Berbiduk Ke Pulau Toleransi.docx

  • Uploaded by: Bram Strada
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Berbiduk Ke Pulau Toleransi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,401
  • Pages: 5
Berbiduk ke Pulau Toleransi Oleh : A. Arramiz

Pagi ini aku terbangun dari ranjang dengan perasaan yang lebih tenang dari biasanya, karena aku tahu kalender hari ini menunjukan tanggal merah dan aku mendapatkan libur yang cukup panjang. Jauh sebelum hari ini datang aku sudah menyusun rencana untuk berlibur disebuah pulau yang terkenal akan kehidupan bawah airnya. Satu hal yang aku tahu, pulau tersebut saat ini menjadi banyak sorotan penyelam penyelam asing yang tertarik akan kehidupan yang ada dibawah airnya. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakan liburanku untuk diam dirumah menonton omong kosong dilayar kaca dan langsung menyelami apa yang menjadi cerita dibawah sana. Dengan perbekalan yang sudah aku siapkan semalam, aku berangkat menuju pelabuhan menggunakan kendaraan umum yang langsung mengantar aku kepelabuhan. Aku cukup terkejut, kendaraan yang ku tumpangi ternyata juga disesaki orang orang yang akan menuju pulau yang sama dengan ku. Banyak dari mereka yang hanya duduk diam tidak mengeluarkan kata sedikitpun. Aku duduk berdampingan dengan seseorang yang pernah menyelam dipulau tujuanku. Dia menceritakan bahwa ikan ikan dan terumbu karang serta partikel partikel kehidupan yang ada disana sedang mengalami kisruh dan kekacauan. dia juga bercerita tentang penginapan penginapan yang ada dipulau itu. Belum selesai dia bercerita, bis kami sudah sampai pelabuhan. Aku mencari cari dia namun dia menghilang diantara turis turis lain yang turun berdesakan. Begitu sampai dipelabuhan, aku langsung menuju kapal pengangkut para turis yang sudah hampir penuh agar aku tidak lama menunggu. Kapal yang ku tumpangi bernama Suara Ikan. Kapal ini didominasi oleh warna putih, namun ada beragam corak yang menemaninya. Kapal ini dinahkodai oleh seorang kapten yang tidak banyak bersuara, hanya diam dan melakukan tugasnya untuk mengantar para turis sampai ketujuannya. Sepanjang perjalanan aku hanya menatap kekosongan laut, tidak ada kapal lain yang berlayar. Semua penumpang dikapal ini juga diam tak bersuara, yang kudengar hanyalah suara mesin kepal yang berteriak teriak seperti kekurangan pelumas. Sementara kapten kapalku hanya diam dan memutar kendali kapal kami menuju pulau yang sudah mulai terlihat. Sesampainya aku dipulau tujuanku, aku langsung berburu tempat penginapan yang sesuai dengan kantongku. Tak kusangka, begitu banyak penginapan dipulau ini, harganyapun tidak berbeda jauh antara satu dengan yang lainnya. Fasilitas yang mereka tawarkan juga sangat lengkap. Aku teringat akan pria yang duduk denganku di bis tadi pagi, dia mengatakan memang banyak penginapan yang berfasilitas lengkap. Namun, penginapan itu dibangun diatas kuburan para turis terdahulu. Memang benar apa yang dia ucapkan, saat aku mencoba memasuki salah satu penginapan, aku melihat banyak tengkorak dan tulang yang ditimbun sebagai rangka dari kasurnya, dindingnya dilapisi kulit kulit keriput, merinding aku dibuatnya. Aku keluar dan mencari penginapan lain yang tidak begitu menyeramkan. Namun setelah aku berjalan beberapa meter kearah pantai, aku menemukan sebuah penginapan yang sangat berbeda, temboknya berwarna putih polos, tidak bercorak kerbau, bintang, elang, dan bentuk aneh lainnya seperti yang ada pada tembok penginapan lain. Letaknya juga ada didekat bibir pantai,

yang memangkas jarak untuk aku menyelam. Tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk menginap ditempat ini, harganya memang lebih mahal dari penginapan lain, setidaknya aku tidak tidur dan buang kotoran diatas kuburan orang yang bahkan tidak aku kenal. Hanya ada seorang kakek tua yang menjaga tempat ini, ujarnya hanya tinggal dia seorang yang merupakan penduduk asli pulau ini, yang lainnya hanyalah pegawai yang dikirim dari kota dan berkembang biak diatas kuburan saudara saudaranya yang sudah lebih dahulu mati. Sambil bercerita tentang pulau ini dan kehidupan dibawah airnya, aku disajikan sebuah minuman kelapa muda. Rasanya sungguh segar membasahi tenggorokanku. “sudah lama tidak ada kelapa segar yang jatuh dari pohon dihalaman belakang semenjak pemuda terakhir mati ditabrak kapal besar ketika dia pulang menuju kampung halamannya” ungkapnya sambil bangkit berdiri berjalan keluar tempatku menginap. Belum sempat aku bertanya tentang kalimat yang diujarkannya kakek itu sudah pergi meninggalkanku sendiri dengan sebuah kelapa dipelataran penginapan. Aku hanya diam dan menghabiskan air kelapa yang disajikan olehnya untuk menghilangkan rasa lelah yang sedari tadi ku gendong menuju kemari. Segera kurapihkan bawang barang bawaanku kedalam kamar. Saat aku membuka lemari tua yang ada dipojok, aku tertegun. Selain decit pintunya yang mengiris telingaku, ada sebuah sarung yang tidak asing bagiku. Sarung iu berwarna putih polos dengan motif garis garis hitam yang melingkar. Kain sarung itu masih terlipat rapih dan masih bisa kuendus wanginya. Mengingat tentang pulau ini masih begitu asing bagiku, aku memutuskan untuk tidak menyentuh sarung itu dan kubiarkan ia pada tempatnya dan kutaruh pakaianku ditempat kosong yang ada dibagian bawahnya. Tidak berlama lama, aku menyiapkan peralatan menyelamku dan lekas membawanya kepinggir pantai. aku sedikit bingung begitu tiba dibibir pantai, hanya ada aku seorang yang bersiap untuk menyelami kehidupan yang ada dibawah air. Sudahlah, aku sudah terbiasa dengan kesendirianku dan menghiraukan apapun yang bukan menjadi masalah bagiku. Setelah lengkap, aku mulai berjalan menyusuri ombak ombak kecil yang menampar badanku. Aku mulai berenang melawan ombak menuju ketempat yang lebih jauh dan menyelam kebawah air. Aku melihat pengukur kedalaman yang kukenakan dipergelanganku menunjukan aku berada pada kedalaman 5 meter. Namun aku tidak melihat apapun selain air dan kekosongan. Namun aku seperti mendengar sesuatu yang berisik ditelingaku. Aku memutuskan untuk kembali kepermukaan dan memeriksa apa yang mengganggu ditelingaku. Namun sesampainya aku dipermukaan telingaku normal normal saja, tidak ada air yang masuk kedalam telingaku. Rasa penasaran membawaku kembali menyelam pada kedalaman yang lebih dalam sampai perngukur kedalaman menunjukan aku ada pada kedalaman 9 meter dibawah permukaan laut. Aku mulai melihat banyak ikan yang berenang kesana kemari. Bukan hanya ikan, banyak mahkluk lain seperti penyu dan ubur ubur. Jumlah mereka sangat banyak, mereka berenang memutari terumbu karang. Aku melihat ada sebuah terumbu karang besar yang menjadi poros makhluk makhluk itu berputar. Aku menyadari suara berisik yang menggangkuku tadi berasal dari kerumunan ikan ikan ini. Aku penasaran apa yang membuat ikan ikan ini begitu gaduh dan berisik.

Aku mendekati kerumunan itu perlahan lahan dan berenang memutari terumbu karang yang menjadi pusat ikan ikan itu berenang. Ikan ikan ini berenang memutari terumbu karang itu dengan tak tentu arah, banyak yang berenang mengikuti arah jarum jam dan juga sebaliknya. Banyak dari ikan ikan itu yang saling bertabrakan satu sama lain. Aku juga menyaksikan ikan ikan besar yang angkuh menabrak ikan ikan kecil didepannya. Aku juga melihat ikan yang saling memangsa sesama jenisnya. Ikan ini bersisik putih polos dengan sirip yang berkibar kibar mirip ikan cupang yang aku pelihara dirumah namun dengan ukuran badan yang jauh lebih besar. Ikan ini saling serang satu sama lain, aku bisa mendengar ikan ikan ini bersuara begitu berisik, saling berteriak dan berenang dengan cepat mengitari terumbu karang besar sambil berkelahi dengan ikan ikan lainnya. Selain itu aku juga melihat segerombolan ikan yang berenang dengan arah yang yang sama. Ikan ikan ini bersisik hitam dengan motif merah persegi dengan sedikit warna putih disiripnya yang berduri tajam. Ikan ini juga mempunyai wajah yang mirip dengan kerbau, maka itu aku mengenalinya dengan ikan kerbau. Berbeda dengan ikan ikan yang tadi, ikan ikan ini berenang dengan arah yang sama dan dengan tempo yang beraturan. Meski ukuran mereka berbeda-beda, mereka tetap berenang mengitari terumbu karang dengan seirama. Namun sirip mereka yang tajam kadang melukai ikan ikan putih tadi yang berenang berlawanan arah yang menyebabkan ikan putih itu semakin tak terkendali berenangnya. Lucunya, aku juga melihat sedikit dari ikan putih yang berkamuflase pada gerombolan ikan yang berenang searah ini. Ikan ini berenang ditengah ditengah kerumunan ikan kerbau dan mengeluarkan suara yang sama dengan mereka. Suara ikan ikan ini lebih berisik dari ikan ikan tadi. Aku semakin bingung apa yang membuat ikan ikan ini begitu gaduh dan rusuh. Ditambah lagi aku juga menyaksikan beberapa ubur ubur yang menangkap sebagian dari kerumunan ikan ikan ini, baik yang putih mapun yang berwajah seperti kerbau. Ubur ubur ini memiliki beragam warna, ada yang berwarna abu abu dengan motif hitam dan berbadan gendut. Ada juga yang berwarna biru muda dan hijau kehitaman dengan motif loreng loreng namun memiliki badan yang lebih kurus. Ubur ubur ini memiliki 5 tentakel yang berwarna hitam legam. Dua dari 5 tentakelnya tidak menggenggam apapun sementara sisanya menggengggam pecahan karang, dan sepasang jaring yang digunakan untuk menangkap ikan. Ubur ubur ini berenang dengan perlahan diantara kegaduhan ikan ikan yang saling bertengkar. Aku melihat mereka menjaring dan menangkap ikan ikan yang saling berkelahi dan menusuk satu sama lain tak peduli apapun jenisnya. Kemudian ikan ikan itu disetrum dan lempar kedalam palung laut yang ada dibalik terumbu karang besar yang menjadi poros mereka berenang. Herannya aku menyaksikan beberapa dari ikan yang mereka jaring memberikan beberapa lembar rumput laut kepada ubur ubur yang menjaring mereka, rumput laut itu membuat ubur ubur lupa diri dan melepaskan ikan ikan tersebut kembali kepada kerusuhan yang sebelumnya mereka lakukan. Sedangkan rumput laut yang ubur ubur itu makan, membuat tubuh dari ubur ubur itu semakin bengkak dan berenang dengan lambat. Semakin dalam aku berenang semakin jelas kisruh yang terjadi pada terumbu karang itu. Ada sebuah lubang besar pada salah satu sisi terumbu karang yang muat untuk aku melihat kedalamnnya. Aku melihat beberapa ubur ubur keluar masuk terumbu karang mebawa beragam jenis ikan. Didalamnya ada seekor penyu hijau besar yang duduk pada tempat tertinggi diterumbu karang itu.ukurannya sangat

besar dibandingkan dengan semua makhluk yang ada didalam terumbu karang itu. Penyu itu ditemani beberapa penyu hijau dengan ukuran yang lebih kecil. Dihadapannyaa ada seekor ikan yang mirip kerbau tadi, hanya saja ukurannya lebih besar dengan corak batik berwarna biru yang tampak samar. Ikan ini hanya diam dihadapan penyu hijau besar dan penyu penyu lainnya. Dibelakang ikan ini ada ikan ikan kerbau lain yang lebih kecil ukurannya, mereka juga duduk diam saling berbisik satu sama lain dengan nanar mata yang berharap kepada para penyu. Disisi lainnya juga ada ikan ikan putih tadi dengan ukuran yang beragam, hanya saja mereka terduduk diam dengan tenang dihadapan para penyu. Didalam terumbu karang itu juga ada banyak ubur ubur yang mengawasi gerak gerik dari setiap makhluk yang ada. Tentakel tentakel mereka siap menjaring dan melempar ikan ikan yang melawan kedalam palung laut dibalik terumbu karang. Aku mendengar penyu hijau besar itu berbicara tentang seekor ikan kerbau besar yang ada dihadapannya. Wajah penyu itu tidak menunjukan ekspresi sedikitpun, begitu pula dengan ubur ubur yang membuat terumbu karang itu semakin dingin. Aku mendengar penyu penyu kecil mengungkapkan apa yang telah dilakukan ikan kerbau besar yang duduk sendiri dihadapan para penyu. Penyu penyu kecil itu mengatakan bahwa ikan kerbau besar itu dengan sengaja menggoreskan siripnya yang tajam pada mutiara yang selama ini dijaga oleh ikan ikan putih. Kemudian aku mendengar aku melihat penyu hijau besar menghempas hempaskan siripnya keatas batu yang ada disampingnya dan memerintahkan para ubur ubur untuk membawa si ikan kerbau besar kedalam palung laut dibalik terumbu karang. Mendengar ungkapan sang penyu, ikan ikan putih yang sedari tadi berenang tak tahu arah, mulai berenang kembali memutari terumbu karang dengan tenang dan dengan arah yang beraturan. Sebaliknya, ikan ikan kerbau yang sedari tadi tenang kini mulai gelisah dan banyak dari wajah mereka yang menunjukan kesedihan. Namun arah renang mereka masih beraturan dan tidak salinng bertabrakan. Hanya saja sekarang mereka mulai mengeluarkan suara suara yang memiliki nada minor tinggi yang menyayat telingaku. Aku melihat ubur ubur itu melemparkan ikan kerbau besar kedalam palung laut dibalik terumbu karang. Ikan kerbau besar itu hanya terdiam dan melambaikan siripnya yang tajam kearah ikan ikan yang setia mendukungnya. Ikan ikan itu berkerumun didepan terumbu karang, saling berteriak teriak, menyoraki sirip penyu hijau besar yang mulai berenang meninggalkan terumbu karang. Begitu pula dengan aku yang mulai berenang kepermukaan. aku berenang menjauh sambil menyaksikan kegaduhan kegaduhan para ikan mulai berkurang. Mereka kembali mulai berenang dengan arah yang sama memutari terumbu karang itu. Mereka saling berdampingan, meski terkadang tajamnya sirip ikan ikan kerbau membuat luka ikan ikan putih, namun aku melihat mereka tidak lagi saling menabrakan diri. Ubur ubur tetap gendut menelan lebaran rumput laut. Penyu kembali berenang diatas terumbu karang meneduhkan ketegangan diatara para ikan. Dan mutiara kembali dijaga dengan sangat hati hati antara para ikan baik dengan jenis apapun. Begitu sampai dipermukaan, aku langung menuju kebibir pantai. Aku berjalan dengan membawa alat alat selamku menuju kepenginapanku. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak asap hitam yang mengepul dari penginapan penginapan yang berdiri diatas kuburan. Begitu kacau suasana saat semakin dekat aku dengan penginapanku. Aku gugup dengan apa yang terjadi saat itu. Aku berlari menuju pintu penginapanku dan mendapati banyak sekalii turis yang membawa obor, pedang, tombak dan spanduk

yang bertuliskan minta keadilan berdiri didepan pintu penginapanku. Aku bingung dengan apa yang telah aku perbuat selain menyelam menyaksikan kehidupan dibawah air dan meminum kelapa yang disajikan tadi. Aku mencari cari kakek tadi dan tidak menemukan apapun selain kerumunan yang semakin marah dan mengobrak abrik tempat penginapanku. Sayangnya salah satu dari mereka melihat keberadaan diriku kemudian mengejarku dengan seluruh amarah mereka. Aku berlari keanjungan tempat perahu tadi berlabuh berharap ada perahu yang akan segera berangkat ke kota. Namun yang aku temukan hanyalah kapal yang sudah hangus terbakar. Aku loncat keair dan berenang sekuat kemampuanku untuk menjauhi para turis yang marah dan mengejarku. Kakiku mulai pegal begitu sampai ditengah laut. Aku bingung harus berenang kearah mana dan bagaimana aku bisa selamat. Saat keputus asaan mulai hinggap dipikiranku dan menyiapkan diriku untuk bertemu pada kematian. Kepalaku terbentur pada ujung sampan, diatasnya ada kakek penjaga penginapan dan mengenakan sarung putih yang ada dilemari tadi pagi. Aku diangkat keatas sampan dan mengistirahatkan kakiku yang sangat pegal. Aku bertanya kepadanya mengapa kekisruhan terjadi saat aku kembali dari menyelam. Kakek itu mengatakan bahwa para turis itu sendiri yang telah membakar semua penginapan yang berdiri diatas kuburan dan menghentikan semua sorak sorai pesta yang sedang turis turis itu lalukan. Semua itu terjadi karena mereka hanyalah perusak alam dan tidak memiliki nilai toleransi sehingga keegoisan yang terjadi dipulau itu membuat mereka harus saling membunuh demi menguasai kesenangan untuk dirinya sendiri. Selain itu toleransi yang selama ini menjadi dasar dari pariwisata pulau itu kini sudah lama menghilang hingga semua penduduk pergi membangun kehidupannya sendiri dipulau lain dan saling meninggalkan pulau itu. Hanya tinggal dia seorang yang menghuni pulau tanpa toleransi itudan menyaksikan semua yang dibangun musnah dan membangunnya kembali. Sampan yang aku dan kakek itu tumpangi menabrak sebuah karangyang ada dipinggir pelabuhan. aku tercebur kedalam air yang tidak terlalu dalam dan langsung berenang kepermukaan. Lalu, yang aku temui hanyalah puing puing sampan dan ranselku yang secara ajaib sudah ada dipinggir anjungan pelabuhan. Aku membuka ranselku, didalamnya ada sehelai kain sarung yang tadi dikenakan oleh kakek misterius tersebut. Dibalik rajutannya ada sebuah pesan bertuliskan ”Toleransi adalah sebenar benarnya demokrasi”. Aku tertegun dan pulang kerumah menyaksikan televisiku yang masih menyala dan menampilkan kematian toleransi dalam tubuh demokrasi. --SELESAI-Abuniza Arramiz 11140260000059 Mid Term Test Writing 3

Related Documents

Pulau Weh
June 2020 31
Pulau Surga
December 2019 34
Pulau Raya
May 2020 36
Pulau Berhala
December 2019 35

More Documents from ""