BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Cyberloafing 1.
Definisi Cyberloafing Non-work
related
computing,
cyberloafing,
cyberslacking,
cyberbludging, on-line loafing, internet deviance, problematic internet use, personel web usage at work, internet dependency, internet abuse, internet addiction dan internet addiction disorder merupakan berbagai istilah dan definisi yang digunakan untuk penggunaan internet (Kim & Bryne, 2011). Menurut Lim dan Chen (2012) cyberloafing adalah kegiatan yang dilakukan di dunia maya untuk aktivitas browsing dan emailing yang dilakukan ditempat kerja selama jam kerja berlangsung dimana aktivitas tersebut adalah aktivitas yang dapat mengurangi produktivitas pegawai yang akan mempengaruhi pegawai menyelesaikan pekerjaannya. Menurut Malachowski (2005, dalam Blanchard & Henle, 2008) cyberloafing telah menjadi cara yang paling banyak dilakukan karyawan untuk menghabiskan waktunya di kantor. Lim (2002) mengungkapkan bahwa cyberloafing merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan di tempat kerja. Cyberloafing adalah tindakan karyawan yang disengaja dalam penggunaan akses internet milik perusahaan selama jam kantor untuk menjelajahi situs web dan untuk memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) email pribadi yang tidak terkait dengan pekerjaan (Lim, 2002).
Menurut Henle dan Blanchard (2008), perilaku cyberloafing merupakan penggunaan akses internet dan penggunaan email oleh karyawan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Askew (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai perilaku yang muncul ketika seorang karyawan menggunakan komputer jenis apa saja (desktop, smartphone, tablet) di tempat kerja untuk aktivitas non-destruktif dimana perilaku tersebut dipandang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh atasannya. Berdasarkan penjelasan definisi cyberloafing yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku cyberloafing adalah aktivitas kegiatan yang dilakukan di dunia maya untuk aktivitas browsing dan emailing yang dilakukan ditempat kerja selama jam kerja berlangsung menggunakan komputer jenis apa saja untuk keperluan pribadi dan tidak berhubungan dengan pekerjaan.
2.
Aktivitas-Aktivitas Cyberloafing Menurut Lim dan Chen (2012) cyberloafing dibagi menjadi dua aktivitas, yaitu: a.
Browsing Activities Browsing Activities merupakan aktivitas cyberloafing dimana pegawai menggunakan internet untuk browsing selama jam kerja berlangsung dengan kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan seperti mengunjungi situs berita, menerima atau mengirim pesan instan, mengunjungi situs hiburan, mengunduh musik/video/film, mengunjungi situs yang berkaitan dengan olah raga, lowongan pekerjaan, berbelanja online hingga bermain game online.
b.
Emailing Activities Emailing Activities merupakan aktivitas cyberloafing dimana pegawai
menggunakan
email
di
tempat
kerja
yang
tidak
berhubungan dengan pekerjaan yang terdiri dari aktivitas menerima, memeriksa, dan mengirim email.
3.
Faktor-Faktor Cyberloafing Menurut Ozler & Polat (2012), terdapat tiga faktor pemicu munculnya perilaku cyberloafing, yaitu: a.
Faktor Individual Beberapa faktor individual yang menyebabkan cyberloafing adalah: 1)
Persepsi dan sikap Individu dengan persepsi dan sikap yang positif terhadap komputer cenderung menggunakan komputer untuk kepentingan pribadi (Liberman, Seidman, McKenna & Buffardi, dalam Ozler & Polat, 2012). Persepsi bahwa internet membawa keuntungan bagi pekerjaan membuat karyawan cenderung melakukan cyberloafing (Vitak, Crouse & LaRose, 2011). Selain itu, persepsi karyawan mengenai perilaku cyberloafing di organisasi membuat karyawan yang terlibat cyberloafing minor merasa bahwa itu bukan perilaku menyimpang (Blanchard & Henle, 2008).
2)
Personal Trait Personal trait seperti rasa malu, kesepian, isolasi atau pengasingan, kontrol diri, harga diri dan locus of control dapat mempengaruhi pola penggunaan internet. Individu dengan
kepribadian yang pemalu cenderung melakukan cyberloafing sedangkan individu dengan kepercayaan diri rendah dan individu dengan orientasi eksternal kurang dapat mengontrol penggunaan internet (Ozler & Polat, 2012). 3)
Kebiasaan dan Kecanduan Internet Karyawan yang terbiasa menggunakan internet atau mengalami kecanduan menggunakan internet lebih besar peluangnya melakukan penyalahgunaan internet (Vitak et al., dalam Ozler & Polat, 2012).
4)
Demografis Tingkat pendapatan, pendidikan, dan gender merupakan prediktor cyberloafing. Individu dengan pendidikan yang tinggi menggunakan internet untuk mencari informasi, sedangkan individu
dengan
pendidikan
yang
rendah
cenderung
menggunakan internet untuk bermain permainan online. Gender dan usia dapat mempengaruhi frekuensi dan tipe cyberloafing. Hal ini didukung penelitian dari Garrett & Danziger (dalam Ozler & Polat, 2012) dimana jenis kelamin pria dan usia yang lebih muda cenderung melakukan cyberloafing. Pria lebih sering melakukan cyberloafing dan melakukannya lebih lama apabila dibandingkan dengan wanita. Pria lebih sering menggunakan internet untuk permainan online sedangkan wanita lebih tertarik untuk melakukan komunikasi online (Lim & Chen, 2012). Studi lainnya menyatakan bahwa pria dan wanita sama-sama beresiko melakukan cyberloafing (Ugrin et al., 2008). Pada beberapa
penelitian, faktor usia hanya memiliki korelasi yang lemah dengan cyberloafing (Weatherbee, dalam Ozler & Polat, 2012). 5)
Intensi, Norma Sosial dan Etika Pribadi Intensi dianggap sebagai prediktor perilaku yang baik. Namun, penyalahgunaan internet adalah perilaku yang dikontrol norma-norma perusahaan sehingga tindakan tersebut cenderung dilakukan karena dorongan dari luar (Woon & Pee, dalam Ozler & Polat, 2012). Persepsi seseorang mengenai pentingnya larangan cyberloafing berhubungan negatif dengan penerimaan perilaku cyberloafing di tempat kerja. Penerimaan perilaku cyberloafing
ini
berhubungan
positif
dengan
intensi
penyalahgunaan internet. Penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara norma sosial dan intensi dimana kepercayaan normatif
pribadi
seseorang
mengurangi
intensi
perilaku
cyberloafing (Vitak et al., 2011). Selain itu, Ugrin et al. (2007) menemukan bahwa karyawan dengan jabatan yang lebih tinggi memiliki kecenderungan cyberloafing untuk menyalurkan stress akibat pekerjaan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Garrett dan Danziger (dalam Ozler & Polat, 2012) menyatakan bahwa pemegang jabatan yang tinggi seperti manajer memiliki pendidikan yang lebih baik dan individu-individu dengan otonomi kerja yang lebih besar seperti ini cenderung melakukan cyberloafing. b.
Faktor Organisasi
Beberapa
faktor
organisasional
yang
menyebabkan
cyberloafing adalah: 1)
Pembatasan Penggunaan Internet Peraturan perusahaan atas penggunaan internet atau mekanisme monitoring yang digunakan untuk menghalangi karyawan melakukan cyberloafing seperti pembatasan akses internet dapat mempengaruhi aktifitas itu sendiri (Garrett & Danziger; Ugrin et al., dalam Ozler & Polat, 2012). Sanksi yang diberikan pada karyawan yang melakukan perilaku menyimpang dapat mengurangi kecenderungan cyberloafing (Vitak et al., dalam Ozler & Polat, 2012).
2)
Hasil yang Diharapkan Karyawan membandingkan individu
dan
dalam antara
melakukan kepuasan
konsekuensi
yang
cyberloafing
akan
pemenuhan
kebutuhan
didapatkan.
Penelitian
menemukan bahwa karyawan cenderung akan lebih jarang melakukan cyberloafing bila mempersepsikan konsekuensi negatif bagi organisasi dan kepentingan pribadi karyawan (Lim & Teo; Blanchard & Henle, dalam Ozler & Polat, 2012). 3)
Dukungan Manajerial Belief atau rasa percaya karyawan mengenai penggunaan teknologi dapat dipengaruhi oleh dukungan dari manajer (Liberman et al, dalam Ozler & Polat, 2012). Tanpa adanya spesifikasi penggunaan internet dapat membuat karyawan salah paham terhadap dukungan manajerial sehingga karyawan
menggunakan internet untuk keperluan bisnis dan pribadi yang termasuk cyberloafing (Garrett & Danziger; Vitak et al.; Liberman et al., dalam Ozler & Polat, 2012). 4)
Persepsi Rekan Kerja Mengenai Norma Cyberloafing Cyberloafing dapat dipelajari dengan meniru perilaku individu lain dalam lingkungan kerja (Blau, Yang & Ward-Cook.; Liberman et al., dalam Ozler & Polat, 2012). Karyawan yang menyelahgunakan
internet
karena
meniru
rekan
kerja
mengganggap hal tersebut sebagai bentuk keadilan dalam organisasi (Lim & Teo, dalam Ozler & Polat, 2012). 5)
Sikap Kerja Karyawan Sikap kerja seseorang terhadap pekerjaan berhubungan dengan ketidakpuasan di tempat kerja. Liberman et al. (dalam Ozler & Polat, 2012) menyatakan bahwa sikap kerja mungkin mempengaruhi seseorang
cyberloafing
terhadap
sebagai
pekerjaannya.
respon
emosional
Karyawan
cenderung
melakukan cyberloafing atau perilaku menyimpang bila memiliki sikap kerja yang tidak baik (Garrett & Danziger, dalam Ozler & Polat, 2012). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sikap kerja karyawan, meliputi: i.
Ketidakadilan Beberapa penelitian menemukan bahwa keadilan organisasi
menjadi
penyebab
munculnya
perilaku
cyberloafing. Keadilan organisasional yang rendah memiliki
dampak yang signifikan terhadap cyberloafing (Lim & Teo, dalam Ozler & Polat, 2012). Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan merasakan ketidakadilan dalam pekerjaan mereka,
salah
satu
cara
untuk
mengembalikan
keseimbangan adalah dengan melakukan cyberloafing. ii.
Komitmen Kerja Penelitian dari Garrett dan Danziger (dalam Ozler & Polat, 2012) menemukan bahwa karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi tempat mereka bekerja akan merasa penggunaan internet sebagai suatu hal yang kurang sesuai dengan keseharian pekerjaan, karena itu individu yang berkomitmen terhadap pekerjaan mereka kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam aktivitas cyberloafing selama bekerja. Hal ini dikarenakan aktivitas yang tidak berhubungan
dengan
pekerjaan
yang
mengurangi
produktivitas dianggap tidak konsisten dengan self-image dan merendahkan status kerja (LaRose & Eastin, dalam Ozler & Polat, 2012). iii.
Kepuasan Kerja Vitak et al. (dalam Ozler & Polat, 2012) menyatakan bahwa kepuasan kerja berkorelasi negatif dengan perilaku cyberloafing. Individu yang puas dengan pekerjaannya mernganggap penggunaan internet untuk hal pribadi sebagai suatu keuntungan yang dapat meredakan stres. Namun pada penelitian Garrett dan Danziger (2008) tidak ditemukan
hubungan antara kepuasan pekerjaan dan cyberloafing. Hasilnya berarti bahwa karyawan yang terlibat dalam penggunaan internet untuk
hal pribadi belum
tentu
orangorang yang kurang puas dengan pekerjaan mereka (Mahatanankon et al., dalam Ozler & Polat, 2012). 6)
Karakteristik Pekerjaan Menghabiskan waktu singkat pada tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat membebaskan karyawan dari kebosanan, kelelahan atau stres, menghasilkan kepuasan kerja
atau
kreativitas
yang
lebih
besar,
meningkatkan
kesejahteraan, menjadi rekreasi dan pemulihan, dan membuat karyawan lebih bahagia. Karakteristik pekerjaan spesifik dapat mempengaruhi
munculnya
perilaku
cyberloafing
untuk
meningkatkan kreatifitas atau mengurangi kebosanan. Di sisi lain, pekerjaan yang kreatif memiliki banyak tuntutan tidak terasa membosankan sehingga karyawan tidak termotivasi untuk melakukan cyberloafing (Vitak et al., dalam Ozler & Polat, 2012). c.
Faktor Situasional Kondisi perusahaan misalnya ketersediaan fasilitas internet menjadi salah satu sumber yang biasanya memicu terjadinya cyberdeviant behavior (Weatherbee, dalam Ozler & Polat, 2012). Jarak
fisik
antara
karyawan
dan
supervisor
mempengaruhi
cyberloafing melalui persepsi mengenai kontrol organisasi. Selain itu, terdapat delapan faktor situasional yang berkontribusi pada penggunaan internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (Kay
et al, dalam Ozler & Polat, 2012) yaitu kesempatan dan akses, kemampuan,
anonimitas,
kenyamanan,
pelarian,
rasa
malu,
penerimaan sosial, dan durasi kerja.
4.
Jenis-Jenis Perilaku Cyberloafing Terdapat 2 jenis cyberloafing yang dikemukakan oleh Blanchard & Henle (2008), yaitu: a.
Minor Cyberloafing, meliputi penggunaan email dan internet pada saat kerja. Contohnya seperti mengirim dan menerima pesan pribadi atau mengunjungi situs berita, keuangan dan olahraga. Maka minor cyberloafing serupa dengan perilaku lain yang tidak sesuai dengan pekerjaan namun diberi toleransi. Meskipun demikian, minor cyberloafing tidak dapat dikatakan tidak memiliki dampak yang merugikan bagi organisasi, seperti mengurani produktivitas.
b.
Serious Cyberloafing, merupakan bentuk cyberloafing lain yang terdiri bentuk-bentuk yang lebih serius. Perilaku ini kasar dan berpotensi melakukan hal-hal yang tidak sah seperi perjudian online, mengunduh lagu, membuka situs-situs dewasa. Jenis cyberloafing ini memiliki dampak yang serius bagi organisasi.
B. Kesepian 1.
Definisi Kesepian Kesepian adalah penyakit psikososial yang lazim dalam masyarakat modern (Nowland, Necka & Cacioppo, 2017). Myers (1996) mengatakan bahwa loneliness atau kesepian adalah perasaan menyakitkan ketika hubungan sosial memiliki arti yang kurang dari yang diharapkan. Sedangkan Archibald dan Marx (dalam Baron & Byrne, 1997), mengatakan bahwa kesepian adalah perasaan seseorang ketika keinginan akan kualitas dan kuantitas sebuah hubungan lebih tinggi dibandingkan dengan kuantitas dan kualitas hubungan aktual. Perlman dan Peplau (1998) mengungkapkan bahwa kesepian merupakan pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika jaringan seseorang dalam hubungan sosialnya secara signifikan mengalami kekurangan baik secara kuantitas atau kualitas. Menurut Sears, et al. (2006) bahwa kesepian menunjukan pada kegelisahan subjektif yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri pentingnya. Hal ini bisa bersifat menyenangkan atau tidak menyenangkan, kesepian mencerminkan isolasi sosial yang dirasakan atau terbuang. Deaux, Wrightsman & Sigelman (1993) mengatakan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif, yang tergantung interpretasi terhadap berbagai situasi. Ada kalanya seseorang mengalami kesepian meski berada dalam suatu keramaian, sementara yang lain tidak mengalami kesepian meskipun seorang tersebut sedang sendiri. Menurut Rice (1993) menjelaskan bahwa kesepian sebagai suatu kehampaan, terisolasi dan kebosanan. Sedangkan Santrock (2002) juga mengatakan
bahwa kesepian adalah ketika merasa bahwa tidak seorang pun memahami dengan baik, merasa terisolasi, dan tidak memiliki seorang pun untuk dijadikan pelarian, saat dibutuhkan atau saat stress. Berdasarkan penjelasan definisi kesepian yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah perasaan tidak menyenangkan yang berhubungan dengan ketidaksesuaian antara kebutuhan untuk akrab dengan orang lain atau keakraban personal dengan yang dicapai yang ditandai dengan kebosanan, perasaan terasingkan, kegelisahan, kecemasan dan kekosongan.
2.
Tipe Kesepian Perlman dan Peplau (1998) membagi kesepian menjadi dua tipe, yakni: a.
Kesepian emosional, merupakan jenis kesepian yang terjadi ketika seseorang tidak memiliki figur kelekatan yang intim, seperti yang mungkin diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka atau orang dewasa dengan pasangannya atau teman dekat
b.
Kesepian sosial ialah merupakan jenis kesepian yang terjadi ketika seseorang tidak memiliki rasa integrasi sosial atau keterlibatan masyarakat yang mungkin disediakan oleh jaringan teman-teman, tetangga, atau rekan kerja. Wrightsman (1993) mengemukakan tipe-tipe kesepian yang lain
berdasarkan sifat kemenetapannya, yaitu: a.
Trait loneliness, yaitu kesepian yang cenderung menetap (stable pattern) sedikit berubah dan biasanya dialami oleh orang yang
memiliki self esteem yang rendah, dan memiliki sedikit interaksi sosial yang berarti. b.
State loneliness, yaitu kesepian yang bersifat temporer, biasanya disebabkan
oleh
pengalaman-pengalaman
dramatis
dalam
kehidupan seseorang.
3.
Manifestasi Kesepian Perlman dan Peplau (1981) menyebutkan kesepian dimanifestasi menjadi beberapa hal, yaitu:
4.
a.
Afektif
b.
Motivasi dan kognitif
c.
Perilaku
d.
Sosial dan penggunaan obat-obatan
Penyebab Kesepian Kesepian bisa disebabkan karena dua hal menurut Perlman dan Peplau (1981) yaitu: a.
Perubahan dalam hubungan sosial yang dicapai 1)
Terminasi Berakhirnya hubungan emosional yang dekat adalah penyebab umum kesepian, contohnya perceraian.
2)
Pemisahan Fisik Pemisahan mengurangi frekuensi interaksi, membuat kepuasan yang disediakan oleh hubungan yang diinginkan kurang tersedia,
dan dapat menimbulkan ketakutan bahwa hubungan akan dilemahkan oleh ketidakhadiran. 3)
Perubahan Status Posisi seseorang dalam suatu kelompok atau organisasi memiliki dampak yang besar terhadap interaksinya dengan orang lain baik di dalam maupun di luar kelompok. Akibatnya, perubahan status dapat menyebabkan kesepian. Misalnya, promosi dalam bisnis dapat memperlemah hubungan dengan mantan rekan, dan menciptakan kesepian sampai hubungan sebaya yang baru terbentuk.
b.
Perubahan Relasi Sosial yang diinginkan 1)
Perubahan terkait usia dalam kapasitas dan keinginan seseorang untuk hubungan sosial dapat menyebabkan kesepian. Sullivan (dalam Perlman dan Peplau, 1981) mengemukakan urutan perkembangan di mana anak-anak dari berbagai usia memiliki kebutuhan dan keterampilan sosial yang berbeda. Dalam pandangannya, kesepian pertama menjadi mungkin selama era pra-remaja, di mana "kebutuhan untuk keintiman" ditambahkan ke kebutuhan awal untuk kelembutan, untuk rekan-rekan dan untuk penerimaan.
2)
Perubahan Situasional Keinginan seseorang untuk bersama orang lain tidak konstan. Sebaliknya,
hal tersebut
sering tergantung pada tugas,
pengaturan fisik, suasana hati orang dan sejenisnya.
3)
Tingkat hubungan sosial yang diinginkan seseorang ditempa, sampai taraf tertentu, oleh ekspektasi tentang jenis hubungan yang mungkin atau mungkin dalam situasi tertentu.
C. Hubungan Antara Kesepian dengan Cyberloafing pada Karyawan Menurut Lim dan Chen (2012) cyberloafing adalah kegiatan yang dilakukan di dunia maya untuk aktivitas browsing dan emailing yang dilakukan ditempat kerja selama jam kerja berlangsung dimana aktivitas tersebut adalah aktivitas yang dapat mengurangi produktivitas karyawan yang akan mempengaruhi karyawan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Askew (2012) mendefinisikan cyberloafing sebagai perilaku yang muncul ketika seorang karyawan menggunakan komputer jenis apa saja (desktop, smartphone, tablet) di tempat kerja untuk aktivitas non-destruktif dimana perilaku tersebut dipandang tidak berhubungan dengan pekerjaan oleh atasannya. Tindakan cyberloafing pada karyawan dapat dilihat dari seberapa sering karyawan tersebut melakukan aktivitas cyberloafing yaitu aktivitas browsing dan aktivitas emailing dimana semakin sering karyawan melakukan aktivitas tersebut maka semakin tinggi tindakan cyberloafing yang dilakukan, sebaliknya semakin jarang karyawan melakukan aktivitas tersebut maka semakin rendah tindakan cyberloafing yang dilakukan (Lim & Chen, 2012). Lim (2002) menjelaskan bahwa cyberloafing adalah perilaku kerja yang counterproductive (Counterproductive Work Behavior) karena karyawan mengurangi tanggung jawab pekerjaan mereka ketika mereka terlibat dalam aktivitas pribadi di Internet saat jam kantor. Memproses informasi yang mengganggu di tempat kerja melalui situs web penjelajahan, mengunjungi
situs jejaring sosial, dan menerima serta mengirim e-mail pribadi menuntut kognitif yang berharga, yang menghabiskan sumber daya kognitif yang diperlukan untuk melakukan tugas di tempat kerja (Greenfield, dalam Lim & Teo, 2018). Salah satu pengguna jejaring sosial aktif yang lebih rentan akan perilaku cyberloafing adalah seseorang yang memasuki masa dewasa awal dimana berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa yang mandiri yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga yang menyebabkan hubungan dengan teman-teman semakin renggang (Andriani, Purwaningrum, Mariskha & Imawati, 2017). Keterlibatan dalam kegiatan sosial di luar rumah yang terus berkurang membuat individu dewasa awal memanfaatkan kehadiran situs jejaring sosial sebagai sarana alternatif untuk tetap berkomunikasi dengan teman-teman (Ardilasari & Firmanto, 2017). Lim & Teo (2018) mengatakan bahwa pada kehidupan pribadi dan pekerjaan, pengucilan sosial adalah hal yang lazim. Kebanyakan orang mengalami penolakan dan pengucilan oleh atasan, rekan kerja, atau anggota tim mereka. Lebih lanjut, pengucilan sosial menimbulkan kekurangan regulasi diri yang memunculkan perilaku kerja yang counterproductive. Mereka juga berpendapat bahwa fisiologis (insomnia) dan sumber daya sosial (kesepian) mengakibatkan berkurangnya pengaturan diri yang memotivasi orang untuk cyberloaf. Sumber daya sosial mengacu pada asosiasi individu ke jejaring sosial (Hobfoll, dalam Lim & Teo, 2018). Ketika kebutuhan sosial seseorang terancam oleh pengucilan sosial (yaitu ditolak oleh orang lain), terjadi
serangkaian perasaan kompleks, yang didefinisikan sebagai kesepian (dalam Lim & Teo, 2018). Hal ini juga sesuai dengan salah satu faktor yang menyebabkan karyawan melakukan cyberloafing yang dijelaskan oleh Ozler & Polat (2012), yaitu mengalami kesepian. Kesepian merupakan komponen dari faktor individual. Faktor yang menyebabkan individu melakukan cyberloafing menurut Ozler dan Polat (2012) diantaranya yaitu, yang pertama adalah faktor individual meliputi rasa malu, kesepian, isolasi atau pengasingan, kontrol diri, harga diri dan locus of control, kebiasaan dan adiksi internet, faktor demografis, intensi, norma sosial dan kode etik personal. Faktor kedua adalah organisasi, meliputi pembatasan penggunaan internet, hasil yang diharapkan, dukungan manajerial, pandangan rekan kerja tentang norma cyberloafing, sikap kerja karyawan dan karakteristik pekerjaan yang karyawan lakukan. Sedangkan faktor yang ketiga adalah situasional, meliputi kedekatan jarak ruangan karyawan dan kedekatan dengan atasan. Salah satu penyebab kesepian yang semakin meningkat di era digital saat ini adalah karena perkembangan teknologi yang begitu pesat, diantaranya yaitu teknologi sosial atau internet. Peningkatan penerapan teknologi telah berkontribusi pada pengembangan masyarakat modern secara keseluruhan dan mengubah banyak aspek kehidupan sehari-hari individu seperti interaksi sosial (Kaspar, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Amichai-Humberger & Ben-Artzi (2003) menunjukkan bahwa orang yang kesepian menggunakan internet lebih banyak daripada rekan-rekan mereka yang tidak atau kurang kesepian, hal ini dikarenakan orang-orang yang
merasa kesepian akan menghabiskan waktu mereka dengan menggunakan Internet. Non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, on-line loafing, internet deviance, problematic internet use, personel web usage at work, internet dependency, internet abuse, internet addiction dan internet addiction disorder merupakan berbagai istilah dan definisi yang digunakan untuk penggunaan internet pribadi (Kim & Bryne, 2011). Sedangkan istilah yang digunakan untuk pengguna internet di tempat kerja yaitu cyberloafing. Wakhidah & Adiyanti (2017) mengatakan bahwa seseorang yang sedang mengalami kesepian cenderung bermain handphone atau mengakses internet.
D. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kesepian dengan cyberloafing pada karyawan di Banda aceh.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan dan rumusan hipotesis penelitian maka variable dalam penelitian ini adalah: 1.
Variable terikat (dependent variable) : cyberloafing
2.
Variable bebas (independent variable) : kesepian
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1.
Cyberloafing Cyberloafing adalah aktivitas kegiatan yang dilakukan di dunia maya untuk aktivitas browsing dan emailing yang dilakukan ditempat kerja selama jam kerja berlangsung menggunakan komputer jenis apa saja untuk keperluan pribadi dan tidak berhubungan dengan pekerjaan. Cyberloafing diukur menggunakan skala Perilaku Cyberloafing yang disusun oleh Tarigan (2015) berdasarkan aktivitas cyberloafing menurut Lim dan Chen (2012). Skala ini terdiri dari 12 aitem dan terdiri dari pernyataan favorable. Skor total dari skala Perilaku cyberloafing akan menunjukkan perilaku cyberloafing pada karyawan. Perilaku cyberloafing dapat dilihat dalam tiga ketegorisasi yaitu tinggi, sedang dan rendah. Skor yang tinggi mengidentifikasikan individu sering melakukan perilaku cyberloafing. Skor yang sedang mengidentifikasi individu yang tidak sering
melakukan cyberloafing dan skor yang rendah mengidentifikasikan individu jarang hingga tidak pernah melakukan perilaku cyberloafing. 2.
Kesepian Kesepian adalah perasaan tidak menyenangkan yang berhubungan dengan ketidaksesuaian antara kebutuhan untuk akrab dengan orang lain atau keakraban personal dengan yang dicapai yang ditandai dengan kebosanan,
perasaan
terasingkan,
kegelisahan,
kecemasan
dan
kekosongan. Skala yang digunakan untuk mengukur kesepian adalah De Jong Gierveld Loneliness Scale dari De Jong Gierveld & Van Tillburg (2006) yang terdiri dari 6 butir aitem (favorable dan unfavorable). Perolehan skor dari skala tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi skor yang diperoleh, maka akan semakin tinggi tingkat kesepian pada individu. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka akan semakin rendah tingkat kesepian individu tersebut.
C. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan metode penelitian korelasi. Sugiyono (2013) mengatakan bahwa metode korelasi adalah metode penelitian yang menghubungkan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya disebut hubungan simetris yang berarti bahwa hubungan variabel yang satu tidak disebabkan oleh variabel lainnya (Noor, 2012). Model hubungan ini yaitu tanpa arah atau tidak meneliti pengaruh antar variabel. Pada hubungan simetris ini meneliti pola hubungan yang negatif atau positif antar variabelnya.
Pola hubungan positif ditunjukkan dengan semakin tinggi variabel X, maka semakin tinggi variabel Y, begitu pula sebaliknya (Noor, 2012).
D. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi merupakan wilayah generalisasi dari suatu subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013). Populasi pada penelitian ini adalah karyawan yang berada di Kota Banda Aceh yang berjumlah 4.307 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2018). Sampel penelitian adalah bagian dari jumlah dan karateristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2013). Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi karyawan yang bekerja di Banda Aceh, dimana peneliti menentukan jumlah sampel menggunakan Tabel Isaac dan Michael dengan tingkat kesalahan 5% dan signifikansi 95%, sehingga peneliti memperoleh jumlah sampel sebanyak 320 subjek. Teknik penentuan sampel pada penelitian menggunakan teknik Purposive Sampling. Teknik Purposive Sampling digunakan peneliti karena memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pengambilan sampelnya. Adapun yang menjadi karakteristik sampel penelitian adalah: a.
Laki-laki dan perempuan
b.
Karyawan yang bekerja di instansi pemerintahan, baik pekerja PNS maupun Kontrak.
c.
Menggunakan fasilitas untuk mengakses internet seperti komputer kantor/pribadi, tablet atau handphone pribadi
d.
Menggunakan akses internet melalui wifi kantor maupun jaringan internet pribadi
E. Metode Pengumpulan Data 1.
Instrumen Alat Ukur a. Skala Cyberloafing Alat ukur yang digunakan untuk mengukur cyberloafing menggunakan skala Perilaku Cyberloafing yang disusun oleh Tarigan (2015) berdasarkan aktivitas cyberloafing menurut Lim dan Chen (2012). Skala Perilaku Cyberloafing terdiri dari 12 aitem. Skala Perilaku Cyberloafing ini menggunakan model skala Likert dengan 5 pilihan jawaban yaitu “Tidak Pernah” (TP) diberi nilai 1, “Jarang” (JR) diberi nilai 2, “Kadang-kadang” (KK) diberi nilai 3, “Sering” (S) diberi nilai 4, dan “Sangat Sering” (SS) diberi nilai 5. Hasil dari skala Perilaku Cyberloafing diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh skor pada skala Perilaku Cyberloafing. Adapun sebaran aitem skala Perilaku Cyberloafing dapat dilihat dari tabel 3.1 berikut: Table 3.1 Blue print Skala Perilaku Cyberloafing Variable Skala Perilaku Cyberloafing
Indikator Browsing activities Emailing activities Total Aitem
Butir Aitem Favorable 1, 2, 3, 5, 6,7, 8, 9 10, 11, 12
Jumlah Aitem 9 3 12
b. Skala Kesepian Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kesepian adalah De Jong Gierveld Loneliness Scale dari De Jong Gierveld & Van Tillburg (2006) yang terdiri dari 6 aitem dengan 3 alternatif jawaban yaitu “Ya”, “Lebih atau Kurang”, dan “Tidak”. Adapun sebaran aitem De Jong Gierveld Loneliness Scale dapat dilihat dari tabel 3.2 berikut: Table 3.2 Blue print De Jong Gierveld Loneliness Scale Dimensi Emotional Loneliness Social Loneliness
2.
Butir Aitem Favorable Unfavorable 1, 2, 3
Jumlah aitem 3
4, 5, 6
3
Total Aitem
6
Prosedur Penelitian a.
Persiapan ALat Ukur Penelitian Tahapan pertama yang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian yaitu mempersiapkan alat ukur untuk pengumpulan data penelitian.
Dalam
penelitian
ini
data
dikumpulkan
dengan
menggunakan 2 skala yaitu Perilaku Cyberloafing dan De Jong Giervield Loneliness Scale. Skala Perilaku Cyberloafing disusun oleh Tarigan (2015) berdasarkan aktivitas cyberloafing menurut Lim & Chen (2012) yang terdiri dari 12 butir aitem dan De Jong Giervield Loneliness Scale yang diadaptasi dari De Jong & Van Tillburg (2006) yang akan diterjemahkan terlebih dahulu dalam versi bahasa
Indonesia pada setiap butir pernyataannya. Kedua skala tersebut kemudian divalidasi melalui tahapan expert review yang bertujuan untuk melihat apakah skala tersebut sesuai digunakan pada penelitian ini dan memeriksa pernyataan-pernyataan yang mudah dipahami oleh calon responden serta untuk melihat keakuratan setiap pernyataan yang diterjemahkan dari skala versi bahasa Inggris.
b.
Administrasi dan Pelaksanaan Uji Coba (Try Out) Alat ukur Administrasi alat ukur skala Perilaku Cyberloafing dan De Jong Giervield Loneliness Scale dilakukan dengan menyiapkan, mencetak dan memperbanyak kedua alat ukur yang akan digunakan untuk melakukan uji coba (try out) dan akan diberikan langsung kepada para karyawan sesuai dengan karakteristik sampel pada penelitian ini. Diharapkan agar seluruh karyawan dapat mengisi seluruh pernyataan yang ada pada skala disertai dengan menuliskan biodata singkat yang tertera dilembar skala dan office hours, sesuai dengan instruksi yang diberikan. Selanjutnya, skala yang telah diisi oleh responden akan dilakukan skoring untuk menguji reliabilitas dari skala Perilaku Cyberloafing dan De Jong Giervield Loneliness Scale.
c.
Pengumpulan Data Penelitian Secara keseluruhan, proses pengumpulan data penelitian dilakukan selama kurang lebih 7 hari. Proses pengumpulan data dilakukan dengan membagikan skala kepada karyawan sesuai karakteristik yang telah ditentukan.
F. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Alat Ukur Validitas skala adalah sejauhmana skala tersebut menghasilkan data yang akurat (tepat) dan cermat sesuai dengan fungsi dan ukurannya. Suatu tes atau instrument pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sebaliknya tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2013).
2. Reliabilitas Alat Ukur Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauhmana hasil suatu pengukuran konsisten dengan pengukuran-pengukuran sebelumnya (Azwar, 2013). Tes yang reliabel adalah tes yang memiliki konsistensi tinggi di antara komponen-komponen. Uji reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat konsistensi internal dari setiap variabel yaitu koefisien Cronbach Alpha. Suatu alat ukur dapat disebut reliabel apabila memiliki korelasi minimal α > 0.070 (Azwar, 2003).
G. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan tergantung pada distribusi data penelitian yaitu menggunakan analisis dengan metode parametrik atau
nonparametrik. Menurut Priyatno (2011) apabila data terdistribusi normal maka analisis data meggunakan teknik parametrik yaitu Person Product Moment Correlation. Jika data tidak terdistribusi normal maka analisis data meggunakan teknik nonparametrik yaitu Spearman Brown Formula. Analisi data ini dioperasikan menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS Versi 22.0 for Windows.