Bahan Debat - Kontra Mengenai Pemilu Langsung.docx

  • Uploaded by: Devin Akeno Mackenzie
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bahan Debat - Kontra Mengenai Pemilu Langsung.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,095
  • Pages: 4
Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI, Fitra Arsil menjelaskan penyelenggaraan pemilu dikatakan serentak jika pemilihan presiden putaran pertama atau satu-satunya putaran dalam pemilihan presiden dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilihan anggota legislatif. Pemilu serentak menjadikan sistem presidensial efektif. Pasalnya, dengan pemilu serentak, maka seorang presiden terpilih akan memperoleh dukungan yang besar di lembaga legislatif. Pemilu serentak menguntungkan partai yang memiliki calon presiden. Fitra berpendapat, pelaksanaan pemilu serentak berpotensi menjadi masalah jika pilpres berlangsung dua putaran. Menurut Fitra, pilpres dua putaran akan membawa konsekuensi banyaknya pasangan capres-cawapres yang bertarung. Dampak lanjutannya adalah parlemen akan terfragmentasi cukup tinggi karena konfigurasi ini memberikan peluang kepada banyak partai untuk mendudukkan calonnya di parlemen. Apabila banyak partai di parlemen, maka kemungkinan munculnya partai dominan menjadi kecil dan terjadi fragmentasi yang tinggi (multipartism). Dengan demikian, konsensus dalam proses pengambilan putusan di parlemen akan menjadi sulit. Harapan menghasilkan struktur parlemen yang kongruen dan dukungan legislatif yang kepada presiden dapat terhambat jika pemilihan presiden dua putaran masih berlaku. Dari segi daya tahan koalisi, pemilu serentak yang akan dipadukan dalam pemilihan presiden dua putaran juga akan menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi koalisi. Karakter koalisi di putaran kedua tentu banyak didominasi pilihan-pilihan pragmatis daripada agenda kebijakan dan program memerintah karena koalisi lebih terpengaruh suara. Berubahnya konstitusi negara menjadi Republik Indonesia Serikat dan ditetapkannnya Undang - Undang Sementara Tahun 1950 sebagai dasar negara menyebabkan terjadinya perubahan pada undang - undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yaitu undang undang nomor 1 tahun 1957. Selain undang - undang, presiden pertama Republik Indonesia membuat sebuah peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala daerah. Peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 yang mengatur tentang mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Peran DPRD dalam perundangan ini terbatas, karena DPRD hanya berwenang mengajukan calon kepala daerah. Undang-undang tersebut terus mengalami perubahan hingga keluarlah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 yang kemudian di perbarui dengan No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah (Daniel, (Tanpa tahun): Online). Dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan pilkada secara langsung telah membuat sistem pemerintahan di daerah seharusnya semakin demokratis karena rakyat dapat menentukan siapa calon yang paling disukainya. Atas dasar undang-undang itu mulai tahun 2005, tepatnya pada bulan Juni 2005, pergantian kepala daerah di seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Sebagai gambaran, sebagian besar pemilihan kepala daerah yang berlangsung selama UU No. 22 Tahun 1999 selalu menimbulkan gejolak di daerah, seperti di Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Madura, dan sejumlah daerah lainnya. Dalam kasuskasus ini, timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang sama, yakni

distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang, dan oligarkhi partai yang tampak dari intervensi DPP partai dalam menentukan calon kepala daerah yang didukung fraksi (Mariana, 2007: 47). Dibandingkan model memilih kepala daerah oleh anggota DPRD, model memilih kepala daerah secara langsung memerlukan biaya lebih besar yang harus di sediakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan maupun oleh para kandidat yang berkompetisi. Belanja kandidat antara lain: (1) belanja kampanye, (2) belanja saksi, (3) belanja kandidasi di partai politik/pendukung di jalur perseorangan. Bank Indonesia memperkirakan pilkada yang berlangsung di 244 daerah tahun 2010 menelan biaya sekitar Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk penyelenggaraan dan dana kampanye, yang ditanggung para kandidat kepala daerah. Hal inilah yang disebut politik uang (Fitriyah, (Tanpa tahun), Pdf). Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi (Rifai, 2003: 228). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berubah pula pola pemilihan dalam kepala daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan Undang-Undang yang mengatur secara jelas mengenai Pemerintahan Daerah. Salah satu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Taahun 2004 adalah mengenai pemilihan kepala daerah. Akhir-akhir ini pemerintah mengungkapkan rencana mengajukan RUU mengenai revisu UU tentang pemerintahan daerah yang didalamnya mencakup mekanisme pemilihan Gubernur tidak lagi melalui pemilihan langsung melainkan melalui DPRD karena pemilihan langsung menimbulkan beragam masalah politik, seperti money politics salah satunya. (Anonim, (Tanpa tahun): Online). Rancangan UU Pilkada yang pada intinya mengembalikan pemilihan Kepala daerah Ketangan DPRD didukung oleh mayoritas partai politik khususnya koalisi merah putih yang terdiri dari Gerindra, PAN, Golkar, PPP,PKS, Demokrat, sedangkan Koalisi yang menolak terdiri dari PKB,P-DIP, Nasedem. Alasan pemilihan langsung / pemilihan kepala daerah di tangan DPRD: Pertama, pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan bisa menghemat anggaran sebesar 142 Triliun karena selama ini alokasi anggaran yang diadakan untuk pilkada cukup besar bahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan ongkos pilkada di seluruh daerah sepanjang tahun lalu mencapai Rp 70 triliun. Berlandaskan hal tersebut diatas demi penghematan anggaran maka pilkada langsung dianggap sangat boros anggaran .

Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung dianggap gagal selama ini untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari KKN, (Good government and clean goverment) hal ini bisa dilihat dengan banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi dan terjerat hukum dan lebih dari 318 kepala daerah menjadi tersangka kasus hukum hinggah diawal tahun 2014 ini. Ketiga ,pemilihan langsung mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan dan kerusuhan. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pilkada yang selalu diwarnai kerusuhan. Keempat, pilkada langsung kadang diwarnai money politics yang berdampak pada keterpilihan seseorang bukan karena kredibilitaasnya tapi lebih kepada jumlah modal yang dia miliki.

Mendagri: 50 Tewas Akibat Kerusuhan Pemilu Kada Jakarta - Kasus kerusuhan di Palopo, Sulawesi Selatan menambah deretan panjang kasus kekerasan dalam pelaksaan pemilihan langsung kepala daerah. Data di Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sejak 2005 ada 50 korban jiwa dalam kerusuhan yang dipicu ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu Kada di seluruh Indonesia. \\\"Kalau saya hitung sudah ada lebih 50 orang yang meninggal sejak 2005,\\\" ujar Mendagri Gamawan Fauzi, di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (1\/4\/2013). Gamawan menekankan tanggung jawab parpol pengusung pasangan kontestan dalam mendidik kader dan tim sukses masing-masing mengenai demokrasi yang sehat. Jajaran KPU dan Panwaslu dalam kapasitasnya juga punya andil penting mencegah kasus-kasus kerusuhan akibat hasil Pemilu Kada. \\\"Kalau semua daerah akan terjadi konflik dengan pemilihan langsung maka nanti pilihan kita kalau tidak dewasa juga dalam berdemokrasi. Bisa kembali ke perwakilan, nah kebetulan UU-nya sedang kita bahas dengan DPR,\\\" jelasnya. Kementerian dalam negeri akan melakukan evaluasi dan kemungkinan akan ada perubahan dalam UU Pilkada. \\\"Ada pemikiran supaya pelayanan masyarakat ada di kabupaten, perizinan ada di provinsi. Kemudian pemilihan langsung di provinsi, sementara di perwakilan kota\/kabupaten lewat perwakilan di DPRD. Ini konsep baru sedang dibahas,\\\" jelasnya.

Related Documents


More Documents from ""