Bu Laela.doc

  • Uploaded by: Sulistyo Alif Ndut
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bu Laela.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 3,486
  • Pages: 13
MAKALAH

“BK Pribadi Sosial ” (Bimbingan Pengembangan Emosi/ Kecerdasan Emosi ) Dosen Pengampu:

Laelatul Arofah, M.Pd.

KELOMPOK 1 1. Anang Sulistyo 2. Arina Devi Mentari 3. Marizty

16.1.01.01.0017 16.1.01.01.00

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI TAHUN 2019

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, yang berjudul: “Bimbingan Pengembangan Emosi/ Kecerdasan Emosi”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yang diridhoi oleh Allah SWT yaitu dengan agama Islam. Walaupun kami sudah berupaya semaksimal mungkin, demi terselesainya makalah makalah ini, kami tetap menyadari bahwa kemampuan kami jauh dari kesempurnaan, dan sudah pasti masih banyak kekurangannya. Sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun semangat kami yang sangat kami harapkan. Dan atas terselesaikannya penyusunan makalah ini, tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.

Laelatul Arofah, M.Pd. selaku dosen mata kuliah BK Pribadi Sosial yang telah membimbing dan mendidik kami sehingga kami menjadi mahasiswa yang berilmu.

2.

Teman-teman yang membantu kami dalam penulisan makalah ini.

3.

Semua pihak yang telah membantu kami demi terselesainya makalah ini. Semoga bimbingan dan bantuan serta dorongan yang diberikan mendapat balasan dari

Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Penyusun,

Kediri, 01 Maret 2019

BAB I PENDAHULUAN I.

Latar Belakang Manusia diciptakan dengan berbagai potensi bakat, minat, kreativitas yang unik seta dinamis. Tentu dengan kesemua itu harus ada usaha atau kewajiban untuk mengembangkan baik itu dari kecerdasan majemuk, kecerdasan spiritual, maupun kecerdasan emosional. Dalam perkembangan itu tentunya banyak mengalami hambatan atau rintangan yang dihadapi yang dapat menghambat serta mempengaruhi proses tersebut. Maka disinilah peran guru pembimbing agar dapat membantu mengentaskan atas pencegahan terhadap masalah yang timbul maupun yang belum timbul dengan fungsi pencegahan. Kerena seandainya masalah timbul akan berimplikasi terhadap perkembangan diri. Oleh karena itu, kami ingin membahas lebih jauh mengenai hak ini guna mendapatkan pemahaman yang benar terhadap apa-apa yang dapat mempengaruhi perkembangan peserta didik dalam kaitannya dengan emosional. Dengan judul faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan emosi, dengan makalah yang singkat mudahmudahan bermanfaat bagi kita semua. Tidak lupa kritik dan saran kami harapkan agar tersempurnanya makalah yang sederhana ini.

II.

Rumusan Masalah Agar dalam penulisan tidak melebar atau meluas yakni sesuai dengan pokok pembahasan maka kami ingin merumuskan dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Apa yang dimaksud dengan Emosi ? b. Faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan Emosi pada anak didik ?

III.

c. Apa yang dimaksud kecerdasan emosional ? d. Seberapa Pentingkah Memahami Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi bagi Calon Guru Pembimbing atau BK ? Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah yang sederhana ini adalah sebagai berikut: a. Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan Emosi b. Ingin mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi. c. Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional. d. Ingin mengetahui seberapa pentingkah guru pembimbing memahami factor-faktor yang perkembangan Emosi.

BAB II

PEMBAHASAN 1.

Pengertian Emosi Emosi secara sederhana adalah suatu keadaan kejiwaan yang mewarnani tingkah laku. Emosi dapat juga diartikan sebagai suatu reaksi psikologis yang ditampilkan dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani, takut, marah, haru, dan sejenisnya. Emosi biasanya muncul karena bentuk luapan perasaan yang dapat surut dalam waktu singkat. Emosi juga sering berhubungan dengan ekspresi tingkah laku dan respon-respon fisiologis ( Wahyuni, 2018). Sedangkan Hathersal (dalam Baiturohman, 2010), merumuskan pengertian emosi sebagai situasi psikologis yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah, dan tubuh. Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur tubuh memegang, bertingkah laku menendang atau menyerang, serta jantung cepat berdenyut. Pendapat lain mengatakan bahwa Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik (Sunarto & Hartono, 2002 dalam haryadi dkk. 2012). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa emosi adalah setiap kegiatan, reaksi atau situasi psikologis yang berhubungan dengan ekspresi tingkah laku serta respon-respon fisiologis, dan merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah, dan tubuh. Secara jelas bisa dikatakan bahwa perkembangan pada aspek emosi pada diri setiap manusia merupakan segala pengalaman afektif yang terjadi dalam kehidupan manusia yang membantu mereka dalam mengenali dan merespon segala bentuk gajala emosi yang ada didalam dirinya meliputi kemampuan untuk mencintai; merasa nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Sunarto & Hartono (dalam haryadi dkk. 2012 ) menjelaskan beberapa ciri emosi dalam mempengaruhi bentuk-bentuk perubahan fisik yang ditandai dengan aktifitas sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Reaksi elektris pada kulit : meningkat bila terpesona Peredaran darah : bertambah cepat bila marah Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut Pernafasan: bernafas panjang bila kecewa Pupil mata: membesar bila marah Liur: mengering kalau takut atau tegang Bulu roma: berdiri kalau takut Pencernaan: mencret-mencret kalau tegang Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar Komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.

Sedangkan Yusuf (dalam haryadi dkk. 2012) menjelaskan beberapa bentuk perubahan emosi yang berdampak pada perkembangan perilaku individu seperti halnya berikut :

a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas akan hasil yang telah dicapai. b. Melemahkan semangat, apabila timbul perasaan kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya perasaan putus asa. c. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup dan gagap dalam berbicara. d. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati. e. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari,baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. 2.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Menurut Hurlock (dalam haryadi dkk. 2012), menjelaskan bahwa sebagian besar perkembangan dipengaruhi oleh adanya faktor kematangan dan belajar seseorang. Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan berfungsinya sistem endoktrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi. Kemampuan seseorang dalam berfikir dan intelektual dalam cangkupan perkembangan kognitif dan bahasa memberikan sumbangan besar dalam kematangan individu. Hal ini nampak pada bagaimana seseorang mampu memaknai setiap pengalaman kehidupan yang terjadi salama perkembangan dari awal sampai akhir hayat seseorang. Semakin baik dan utuh seseorang dalam memaknai kehidupannya memberikan kematangan pada seseorang akan bentuk emosi yang dimiliki dalam merespon setiap kondisi yang ada ( haryadi dkk. 2012). Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda. Keterkaitan dengan metode dan faktor belajar yang dilalui seorang, Sunarto dan Hartono (dalam haryadi dkk, 2012 ) menjelaskan beberapa pengaruh yang mungkin dapat menghambat dan mendorong perkembangan emosi seseorang diantaranya: a. Belajar dengan coba-coba Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak prilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya, tetapi sepanjang perkembangannya tidak pernah ditinggalkan sama sekali.

b. Belajar dengan cara meniru Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati. Contoh, anak yang peribut mungkin menjadi marah tehadap teguran guru. Jika ia seorang anak yang popular di kalangan teman sebayanya mereka juga akan ikut marah pada guru tersebut. c. Belajar dengan cara mempersamakan diri Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya yang menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya. d. Belajar melalui pengkondisian Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu manalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka. e. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat individual ini dan memperhalus perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dan latihan serta pengendalian terhadap perilaku emosional. Mendekati berakhirnya usia remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya. Ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Hal ini berarti jika ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara terbuka yang ia tampakkan tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang disembunyikan. Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin merupakan selubung/tutup bagi yang disembunyikan, seperti contohnya seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukan

kemarahan, dan seorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi malah ia ketawa, sepertinya ia merasa senang. Remaja diberi tahu secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukan perasaan-perasaannya. Sebagai seorang anak ia tidak boleh menangis walaupun kondisinya sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin andaikata ada keberanian untuk menunjukan perasaan-perasaannya. Sejak masa kanak-kanak, para remaja sudah mengetahui apa yang ditakutkan tetapi mereka juga diberitahu/diajar untuk tidak “penakut”, untuk menunjukkan ketakutanketakutan mereka. Akhirnya seringkali mereka takut tetapi tidak berani menunjukkan perasaan tersebut secara terang-terangan. Adalah hal yang bertentangan bahwa dalam masa remaja, seperti halnya dlam kehidupan orang dewasa, seringkali membutuhkan dorongan yang kuat untuk menunjukkan rasa takut daripada menyembunyikan. Semua remaja, sejak masa kanak-kanak telah mengetahui rasa marah, karena tidak ada seorang pun yang hidup tanpa pernah marah. Tetapi mereka juga tahu bahwa ada bahasa untuk menunjukan kemarahan secara terbuka, dan kepada remaja diajarkan bahwa tidak hanya sekedar menyembunyikan kemarahan meraka tetapi perlu takut terhadap rasa marah dan merasa bersalah apabila marah. Demikian juga, kebanyakan remaja telah mengalami bagaimana rasanyadicintai dan mencintai, tetapi banyak diantara mereka telah mengetahui bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan tersebut. Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu menyembunyikan perasaan-presaannya. Ia (mereka) tidak hanya menyembunyikan perasaan-perasaannya terhadap orang lain, tetapi pada derejat tertentu bahkan ia dapat kehilangan atau tidak meresakannya lagi. Hal ini terjadi misalnya, bila ia meragukan apakah ia benar-benar merasa marah atau cinta atau takut, atau ia betul-betul tidak tahu apakah ia merasa marah, cinta, atau takut ? kenyataan bahwa para remaja kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati perasaan mereka, misalnya tampak dalam ucapan sambil menunjukan kebingungan: “saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan”, saya tidak tahu apakah saya mencintai dia”, saya seharusnya marah, tetapi saya tidak tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya tentang hal itu.” Banyak kondisi-kondisi sehubungan dengan pertumbuhan anak sendiri dalam hubungannya dengan orang lain yang membawa perubahan-perubaha untuk menyatakan emosi-emosinya ketika ia meresa remaja. Orang tua dan guru-guru hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi yang tampak ini tidak berarti bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan ana muda. Ia tetap membutuhkan perangsang-perangsang yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman emosional. Karena anak tumbuh dalam keadaan fisik dan pemahaman, responnya berbeda terhadap apa yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman atau rintangan cita-citanya. Ia pada akhirnya perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa yang sedang terjadi padanya.

Dengan bertambahnya umur, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekspresi emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau keseluruhan latar belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan emosional ini. 3.

4.

Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional (bahasa Inggris: emotional quotient, disingkat EQ) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog, yakni Peter Salovey dan John Mayer. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan, di dalam sejumlah ulasan tentang kecerdasan emosional, dikemukakan kecerdasan emosional jauh lebih penting daripada kecerdasan dan kemampuan intelektual seseorang dalam mempengaruhi kesuksesan hidupnya. Salah satu hal yang mendasari pandangan ini adalah gejolak perasaan sangat mempengaruhi proses berpikir. Misalnya, saat individu sedang marah, konsentrasinya mulai terganggu dan kemudian mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Berikut ini, terdapat definisi kecerdasan emosional menurut para ahli sebagai mana dicatat oleh Achmad Pathoni : 1. Dalam buku karya Shapiro, Salovey dan Mayer mendefisinikan kecerdasan emosional sebagai “ himpunan bagian dari kecerdasan yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. 2. Menurut Jeane Segal, kecerdasan emosional adalah hubungan pribadi antar pribadi yang bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial dan kemampuan adaptasi sosial. 3. Menurut Robert K Cooper dalam bukunya menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menetapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Pentingnya Memahami Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi bagi Calon Guru BK atau Konselor Diketahui bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu, mengembangkan, mengarahkan seorang siswa atau peserta didik untuk menjadi lebih baik. Tentunya yang diarahkan itu banyak bentuk dan macamnya dan bervariasi antara satu dengan yang lainnya tentunya tidak sama, baik dari bakat, minat, keinginan bahkan emosionalnya. Yang kesemua itu tentunya perlu di pahami oleh guru pembimbing maupun guru studi guna kepentingan lebih lanjut. Dikaitkan dengan pendapat lama menunjukan bahwa kualitas intelegensi, kecerdasan dalam ukuran intelektual atau tataran kognitif yang tinggi di pandang sebagai faktor yang

mempengaruhi keberhasilan seorang dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam hidupnya. Namun baru-baru ini telah berkembang pandangan lain yang mengatakan bahwa faktor yang paling dominant mempengaruhi keberhasilan (kesuksesan) hidup seorang, bukan sematamata ditentukan oleh tingginya kecerdasan intelektual, tetapi oleh faktor kemantapan emosional, yang oleh ahlinya, yaitu Daniel Goleman disebut Emotional Intelligence (kecerdasan emosional). Berdasarkan pengamatan, benyak orang yang gagal dalam hidupnya bukan karena kecerdasan intelektualnya rendah. Namun karena mereka kurang memiliki kecerdasan emosional. Tidak sedikit orang yang sukses dalam hidupnya karena mereka memiliki kecerdasan emosional, meskipun intelegensi intelektual (IQ) hanya pada tingkat rata-rata. Kecerdasan emosional semakin perlu dipahami, dimiliki dan perhatikan dalam pengembangannya, mengingat kondisi kehidupan dewasa ini semakin kompleks. Kehidupan semakin kompleks ini memberikan dampak yang sangat buruk terhadap konstelasi kehidupan emosional seseorang. Dalam hal ini, Daniel Golmen ( Boharudin, 2011) mengemukakan hasil surveinya terhadap para orang tua dan guru khususnya guru pembimbing, yang hasilnya menunjukan bahwa ada kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosional dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka menampilkan sifat-sifat sebagai berikut : a.

Lebih kesepian dan pemurung

b.

Lebih beringasan dan kurang menghargai soapan santun

c.

Lebih gugup dan mudah cemas,

d. Lebih imulsif (mengikuti kemapuan naluriah/instinktif tanpa pertimbangan akal sehat) dan agresif. Kecerdasan emosional ini merujuk kepada kemampuan-kemampuan pemahan diri, mengola emosi, memanfaatkan emosi secara produktif, empati dan membina hubungan. Dalam uraian sebelumnya sudah dibahas mengenai emosi remaja yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru pembimbing adalah memahami apa yang diinginkan dan konsisten dalam pengelolaan kelas serta memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan tanggung jawab. Guru pembimbing atau guru bidang studi dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Kendalikan Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri. Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan orang lain dalam mengembangkan/meningkatkan pandangan

sendiri. Kita hendaknya waspada atau perlu memahami terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehigga tidak ada seorang yang berani tidak sependapat dengannya atau menentangnya. Reaksi yang sering kali terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas orang dewasa. Guru SMA dan guru pembimbing terperangkap oleh kemampuan siswa yang baru dalam menentukan/menemukan dan mengangkat ke permukaan tentang kelemahan –kelamahan orang dewasa. Bertambahnya kebebasan dari remaja seperti menanbah “bahan baker terhadap api”, bila banyak dari keinginan-keinginannya langsung dihambat/dirintangi oleh guru-guru dan orang tua. Satu cara untuk mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang perasaan-perasaan mereka yang negative. Ingat meskipun penting bagi guru untuk memahami alasan-alasan pemberontakannya, adalah sama pentingnya bagi remaja untuk belajar mengendalikan dirinya, karena hidup di masyarakat adalah juga menghormati dan menghargai keterbatasan-keterbatasan, dan kebebasan individual. Untuk menunjukan kematangan mereka, para remaja terutama laki-laki seringkali merasa terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Sebagi guru di SMA, seorang ada dalam posisi otoritas, dan karena itu mungkin gurulah yang merupakan target dari pemberontakan dan rasa permusuhan mereka. Tampaknya cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah pertama, mencoba untuk mengerti dan kedua, melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil berprestasi dalam bidang tertentu tentunnya yang diajarkan di sekolah. Satu cara untuk membuktikan kedewasaan seseorang ialah terampil dalam melakukan sesuatu. Jika guru menyadari seorang yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan dalam kelas dapat agak dikurangi. Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orang tua dalam keperluan-keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari orang tuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mndiri, sehingga adanya konflik dengan orang tua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapat mamberbesar jurang antara dia dengan orang tuanya. Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantai peristiwa tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin rahasia-rahasia kepribadinya kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik. Siswa sekolah menengah atas banyak mengisi pikirannya dengan hal-hal yang lain dari pada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan orang tua, dan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah. Salah satu persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya

mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu “memimpikan kejayaan”. Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia mendorong siswa tersebut untuk berusaha apa yang tidak mungkin dilakukan, walaupun mungkin pernah mencoba namun gagal, dapat terjadi kegagalan ini malah menambah kesengsaraan dalam hidupnya. Barangkali penyelesaian yang paling baik adalah mendorong anak itu untuk berusaha namun tetap mengingatkan dia untuk menghadapai kenyataan-kenyataan. Menyarankan tujuantujuan pengganti yang mungkin merupakan alternatif cara membuat ambisi-ambisinya lebih realistic dan mudah mengatasinya apabila mengalami kegagalan. Kebayakan para siswa disekolah menengah atas menginginkan menjadi pegawai negeri/pegawai kantor meskipun kenyataannya hanya sebagian kecil saja yang mencapai tujuan tersebut. Apabila ia menganggap remeh pekerjaan sebagai buruh, ini berarti bahwa anak-anak muda yang memasuki dunia kerja tersebut mungkin tidak mempunyai atau sedikit mempunyai kebanggaan terhadap apa yang mereka kerjakan. Kita para guru baik guru pembimbing maupun guru bidang studi hendaknya dapat memberikan keyakinan kepada siswa bahwa semua pekerjaan adalah bermanfaat apabila dikerjakan dengan sungguhsungguh, hati-hati, dan penuh tanggung jawab. Jadi, terdapat berbagai cara mengendalikan lingkungan dan peranan guru untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan dan menghilangkan reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginginkan sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tertanam kuat.

BAB III

PENUTUP

1.

Kesimpulan Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a.

2.

Emosi adalah pengalaman efektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang nampak. Emosi juga dapat dikatakan sebagai warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahanperubahan fisik. b. Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Disamping itu juga suatu reaksi muncul dengan diiringi berfungsinya endoktrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi. c. Pentingnya guru pembimbing (BK) memahami ialah dengan ingin selalu mengetahui seberapa besar emosi seorang anak yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik maupun dalan proses belajar dikelas. Dan berintraksi dengan lingkungannya baik di sekolah maupun di masyarakat. Saran Untuk menyempurnakan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca atau pihak yang menggunakan makalah ini. Berpegang pada prinsip tidak ada gading yang tidak retak dan tidak ada final dalam menuntut ilmu. Dengan kerendahan hati penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, dengan senang hati kritik dan saran dan pandangan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Baiturohman. 2010. Mengembangkan Emosi Remaja dan Implikasinya Bagi Pendidikan. https://forumsejawat.wordpress.com/2010/10/28/mengembangkan-emosi-remaja-danimplikasinya-bagi-pendidikan/. 28 Oktober 2010. 21.00 WIB Boharudin. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi. http://boharudin.blogspot.com/2011/04/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html. 21 April 2011. 20.11 WIB Haryadi, S & Muslikah. 2012. Perkembangan Individu. Buku Bahan Ajar Kuliah. Univ. Negeri Semarang. Semarang Wahyuni, D. 2018. Perkembangan Emosi Remaja. Artikel: Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Purwokerto

Related Documents

Bu Nyimas.docx
June 2020 17
Bu Tuti.docx
April 2020 25
Bu-3b
November 2019 16
Bu Hj.docx
May 2020 16
Essay Bu
August 2019 38
Bu Sofi.docx
June 2020 13

More Documents from "Holik Sanjaya"