Bahan Pemilu Legislatif.docx

  • Uploaded by: Darmaji
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bahan Pemilu Legislatif.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,418
  • Pages: 8
Pemilu legislatif yang baru-baru ini selesai menunjukkan kualitas demokrasi Indonesia masih rendah. Dari penyelenggaraan, prosedur, perekrutan calon legislatif, dan rakyat pemilih mencerminkan itu. Baru saja rakyat Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi, pemilu untuk anggota DPR dan DPRD provinsi dan kota/kabupaten. Pemilu parlemen 9 April 2014 ini adalah yang ke-5, dari yang pertama tahun 1999 di era reformasi, Mei 1998 sampai saat ini. Bulan Juli 2014 nanti, Indonesia kembali akan menyelenggarakan pemilu untuk memilih presiden. Walaupun hasil akhir dari pemilu parlemen 9 April ini belum dapat ditentukan tetapi dengan metode quick count atau penghitungan cepat, partai yang mendapat suara terbanyak adalah PDIP, disusul Golkar, Gerindra, dan seterusnya. Berbagai komentar dan penilaian terhadap pelaksanaan pemilu ini disampaikan. Pemerintah dan KPU menilai bahwa pemilu kali ini sangat sukses dengan indikasi partisipasi pemilih meningkat dan tidak adanya gejolak atau konflik sosial politik yang berarti. Presiden SBY seperti dikutip oleh sebuah televisi swasta mengatakan bahwa demokrasi kita sedikit lagi mencapai yang ideal. Bisa dikatakan demikian jika yang dinilai hanyalah pelaksanaannya. Namun ada juga suara miring dalam menilai pemilu tersebut, baik dari segi pelaksanaannya maupun kualitas atau isinya. Dalam pelaksanaan, masih ada berbagai kekurangan dan pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan oleh para pelaksana dan peserta pemilu; mulai dari masalah daftar pemilih, kurangnya atau terlambatnya lembar kertas, kesalahan administratif dan panitia yang memihak pada partai tertentu, sampai pada pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan saat kampanye dan menjelang dan saat pelaksanaan pemilu. Jadi jika dilihat pada isi atau kualitas pemilu atau hidup berdemokrasi secara umum di era reformasi, maka demokrasi Indonesia masih jauh dari ideal. Pelaksanaannya dinilai ideal jika sesuai dengan aturan yang berlaku. Ini menyangkut prosedur. Namun demokrasi yang ideal tidak hanya diukur oleh keberhasilan pelaksanaannya secara prosedural, tetapi juga dan terutama dilihat pada kualitas orangorang yang terlibat di dalamnya, baik rakyat, wakil rakyat dan pimpinan negara. Dari sisi kualitas tampak bahwa demokrasi Indonesia di era reformasi ini masih sangat rendah. Sebegitu rendahnya kualitas itu sehingga seorang tukang parkir, tukang bakso dan tukang semir sepatu pun punya rasa percaya diri atau keberanian untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD II dan partai-partai menerima mereka (sesuai tayangan di televisi). Menyoal pencalonan para “tukang” tersebut tentu yang dimaksud di sini bukan terutama tentang status pekerjaan mereka yang dinilai berkualitas rendah oleh banyak orang. Tetapi penilaian ini lebih menyangkut buruknya proses rekruitmen dan kaderisasi sumber daya di partai-partai politik.

Memang secara prosedural administratif, tidak salah. Tetapi dari segi etika politik tidaklah layak. Bagaimana tidak buruk; para calon itu tidak atau belum pernah terlibat dalam partai atau berpolitik praktis dan karena itu pengetahuan, wawasan dan kemampuan berpolitik mereka masih sangat diragukan, tetapi sudah diterima dan dijadikan calon wakil rakyat. Penerimaan caleg-caleg seperti itu oleh partai tampaknya lebih berat pada pertimbangan pragmatis, demi kegunaannya; jadi demi pencitraan dan popularitas; bahwa partai itu adalah ‘partainya wong cilik’. Alasan yang diberikan terhadap keberatan kebijakan partai itu adalah itu tidak menyalahi aturan atau sudah sesuai prosedur. Alasan ini umumnya dipakai oleh banyak partai yang mencalonkan “politisipolitisi karbitan” dari kalangan artis atau selebritis, atlet dan orang-orang yang banyak uang, demi menarik banyak pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di era reformasi Indonesia masih sangat bercorak pragmatis prosedural. Esensi demokrasi yang diindikasikan oleh adanya kematangan, profesionalisme dan integritas para calon dan nilai-nilai etika berpolitik dalam pelaksanaannya belum diutamakan. Di pihak lain, rakyat sebagai ladang berdemokrasi belum matang dan mudah dimanipulasi. Cara memanipulasi rakyat adalah dengan politik pencitraan. Politikus atau pejabat negara tampil di depan publik, blusukan, disiarkan oleh media untuk memperlihatkan bahwa mereka berbuat untuk dan dekat dengan rakyat. Ini adalah demokrasi bercorak eksploitatif-manipulatif; memanfaatkan rakyat yang sebagian besar masih naif, yang sudah puas jika dipuji-puji, diberi janji, dihibur dengan musik dan penyanyi dangdut atau band dan penyanyi populer, jika sudah diberi kaos berlambang partai atau uang 50 ribu rupiah. Rakyat senang diperlakukan dan sayangnya mau diperlakukan seperti anak-anak; yang disuapi, diberi permen dan dininabobokan. Lalu rakyat terbuai dan memilih mereka yang dianggap hebat, punya kuasa dan baik hati. Maka, demokrasi seperti ini dapat juga dikatakan sebagai demokrasi bercorak feodalis-kapitalis, manipulatif dan kekanak-kanakan. Di sini, yang berhasil dipilih adalah mereka yang mampu “mengakali” rakyat dan mampu menyiasati prosedur. Demokrasi bercorak pragmatis, prosedural, feodalis-kapitalis, manipulatif dan kekanak-kanakan itu lalu menghasilkan terpilihnya banyak wakil rakyat dan pejabat negara yang tidak bermutu sebagai politikus atau negarawan. Ini ditandai oleh partisipasi dan hasil berpolitik mereka. Sejatinya mereka mengutamakan kepentingan bangsa atau negara, yang berjuang untuk kebaikan manusia dan kemanusiaan; bagi hakhak asasi manusia dan warga negara, bagi keadilan dan perdamaian serta peradaban manusia yang tinggi, yang sesuai dengan logika atau akal sehat.

Seharusnya seorang yang sudah menjadi wakil rakyat atau negarawan, ia bekerja mengutamakan seluruh rakyat dan negara. Ia menjadi anggota dewan perwakilan untuk rakyat Indonesia, ia menjadi pejabat negara untuk negara Indonesia. Namun yang terjadi adalah banyaknya politikus dan penguasa negara yang berjuang untuk kepentingan diri sendiri, partai atau kelompok sektarian-terutama agama. Untuk terciptanya suatu demokrasi yang esensial dan ideal, orang-orang yang terlibat di dalamnya haruslah mereka yang sudah matang atau dewasa dalam politik, punya idealisme kebangsaan dan kemanusiaan yang tinggi dan mampu memperjuangkan dan menciptakan demokrasi yang berkualitas. Ini harus dibuktikan oleh pengalaman, pengetahuan, kemampuan atau profesionalisme politik dan yang mampu berpikir dan menetapkan kebijakan-kebijakan sesuai akal sehat. Untuk ini, kaderisasi, pembekalan ilmu dan pembentukan idealisme dan profesionalisme para politikus perlu diprioritaskan. Indonesia juga perlu belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah memiliki bentuk dan corak demokrasi yang ideal, yang diwarnai oleh kedewasaan, kapabilitas, integritas, kredibilitas dan profesionalisme para politikus dan rakyatnya.

Menurut Erik Satrya Wardhana, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, proses Pemilu Legislatif 2014, secara demokrasi prosedural memang mengalami peningkatan, tetapi secara substantif mengalami penurunan. Artinya, kualitas Pemilu 2014 sangat rendah. ”Karena, demokrasi tidak berarti apa- apa atau bahkan menjadi musibah kalau ada kekosongan moral. Nah pada Pemilu Legislatif 2014 kemarin, menurut saya, moralitasnya menurun. Begitu banyak transaksi dalam proses Pemilu. Baik transaksi antara Caleg dengan masyarakat, antara Caleg dengan penyelenggara pemilu, dan antara masyarakat dengan penyelenggara pemilu. Saya percaya pada rumus : proses rekrutmen yang berlangsung baik, akan menghasilkan output yang baik juga. Kalau proses rekrutmen kurang baik, outputnya juga kurang baik,” tegas Erik. Lebih lanjut Erik memaparkan, hasil yang kurang baik itu tidak hanya mewarnai postulat Parlemen kedepan, tetapi juga akan mempengaruhi proses politiknya. Dan proses pembangunan juga akan menurun, dan dikhawatirkan produk- produk Parlemen kedepan juga akan rendah kualitasnya. ”Karena prosesnya tidak lebih baik dari Pemilu sebelumnya. Tetapi sebenarnya, nilai moral ini tidak hanya di Pemilu, tetapi pada semua bidang kehidupan. Mengenai rendahnya moralitas Pemilu, itu dilakukan oleh hampir semua pihak. Jadi baik peserta pemilu yakni partai politik, para Caleg, penyelenggara pemilu dan Masyarakat semua terlibat dalam rendahnya moralitas Pemilu 2014. Karena transaksi itu terjadi lebih dari satu pihak tentunya,” tegasnya. Jadi, lanjut Erik, itu menjadi PR bangsa kita kedepan. Karena kalau kita bandingkan dengan pendidikan, walaupun pendidikan secara kuantitatif mengalami peningkatan. Dan demokrasi secara prosedural juga mengalami peningkatan, tetapi yang lupa adalah ada amanat dalam UUD 45 di pasal mengenai pendidikan nasional, yang menjadi tujuan pendidikan nasional adalah peningkatan kualitas akhlaq manusia Indonesia. Itu secara tekstual tertuang dalam UUD 45. Intinya soal kejujuran dan soal moralitas dalam berbangsa dan bernegara.

PP Muhammadiyah Kecewa Berat dengan Hasil Pemilu 2014 Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai kualitas Pemilu Legislatif 2014 masih rendah. Menurut dia, hal itu ditandai dengan adanya praktik politik uang selama proses pemilu. "Kami mengapresiasi pemilu legislatif yang aman, damai, tertib, dan juga partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat. Meskipun demikian, Muhammadiyah sangat menyayangkan kualitas pemilu yang rendah dengan maraknya praktik politik uang dan kecurangan yang masif, terstruktur dan sistemik," kata Abdul. Selain kualitasnya masih rendah, menurut Abdul, oknum petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tidak netral. "Muhammadiyah juga menyayangkan oknum penyelenggara pemilu yang tidak netral dan terlibat dalam jaringan kejahatan politik yang tidak berkeadaban," katanya. Menurut Abdul, pemilu yang kualitasnya rendah dan ada unsur politik uang, akan menghasilkan anggota legislatif yang tidak kompeten, bahkan mungkin akan bermasalah secara moral.

Harli Muin Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan bahwa proses perhitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu ) 2014 dinyatakan selesai sampai dengan 6 Mei 2014, Meskipun banyak orang ragu kemampuan KPU melakukan perhitungan hasil pemilu selesai tepat waktu, akhirnya, hasil pemilu diumumkan pada 9 Mei 2014. Namun persoalan yang muncul kemudian adalah banyaknya protes yang berhubungan dengan pelaksanaan Pemilu mulai dari tahap kampanye, hingga pada hari pelaksanaan Pemilu, dan perhitungan suara menunjukkan rendah kualitas Pemilu. Rendahnya akuntabilitas Pemilu legislatif 2014 juga dapat dipahami ke dalam rendahnya cakupan hak dan tanggung jawab yang berlangsung antara masyarakat yang memiliki hak memilih dan memiliki dampak terhadap kehidupan para pemilih lima tahun mendatang. Banyak indikator yang digunakan untuk mengukur akuntablitas pesta Pemilu ini, namun secara garis besar, dalam tulisan ini akan melihatPemilu 2014 dalam tiga aspek: tangggung jawab melaksanakan Pemilu yang berkualitas, kemampuan institusi KPU dan Bawaslu menyediakan jawaban terhadap tuntutan peserta pemilu terhadap pelanggaran pemilu pemilu, kemampuan lembaga yang diberi wewenang menjalankan hukum Pemilu secara independen. Tanggung jawab Kendati sebagian besar partai politik 2014 menganggap Pemilu 2014 adalah yang terbaik, namun fakta-fakta lapangan Pemilu 2014 masih jauh dari kesempurnaan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi kewenangan melaksanakan Pemilu, menuai banyak kritik. Banyaknya protes yang bersumber dari partai politik peserta Pemilu, Calon Legislatif dan Calon DPD diabaikan KPU dan beberapa protes tidak diselesaikan dengan tuntas di daerah. Akibatnya, muncul berbagai protes terhadap KPU dan Bawaslu di Jakarta. Di dalam UUD 1945 perubahan keempat dalam pasal 22E disebutkan Negara menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan fondasi dasar bagi praktek berdemokrasi di tanah air. Untuk itu, UU Nomor 8/2014 Pemilu menyediakan kerangka menuju pemilu sebagaimana yang disebutkan dalam konstitusi tersebut. Akan tetapi kualitas Pemilu 2014 kemudian menurun disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari mekanisme syarat formil dan materiil penyelesaian sengketa pemilu hingga pada penafsiran sengketa Pemilu. KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberi kewenangan melaksanakan Pemilu tahun 2014 dan tugas-tugas mereka untuk melaksanakan pemilu dibuat dalam UU Tentang Pemilihan Umum Legislatif dan DPD (Pemilu) Nomor 8, 2012. Didalam UU Pemilu memang sudah diatur mengenai penyelenggaraan Pileg dan DPD, hanya saja dalam penyelenggaraan di lapangan memiliki bayak kelemahan. Dalam berbagai laporan media, ditemukan beberapa kelemahan dari sadar syarat formil dan materiil dalam UU Pemilu dalam mekanisme penanganan dalam penyelesaian pelanggaran Pemilu. Formil, misalnya, batas waktu 7 hari penyelesaian sengketa sejak dilaporkan kepada Bawaslu menyebabkan penyelesaian sengketa tak bisa dikerjakan. Karena dengan waktu singkat ini, bawasir harus membuktikan unsur-unsur pelanggaran dan harus memenuhi syarat formil tujuh hari sejak dilaporkan oleh pengadu. Untuk Bawaslu sendiri, mereka diberi waktu tiga hari menangani pelanggaran Pemilu ditambah dua hari, jadi total hanya lima hari. Apa lagi dibebani oleh doktrin bahwa Bawaslu bersifat pasif, yakni menunggu adanya aduan. Padahal mereka harus dapat

membuktikan unsur pelanggaran di lapangan dan juga harus memenuhi unsur formil. Celakanya lagi, kemampuan sumber daya manusia Bawaslu tidak merata, ada yang kurang ada yang pas-asan. Di luar itu, organisasi pengawas Pemilu sendiri di kecamatan dan kabupaten hanya bersifat adhoch. Faktor buruknya mekanisme dan lembaga yang tersedia inilah menyebabkan kualitas Pemilu 2014 dinilai banyak orang rendah dan tidak berfungsinya lembaga pengawas Pemilu secara maksimal. Kewenangan Bawaslu sendiri terbatas dalam menyelesaikan sengketa ini, mereka tidak memiliki kewenangan menghadirkan saksi, dan meminta keterangan dari pihak-pihak yang dianggap melanggar, melainkan mereka hanya dapat mengundang saksi. Banyak pengalaman, saksi yang diundang enggan datang. Sebagai tambahan, lembaga seperti Bawaslu, hanya boleh memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran pemilu untuk diselesaikan. Bila pelanggaran Pidana makan dilaporkan ke Polisi, bila pelanggaran Administrasi diserahkan ke KPU. Bila demikian, makan Bawaslu tidak memiliki kewenangan menyelesaikan. Dapat menjawab Pemilihan umum merupakan salah kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan dari tanggung jawab Negara terhadap pemenuhan terhadap hak-hak sipil politik warga negara sebagai disebutkan dalam konstitusi UUD 1945 perubahan keempat, yang disebutkan penyelenggaraan pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. Kemampuan menjawab ini erat kaitannya dengan kemampuan lembaga Negara yang diberi kewenangan oleh UU sebagai penyelenggara Pemilu. Pejabat publik menjamin bahwa jawaban yang mereka berikan akan berdampak terhadap hak warga Negara yang cedera. Dengan demikian, kemampuan KPU untuk memonitor, mengumpulkan dan melakukan verifikasi informasi dan memberikan informasi penting mengenai mekanisme pengaduan-yang benar. Banyaknya jumlah protes di Komisi Pemilihan Umum Nasional, suara hilang, surat suara yang dimanipulasi, dan money Politik atau politik uang. Pleno ulang masih terjadi di sejumlah daerah yang disertai dengan protes memperlihatkan kemampuan KPU memberikan. Di, Bandar Lampung, misalnya, pleno ulang dipenuhi banyak protes dari saksi Partai Politik (Parpol) karena hasil suara dari kecamatan berbeda dengan rekapitulasi suara di provinsi. Anehnya, permintaan sebagian besar saksi politik untuk hitung ulang berdasarkan C1 Plano tidak dikabulkan Ketua KPU (Media Indonesia 5 Mei 2014). KPU di Manado, misalnya, melakukan validasi ulang jumlah pemilih padahal pemilu sudah selesai. Kejadian semacam itu, hanya merupakan potret kecil dari sekian banyak kecurangan yang terjadi dalam Pemilu legislatif 2014 b di erbagai daerah yang pada gilirannya mengurangi tingkat akuntabilitas Pemilu. Partai Peserta Pemilu seperti PDIPI, menyatakan bahwa Pemilu kali adalah terburuk, karena meski mereka adalah pemenang dalam pemilu 2014, mereka kehilangan 6 kursi di DPRRI. Kemampuan Institusi Menjalankan Aturan. Banyaknya pelanggaran di berbagai daerah yang dilakukan oleh KPU, menunjukkan penyelenggara Pemiliu tidak terlihat independen. Oleh karena itu, sebagai lembaga pelaksana Pemilu mestinya KPU memilih cara dependen sebagai penyelenggaraan persta demokrasi ini, sehingga penyelesaian masalah dan sengketa pemilu dapat diselesaikan secara efektif. Lembaga penyelenggara Pemilu dependen menjalankan aturan berdasarkan prinsip akuntabilitas memutuskan dan menyediakan berbagai bentuk cara dan alternatif penyelesaian

masalah. Akan tetapi, apa yang terjadi dalam Pemilu 2014, masih terlihat bahwa lembaga penyelenggara pemilu belum sepenuhnya independen masih terlibat dalam pelanggaran dan kecurangan. Termasuk juga, ltiap lembaga penyelesaian sengketa pemilu memiliki tafsir yang berbeda mengenai pelanggaran. Tentu bila KPU dan Bawaslu menyelenggarakan pemilu dengan baik, tentu kasus-kasus di atas terlalu banyak terjadi dan terlalu banyak di protes oleh peserta pemilu. Willy Aditya, Partai Nasional Demokrat, beberapa kali menyatakan dalam media nasional bahwa pelanggaran Pemilu tidak bisa lagi disebut pelanggaran melainkan kejahatan pemilu, karena dilakukan secara sistematis. Ia menyaksikan bagaimana aparat pelaksana Pemilu melakukan pelanggaran terhadap Pemilu mulai dari panitia pelaksana di tingkat TPS, Desa hingga panitia Pemilu di Kecamatan. Merkea melakukan manipulasi terhadap suara. Modus pelanggaran Pemilu adalah mereka sebagian tidak membagikan formulir C1 kepada saksi partai, mengisi sendiri formulir C1, membuka kotak suara sendiri tanpa memperlihatkan saksi partai, hingga surat suara yang yang sudah di coblos hilang. Akhirnya, akuntabilitas Pemilu yang jujur, bebas dan rahasia dan berkualitas berkurang nilainya karena kemampuan tanggung jawab (responsibility), dapat menjawab (answerability) kemampuan menegakkan hukum (enforceability). Oleh karena itu, tiga aspek yang disebutkan itu perlu menjadi perhatian penting bagi para pengambil keputusan mengenai Pemilu dan penyelenggara Pemilu demi kualitas pemilu dan demokrasi di tanah air. Sudah seharusnya, KPU memilih orang-orang yang memiliki sebagai pelaksana Pemilu.

Related Documents


More Documents from "Iwan Sukma Nuricht"