Bab Ii Edit_4.docx

  • Uploaded by: Muhammad Gofur Lubis
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Edit_4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,087
  • Pages: 22
4

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Penelitian Berikut ini penulis secara singkat memaparkan beberapa karya tulis yang menjadi

bahan

acuan

penulis

dalam

penelitian

ini

dan

dalam

penyusunannya. Beberapa diantaranya sebagai berikut : Arruya Ashadiqa, 2016 : Judul Penelitian “Studi Perencanaan Tambang Bauksit di Bukit 7 dan Bukit 21 PT. ANTAM (Persero) Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Bauksit Tayan, Kalimantan Barat” Penulis membahas tentang lereng, desain pentahapan tambang, penyaliran tambang, dan kebutuhan alat. Berdasarkan penelitiannya tinggi satu jenjang 6 meter, single slope 60º dan overall slope 43º lebar jenjang 8 meter. Tahapan penambangan dibuat untuk 19 bulan dengan target produksi perbulan 65.000 ton Whasing Bauxite (WBX). Terdapat 2 sarana penyaliran yaitu paritan dan sediment pont

dan peralatan yang digunakan atas dozer,

excavator, wheel loader, articulated dump truck dan dump truck. Rata-rata alat yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi bijih adalah 2 excavator, 3 articulated dump truck, dan 5 dump truck. Julhefry Maroan, 2016 : Judul penelitian “Rancangan penambangan batubara di Pit Bima pada PT Bumi Mulawarman Persada pada Jobsite KBB Kec. Loan Janan Kab. Kutai Kertanegara Provinsi Kalimantan Tengah”.

4

5

Penulis membahas tentang pemodelan batubara, perancangan pit dan tahapan penambangan. Berdasarkan penelitiannya didapat hasil pemodelan batubara adalah 4 seam yaitu seam 1, seam 2, seam 3, seam 4, dengan kemiringan berkisar 7-10º dengan ketebalan 1,6-6,1 meter. Perancangan berdasarkan hasil rekomendasi geoteknik dengan tinggi jenjang 10 meter, lebar jenjang 4 m, slope 45. Geometri jalan angkut 1 jalur 5 meter dan untuk 2 jalur itu 9 meter, lebar jalan angkut untuk tikungan 6 meter satu jalur, 13 meter untuk 2 jalur. Jumlah cadangan batubara 2.014.192 ton dengan volume 8.200.630 bcm. Dengan SR 1:4. 2.2

Genesa Bauksit Bauksit merupakan bijih utama aluminium yang terdiri dari aluminium oksida dan hidroksida. Bauksit pertama kali ditemukan di tahun 1821 di Les Baux, oleh karna itu penamaannya adalah bauxite atau bauksit.Mineral bauksit merupakan mineral yang tersusun dari mineral anorganik, dimana merupakan senyawa kimia yang terbentuk secara alami. Secara umum bauksit mengandung Al2O3 sebanyak 45 – 65%, Silikon dioksida (SiO2) 1 – 12%, Ferioksida (Fe2O3) 2 – 25%, TiO2 >3%, dan H2O 14 – 36%. Bauksit terbentuk dari batuan yang mengandung Al. Batuan tersebut antara lain nepheline, syenit, granit, andesit, dplerite, gabbro, basalt, hornfels, schist, slate, kaolinite, shale, limestone, dan phonolite. Apabila batuan-baruan tersebut mengalami pelapukan, mineral yang mudah larut

6

akan terlarutkan, seperti mineral mineral alkali, sedangkan mineral mineral yang tahan pelapukan akan terakumulasikan. Bauksit terbentuk dari batuan yang mempunyai kadar alumunium nisbi tinggi, kadar Fe rendah dan tidak atau sedikit mengandung kuarsa (SiO2) bebas atau tidak mengandung sama sekali. Secara microskopis bauksit berbentuk amorf. Bauksit dapat ditemukan di lapisan mendatar dengan kedalaman tertentu. Di daerah tropis dengan kondisi tertentu batuan yang terbentuk dari mineral silikat dan lempung akan terpecah-pecah dan silikatnya terpecah sedangkan oksida alumunium dan oksida besi terkonsentrasi menjadi residu. Proses ini terus berlangsung dengan waktu yang lama dan terhindar dari erosi, akan mengasilkan endapan lateritic. Kandungan alumunium yang tinggi di batuan asal bukan merupakan syarat utama dalam pembentukan bauksit, tetapi yang lebih penting adalah intensitas dan lamanya lateririsasi. Kondisi utama yang memungkinkan terjadinya endapan bauksit secra optimum adalah : 1. Adanya batuan yang mudah larut dan menghasilkan batuan sisa yang kaya alumuniaum. 2. Ada vegetasi dan bakteri yang mempercepat proses pelapukan. 3. Porositas batuan yang tinggi, sehingga sirkulasi air berjalan dengan mudah. 4. Adanya pergantian musim (cuaca) hujan dan kemarau. 5. Ada bahan yang tepat untuk pelarutan.

7

6. Bentuk permukaan yang rata, dimana memungkinkan terjadinya pergerakan air dengan tingkat erosi minimum. 7. Waktu yang cukup untuk terjadinya proses pelapukan.

2.2.1 Karakteristik dan sifat Bauksit Bauksit adalah batuan sedimen, sehingga tidak memiliki rumus kimia yang tepat. Hal ini terutama terdiri dari mineral alumina yang terhidrasi seperti gibbsite Al(OH)3 atau Al2O3.3H2O dalam deposit (endapan) tropis yang lebih baru, atau keadaan subtropis, endapan bauksit memiliki mineral utama boehmite γ-AlO(OH) atau Al2O3.H20 dan beberapa diaspore α-AlO(OH) atau Al2O3.H20. Sifat dan kualitas endapan bauksit dicirikan dengan banyaknya kandungan persen (%) Al2O3 dan SiO2, serta sedikit Fe2O3 dan TiO2. Bijih bauksit merupakan mineral oksida yang sumber utamanya adalah : 1.

Al2O3.3H2O, gibbsite yang sifatnya mudah larut.

2.

Al2O3.3H2O, boehmite yang sifatnya susah larut dan diaspore tidak larut.

2.2.2 Bentuk dan Penyebaran Endapan Endapan bauksit laterit umumnya terbentuk pada daerah dengan iklim tropis sampai subtropis. Pada umumnya bentuk endapan bauksit laterit

ini

akan

menempati

morfologi

dengan

perbukitan

bergelombang, yang memungkinkan terjadinya pelapukan yang sangat

8

kuat. Endapan bauksit tersebar secara horizontal / lateral ditutupi oleh lapisan overburden dengan ketebalan rata-rata 1.45-4.35 m dan tebal dari endapan bauksitnya 1.35-4.65 m. Penyebaran endapan bauksit ditemukan tersebar dan umumnya dijumpai pada bukit-bukit kecil yang memiliki morfologi landai. Perbukitan terjal dan dataran aluvial jarang ditemukan endapan bauksit.

Gambar 2.1 Profil Endapan Bauksit

2.3

Perhitungan Cadangan Menurut Mc. Kelvey yang dimaksud dengan cadangan (reserve) adalah bagian dari sumber daya terindikasi dari suatu komoditas mineral yang dapat diperoleh secara ekonomis dan tidak bertentangan dengan hukum dan kebijaksanaan pemerintah pada saat itu. Suatu cadangan dengan mineral biasanya digolongkan berdasarkan ketelitian eksplorasinya.

9

Kriteria dan klasifikasi sumberdaya dapat dijelaskan dengan pengadopsian data klasifikasi dari Standar Nasional Indonesia (1999). Adapun kelas sumberdaya (resource) berdasarkan klasifikasi antara lain sebagai berikut : a) Sumberdaya hipotetik (hypothetical resource): Jumlah bauksit di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap survey tinjau. b) Sumberdaya tereka (inferred resource): Jumlah bauksit didaerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap prospeksi. c) Sumberdaya terindiksi (indicated resource): Jumlah bauksit di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan. d) Sumberdaya terukur (measured resource): Jumlah bauksit di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci. Klasifikasi cadangan menurut US Berau Of Mine and US Geological Survey (USBM and USGS) dan usulan Mc. Kelvey, 1973 sebagai berikut: a) Cadangan terukur adalah cadangan yang kuantitasnya dihitung

10

dari pengukuran nyata, misalnya dari pemboran, singkapan dan paritan, sedangkan kadarnya diperoleh dari hasil analisa contoh. Jarak titik-titik pengambilan contoh dan pengukuran sangat dekat dan terperinci, sehingga model geologi endpan mineral dapat diketahui dengan jelas. Struktur, jenis , komposisi, kadar, ketebalan, kedudukan, dan kelanjutan endapan mineral

serta

batas penyebarannya dapat ditentukan dengan tepat. Batas kesalahan perhitungan baik kuantitas maupun kualitas tidak boleh lebih dari 20%. b) Cadangan terkira adalah cadangan yang jumlah tonase dan kadarnya

sebagian diperoleh

dari

hasil

perhitungan

pemercontohan dan sebagian lagi dihitung sebagai proyeksi untuk jarak tertentu berdasarkan keadaan geologi setempat titiktitik pemercontoh dan pengukuran jaraknya tidak perlu rapat sehingga struktur, kadar, ketebalan, kedudukan, dan kelanjutan endapan mineral serta batas penyebarannya belum dapat dihitung secara tepat dan baru disimpulkan/dinyatakan berdasar indikasi. Batas kesalahan baik kuantitas maupun kualitas 20% - 40%. c) Cadangan

terduga

adalah

cadangan

yang

kuantitasnya berdasarakan pengetahuan endapan

mineral,

serta

batas

diperhitungkan

geologi,

dari

kelanjutan

penyebaran.

Ini

diperhitungkan dari beberapa titik contoh, sebagian besar perhitungannya

didasarkan kepada

kadar

dan

kelanjutan

11

endapan

mineral

yang

mempunyai

ciri

endapan

sama.

Toleransi penyimpangan kesalahan terhadap perhitungan cadangan adalah 60%.

2.4

Desain Pit Penambangan adalah kegiatan yang dilakukan dalam mengeksploitasi bijih (ore) yang terdiri dari kegiatan ore getting dan hauling ore. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi target produksi sesuai dengan parameter target produksi yang telah ditetapkan. Sebelum membuat desain pit ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, misalnya : 1. Pit limit 2. Arah penambangan 3. Jalan hauling dan ramp 4. Geometri pit Tahapan penambangan merupakan bentuk-bentuk penambangan (mineable geometris) yang menunjukkan bagaimana suatu pit akan ditambang dari titik awal masuk hingga bentuk akhir pit. Tujuan dari pentahapan penambangan adalah untuk menyederhanakan seluruh volume yang ada dalam overall pit ke dalam unit – unit pit penambangan yang lebih kecil, sehingga memudahkan penanganannya. Dalam

merancang

diperhitungkan,

tahapan

karena

penambangan,

waktu

merupakan

parameter

waktu

harus

parameter

yang

sangat

12

berpengaruh

dalam

suatu

penjadwalan

tambang

untuk

dapat

mengoptimalkan target produksi. Tahapan penambangan yang dirancang dengan baik akan memberikan akses ke semua daerah kerja dan menyediakan ruang kerja yang cukup untuk beroperasi perlatan kerja dan menyediakan ruang kerja yang cukup untuk operasi peralatan kerja tambang secara efesien ( Adisoma, 2002 ).

2.5

DesainTambang Terbuka 2.5.1 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Geometri Jenjang 1.

Produksi Salah satu tujuan penentuan dimensi jenjang adalah harus dapat menghasilkan produksi yang diinginkan, maka jenjang yang akan dibuat perlu mempertimbangkan target produksi yang diinginkan. Pada umumnya jumlah produksi menentukan dimensi jenjang yang akan dibuat, artinya akuratnya ukuran jenjang tergantung target produksi

2. Kondisi Material Kondisi material/batuan yang ada dapat menentukan peralatan yang harus digunakan sehingga kegiatan yang sesuai untuk produksi yang dikerjakan dapat ditentukan. Kondisi batuan yang lebih dominan antara lain kekuatan batuan, faktor pengembangan, densitas batuan, struktur geologi yang ada. Berdasarkan kondisi material tersebut dapat membantu memperkirakan peralatan

13

produksi yang digunakan. Pada material lunak, penggalian dapat langsung dilakukan pada permukaan material (permukaan kerja), maka jarak dan ketinggian penggalian perlu diperhitungkan dalam memperkirakan lebar dan tinggi jenjang. 3. Peralatan Produksi Pada umumnya peralatan produksi yang akan digunakan/dipilih disesuaikan dengan kapasitas produksi yang diinginkan dan sesuai material yang akan dikerjakan. Dengan pertimbangan tersebut, dimensi jenjang mempunyai kondisi kerja yang baik, dimana hal ini akan mempengaruhi effisiensi kerja.

2.5.2 Geometri Jenjang Geometri jenjang terdiri dari tinggi jenjang (bench height), sudut lereng jenjang tunggal (face angle),

lebar jenjang (bench width).

Rancangan geometri jenjang biasanya dinyatakan dalam bentuk parameter-parameter untuk ketiga aspek ini. Dalam operasi di pit, pengontrolan sudut lereng biasanya dilakukan dengan menandai lokasi pucuk jenjang (crest) yang diinginkan menggunakan bendera kecil. Dimensi jenjang yang diperhitungkan meliputi lebar, panjang, tinggi jenjang. Ukuran panjang dan lebar jenjang ditentukan oleh metode penambangan material (mengunakan alat mekanis atau peledakan), kemampuan alat muat, pola gerak alat muat dan alat angkut maupun letak alat muat dan alat angkut yang digunakan dalam waktu

14

bersamaan pada saat penambangan serta sasaran produksi serta pemanfaatan

lahan

bekas

tambang.

Dimensi

jenajang

akan

mepengaruhi jumlah bahan galian yang dapat ditambang dan berpengaruh pada kesetabilan lereng serta keamanan tambang Beberapa faktor pertimbangan dalam pembuatan geometri : 1) Kemiringan Jenjang (Batter) Pada awalnya sebuah desain pit dibuat dengan overall slope sebesar 45o dan kemudian dimodifikasi berdasarkan informasi geoteknik dari material yang ada dalam pit tersebut. Batter dapat diatur pada kemiringan 30o – 35o untuk overburden, meningkat 35o - 40o untuk batuan yang lapuk dan hingga 55o untuk batuan fresh. Menurut Robert, Hook dan Fish (1972) sebaiknya kemiringan lereng kurang dari 60o pada kedalaman 65 m dan kurang dari 40o pada kedalaman 300 m.

Gambar 2.2 Bagian-Bagian Jenjang Sumber : W. Hustrulid, “Open Pit Mine Planning & Design”, 1995

2) Tinggi Jenjang

15

Tinggi jenjang adalah jarak yang diukur tegaklurus dari lantai jenjang (toe) hingga ujung jenjang bagian atas ( crest). Tinggi jenjang yang dibuat sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan mekanik batuan, rencana dimensi bongkaran serta peralatan mekanis yang digunakan. Ketinggian jenjang berbeda-beda untuk setiap pit. Tergantung pada peralatan yang digunakan, kedalaman pit dan pada geologi lokal atau derajat iklimnya. Lereng pada overburden yang lemah atau tidak terkonsolidasi, atau pada tanah yang terekpos, relatif lebih tipis, kurang lebih 2 - 5m. sebuah survey yang dilakukan Canadian Mining Journey (1988) menunjukan bahwa untuk range yang lebar dari beberapa badan bijih, lereng-lereng bervariasi tingginya 6-20 m pada operasi tambang yang besar, yang berproduksi 10.000 ton/hari penambangan padat dioperasikan pada lereng dengan ketinggian 9 m. Pada continental pit, Butte, Montana, terdapat lereng berketinggian 12 m pada alluvium hingga 24 m pada batuan kompeten. Operasi-operasi tambang yang lebih kecil biasanya menggunakan lereng dengan ketinggian 6 – 8 m. Montana, terdapat lereng berketinggian 12 m pada alluvium hingga 24 m pada batuan kompeten. Operasi-operasi tambang yang lebih kecil biasanya menggunakan lereng dengan ketinggian 6 – 8 m. 3) Permukaan Lereng (Berm Face)

16

Permukaan lereng dapat dibedakan menurut jenis dari lereng tersebut. misalnya sebuah lereng aktif atau lereng kerja (working Bench) dapat menggunakan

pedoman stabilitas jangka pendek

yaitu lereng dapat dibuat relatif lebih terjal. Namun untuk lereng permanen, pertimbangan utama yang digunakan adalah jangka panjang. Permukaan lereng dapat di tentukan dan dicapai dengan pemilihan alat yang tepat. 4) Lebar Berm Lebar jenjang adalah jarak horizontal yang digunakan dari ujung lantai jenjang sampai batas belakang jenjang. Lebar minimum yang akan dibuat harus dapat menampung hasil bongkaran/peledakan dan peralatan yang digunakan. Lebar jenjang disesuaikan dengan ultimate slope dan single slope pada ketinggian yang ditentukan. Namun jika pit semakin dalam, maka lebar jenjang juga semakin lebar. Berm dapat pula merefleksikan ukuran deposit. Lebar dari jalan angkut yang umunya mengikuti berm, ditentukan oleh ukuran truk yang digunakan, yang relatif terhadap ukuran deposit dan kapasitas produksi yang diharapkan. Lebar jenjang minimum sangat dipengaruhi a. Jenis dan kemapuan alat b. Posisi kerja peralatan yang sedang beroperasi dilantai yang sama c. Pemanfaatan lahan bekas penambangan d. Kapasitas produksi yang akan dipakai.

17

Bagian jenjang adalah sebagai berikut: a. Crest dan Toe Crest adalah bagian paling atas dari satu jenjang dan biasa disebut sebagai puncak suatu jenjang, sedangkan toe adalah batas paling bawah dari satu jenjang atau kaki jenjang.

Gambar 2.3 Bagian-bagian jenjang Sumber : hook and fish 1972 b. Jenjang kerja (work bench)

Gambar 2.4 Lereng kerja Sumber : hook and fish 1972 c. Sudut Lereng Inter-ramp dan overall

18

Sudut lereng antar jalan (inter-ramp slope angle) adalah sudut lereng gabungan beberapa jenjang dianta dua jalan angkut. Sudut lereng keseluruhan (overall slope angle) adalah sudut sebenernya dari dinding pit keseluruhan

dengan meperhitungkan jalan

angkut, jenjang penangkap dan semua profil lain dinding jenjang. Berikut ini adalah definisi overall slope dan interramp slope angle 1) Overall slope angle Slope angle merupakan sudut kemiringan dari seluruh jenjang yang dibuat pada front pemambangan. Kemiringan ini di ukur dari crest paling atas sampai dengan toe paling akhir dari front penambangan.

Gambar 2.5 Overall slope angle Sumber : hook and fish 1972 2) Overall slope angle with ramp Pengertiaannya sama, namun pada bagian pertengahan Overall slope diberi salah satu jenjang yang dimensi ukurannya lebih lebar dan digunakan sebagai jalan angkut

19

Gambar 2.6 Overall slope angle with ramp Sumber : hook and fish 1972

3) Inter slope ramp Inter ramp slope angle merupakan sudut yang berada diantara ramp yang diukur dari crest sampai dengan toe pada ramp.

Gambar 2.7 Inter slope ramp Sumber : hook and fish 1972

4) Inter-ramp slope angle Kemiringan jenjang diukur dari crest pada bench yang sejajar jenjang kerja sampai toe.

20

Gambar 2.8 Inter-ramp slope angle Sumber : hook and fish 1972 5) Overall slope angle dengan working bench dan ramp Kemiringan sudutnya diukur dari crest jenjang yang terletak diatas jenjang kerja sampai toe pada jenjang paling akhir.

Gambar 2.9 Overall slope angle dengan working bench dan ramp Sumber : hook and fish 1972

6) Inter ramp slope angle dengan working bench dan ramp Kemiringan jenjang diukur dari masing-masing crest dan toe pada working bench dan ramp

21

Gambar 2.10 Inter ramp slope angle dengan working bench dan ramp Sumber : hook and fish 1972 7) Overall slope angle dengan dua working bench Overall slope yang pada beberapa (dua) bagian jenjangnya diguanakan sebagai working bench. Kemiringan sudutnya diukur dari crest paling atas sampai toe paling bawah dari jenjang yang ada.

Gambar 2.11Overall slope angle dengan dua working bench Sumber : hook and fish 197

2.6

Dasar Perancangan Jalan Tambang Jalan tambang umumnya merupakan akses dari front produksi ore ke dump point. Faktor topografi merupakan pertimbangan utama untuk

22

membuat rancangan ramp. Lebar jalan biasanya tergantung pada lebar alat angkut biasanya 4 kali lebar truk. Dengan lebar jalan diatas memungkinkan lalu lintas dua arah, ruangan untuk truk menyusul juga cukup untuk selokan penyaliran dan tanggul pengamanan. Kemiringan jalan angkut didalam tambang biasanya dirancang pada kemiringan 8 % atau 10 %. Rancangan kemiringan jalan untuk tambangtambang besar umunya sekitar 8 %.

2.6.1 Geometri Jalan Tambang Pada pengertiannya, geometri jalan tambang yang memenuhi syarat adalah bentuk dan ukuran-ukuran dari jalan tambang tersebut sesuai dengan tipe (bentuk, ukuran dan spesifikasi) alat angkut yang digunakan dan kondisi medan yang ada sehingga dapat menjamin serta menunjang segi keamanan dan keselamatan operasi pengangkutan. Geometri jalan tersebut merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi. a. Lebar pada jalan lurus Penentuan lebar jalan angkut minimum untuk jalan lurus didasarkan pada “rule of thumb” yang dikemukakan “Aasho Manual Rural Highway Design”,menurut Indonesianto, 2005 adalah : L = n.Wt + (n+1)(1/2.Wt)

Keterangan :

23

L = Lebar jalan angkut minimum, meter n

= Jumlah jalur

Wt = Lebar alat angkut (total), meter.

Gambar 2.12. Sayatan melintang lebar jalan angkut b. Lebar pada jalan tikungan Lebar jalan angkut pada tikungan selalu lebih besar dari pada lebar pada jalan lurus. Untuk jalur ganda, lebar minimum pada tikungan dihitung dengan mendasarkan pada : 1. Lebar jejak ban. 2. Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang pada saat membelok. 3. Jarak antara alat angkut pada saat bersimpangan. 4. Jarak (spasi) alat angkut terhadap tepi jalan. Perhitungan terhadap lebar jalan angkut pada tikungan atau belokan dapat menggunakan rumus : W = n (U + Fa + Fb + Z) + C

24

C = Z = ½ (U + Fa + Fb) Sumber : Indonesianto, 2005 : III-58

Keterangan : W

= Lebar jalan angkut pada tikungan (meter)

N

= Jumlah jalur

U

= Jarak jejak roda kendaraan (meter)

Fa

= Lebar juntai depan (meter) (dikoreksi dengan sinus sudut belok roda depan)

Fb

= Lebar juntai belakang (meter) (dikoreksi dengan sinus sudut belok roda depan)

Ad

= Jarak as roda depan dengan bagian depan “truck”, (meter)

Ab

= Jarak as roda belakang dengan bagian belakang “truck”, (meter)

α

= Sudut penyimpangan (belok) roda depan

C

= Jarak antara dua “truck” yang akan bersimpangan, (meter)

Z

= Jarak sisi luar “truck” ke tepi jalan, (meter)

Untuk menghitung bagian-bagian pada lebar pada jalan tikungan dapat dilihat pada Gambar 2.13.



Gambar 2.13 Lebar Jalan Pada Tikungan

25

a. Kemiringan Jalan Angkut Kemiringan atau “grade” jalan angkut merupakan satu faktor penting yang harus diamati secara detail dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang tersebut. Hal ini dikarenakan kemiringan

jalan

angkut

berhubungan

langsung

dengan

kemampuan alat angkut, baik dari pengereman maupun dalam mengatasi tanjakan. Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%). Dalam pengertiannya, kemiringan (α) 1 % berarti jalan tersebut naik atau turun 1 meter atau 1 ft untuk setiap jarak mendatar sebesar 100 meter atau 100 ft. Kemiringan (grade) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

grade (α) =

∆h ∆x

keterangan : Δh = beda tinggi antara dua titik yang diukur Δx = jarak datar antara dua titik yang diukur Secara umum kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik oleh alat angkut besarnya berkisar antara 8 % – 10 %. Akan tetapi untuk jalan naik maupun turun pada bukit, lebih aman kemiringan jalan maksimum sebesar 8 %.

Related Documents

Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48
Bab Ii
June 2020 44
Bab Ii
October 2019 82

More Documents from "Mohamad Shodikin"

Kartu Kis.xlsx
August 2019 37
Bab Ii Edit_4.docx
August 2019 22
Bab Ii Edit_2
August 2019 24
Bab Geologi Reginal
August 2019 21