DISUSUN OLEH MANIK CINDERANO TIPOLOGI BUDAYA INTI SARI Budaya yang terkait dengan penelitian bisnis akan memerlukan kerangka kerja yang jelas untuk aplikasi dan analisis dari fenomena kompleks ini. Penelitian bisnis telah sangat mengandalkan dan mengaplikasikan dimensi Hofstede terhadap permasalahan kultural.
Paper ini akan mengkaji dan membahas alternatif lain (Trompenaars
Triandis dan
Fiske )
mengidentifikasi
untuk klasifikasi Hofstede. Selain itu, paper ini akan
kriteria yang jelas
mengevaluasi
setiap klasifikasi
diidentifikasi
yaitu:
simplisitas
mentransendenkan level analisis,
untuk mengukur klasifikasi
sesuai dengan kriteria ini. atau
kesederhanaan,
kemampuan untuk
dan memungkinkan
dan
Kriteria yang telah kemampuan
untuk
“meminjamkan dirinya”
kepada metode penelitian yang berbeda-beda, menambah identifikasi tema,
ini
kekayaan dalam
pemahaman yang lebih beragam
atas
perubahan kultural. Selain menawarkan alternatif yang layak untuk klasifikasi
Hofstede, paper ini
menyarankan kepada para peneliti budaya untuk mengadopsi suatu kerangka kerja yang didasarkan kepada tujuan penelitian mereka, kriteria ke depan untuk membentuk dan mengarahkan penelitian budaya, dan menyediakan kepada para peneliti suatu kerangka kerja untuk mengembangkan tipologi yang lebih jelas. Pengantar Konsiderasi utama untuk studi ini adalah hampir sepenuhnya didasarkan kepada literatur bisnis tentang klasifikasi Hofstede atas budaya nasional dan klasifikasi dari peneliti
lain dalam area ini.
Dimensi nilai Hofstede telah semakin banyak
mendapatkan kritikan karena kemampuannya yang terbatas dalam memperluas nilai dominan sekarang dalam suatu negara untuk merepresentasikan nilai budaya dari
sebuah negara (Hunt 1983), ketepatan yang tidak memadai dari definisi lintas kategori
(Chow dkk 1999), dan lingkup yang terbatas dalam metodologi
dan
pengukuran (Yeh 1988). Berdasarkan kepada besarnya kritik atas kerangka-kerja Hofstede, maka semakin dipandang
penting bagi para peneliti untuk mengkaji klasifikasi yang lainnya.
Literatur bisnis juga kekurangan sintesis yang bermakna (meaningful) atas klasifikasi budaya. Bagaimanapun, budaya akan tetap menjadi area penelitian yang menarik. Vista baru dalam penelitian budaya mencakup: budaya dengan strategi kepemilikan dan usaha patungan atau joint venture (Kogut and Singh 1988), gaya kognitif (Abramson dkk 1993), budaya dengan manajemen informasi global (Myer and Tan 2002). Oleh sebab itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji klasifikasi alternatif dari budaya, mengidentifikasi kriteria untuk evaluasi
klasifikasi, dan
menganalisis kerangka-kerja ini sepanjang kriteria yang diidentifikasi.
Bagian
berikutnya akan mempertentangkan pandangan budaya berbasis nilai yang lebih mapan dengan pandangan ontologis. Konsep dan manifestasi budaya Satu definisi awal dari budaya adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni dan moral hukum adat istiadat dan kapabilitas lainnya dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor 1871). Para pakar lainnya telah mengidentifikasi 164 definisi dari budaya (Kroeber 1952) yang secara umum akan memandang budaya sebagai suatu properti dari kebanyakan warga negara atau modal personalitas (Inkeles 1969). Budaya akan dapat dipelajari, didapatkan, dan diwariskan. Budaya akan merefleksikan
pola
pemikiran, perasaan, dan perilaku (Harris 1987) dan aksi dan reaksi (Kluckhohn 1951) dan ide, nilai, dan sistem makna simbolis lainnya (Kroeber dkk 1958). Tema yang mendasari adalah bahwa budaya adalah abstraksi dari perilaku kongkrit tetapi bukan perilaku itu sendiri. Budaya akan ditransmisikan terutama oleh simbol yang
menyusun prestasi distinktif dari kelompok manusia,
termasuk
yang
terkandung dalam artefak. Transmisi ini telah dipandang sebagai suatu pemrograman
kolektif dari pikiran yang akan membedakan anggota dari satu kelompok manusia dengan kelompok yang lainnya (Hofstede 1980). Hofstede mengakui bahwa ini bukanlah definisi yang lengkap
dari budaya. Tetapi ia
secara sederhana telah
mencakup apa yang dapat diukur. Hofstede menekankan nilai
sebagai tonggak
budaya, yang mana penekanan ini konsisten dengan peneliti lainnya. Nilai akan diprogram sejak usia dini dan akan menentukan definisi subyektif dari rasionalitas. Nilai akan dimanifestasikan pada level individu dan kolektif (Parson 1951) dan akan dianggap sebagai keadaan akhir atau tujuan akhir dan bukannya sebagai sarana (Bem 1970). Perbedaan sarana (nilai instrumental) dan tujuan (nilai akhir atau nilai terminal) ini juga telah diakui oleh para ahli filsafat (Lovejoy 1950) dan para pakar antropologi (Kluckhohn 1951) serta para pakar psikologi (English and English 1958). Nilai akan dapat dianggap sebagai nilai yang diterima secara tidak sadar atau kepercayaan pada level nol dan nilai yang diperoleh secara langsung sebagai kepercayaan yang datang pertama kali. Hofstede (1980) mengikuti definisi nilai intensitas dan modalitas dari Kluckhohn (1951) dan mendefinisikannya secara cukup sederhana sebagai tendensi umum untuk menyukai atau memilih keadaan tertentu di atas keadaan yang lainnya. Hofstede mengklaim bahwa nilai akan mempunyai arah dan intensitas atau dengan kata lain nilai akan mempunyai tanda dan ukuran. Nilai haruslah dibedakan antara nilai yang diharapkan dengan yang tidak diharapkan: apa yang manusia benar-benar harapkan dan apa yang mereka anggap pantas diharapkan. Mempersamakan keinginan dengan harapan adalah positifistic fallacy, tetapi Hofstede memilih untuk mengadopsi suatu pandangan pragmatis untuk membantu pengukuran nilai. Nilai yang didasarkan kepada literatur ini (atau nilai laten ini) telah dihadapkan kepada banyak kritik dari sudut pandang kognitif dan ontologis. Debat ini secara kritis akan dievaluasi sebagai berikut Budaya: pandangan berbasis nilai vs pandangan berbasis ontologis Pandangan ontologis didasarkan kepada pendapat (ide) kognitivisme budaya yang menyatakan bahwa budaya akan dapat dipahami secara lebih baik dalam istilah
kognitif daripada dengan seperangkat nilai latennya. Dengan mengkaji kognisi maka kerangka-kerja imperatif akan menjelaskan mengapa orang berasosiasi dan berbagi ide dan fenomena dalam cara tertentu menjelaskan budaya.
Ide kognitivisme cultural
sehingga hal itu akan dapat ini
(dan sehingga disebut ide
ontologis) akan mengembangkan konsep seperti representasi kesamaan kognitif dalam pikiran individu individu, sehingga akan membentuk budaya (Romney dkk 1996); pola konsisten dari persepsi, penginterpretasian dan perelasian informasi yang akan mempengaruhi
perilaku individualis dan kelompok (Abramson 1996),
ontologis intuitif spesifik domain
yang akan membentuk jalur dari akuisisi dan
kognisi yang membingkai representasi kultural (Boyer 1996); organisasi kognitif pada individu adalah lokus utama dari budaya (Talmy 1996). Bahasa spasial dan kognisi akan bervariasi lintas budaya (Levinson 1996). Pandangan ontologis ditarik dari proses kognitif dari perolehan informasi dan pengambilan keputusan sebagai basis unit (unit dasar) dari analisis budaya (Talmy 1995). Dengan menggunakan skema ini maka para peneliti akan dapat menemukan mekanisme dimana budaya akan terbentuk dan mengalami bias. Hakikat dimana budaya akan bervariasi secara ontologis
dalam kaitannya dengan kategorisasi,
differensiasi, dan abstraksi akan memungkinkan analisis dari persepsi manajer dan hubungan dan interpretasi informasi sehingga akan mempengaruhi perilaku individu dan kelompok (Abramson 1996). Oleh sebab itu, para pakar ontologis mengklaim telah meletakkan landasan kerja melalui interaksi dari struktur kognitif bersama (DeMaggio 1997). Tetapi, suatu eksaminasi yang lebih mendalam telah menunjukkan bahwa pandangan ontologis menghadapi
tiga tantangan besar.
Yang pertama, literatur ontologis
menegaskan bahwa kerangka-kerja interpretif yang berakar secara kultural akan menjelaskan asosiasi dan diskriminasi seseorang lebih baik dari pada daya tarik konvensional pada nilai budaya laten. Hal ini mengimplikasikan bahwa pandangan dunia berbasis emik akan selalu lebih unggul daripada pandangan etis. Ini adalah posisi yang ekstrim, karena pandangan emik akan memerlukan validitas eksternal
untuk memungkinkan suatu teori
dapat digeneralisir, sehingga akan menjamin
pandangan etis tetap berada di bawah pandangan emik. Yang implisit dengan perspektif ontologism adalah bahwa
emik, dan etik akan
dipandang sebagai dikotomik dan pandangan emik dan etik (pada saat digunakan bersama-sama) akan bersifat saling melengkapi dan akan meningkatkan validitas. Oleh sebab itu, pandangan ontologis memerlukan pengembangan debat etik dan emik secara lebih jelas dan perlu mengadopsi posisi berdasarkan pengetahuan dan landasan ilmiah. Kedua, para pakar ontologis mengasumsikan bahwa bergerak dari level kolektif (pandangan laten atas nilai)
ke level individual (pandangan kognitif) akan
memfokuskan konsep budaya agar menjadi stabil dan visibel. Asumsi ini adalah cacat, karena kognisi dan preferensi dan kesadaran individu akan dapat berubah dan akan bergantung kepada sejumlah kondisi internal dan eksternal. Oleh sebab itu, kognisi individual akan sama latennya dengan konsep nilai kolektif. Bergerak dari kolektif ke individualis tidaklah suatu hal yang nista (Campbell 1977). Ketiga, kerangka-kerja kognitif pada saat diaplikasikan kepada analisis empiris akan menyediakan pandangan atas diri dan waktu mirip dengan yang telah disediakan oleh literatur nilai laten. Kemiripan ini akan dijelaskan dalam dua cara. Pada awalnya, pembingkaian kognisi individual kemungkinan akan disandarkan kepada nilai nilai kolektif, misalnya seperti apa suatu fenomena akan dipersepsikan oleh kelompok referen dan teman sebaya. Hal ini berarti bahwa kognisi individu akan dapat dibentuk oleh kekuatan (Redding 1980) yang berada di luar individu, yaitu nilai laten dari budaya. Ada banyak hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa budaya akan mempengaruhi konsepsi diri seseorang (Erez dkk 1993). Oleh sebab itu, kognisi individu dan persepsinya akan diarahkan, dikendalikan, dan dibentuk oleh nilai laten dari budaya. Yang lebih penting lagi, perubahan pada kognisi individu (media, pendidikan, dan interaksi dengan budaya dan kelompok referen lainnya) barangkali akan mendorong perubahan dalam nilai laten. Oleh sebab itu, nilai laten dan kognisi individu adalah
sangat berkaitan. Oleh sebab itu, suatu pendapat yang mengabaikan nilai laten adalah salah arah (menyesatkan) dan sehingga paper ini akan mengkaji
secara lebih utuh
literatur berbasis nilai. Klasifikasi budaya Meskipun klasifikasi dari Hofstede adalah klasifikasi yang paling terkenal, tetapi paper ini telah memilih tiga klasifikasi yang lainnya yang akan menyediakan wawasan kepada budaya dan akan memapar alternative bagi klasifikasi Hofstede. Para penulis ini adalah Trompenaars Triandis dan Fiske , psikologi, psikologi lintas budaya dan sosiologi,
yaitu pakar dalam bidang
yang tulisan-tulisannya sering
muncul di media massa. Klasifikasi budaya ini dikembangkan dan diukur sepanjang lima criteria evaluasi.
Kriteria ini
akan membentuk benchmark untuk evaluasi
kecukupan dan kememadaian dari setiap skema klasifikasi. Kelima criteria ini adalah: Simplisitas: klasifikasi haruslah bersifat simple dan sederhana. Klasifikasi cultural haruslah dapat mensintesis konstruk yang kompleks dan kaya ke dalam sejumlah kecil konsep sederhana yang mudah dipahami. Simplisitas pada bentuk dan substansi tidak boleh mengkompromikan
analisis dan kekayaan skema.
Substansi akan
dicirikan oleh kemampuan dari skema klasifikasi untuk menjadi eksklusif. Bentuknya harus elegan dan keeratan dengan klasifikasi haruslah dipertahankan. Oleh sebab itu, semakin besar kesetimbangan antara simplisitas dan kekayaan isi maka akan semakin besar pula tingkat kecanggihan dari klasifikasi itu. Kemampuan untuk mentransedensikan level analisis: Klasifikasi cultural
akan
sering dibatasi oleh level atau unit analisis dimana dia diaplikasikan. Budaya akan dikaji pada level sub kelompok, kelompok, organisasi, bangsa atau negara. Jelas sekali, pemilihan level analisis yang tepat adalah hal yang sangat penting (Rousseau 1985).
Beberapa klasifikasi telah memungkinkan aplikasi dari
kepada level tertentu atau unit analisis kemanfaatannya.
Pembatasan/kendala
tertentu
skema tertentu
sehingga akan membatasi
analitik ini akan dapat menghambat para
peneliti dalam memahami skema dan mengaplikasikannya ke dalam subyek yang
lainnya dan dalam memperluas klasifikasi itu sendiri.
Suatu skema yang lebih
canggih akan memungkinkan banyak level analisis. Aplikabilitas terhadap berbagai metode penelitian; Suatu klasifikasi yang bermanfaat adalah klasifikasi yang fleksibel dan memungkinkan para peneliti untuk mengadopsi dan mengaplikasikan berbagai metode penelitian (misalnya metode penelitian eksperimental, studi kasus, studi lapang dkk) dalam menginvestigasi permasalahan (Newman dkk 1998). Mengulang studi menggunakan metode yang berbeda akan menegaskan bahwa temuan itu akan dijelaskan oleh teori yang mendasari dan bukannya dijelaskan oleh kesamaan metode. Jika suatu skema klasifikasi memungkinkan pluralitas metode, maka suatu investigasi
akan dapat memberikan hasil yang akurat dan dapat
digeneralisir dan dipertanggungjawabkan validitasnya.
Oleh sebab itu, suatu
kerangka-kerja yang siap pakai akan menyerahkan dirinya untuk adopsi dan aplikasi berbagai metode penelitian. Identifikasi tema dominant: Budaya akan mempunyai tema tertentu yang adalah lebih dominan daripada tema yang lainnya. bermanfaat
Klasifikasi kultural yang lebih
haruslah cukup memadai untuk memungkinkan para peneliti dalam
mengidentifikasi
tema dominan
dalam suatu budaya di atas aplikasi
dari
klasifikasinya. Sebagai analogi, suatu tapestry yang indah, yang kaya warna, dan berdesain bagus
akan dapat dikaji dalam dua cara mendasar.
Yang pertama,
mendekomposisikan makna dari tema dominan tapestry. Kedua, mengkaji tema yang lebih rumit dan periperal.
Semakin kaya suatu kerangka-kerja dalam
memungkinkan tema dominan dan periperal untuk diidentifikasi secara tegas, maka akan semakin canggihlah klasifikasinya. Fleksibilitas dalam memahami perubahan cultural: Budaya akan berubah atas waktu dan dimensi spesifik dalam taksonomi
juga akan dapat bervariasi.
Kemampuan dari suatu taksonomi untuk menganalisis perubahan adalah kuat karena ini akan memungkinkan para peneliti untuk menjelaskan, mendeskripsikan,
dan
memprediksi perubahan dalam sikap, nilai, dan norma. Oleh sebab itu, semakin
fleksibel klasifikasi dalam menjelaskan perubahan, maka akan semakin canggihlah ia. Kriteria ini tidak diurutkan oleh kepentingan atau ukuran yang lainnya. Setiap kriteria itu sendiri adalah tidak memadai, sehingga harus dilengkapi dengan yang lainnya. Kriteria itu sendiri mungkin tidak mutlak, tetapi akan disajikan sebagai benchmark untuk evaluasi empat klasifikasi budaya.
Klasifikasi Hofstede
Trompenaars Triandis dan Fiske akan kami sajikan pada tulisan berikutnya. Bagian ini akan distruktur untuk membahas konsep penting dari tipologi yang akan diikuti oleh evaluasi tipologi berdasarkan lima kriteria evaluasi yang telah kita bahas di depan. Kesimpulan akan menyediakan perbandingan tipologi-tipologi ini dan arahan untuk penelitian ke depan. Dimensi nilai Hofstede Dimensi individualisme, maskulinitas,
jarak kekuasaan, dan penghindaran
ketidakpastian Hofstede adalah proses psikologis yang sangat sugestif (Bond 1987). Dengan menempatkan budaya pada peta empat factor maka kerja seminal akan memungkinkan pakar psikologi lintas budaya untuk menyeleksi (memilih) budaya sebagai basis perbandingan. Operasionalisasi budaya ini adalah sangat penting jika penelitian empiris
hendak membangun struktur teoritis untuk menjelaskan
perbedaan lintas budaya
dalam perilaku (Hales 1979). Hofstede telah
memperkenalkan empat dimensi pada tahun 1980 dan lima dimensi pada tahun 1988. Individualisme dan kolektivisme Individualisme akan mewakili preferensi kerangka kerja social yang lebih longgar dalam masyarakat dimana individualisme
akan cenderung mengutamakan
kepentingan dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka. Sedangkan kolektivisme akan cenderung lebih disukai oleh masyarakat dimana individu individu dapat mengharapkan tetangga, klan, dan anggota lain dari masyarakat turut menjaga mereka sebagai suatu bentuk solidaritas. Persoalan utamanya adalah derajad interdependensi yang dipertahankan oleh individu dalam masyarakat.
Jarak Kekuasaan besar vs kecil Jarak Kekuasaan adalah luasan dimana anggota masyarakat akan menerima distribusi kekuasaan yang tidak setara. Hal ini akan mempengaruhi perilaku dari anggota yang lebih kuat dan anggota yang kurang kuat. Orang-orang pada masyarakat dengan jarak kekuasaan besar akan menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai tempatnya sendiri yang akan mengarah kepada ketidaksetaraan kekuasaan yang tidak perlu lagi dijustifikasi. Persoalan mendasar yang dicoba diatasi oleh dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat akan mengelola ketidaksetaraan diantara individu individu dan hal ini akan mempunyai konsekuensi dalam pembangunan insititusi dan organisasi. Penghindaran ketidakpastian lemah vs kuat: Penghindaran ketidakpastian adalah derajad dimana anggota masyarakat akan merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian
dan ambiguitas. Masyarakat dengan
Penghindaran Ketidakpastian kuat akan mempertahankan kode kepercayaan dan perilaku secara ketat yang menjanjikan kepastian dan melindungi kenyamanan. Masyarakat semacam ini akan tidak toleran terhadap ide dan individu yang menyimpang.
Masyarakat dengan penghindaran ketidakpastian lemah
mempertahankan suasana yang lebih rileks.
Dalam masyarakat semacam
akan itu
Penyimpangan akan cenderung lebih mudah ditolerir. Secara mendasar, dimensi ini akan mengupas bagaimana suatu masyarakat akan memandang linearitas waktu dan mengontrol masa depan atau membiarkannya terjadi. Penghindaran Ketidakpastian akan mempunyai konsekuensi bagi cara-cara dimana individu akan membangun institusi dan organisasi. Maskulinitas vs femininitas Maskulinitas akan merujuk kepada preferensi dalam masyarakat terhadap prestasi, ketegasan, kepahlawanan, kejantanan, dan keberhasilan material. femininitas akan merujuk kepada persaudaraan, kesederhanaan,
preferensi masyarakat akan
Sebaliknya, hubungan
perhatian kepada pihak yang lemah, dan kualitas
kehidupan. Masalah mendasar yang coba dipecahkan oleh dimensi ini adalah cara dimana suatu masyarakat akan mengalokasikan peran sosial kepada jender. Orientasi jangka pendek vs panjang Orientasi jangka pendek akan merujuk kepada preferensi masyarakat yang memupuk nilai-nilai luhur yang diorientasikan terhadap kesabaran dan ketekunan. Sedangkan Orientasi jangka jangka panjang akan merujuk kepada suatu masyarakat yang lebih memilih stabilitas dan kemajuan personal dan penghargaan terhadap tradisi dan kemapanan. Evaluasi dimensi Hofstede Pada evaluasi, klasifikasi Hofstede telah mencatatkan skor tinggi pada simplisitas. Hal ini terjadi karena dimensi Hofstede adalah konsep yang relatif jelas, mudah, dan kaya makna terkait dengan bentuk. Tetapi, terkait dengan substansi, klasifikasi itu tidaklah
eksklusif atas dasar dua alasan. Alasan Yang pertama,
penghindaran
ketidakpastian akan menghadapi kritik karena tidak dapat menangkap secara valid nilai oriental, sehingga tidak akan dapat bersifat ekshaustik. Alasan Kedua, pemasukan orientasi jangka panjang telah memperlihatkan kurangnya eksklusivitas. Terlebih lagi,
Hofstede tidak dapat mengesampingkan kemungkinan penemuan
dimensi baru. Oleh sebab itu, terkait dengan simplisitas, peringkat klasifikasi Hofstede adalah moderat dalam substansi dan tinggi dalam bentuk. Terkait dengan level analisis, Hofstede berpendapat bahwa klasifikasinya hanya akan dapat diaplikasikan pada level nasional. Meskipun argumen yang pas masih tidak jelas, tetapi Hofstede menegaskan bahwa mengaplikasikan dimensinya kepada level lain adalah tidak benar dan akan salah secara ekologis.
Hal ini akan sangat
membatasi penggunaan skemanya dan sehingga akan mendapatkan peringkat rendah untuk kriteria level analisis. Dalam mengaplikasikan kriteria metode penelitian yang berbeda, aplikasi suatu metode lain yang tidak dispesifikasikan oleh Hofstede akan dianggap tidak tepat. Meskipun data Hofstede telah digunakan secara luas, tetapi tampaknya hanya ada sedikit aplikasi dimensi ini pada metode penelitian lainnya (misalnya pada penelitian
lapang dan penelitian eksperimental). Oleh sebab itu, klasifikasi
Hofstede akan
mendapatkan peringkat rendah untuk kriteria metode penelitian. Dalam kaitannya dengan kemampuan untuk mengidentifikasi tema dominan, maka dimensi itu akan dapat digunakan untuk mengidentifikasi tema dominan dalam budaya tertentu dan dan untuk mengidentifikasi tema dominan lintas budaya. Oleh sebab itu, klasifikasi Hofstede akan mendapatkan peringkat menengah pada kriteria identifikasi tema dominan. Dalam kaitannya dengan pemahaman perubahan budaya, kerangka kerja Hofstede tidak secara eksplisit memberikan ruang untuk studi budaya.
Tetapi, aplikasi yang diresepkan
sistematis atas perubahan
dari instrumen dan metodenya akan
memungkinkan kita untuk menyorot budaya pada berbagai titik waktu. Sorotan ini adalah tidak indikatif dari proses perubahan, tetapi hanyalah besaran dan arah dari perubahan.
Oleh sebab itu, model Hofstede
hanya sedikit bermanfaat dalam
memahami dan menjelaskan perubahan budaya. Terlepas dari semakin tumbuhnya kritik atas karya dari Hofstede, empat alasan telah diidentifikasi untuk adopsi luas dari klasifikasi nya. 1. Alasan yang Pertama, studi Hofstede adalah studi
pertama yang
mengintegrasikan konstruk yang sebelumnya terpisah-pisah dan dia adalah orang
yang
pertama
menyajikan
kerangka
kerja
koheren
untuk
mengklasifikasi kan budaya yang berbeda. 2. Alasan kedua untuk pemakaian secara luas klasifikasi
budaya Hofstede
adalah karena kesederhanaan dari dimensinya. Dimensinya adalah jelas dan tegas dan mempunyai daya tarik intuitif bagi peneliti akademik dan pembaca bisnis lintas disiplin ilmu. 3. Alasan yang ketiga yang terkait dengan luasnya penggunaan klasifikasi budaya Hofstede adalah karena klasifikasi nya menawarkan instrumen untuk mengukur nilai.
4. Alasan yang Keempat adalah; bahwa Hofstede mampu menawarkan suatu perangkat data ekstensif untuk analisis empiris yang akan mempunyai daya tarik besar bagi para peneliti. Sindrom budaya Triandis Menurut Triandis (1994), budaya adalah seperangkat elemen obyektif dan subyektif buatan manusia yang pada
masa lalu telah meningkatkan probabilitas dari
keberlangsungan hidup manusia dan telah memberikan kepuasan dari partisipan dalam niche ekologis sehingga menjadi sesuatu yang dimiliki secara bersama oleh pihak-pihak yang dapat berkomunikasi satu sama lain karena mereka mempunyai kesamaan bahasa dan tinggal atau hidup pada tempat dan waktu yang sama. Meskipun definisi budaya adalah sangat luas, tetapi Triandis membedakan elemen obyektif dari budaya dengan elemen subyektifnya. Aspek obyektif dari budaya akan mencakup alat alat, jalan raya, radio, televisi dan lain-lain, sedangkan aspek subyektifnya antara lain kategorisasi, asosiasi, norma, peran dan nilai yang akan membentuk
beberapa elemen dasar
yang akan mempengaruhi perilaku sosial.
Elemen subyektif dari setiap budaya akan diorganisir ke dalam pola unik dari kepercayaan, sikap nilai dan norma. Triandis telah mengidentifikasi empat sindrom budaya yang akan berlaku (yang akan dapat diaplikasikan) kepada semua budaya yaitu kompleksitas budaya, keketatan budaya individualisme dan kolektivisme Kompleksitas budaya Dalam budaya yang kompleks, manusia akan membuat sejumlah besar perbedaan di antara obyek dan peristiwa dalam lingkungan mereka.
Ekologi dan sejarah
masyarakat akan menentukan kompleksitasnya serta akan menentukan jumlah pekerjaan dalam masyarakat itu. Masyarakat dalam Budaya non huruf akan jarang mempunyai jenis pekerjaan lebih dari 29 macam (Triandis 1994). Masyarakat yang mempunyai pekerjaan berburu dan meramu makanan) akan cenderung sederhana.
(berburu dan mengumpulkan bahan
Masyarakat agraris akan cenderung lebih
kompleks lagi dan masyarakat industri akan cenderung sangat kompleks. Pertentangan antara budaya yang sederhana dan kompleks adalah faktor yang paling
penting dari variasi budaya dalam perilaku sosial. Tetapi Triandis tidak menawarkan metode yang obyektif dalam pengukuran dan pemeringkatan kompleksitas budaya. Lomax (1972) telah menyusun beberapa indeks dan mendapatkan urutan pemeringkatan yang terpercaya dari kompleksitas budaya Budaya ketat dan longgar Dalam budaya ketat, orang diharapkan akan berperilaku sesuai dengan norma yang tegas. Sesuatu penyimpangan akan layak dihukum dengan sanksi. Budaya ketat akan memperlihatkan karakteristik karakteristik seperti: control perusahaan atas property, kepemilikan perusahaan atas pangan dan produksi, yang kuat,
kekuasaan, pemimpin agama
pajak tinggi dll. Hubungan ini menunjukkan bahwa keketatan akan
berkorelasi dengan kolektivisme (Pelto 1968). Pada budaya ketat, jika seseorang melakukan apa yang dilakukan oleh setiap orang, maka ia akan dilindungi dari kritik. Keketatan akan lebih mungkin terjadi ketika normanya jelas dan hal ini memerlukan budaya yang relative homogen. Budaya longgar akan mempunyai
norma yang tidak tegas atau menolerir
penyimpangan dari norma. Heterogenitas budaya yang sangat dipengaruhi budaya lain dan ruangan fisik antar manusia akan dapat mengarah kepada kelonggaran. Budaya longgar seringkali dijumpai pada interseksi budaya budaya utama yang sangat berbeda satu sama lain. Lingkungan perkotaan biasanya akan lebih longgar budayanya daripada lingkungan pedesaan. Kelonggaran ini disebabkan oleh norma yang saling bertolak belakang atau disebabkan oleh norma-norma yang sangat tidak fungsional. Terlebih, jika pekerjaan mengijinkan aksi soliter (misalnya berburu atau menulis) maka norma akan menjadi longgar dan kurang tegas. Individualisme dan kolektivisme Dalam Individualisme individu akan terlepas secara emosional mereka.
dari kelompok
Individualisme akan menekankan kepada kemandirian, kesenangan, dan
pencapaian kebahagiaan diri sendiri. Dalam Individualisme individu tidak
akan
mengganti perilaku mereka secara dramatis pada saat anggota kelompok luar menjadi anggota kelompok dalam seperti yang terjadi pada kolektivisme. Perilaku
dari individualis akan cenderung menjadi lebih ramah, tetapi tidak merapat kepada orang-orang yang berada di luar lingkungan keluarga. Triandis lebih lanjut mengakui adanya korelasi antara kompleksitas budaya dengan individualisme; yaitu semakin kompleks suatu budaya maka akan semakin individualislah jadinya karena pada budaya yang kompleks seseorang akan mempunyai pilihan untuk menjadi anggota dari berbagai kelompok. Ada dua jenis kolektivisme yaitu horizontal dan vertical, yang akan berkorelasi pada jelajah 3-4 (Triandis 1994).
Pada kolektivisme, budaya itu sendiri
akan
didefinisikan dalam kaitannya dengan keanggotaan dalam kelompok, suatu prioritas diantara kolektivisme vertikal.
Kolektivisme akan sering
(tetapi tidak selalu)
diorganisasikan secara hirarkis dan akan cenderung peduli dengan hasil dari aksi mereka terhadap anggota dari kelompok dan akan cenderung berbagi sumber daya dengan anggota dalam kelompok dan akan merasakan saling ketergantungan dengan anggota lain dalam kelompok dan akan merasa terlibat dalam kehidupan anggota kelompok. Mereka juga akan mempunyai perasaan yang kuat mengenai integritas kelompok. Jika individu berada dalam kelompok, maka perilakunya akan sangat asosiatif dan akan merefleksikan pengorbanan diri. Jika individu berada di luar kelompok, maka perilakunya akan diasosiatif. Triandis telah mengidentifikasi individualisme dan kolektivisme sebagai konstruk yang berbeda tetapi saling terkait.
Sebagai contoh, budaya Kung telah
memperlihatkan banyak elemen individualisme dan kolektivisme (Lee 1976). Pandangan ini bertentangan dengan pandangan lain, khususnya pandangan Hofstede dimana individualisme kolektivisme adalah suatu kontinum yang mengimplikasikan bahwa budaya kolektivisme mungkin tidak akan mempunyai individualisme. Evaluasi sindrom budaya Triandis Setelah melakukan evaluasi atas lima kriteria maka sindrom
Triandis akan
mencatatkan skor moderat pada simplisitas. Dalam membahas substansi, sindrom ini akan tidak cukup memadai, sebab
konsep waktu tidak dipertimbangkan secara
memadai. Karena di sana ada sedikit overlap antara sindrom satu dengan sindrom lain maka sindrom itu menempati peringkat tinggi pada eksklusivitas……. Dalam kaitannya dengan aplikasinya kepada berbagai metode penelitian, definisi sindrom
Triandis meskipun secara konseptual terlihat bagus ternyata
hanya
memberikan sedikit panduan terhadap pengukuran. Karena sindrom Triandis tidak mempunyai ukuran formal atau metode yang dispesifikasikan, maka bentuknya yang sekarang tidak akan memungkinkan aplikasinya kepada metode penelitian kuantitatif. Sindrom Triandis adalah kaya makna dan mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut untuk dapat semakin memenui persyaratan. Atas dasar alasan ini, maka sindrom Triandis akan mencatatkan skor rendah pada aplikabilitas metode penelitian. Dalam mengidentifikasi tema dominan,
sindrom ini adalah cukup bermanfaat.
Tetapi ia akan tidak tepat dalam mengidentifikasi tema dominan karena kekurangan peringkat ordinal. Oleh sebab itu, mengidentifikasi tema dominan dari sindrom yang kaya tetapi tersebar (difus) akan menjadi sangat problematis. Membandingkan tema dengan menggunakan sindrom Triandis akan menjadi sangat sulit. Oleh sebab itu, sindrom Triandis akan mendapatkan skor rendah pada kemampuannya dalam menjelaskan perubahan budaya. Secara ringkas, Triandis menyajikan suatu interpretasi yang unik dan menarik dari tipologi budaya melalui sindromnya. Sindrom ini adalah kaya dengan makna dan akan memperkaya wawasan sebelumnya dan seringkali ditarik dari pengetahuan mendalam atas sejarah budaya. Sindrom ini
adalah embrionik
dan jika
dikembangkan lebih lanjut dapat menjadi lahan yang subur untuk wawasan ke arah budaya. Dimensi budaya dari Trompenaars Trompenaars (1993) memandang budaya sebagai suatu cara dimana sekelompok orang akan memecahkan permasalahan. Hal ini didasarkan secara langsung kepada definisi dari Schein (1985) atas budaya organisasi. Dari solusi terhadap tiga tipe permasalahan (hubungan dengan yang lain, waktu, dan lingkungan), Trompenaars
(1993) mengidentifikasi 7 dimensi mendasar dari budaya. Definisi Trompenaars atas budaya adalah generik lintas budaya organisasi dan kebangsaan sehingga disana seringkali ada kerancuan. Lima dari dimensinya adalah identik dengan sistem sosial dari Parson (1951); yaitu afektivitas vs netralitas afektif, orientasi diri vs orientasi kolektif dan universalisme vs partikularisme, Askripsi vs prestasi dan spesivitas vs difusitas Universalisme vs partikularisme Budaya Universalisme akan berpihak kepada perilaku berbasis aturan yang diimplikasikan secara ketat, yang merefleksikan suatu ketidak percayaan umum dalam humanitas, sedangkan budaya partikularis akan cenderung lebih difokuskan kepada hakikat luar biasa dari keadaan yang ada sekarang. Zurcher dkk telah mendukung klasifikasi ini. Dimensinya mempertentangkan besaran dimana seorang responden akan bersedia untuk menginterpretasikan aturan yang dibentuk secara sosial dalam selera salah satu pihak sampai luasan yang akan melampui dimensi individualisme
yang telah dijelaskan di depan.
Dimensi ini akan menemukan
aplikasinya dalam berbagai aspek bisnis internasional yang mencakup: peran dari kepala bagian, evaluasi kerja, dan penghargaan. Individualisme vs kolektivisme Trompenaars mengakui bahwa dimensi ini akan merepresentasikan pertentangan antara kepentingan individu dan kelompok. Mengikuti logika Parson, Trompenaars telah mendeskripsikan individualisme sebagai orientasi utama terhadap diri sendiri dan kolektivisme sebagai
orientasi utama terhadap tujuan
bersama.
manajemen internasional, negosiasi, pengambilan keputusan dan motivasi
Dalam akan
dipengaruhi oleh preferensi individualisme dan kolektivisme. Trompenaars seperti halnya Hofstede memandang individualisme dan kolektivisme berada pada suatu kontinum, yang akan mengimplikasikan bahwa orang yang beraliran kolektivis akan sedikit individualis. Kesimpulan ini ditentang oleh Triandis (1994).
Netral vs afektif Dimensi ini akan mencakup jelajah perasaan yang diekspresikan. Akal sehat dan emosi keduanya akan memainkan peranan penting dalam hubungan antar manusia. Yang mana dari keduanya yang akan dominan, hal itu akan tergantung kepada apakah anggota itu adalah afektif (menonjolkan perasaan atau emosi) ataukah netral (tidak menonjolkan perasaan). Anggota dari budaya netral akan menjaga perasaan dan ekspresi secara hati-hati karena sikap ekspresif dan demonstratif
akan dapat
mencitrakan tidak dominannya akal sehat. Sedangkan orang dalam budaya afektif akan cenderung lebih demonstratif. Trompenaars telah menambahkan humor dan komunikasi (baik lisan maupun tulisan) sebagai satu konteks untuk memahami dimensi Parson dari budaya afektif dan netral. Humor adalah bersifat subyektif dan bergantung kepada individu yang akan menentukan apa saja yang dianggap lucu dan menyenangkan sehingga afektif akan lebih dekat kepada sikap arbitrer. Difus vs spesifik Budaya DIFUS (konteks rendah) dan spesifik (konteks tinggi) akan menggali caracara dimana individu akan terlibat dalam area spesifik dari komunikasi (berbagi pengetahuan dalam level tinggi akan diperlukan). Dalam budaya spesifik, hubungan tugas akan dipisahkan dari urusan lain. Dalam budaya spesifik, seorang atasan dan bawahan akan mempunyai dasar komunikasi tacit untuk setting kerja yang akan berbeda dari setting sosial yang akan mengindikasikan adaptabilitas dan fleksibilitas. Pada budaya difus, CEO tidak hanya akan menjalankan perusahaan, tetapi juga akan membagi nilai perusahaan kepada semua setting sosial dan kerja organisasional. Prestasi vs askripsi Anggota dari beberapa masyarakat akan mendapatkan status lebih tinggi daripada yang lainnya, yang mengindikasikan bahwa perhatian khusus harus difokuskan kepada orang ini dan aktivitasnya. Meskipun beberapa masyarakat memberikan status kepada orang berdasarkan kepada prestasi mereka, tetapi pemberian status berdasarkan keturunan atau hal-hal yang lain masih saja dilakukan. Tetapi, pada
beberapa masyarakat yang lain, anggotanya akan mendapatkan status sesuai dengan usia, kelas sosial, jenis kelamin dan pendidikan. Sikap terhadap waktu Persepsi waktu akan dapat berkisar dari sekuential (rangkaian linier dari perjalanan waktu) sampai dengan sinkronik (masa lalu, sekarang dan masa mendatang saling berkaitan). Orientasi waktu dari masa lalu, sekarang dan masa depan adalah dimensi penting dari budaya yang akan memungkinkan anggota dari budaya tertentu mengkoordinasikan aktivitas (Durkheim 1960). Konstruk ini mempunyai implikasi untuk individu dan kelompok, karena waktu pertemuan yang telah disepakati barangkali akan dapat ditepati. Waktu yang dialokasikan untuk menyelesaikan suatu tugas
akan dapat menjadi
sangat penting perannya. Oleh sebab itu, tergantung kepada sikap individual terhadap waktu, manajer akan dapat merencanakan laporan harian, mingguan, atau bulanan.. Sikap terhadap lingkungan Trompenaars telah mengidentifikasi
sikap terhadap lingkungan sebagai variabel
budaya utama. Masyarakat akan mempunyai dua orientasi utama terhadap alam atau lingkungan; yaitu yang pertama: mereka percaya bahwa mereka dapat dan harus mengontrol alam sekitar
dengan memaksakan
kemauan mereka kepada
alam/lingkungan atau yang kedua: mereka percaya bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan dan harus mengikuti hukum, arah, dan kekuatannya. Jenis budaya yang pertama akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan mekanisme; yaitu organisasi akan dikonsepsikan sebagai mesin yang akan mematuhi apa yang diinginkan oleh sang operator dan hal ini dapat dideskripsikan sebagi inner directed atau dikendalikan dari dalam. Yang terakhir (kedua) ----yaitu outer directed atau budaya yang dikendalikan dari luar ----- akan cenderung memandang organisasi sebagai produk dari alam sehingga manusia harus senantiasa bersahabat dengan alam dan memelihara kelestariannya. Ide ini didasarkan kepada lokus kontrol (locus of control) dari Rotter (1969) dan
dalam beberapa hal tampaknya akan overlap dengan dimensi penghindaran ketidakpastian dari Hofstede. Evaluasi dimensi budaya Trompenaars Suatu pengukuran atas dimensi budaya Trompenaars memperlihatkan bahwa dimensi ini mencatatkan skor rendah pada simplisitas. Secara intuitif, tujuh dimensi budaya Trompenaars
haruslah mudah untuk diaplikasikan. Tetapi dalam kenyataannya,
ketujuh dimensi ini adalah konstruk yang kompleks. Sebagai contoh, sikap terhadap lingkungan tampaknya simpel (sederhana), tetapi ternyata tema yang mendasarinya adalah sulit untuk dipahami dan diaplikasikan. Dimensi budaya Trompenaars mencatatkan skor tinggi pada ekshaustivitas tetapi rendah pada eksklusivitas. Dua konsep adalah mirip; yaitu sikap terhadap lingkungan dan individualisme. Sikap terhadap lingkungan akan ditarik
dari lokus kontrol
dimana faktor internal (apa yang ada dalam diri seseorang) akan mempunyai kontrol terhadap apa yang
ada dalam diri seseorang, suatu konsep yang mirip dengan
individualisme. Dalam mengukur aplikasinya kepada berbagai unit analisis, dimensi Trompenaars barangkali dapat diaplikasikan secara bebas kepada berbagai level analisis. Stabilitas dalam aplikasi karakteristik psikologis ini kepada level abstraksi yang lebih tinggi (dari level individu sampai ke level nasional) masih belum teruji dan akan memapar tantangan untuk penelitian ke depan. Oleh sebab itu klasifikasi ini mencatatkan skor moderat (menengah) dalam menstransendensikan level analisis. Dalam hal relevansinya dengan metode penelitian yang berbeda-beda, konstruk ini kekurangan kejelasan dan ketepatan (clarity and precision) sehingga akan membatasi upaya pengukurannya. Dimensi dan aplikasinya tampaknya telah diarahkan kepada para pembaca bisnis yang merasa puas dengan bukti anekdotal. Aplikasi ke dalam metode penelitian yang berbeda akan bersifat subyektif dan akan tidak persis dan nilainya akan dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, dimensi ini adalah cukup terbatas untuk digunakan dalam berbagai metode penelitian. Oleh sebab itu dimensi ini mencatatkan skor rendah
Dimensi Trompenaars adalah cukup terbatas dalam kemampuannya untuk mengidentifikasi tema dominan, karena dimensi itu individu.
Oleh sebab itu,
diarahkan kepada psikologi
dalam kriteria ini (yaitu kriteria kemampuan untuk
mengidentifikasi tema dominan), dimensi Trompenaars mencatatkan skor rendah. Dalam menjelaskan perubahan kultural, konsep ini kekurangan akurasi ukuran dalam dan lintas dimensi. Secara khusus, dimensi yang hanya mendasarkan sepenuhnya kepada ukuran subyektif (misalnya
sikap terhadap waktu dan lingkungan) akan
sedikit bermanfaat dalam menjelaskan perubahan. Oleh sebab itu, peringkat rendah akan diberikan kepada kemampuan dimensi Trompenaars dalam menjelaskan perubahan budaya.. Bentuk realitas sosial dari Fiske Fiske telah menyajikan sekumpulan bukti bukti induktif pada berbagai subyek dari lima budaya yang didukung oleh kerja penelitian bidang etnografik dan sembilan belas studi eksperimental
menggunakan tujuh metode yang berbeda.
Dia
mengusulkan teori bentuk elementer dari perilaku sosial yang menyatakan bahwa orang–orang dalam semua budaya
akan mempergunakan empat moda mental
elementer atau model relasional yaitu communal sharing atau CS authority ranking atau AR equality matching atau EM dan market pricing atau MP. Model psikologis ini adalah mirip dengan model empat skala klasik dari Steven (1958). Model psikologis dari Fiske mempunyai property aksiomatik formal yaitu property CS yang akan berkorespondensi
dengan struktur dari relasi ekivalensi
sedangkan AR akan didefinisikan sebagai
penataan linear sedangkan EM akan
mempunyai struktur dari
kelompok Abelian yang tertata
dan MP akan
terformalisasi secara aksiomatik dalam bidang Archimedean. Communal sharing atau CS Hubungan CS akan didasarkan kepada konsepsi kelompok orang yang terikat sebagai ekivalen dan tidak terdiferensiasi. Anggota dari kelompok akan memperlakukan anggota yang lain secara sama dan akan memfokuskan kepada kesamaan dan akan
mengabaikan identitas individu yang tegas. Dalam konteks CS, orang-orang akan memperlakukan obyek material sebagai hal yang mereka miliki bersama. Kepemilikan bersama ini adalah hal yang umum dalam banyak masyarakat Pengambilan keputusan dalam CS akan didasarkan kepada
kesepakatan atau
consensus. Ide untuk kelompok akan dikontribusikan dari satu posisi uniformitas yang akan menyatukan atribut individual dari anggota kelompok. CS akan membentuk bagaimana manusia akan berperilaku dalam kelompok dan juga akan menjadi basis untuk menyusun kelompok sosial. CS akan dapat mengasumsikan bentuk motif, nilai, norma standar moral, dan ideology. Deksripsi Fiske atas CS adalah sangat mirip dengan konstruk kolektivisme dari Hofstede dan Triandis Pemeringkatan otoritas atau AR Hubungan AR akan didasarkan kepada suatu model asimetri antar manusia yang tersusun secara linear oleh dimensi sosial hirarkial. Hubungan AR akan diurutkan sedemikian rupa sehingga seseorang akan diperingkat di atas atau di bawah orang yang lainnya.
Dalam konformitas dengan urutan ini, orang yang berada pada
peringkat atas
akan mempunyai prestise, privilege, dan prerogative yang tidak
dimiliki oleh orang yang berada pada peringkat bawah. Tetapi, sebaliknya, orang yang berada di peringkat bawah akan layak mendapatkan perlindungan dari orang yang berada di peringkat atas. Oleh sebab itu, hubungan semacam ini bukanlah peringkat linier, tetapi inklusi hirarkis. Orang yang berada pada peringkat atas akan dibebaskan (mempunyai kewenangan) untuk mengambil keputusan, tetapi mereka itu akan dibebani dengan tanggungjawab atas keputusan yang diambilnya. Konsep diri untuk individu dalam
struktur kelompok AR akan berasal dari
pengetahuannya atas tempatnya dalam hirarki. Dalam budaya dimana AR dianggap penting, diri seseorang dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan apa jenis otoritas yang dimiliki oleh seseorang dan kepada siapa dia harus patuh atau berbakti atau siapa yang menjadi atasannya. Lebih persisnya, pemeringkatan otoritas adalah
refleksif transitif dan antisimetrik. AR akan menghormati relasi identitas, dimana dua orang yang berbeda tidak dapat saling melompati peringkat yang lainnya. Jika P mempunyai peringkat di bawah O pada sistem relasional yang sama maka O akan mempunyai peringkat di atas P dan P dan O adalah orang yang berbeda, karena mereka dibedakan oleh peringkat. Teori Model relasional menyatakan bahwa pada saat manusia berpikir dalam kaitannya dengan struktur yang tersusun secara linier maka mereka itu akan memperlakukan peringkat yang lebih atas sebagai superior. Konsep AR dari Fiske adalah mirip dengan konsep jarak kekuasaan Hofstede yang merepresentasikan penghargaan terhadap otoritas, suatu pendapat yang didukung oleh Triandis. Equality matching atau EM Hubungan EM akan didasarkan kepada model kesetimbangan dan korespondensi satu satu atau suatu jenis resiprositas. Orang dalam hubungan EM mempertahankan
kesetimbangan
itu
dan
akan
terkait
dengan
akan luasan
ketidasetimbangan dari hubungan. Ketidaksetimbangan dalam hubungan EM akan sering dikoreksi oleh aksi penyeimbangan ulang hubungan yang ada dengan membandingkan dan mempertentangkan obyek dalam korespondensi satu satu. Ide pokok yang mendasari aksi ini adalah bahwa semua manusia yang terlibat dalam hubungan EM
akan diwajibkan untuk mengoreksi
ketidaksetimbangan atau
ketidaksetaraan dalam distribusi. Kesetaraan egaliter ini telah mendapatkan tempat secara universal dan dapat ditemukan di seluruh penjuru dunia dengan label yang berbeda beda. RCA adalah contoh jelas dari transaksi EM. Banyak pakar telah mendeskripsikan EM beroperasi
sebagai mekanisme pengaruh
sosial (Cialdini 1988). Prinsip pentingnya adalah bahwa pada saat manusia yang berada (terkait) dalam model EM menerima suatu keuntungan maka dia wajib mengembalikan keuntungan itu dalam bentuk yang lainnya. EM itu sendiri adalah cetak biru untuk relasi manusia. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa EM akan melibatkan suatu konsepsi individu yang berbeda tetapi setara yang hubungannya didasarkan kepada pengukuran perbedaan signifikansi sosial antar manusia.
Penetapan harga pasar Penetapan harga pasar atau MP adalah konsep yang diterima luas dalam masyarakat barat dan ia merupakan hal yang mendasar bagi konsepsi cultural dari hubungan dan hakikat manusia. Tetapi, pakar yang lainnya menyatakan bahwa semua perilaku sosial manusia adalah didasarkan kepada perhitungan yang kurang lebih rasional atas rasio biaya = korbanan dalam pertukaran atau transaksi (Blau 1964). Tetapi para pakar yang lainnya telah memperlihatkan bahwa ada perbedaan penting di antara ketiga transaksi. Blau (1964) telah menganggap strictly economical exchange sebagai ekspresi dari individu yang asosial dan egois. Sahlin (1965) telah menempatkan MP pada suatu kontinum yang mendekati kutub dari resiprositas negative tetapi keduanya mengakui bahwa Mp sebagai
jenis interaksi yang berbeda. Polanyi (1947)
telah
mengklarifikasi bahwa seperti halnya ketiga model yang lainnya, model pertukaran pasar adalah tidak alamiah dan terkait secara inheren dengan transaksi dan produksi material, dimana
keempatnya merupakan proses sosial yang dikonstruksi secara
cultural.. Polanyi juga mengakui titik krusial dari MP
(seperti halnya model yang
lainnya) adalah suatu mode relasi dengan orang lain. Polanyi dkk memfokuskan kepada cara bagaimana MP akan memediasi hubungan dengan membentuk dan memberikan makna terhadap proses pertukaran. Tetapi Fiske (1992)
menyatakan bahwa MP adalah tidak terbatas untuk mengorganisasikan
transfer obyek atau manfaat. Konstruk Hofstede atas jarak kekuasaan dan individu akan terkait erat dengan AR. Communal sharing atau CS (seperti yang telah kami paparkan di depan) tampaknya akan terkait erat dengan kolektivisme, tetapi teori Fiske dekat kepada konstruk penghindaran ketidakpastian dari Hofstede dan konsep maskulinitas dari Triandis. Terlebih lagi, dengan adanya fakta bahwa Hofstede telah menemukan bahwa individualisme dan jarak kekuasaan akan mempunyai korelasi sebesar 0,7, sehingga di sana ada keraguan apakah hubungan yang diperkirakan ada antara konstruk Fiske dan Hofstede akan membawa signifikansi.
Evaluasi bentuk realitas sosial dari Fiske Bentuk realitas sosial dari Fiske mencatatkan skor rendah pada simplisitas. Dalam berupaya menyeimbangkan antara keselarasan presentasi dan kekayaan isi dari bentuk Fiske, maka kita perlu melakukan kajian lebih lanjut atas bentuk ini sebelum kita dapat memahaminya.
Terkait dengan substansi, Fiske telah menyediakan
kerangka kerja yang eksklusif untuk studi budaya. Terkait dengan bentuk, bentuk realitas sosial dari Fiske adalah kaya dengan makna dan penuh dengan ide dan berakar mendalam pada teori dan merepresentasikan konstruk global dari hubungan sosial dari manusia.
Fiske
telah mempergunakan hubungan sebagai basis
pemahaman nilai (basis untuk memahami nilai) yang akan memungkinkan aplikasi yang mudah dan universal. Klasifikasi dari Fiske adalah independen terhadap unit analisis. Bentuk Fiske atau Fiske Form akan dapat diaplikasikan secara sukses terhadap spektrum situasi sosial (termasuk hubungan satu satu antara dua manusia, individu yang membentuk keluarga, dan perbandingan multi bangsa). Kemampuan dari konstruk ini dalam menstransendensikan level analisis adalah karena konstruk inti dari hubungan atau relationship tetap stabil terlepas dari kompleksitas unitnya. Oleh sebab itu Fiske telah memberikan peringkat tinggi kepada kriteria ini. Dalam kaitannya dengan aplikabilitas metode penelitian, dikembangkan menggunakan pendekatan
konsep Fiske
telah
emik dan etik, sehingga akan
memberdayakan para peneliti di masa mendatang dengan berbagai pilihan metode. Meskipun Fiske mendukung bentuk dengan properti aksiomatik, tetapi dia tidak menunjukkan instrumen untuk pengukuran.
Berdasarkan kepada landasan
aksiomatiknya, maka akan ada potensi besar untuk mengembangkan suatu instrumen yang valid dan terpercaya untuk pengukuran yang valid. Berdasarkan alasan inilah maka kerangka kerja Fiske akan kami berikan skor moderat dalam kaitannya dengan aplikabilitas dari metode yang berbeda. Terkait dengan kriteria pengidentifikasian tema dominan, Fiske telah menyediakan kepada para peneliti dengan pilihan yang lebih beragam dari investigasi bentuk
sosial. Para peneliti barangkali akan memilih untuk mengkaji salah satu dari empat bentuk, memilih kombinasi dari keempatnya, dan menginvestigasi bentuk dominan dari keempatnya, dan mengidentifikasi
dan menganalisis bentuk yang kurang
dominan. Oleh sebab itu, bentuk Fiske akan sangat bermanfaat dalam kaitannya dengan kemampuannya untuk identifikasi tema dominan sehingga dalam kriteria ini (yaitu kriteria identifikasi tema dominan) ia akan mendapatkan peringkat tinggi. Dalam kaitannya dengan kemanfaatan untuk mengkaji perubahan budaya, kerangka kerja Fiske
adalah sangat bermanfaat.
Menurut model Fiske,
relasi dengan
masyarakat sejalan dengan waktu akan bergerak dari CS ke MP (Fiske 1992). Tetapi, prediksi ini akan konsisten secara internal jika dioperasikan dalam domain Fiske dan akan membuka peluang penelitian yang sangat menarik bagi para peneliti di masa mendatang. Manfaat utama dari kerangka kerja Fiske adalah bahwa
kerangka kerja ini telah
memungkinkan dilakukannya studi pergeseran budaya dan akan memungkinkan dilakukannya studi lintas tema, unit, dan metode. Karena perubahan budaya tetap menjadi paradoks, maka kerangka kerja Fiske akan memungkinkan terungkapnya rahasia yang selama ini masih menjadi misteri dan akan membantu memahami bagaimana dan mengapa sebuah perubahan budaya terjadi atau berlangsung. Oleh sebab itu, bentuk Fiske akan mendapatkan peringkat moderat dalam kemampuannya dalam menjelaskan dan memprediksi perubahan budaya. KESIMPULAN DAN PENELITIAN KE DEPAN. Paper ini dipertajam dengan membandingkan dan mempertentangkan pandangan ontologis dari nilai budaya dengan nilai berbasis laten tradisional. Lima kriteria untuk evaluasi tipologi kultural telah disajikan dan didiskusikan. Ia akan diikuti oleh pengidentifikasian dan penganalisisan tipologi kultural Hofstede
yang dinyatakan oleh
Trompenaars Triandis dkk. Semua ini pada gilirannya akan dianalisis
berdasarkan setiap kriteria evaluasi.
Dalam mengkaji literatur tentang tipologi cultural,
paper ini mempertentangkan
pendekatan ontologis dengan pendekatan berbasis nilai laten yang lebih mapan. Meskipun perspektif ontologis
telah semakin mendapatkan perhatian,
tetapi
kerangka-kerja ini memerlukan kemajuan yang memadai pada tiga permasalahan sebelum ia mendapatkan kredibilitas yang memadai dalam arus utama literatur. (1) posisi akal pada debat emik etis literatur ontologis mengadopsi sudut pandang emik dan sepenuhnya melepaskan diri dari sudut pandang etik. Sekurangnya, justifikasi teoritis yang memadai akan diperlukan sebelum posisi ini diangkat (11) stabilitas dari ontologi individualis dan (111) kebaruan yang tidak mencukupi. Kerangkakerja kognitif, sebagaimana yang didefinisikan oleh para pakar ontologism, akan menyediakan pandangan yang serupa dengan pandangan nilai laten atas budaya. Ini adalah kelemahan yang tidak sepele (kecil) dan akan memerlukan perbaikan yang signifikan. Dengan menetapkan nilai berbasis laten sebagai kerangka-kerja untuk analisis, maka paper ini akan mengkaji empat kerangka-kerja dominan dari budaya, yaitu dimensi Hofstede, sindrom Trompenaars, dimensi Triandis, dan bentuk Fiske Untuk melaksanakan suatu evaluasi yang menyeluruh, maka kerangka-kerja ini akan kami analisis. Evaluasi sepanjang lima kriteria
akan kami laksanakan yaitu
simplisitas atau kesederhanaan, level analisis, metode penelitian, tema dominant, dan perubahan budaya (perubahan kultural). Suatu keunggulan kerangka-kerja dari setiap kriteria akan menjadi bermanfaat untuk praktik dan penelitian.
Dengan menetapkan kriteria evaluasi,
mengukur setiap kerangka-kerja terhadap kriteria ini dan
paper ini akan
mengatur peringkat
komparatif yang akan kami sajikan pada tabel di bawah ini. Tabel pada halaman 14 naskah asli. Kriteria
1. 2. 3. 4. 5.
Simplisitas Menstransendensikan level analisis Aplikasi metode penelitian berbeda Mengidentifikasi tema dominan Memahami perubahan budaya
Hofstede H L L M M
Triandis M M L L L
Trompenaars Fiske L L M H L M L H L M
Keterangan: H: tinggi M: moderat atau menengah L: rendah
Meskipun pada bagian sebelumnya setiap kerangka-kerja telah dievaluasi terhadap kriteria itu sendiri, tetapi kerangka-kerja ini sekarang akan dipertentangkan dengan setiap kriteria yang lain. Kolom pertama akan mengidentifikasi kriteria dan kolom selanjutnya akan menampilkan
pemeringkatan (tinggi, menengah, rendah) untuk
masing-masing tipologi budaya Baris kedua, yaitu simplisitas, akan menangkap parsimony dalam substansi dan bentuk. Terkait dengan simplisitas, kerja yang lainnya
Hofstede telah mengesampingkan kerangka-
seperti yang dibuktikan
oleh adopsi yang luas atas nilai
dimensinya. Bentuk Fiske adalah kaya dalam makna dan memerlukan level tertentu pemahaman konseptual sampai dengan aplikasinya. Sedangkan tujuh dimensi dari Triandis telah kehilangan parsimony yang diperlukan Baris ketiga
mentransendensikan level analisis dan mengukur kemampuan dari
kerangka-kerja untuk diaplikasikan secara bermakna lintas kelompok. Pada kriteria ini, kerangka-kerja Fiske
mendapatkan
derajad tinggi dari aplikasinya di atas
kerangka-kerja yang lainnya. Ini disebabkan terutama karena bentuk Fiske (Fiske form) adalah generic, kaya dengan makna, transitif, dan jelas. Meskipun dimensi dari Triandis telah ditempatkan
pada peringkat menengah, tetapi aplikasi dari
dimensi ini lintas unit akan cenderung memapar suatu tantangan signifikan terhadap para peneliti. Sindrom Trompenaars
barangkali hanya akan digunakan untuk
melaksanakan suatu analisis deskriptif. Aplikasi dari dimensi Hofstede hanya akan terbatas untuk membandingkan perbedaan makna antar nilai rerata menggunakan modul nilai survei Baris kelima akan mengukur kerangka-kerja atas kemampuannya
dalam
mengidentifikasi tema dominan dalam suatu budaya. Di sini, bentuk Fiske akan mengungguli Hofstede karena klasifikasinya telah memungkinkan untuk identifikasi
bentuk dominan tertentu
dalam budaya. Sedangkan
dimensi Hofstede
tidak.
Meskipun dimensi Hofstede adalah cukup jelas dan langsung untuk diidentifikasi dan diaplikasikan
dalam ikatan dari domainnya,
tetapi bentuk Fiske
akan
memungkinkan identifikasi tema dominan dalam suatu budaya dan akan diperingkat tinggi. Ini adalah inovasi penting dalam analisis budaya dan akan membuka peluang baru yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian lanjutan. Sindrom Triandis akan memungkinkan dilakukannya beberapa identifikasi tema, tetapi tidak dalam derajad yang sama dengan Hofstede dan Fiske. Sebaliknya, dimensi Trompenaars hanya akan menawarkan sedikit nilai sepanjang kriteria ini dan akan diperingkat rendah. Baris keenam dan kriteria terakhir akan mengukur kerangka-kerja atas kemampuan mereka dalam membantu memahami perubahan kultural. Berdasarkan fenomena kompleks budaya, menjelaskan perubahan budaya (perubahan kultural)
akan
menguji lingkup dan besaran dari klasifikasi kultural. Meskipun gerakan universal ke arah penetapan harga pasar barangkali akan sulit diterima secara intuitif, tetapi kerangka-kerjanya adalah konsisten secara internal dan akan diperingkat sebagai paling bermanfaat dalam menjelaskan dan memprediksi perubahan kultural diantara kerangka-kerja kerangka-kerja yang dikaji. Juga, secara umum (karena alasan konsistensi internal
dan penawaran data survey), dimensi
Hofstede akan diperingkat kemudian. Secara khusus Hofstede telah menyediakan korelasi demografik dan sosial yang sangat jelas dan validasi silang dengan berbagai studi. Sebagai contoh, Hofstede telah menemukan
korelasi yang sangat kuat antara
kekayaan negara dengan individualisme yang mengimplikasikan
kausalitas.
Meskipun Trompenaars menawarkan sejumlah data, tetapi validitas dan kejelasan dari data itu tidak sepenuhnya memuaskan. Analisis Triandis tetap deskriptif dan bukannya preskriptif dalam sembarang makna saintifik Dalam mengkaji tabel secara vertikal, kami menemukan bahwa keseluruhan bentuk Fiske menawarkan suatu kerangka-kerja yang lebih bagus untuk analisis budaya
setelah diukur dengan kriteria yang ada. Meskipun Fiske muncul sebagai suatu kerangka-kerja yang unggul pada tiga dari lima criteria, tetapi penelitian aplikasinya haruslah mengadopsi kerangka-kerja yang didasarkan kepada tujuan penelitiannya yang hampir menyerupai pilihan atas metode penelitian. Secara spesifik, jika seorang peneliti berharap untuk mengkaji budaya dari suatu kelompok dengan rujukan (referensi) tertentu terhadap perkembangan historis dan interpretasinya, maka sindrom Triandis tampaknya akan dapat menyediakan suatu perspektif yang lebih mendalam. Serupa dengan itu, suatu studi yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi suatu tema dominan akan cenderung menemukan kerangkakerja Fiske
sebagai basis yang memadai. Tabel ini juga menyediakan ruang untuk
perbaikan bentuk Fiske, khususnya setelah ia dikaitkan dengan simplisitas
dan
aplikasinya terahdap metode penelitian yang berbeda-beda (khususnya penelitian empiris). Bentuk Fiske tentunya akan diuntungkan dari operasionalisasinya dengan penggunaan instrumen yang didesain baik. Setelah mengkaji dan mengeksplorasi klasifikasi kultural yang memapar alternatif untuk kerangka-kerja Hofstede,
paper ini akan mengevaluasi
setiap klasifikasi
sesuai dengan kriteria. Setelah itu, arahan untuk penelitian ke depan dan kontribusi dari paper ini akan kami bahas Paper ini memberikan empat kontribusi terhadap literatur. 1. Yang pertama, paper ini menawarkan dimensi Hofstede.
Meskipun
suatu alternatif yang layak bagi
literatur bisnis sejauh ini
telah gagal
menyediakan dan mengaplikasikan apapun alternatif dari dimensi Hofstede, tetapi studi yang mengaplikasikan pendekatan budaya terhadap permasalahan penelitian akan cenderung mengadopsi kerangka-kerja Hofstede
(secara
tipikal dengan mengaplikasikan satu dimensi atau lebih) dan paling bagus akan diakhiri dengan kritik marjinal dari dimensi Hofstede. Kami tidak mengetahui studi lain yang berusaha untuk mengkaji klasifikasi kultural alternatif dan membawanya bersama-sama ke penelitian bisnis.
2. Kedua, paper ini menarget kepentingan dari identifikasi tujuan penelitian secara jelas. Kajian kami telah mengarah kepada saran yang sederhana tetapi bermanfaat
dalam metode penelitian budaya, yaitu mengadopsi
klasifikasi yang didasarkan kepada tujuan penelitian anda.
suatu
Jika, sebagai
contoh, tujuan penelitian yang akan dilaksanakan adalah melaksanakan studi historis atau longitudinal, maka penggunaan sindrom Triandis
sepertinya
akan menghasilkan analisis yang bermakna. Jika tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis tema budaya dominant, maka suatu aplikasi
dari bentuk Fiske (Fiske Form) akan cenderung menghasilkan
wawasan yang lebih bermakna daripada yang lainnya. Dan jika para peneliti berharap untuk menggunakan instrumen atau data kolateral, maka korelasi dengan data Hofstede pantas dipertimbangkan. Tampaknya hal yang akan sering diabaikan oleh para peneliti
dalam bidang bisnis adalah
mengaplikasikan kerangka-kerja Hofstede
terhadap setiap permasalahan
budaya. 3. ketiga, kriteria evaluasi kami identifikasi untuk menyediakan suatu basis untuk penelitian ke depan. Secara spesifik, hal ini akan digunakaan untuk memformulasikan,
membentuk, dan mengarahkan
Sebagai contoh, kriteria untuk menjelaskan menggunakan bentuk Fiske
perubahan kultural dengan
akan dapat membentuk
penelitian dalam cara sebagai berikut: Inggris, Austria, dan Selandia baru
penelitian budaya.
industri
atau mengarahkan
perawatan kesehatan di
telah semakin dihadapkan kepada
pengawasan sosial. Meskipun dipandang secara tradisional sebagai suatu bentuk communal sharing atau CS, tetapi industri perawatan kesehatan telah bergerak ke arah penetapan harga pasar
sebagai bentuk yang dominant,
terlebih bagi industri yang berada di Selandia Baru. Bentuk Fiske
tidak
hanya akan menyediakan suatu deskripsi penjelasan (eksplanasi) yang sangat bagus atas gerakan ini, tetapi lebih dari itu ia juga akan memprediksinya. Sungguh, Fiske
telah menyatakan bahwa dalam industri
perawatan
kesehatan, di sana ada suatu gerakan dari bentuk lain hubungan sosial ke arah penetapan harga pasar. Meskipun tidak menarik secara intuitif (bahwa perawatan kesehatan harus didasarkan kepada beberapa mekanisme pasar, misalnya penetapan harga), tetapi kriteria perubahan budaya ini pada saat dipandang menggunakan lensa Fiske
akan menyediakan beberapa area
penelitian yang menantang. Dalam cara yang sama, lima kriteria dapat pula digunakan untuk patokan (benchmark) dan untuk mengukur kekuatan dari penelitian terkait budaya. Ini juga konsisten dengan dan mendukung secara langsung karakteristik umum dari penelitian ilmiah. Suatu konsiderasi dari kriteria ini sampai dengan pengembangan suatu kerangka-kerja kultural akan cenderung menghasilkan
kerangka-kerja yang lebih kuat dan
bermanfaat. 4. Kontribusi keempat dan terakhir dari paper ini adalah menyediakan kepada para peneliti suatu alat taksonomi kultural (dalam bentuk lima kriteria) untuk mensintesis atau mengevaluasi secara kritis dimensi-dimensi yang ada untuk mengembangkan suatu taksonomi yang lebih bermakna dan berguna. Para peneliti yang mengembangkan taksonomi baru juga akan cenderung diuntungkan
dari mengarahkan penelitian mereka kepada kriteria ini.
Terlebih lagi, kriteria ini
dapat pula digunakan
untuk mengevaluasi
klasifikasi yang telah ada dan klasifikasi yang bakal ada. Dalam kaitannya dengan arah yang mungkin untuk penelitian ke depan, maka sejumlah jalan dapat diikuti untuk membentuk basis dari pertanyaan penelitian. 1. Pertama, masing-masing dari lima kriteria akan menyediakan kepada para peneliti suatu lahan subur untuk penelitian terkait pertanyaan yang menarik. 2. Area luas kedua untuk penelitian ke depan
adalah investigasi ke dalam
kerangka-kerja lain yang barangkali akan sangat bermanfaat dalam satu atau lebih kriteria yang diidentifikasi. 3. Ketiga, para peneliti dapat mengembangkan suatu kuesioner untuk mengukur secara empiris dimensi Fiske dan Triandis.
4. Area keempat bagi para peneliti adalah mengaplikasikan berbagai tipologi terhadap permasalahan dengan menggunakan berbeda.
metode penelitian yang
Hasil dari studi ini akan mengindikasikan apa kombinasi
dari
metode dan tipologi yang akan memberikan hasil yang akurat. 5. Kelima, kerangka-kerja Fiske telah memunculkan pertanyaan terkait apakah penetapan harga pasar merupakan bentuk dari realitas sosial atau haruskah ia menjadi keadaan akhir dari kontinuum yang berurutan?. Ini akan menjadi pertanyaan yang sangat menarik
untuk diteliti dan akan dapat mengarah
kepada suatu perbaikan. Ia juga dapat menyediakan sudut pandang baru bagi bentuk Fiske (Fiske form) dan penelitian budaya secara umum. 6. Keenam dan yang terakhir,
ada kesempatan untuk perspektif kritis bagi
Para strukturalis radikal untuk menantang, menata ulang, mengarahkan ulang, atau mengaplikasikan kerangka-kerja ini dan memperkenalkan level tinggi dari perbaikan kontinyu kerangka-kerja yang ada. Dalam kata yang singkat, selama orang-orang dari berbagai negara dan kebangsaan bekerja bersama-sama, maka permasalahan budaya (permasalahan kultural) akan terus muncul. Mengabaikan relevansi kultural (dalam bisnis, di tempat kerja, dan dalam penelitian) tidak hanya akan dapat mengurangi luasan dari permasalahan ini dimasa mendatang, tetapi kemungkinan juga akan dapat menghilangkannya. Suatu Studi atas fenomena kompleks dari budaya akan terus memerlukan pengembangan dan penggunaan hipotesis kerangka-kerja kultural. Oleh sebab itu,
tipologi kultural seperti yang telah kita bahas di sini hanyalah
permulaan dalam memberikan perhatian terhadap aspek budaya. Catatan: 1. Satu contoh dari dominasi Hofstede akan ditemukan dalam daftar SSCI 2. Para pendukung argumen ini antara lain: Calori (1994) Abramson (1996) dll. 3. Pandangan laten vs pandangan ontologis adalah suatu topik yang layak mendapatkan investigasi mendalam, tetapi suatu pembahasan yang panjang lebar berada diluar ruang lingkup dari paper ini.
4. Empat hasil tambahan juga telah dicapai. Yang pertama, banyak klasifikasi yang telah dipaparkan dalam literatur adalah bukan klasifikasi sistematis dari budaya dan ia juga tidak dapat ditempatkan pada teori tertentu dan tidak pula dapat divalidasi oleh analisis statistik. 5. Ekslusif akan bermakna bagaimana suatu subskala akan didefinisikan secara terpisah. 6. Hofstede dkk telah memperingatkan akan kemungkinan adanya kesalahan ekologis dari menarik kesimpulan antar level analisis. Paper ini menyatakan bahwa suatu skema klasifikasi yang memungkinkan analisis multi level dapat digunakan pada eksaminasi budaya dan ekologis. 7. Definisi Trompenaars atas budaya adalah definisi generik lintas organisasi dan kebangsaan (nasionalitas) yang berbeda, sehingga akan dimungkinkan terjadi kerancuan diantara keduanya 8. Kluckohn juga telah mengidentifikasi dimensi ini sebagai hal yang penting 9. AR akan berlawanan dengan kekuasaan mendominasi manusia lainnya
koersif
dimana manusia akan
terutama dengan kekuasaan atau dengan
ancaman. 10. Meskipun Malinowski (1921) adalah orang yang pertama yang menyerukan perhatian terhadap hal ini, tetapi ini diberi label resiprositas (Polanyi dkk 1947). 11. RCA adalah hal yang sangat umum terjadi di Asia dan Afrika dan akan melibatkan anggota untuk memberikan sumbangan secara adil (sama) dan secara teratur. Dalam budaya kita ARC sering dikenal dengan sebutan arisan atau iuran kelompok. 12. Meskipun Fsike
tidak membahas jender secara eksplisit, tetapi
pencermatan dan invetigasi yang lebih mendalam
suatu
telah memperlihatkan
bahwa konsep diferensiasi jender akan terkandung di dalamnya. 13. Sebagai contoh, unit akan mempunyai kekuatan yang bervariasi dari CS, AR, EM dan MP dan salah satu dari bentuk ini akan dominan dalam unit yang kita
kaji. Ini akan menyediakan peluang kepada para peneliti untuk mengkaji bentuk yang dominan atau bentuk yang kurang dominan dalam unit analisis. 14. Parson juga telah membuat klaim yang sama atas gerakan ke arah universalisme dan prestasi dari partikularisme dan askripsi. 15. Fiske telah memperkirakan (memprediksi) hasil sementara untuk perubahan budaya dan hasil yang diprediksi ini akan didasarkan kepada argumen yang konsisten secara internal (dan akan diperingkat tinggi). 16. Seperti yang telah diidentifikasikan oleh Sekaran (1992), analisis ini adalah teruji, handal, obyektif, dan dapat digeneralisir.. .
.