BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan juga ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi yang dimaksud World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana prevalensi (jumlah penderita yang tercatat) kurang dari 1/10.000 penduduk (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan pada 2009 tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia (7,49/100.000 penduduk) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per 10.000 penduduk.
1
Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat10.706 (Angka Penemuan kasus baru/CDR: 4.6/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per 10.000 penduduk. Di Sumatera Utara insiden (jumlah kasus baru) kusta 192 kasus pada JanuariDesember 2010, dan 12 % dari kasus tersebut adalah anak berumur kurang 15 tahun. Berdasarkan data, jumlah penderita kusta di Sumut, masing- masing terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 10 penderita, Sibolga 13 penderita, Padang Lawas 10 penderita, Medan 42 penderita, Deli Serdang 15 penderita, Simalungun 17 penderita, Asahan 12 penderita, Labuhan Batu 12 penderita dan Tapanuli Selatan 13 penderita. WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut: impairment, disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2 (Kosasih, 2008). Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita seringkali tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah lakunya. Akibatnya ia aka berusaha untuk menyembunyikan keadaannya sebagai penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat (Kuniarto, 2006). Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan masalah medis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya stigma dan leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham dan informasi yang keliru mengenai penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta merasa tidak mendapat tempat di keluarganya dan lingkungan masyarakat (Kuniarto, 2006). Akibatnya penderita cacat kusta (PCK) cenderung hidup menyendiri dan mengurangi kegiatan sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung kepada orang lain, merasa tertekan dan malu untuk berobat. Dari segi ekonomi, penderita kusta cenderung mengalami keterbatasan ataupun ketidakmampuan dalam bekerja
2
maupun mendapat diskriminasi untuk mendapatkan hak dan kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan penyakitnya sehingga kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi mayoritas penderita kusta berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, padahal penderita kusta memerlukan perawatan lanjut sehingga memerlukan biaya perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kualitas hidup (Kuniarto, 2006). WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya yang terkait. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan lingkungan dimana mereka berada.
1.2 Rumusan Masalah Sebagaimana yang telah disebutkan dari pembahasan latar belakang di atas, penyakit kusta tidak hanya merupakan masalah medis, tapi juga memiliki dampak terhadap masalah psikis, sosial, dan juga ekonomi yang akan mempengaruhi kualitas hidup dari penderita kusta itu sendiri. Maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Bagaimana kualitas hidup penderita kusta untuk mendapat hidup yang layak ?
1.3 Tujuan Umum Untuk mengetahui tingkat kualitas hidup penderita kusta yang berdomisili.
1.4 Tujuan Khusus 1
Bagi Peneliti Sebagai kesempatan untuk menambah pengalaman dan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu dalam hal melakukan penelitian dan juga sebagai pembelajaran bagi peneliti mengenai penyakit kusta dan pengaruh kusta terhadap kualitas hidup penderita kusta.
2
Bagi ilmu pengetahuan dan dunia penelitian Sebagai informasi, data, bahan kepustakaan dan bahan rujukan bagi penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan kusta.
3
3
Bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah Sebagai informasi mengenai tingkat kualitas hidup pada penderita kusta, sehingga dapat digunakan sebagai bahan rujukan ataupun pertimbangan dalam penetapan kebijakan dan perencanaan dalam program pencegahan dan pemberantasan penyakit kusta.
4
Bagi Masyarakat Sebagai informasi mengenai kusta dan tingakat kualitas hidup pada penderita kust bagi masyarakat terutama kader-kader pemerhati masalah kusta.
4
BAB II ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis 1. Skenario Dina, Roby dan Made adalah mahasiswa kedokteran yang sedang melaksanakan praktek Kepaniteraan Klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) tentang kedokteran komunitas di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru. Ada satu desa yang merupakan desa endemis kusta (prevalensi: 14/10.000) pada puskesmas tersebut. Dina dan teman-temannya merasa ingin tahu bagaimana puskesmas menanganinya. Desa tersebut terletak di salah satu pulau yang terpisah dengan lokasi puskesmas. Penduduk desa sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar, stigma terhadap penyakit kusta masih tinggi, masyarakat masih menganggap bahwa menderita kusta adalah kutukan Tuhan, lingkungan, sosial ekonomi (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) kurang mendukung. Semua kegiatan mantan penderita, apalagi yang menunjukan kecacatan, tidak mendapat dukungan masyarakat. Semua produk yang dihasilkan tidak mendapat dukungan secara ekonomi dari masyarakat. Harga diripun hancur. Ada 23 mantan penderita yang telah dinyatakan RFT (release from treatment), dua orang cacat pada matanya, lima orang terdapat luka-luka pada kakinya yang tidak kunjung sembuh. Bagaimana usaha Dina dan kelompoknya untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk hidup mandiri sehingga akan memperoleh harkat hidup yang lebih layak di masa depannya.
2. Data Hasil Browsing Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ( M. leprae ). Pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang. Sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai
5
dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat (Marwali Harahap, 2000:260; Depkes RI, 2007:1).
Berdasarkan penelitian Zulkifli (2003) dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai kedudukan yang khusus diantara penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan karena adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa alasan yang rasional.
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3-5 tahun. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Penelitian Enis Gancar menyebutkan bahwa M. leprae mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat ditemukan pada tanah atau debu di sekitar lingkungan rumah penderita. (Adhi Djuanda, 2007:73; Enis Gancar, 2009).
Adanya distribusi lesi yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung, dan saraf perifer superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini 6
cenderung menyukai temperatur kurang dari 37⁰C. Bagian tubuh yang dingin seperti saluran pernafasan, testis, ruang anterior mata, dan kulit terutama cuping telinga, serta jari, merupakan tempat yang biasa diserang. Saraf perifer yang terkena, terutama yang superfisial, dan bagian kulit yang dingin cenderung paling banyak mengalami anestesi. Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat predileksi tidak hanya karena pertumbuhan optimal M. leprae pada temperatur rendah, tetapi mungkin juga oleh karena rendahnya temperatur dapat mengurangi respons imunologis. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari sedangkan pertumbuhan optimal kuman kusta pada tikus pada suhu 270-300 C (Marwali Harahap, 2000:262; Depkes RI, 2007:9).
Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Pada keadaan epidemi, penyebaran hampir sama pada semua umur. Namun yang terbanyak adalah pada umur produktif (Marwali Harahap, 2000:261; Depkes RI, 2007:8-10). Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan penduduk maka penyakit ini bisa menyerang dimana saja. World Health Organization (WHO) mencatat awal tahun 2011 dilaporkan prevalensi kusta di seluruh dunia sebesar 192.246 kasus. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara sebanyak 113.750, diikuti regional amerika sebanyak 33.953, regional afrika sebanyak 27.111, dan sisanya berada di regional lain di dunia. (Depkes RI, 2007: 5; WHO, 2011:390).
3. Analisis Masalah Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ( M. leprae ). Pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Berdasarkan dari data skenario terdapat masalah-masalah yang berada di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru, yang menyebabkan tingginya prevalensi endemis penyakit kusta, yaitu : 7
a. Letak desa sulit terjangkau b. Pendidikan formal rendah c. Pengetahuan rendah d. Kondisi sosial, lingkungan, ekonomi, fisik, dan budaya kurang menunjang e. Adanya stigma masyarakat yang kurang bagus terhadap penderita yang kurang sembuh maupun yang belum sembuh f. Rendahnya kemampuan hidup mandiri penderita yang sudah sembuh maupun yang belum sembuh
4. Tujuan Analisis a. Inventarisasi Masalah a) Kelompok input (masukan) 1) Manusia (sumber daya manusia) (1) Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. (2) Tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta masih sangat rendah. 2) Money (dana) (1) Ekonomi penduduk menengah ke bawah 3) Fecility (material) (1) Akses yang sulit (2) Fasilitas yang kurang memadai (3) Tidak tersedianya tempat pelayanan kesehatan b) Kelompok process (proses) 1) Method (metode) (1) Kurangnya sosialisasi penyakit kusta (2) Kurangnya pelayanan kesehatan (3) Kurangnya tenaga kesehatan
2) Management (manajemen) (1) Cara penyuluhan yang kurang tepat (2) Manajemen keuangan kurang (3) Manajemen terhadap tenaga kesehatan salah c) Kelompok environment (lingkungan) 1) Kebijakan 8
(1) Penghematan dana (2) Pengawasan penyakit infeksi (3) Penanganan penyakitnya kurang cepat (4) Kurangnya kerjasama lintas sector 2) Peran Serta Masyarakat (PSM) (1) Kurangnya kesadaran masyarakat (2) Tingkat pendidikan yang rendah (3) Tingkat pengetahuan yang rendah (4) Tidak adanya sosialisasi kesehatan 3) Organisasi (1) Kurangnya kerja sama lintas sector
b. Prioritas Masalah Masalah Parameter
A
B
C
D
E
1. Prevalence
3
4
2
1
5
2. Severity
4
5
1
2
3
3. Rate % increase
3
4
1
2
5
4. Degree of unmeet need
3
4
1
2
5
5. Social benefit
3
5
1
2
4
6. Public concern
3
4
1
2
5
7. Technical feasibility study
3
4
1
2
5
8. Resources availability
3
4
1
2
5
Jumlah
25
34
9
15
37
Rerata (susai jumlah parameter)
3.16
4.25
1.13
1.88
4.62
Catatan:
9
A= Kinerja petugas yang kurang B= Akses yang sulit C= Rendahnya kemampuan hidup mandiri baik penderita maupun mantan penderita kusta D= Pendidikan rendah E= Kurangnya pengetahuan masyarakat
c. Urutan dari paling tertinggi sampai terendah: I. II.
Kurangnya pengetahuan masyarakat Akses yang sulit dijangkau
III.
Kinerja petugas yang kurang
IV.
Pendidikan rendah
V.
Rendahnya kemampuan hidup mandiri baik penderita maupun mantan penderita kusta
d. Fish Bone
10
B. Pembahasan Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. (penelitian universitas sumatra) Mayoritas penderita kusta yang didiagnosis secara klinis akan diberi kombinasi antibiotik sebagai langkah pengobatan selama 6 bulan hingga 2 tahun. Pembedahan umumnya dilakukan sebagai proses lanjutan setelah pengobatan antibiotik.
Resiko
komplikasi kusta dapat terjadi tergantung dari seberapa cepat penyakit tersebut didiagnosis dan diobati secara efektif. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi jika kusta terlambat diobati sepertu mati rasa atau ebas, kerusakan saraf permanen, otot
11
melemah, maupun cacat progresif. Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan beberapa tingkat, yaitu : 1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) adalah pencegahan yang dilakukan saat proses sakit belum dimulai, upaya ini dapat dilakukan dengan mengadakan promosi kesehatan seperti melakukan penyuluhan, dan perlindungan khusus, seperti imunisasi, dan sanitasi lingkungan. 2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) adalah upaya pencegahan yang dilakukan ketika proses penyakit sudah berlangsung, namun belum timbul gejala, upaya ini bertujuan agar proses penyakit tidak berlanjut. Upaya pencegahan tingkat kedua ini berupa deteksi dini, dan pemberian pengobatan yang tepat. 3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention) adalah upaya pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah dalam tahap lanjut, dengan tujuan untuk mencegah cacat dan mengembalikan penderita ke status sehat. Upaya pencegahan ini terdiri dari Disability limitation, dan Rehabilitation. Untuk dapat meningkatkan kemampuan hidup, para penderita kusta yang sudah dalam masa rahabilitasi/mantan penderita kusta yang mengalami kecacatan, dapat diberikan alat bantu palsu, seperti tangan atau kaki palsu, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri. Selain itu, para mantan penderita kusta dapat diberikan pelatihan-pelatihan yang dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, seperti pelatihan pembuatan karya seni, maupun pelatihan lain yang sesuai dengan skill yang dimiliki oleh para mantan penderita kusta.
12
BAB III RENCANA PROGRAM
A.
Alternatif pemecahan masalah
Tabel Prioritas Penyelesaian Masalah No.
1.
Kegiatan Rehabilitasi pengobatan
MxIxV
M
I
V
C
5
4
4
5
16
ke 2
2
3
1
12
C
dan
penderita 2.
Pemberian penyuluhan masyarakat
Keterangan : P
: Prioritas jalan keluar
M
: Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I
: Implementation, kelanggengan selesainya masalah.
V
: Valiability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C
: Cost, biaya yang diperlukan.
Berdasarkan diagram prioritas penyelesaian masalah yang dilakukan dengan metode scorring, maka penyelesaian masalah yang dilakukan terlebih dahulu di desa endemik kusta tersebut adalah ....
Urutan pokok kegiatan yang dilakukan untuk pencegahan kusta, antara lain: 1. Rehabilitasi dan pengobatan penderita 2. Pemberian penyuluhan ke masyarakat
13
Mengingat segala hal yang menyebabkan keterbatasan dalam mewujudkan program yang ada, sudah tentu tidak semua kegiatan bisa dilaksanakan, maka akan dipilih a kegiatan yang akan dilaksanakan, yakni Rehabilitasi dan pengobatan hingga tuntas kepada penderita.
14
B. Pemecahan Masalah berdasarkan Rencana Kegiatan Plan Of Activity ( POA )
Tabel Gant chart :Rencana Kegiatan (Plan of Activity/POA) Upaya Kesehatan Pencegahan Kusta No
1.
Kegiat
Sasara
an
n
Target
Rincian
Lokas
Tenag
Jad
Kebutu
Kegiatan
i
a
wal
han
Pelaks Pelaks
pelaksa
anaan
ana
naan
Puske
Dokte
Indikator
Rehabi
Pender
Rehabilitasi
Kegiatan
litasi
ita
dan
terdiri dari smas
r dan p
obatan,
dan
kusta
pengobatan
membuat
desa
peraw
ruangan prevale
kusta
pengob di desa penderita
ruang
Suka
at
khusus
nsi
desa
atan
sukam
kusta
khusus
maju
bantu
pai
pasien
kusta
sukamaju
pender
aju
hingga
untuk
kabup
oleh
pasi
kusta,
dengan
kabupaten
ita
kabupa
rehabilitas
aten
tenaga en
tenaga
memut
kota baru
ten
i
medis
sem
medis
us
kota
kusta
profes
buh)
ahli
rantai
baru
puskesmas
ional
dari
penular
sukamaju
dari
pemeri
an,
kabupaten
pemer
ntah,ba
dengan
kota baru
intah
ntuan
cara
serta
biaya
membe
pemberian
dari
rikan
pengobata
pemeri
pengob
n
ntah
atan
pasien Kota di baru
secara
Setia Obat-
Tujuan
hari
di (sam
Menuru Tuurunya nkan
benar dan
kepada
tepat
pasien
prevalensi
kusta hingga tuntas
15
di
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ( M. leprae ). Pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang. Sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat (Marwali Harahap, 2000:260; Depkes RI, 2007:1).
B. Saran 1. Melakukan imunisasi dan memperbaiki sanitasi lingkungan 2. Melakukan uji tapis untuk deteksi dini serta pemberian pengobatan yang tepat 3. Untuk dapat meningkatkan kemampuan hidup, para penderita yang sudah dalam tahap lanjut diwajibkan melakukan masa rehabilitasi, dan bagi yang sudah direhabilitasi namun terjadi kecacatan, dapat diberikan alat bantu sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri. 4. Memberikan pelatihan-pelatihan yang dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Program Pengendalian Penyakit Kusta. (Diakses pada tanggal 17 Mei 2016).
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI : Kusta. (Diakses pada tanggal 17 Mei 2016).
Prawoto. 2008. Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta. Thesis Program Pascasarjana Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro. Semarang: Universitas Diponegoro. (Diakses pada tanggal 17 Mei 2016).
17