Bersikap Lebih Berbudaya Terhadap Negeri Tetangga Beberapa hari terakhir ini, saya mendapatkan pertanyaan dari berbagai pihak tentang sikap yang harus dibangun terhadap negeri tetangga, Malaysia. Pertanyaan itu terkait dengan sikap Malaysia yang dianggap menggoda dan bahkan juga merampas kekayaan bangsa kita. Salah satu pertanyaan lagi yang lebih kongkrit, ialah apakah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang akan menolak jika terdapat mahasiswa yang berasal dari Malaysia. Memang beberapa waktu terakhir, negeri tetangga itu membikin kesal. Beberapa kasus yang membikin kesal itu, misalnya berita tentang penganiayaan terhadap TKI Indonesia di sana, pengusiran, kasus pulau Sipadan, Ambalat, Ligitan, hingga beberapa penyerobotan kekayaan budaya, seperti seni reog, nyanyian rasa sayange, hingga tarian Pendet Bali yang menjadi kebanggaan, diklaim sebagai milik negeri itu, menjadikan warga bangsa ini kesal. Lebih mengesalkan lagi, tatkala membicarakan tentang teroris yang bergentayangan di Indonesia, para gembongnya adalah orang Malaysia, seperti Dr.Azhari, Nordin M. Top dan lain-lain. Para tokoh teroris tidak saja meledakkan bom di mana-mana, dan merusak citra bangsa di mata dunia, tetapi juga mencuci otak dan kemudian mempengaruhi pemuda Indonesia menjadi pengikutnya. Terlepas dari itu semua, kita rasanya juga perlu membuat pertanyaan balik, apakah orang Malaysia dengan kedatangan tenaga kerja dari Indonesia setiap tahun yang sekian banyak jumlahnya tidak merasa terganggu. Sebab, kadang tenaga kerja itu, menurut berita tidak dilengkapi dengan surat-surat resmi, sehingga mereka mungkin juga kesal. Sehingga, mungkin sama-sama kesallah. Apalagi mungkin juga tahu, bahwa tidak sedikit orang Malaysia, ternyata nenek moyangnya, --------yaitu para embah, eyang, atau kakeknya ternyata berasal dari Indonesia. Mereka semakin menyadari bahwa, orang-orang Indonesia yang dulu sebagai perantau ke sana, sekarang sudah lebih sukses, hingga menjadi kaya. Bisa jadi hal ini, mengundang rasa cemburu, hingga melampiaskan dengan bentuk merendahkan itu. Selain itu, terkait dengan anggapan menyerobot budaya bangsa sebagaimana disebutkan di muka, hanya mereka rindu dengan sejarah budayanya sendiri. Karena mereka berasal dari Ponorogo, maka kesenian nenek moyangnya ditampilkan di sana. Sebagai orang asli Ponorogo, tentu menyukai reog. Mungkin mereka lupa bahwa sekarang sudah berganti kewarga-negaraannya. Begitu juga yang berasal dari Ambon, lalu teringat dan kemudian menyanyikan lagi lagu kesayangannya dulu, yaitu rasa sayange itu. Tentang Pulau Ambalat, Sipadan, dan juga Ligitan, mungkin karena melihat bahwa sumber-daya alam itu sedemikian potensial, dan belum dieksploitasi, maka mereka merasa sayang, jika tidak dimanfaatkan. Apalagi selama itu, pulau itu dianggap tidak jelas masuk kepemilikan siapa. Atau pura-pura merasa tidak jelas. Tentu, di mana-mana sesuatu yang tidak begitu jelas, -------apalagi menguntungkan, maka kenapa tidak
diperebutkan saja. Hal yang samar-samar, misalnya bulan yang berada di temat samarsamar, juga melahirkan sengketa, kapan mulai puasa dan hari raya. Maka, apalagi soal pulau yang jelas-jelas menjadi sumber kekayaan melimpah itu. Hal-hal yang awalnya sesungguhnya sederhana itulah, kemudian disengaja atau tidak, mereka melakukan hal yang menyinggung kesadaran dan bahkan juga harga diri bangsa Indonesia. Dikatakan disengaja atau tidak, karena ternyata yang dirampas itu memang di beberapa wilayah yang berposisi samar-samar, setidak-tidaknya pantas diperdebatkan. Sebab, ternyata perampasan pulau atau wilayah tersebut tidak dilakukan terhadap pulau yang posisinya jelas. Malaysia tidak mengambil, misalnya pulau Papua, sebagian Kalimantan atau lainnya, sekalipun lebih luas dari Ligitan atau Ambalat. Menghadapi persoalan itu, saya berpikir sederhana saja. Jika Malaysia memang nakal, menggoda-goda, dengan berbagai caranya, maka apa pantas kita lalu bereaksi dengan cara yang tidak kita anggap fair dan mulia. Jika kita membenci perilaku yang kita anggap kurang terhormat, maka apa selayaknya kita melakukan hal yang sama dengan cara yang tidak terhormat pula. Hal itu rasanya lebih elegan jika persoalan itu kita respon dengan cara yang lebih terhormat, rasional, hingga menggambarkan bahwa kita memang benarbenar berbudaya lebih tinggi atau unggul. Secara lebih kongkrit misalnya, ketika kita tahu bahwa sebenarnya para gembong teroris yang sangat membahayakan itu adalah jelas orang Malaysia, lalu apakah kita kemudian juga segera membalas dengan mengirim jago-jago teroris dari Indonesia. Tentu tidak demikian. Selain tidak pantas dilakukan, bangsa ini sesungguhnya juga tidak memilikinya. Cukup para teroris dari Malaysia itu dikejar, dan dihukum seberat-beratnya. Bangsa Indonesia tidak perlu membalas keburukan itu. Oleh karena itu, tatkala ditanya apakah saya membolehkan anak Malaysia belajar ke UIN Maulana Malik Ibrahim, maka saya segera menjawab bahwa, saya selaku pimpinan perguruan tinggi tidak akan mungkin menolak calon mahasiswa dari negeri manapun, termasuk dari tetangga dekat itu. Sebab, jika kita tolak, kita tahu, -------dalam dunia yang terbuka seperti ini, mereka masih memiliki pilihan yang cukup banyak. Kiranya jika kita tolak juga tidak akan membuat mereka kebingungan mencari sumber ilmu dari tempat yang lain. Selain itu, kita tidak boleh melarang kepada siapapun, tidak terkecuali Malaysia, berguru pada kita. Ilmu pengetahuan harus terbuka untuk siapa saja. Bangsa ini harus menjadi rahmatan lil alamien. Lebih dari itu, hubungan antar tetangga, yang sudah sekian lama dibangun, kiranya tidak boleh rusak oleh hal-hal yang sesungguhnya masih bisa diselesaikan dengan berbagai cara, seperti misalnya dengan deplomasi, hukum dan lain-lain serupa itu. Bangsa ini harus menunjukkan kebesarannya, keunggulan, dan kemuliaannya, terutama dari aspek etika, moral, dan akhlak bangsa. Siapapun yang menganggu, harus diselesaikan melalui cara-cara yang lebih terhormat dan rasional. Kita tidak perlu meniru siapapun tatkala mereka melakukan langkah-langkah yang tidak terpuji, sebagaimana yang dilakukan oleh
orang lain. Bangsa Indonesia harus menjaga dan mempertahankan citra kepada dunia sebagai bangsa yang unggul, beradab, dan terhormat. Wallahu a’lam.