz, kyai ngaji dan ulama setempat. Sedangkan para tokoh tersebut mendistribuskan dengan cara-cara yang masih tradisional, yaitu dengan hanya memberikan bantuan konsumtif semata, yang selamanya tidak akan membantu mereka untuk menjadi mandiri. Dengan demikian, tujuan zakat yang antara lain untuk menciptakan keadilan ekonomi, sulit terwujud. Hal itu tidak berarti bahwa zakat pada masa tersebut tidak mempunyai makna sama sekali. Banyak kemajuan yang telah dicapai dengan dana zakat tersebut, seperti bangunan masjid, mushalla, pesantren, gedung Universitas dan rumah sakit. Hanya saja hal tersebut masih amat kecil bila dibandingkan dengan potensi yang demikian besar. Mungkin apabila potensi yang tergarap dapat lebih optimal, maka infrastruktur dan segala fasilitas serta sarana dan prasarana umat akan semakin lengkap, dan umat akan menjadi lebih maju daripada saat ini. Keadaan itu

260

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terjadi antara lain karena minimnya kesadaran dan wawasan masyarakat Islam Indonesia tentang zakat. Ajaran-ajaran agama yang dikembangkan oleh para ulama, mubaligh dan para Kyai lebih banyak berkaitan dengan ibadah vertikal seperti Shalat, Puasa dan Haji. Sementara zakat, meskipun sempat disinggung, namun hanya dipahami sebagai kewajiban Individual yang bernuansa ritualistik. Zakat hanya diorientasikan untuk sekedar menggugurkan kewajiban kepada Allah, dan kurang disadari bahwa sebenarnya juga wujud pertanggungjawaban sosial setiap muslimin. Maka umat Islam yang berfikir untuk mengembangkan potensi zakat sebagai mekanisme untuk menciptakan pemerataan dan keadilan ekonomi, dirasakan masih sangat kurang. Selain itu zakat dipandang hanya sebagai suatu ibadah yang dikerjakan pada bulan Ramadhan saja dan itupun sebagian besar hanya terbatas pada zakat fitrah saja, dan kurang menyentuh kepada zakat harta. Bagi masyarakat dengan telah membayar zakat fitrah maka kewajiban zakatnya telah gugur dan ia tidak memiliki kewajiban lagi untuk berzakat harta. Pada tahun 1967 pemerintah sebenarnya telah menyiapkan RUU zakat untuk diajukan ke DPRGR, dengan harapan akan mendapatkan dukungan dari Menteri Keuangan dan Menteri Sosial. Akan tetapi dalam jawabannya, Menteri Keuangan berpendapat bahwa peraturan zakat tidak perlu, mengingat pada kondisi sosial politik yang belum mendukung pada masa tersebut, karena masih belum stabilnya kondisi sosial politik setelah pemberontakan G-30S PKI. Dan hal itu berlanjut terus sampai masa orde baru. Perhatian pemerintah pada pengelolaan zakat baru menguat pada masa Orde Baru. Pada tanggal 15 Juli 1968, pemerintah melalui kantor Menteri Agama, mengeluarkan peraturan nomor 4 dan nomor 5 tahun 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) dan tentang pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan Kabupaten. Munculnya peraturan pemerintah ini, diawali dengan kunjungan 11 ulama nasional kepada Presiden Soeharto, bahwasanya apabila zakat dikelola dengan benar dan terkoordinir secara baik, akan dapat menjadi suatu sumber dana pembangunan yang potensial bagi negara. Dari hasil kunjungan ulama ini, presiden lalu mengeluarkan Seruan Presiden melalui Surat Edaran No. B113/PRES/11/1968, dan ditindaklanjuti oleh Menteri Agama untuk menyusun suatu peraturan yang perlu untuk mengatur mengenai

261

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pengelolaan zakat di Indonesia. Hal ini diikuti pula dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat dalam mendukung pengelolaan zakat di daerah masing-masing. Namun angin segar berhembus pada era reformasi yang sedang dilakukan oleh Indonesia saat ini, dimana pada tahun 1999 keluarlah Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang dilengkapi dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan UU No 38 tahun 1999. Dengan keluarnya UU ini, terdapat suatu kemajuan dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Dimana dimungkinkan pengelolaan zakat oleh swasta dengan pendirian suatu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pada saat sekarang ini baik BAZ yang dikelola oleh pemerintah atau LAZ yang dikelola oleh swasta dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, amanah, dan transparan. Dengan keluarnya UU ini telah menjadi suatu gebrakan dan terobosan yang cukup baik bagi pengembangan pengelolaan zakat di Indonesia, meskipun pada terdapatnya kekurangan pada Undang-undang tersebut yaitu tidak terdapatnya sanksi bagi warga negara yang tidak melaksanakan pembayaran zakat, dan masih kurangnya insentif bagi warga negara yang membayar zakat, meskipun saat ini zakat telah mampu menjadi salah satu faktor pengurang pajak. Namun dengan lahirnya Undang-undang khusus yang mengatur tentang zakat ini merupakan terobosan berarti dalam pengelolaan zakat di Indonesia, dan hal ini selanjutnya diikuti dengan lahirnya Undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf. Diharapkan pengelolaan dan pendayagunaan zakat di Indonesia dapat semakin berkembang dan terasa pengaruhnya dalam membantu masalah pengentasan kemiskinan di Indonesia. C.

Lembaga Pengelola Zakat Zakat

merupakan

ibadah

yang

sifatnya

memiliki

dimensi

sosial

kemanusiaan, penyaluran zakat dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi amil zakat baik berupa Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh pemerintah maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh swasta. Ada beberapa alasan mengapa pembayaran zakat sebaiknya melalui institusi pengelola zakat, yaitu 1: 1

Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana. 305

262

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Dalam rangka menjami ketaatan pembayaran 2. Menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh mustahiq ketika berhubungan dengan muzakki (orang yang berzakat) 3. Untuk mengefisienkan dan mengefektifkan pengalokasian dana zakat 4. Alasan caesoropapisme yang menyatakan ketidakterpisahan antara agama dan negara, karena zakat juga termasuk urusan negara. Selain itu adalah untuk menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang menganut prinsip sekulerisme yang membedakan urusan dunia dan akhirat. Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dimana dalam undang-undang tersebut bahwa lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia dapat berupa Badan Amil Zakat yang dikelola oleh pemerintah serta dapat pula berupa Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh swasta. Meskipun dapat dikelola oleh dua pihak, yaitu negara dan swasta, akan tetapi lembaga pengelola zakat haruslah bersifat 2: 1. Independen. Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga

yang

demikian

akan

lebih

leluasa

untuk

memberikan

pertanggungjawaban kepada masyarakat donator. 2. Netral. Karena didanai oleh masyarakat, berarti lembaga ini adalah milik masyarakat, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga tidak boleh menguntungkan golongan tertentu saja. Karena jika tidak, maka tindakan itu telah menyakiti hati donatur yang berasal dari golongan lain. 3. Tidak berpolitik praktis. Lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan politik praktis. Hal ini perlu dilakukan agar donatur dari partai yang berbedabeda yakin bahwa dana itu tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis suatu partai 4. Tidak bersifat diskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal. Dimanapun, kapan pun dan siapa pun dapat menjadi kaya atau miskin. Karena itu penyaluran dananya lembaga tidak boleh mendasarkan atas suku atau golongan, tetapi harus memiliki parameter yang jelas. 2

Ibid, h. 306

263

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D.

Kendala Minimnya penerimaan dana zakat yang diterima oleh para amilin baik yang

dikelola oleh pemerintah maupun swasta menunjukkan bahwa masih rendahnya tingkat kesadaran membayar zakat dari masyarakat. Hampir di setiap lembaga pengelola zakat baik yang tradisional maupun yang sudah menerapkan manajemen modern, apabila kita hendak membuat grafik penerimaan, maka penerimaan zakat paling tinggi hanya terjadi pada saat bulan Ramadhan saja, sementara setelah bulan Ramadhan penerimaan zakat kembali rendah atau bahkan ada yang tidak ada penerimaan zakat sama sekali. Hal ini terjadi karena sebagian besar kaum muslimin memahami dan memaknai syariat zakat tersebut hanya wajib dibayarkan pada saat bulan Ramadhan saja, dan di luar bulan Ramadhan tidak perlu. Pemaknaan kembali kepada masyarakat bahwa zakat tidak hanya di bulan Ramadhan saja sangat penting untuk mencegah pemahaman yang keliru tentang waktu pelaksanaan zakat. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta jiwa, dan hampir 80% penduduknya beragama Islam, maka bila menggunakan perhitungan dengan pendekatan berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu hanya dengan mengambil 2,5% dari PDB yang didapat, maka potensi penerimaan zakat di Indonesia bisa mencapai angka trilyunan rupiah per tahun. Akan tetapi pada realisasi di lapangan, jumlah yang diterima oleh para amilin baik secara sendiri-diri maupun digabung belum mampu mencapai angka triliun rupiah, hanya mampu mencapai angka milyaran rupiah saja. Dari perbandingan ini terlihat bahwa sebenarnya masih banyak potensi zakat yang belum tergali, hal ini bisa disebabkan pada kurangnya kesadaran masyarakat untuk berzakat atau pada kurang kreatifnya pengelola zakat dalam pembuatan program pemberdayaan masyarakat. Faktor kepercayaan masih sangat penting bagi para pengelola zakat dalam kegiatannya menghimpun dana zakat yang ada. Ada beberapa penyebab mengapa penerimaan zakat tersebut sangat kecil, hal ini dimungkinkan oleh: pertama, karena besarnya PDB Indonesia sebagian besar merupakan sumbangsih dari penduduk non-muslim. Karena gairah dan semangat mereka bekerja yang lebih tinggi, serta penguasaan terhadap sumber daya dan modal yang besar di berbagai sektor ekonomi. Para penduduk muslim lebih senang menjadi

264

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pekerja daripada menjadi pembuat lapangan pekerjaan. Mentalitas umat sebagian besar adalah sebagai karyawan, sehingga menimbulkan kurangnya kreativitas, inisiatif dan produktivitas dalam mendirikan suatu usaha yang dapat menjadi lapangan kerja baru. Jiwa kewirausahaan pada umat Islam di Indonesia masih sangat kurang, sebahagian bahkan condong hanya menerima kondisi prihatin yang mereka terima tanpa mau berusaha untuk melakukan perubahan dalam hidupnya. Kedua, masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar zakat. Dalam benak sebahagian besar masyarakat zakat masih diartikan hanya dengan zakat fitrah yang dibayarkan setiap bulan Ramadhan. Jika telah membayar zakat fitrah, maka sudah tuntaslah kewajiban zakat yang dikenakan kepada kaum muslim. Padahal pendapat ini adalah salah, karena dalam Islam selain kewajiban membayar zakat fitrah yang dikenakan kepada seluruh muslim ada pula kewajiban untuk membayar zakat harta bagi umat Islam yang memiliki kelebihan harta atau hartanya telah memenuhi nisab. Dan pembayaran zakat tidak hanya harus di bulan Ramadhan, namun di bulan-bulan lain pun dapat dibayarkan zakat. Karena pandangan bulan Ramadhan adalah bulan pembayaran zakat, maka biasanya di bulan Ramadhan merupakan puncak pendapatan di seluruh lembaga amil zakat, sebab masyarakat banyak yang berbondong-bondong untuk membayarkan zakatnya pada bulan Ramadhan. Ketiga, permasalahan minimnya dana zakat yang diterima selain oleh karena masih rendahnya kesadaran membayar zakat berikutnya adalah karena pengelolaan dana zakat yang masih tradisional di beberapa tempat terutama di daerah. Dimana masyarakat menyerahkan pengelolaan zakat kepada ulama, ustadz atau kyai setempat –bahkan di beberapa tempat zakat disalurkan kepada ustadz tersebut dianggap sebagai hak ustadz dan tidak disalurkan kembali-, dan disalurkan hanya dalam bentuk konsumtif yang menurut hemat penulis hanyalah semacam seremonial dan formalitas semata, tanpa memikirkan keberlanjutan nasib atas mustahik yang diberikan bantuan. Apabila menggunakan pola itu mustahik tidak akan pernah mampu menjadi mandiri, mereka selamanya akan selalu menjadi “tangan yang di bawah” dan tidak akan pernah menjadi “tangan yang di atas”. Pengelolaan zakat yang masih tradisional menyebabkan kurang percayanya masyarakat untuk menyalurkan zakatnya melalui lembaga dan lebih suka membagikannya sendiri

265

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kepada kaum fakir miskin, meskipun penyaluran langsung ini seringkali kurang mengena sasaran dan bisa terjadi penyaluran ganda yaitu satu mustahik dapat menerima bantuan lebih dari satu kali sementara ada mustahik lain yang tidak mendapat bantuan sama sekali. Keempat, sistem penghimpunan dananya masih bersifat tunggu bola, yaitu hanya menunggu kerelaan muzakki untuk menyalurkan zakatnya kepada mereka, sementara di sisi lain pada era yang serba teknologi sistem tunggu bola tersebut sudah kuno. Seharusnya yang menjadi strategi penghimpunan adalah bersifat jemput bola, dimana lembaga amil harus melakukan berbagai macam strategi fundraising agar muzakki mau menyalurkan dananya untuk membantu program lembaga amil tersebut. Calon muzakki potensial yang bersedia menyalurkan sebahagian rejekinya untuk berbagi kepada sesama harus dicari, seperti membuka counter pembayaran zakat di kantor atau pusat perbelanjaan. Serta memanfaatkan fasilitas teknologi yang telah ada, misalkan zakat on-line, bayar zakat via atm, atau mobile-zakat. Kelima, masih kakunya pemahaman fikih para amilin turut pula menjadi salah satu faktor rendahnya pengaruh zakat dalam perekonomian. Mereka memahami fikih hanya secara tekstual semata tanpa memungkinkan timbulnya perluasan

pemahaman

terhadap

konsep

tersebut.

Sebagai

contoh

adalah

permasalahan bentuk penyaluran, dalam pandangan kaum tradisionalis zakat hanya dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata, bahkan di daerah pedesaan zakat tersebut diberikan kepada tokoh agama setempat yangseringkali oleh tokoh agama tersebut dana tersebut dianggap sebagai haknya karena masuk ke dalam asnaf fi sabilillah. Contoh lain dari kakunya pemahaman fikih mereka adalah permasalahan asnaf. Menurut mereka delapan asnaf yang ada benar-benar dibaca secara tekstual tanpa memungkinkan perluasan makna. Seperti pada asnaf riqab (budak) , pada jaman sekarang budak sudah tidak ada, akan tetapi bisakah asnaf ini dikenakan kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan hidupnya sengsara dan sering mendapat penyiksaan, agar dana zakat tersebut dapat diperuntukan oleh mereka supaya mereka dapat kembali berkumpul dengan anggota keluarganya di tanah air. Oleh sebagian penganut paham tradisionalis hal ini tidak dibolehkan karena menurut mereka asnaf TKI tidak bisa diqiyaskan kepada TKI.

266

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam perkembangan zaman, pengelolaan zakat menghadapi beberapa kendala atau hambatan sehingga seringkali pengelolaannya masih belum optimal dalam perekonomian. a. Minimnya sumber daya manusia yang berkualitas Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para pemuda ini –meskipun dari lulusan ekonomi syariah- lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi, akan tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk berkarir menjadi seorang pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena tidak ada daya tarik berkarir di sana. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat

dapat

profesional,

amanah,

akuntabel

dan

transparan.

Karena

sesungguhnya kerja menjadi seorang amil mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial juga sangat menonjol. Fakta membuktikan bahwa berkarir di lembaga amil zakat belumlah menjadi pilihan sebahagian besar masyarakat Indonesia, mereka lebih memilih berkarir di bank yang secara prospektus lebih menghasilkan pendapatan yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan memilih berkarir di lembaga amil zakat. Hal inilah yang menjadikan beberapa lembaga amil zakat terutama yang masih tradisional menggunakan tenaga sumber daya manusia seadanya yang mau dibayar seikhlasnya tanpa pamrih. Sehingga pengelolaan zakat yang dilakukan pun masih bersifat seadanya pula dan tanpa inovasi pengembangan pengelolan zakat. Padahal sumber daya manusia yang berkualitas merupakan salah satu modal dasar agar pengelolaan zakat dapat lebih berdayaguna dan mampu memberikan pengaruh berarti dalam pengentasan kemiskinan di masyarakat. b. Pemahaman fikih amil yang belum memadai Masih minimnya pemahaman fikih zakat dari para amil masih menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan zakat. Sehingga menjadikan fikih hanya dimengerti dari segi tekstual semata bukan konteksnya. Kekakuan dalam memahami fiqh zakat menyebabkan mereka memandang zakat tersebut hanya

267

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata –hanya untuk bantuan hidupnya seperti sembako-, dan tidak diperkenankan zakat tersebut untuk sesuatu hal yang produktif –seperti bantuan modal ataupun pelatihan dan pendidikan untuk mustahik-. Sebenarnya dalam penerapan zakat di masyarakat yang harus diambil adalah ide dasarnya, yaitu bermanfaat dan berguna bagi masyarakat serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat dan mampu menjadikan mustahik tersebut pribadi yang mandiri dan tidak tergantung oleh pihak lain. Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berijtihad dan berkreasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosanterobosan yang sesuai dengan syariah. Selama sesuai dengan syariat, para amil diberikan kebebasan untuk melakukan kreatifitas dan inovasi dalam aspek pengelolaan zakat terutama program-program pemberdayaan yang dilakukan. Sistem pengawasan yang terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk di dalamnya institusi pengelola zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan Pengawas Syariah di dalam struktur organisasinya yang berfungsi untuk melakukan

pengawasan

terhadap

pengelolaan

manajemen

agar

tidak

menyimpang dari aturan syariat. Adapun anggota Dewan Pengawas Syariah terdiri dari individu-individu yang memiliki kapabilitas dan kompetensi di bidangnya terutama di bidang fiqh dan muamalah c. Rendahnya kesadaran masyarakat Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna dalam perekonomian. Karena sudah melekat dalam benak sebahagian kaum muslim bahwa perintah zakat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun masih terbatas pada pembayaran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat dibayarkan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Sehingga ide dasar zakat untuk kemaslahatan umat telah bergeser menjadi sekedar ibadah ritual semata yang dikerjakan bersamaan dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul (satu tahun kepemilikan)

menandakan

bahwasanya

zakat

tersebut

tidak

mengenal

pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melainkan setiap bulan zakat dapat

268

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dibayarkan. Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah semakin baik, hal ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat. Institusi amil zakat baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta harus bersama-sama secara terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya membayar zakat dalam pembangunan umat.

Bila

dibandingkan dengan kaum non-muslim mereka sangat royal menyumbangkan hartanya untuk kepentingan agama minimal 10% dari pendapatan kotor mereka. d. Teknologi yang digunakan Penerapan teknologi yang ada pada suatu lembaga zakat masih sangat jauh bila dibandingkan dengan yang sudah diterapkan pada institusi keuangan. Hal ini turut menjadi salah satu kendala penghambat kemajuan pendayagunaan zakat. Teknologi yang diterapkan pada lembaga amil masih terbatas pada teknologi standar

biasa.

pendayagunaan

Sistem haruslah

akuntansi,

administrasi,

menggunakan

teknologi

penghimpunan terbaru,

agar

maupun dapat

menjangkau segala kelompok masyarakat terutama segmen kalangan menengah atas yang notabenenya memiliki dana berlebih. Mobilitas tinggi membutuhkan teknologi tinggi yang menunjang pula, bila lembaga amil zakat mampu melakukan inovasi dalam memberikan kemudahan kepada muzakki, maka akan semakin mampu mempertinggi proses penghimpunan dana. Misalkan melakukan kerjasama dengan perbankan untuk pembayaran zakat via atm atau mobile-banking. Penggunaan teknologi selain memberikan kemudahan kepada muzakki untuk memberikan donasinya, akan turut pula mempermudah lembaga amil zakat pada penghimpunan dana di masyarakat. e. Sistem informasi zakat Inilah salah satu hambatan utama yang menyebabkan zakat belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam perekonomian. Lembaga amil zakat yang ada belum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil. Sehingga para lembaga amil zakat ini saling terintegrasi satu dengan lainnya. Sebagai contoh penerapan ini adalah pada database muzakki dan mustahik. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan

269

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahik yang sama diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat. Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi zakat ini, maka tidak ada lagi rahasia dan strategi khas antar institusi. Sebab kehadiran sistem informasi zakat adalah hanya untuk mempermudah mengenali titik-titik lokasi yang telah digarap oleh suatu lembaga, dan titik lokasi mana yang belum menerima bantuan. Hal ini dapat mencegah dimana akan terdapat lokasi pemberdayaan yang “gemuk” dan ada lokasi yang “kurus”. Karena tujuan utama kehadiran lembaga amil zakat selain untuk mengelola dana zakat, namun harus pula mampu mengkoordinasikan agar zakat tersebut manfaat dan pengaruhnya dapat terasa bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi sistem informasi ini haruslah dikelola oleh suatu institusi independen, dan idealnya dikelola oleh negara. Sebenarnya menurut penulis, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) harusnya mengambil peran dalam koordinasi antar lembaga dan mengelola sisten informasi zakat ini, dan bukan turut serta dalam proses penghimpunan (fundraising) dan program pemberdayaan di masyarakat.

E.

Strategi Pengembangan Dengan melihat pada kondisi kekinian di atas dan hambatan yang menjadi

kendala perkembangan pengelolaan zakat di atas, maka haruslah disusun suatu strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat. 1. Membudayakan Kebiasaan Membayar Zakat Harus mulai dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokoh-tokoh agama atau bahkan dengan cara memasang iklan di media massa baik cetak maupun elektronik. Selain itu harus mulai membiasakan sedari dini kepada para pelajar agar mau menyisihkan sebagian rejekinya untuk berbagi dengan sesama, dengan melatih para generasi muda sedari dini, maka akan mampu menjadi suatu budaya yang built in di dalam jiwa mereka pada saat mereka telah memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Rasa empati dan sosial pun akan timbul dari budaya membayar zakat ini. Sosialisasi kebiasaan membayar zakat harus dilakukan secara serentak dan dengan koordinasi yang matang antar lembaga, agar dapat

270

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menjadi budaya positif di masyarakat. Himbauan moral harus selalu dikumandangkan baik oleh tokoh-tokoh formal di masyarakat maupun tokoh informal. 2. Penghimpunan yang Cerdas Pada masa sekarang strategi penghimpunan yang tradisional sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yaitu strategi penghimpunan yang hanya tunggu bola, menunggu datangnya muzakki datang ke tempat amil. Saat ini amil harus mau untuk lebih bekerja keras dalam menghimpun dana masyarakat, strategi yang dipakai adalah strategi jemput bola, yaitu amil harus mendatangi dan mendekati para muzakki agar mau menyisihkan sebahagian dananya untuk sesama. Selain itu amil harus pintar melakukan kreasi dalam pendekatannya kepada muzakki dimana setiap lembaga pengelola zakat mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dari satu amil dengan amil lainnya, sehingga pendekatan yang dipergunakan pun akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. 3. Perluasan Bentuk Penyaluran Pola-pola penyaluran tradisional yang selama ini banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat masjid atau tradisional harus diubah agar bentuk penyaluran yang ada mampu menjadikan manusia tersebut menjadi mandiri dan tidak tergantung kepada pihak lain. Janganlah selalu memberi mereka “ikan”, akan tetapi mereka harus pula diberi “kail”, agar mereka pada akhirnya mampu memperoleh “ikan” mereka sendiri, bahkan mereka mampu memberi “ikan” yang mereka peroleh kepada pihak lain. Hal ini menimbulkan implikasi bahwa zakat akan mampu menciptakan kemaslahatan dan kemudharatan bagi umat. Bentuk pola penyaluran modal produktif atau berbagai macam kursus dan pelatihan adalah salah satu pola memberi “kail” kepada mereka. Karena beberapa penyebab dari munculnya lingkaran kemiskinan adalah karena ketiadaan modal dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Apabila lembaga zakat profesional mampu memutus dua penyebab kemiskinan ini, yang terlihat dari program pemberdayaan yang mereka lakukan, maka pengaruh zakat akan semakin terasa kepada umat. Ada wacana bahwasanya boleh menggunakan dana zakat yang ada untuk membentuk suatu unit bisnis, dimana keuntungan yang di

271

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dapat akan diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Namun hal ini masih ada pihak yang memperdebatkan bahwasanya, kemaslahatan umat kurang terasa dan lebih banyak aspek bisnisnya. 4. Sumber Daya Manusia yang Berkualitas Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu prasyarat agar suatu

lembaga

amil

zakat

untuk

semakin

berkembang

dan

mampu

mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki agar berguna bagi kemaslahatan umat.

Lembaga

amil

zakat

harus

mampu

memberikan

penghargaan yang seimbang sesuai dengan prestasi kerja para staf pengelola, agar mereka mau menjadikan amil tersebut menjadi profesi yang bergengsi dan menyenangkan. Profesi amil mempunyai dua dimensi yang berbeda yaitu di satu sisi mereka mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan di sisi lain mereka bekerja sambil beribadah mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Sehingga sungguh tepat perubahan paradigma pengelolaan dana zakat, yaitu tidak berdasarkan

manajemen Lillahi ta’ala, melainkan manajemen yang

profesional, akuntabel, amanah, dan memiliki integritas yang tinggi, dimana nilai-nilai tersebut telah built in di dalam jiwa setiap pengelola zakat. Sehingga pengelolaan dana zakat akan menjadi semakin berdayaguna bagi masyarakat. Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga zakat yang profesional, yaitu AMILIN (1) Amanah, harus dipilih seseorang yang mampu untuk menjaga amanah, sebab dalam kunci utama dalam pengelolaan zakat adalah harus mampu menjaga amanah para muzakki; (2) Manajerial Skills, SDM pengelola zakat harus memiliki kemampuan manajerial yang memadai agar mampu mengorganisir dengan baik dana zakat yang ada; (3) Ikhlas, seorang SDM pengelola zakat harus mampu bekerja secara ikhlas agar mampu mewujudkan sikap militansi dalam bekerja. Hal ini dikarenakan berkarir dalam suatu lembaga amil zakat yang dicari bukanlah materi duniawi semata melainkan juga kenikmatan spiritual, sebab dengan membantu orang akan mampu menumbuhkan sikap empati kita terhadap sesama; (4) Leadership Skills, kemampuan untuk memimpin perlu dimiliki oleh SDM pengelola zakat agar

272

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mampu mengkoordinir dengan baik para mustahik; (5) Inovatif dan Inisiatif, seorang amil harus mampu membuat terobosan-terobosan baru selama masih dalam koridor syariah; (6) No profit motives, SDM pengelola zakat tidak boleh berorientasi mencari keuntungan, misal dengan melakukan mark-up biaya atas dana program yang ada. 5. Fokus Dalam Program Seringkali kelemahan para lembaga pengelola zakat saat ini adalah mereka memiliki ambisi untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan, hal ini berakibat pada tidak fokusnya program-program yang mereka lakukan. Sehingga dapat mengakibatkan tujuan utama pendayagunaan zakat untuk mengentaskan mustahik dari jurang kemiskinan justru tidak menjadi optimal. Lembaga amil zakat yang memiliki fokus utama terhadap suatu sektor tertentu akan lebih efektif dalam pengelolaan. Beberapa contoh lembaga amil zakat yang fokus dalam suatu sektor tertentu adalah PKPU yang fokus terhadap bencana kemanusiaan. Dengan program yang fokus maka pemberdayaan umat dapat lebih efektif. 6. Cetak Biru Pengembangan Zakat Setiap elemen dan institusi yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan zakat di Indonesia haruslah secara bersama-sama dengan pemerintah merumuskan suatu arahan dan target-target jangka pendek, menengah maupun panjang dari pengelolaan zakat di Indonesia, agar zakat mampu berdayaguna dan dapat mensejahterakan serta memakmurkan masyarakat. Apabila institusi keuangan lain sudah memiliki suatu cetak biru pengembangan zakat, maka institusi zakat pun wajib memiliki cetak biru pengembangan zakat. Namun untuk menyatukan semua elemen tersebut idealnya pemerintah turut mengambil peranan yaitu dengan membentuk satu kementerian khusus yang bertugas untuk mengelola zakat dan wakaf di Indonesia.

273

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 14 LEMBAGA WAKAF

A. Definisi Wakaf Dalam peristilahan syara secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak wakif tanpa imbalan. Sebagai suatu istilah dalam Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya. Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam member pengertian wakaf, perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikian wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukar menukar atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwariskan. Menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturan pemerintah no. 42 tahun 2006 dapat disarikan beberapa konsep perwakafan sebagai berikut, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: 1. Wakif ialah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, wakif dapat berupa perorangan, organisasi dan badan hukum.

274

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Nazhir ialah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya. 3. Harta benda hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai secara penuh dan sah oleh wakif. 4. Ikrar wakaf yang dibuktikan dengan pembuatan akta ikrar wakaf sebagai bukti pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola oleh nadzir sesuai dengan peruntukkan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta 5. Peruntukan harta benda wakaf, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. 6. Jangka waktu wakaf. Saat ini wakaf dapat diberikan jangka waktu, yaitu pada instrument wakaf uang. Sebagai salah satu instrument fiskal Islam yang telah ada semenjak awal kedatangan Islam. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa wakaf telah menunjukkan berbagai peran penting dalam mengembangkan berbagai kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Wakaf harus mampu berperan efektif dalam membangun umat, agar mampu mengurangi ketergantungan pendanaan dari pemerintah. Wakaf terbukti mampu menjadi instrument jaminan sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan

definisi

wakaf

yang

terdapat

dalam

Undang-undang

mengakomodir berbagai macam harta benda wakaf termasuk adalah wakaf uang. Secara spesifik, spesifik undang-undang tersebut memuat bagian tentang wakaf uang, dimana dalam pasal 28 sampai pasal 31 ialah wakaf uang harus disetor melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI. Wakaf uang harus dibuktikan dengan sertifikat.

275

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia No. 01 tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak berupa Uang, sertifikat dapat diberikan kepada wakafi yang telah mewakafkan uangnya paling sedikit Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) dengan menyertakan asal-usul uang dan identitas lengkap wakifnya. Jumlah umat Islam yang terbesar di dunia terutama di Indonesia merupaka aset terbesar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf uang dapat diimplementasikan maka akan terdapat dana potensial yang dapat dipergunakan bagi kemaslahatan umat. Berdasarkan asumsi Cholil Nafis 1 jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta umat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000 per bulan, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 miliar setiap bulannya (Rp 1,2 triliun per tahun). Sementara menurut Mustafa Edwin Nasution 2 tentang potensi wakaf di Indonesia dengan jumlah umat muslim yang dermawan diperkirakan sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan Rp 500.000 hingga Rp 10.000.000, maka paling tidak akan terkumpul dana sekitar 3 triliun per tahun dari dana wakaf seperti perhitungan tabel berikut:

Tingkat penghasilan/bulan Rp 500.000 Rp 1 juta - 2 juta Rp 2 juta – 5 juta ≥ Rp 5 juta

Jumlah muslim 4 juta 3 juta 2 juta 1 juta

Besar wakaf/bulan Rp 5.000,Rp 10.000,Rp 50.000,Rp 100.000,Total Sumber: Mustafa E Nasution ( 2006)

Potensi wakaf uang/ bulan Rp 20 milyar Rp 30 milyar Rp 100 milyar Rp 100 milyar

Potensi wakaf uang/tahun Rp 240 milyar Rp 360 milyar Rp 1,2 triliun Rp 1,2 triliun Rp 3 triliun

1

Cholil Nafis, Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, Nomor 2, April 2009. Jakarta: BWI 2 Mustafa Edwin Nasution, Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer, dalam Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam. Jakarta: PSTTI UI, 2006, h. 43-44

276

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Sejarah dan Perkembangan Wakaf 1. Masa Rasulullah Wakaf merupakan salah satu sektor voluntary yang sangat berperan penting dalam sejarah Islam. Pengelolaan harta wakaf dapat dilakukan perorangan/non pemerintah, seperti Umar bin Khattab yang mengelola tanah wakafnya sendiri, maupun oleh pemerintah seperti wakaf masjid “Dar al-Hijr”. Hal terpenting esensi tujuan wakif terwujud dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh maukuf alaih. Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah saw, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu Umar bin Khattab menghadap Rasulullah saw untuk memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya dilakukan terhadap tanah tersebut. Umar berkata kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu saya memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu”. Rasulullah menjawab, “Jika engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau sedekahkan”. Selanjutnya Umar mensedekahkannya dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar salurkan hasil tanah itu buat orang-orang fakir, ahli familinya, membebaskan budak, orang-orang yang berjuang fi sabilillah, orangorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Penguasa wakaf tunai itu sendiri, boleh makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas yang wajar. Wakaf Umar bin Khattab menurut catatan sejarah merupak wakaf pertama dalam Islam. Meskipun ada sebagian pendapat ulama yang mengatakan bahwa Rasulullah saw pertama kali melaksanakan wakaf, yaitu dengan mewakafkan sebidang tanah yang dimanfaatkan untuk dibangun masjid. Pendapat Rasulullah sebagai pelaksana wakaf pertama didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari “Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orangorang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah saw”. (Asy-syaukani: 129)

277

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut hadits riwayat an-Nasa’I dan at-Turmudzi dari Usman, bahwa Rasulullah saw pernah datang ke Madinah, sedangkan di Madinah ketika itu tidak ada air tawar kecuali sumur rumah, lalu Rasulullah bersabda, “Siapakah yang mau membeli sumur rumah lalu ia memasukkan timbanya ke dalam sumur itu bersamasama timba-timba kaum muslimin lainnya yang dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada sumur itu kelak di surga”. Lalu Usman membeli sumur itu dari tulang punggung hartanya. Selanjutnya sumur tersebut diserahkan kepada penduduk Madinah untuk kepentingan hidup mereka. Namun demikian Usman tetap memanfaatkan airnya untuk kepentingan sehari-hari. Pemberian untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam hadits tersebut adalah wakaf. Dalam hadits lain diceritakan di masa Rasulullah saw hidup, Bani Najjar membangun bersamasama sebuah masjid dan memberikannya untuk kepentingan umum 3. 2. Masa Dinasti Islam 4 Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang melaksanakan wakaf. Peruntukan wakaf pada saat itu tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para pelajar. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk

mengatur

pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, pengelolaan wakaf dilakukan oleh Baitulmaal yang dirancang hanya untuk menangani wakaf dengan menunjuk qadhi khusus untuk mengembangkannya. Dana hasil pengelolaan aset wakaf diantaranya dipergunakan untuk membangun pembangunan pusat seni yang sangat memiliki pengaruh terhadap arsitektur Islam, terutama arsitektur masjid, sekolah dan rumah sakit. Hal ini dipengaruhi oleh politicalwill pemerintah yang sangat mendukung peran wakaf dalam perekonomian.

3

Muhamad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, h. 82 Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, Jakarta: Kencana. 2010, h. 316-319 4

278

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pada masa dinasti Umayah, pada masa khalifah Hisyam bin Abd Malik, yang menjadi qadhi (hakim) Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadramiy. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf, sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagai lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (Baitulmaal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanahtanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara fikih Islam hukum mewakafkan harta Baitulmaal masih berbeda pendapat diantara para ulama. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti Al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya yaitu mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya, dimana harta milik negara menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya yaitu dinasti Fathimiyah. Lembaga pengelola wakaf semakin mengalami perkembangan di zaman Bani Mamluk,

pada saat itu harta wakaf telah dikelola secara lebih teratur dengan

membagi pengelola menjadi tiga kelompok besar, yaitu: 1. Abbas, terdiri dari perkebunan yang luas di Mesir dan hasilnya untuk memakmurkan masjid 2. Awqaf hukumiyah, yang terdiri dari tanah-tanah perkotaan di Mesir dan Kahira yang manfaatnya dimanfaatkan untuk pengembangan Kota Mekah dan Madinah

279

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Awqaf ahliyah atau wakaf keluarga, terdiri dari wakaf yang berasal dari keluarga atau keturunan maukuf’alaih dengan menggunakan hasil tanahnya sesuai kehendak wakif. Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi. Pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkan Undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundangundangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers alBandaq (1260-1277 M) dimana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada masa Al-Dzahir Bibers, perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pendapatan negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa; wakaf untuk membantu haramain (Mekah dan Madinah); dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, Kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan syariat Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan. Undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani diantaranya ialah peraturan mengenai pembukuan pelaksanaan wakaf yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir 1280 Hijriah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf, dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan. 3. Wakaf di Indonesia Pada waktu pemerintah Hindia Belanda, hukum perwakafan telah berlaku dalam masyarakat Indonesia berdasarkan hukum Islam. administrasi perwakafan tanah baru mulai sejak tahun 1905 dengan dimulainya pendaftaran tanah wakaf berdasarkan surat edaran sebagai berikut 5:

5

Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, h. 28

280

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 31 Januari 1905 (Bijblad 1905, No. 6169), yang mewajibkan kepada para Bupati untuk membuat daftar yang memuat segala keterangan untuk benda-benda yang bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain  Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 April 1931 (Bijblad, 1934 No. 13390), yang memberikan wewenang kepada Bupati untuk memimpin dan menyelesaikan perkara jika terjadi sengketa mengenai tanah wakaf, atas permintaan para pihak yang bersengketa  Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 (Bijblad No. 13480), berisi tata cara para perwakafan, yaitu perlunya perwakafan diketahui oleh Bupati untuk diregistrasi dan diteliti tentang keabsahannya. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 maka disusunlah pula Undang-undang pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tanggal 26 September 1960 yang mengandung ketentuan sebagai berikut 6:  Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, peraturanperaturan perwakafan Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun 1958 telah ditetapkan petunjuk-petunjuk mengenai perwakafan oleh Departemen Agama dengan dikeluarkannya Surat Edaran No. 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah pada tanggal 8 Oktober 1956  Berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria dan Menteri Agama No. 19.19/22/37-7 tahun 1959 dan SK. 62/Ka/1959 ditetapkanlah pengesahan perwakafan tanah milik dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria Karesidenan.  Di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960, pada bagian XI, tertera bahwa untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49 ayat (3)) ditentukan perwakafan tanah miliki dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah  Pada tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960. PP ini mengatur tentang tata cara 6

Ibid, h. 28-29

281

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

perwakafan tanah milik dalam pengertian hak milik yang baru, serta tata cara pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum PP ini ditetapkan. Di Indonesia, bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang selama ini hanya baru menetapkan obyek wakaf dalam bentuk tanah milik (PP No. 28 tahun 1977) dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir untuk tanah milik. Hanya sedikit nadzir yang sukses mengelola wakaf di Indonesia, diantaranya ialah Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf UII, Pondok Modern Gontor, dan sebagainya. Lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima menjadi hukum adat di Indonesia sendiri. Di samping itu, suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terbanyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf tunai (wakaf uang), wakaf atas hak kekayaan intelektual, dan lain-lain. Khusus di Indonesia, permasalahan wakaf menjadi perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Kondisi kekinian, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma itu terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrument dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dilakukanlah pendekatan bisnis dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan wakaf produktif. Kondisi sebelumnya apabila kita mendengar kata wakaf, maka identik dengan wakaf untuk masjid, mushola, kuburan atau sekolah yang notabenenya menjadi wakaf yang tidak produktif. Achmad Junaidi dan kawankawan 7 menawarkan dua hal yang berkaitan dengan wakaf produktif, pertama, asas paradigma baru wakaf yaitu asas keabadian manfaat, asas pertanggungjawaban, asas profesionalitas manajemen, dan asas keadilan. Kedua, aspek paradigma baru wakaf yaitu pembaharuan/reformasi pemahaman mengenai wakaf, sistem manajemen kenazhiran/manajemen sumber daya insani, dan sistem rekruitmen wakif. 7

Achmad Djunaidi, dkk, Paradigma Baru wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan wakaf Departemen Agama RI, 2005, h. 63-85

282

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama 8, pertama, pola manajemen wakaf harus terintegrasi; dana wakaf dapat dialokasikan untuk programprogram pemberdayaan dengan segalam macam biaya yang terkandung di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Pekerjaan sebagai nazhir tidak lagi diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional. Ketiga, asas transparansi dan tanggung jawab.

C. Wakaf Tunai (Wakaf Uang) Wakaf tunai atau wakaf uang dapat diartikan sebagai penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang, kelompok orang atau lembaga nadzir untuk dikelola secara produktif dengan tidak mengurangi atau menghilangkan ‘ain aset sehingga dapat diambil hasil atau manfaatnya oleh mauquf alaih sesuai dengan permintaan wakif yang sejalan dengan syariat Islam. Menurut

Muhammad

Zarka

secara

konseptual

aset

wakaf

dapat

dimanfaatkan untuk proyek penyediaan layanan seperti sekolah gratis bagi dhuafa, dan proyek wakaf produktif yang dapat menghasilkan pendapatan, seperti menyewakan bangunan/ruko untuk tempat usaha. Para ulama berbeda paham mengenai landasan hukum wakaf tunai, hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat dulu yang mengoptimalkan aset wakaf melalui cara transaksi sewa. Para ulama yang tidak mensahkan wakaf tunai berargumen bahwa uang diciptakan sebagai alat tukar untuk mempermudah transaksi dalam kehidupan, apabila menyewakannya akan berkaitan dengan riba 9. Alasan lain dikemukakan oleh Al-Bakri, ulama pengikut Imam Syafii, beliau menolak wakaf uang karena wujud uang sebagai pokok aset tidak akan kekal atau lenyap ketika dibayar, namun mazhab Syafii memperbolehkan air sebagai pengecualian dari prinsip.

8

Muhammad Syafii Antonio, Pengantar Pengelolaan Wakaf secara Produktif, dalam Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif. Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007, h. viii 9 Satria Effendi M Zein, Peluang Wakaf Produktif dan Cash Waqf dalam Perspektif Hukum Islam”. Makalah Seminar Nasional Perspektif dan Implementasi Ekonomi Syariah di Indonesia. Ciputat: 5 November 2000, h. 9-10

283

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara sebagian ulama lainnya memperbolehkan wakaf uang untuk dilaksanakan. Imam Hanifah memberikan alternative dengan menginvestasikannya sebagai modal usaha dan hasilnya dapat disedekahkan kepada mauquf alaih. Imam Hambali pun memperbolehkan berwakaf dalam bentuk uang tunai, baik dirham maupun dinar. Ulama Maliki pun turut mensahkan wakaf sejumlah uang, antara lain Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah. Di Indonesia Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 28 Shafar 1423 H/11 Mei 2002 melalui komisi fatwa mengeluarkan fatwa tentang kebolehan hukum wakaf uang selama disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang sesuai syar’i dan memasukkan surat berharga kepada pengertian uang. Wakaf uang merupakan dana amanah yang harus segera diserahkan kepada maukuf alaih. Satu hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan wakaf adalah bagaimana menjamin kelanggengan aset wakaf agar tetap memberikan manfaat prima sesuai tujuannya karena seiring perjalanan waktu semua aktiva tetap yang digunakan untuk pemenuhan operasional pasti mengalami proses penyusutan. Untuk mencapai kelanggengan manfaat ini dibutuhkan biaya untuk menutup beban pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Pendapatan inilah yang menjadi kajian studi kelayakan ekonomi suatu proyek harta wakaf. Tujuan dari penggalangan wakaf tunai (wakaf uang) dari masyarakat antara lain sebagai berikut 10: 1. Menggalang tabungan sosial dan mentransformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial 2. Meningkatkan investasi sosial 3. Menyisihkan

sebagian

keuntungan

dari

sumber

daya

orang

kaya/berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak generasi berikutnya 4. Menciptakan kesadaran di antara orang-orang kaya/berkecukupan mengenai tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya 5. Menciptakan integrasi antara keamanan sosial dan kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan

10

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia. 2003, h. 285

284

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

M.A. Mannan menyatakan, dilihat dari cara transaksi, wakaf mirip dengan sedekah. Perbedaan antara keduanya terletak pada perpindahan aset kepada masyarakat yang membutuhkan. Aset sedekah dan manfaatnya harus diberikan secara langsung kepada delapan asnaf yang telah ditentukan Allah SWT, sedangkan dalam wakaf perpindahan hanya terjadi pada manfaat/hasil aset tanpa mengurangi ‘ain aset. Monzer Khaf melihat wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui investasi saat ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehingga pengelolaan wakaf memiliki pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekarang untuk tujuan menyediakan penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang, karena tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani. Untuk mengembangkan lembaga wakaf sebagai sumber pembangunan umat, menurut Monzer Khaf diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Kerangka hukum (legal framework) yang memberikan perlindungan hukum memadai terhadap hak milik, pengelola lembaga wakaf dan definisi tentang pengelola lembaga wakaf, fungsi dan tujuannya secara jelas dan terperinci 2. Undang-undang yang memberikan kemungkinan pengalihan kepemilikan semua harta milik wakaf yang telah dialihkan ke sektor publik atau pribadi dan memeriksa kembali catatan lama wakaf untuk memulihkan kembali hak wakaf atas tanah-tanah estate-nya yang hilang 3. Merevisi secara menyeluruh manajemen wakaf, khususnya wakaf yang bersifat investasi, agar dapat memenuhi peningkatan efisiensi dan produktivitas harta milik wakaf dan meminimalkan praktik salah urus dan tindakan korupsi yang dilakukan oleh nadzir. Diperlukan pula model baru pengelolaan

wakaf

yang

sesuai

dengan

kelembagaan

wakaf

dan

menyediakan mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap pengelola wakaf.

285

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Wakaf memiliki pengertian yang berbeda dengan infak, shadaqah ataupun hibah, namun seringkali pengertian ini saling dirancukan. Berikut beberapa perbedaan penting antara wakaf dengan infak, shadaqah dan hibah, yaitu: Tabel 14.1. Perbedaan Wakaf dengan Infak, Shadaqah dan Hibah Wakaf

Infak, Shadaqah/Hibah

Menyerahkan kepemilikan suatu barang kepada orang lain Hak milik atas barang dikembalikan kepada Allah Objek wakaf tidak boleh diberikan atau dijual kepada pihak lain Manfaat barang biasanya dinikmati untuk kepentingan sosial Objek wakaf biasanya kekal zatnya

Menyerahkan kepemilikan suatu barang kepada pihak lain Hak milik atas barang diberikan kepada penerima infak, shadaqah/hibah Objek shadaqah/hibah boleh diberikan atau dijual kepada pihak lain Manfaat barang dinikmati oleh si penerima infak, shadaqah/hibah Objek infak, shadaqah/hibah tidak harus kekal zatnya Pengelolaan objek wakaf diserahkan kepada Pengelolaan objek infak, shadaqah/hibah administrator yang disebut diserahkan kepada si penerima nadzir/mutawalli

Sumber: Karim Business Consulting, 2003 Terdapat beberapa kendala yang menjadikan wakaf tunai sulit berkembang di masyarakat, yaitu 11: 1. Masyarakat masih memahami bahwa wakaf berhubungan dengan harta-harta yang memiliki nilai tinggi dan bersifat tetap seperti tanah, rumah, dan lain sebagainya 2. Wakaf tunai relatif baru di Indonesia, sehingga dampak langsung dari kelebihan wakaf tunai bagi kesejahteraan masyarakat belum terasa implikasinya dalam perekonomian 3. Lembaga wakaf tunai masih dipahami sebagai lembaga zakat, dan lembaga zakat bisa dijadikan pengganti keberadaan lembaga wakaf tunai. Hal ini yang menjadikan keberadaan lembaga wakaf tunai terasa tidak begitu penting 4. Tidak ada konsekuensi hukum yang mengikat individu untuk mewakafkan sebahagia hartanya.

11

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 291

286

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Usaha yang dapat dilakukan oleh lembaga pengelola wakaf tunai untuk mengurangi kendala-kendala di atas, ialah 12: 1. Sosialisasi keberadaan wakaf tunai kepada masyarakat, bahwa masyarakat tidak perlu menunggu sampai jumlah tertentu hartanya guna membeli sejumlah harta untuk diwakafkan. Wakaf bisa dilakukan dengan tunai, walaupun ia tidak memiliki harta, seperti tanah, rumah dan lain sebagainya 2. Mendirikan lembaga wakaf tunai dapat dimulai dari lingkungan terkecil seperti takmir masjid, pesantren dan sebagainya. Pendirian lembaga wakaf tunai tidak harus menunggu kelompok/institusi, selama individu/kelompok individu mampu mendirikannya maka tidak ada halangan untuk mendirikan lembaga wakaf tunai 3. Perlu koordinasi dengan lembaga zakat untuk menjalin kerjasama dan meningkatkan kinerja antara kedua lembaga tersebut, dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat. D. Wakaf Uang dan Pemberdayaan Masyarakat 13 Wakaf merupakan ibadah yang berdimensi ganda, selain untuk menggapai keridhaan serta pahala dari Allah, wakaf merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Dalam sejarah Islam, wakaf banyak digunakan untuk kepentingan sosial. Wujud kepentingan sosial tersebut dapat berupa pemberdayaan masyarakat, jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Dalam manajemen modern saat ini, wakaf diintegrasikan dengan berbagai sistem modern yang telah ada, terutama terkait dengan wakaf uang saat ini tengah digencarkan di Indonesia. berdasarkan UU No. 41 tahun 2004, penerimaan dan pengelolaan wakaf uang dapat diintegrasikan dengan lembaga keuangan syariah. Dalam wakaf uang, wakif tidak boleh langsung menyerahkan mauquf yang berupa uang kepada nazhir, tapi harus melalui LKS, yang disebut sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (PWU).

12

Ibid, h. 291 M. Nur Rianto Al Arif, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wakaf Uang, Jurnal AsySyir’ah, Vol. 44, No. II, 2010, h. 821-825 13

287

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam sistem pengelolaan wakaf uang tidak banyak berbeda dengan wakaf tanah atau bangunan, nazhir bertugas untuk menginvestasikan sesuai syariah dengan satu syarat: nilai nominal uang yang diinvestasikan tidak boleh berkurang. Sedangkan hasil investasi dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal 10%) dan kesejahteraan masyarakat (minimal 90%) 14. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam gambar berikut: Gambar 14.1. Skema Pengelolaan Wakaf Uang 15 Penghimpunan dan penerimaan Wakif E.

F.

Wakaf Uang

Pengelolaan dan pengembangan LKSPWU

Nazhir

Investasi finansial dan/atau investasi sektor riel Investasi

Pendayagunaan dan penyaluran Hasil investasi

90% Mauquf

‘alaih

10%

Saat ini yang tengah berjalan adalah kerjasama nazhir dengan perbankan syariah. Ini tercermin dari Keputusan Menteri Agama RI No. 92-96 tahun 2008 yang menunjuk 5 bank syariah untuk bermitra dengan nazhir dalam soal wakaf uang. Kelima bank tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah dan Bank Syariah Mega Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan, ke depan pengembangan wakaf uang juga bias dipadukan dengan instrument lembaga keuangan syariah non bank. Dalam pasal 34 amandemen UUD 1945 dikatakan, “Bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesai dengan martabat kemanusiaan”. Berdasarkan amandemen UUD 1945 tersebut secara eksplisit bahwa Negara harus

14

UU No. 41 tahun 2004, pasal 12 M. Syakir Sula, Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah, dalam Jurnal AlAwqaf, Vol. II, Nomor 2, April 2009 15

288

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mampu memberdayakan masyarakat. Terminologi pemberdayaan adalah membantu masyarakat agar mereka mampu menjadi mandiri dalam mensejahterakan dirinya sendiri. Wakaf uang sebagai suatu gerakan baru dalam dunia perwakafan terutama di Indonesia mampu mengambil peranan yang signifikan dalam merancang programprogram pemberdayaan masyarakat. Sebab tugas memberdayakan masyarakat bukanlah tugas pemerintah semata, namun setiap elemen masyarakat harus turut serta dalam memberdayakan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan sistem perwakafan, hal ini sesuai dengan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang telah mengamanatkan Badan Wakaf Indonesia agar mengelola harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional. Sifat utama perwakafan mengharuskan kekal dan abadi pokok hartanya, lalu dikelola dan hasilnya disalurkan sesuai dengan peruntukannya sangat sesuai dan selaras dengan program sistem jaminan sosial atau asuransi. Dalam perwakafan, pihak wakif dapat menentukan peruntukan hasil pengelolaan harta wakaf (mauquf ‘alaih). Dalam ketentuan undang-undang terdapat dua model wakaf uang, yaitu wakaf uang untuk jangka waktu tertentu dan wakaf uang untuk selamanya. Wakaf uang jangka waktu tertentu haruslah diinvestasikan ke produk perbankan agar lebih aman dan memudahkan pihak wakaf dalam menerima uangnya kembali pada saat jatuh tempo. Sedangkan wakaf uang untuk selamanya, pihak nazhir memiliki otoritas penuh untuk mengelola dan mengembangkan uang wakaf untuk mencapai tujuan wakafnya. Bila kegiatan investasi menggunakan dana penghimpunan wakaf, maka atas keuntungan bersih usaha hasil investasi ini (yaitu pendapatan kotor dikurangi dengan biaya operasional), akan dibagikan sesuai dengan ketentuan undang-undang wakaf yaitu 90% keuntungan akan diperuntukkan untuk tujuan wakaf (mauquf ‘alaih) dan 10% untuk penerimaan pengelola atau nazhir. Seorang wakif dapat menetapkan jenis peruntukkan harta wakaf, misalnya untuk pemberdayaan komunitas secara integral. Seperti pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan, pemberdayaan kesehatan, pemberdayaan sosial dan pemberdayaan ekonomi suatu komunitas. Bentuk pemberdayaan pendidikan misalnya dapat berupa pendirian sekolah gratis dengan kualitas mutu terjamin atau bantuan uang sekolah dan peralatan sekolah dengan tetap memperhatikan kesejahteraan guru. Sementara

289

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pemberdayaan kesehatan dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis bagi masyarakat kurang mampu. Atau bantuan biaya kesehatan ibu hamil dan bantuan melahirkan bagi ibu tidak mampu, serta bantuan gizi bagi balita. Kemudian pemberdayaan sosial dapat berupa pelatihan kerja dan kewirausahaan bagi para pengangguran atau anak jalanan. Selain itu pemberdayaan sosial dapat pula program penanganan dan rehabilitasi remaja bermasalah (narkoba, premanisme, PSK, dsb). Aktifitas pemberdayaan ekonomi dapat berupa bantuan dana bergulir dengan skema qardhl hasan bagi pengusaha kecil dengan diikuti pembinaan terhadapnya berupa program pelatihan dan pembinaan usaha, bantuan pemasaran serta peningkatan mutu produk.

E. Badan Wakaf Indonesia (BWI) 1. Profil BWI Kelahiran BWI merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Kehadiran BWI sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47 adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2007. Jadi BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat. BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinso dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas badan pelaksana dan dewan pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan dewan pertimbangan adalah unsur pengawas pelaksanaan tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat. (UU. No. 41/2004, pasal 51-53)

290

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Keanggotaan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada presiden oleh menteri. Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (UU No. 41 / 2004, pasal 55-57) 2. Tugas dan Wewenang Sesuai dengan UU No. 41/2004 pasal 49 ayat 1, Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Melakukan

pembinaan

terhadap

nadzir

dalam

mengelola

dan

mengembangkan harta wakaf b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional c. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukkan dan status harta benda wakaf d. Memberhentikan dan mengganti nadzir e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Pada ayat 2 dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, bada internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu dalam melaksanakan tugas-tugas itu BWI memerhatikan saran dan pertimbangan menteri dan Majelis Ulama Indonesia, seperti tercermin dalam pasal 50. Terkait tugas dalam membina nadzir, BWI melakukan beberapa langkah strategis, sebagaimana disebutkan dalam PP No. 4/2006 pasal 53, meliputi: a. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional nadzir wakaf baik perseorangan, organisasi, dan badan hokum

291

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b. Penyusunan

regulasi,

pemberian

motivasi,

pemberian

fasilitas,

pengoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf c. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi wakaf d. Penyiapan dan pengadaan blangko-blangko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak dan/atau benda bergerak e. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada nadzir sesuai dengan lingkupnya f. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf. 3. Strategi Adapun strategi untuk merealisasikan visi dan misi Badan Wakaf Indonesia adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan Wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional b. Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan c. Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf d. Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nadzir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf e. Mengoordinasi dan membina seluruh nadzir wakaf f. Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf g. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf h. Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional

292

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

DAFTAR PUSTAKA Achsien, Iggi H. Investasi Syariah di Pasar Modal. Jakarta: Gramedia. 2000 Amrin, Abdullah. Strategi Pemasaran Asuransi Syariah. Jakarta: Grasindo. 2007 Antonio, M. Syafii. Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. 2001 Al Arif, M. Nur Rianto. Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung: CV Alfabet. 2010 ----------------------------------. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wakaf Uang. Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 44, No. II. Yogyakarta: Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2010 Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Prenada Media. 2004 Ali, Salma Syed. Islamic Capital Market Product, Development and Challenges, Occasional Paper, No. 9. Jeddah: IRTI-IDB. 2005 Ali, Zainuddin. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. 2008 Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2000 -----------------. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet. 2002 Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2007 Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, et.al. Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4 Mazhab (terj). Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif. 2009 Aziz, M. Amin. Pedoman Pendirian BMT. Jakarta: Pinbuk Press. 2004 ------------------. AD/ART BMT. Jakarta: Pinbuk Press. 2005 ------------------. Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. Jakarta: Pinbuk Press. 2005 Buchory, Herry Achmad dan Djaslim Saladin. Dasar – dasar Pemasaran Bank. Bandung: Linda Karya. 2006 Damadji, Tjiptono dan Fakhrudin, Hendy M. Pasar Modal di Indonesia: Pendekatan Tanya Jawab. Jakarta: Salemba Empat. 2001

401

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Daud, Muhammad. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf. Jakarta: UI Press. 1988 Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004 Djunaidi, Achmad dkk. Paradigma Baru wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan wakaf Departemen Agama RI. 2005 Djunaidi, Achmad dan Thobieb al-Asyhar. Menuju era Wakaf Produktif. Jakarta: Mumtaz Publishing. 2007 Firdaus, Muhammad et.al. Sistem Operasional Asuransi Syariah. Jakarta: Renaisan. 2005 Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Penerbit Kencana. 2010 Huda, Nurul dan Mustafa E Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah. Jakarta: Penerbit Kencana. 2007 Inayah, Gazi. Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2003 Iqbal, Muhaimin. General Takaful Practice. Jakarta: Gema Insani Press. 2004 Judiseno, Rimsky K Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005 Karim, Adiwarman Azwar. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Press. 2004 Kasmir. Pemasaran Bank. Jakarta: Kencana. 2004 ---------. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008 Metwally, M. Essays on Islamic Economic. Calcutta: Academic Publisher. 1993 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam. Yogyakarta: UII Press. 2000 ---------------. Lembaga Keuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta: UII Press. 2000 Nafis, Cholil. Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, Nomor 2, April 2009. Jakarta: BWI. 2009

402

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Nasution, Mustafa Edwin. Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer dalam Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah (ed). Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam. Jakarta: PSTTI UI. 2006 Nata, Abudin. Mengenal Hukum Zakat dan Infak/Sedekah. Jakarta: Bazis DKI Jakarta. 1999 ------------------. Pengelolaan Zakat dan Infak/Sedekah di DKI Jakarta. Jakarta: Bazis DKI Jakarta. 1999 Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Bandung: Mizan. 1988 Perwaatmadja, Karnaen dan Muhammad Syafii Antonio. Apa dan Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1992

Bagaimana

Rahardjo, M. Dawam. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1999 Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII Press. 2004 Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden: EJ Brill. 1996 Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Intermedia. 1995 Siddiqi, M. Nejatullah. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa. 1996 Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2009 Subagya, et.al. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: STIE YKPN. 2002 Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi Edisi ketiga. Yogyakarta: Ekonisia. 2008 Suhadi, Imam. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 2002 Sula, Muhamad Syakir. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press. 2004 -------------------------------. Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah, dalam Jurnal Al-Awqaf. Vol. II, Nomor 2, April 2009. Jakarta: BWI. 2009

403

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Suma, Muhammad Amin. Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional: Sistem, Aplikasi dan Pemasaran. Jakarta: Kholam Publishing. 2006

Teori,

Sumanto, Agus Edi. Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah. Bandung: Salamadani. 2009 Sumitro, Warkum. Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan Takaful di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996 Susilo, Y. Sri, et.al. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat. 2000 Suyatno, M. Muhammad: Business Strategy & Ethics. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2008 Suyatno, Thomas, et.al. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: Gramedia. 1993 Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI. Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan. 2001 Tim Redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve. 1994 Widyaningsih, et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media. 2005 Zuhri, Muhammad. Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1996

404

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Glosarium Akad Tabarru’ Anjak Piutang Syariah Asuransi

Asuransi Syariah

Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu

Bank sentral

Bank Syariah Bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS)

Semua bentuk kontrak/akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, dan bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan Kegiatan pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut sesuai dengan prinsip syariah Suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak tertentu Sebuah lembaga usaha yang saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah Lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan Institusi yang bertugas mengambil kebijakan moneter yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas perekonomian suatu negara Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Permbiayaan Rakyat Syariah Bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

Dana pensiun syariah

Badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun sesuai dengan prinsip syariah

Deposito

Investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) Efek yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI dalam bentuk fatwa

Efek syariah

405

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Efek Beragun Aset Syariah

Giro

ijarah

Ijarah Muntahiyah Bittamlik

Lembaga keuangan Obligasi syariah

Pegadaian syariah

adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan Akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri Akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa Semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan Suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo Perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal. Sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib, tergantung alternatif yang dipilih

Pembiayaan atau financing

Pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga

Pembiayaan konsumen syariah

Kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip syariah

Perbankan syariah

Segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya

406

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Reksadana syariah

Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi Riba Setiap penambahan yang diambil tanpa ada satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah Sewa guna usaha (leasing) adalah kegiaan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang syariah modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah Saham syariah Sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan yang diterbitkan oleh emiten yang kegiatan usaha maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah Surat Berharga Syariah Surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip negara syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing Tabungan Simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu Uang Sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa Uang giral Uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya Uang komoditas Alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau bisa diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai uang Unit Usaha Syariah Unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah Wadi’ah amanah Harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dititipkan dengan alasan apapun juga, akan tetapi pihak yang dititipkan boleh mengenakan biaya administrasi kepada pihak yang menitipkan sebagai kontraprestasi atas penjagaan barang yang dititipkan

407

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

wadi’ah yad dhamanah

Wakaf zakat

Pihak yang dititipkan (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Dan pihak bank boleh memberikan sedikit keuntungan yang didapat kepada nasabahnya dengan besaran berdasarkan kebijaksanaan pihak bank Sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum Harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya

408

View publication stats

More Documents from "Lailatul Magfiroh"