Makalah Seminar Kasus Kurang Rumusan Masalah.docx

  • Uploaded by: alif
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Seminar Kasus Kurang Rumusan Masalah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,707
  • Pages: 48
MAKALAH SEMINAR KASUS ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA DENGAN MASALAH KEPERAWATAN UTAMA IMMOBILITY DI URJ GERIATRI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Oleh: Kelompok C1 Periode 4

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS STASE GERONTIK FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2019

DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul ...................................................................................................................... 1 Daftar Isi ................................................................................................................................... 2 BAB 1 ........................................................................................................................................ 3 1.1

Latar Belakang .......................................................................................................... 3

1.2

Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4

1.3

Tujuan ........................................................................................................................ 4

1.3.1.

Tujuan Umum .................................................................................................... 5

1.3.2.

Tujuan Khusus ................................................................................................... 5

BAB 2 ........................................................................................................................................ 6 2.1

Pengertian Imobilisasi............................................................................................... 6

2.1.1

Penyebab Imobilisasi ......................................................................................... 6

2.1.2

Faktor Predisposisi ............................................................................................ 6

2.1.3

Dampak Imobilisasi ........................................................................................... 7

2.1.4

Penatalaksanaan ................................................................................................ 9

2.1.5

Upaya pencegahan Dampak Imobilisasi ........................................................ 11

2.2

Range Of Motion (ROM) ......................................................................................... 12

2.3

Teori Penuaan.......................................................................................................... 23

2.3.1

Definisi Penuaan............................................................................................... 23

2.3.2

Teori-Teori Penuaan ........................................................................................ 23

2.4

Sindrom Gerontik ................................................................................................... 29

BAB 3 ...................................................................................................................................... 34 3.1

Pengkajian................................................................................................................ 34

3.2

Analisa Data dan Diagnosa .................................................................................... 41

3.2.1

Analisa Data ..................................................................................................... 41

3.2.2

Diagnosis Keperawatan ................................................................................... 41

3.3

Rencana Asuhan Keperawatan .............................................................................. 43

3.4

Implementasi............................................................................................................ 45

BAB 4 ...................................................................................................................................... 47 4.1

Kesimpulan .............................................................................................................. 47

4.2

Saran......................................................................................................................... 47

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 48

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Semua mahluk hidup umumnya akan mengalami proses penuaan, yang merupakan

proses terus menerus berlanjut secara alamiah mulai dari lahir sampai meninggal. Proses menua merupakan hal yang wajar dan akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang dan merupakan proses kehidupan manusia. Seseorang dikatakan usia lanjut (lansia) apabila orang tersebut telah berumur antara 65 tahun hingga tutup usia, fase senium (Nugroho, 2008). Dalam bidang kesehatan meningkatnya usia harapan hidup merupakan salah satu indikator dalam keberhasilan pembangunan. Menurut Depkes RI, (2007) rata-rata usia harapan hidup tertinggi adalah di Jepang yaitu 80,93 tahun (pria77,63 tahun dan wanita 84,41 tahun), Amerika serikat 77,14 tahun (pria 74,37tahun dan wanita 80,05 tahun), sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) perkiraan lansia di Indonesia yang berusia lebih dari 65 tahun sebanyak 7,18% pada tahun 2000 dan diperkirakan naik menjadi 8,5% pada tahun 2020 penduduk lansia di Indonesia sebanyak 28,8 juta atau 11,34 %, dan merupakan lansia yang terbesar didunia (Nurviyandari, 2011). Proses menua bukan merupakan suatu penyakit ataupun kondisi yang selalu tidak berdaya, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan kemunduran kemampuan fungsional yang sering disebabkan oleh akibat dari berbagai penyakit kronik. Proses menua merupakan penjumlahan semua perubahan yang terjadi dengan berlalunya waktu, perubahan ini menjadi penyebab kerentanan tubuh terhadap penyakit karena kurangnya kemampuan tubuh dalam proses penyesuaian diri dalam mempertahankan keseimbangan tubuh terhadap rangsangan dari dalam maupun luar tubuh (Hesti, 2010). Penurunan dan perubahan struktur fungsi, baik fisik maupun mental pada sistem muskuloskeletal dapat mempengaruhi mobilitas fisik pada lansia yang mengakibatkan gangguan pada mobilitas fisik pada lansia yang akan mempengaruhi kemampuan untuk tetap beraktivitas. Gangguan mobilitas fisik yang terjadi pada lansia mempengaruhi perubahanperubahan dalam motorik yang meliputi menurunnya kekuatan dan tenaga yang biasanya menyertai perubahan fisik yang terjadi karena bertambahnya usia, menurunnya kemampuan otot, kekakuan pada persendian, gemetar pada tangan, kepala dan rahang bawah dan umumnya

disebabkan oleh adanya gangguan pada muskuloskeletal, perubahan fisik akan mempengaruhi tingkat kemandirian lansia. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam pergerakan fisik tubuh secara mandiri dan terarah pada satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2012). Peningkatan jumlah lansia harus diiringi oleh pembinaan kesejahteraan lanjut usia yang ditangani oleh Depsos yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam kemasyarakatan, sehingga lansia dapat menikmati sisa hidupnya dengan tenang, aman dan sejahtera baik lahir maupun batin, Namun masih ditemukan lansia di Indonesia yang terlantar, dari 18 juta lansia, tercatat sebanyak 2,8 juta orang dan lansia rawan telantar 4,6 juta orang, hal ini terjadi karena faktor ekonomi, gaya hidup, ataupun budaya. Salah satu contoh program pemerintah yang ditangani Depsos Provinsi Jawa Tengah dalam mengatasi peningkatan jumlah lansia ialah dengan adanya pembangunan Unit Pelayanan Sosial Pucang Gading Semarang. Pelayanan di Unit Pelayanan Sosial meliputi pemenuhan kebutuhan hidup, bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan serta perlindungan sosial terhadap lanjut usia terlantar, Unit Pelayanan Sosial Pucang Gading Semarang ini memiliki sarana yang diantaranya adalah ruang aula, asrama/bangsal, dapur, ruang makan dan musholla, pemulasan jenazah, serta poliklinik, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan lansia. Dukungan dari berbagai pihak diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang mandiri dan sejahtera bagi lansia, dengan demikian mereka dapat menjalani kehidupan sebagai lansia yang mandiri, sehat, dan produktif, tanpa membebani atau tergantung pada orang lain. Perawat memiliki peranan yang penting dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan melakukan pengkajian aspek biopsikososiospiritual. Asuhan keperawatan untuk mengatasi gangguan mobilitas fisik adalah mengajarkan cara penggunaan alat bantu jalan, membantu dalam ambulasi klien, mengajarkan cara melakukan latihan rentang gerak untuk mempertahankan kekuatan otot klien, mengajarkan ROM pasif (NANDA, 2012). Berdasarkan fenomena dan data diatas menjadikan penulis merasa tertarik untuk mempelajari dan mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada Tn. S dengan masalah hambatan mobilitas fisik. 1.2 1.3

Rumusan Masalah Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum Menggambarkan tentang asuhan keperawatan gerontik pada Ny.M dengan hambatan mobilitas fisik di Poli Geriatri RSUD Dr.Soetomo Surabaya 1.3.2. Tujuan Khusus a. Teridentifikasinya data hasil pengkajian pada Ny.M dengan hambatan mobilitas fisik. b. Teridentifikasinya diagnosa keperawatan pada Ny.M dengan hambatan mobilitas fisik. c. Teridentifikasinya intervensi keperawatan pada Ny.M dengan hambatan mobilitas fisik. d. Teridentifikasinya implementasi keperawatan pada Ny.M dengan hambatan mobilitas fisik. e. Teridentifikasinya evaluasi keperawatan pada Ny.M dengan hambatan mobilitas fisik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Pengertian Imobilisasi Mobilisasi merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis untuk

mempertahankan kemandirian (Carpenito,2000). Mobilisasi atau mobilitas merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya. Imobilasasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan atau aktivitas, misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur ekstremitas, dan sebagainya. 2.1.1

Penyebab Imobilisasi Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,

ketidakseimbangan dan masalah psikologis. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s Disease, metastase kanker tulang) trauma sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimialgia, pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Rasa lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada lanjut usia. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout dan obat – obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan, faktor neurologis (stroke,

kehilangan

refleks

tubuh,

neuropati

DM,

malnutrisi

dan

gangguan

vestibuloserebral), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik, antihipertensi, neuroleptik dan antidepresan (Setiati, 2006). 2.1.2

Faktor Predisposisi Berbagai perubahan terjadi pada system muskuloskeletal, meliputi tulang keropos

(osteoporosis), pembesaran sendi, pengerasan tendon, keterbatasan gerak, penipisan discus intervertebralis, dan kelemahan otot, terjadi pada proses penuaan. Pada lansia, struktur kolagen kurang mampu menyerap energi. Kartilago sendi mengalami degenerasi didaerah yang menyangga tubuh dan menyembuh lebih lama. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya osteoarthritis. Begitu juga masa otot dan kekuatannya juga berkurang (Ario Tejo, 2009).

Istirahat di tempat tidur lama dan inaktivitas menurunkan aktivitas metabolisme umum. Hal ini mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional sistem tubuh yang multipel, dengan manifestasi klinis sindrom imobilisasi. Konsekuensi metaboliknya tidak tergantung penyebab untuk apa imobilisasi diresepkan. Hal ini bisa disebabkan oleh: 1. Cedera tulang Penyakit reumatik seperti pengapuran tulang atau patah tulang (fraktur) tentu akan menghambat pergerakan. 2. Penyakit saraf Adanya stroke, penyakit parkinson, paralisis, dan gangguan saraf tapi juga menimbulkan gangguan pergerakan dan mengakibatkan imobilisasi. 3. Penyakit jantung dan pernapasan Penyakit jantung dan pernapasan akan menimbulkan kelelahan dan sesak napas ketika beraktivitas. Akibatnya pasien dengan gangguan pada organ – organ tersebut akan mengurangi mobilisasinya. Ia cenderung lebih banyak duduk dan berbaring. 4. Gips ortopedik dan bidai. 5. Penyakit kritis yang memerlukan istirahat. 6. Menetap lama pada posisi gravitasi berkurang, seperti saat duduk atau berbaring. 7. Keadaan tanpa bobot diruang hampa, yaitu pergerakan tidak dibatasi, namun tanpa melawan gaya gravitasi. 2.1.3 Dampak Imobilisasi 2.1.3.1.

Dampak Perubahan Tubuh Akibat Imobilisasi

Dampak dari immobilisasi dalam tubuh dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernafasan, perubahan krdiovaskular, perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air

besar

dan kecil), vertigo

Respon Fisiologis Terhadap Imobilitas : 1. Muskuloskeletal a. Gangguan Muskular : Menurunnya massa otot sebagai dampak immobilisasi dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara langsung. b. Gangguan Skeletal : Akan mudah terjadi kontraktur sendi dan osteoporosis. Paling sering muncul pada klien imobil, Kekuatan otot menurun,Penurunan masa otot/atropi. Osteoporosis terjadi akibat menurunnya aktivitas otot gangguan endokrin dan metabolisme. Kontraktur (panggul, tumit dan punggung kaki.

2. Cardiovaskular Perubahan sistem kardiovaskuler akibat immobilisasi antara lain dapat berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus. Reflek neurovaskular menurun vasokonstriksi darah terkumpul pada vena bagian bawah tubuh aliran darah ke system sirkulasi pusat terhambat perfusi serebral menurun pusing/sakit kepala hebat, pingsan. 3.

Respiratori Akibat immobilisasi, kadar heamoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Ventilasi paru terganggu pergerakan dada dan ekspansi paru terbatas pernafasan dangkal. Aliran darah ke paru-paru terganggu : pertukaran gas menurun. Lemahnya oksigenasi dan retensi CO2 dalam darah Asidosis respiratory. Sekresi mucus lebih kental

dan

menempel

sepanjang

trac.respiratorius

kelemahan

otot

thorax

ketidakmampuan inhalasi maximal, gerakan menurun mekanisme batuk terganggu, mucus jadi statis, media berkembang bakteri.

4.

Metabolik dan nutrisi a. BMR turun b. Kebutuhan energi tubuh, motilitas gastrointestinal dan sekresi kelenjar digestive menurun. c. Proses katabolisme lebih besar daripada anabolisme nitrogen balance negative d. Anorexia malnutrisi e. Hipoproteinemia edema

5.

Urinary Kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran darah renal dan urine berkurang. pengaruh gaya gravitasi menghambat pengosongan urine di ginjal dan kandung kemih secara komplit urine statis media berkembangnya bakteri infeksi Resiko terjadi “Renal Calculi” karena kenaikan Ca dalam urine. Batu ginjal nyeri hebat, perdarahan dan obstruksi

6.

Eliminasi Fecal a. Motilitas kolon dan perstaltic menurun, sphincter konstriksi konstipasi

b. Kelemahan otot skeletal akan mempengaruhi otot abdominal dan perineal yang digunakan untuk defekasi 7.

Integumen a. Elastisitas kulit menurun b. Ischemia dan nekrosis jaringan supervisial : luka dekubitus

8.

Vertigo Terjadi Vertigo, karena seseorang terlalu lama berbaring, sehingga aliran darah ke otak berkurang, serta mempengaruhi nervus vestibularis.

2.1.3.2.

Dampak Immobilitas Bagi Psikologis

Berbagai masalah baik fisik maupun psikologis dapat terjadi akibat keadaan immobilisasi. Masalah psikologis yang dapat terjadi antara lain: pasien mengalami penurunan motivasi belajar, yang mana mereka sering tidak memahami pendidikan kesehatan yang diberikan maupun sulit menerima anjuran- anjuran. Beberapa pasien mengalami kemunduran dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan sering kali mengekspresikan emosi dalam berbagai cara misalnya menarik diri, apatis atau agresif. Pada keadaan lebih lanjut pasien mengalami perubahan konsep diri serta memberikan reaksi emosi yang sering tidak sesuai dengan situasi. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan dampak immobilisasi karena selama preses immobilisasi seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain -lain. Selain itu juga dapat meningkatkan respon emosional, intelektual, sensori, dan sosiokultural. Perubahan emosional yang paling umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan dalam siklus tidur-bangun dan gangguan koping. 2.1.4 Penatalaksanaan Dalam mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat, perawat mengangkat klien dengan benar, menggunakan teknik posisi yang tepat, dan memindahkan klien dengan aman dari tempat tidur ke kursi atau dari tempat tidur ke brankar. Prosedur-prosedur itu digambarkakan dalam bagian ini sebagai prinsip mekanika tubuh untuk menjaga atau memperbaiki kesejajaran tubuh. Teknik mengangkat. Angka cedera dalam pekerjaan meningkat pada tahun-tahun terakhir, dan lebih dari setengahnya adalah cedera punggung yang langsung akibatnya teknik mengangkat dan membungkuk yang tidak tepat (owen dan Garg, 1991). Kebanyakan cedera punggung yang terjadi adalah ketegangan pada kelompok otot lumbal, termasuk otot disekitar vertebra lumbal (Owen dan Gerg, 1991).

Sebelum mengangkat, perawat harus mengkaji kemampuan mengangkat klien atau objek yang akan di angkat dengan menggunakan kriteria dasar cara mengangkat sebagai berikut ini : 1. Posisi beban. Beban yang akan diangkat sedekat mungkin dengan pengangkat. Posisikan objek pada keadaan seperti diatas ketika perawat menggunakan gaya mengangkat dikarenakan objek berada dalam potongan sama (Stamps,1989). 2. Tinggi objek. Tinggi yang paling baik untuk mengangkat vertikal adalah sedikit diatas jari tengah seseorang dengan lengan tergantung disamping (Owen dan Greg, 1991). 3. Posisi tubuh. Ketika posisi tubuh mengangkat yang berbeda, maka petunjuk umum berikut mampu dipakai sebagian besar keadaan. Tubuh diposisikan dengan batang tubuh tegak sehingga kelompok otot-otot multipel bekerja sama dengan cara yang sinkron. 4. Berat maksimum. Setiap perawat harus mengetahui berat maksimum yang aman untuk diangkat aman bagi perawat dan klien. Objek yang terlalu berat adalah jika beratnya sama dengan atau lebih dari 35% berat badan orang yang mengangkat. Oleh karena itu, perawat yang beratnya 59,1 kg tidak mencoba mengangkat klien imobilisasi yang beratnya 45,5 kg. Meskipun nampaknya perawat mungkin mampu melakukannya, hal ini akan beresiko jatuh atau menyebabkan cedera punggung perawat. Pengaturan posisi yang dapat dilakukan pada pasien ketika mendapatkan perawatan, dengan tujuan untuk kenyamanan pasien, pemudahan perawatan dan pemberian obat, menghindari terjadinya pressure area akibat tekanan yang menetap pada bagian tubuh tertentu. 1. Membantu pasien duduk di tempat tidur Tindakan ini merupakan salah satu cara mempertahankan kemampuan mobilitas pasien Tujuan : a. Mempertahankan kenyamanan b.Mempertahankan toleransi terhadap aktifitas 2. Memindahkan pasien ke tempat tidur / ke kursi roda Tujuan : 1) Melakkukan otot skeletal untuk mencegah kontraktur 2) Mempertahankan kenyamanan pasien 3) Mempertahankan kontrol diri pasien 4) Memindahkan pasien untuk pemeriksaan 3. Membantu pasien berjalan Tujuan :

1) Toleransi aktifitas 2) Mencegah terjadinya kontraktur sendi 2.1.5 Upaya pencegahan Dampak Imobilisasi Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mencegah dampak dari imobilisasi meliputi penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik menurut Govinda dan Setiati (2009): 1). Non Farmakologis a). Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. b). Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. c). Untuk mencegah terjadinya penumpukan secret dilakukan pemberian nebulizer, suction dan melakukan fisioterapi seperti clapping dan vibrasi untuk mengeluarkan secret. Pada pasien yang memiliki respon batuk dapat diajarkan untuk batuk efektif. d). Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. e). Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. f). Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajianterhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat seperti tinggi protein dan serat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. 2). Farmakologis Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan terhadap terjadinyatrombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low

molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obatlain. 2.2

Range Of Motion (ROM) 1). Definisi Range Of Motion (ROM) Rentang pergerakan (Range of Motion) sendi adalah pergerakan maksimal yang mungkin dilakukan oleh sendi tersebut. Rentang pergerakan sendi bervariasi dari individu ke individu lain dan ditentukan oleh susunan genetik, pola perkembangan, ada atau tidaknya penyakit, dan jumlah aktifitas fisik yang normalnya dilakukan oleh seseorang (Barbara Kozier et al, 2010). Pengertian ROM lainnya adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. 2). Jenis Range Of Motion (ROM) a). ROM Aktif, yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif . b). ROM Pasif, yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total. Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. No

Jenis

Tujuan

Indikasi

1

Pasif

- Mempertahankan mobilitas

- Inflamasi

sendi

dan

jaringan ikat

dan

imobilisasi - Koma,

- Meminimalisir efek dari

akut

kelumpuhan,

bedrest total

pembentukan kontraktur - Mempertahan elastisitas mekanis dari otot - Membantu

kelancaran

sirkulasi - Meningkatkan pergerakan

synovial

untuk

nutrisi

tulang

rawan

serta

difusi

persendian 2

Aktif

- Memelihara dan

elastisitas kontraktilitas

fisiologis dari otot yang terlibat

aktif - Mampu

menggerakan

ruas sendi tanpa bantuan

- Memberikan umpan balik sensoris dari otot yang berkontraksi - Memberikan rangsangan untuk

- Ada kontraksi otot yang

tulang

integritas

dan jaringan

persendian - Meningkatkan sirkulasi - Mengembangkan koordinasi keterampilan motorik

dan

3). Pergerakan sendi pilihan Bangian tubuh – tipe sendi/pergerakan

Leher-sendi Putar

Fleksi: gerakan kepala dari posisi tegak di garis tengah kearah depan sehingga dagu klien menyentuh dada (gambar 42-2)

Ekstensi: gerakan kepala dari posisi fleksi ke posisi tegak (gambar 42-2)

Hiperekstensi: gerakan kepala dari posisi tegak kea rah belakang sejauh mungkin (gambar 42-2)

Fleksi lateral: gerakan kepala kea rah lateral kanan dan kiri bahu ( 42-3)

Rotasi: palingkan wajah sejauh mungkin kearah kanan dan kiri (42-4)

Bahu-Sendi Peluru

Fleksi: angkat setiap lengan dari posisi di samping tubuh kearah depan ke atas posisi di samping kepala (42-5)

Ilustrasi

Ekstensi: gerakan setiap lengan dari posisi vertical di samping kepala menuju kea rah depan dan ke bawah ke posisi istirahat di samping tubuh (42-5)

Hiperekstensi: gerakan setiap lengan dari posisi istirahat di samping tubuh ke belakang tubuh (42-5)

Abduksi: gerakan setiap lengan kea rah lateral dari posisi istirahat di samping tubuh ke posisi samping diatas kepala, telapak tangan menjauh dari kepala

Abduksi (anterior): gerakan setiap lengan dari posisi di samping tubuh menyilang bagian depan tubuh sejauh mungkin (42-6). Siku dapat diluruskan atau ditekuk

Sirkumduksi: gerakan setiap lengan ke depan, ke atas, ke belakang, dan ke dalam gerakan lingkaran penuh (42-7)

Rotasi eksternal: letakkan lengan di samping tubuh

setinggi

bahu

dan

siku

ditekuk

membentuk sudut siku-siku, jari-jari menunjuk ke bawah, gerakan lengan kea raj atas sehingga jari jari menunjuk kea rah atas (42-8)

Rotasi Internal letakkan lengan di samping tubuh

setinggi

bahu

dan

siku

ditekuk

membentuk sudut siku-siku. Jari-jari menunjuk

ke atas, gerakan lengan kearah depan dan bawah sehingga jari-jari menunjuk kebawah (42-8) Siku – sendi engsel

Fleksi: gerakan setiap lengan bawah kearah depan dan keatas sehingga tangan berada di bahu (42-9)

Ekstensi: gerakan setiap lengan bawah kearah depan dan ke bawah, luruskan lengan (42-9)

Rotasi untuk supinal: gerakan setiap tangan dan lengan

bawah

sehingga

telapak

tangan

menghadap ke atas (42-10)

Rotasi untuk pronasi: gerakan setiap tangan dan lengan

bwah

sehingga

menghadap ke bawah (42-10)

telapak

tangan

Pergelangan tangan – sendi kondiloid

Fleksi: gerakan jari setiap tangan kea rah dalam lengan bawah (42-11)

Ekstensi: luruskan setiap tangan ke permukaan yang sama seperti lengan (42-11)

Hiperekstensi: tekuk jari-jari setiap tangan ke belakang sejauh mungkin (42-12)

Fleksi

radialis

(abduksi):

tekuk

setiap

pergelangan tangan kea rah lateral menuju ke samping ibu jari dengan tangan supinasi (42-13)

Fleksi ulnaris (aduksi): tekuk setiap pergelangan tangan kea rah lateral menuju jari kelingking dengan tangan supinal (42-13) Tangan dan jari: sendi Metakarpofalangeal – kondiloid – sendi interfalageal – engsel.

Fleksi: buat sebuah kepalan pada setiap tangan (42-14)

Ekstensi: luruskan jari-jari di setiap tangan (4214)

Hiperekstensi: tekuk jari-jari di setiap tangan kea rah belakang sejauh mungkin (42-14)

Abduksi: regangkan jari-jari tangan (42-15)

Aduksi: rapatkan jari-jari tangan (42-15).

Ibu jari – sendi pelana

Fleksi: gerakan setiap ibu jari menyilang permukaan

telapak

tangan

kearah

jari

kelingking (42-16)

Ekstensi: gerakan setiap ibu jari menjauhi tangan (42-16)

Abduksi: gerakan setiap ibu jari kea rah lateral (42-17)

Aduksi: gerakan setiap ibu jari kembali ke tangan (42-17)

Oposisi: sentuhkan ibu jari ke bagian atas jari di tangan yang sama. Pergerakan sendi ibu jari terdiri atas abduksi, rotasi dan fleksi (42-18)

Panggul – sendi peluru

Fleksi: gerakan setiap tungkai ke depan dank e atas. Lutut dapat diekstensikan atau difleksikan (42-19)

Ekstensi: gerakan setiap tungkai kembali ke samping tungkai yang lain (42-20)

Hiperekstensi: gerakan setiap kaki kembali ke belakang tubuh (42-20)

Abduksi: gerakan setiap tungkai kea rah luar sisi tubuh (42-21)

Aduksi: gerakan setiap tungkai ke tungkai yang lain sampai melebihi bagian depan tungkai tersebut (42-21)

Sirkumduksi:

gerakan

setiap

tungkai

ke

belakang, ke atas, ke samping, dank e bawah membentuk sebuah lingkaran (42-22)

Rotasi internal: gerakan setiap kaki dan tungkai kearah dalam sehingga ibu jari kaki mengarah sejauh mungkin kea rah tungkai yang lain (4223)

Rotasi eksternal: gerakan setiap kaki dan tungkai kea rah luar sehingga ibu jari kaki mengarah sejauh mungkin menjauhi tungkau yang lain (42-23)

Lutut sendi engsel

Fleksi: tekuk setiap tungkai, gerakan tumit ke bagian belakang paha (42-24)

Ekstensi: luruskan setiap tungkau, kembalikan kaki ke posisinya di samping kaki yang lain (4224) Tungkai – sendi engsel Ekstensi (plantar fleksi): arahkan jari kaki pada setiap kaki ke arah bawah (42-25)

Fleksi (dorsifleksi): arahkan jari kaki pada setiap kaki ke arah atas (42-25) Kaki – geser

Eversi: gerakan telapak kaki setiap kaki kea rah lateral (42-26)

Inversi gerakan telapak kaki setiap kaki kea rah medial (42-26)

Jari kaki

Fleksi: letakkan sendi jari kaki pada setiap kaki ke arah bawah (42-27)

Ekstensi: luruskan jari kaki di setiap kaki (4227)

Batang tubuh – sendi geser

Fleksi: tekuk batang tubuh menuju jari kaki (4248)

Ekstensi: luruskan batang tubuh dari posisi fleksi (42-28)

Hiperekstensi: tekuk batang tubuh ke belakang (42-28)

Fleksi lateral: tekuk batang tubuh ke bagian kanan dan kiri (42-29)

Rotasi: gerakkan bagian atas tubuh dari sisi tubuh ke sisi tubuh lain secara bergantian (4230)

2.3

Teori Penuaan

2.3.1 Definisi Penuaan Menua (aging) adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994) Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memeperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantindes, 1994) Proses menua bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahap hidup manusia, yaitu; bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, dan lanjut usia. Orang mati bukan karena lanjut usia tetapi karena suatu penyakit, atau juga suatu kecacatan. Akan tetapi proses menua dapat menyebabkan berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa. Misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa penampilan seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapain puncak maupun menurunnya

2.3.2 Teori-Teori Penuaan 2.3.2.1 Teori Biologis Teori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Seiring dengan brekembangnya kemampuan kita untuk menyelidiki komponen-komponen yang kecil dan sangat kecil, suatu pemahaman tantang hubungan hal-hal yang memengaruhi penuaan ataupun tentang penyebab penuaan yang sebelumnya tidak diketahui, sekarang telah mengalami peningkatan. Walaupun bukan suatu definisi penuaan, tetapi lima karakteristik penuaan telah dapat diidentifikasi oleh para ahli. Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara berbeda dari waktu kewaktu dan faktor apa yang memengaruhi umur panjang,

perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler. Suatu pemahaman tentang perspektif biologi dapat memberikan pengetahuan kepada perawat tentang faktor resiko spesifik dihubungkan dengan penuaan dan bagaimana orang dapat dibantu untuk meminimalkan atau menghindari resiko dan memaksimalkan kesehatan. 1) Teori Radikal Bebas Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan bagian molekul yang sangat reaktif. Molekul ini memiliki muatan ekstraseluler kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengibah bentuk dan sifatnya, molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel, mempengaruhi permeabilitasnya atau dapat berikatan dengan organel sel. Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan karena terjadinya akumulasi kerusakan irreversibel akibat senyawa pengoksidasi. Dimana radikal bebas dapat terbentuk dialam, tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. 2) Teori Genetika Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama disebabkan oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut teori genetike, penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan sebelumnya. Teori genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori krtepatan dan kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen. Teori-teori ini menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak terartur karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA menjadi bersilangan (crosslink) denga unsur yang lain sehingga mengubah informasi genetik. Adanya crosslink ini mengakibatkan kesalahan pada tingkat seluler yang akhirnya mengakibatkan sistem dan organ tubuh gagal untuk berfungsi. Bukti yang mendukung teoriteori ini termasuk perkembangan radikal bebas, kolagen, dan lipofusin. Selain itu, peningkatan frekuensi kanker dan penyakit autoimun yang dihubungkan dengan bertambahnya umur menyatakan bahwa mutasi atau kesalahan terjadi pada tingkat molekular dan selular. 3) Teori Cross Link Teori crosslink dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul kolagen dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa yang lama meningkatkan rigiditas sel, crosslink diperkirakan akibat reaksi kimia yang menimbulkan aenyawa antara molekul-molekul yang normalnya terpisah atau secara singkatnya sel-sel tua atau usang, reaksi kimianya menyebakan

kurang elastis dan hilangnya fungsi. Contoh crosslink jaringan ikat terkait usia meliputi penurunan kekuatan daya rentang dinding arteri, tanggalnya gigi, tendon kering dan berserat. 4) Teori Wear and Tear Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Radikal bebas adalah contoh dari produk sampah metabolisme yang menyebabkan kerusakan ketika akumulasi terjadi. Radikal bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal. Beberapa radikal bebas berhasil lolos dari proses perusakan ini dan berakumulasi didalam struktur biologis yang penting, saat itu kerusakan organ terjadi. Karena laju metabolisme terkait secara langsung pada pembentukan radikal bebas, sehingga ilmuwan memiliki hipotesis bahwa tingkat kecepatan produksi radikal bebas berhubungan dengan penentuan waktu rentang hidup. Pembatasan kalori dan efeknya pada perpanjangan rentang hidup mungkin berdasarkan pada teori ini. Pembatasan kalori telah terbukti dapat meningkatkan masa hidup pada tikus percobaan. Sepanjang masa hidup, tikus-tikus tersebut telah mengalami penurunan angka kejadian kemunduran fungsional, dan mengalami lebih sedikit kondisi penyakit yang berkaitan dengan peningkatan umur, berkurangnya kemunduran fungsional tubuh, dan menurunnya insidensi penyakit yang berhubungan dengan penuaan. 5) Teori Imunitas Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun tubuh. Ketika orang mengalami penuaan, mereka mungkin mengalami penyakit autoimun seperti artritis reumaoid dan alergi terhadap makanan dan faktor lingkungan yang lain. Penganjur teori ini sering memusatkan pada peran kelenjar timus. Berat dan ukuran kelenjar timus menurun seiring dengan bertambahnya umur, seperti halnya kemampuan tubuh untuk diferensiasi sel T. karena hilangnya diferensiasi sel T, tubuh salah mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing dan menyerangnya. Pentingnya pendekatan pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan terhadap npelayanan kesehatan, terutama pada saat penuaan terjadi tidak dapat diabaikan. Walaupun semua orang memerlukan pemeriksaan rutin untuk memastikan deteksi dini dan perawatan seawal mungkin, tetapi pada orang lanjut usia kegagalan melindungi sistem imun

yang telah mengalami penuaan melalui pemeriksaan kesehatan ini dapat mendorong ke arah kematian awal dan tidak terduga. Selain itu, program imunisasi secara nasional untuk mencegah kejadian dan penyebaran epidemi penyaki, seperti pneumonia dan influenza diantara orang lanjut usia juga mendukung dasar teoritis praktik keperawatan. 6) Teori Neuroendokrin Diskusi sebelumnya tentang kelenjar timus dan sistem imun serta interaksi antara sistem saraf dan sistem endokrin menghasilkan persamaan yang luar biasa. Pada kasus selanjutnya para ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal, dan reproduksi. Salah satu area neurologis yang mengalami gangguan secara universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses, dan bereaksi terhadap perintah. Dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respon ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai tindakan melawan, ketulian, atau kurangnya pengetahuan. Pada umumnya, sebenarnya yang terjadi bukan satupun dari hal-hal tersebut, tetapi orang lanjut usia sering dibuat untuk merasa seolah-olah mereka tidak kooperatif atau tidak patuh. Perawat dapat memfasilitasi proses pemberian perawatan dengan cara memperlambat instruksi dan menunggu respon mereka. 7) Riwayat Lingkungan Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan. Perawat dapat mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang dampak dari aspek ini terhadap penuaan dengan cara mendidik semua kelompok umur tentang hubungan antara faktor lingkungan dan penuaan yang dipercepat. Ilmu pengetahuan baru mulai untuk mengungkap berbagai faktor lingkungan yang dapat memengaruhi penuaan. 2.3.2.2 Teori Psikososiologis Teori psikososialogis memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Untuk tujuan pembahasan ini, perubahan sosiologis atau nonfisik dikombinasikan dengan perubahan psikologis. Masing-masing individu, muda, setengah baya, atau tua adalah unik dan memiliki pengalaman, melalui serangkaian kejadian dalam kehidupan, dan melalui banyak peristiwa.

Salama 40 tahun terakhir, beberapa teori telah berupaya untuk menggambarkan bagaimana perilaku dan sikap pada awal tahap kehidupan dapat memengaruhi reaksi manusia sepanjang tahap akhir hidupnya. Pekerjaan ini disebut proses “penuaan yang sukses” contoh dari teori ini termasuk teori kepribadian. 1) Teori Kepribadian Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur dalam tahun-tahun akhir kehidupannya yang telah merangsang penelitian yang pantas dipertimbangkan. Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Jung mengembangkan suatu teori pengembangan kepribadian orang dewasa yang memandang kepribadian sebagai ektrovert atau introvert ia berteori bahwa keseimbangan antara keddua hal tersebut adalah penting kesehatan. Didalam konsep intoritas dari Jung, separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan memeiliki tujuannya sendiri yaitu untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri melalui aktivitas yang dapat merefleksikan diri sendiri.

2) Teori Tugas Perkembangan Beberapa ahli teori sudah menguraikan proses maturasi dalam kaitannya dengan tugas yang harus dikuasai pada tahap sepanjang rentang hidup manusia. Hasil penelitian Ericson mungkin teori terbaik yang dikenal dalam bidang ini. Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses. Erickson menguraikan tugas utama lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas. Pada kondisis tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa. Minat yang terbaru dalam konsep ini sedang terjadi pada saat ahli gerontologi dan perawat gerontologi memeriksa kembali tugas perkembanagn lansia. 3) Teori Disengagement Teori disengagement (teori pemutusan hubungan), dikembangkan pertama kali pada awal tahun 1960-an, menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini, proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda. Manfaat pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar ia dapat menyediakan waktu untuk

merefleksikan pencapaian hidupnya dan untuk menghadapi harapan yang tidak terpenuhi, sedangkan manfaatnya bagi masyarakat adalah dalam rangka memindahkan kekuasaan generasi tua pada generasi muda. Teori ini banyak menimbulkan kontroversi, sebagian karena penelitian ini dipandang cacat dan karena banyak lansia yang menentang “postulat” yang dibangkitkan oleh teori untuk menjelaskan apa yang terjadi didalam pemutusan ikatan atau hubungan. Sebagai contoh, dibawah kerangka kerja teori ini, pensiun wajib menjadi kebijakan sosial yang harus diterima. Dengan meningkatnya rentang waktu kehidupan alami, pensiun pada usia 65 tahun berarti bahwa seorang lanjut usia yang sehat dapat berharap untuk hidup 20 yahun lagi. Bagi banyak individu yang sehat dan produktif, prospek diri suatu langkah yang lebih lambat dan tanggung jawab yang lebih sedikit merupakan hal yang tidak diinginkan. Jelasnya, banyak lansia dapat terus menjadi anggota masyarakat produktif yang baik sampai mereka berusia 80 sampai 90 tahun. 4) Teori Aktivitas Lawan langsung dari teori disengagement adalah teori aktivitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Havighurst yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat untuk lansia pada tahun 1952. Sejak saat itu, berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan oranglain dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Gagasan pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran pada lansia secara negatif memengaruhi kepuasan hidup. Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan pentingnya aktivitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia. 5) Teori Kontinuitas Teori kontinuitas, juga di kenal sebagai suatu teori perkembangan, merupakan suatu kelanjutan dari dua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan

tetap tidak berubah walaupun usianya telah lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas pada saat orang tersebut bertambah tua. Seseorang yang menikmati bergabung dengan orang lain dan memiliki kehidupan sosial yang aktif akan terus menikmati gaya hidupnya ini sampai usianya lanjut. Orang yang menyukai kesendirian dan memiliki jumlah aktivitas yang terbatas mungkin akan menemukan kepuasan dalam melanjutkan gaya hidupnya ini. Lansia yang terbiasa memiliki kendali dalam membuat keputusan mereka sendiri tidak akan dengan mudah menyerahkan peran ini hanya karena usia mereka yang telah lanjut. Selain itu, individu yang telah melakukan manipulasi atau abrasi dalam interaksi interpersonal mereka selama masa mudanya tidak akan tiba-tiba mengembangkan suatu pendekatan yang berbeda didalam masa akhir krhidupannya. Ketika perubahan gaya hidup dibebankan pada lansia oleh perubahan sosial-ekonomi atau faktor kesehatan, permasalahan mungkin akan timbul. Kepribadian yang tetap tidak diketahui selama pertemuan atau kunjungan singkat kadang-kadang dapat menjadi fokal dan juga menjadi sumber kejengkelan ketika situasi mengharuskan adanya suatu perubahan didalam pengaturan tempat tinggal. Keluarga yang berhadapan dengan keputusan yang sulit tentang perubahan pengaturan tempat tinggal untuk seorang lansia sering memerlukan banyak dukungan. Suatu pemahaman tentang pola kepribadian lansia sebelumnya dapat memberikan pengertian yang lebih diperlukan dalam proses pengambilan keputusan ini. 2.4

Sindrom Gerontik Penyakit-penyakit yang umum ditemukan pada pasien geriatri umumnya adalah

penyakit degeneratif kronik. Untuk memahami pasien geriatri Kane & Ouslander merumuskannya dalam Geriatric Giants (14 I) yaitu: 1. Immobility (imobilisasi), Adalah keadaan tidak bergerak / tirah baring (bed rest) selama 3 hari atau lebih. Kondisi ini sering dijumpai pada lansia akibat penyakit yang dideritanya seperti infeksi yang berat, kanker, selain akibat penyakit yang diderita, imobilisasi juga sering ditemukan pada lansia yang “dikekang” untuk melakukan segalanya sendiri oleh keluarga yang merawatnya, sehingga ia hanya tidur dan duduk, atau juga ditemukan pada lansia yang “manja”. Banyak gangguan yang dapat ditimbulkan akibat imobilisasi seperti ulkus dekubitus (koreng pada punggung karena luka tekan dan sulit disembuhkan) dan ulkus-ulkus di permukaan tubuh lainnya, trombosis vena (bekuan darah pada pembuluh darah balik) yang dapat menyumbat aliran darah (emboli) pada paru-paru yang berujung pada kematian mendadak. 2. Instability (instabilitas) dan jatuh

Dapat terjadi akibat penyakit muskuloskeletal (otot dan rangka) seperti osteoartritis, rematik, gout, dsb., juga dapat disebabkan oleh penyakit pada sistem syaraf seperti Parkinson, sequellae (penyakit yang mengikuti) stroke. Akibat dari instabilitas dan jatuh ini dapat berupa cedera kepala dan perdarahan intrakranial (di dalam kepala), patah tulang, yang dapat berujung pada kondisi imobilisasi. 3. Incontinence (inkontinensia) urine dan alvi. Inkontinensia adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat mengeluarkan “limbah” (urin dan feses) secara terkendali atau sering disebut ngompol. Inkontinensia dapat terjadi karena melemahnya otot-otot dan katup, gangguan persyarafan, kontraksi abnormal pada kandung kemih, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna seperti yang terjadi pada hipertrofi (pembesaran) prostat, sedangkan pada inkontinensia alvi dapat terjadi akibat konstipasi, penyakit pada usus besar, gangguan syaraf yang mengatur proses buang air, hilangnya refleks anal. 4. Irritable bowel (usus besar yang sensitif -mudah terangsang-) Sehingga menyebabkan diare atau konstipasi/ impaksi (sembelit). Penyebabnya tidak jelas, tetapi pada beberapa kasus ditemukan gangguan pada otot polos usus besar, penyeab lain yang mungkin adalah gangguan syaraf sensorik usus, gangguan sistem syaraf pusat, gangguan psikologis, stres, fermentasi gas yang dapat merangsang syaraf, kolitis. 5. Immuno-defficiency (penurunan sistem kekebalan tubuh) Banyak hal yang mempengaruhi penurunan sistem kekebalan tubuh pada usia lanjut seperti atrofi thymus (kelenjar yang memproduksi sel-sel limfosit T) meskipun tidak begitu bermakna (tampak bermakna pada limfosit T CD8) karena limfosit T tetap terbentuk di jaringan limfoid lainnya. Begitu juga dengan barrier infeksi pertama pada tubuh seperti kulit dan mukosa yang menipis, refleks batuk dan bersin -yang berfungsi mengeluarkan zat asing yang masuk ke saluran nafas- yang melemah. Hal yang sama terjadi pada respon imun terhadap antigen, penurunan jumlah antibodi. Segala mekanisme tersebut berakibat terhadap rentannya seseorang terhadap agen-agen penyebab infeksi, sehingga penyakit infeksi menempati porsi besar pada pasien lansia. 6. Infection (infeksi) Salah satu manifestasi akibat penurunan sistem kekebalan tubuh dan karena kemampuan faali (fisiologis) yang berkurang. Sebagai contoh, agen penyebab infeksi saluran pernafasan dapat dikeluarkan bersama dahak melalui refleks batuk, tetapi karena menurunnya kemampuan tubuh, agen tersebut tetap berada di paru-paru. Selain itu, pada pasien usia lanjut, gejala-gejala infeksi yang tampak tidak seperti pada orang dewasa-muda.

Pada pasien lansia, demam sering tidak mencolok, bahkan dalam keadaan sepsis beberapa menunjukkan penurunan temperatur - hipotermia - bukan demam. Contoh lain pada pneumonia, gejala yang tampak bukan demam, batuk, sesak nafas, dan leukositosis (jumlah sel darah putih meningikat) melainkan nafsu makan turun, lemah, dan penurunan kesadaran, gejala inilah yang umumnya tampak pada penyakit infeksi pada lansia, ditambah dengan inkontinensia dan jatuh (akibat penurunan kesadaran). Sehingga terkadang pasien dengan infeksi yang datang ke instalasi gawat darurat karena penurunan kesadaran atau jatuh disalah-artikan sebagai serangan stroke. 7. Iatrogenics (iatrogenesis) Karakteristik yang khas dari pasien geriatri yaitu multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan rasional karena obat akan dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia terjadi penurunan fungsi faal hati sehingga terkadang terjadi ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati juga terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang), dimana sebagaian besar obat dikeluarkan melalui ginjal sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik. 8. Intellectual impairment (Intelektual menurun) dan demensia, Banyak hal yang terkait dengan terjadinya penurunan fungsi intelektual dan kognitif pada usia lanjut. Mulai dari menurunnya jumlah sel-sel syaraf (neuron) hingga penyakit yang berpengaruh pada metabolisme seperti diabetes melitus dan gangguan hati dimana semua metabolisme terjadi disini. Otak adalah organ yang sangat tergantung pada glukosa sebagai sumber energi sehingga pada diabetes melitus -terjadi gangguan metabolisme glukosa- pasokan energi untuk otak terganggu. Selain diabetes, hipertensi juga mempengaruhi fungsi otak karena sirkulasi darah ke otak terganggu, gangguan respirasi seperti Chronic Obstructive Pulmonary Disease/ Penyakit Paru Obstruktif Menahun (COPD/PPOM) juga dapat menurunkan jumlah oksigen ke otak. Penyebab lain penurunan fungsi intelektual adalah iatrogenesis. 9. Isolation (terisolasi) dan depresi Penyebab utama depresi pada usia lanjut adalah kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang peliharaan. Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi. Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan menyebabkan pasien akan merasa hidup

sendiri dan menjadi depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri akibat depresi yang berkepanjangan. 10. Impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), Gangguan penglihatan disebabkan oleh mengendornya otot dan kuit kelopak mata, perubahan sistem lakrimal (air mata), proses penuaan pada kornea (organ yang menerima rangsang cahaya), penurunan produksi aqueous humor, perubahan refraksi, perubahan struktur dalam bola mata, katarak, dan glaukoma. Sedangkan gangguan fungsi pendengaran dapat terjadi karena, penurunan fungsi syaraf-syaraf pendengaran, perubahan organ-organ di dalam telinga. Penurunan fungsi kedua panca indera ini mengakibatkan sulitnya komunikasi bagi lansia, sehingga akibat lainnya adalah penderita terisolasi atau mengisolasi diri. 11. Inanition (malnutrisi) Diakibatkan oleh pengaruh perubahan faal organ-organ pencernaan seperti air liur, atrofi kuncup kecap, penurunan syaraf-syaraf penciuman dan pusat haus, gangguan menelan karena otot yang melemah, Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), sekresi HCl yang meningkat, penurunan aktivitas enzim, dsb. Banyak penyakit yang dapat timbul akibat kurangnya asupan gizi atau lebihnya asupan gizi, selain itu lansia juga perlu menjaga pola makan sehat dengan mengurangi makanan-makanan yang dapat memperburuk keadaan lansia tersebut. Banyaklah mengkonsumsi sayur, buah dan air, serta mineral-mineral seperti besi, yodium dan kurangi konsumsi minyak, lemak dan kolesterol. 12. Insomnia. Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes melitus dan hiperaktivitas kelenjar thyroid, gangguan neurotransmitter di otak juga dapat menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah berubah juga dapat menjadi penyebabnya. 13. Impotency (Impotensi) Ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual pada usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti gangguan hormon, syaraf, dan pembuluh darah. Ereksi terjadi karena terisinya penis dengan darah sehingga membesar, pada gangguan vaskuler seperti sumbatan plak aterosklerosis (juga terjadi pada perokok) dapat menyumbat aliran darah sehingga penis tidak dapat ereksi. Penyebab lainnya adalah depresi. 14. Impecunity (kemiskinan)

Usia lansia dimana seseorang menjadi kurang produktif (bukan tidak produktif) akibat penurunan kemampuan fisik untuk beraktivitas. Usia pensiun dimana sebagian dari lansia hanya mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya. Pada dasarnya seorang lansia masih dapat bekerja, hanya saja intensitas dan beban kerjanya yang harus dikurangi sesuai dengan kemampuannya, terbukti bahwa seseorang yang tetap menggunakan otaknya hingga usia lanjut dengan bekerja, membaca, dsb., tidak mudah menjadi “pikun” . Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman sejawat, berarti interaksi sosialpun berkurang memudahakan seorang lansia mengalami depresi

BAB 3 KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN 3.1

Pengkajian

FORMAT PENGKAJIAN LANSIA ADAPTASI TEORI MODEL CAROL A MILLER Nama : 1. IDENTITAS

Tanggal Pengkajian : 26 Februari 2019 :

KLIEN Nama

: Ny. M

Umur

: 59 tahun

Agama

: Islam

Alamat asal

: Mulyorejo Barat, Surabaya

Tanggal datang

: Klien Homecare

2. DATA

:

KELUARGA Nama

: Tn. A

Hubungan

: Anak

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Mulyorejo Barat, Surabaya

Telp : -

3. STATUS KESEHATAN SEKARANG : Keluhan utama: Keluarga klien mengatakan bahwa klien tidak bisa BAB selama 3 hari dengan konsistensi keras. Riwayat Penyakit Sekarang : Klien mengalamai kelemahan setengah tubuh bagian kanan sejak MRS (20 Februari 2019), bicara sulit hanya mampu 1 kata, demam kadang-kadang, batuk kadang-kadang, terdapat luka di bagian pantat sebelah kanan. Riwayat Penyakit Dahulu/ Riwayat Inap Rumah Sakit : Tanggal 22 Januari 2019 di RSUD Dr. Soetomo dengan diagnosis Ensefalopati sepsis + ACKD+ HAP+ Hipoalbumin+ DM T2+ Post stroke 2 + anemia Pengetahuan, usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan: mengkonsumsi obatobatan dari dokter. Obat-obatan: 1. Vitamin B6, B1, B12 (1x1)

2. Clopidogrel 1x 75mg 3. Lansoprazole 1x1 caps 4. Sucralfat 3x15 ml 5. Novorapid 3x3 unit 6. Lovemir 10 unit (0-0-1) 7. Amlodipin 1x10 mg 8. N- Acetyl sistem 3x200mg 9. Domperidone 3x1 10. Ventolin

Alergi : Keluarga klien mengatakan bahwa klien alergi terhadap ikan asin dan reaksinya gatal-gatal pada seluruh tubuh.

4.

AGE RELATED CHANGES (PERUBAHAN TERKAIT PROSES MENUA) : FUNGSI FISIOLOGIS 1.

Kondisi Umum Kelelahan Perubahan BB Perubahan nafsu makan Masalah tidur Kemampuan ADL

Ya : : :

3.

Integumen Lesi / luka Pruritus Perubahan pigmen Memar Pola penyembuhan lesi KETERANGAN

Hematopoetic

Tidak terkaji √

: :

√ Klien terpasang NGT sejak tanggal 14 Februari dengan asupan 6 x 200 cc. Klien makan bubur 3x sehari (pagi, siang, sore), minum susu nephrisol dan herbal life. : Kemampuan ADL di bantu seluruhnya karena klien bedrest. .

KETERANGAN

2.

Tidak √

: : : : :

Ya √

Tidak √ √ √ √

: Terdapat luka terbuka di bagian pantat sebelah kanan, warna merah, tidak ada lesi. Suhu : 37,4ºC

Ya

Tidak

Perdarahan abnormal Pembengkakan kel limfe Anemia KETERANGAN

√ √ √

: : : : Tidak ditemukan masalah

4.

Kepala Sakit kepala Pusing Gatal pada kulit kepala KETERANGAN

Ya

: √ : √ : √ : Tidak ada masalah, rambut klien beruban

5.

Mata Perubahan penglihatan Pakai kacamata Kekeringan mata Nyeri Gatal Photobobia Diplopia Riwayat infeksi KETERANGAN

6.

Telinga Penurunan pendengaran Discharge Tinitus Vertigo Alat bantu dengar Riwayat infeksi Kebiasaan membersihkan telinga Dampak pada ADL

Ya Tidak : √ : √ : √ : √ : √ : √ : √ : √ : Mata sayu karena proses penuaan, konjungtiva anemis, pupil isokor (3mm/ 3mm)

Ya : : : : : : :

Tidak √ √ √ √ √ √ √

: Tidak ada : Telinga klien terlihat bersih, tidak ada masalah

KETERANGAN

7. Hidung sinus Rhinorrhea Discharge Epistaksis Obstruksi Snoring Alergi Riwayat infeksi

Tidak

Ya : : : : : : :

Tidak √ √ √ √ √ √ √

: Tidak ada masalah

KETERANGAN

8.

Mulut, tenggorokan Nyeri telan Kesulitan menelan Lesi Perdarahan gusi Caries Perubahan rasa Gigi palsu Riwayat Infeksi Pola sikat gigi

Ya Tidak : √ : √ : √ : √ : √ : Tidak terkaji : √ : √ : Keluarga klien mengatakan bahwa gigi klien dibersihkan menggunakan listerine sebanyak 2x sehari. : Terdapat beberapa gigi karies, mulut bersih, membran mukosa kering.

KETERANGAN

9 .

Leher Kekakuan Nyeri tekan Massa KETERANGA N

Ya

: : : :

10. Pernafasan Batuk Nafas pendek Hemoptisis Wheezing Asma KETERANGAN

11. Kardiovaskuler Chest pain Palpitasi Dipsnoe Paroximal nocturnal Orthopnea Murmur Edema KETERANGAN

Tidak √ √ √ Leher klien dapat digerakkan secara bebas (tengok kanan-kiri dengan posisi tidur) Ya √

Tidak

: : √ : √ : √ : √ : Keluarga klien mengatakan bahwa klien terkadang mengeluh batuk. Klien juga mendapat terapi nebul ventolin. RR = 18x / menit, tidak ada penggunaan otot bantu nafas, irama nafas teratur, suara nafas vesikuler. Ya : : : : : : : : Saat tidur : TD : 133/ 90 mmHg, Nadi : 92x/menit Saat duduk : TD : 120/79 mmHg, Nadi : 88x/menit CRT < 2 detik, akral kering hangat merah

Tidak √ √ √ √ √ √ √

12. Gastrointestinal Disphagia Nausea / vomiting Hemateemesis Perubahan nafsu makan Massa Jaundice Perubahan pola BAB Melena Hemorrhoid Pola BAB KETERANGAN

13. Perkemihan Dysuria Hesitancy Urgency Hematuria Poliuria Oliguria Nocturia Inkontinensia Nyeri berkemih Frekuensi Pola BAK KETERANGAN

14 .

Ya

Tidak √ √ √ √

: : : :

: √ : √ : √ : √ : √ : Tidak teratur : Keluarga klien mengatakan bahwa klien susah untuk BAB, hari ini sudah BAB namun konsistensi keras dan BAB sebelumnya 3 hari yang lalu. Teraba keras pada abdomen iri bawah. Ketika BAB klien meminta untuk di KM dengan bantuan keluarganya dan tidak mau BAB ditempat tidur.

Ya

Tidak √ √ √ √ √ √ √ √ √

: : : : : : : : : : : : Klien terpasang cateter dengan jumlah urin yang keluar saat ini 100 ml, urin berwarna kuning jernih, tidak ada pembesaran kandung kemih, tidak ada nyeri tekan.

Reproduksi (laki-laki) Lesi Disharge Testiculer pain Testiculer massa Perubahan gairah sex Impotensi Reproduksi (perempuan) Lesi Discharge Postcoital bleeding Nyeri pelvis

: : : : : :

: : : :

Ya -

Tidak -

Tidak terkaji Tidak terkaji Tidak terkaji Tidak terkaji

Prolap Aktifitas seksual Pap smear Riwayat menstruasi KETERANGAN

15 .

Muskuloskeletal Nyeri Sendi Bengkak Kaku sendi Deformitas Spasme Kram Kelemahan otot Masalah gaya berjalan Nyeri punggung Pola latihan Dampak ADL KETERANGAN

: : : : Tidak terkaji : -

Ya

Tidak terkaji Tidak terkaji Tidak terkaji

Tidak √ √

: : : √ : √ : √ : √ : √ : : : : Klien bedrest di tempat tidur dan ADL dibantu seluruhnya. : Klien mengalami kaku sendi pada tubuh bagian kanan.

16 .

Persyarafan Headache Seizures Syncope Tic/tremor Paralysis Paresis Masalah memori KETERANGAN

Ya Tidak : √ : √ : √ : √ : √ : √ : √ : Klien mengalami kelemahan setengah tubuh bagian kanan dari tangan sampai kaki. Klien juga pernah tidak mengenal siapa dirinya.

5.

POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL : Psikososial YA Tidak Cemas : √ Depresi : √ Ketakutan : √ Insomnia : √ Kesulitan dalam mengambil : √ keputusan Kesulitan konsentrasi : √ Mekanisme koping : Tidak terkaji Persepsi tentang kematian : Tidak terkaji Dampak pada ADL : ADL klien dibantu seluruhnya

Spiritual

 

Aktivitas ibadah : Klien melakukan shalat dengan berbaring ditempat tidur dan dibantu oleh keluarganya. Hambatan : Klien bertayamum di tempat tidur dengan bantuan keluarganya.

KETERANGAN : -

6.

LINGKUNGAN : 

Kamar : Klien berbaring di tempat tidur di ruang tengah dan barang-barang yang diperlukan klien diletakkan dekat dengan klien. Kasur klien cukup luas dan bagian atas tubuh klien dialasi dengan balon air dan bagian tubuh bawah di alasi dengan underped.



Kamar mandi : Kamar mandi berada di belakang dekat dengan dapur, didalam kamar mandi tidak ada pegangannya. Untuk ke kamar mandi klien dibantu oleh keluarganya.



Dalam rumah : Terdapat beberapa meja dan kursi di dekat tempat tidur klien karena klien berada di ruang tengah. Suhu ruangan sedikit panas, ventilasi dan pencahayaan kurang.



Luar rumah : Diluar depan rumah terdapat jalan kecil dimana di depan rumah banyak pedagang kaki lima, pemukiman padat penduduk, halaman depan rumah cukup luas dan rindang.

7.

ADDITIONAL RISK FACTOR Riwayat perilaku (kebiasaan, pekerjaan, aktivitas) yang mempengaruhi kondisi saat ini : Klien dulunya adalah seorang penyanyi. Klien memiliki riwayat penyakit Hipertensi, Stroke, Anemia, DM.

8. NEGATIVE FUNCTIONAL CONSEQUENCES 1. Kemampuan ADL

: ketergantungan total

2. Aspek Kognitif

: tidak terkaji

3. Tes Keseimbangan

: tidak terkaji

4. GDS

: tidak terkaji

5. Status Nutrisi

: tidak terkaji

6. Fungsi social lansia

: tidak terkaji

7. Hasil pemeriksaan Diagnostik No

3.2

Jenis pemeriksaan Diagnostik

:

Tanggal Pemeriksaan

Hasil

Analisa Data dan Diagnosa

3.2.1 Analisa Data Tanggal 26/02/2019

Data

DS : 1. Keluarga mengatakan klien memerlukan bantuan total dalam memenuhi kebutuhannya 2. Keluarga mengatakan klien kesulitan menggerakkan anggota tubuh bagian kanan

Diagnosa Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik

DO : 1. Klien bedrest dan pergerakan terbatas 2. Hasil pengkajian GDS menunjukkan ketergantungan total

26/02/2019

DS : Keluarga klien mengatakan bahwa klien susah untuk BAB, hari ini sudah BAB namun konsistensi keras dan BAB sebelumnya 3 hari yang lalu

Konstipasi

DO : Teraba keras pada abdomen kiri bawah 26/02/2019

DS : -

26/02/2019

DO : Terdapat luka di bagian pantat sebelah kanan, luka berwarna merah, tidak ada lesi DS : DO : Klien sulit berbicara, hanya mampu 1 kata

3.2.2 Diagnosis Keperawatan 1. Gangguan Mobilitas Fisik 2. Konstipasi 3. Gangguan Integritas Kulit

Gangguan Integritas Kulit

Gangguan Komunikasi Verbal

4. Gangguan Komunikasi Verbal

3.3

Rencana Asuhan Keperawatan

Nama Klien Wisma/ Ruang Diagnosa No Keperawatan 1 Gangguan Mobilitas Fisik

2

Konstipasi

3

Gangguan Integritas Kulit

: Ny. M : Klien Homecare Tujuan dan Kriteria Hasil / NOC NOC : 1. Joint Movement : Active, Passive 2. Mobility Level 3. Transfer performance Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam klien dapat mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal, dengan kriteria hasil : 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 3. Dapat mempertahankan anggota tubuh yang fungsional NOC : 1. Bowel elimination 2. Hydration

Intervensi /NIC 1. Diskusikan dengan keluarga mengenai keterbatasan dalam mobilitas 2. Ajarkan keluarga untuk melakukan ROM aktif dan pasif pada klien 3. Ajarkan keluarga untuk melakukan mobilisasi klien (ubah posisi klien) setiap dua jam sekali 4. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari

1. Diskusian dengan keluarga tanda dan gejala konstipasi 2. Diskusian dengan keluarga penyebab konstipasi Tujuan : 3. Anjurkan klien untuk menambah Setelah dilakukan tindakan asupan nutrisi tinggi serat keperawatan 2x24 jam klien 4. Kolaborasi dengan ahli gizi tidak mengalami konstipasi, dengan kriteria hasil : 1. Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari 2. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi 3. Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam keutuhan jaringan klien dapat

1. Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang longgar 2. Hindari kerutan padaa tempat tidur 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

dipertahankan, dengan kriteria hasil : 1. Integritas kulit yang baik dapat dipertahankan 2. Tidak ada tanda-tanda keparahan 3. Lesi berkurang

4

Gangguan Komunikasi Verbal

NOC : 1. Sensory function : hearing & vision 2. Fear self control Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam klien dapat berkomunikasi secara optimal, dengan kriteria hasil : 1. Komuniasi non verbal meningkat 2. Komunikasi ekspresif 3. Mampu mengkoordinasi gerakan dalam menggunakan isyarat

4. Mobilisasi klien (ubah posisi klien) setiap dua jam sekali 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi klien 8. Monitor status nutrisi klien 9. Memandikan klien dengan sabun dan air hangat 1. Gunakan penerjemah bila perlu 2. Beri satu kalimat simpel saat berkomunikasi 3. Dorong klien untuk berkomunikasi secara perlahan dan untuk mengulangi permintaan 4. Gunakan kartu baca, kertas, pensil, bahasa tubuh, gambar untu memfasilitasi komunikasi dua arah yang optimal

3.4 Implementasi Nama Klien : Ny.M Tgl/ Jam

Dx Keperawatan 26 Februari Gangguan 2019/ 09.00 Mobilitas fisik

Konstipasi

Implementasi 1. Mendiskusikan dengan keluarga mengenai keterbatasan mobilisasi 2. Menganjurkan keluarga untuk melakukan ROM aktif dan pasif pada pasien 3. Menganjurkan keluarga untuk miring kanan dan miring kiri setiap 2 jam 4. Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari

Evaluasi

S : keluarga mengatakan klien memerlukan bantuan total dalam pemenuhan kebutuhannya dan kesulitan menggerakan anggota tubuh. O : pasien bedrest, pergerakan terbatas dan pengkajian GDS menunjukkan ketergantungan total. A : Gangguan mobilitas fisik P : Intervensi dihentikan I : mendiskusikan tentang keterbatasan mobilisasi pasien, menganjurkan dan melatih ROM aktif dan pasif, menganjurkan miring kanan dan kiri tiap 2 jam, dan menganjurkan keluarga untuk membantu pemenuhan ADL pasien E : Klien telah dilakukan ROM dan keluarga mampu melakukan ROM dan keluarga mengatakan mengerti mengenai perawatan klien. 1. Menganjurkan untuk minum S : keluarga mengatakan bahwa klien susah BAB. Sejak jus 3 hari yang lalu pasien tidak BAB dan hari sudah 2. Edukasi gizi tentang BAB namun konsistensi keras. makanan untuk konstipasi O : Teraba keras di abdomen bawah 3. Menganjurkan miring kanan A : Konstipasi dan miring kiri setiap 2 jam P : Intervensi dihentikan I : Menganjurkan untuk minum jus, mengedukasi makanan untuk konstipasi dan menganjurkan miring kanan dan miring kiri E : keluarga mengatakan mengerti tentang makanan yang cocok untuk konstipas dan keluarga dapat

Paraf

Gangguan integritas kulit

1. Menganjurkan miring kanan dan miring kiri setiap 2 jam 2. Melakukan perawatan luka 3. Menganjurkan keluarga untuk menjaga kebersihan kulit pasien 4. Menganjurkan makanan yang bergizi

Gangguan komunikasi verbal

1. Mendorong klien untuk berkomunikasi secara perlahan dan mengulangi permintaan 2. Menganjurkan menggunakan alat bantu seperti kertas atau gambar untuk mempermudah komunikasi

mengulangi dapat melakukan miring kanan dan mirik kiri. S : tidak ada O : terdapat luka di pantat sebelah kanan. A : gangguan integritas kulit P : Intervensi dihentikan I : menganjurkan miring kanan dan miring kiri tiap 2 jam, melakukan perawatan luka, menganjurkan keluarga untuk menjaga kebersihan kulit dan makan makanan bergizi. E : telah dilakukan perawatan luka dan lesi berkurang setelah perawatan. S : tidak ada O : Berbicara hanya 1 kata A : Gangguan komunikasi verbal P : Intervensi dihentikan I : Mendorong klien untuk berkomunikasi perlahan dan menganjurkan menggunakan alat bantuk kertas dan gunting. E : Keluarga mengerti dan mau membantu klien untuk berlatih berkomunikasi.

BAB 4 PENUTUP 4.1

Kesimpulan Ny. M berusia 59 tahun homecare di poli geriatri RSUD DR Soetomo. Klien

mengalamai kelemahan setengah tubuh bagian kanan sejak MRS (20 Februari 2019), bicara sulit hanya mampu 1 kata, demam kadang-kadang, batuk kadang-kadang, terdapat luka di bagian pantat sebelah kanan. Keluarga klien mengatakan bahwa klien tidak bisa BAB selama 3 hari dengan konsistensi keras. Masalah keperawatan yang muncul adalah gangguan mobilitas fisik, konstipasi, gangguan integritas kulit, dan gangguan komunikasi verbal. Intervensi yang diberikan yaitu memberi edukasi untuk melakukan gerakan range of motion, menganjurkan miring kanan dan miring kiri setiap 2 jam, dan mendorong klien untuk berkomunikasi secara perlahan dan mengulangi permintaan. 4.2 1.

Saran Mahasiswa Dalam menyusun asuhan keperawatan pada lansia perlu memperhatikan semua aspek

yang meliputi bio-psiko-sosio-spiritual. Diharapkan mahasiswa lebih memperdalam pengetahuan mengenai masalah-masalah yang mungkin terjadi dengan diagnosa medis tertentu, 2.

Petugas Kesehatan Dalam menyusun rencana tindakan keperawatan perlu dilakukan penyesuaian dengan

situasi dan kondisi klien maupun prosedur rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA Ario Tejo, Bima. 2009. Immobilisasi Lama. Jakarta: EGC Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Barbara Kozier et al. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC Craven,R.F, Hirnle,C.J. (2000). Fundamental of Nursing: Concepts, Process, and Practice. Fifth edition. California Addison, Wesley Publishing Co. Darliana, Devi, dkk. 2014. Kebutuhan Aktivitas dan Mobilisasi. Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Govinda A dan Setiati S. 2009. Imobilisasi pada Usia Lanjut. Jakarta: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PIP). Gunawan S, Nardho, Dr, MPH, 1995, Upaya Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta: Dep Kes R.I. Leahy, J.M & Kizilay, PE (1998). Fundamental of Nursing Practic: a nursing approach. USA. WB Saunders Company. Mubarak, Wahit Iqbal dkk. 2007. Buku Ajar kebutuhan Dasar Manusia : Teori & Aplikasi dalam Praktek. Jakarta : EGC. Pringgoutumo, dkk. 2002. Buku Ajar Patologi 1 (umum), Edisi 1. Jakarta. Sagung Seto. Setiati S dan Roosheroe, A G. 2006. Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam :Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 1388-90. Sutisna Hilawan (1992), Patologi. Jakarta, Bagian Patologi Anatomi FKUI. Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan edisi 2. Jakarta : Salemba Medika Yudha, E K (2008). Buku Saku Dokumentasi Keperawatan. Ed. 3. Jakarta:EGC

Related Documents

Rumusan
June 2020 27
Makalah Seminar
July 2020 15
Rumusan
April 2020 28
Rumusan
October 2019 31

More Documents from ""