Beberapa Pelajaran Dari Pemilu

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Beberapa Pelajaran Dari Pemilu as PDF for free.

More details

  • Words: 913
  • Pages: 4
Beberapa Pelajaran dari Pemilu Bagikan 12 April 2009 jam 13:16 Orang bilang bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Tidak semua orang cukup belajar lewat buku, nasehat, tauladan dan bahkan juga kitab suci sekalipun. Orang baru mengerti dan yakin jika telah mendapatkan pengalaman sendiri. Kadangkala, seseorang diberi tahu bahwa tempat itu membahayakan, ternyata justru didatangi. Demikian juga nasehat bahwa judi, korupsi, narkoba dan berbagai jenis serupa lainnya itu membahayakan, ternyata juga belum berhasil menjadikan semua orang menghindari. Mereka baru sadar, bahwa korupsi berbahaya, setelah yang bersangkutan tertangkap dan masuk penjara. Tidak sedikit orang baru sadar dan berhenti dari bermain judi, setelah hartanya habis. Begitu pula, mereka berhenti mengkonsumsi narkoba, ketika kesehatannya sudah parah, hartanya habis, dan bahkan sudah dimasukkan ke penjara. Demikian pula, terkait dengan pemilu, yang baru saja selesai. Tidak sedikit orang nekat, ikut mendaftar menjadi caleg. Sekalipun biayanya mahal, semua caleg harus mengeluarkan ongkos berbagai macam, sedangkan tidak semua siap, sehingga untuk mendapatkan dana terpaksa harus menjual apapun yang dimiliki, dan ternyata hasilnya tidak terpilih, akibatnya bangkrut, mereka akhirnya baru sadar setelah semua terjadi. Pengalaman itulah yang menyadarkan mereka. Umpama sebelumnya ada orang berani menasehati, bahwa jangan ikut-ikut main api, ikut gambling jadi caleg, maka bisa jadi orang yang menasehati itu justru dimusuhi. Sekalipun bermaksud baik, orang yang berani-berani menasehatinya akan dianggap sebagai pengganggu terhadap orang yang sedang memperbaiki kariernya. Karena itu tidak semua orang berani memberikan nasehat. Maka, pengalaman nyata itulah yang menjadi guru terbaiknya. Pada tingkatan makro, para elite politik membayangkan keindahan bangsa ini jika demokrasi dilaksanakan sepenuhnya. Semua pemimpin negeri ini mulai dari tingkat ketua RT, Ketua RW, kepala desa, camat, bupati, wali kota, gubernur hingga presiden dipilih langsung oleh rakyat. Maka semua orang akan mendapatkan kesempatan yang sama, dipilih dan memilih pemimpinnya. Jika ada pandangan bahwa

dengan cara itu masyarakat sehari-hari hanya akan disibukkan mengurusi pemilihan pemimpin, dan lagi pula biaya yang dikeluarkan cukup besar, belum lagi resiko lainnya yang akan diakibatkan, maka juga tidak akan didengarkan. Akan tetapi, jika kemudian ternyata beban dan kerugian itu sudah dirasakan oleh semua, bahwa bangsa juga tidak maju-maju karena hanya sibuk memilih pemimpinnya, maka kemudian nanti setelah sekian lama baru disadari dan dicarikan lagi bentuk lain yang dikira lebih menguntungkan. Demikian pula, cara pemilihan umum yang baru saja selesai dengan melibatkan puluhan partai politik, maka rakyat akan kesulitan memilihnya. Bagaimana mereka memilih, sedangkan mengenal siapa pemimpin dan pengurusnya saja susah. Kesulitan itu masih ditambah lagi dengan harus memilih salah satu nama calon dari banyak pilihan. Padahal belum tentu orang sudah mengenal para calon itu. Tetapi itulah, orang biasanya kurang realistis, selalu menginginkan yang paling ideal. Akibatnya, tidak semua orang bisa melakukan pemilihan secara benar. Orang yang tidak terbiasa membaca, apalagi sudah lanjut umur, akan mengalami kesulitan. Kesulitan lainnya, dengan cara itu adalah menghitung hasil dan mentabulasi, harus memakan waktu berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Semua itu dimaksudkan secara ideal agar mendapatkan pemimpin-pemimpin baru yang bisa membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Padahal hasilnya, ternyata tidak jauh dari yang sudah ada dan yang tampak sebelumnya. Apa yang terjadi saat ini sesungguhnya juga bukan merupakan hal baru. Dulu, ketika masih zaman orde baru, -----Pak Harto berkuasa, orang pada berpandangan bahwa presiden jangan diganti-ganti agar proses pembangunan bisa berkelanjutan. Atas dasar pandangan itu maka pemilu tetap dijalankan sebagai pertanggung-jawaban negara yang melaksanakan demokrasi. Akan tetapi, pemilu yang dijalankan hanya sebatas formalitas. Semua rakyat disuruh memilih, tetapi sesungguhnya partai apa yang akan menjadi pemenangnya sudah diketahui jauh sebelum pemilu dilaksanakan. Tidak sebatas itu, bahkan presiden yang akan terpilih pun sudah diketahui oleh semua orang. Yakni Pak Harto. Semua orang sepakat. Akan tetapi, sekalipun telah melewati puluhan tahun, dengan pembangunan yang berkelanjutan itu, lewat pemilu yang penuh rekayasa, ternyata bangsa ini tidak juga berhasil mengejar

ketertinggalan dari kemajuan bangsa lain. Bangsa Indonesia dianggap selama ini hanya berjalan di tempat, bukan mendapatkan kemajuan sebagaimana banyak dibayangkan itu. Bahkan dirasakan oleh banyak pihak, justru dengan tidak adanya pergantian kepemimpinan bangsa ini memberikan peluang penyimpangan hingga terjerumus melakukan kesalahan yang sangat fatal. Dengan mempertahankan kepemimpinan yang berkepanjangan ternyata melahirkan penyakit yang membahayakan, yaitu terjadinya korupsi, kolosi dan nepotisme besarbesaran. Akibatnya, rakyat terugikan bahkan juga pemimpinnya sekalipun. Pak Harto dengan jargon pembangunannya, yang pada fase-fase awal dipandang telah menyelamatkan bangsa ini, ternyata di akhir masa kepemimpinannya dihujat dan dituduh melakukan penyimpangan yang luar biasa, dan bahkan sekalipun sudah tua, dan dalam keadaan kurang sehat dituntut oleh berbagai pihak agar diadili. Belajar dari sejarah panjang perjalanan sejarah bangsa ini, kiranya sudah waktunya kita tidak saja mengumpulkan kekayaan yang hanya berupa pengalaman pahit seperti ini. Kiranya berbagai pengalaman itu sudah waktunya dicukupkan, kemudian segera mengambil kesimpulan yang lebih strategis. Sejak zaman kerajaan dulu hingga sekarang, bangsa ini telah mengalami muncul dan tenggelam dan bahkan hampir-hampir bangkrut pun telah dialami. Berbagai pengalaman itu kiranya sudah cukup dijadikan pelajaran yang berharga, termasuk juga dalam pelaksanaan pemilu ke depan. Orang desa saja, tetangga saya, sepulang dari TPS berkomentar, pemilu kali ini kertasnya saja sak pondongan (banyak sekali). Mereka juga saling bertanya, biayanya berapa ? Pertanyaan lain dari mereka, kenapa pemilu ini tidak semakin disederhanakan, sehingga menjadi murah dan jika memang negara ini benar-benar kelebihan uang, bisa digunakan untuk menolong rakyat yang masih miskin dan menderita. Dari mendengarkan perbincangan tetangga itu, saya menjadi semakin tahu, bahwa ternyata rakyat yang tergolong kecil dan sederhana pun juga berpikir tentang negerinya dan juga pelaksanaan pemilu. Mereka menginginkan, pesta demokrasi, berupa pemilu ditempuh dengan cara lebih sederhana, mudah, dan murah. Jika mau, keinginan rakyat kecil sebagaimana contoh itu, sesungguhnya bisa dipenuhi, tokh pengalaman menyelenggarakan pemilu, juga sudah cukup banyak. Wallahu a’lam.

Related Documents


More Documents from "dimasprasetyo"