Bab I.docx

  • Uploaded by: Aprillia Lipoeto
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,543
  • Pages: 25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) semakin penting dan menjadi standar yang harus dilengkapi dalam dunia kerja di era globalisasi ini, dalam upaya pengoptimalan proses kerja serta upaya meminimalisir faktor resiko dari seluruh proses kerja. Keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja. Penerapan K3 yang baik dapat membuat para tenaga kerja merasa aman dan nyaman saat bekerja sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dan dengan sendirinya akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan kualitas hasil kerjanya. Setiap tempat kerja memiliki potensi bahaya yang beragam yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja dan dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Pada umumnya potensi bahaya berasal dari beberapa aspek yaitu aspek teknis, aspek lingkungan, dan aspek manusia atau pekerja itu sendiri (SafetySite, 2017). Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia no.5 tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas tenaga kerja, salah satunya adalah faktor ergonomi yaitu disebabkan oleh ketidaksesuaian antara fasilitas kerja yang meliputi cara kerja, posisi kerja, alat kerja, dan beban angkat terhadap tenaga kerja. Menurut data dari International Labour Organization (ILO), bahwa setiap tahun ada lebih dari 250 juta kecelakaan di tempat kerja, lebih dari 160 juta pekerja yang mengalami sakit karena bahaya di tempat kerja dan 1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja (ILO, 2013). Keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan yang dirasakan seseorang pada bagian-bagian otot skeletal apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama mulai dari keluhan ringan sampai sangat sakit (Tarwaka, 2015). The Bureau of Labour Statistics (BLS) Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat melaporkan bahwa jumlah penyakit akibat kerja berupa MSDs selama tahun

2007 sebesar 29% dibandingkan penyakit akibat kerja lainnya dan data EODS (Eurostat figures on recognised occupational diseases) tentang penyakit akibat kerja di Eropa pada tahun 2005, MSDs menempati urutan pertama yaitu sebesar 38,1%. Dan sebuah survey yang juga dilakukan pada pekerja di Eropa mengatakan bahwa 24,7% pekerja mengeluh sakit punggung, 22,8% nyeri otot, dan 45,5% dilaporkan bekerja pada keadaan nyeri dan lelah dimana 35% diantaranya bekerja dengan beban berat (Anissa dalam Tumuju 2016). Hasil studi departemen kesehatan tetang profil masalah kesehatan di Indonesia tahun 2005 menunjukan bahwa sekitar 40,5% penyakit yang diderita pekerja berhubungan dengan pekerjaanya dan keluhan muskuloskeletal menempati posisi paling tinggi yaitu 16% (Nusa dkk dalam Killa 2016). Tingginya angka penderita keluhan Muskuloskeletal di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh sikap kerja yang tidak baik dalam melaksanakan pekerjaan. Sikap kerja yang tidak alamiah dapat menimbulkan berbagai keluhan pada sistem otot rangka. Petugas pengangkut sampah merupakan golongan yang rentan terkena penyakit MSDs ini, dimana sebagian besar pekerjaan pengumpulan sampah di Indonesia khususnya di Kota Bitung adalah dikerjakan tanpa alat yang mengharuskan para pengangkut sampah terpaksa melakukan aktivitas angkat-angkut secara manual, yaitu menggunakan tubuh sebagai alat angkut seperti mengangkat ataupun memikul tong sampah kemudian dipindahkan ke truk sampah untuk dibawah ke tempat pembuangan akhir (TPA). Dinas Lingkungan Hidup merupakan instansi yang memegang peranan penting dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk didalamnya terkait pengangkutan sampah. Kinerja para pekerja pengangkut sampah menjadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup begitupun risiko kesehatan yang dapat menyerang pekerja yang disebabkan oleh aktivitas kerja mereka. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Larono (2017) pada buruh angkut di pelabuhan laut Manado, diperoleh hasil bahwa dari 56 sampel yang diteliti, teridentifikasi adanya keluhan muskuloskeletal rendah sebanyak 26,8%, kategori sedang sebanyak 71,4%, dan kategori tinggi 1,8%. Sudah ada banyak studi

mengenai sampah dan pengolahannya, akan tetapi masih sedikit perhatian pada studi mengenai bahaya yang akan terjadi pada pekerja pengangkut sampah. Berdasarkan survei awal dan pengamatan peneliti terhadap beberapa pekerja pengangkut sampah yaitu pekerja sering tidak memperhatikan sikap kerja dalam mengangkat tong sampah untuk memindahkan sampah ke mobil truk serta mengabaikan keselamatan saat bekerja. Berdasarkan latar bekalang di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai Hubungan antara Sikap Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Pekerja Pengangkut Sampah di Kota Bitung. 1.2 Rumusan Masalah Aktifitas pekerja pengangkut sampah yang dilakukan dengan sikap kerja yang tidak sesuai dan pekerjaannya dilakukan berulang dan dalam jangka waktu yang panjang. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik mengambil penelitian tentang Hubungan antara sikap kerja dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja pengangkut sampah di Kota Bitung. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk menganalisis sikap kerja dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja pengangkut sampah di Kota Bitung. a.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran sikap kerja pekerja pengangkut sampah di kota Bitung 2. Untuk mengetahui gambaran keluhan musculoskeletal pada pekerja pengangkut sampah di Kota Bitung 3. Untuk menganalisis hubungan sikap kerja dengan keluhan musculoskeletal disorder pada pekerja pengangkut sampah di Kota Bitung 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1

Bagi Instansi Dapat memberikan informasi dan tambahan pengetahuan mengenai penyebab keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja, agar instansi dapat lebih meningkatkan upaya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi para karyawan.

1.4.2

Bagi Fakultas Sebagai bahan masukan untuk pengembangan pengetahuan tentang keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) dalam bidang ilmu K3 dan mahasiswa bidang minat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan dapat dijadikan perbandingan untuk peneliti selanjutnya.

1.4.3

Bagi Peneliti Dapat mengembangkan kemampuan penulis dalam mengaplikasikan ilmu yang diterima selama mengikuti perkuliahan dan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penulis.

1.4.4

Bagi Pekerja Sebagai bahan masukan bagi pekerja tentang keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) dan untuk meningkatkan kesadaran pekerja sehingga produktivitas pekerja dapat meningkat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sikap Kerja 2.1.1

Pengertian Sikap Kerja

Sikap kerja adalah tindakan yang diambil pekerja dan segala sesuatu yang harus dilakukan pekerja yang hasilnya sebanding dengan usaha yang dilakukan (Purwanto, 2008). Pada saat bekerja perlu diperhatikan dimana sikap kerja harus dalam keadaan seimbang agar dapat bekerja dengan nyaman dan produktif. Sikap kerja yang salah dan tidak ergonomis bila dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada tenaga kerja antara lain: 1. Rasa sakit pada bagian-bagian tubuh tertentu sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan missal tangan, leher, bahu, pinggang, dll 2. Menurunnya motivasi kerja dengan kenyamanan tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan 3. Gangguan gerakan bagian tubuh tertentu (kesulitan menggerakan tangan, kaki dan kepala) 4. Dalam waktu lama dapat terjadi perubahan bentuk (tulang miring, bungkuk) Sikap kerja yang berkaitan dengan angkat-angkut jika tekniknyaa dilakukan dengan salah maupun berat atau ukuran beban dapat menyebabkan nyeri pinggang. 2.1.2

Jenis-jenis Sikap Kerja

1. Sikap Kerja Duduk Sikap kerja duduk memiliki derajat stabilitas tubuh yang tinggi. Bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan yaitu pembebanan pada kaki yang minimal sehingga pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi. Akan tetapi, walaupun pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk dikatakan pekerjaan ringan, namun jika pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu yang lama maka akan menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga cepat lelah (Tarwaka, 2015). Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi

perubahan posisi. Ukuran tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya. Jika landasan terlalu rendah, tulang belakang akan membungkuk kedepan dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks, sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Sikap kerja yang baik dengan duduk yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap tubuh dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit kifosa pada punggung dimana otot-otot punggung menjadi terasa enak dan tidak menghalangi pernafasan. 2. Sikap Kerja Berdiri Sikap kerja berdiri merupakan posisi siaga baik fisik maupun mental sehingga aktivitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan teliti. Pada dasarnya berdiri lebih melelahkan daripada duduk dan energy yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10-15% dibandingkan dengan duduk (Tarwaka, 2015). Apabila pekerja bekerja dengan posisi berdiri dalam periode yang lama maka faktor kelelahan menjadi utama. Untuk meminimalkan pengaruh kelelahan dan keluhan subjektif maka pekerjaan harus didesain agar tidak terlalu banyak menjangkau, membungkuk atau melakukan gerakan dengan posisi yang tidak alamiah. Untuk mengatur landasan kerja posisi berdiri sebagai berikut: 1. Tidak tersedia tempat untuk kaki dan lutut 2. Harus memegang objek yang berat (lebih dari 4,5 kg) 3. Sering menjangkau keatas, kebawah, dan kesamping 4. Sering dilakukan pekerjaan dengan menekan kebawah 5. Diperlukan mobilitas tinggi Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga kerja dengan posisi berdiri, contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Grandjean (dalam Santoso, 2004) merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan teliti, letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku, dan untuk pekerjaan berat, letak tinggi meja diatur 10cm di bawah tinggi siku (Santoso, 2004).

3. Sikap Kerja Dinamis Sikap kerja duduk maupun berdiri ke duanya mempunyai keuntungan dan kerugian. Clark (1996) mencoba mengambil keuntungan dari ke dua posisi tersebut dan mengkombinasikan desain stasiun kerja untuk posisi duduk dan berdiri menjadi satu desain dengan batasan sebagai berikut : a. Pekerjaan dilakukan dengan duduk pada suatu saat dan pada saat lainnya dilakukan dengan berdiri saling bergantian. b. Perlu menjangkau sesuatu lebih dari 40cm ke depan dan atau 15cm di atas landasan kerja c. Tinggi landasan kerja dengan kisaran antara 90-105cm, merupakan ketinggian yang paling tepat baik untuk posisi duduk dan berdiri. 2.1.3

Sikap Kerja Alamiah

Sikap kerja alamiah/postur normal adalah sikap atau postur dalam proses kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian penting tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon, dan tulang sehingga keadaan menjadi relaks. a. Pada tangan dan pergelangan tangan Sikap normal pada tangan dan pergelangan tangan adalah berada dalam keadaan garis lurus dengan jari tengah, tidak miring ataupun mengalami fleksi atau ekstensi. b. Pada leher Sikap normal posisi leher yaitu lurus dan tidak miring atau memutar ke samping kiri dan kanan. Posisi miring pada leher tidak melebihi 20◦ sehinga tidak terjadi penekanan pada discus tulang cervical c. Pada bahu Sikap normal pada posisi bahu adalah tidak dalam keadaan mengangkat dan siku berada dengan tubuh sehingga bahu kiri dan kanan dalam keadaan lurus dan proporsional d. Pada punggung

Sikap normal dari posisi punggung yaitu tulang belakang untuk bagian toraks adalah kiposis dan untuk bagian lumbal adalah lordosis serta tidak miring kekiri atau kekanan. Postur tubuh membungkuk tidak lebih dari 20◦. 2.1.4

Sikap Kerja Tidak Alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah gerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan pekerja menjauh dari gravitasinya. Bahu merupakan salah satu bagian tubuh yang berfungsi sebagai penopang otot. Karena itu postur janggal pada tangan dan pergelangan tangan juga dapat mempengaruhi keadaan bahu karena bahu merupakan tempat penopang otot-otot tangan. Bentuk postur janggal pada bahu ditandai dengan gerakan bahu yang mendekati ujung telinga bawah, baik yang kiri maupun kanan (Merulalia, 2010). 2.1.5

Metode Pengukuran Sikap Kerja

Metode pengukuran sikap kerja yang digunakan adalah metode )WAS (Ovako Working Analysis System). Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai postur tubuh/sikap tubuh pada saat bekerja. Metode ini merupakan sebuah metode yang sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisa suatu pembebanan pada postur tubuh. Penerapan dari metode ini dapat memberikan suatu hasil yang baik, yang dapat meningkatkan kenyamanan kerja setelah dilakukannya perbaikan sikap kerja. Aplikasi metode OWAS didasarkan pada hasil pengamatan dari berbagai posisi yang diambil pada pekerja selama melakukan pekerjaannya, sebagai hasil dari kemungkinan kombinasi postur tubuh bagian belakang (4 posisi), lengan (3 posisi), kaki (7 posisi), dan pembebanan (3 interval). Langkah pertama dari metode ini yaitu melakukan observasi aktivitas pekerja, analisa foto, video atau melihat aktivitas yang sedang dilakukan. Setelah dilakukan observasi dengan pemberian kode posisi dan hasilnya dicatat dalam lembar kerja. Setiap posisi diberikan sebuah kode identifikasi, seperti membuat hubungan yang jelas antara posisi dan kode. Tergantung pada risiko atau ketidaknyamanan pada posisi pekerja, maka metode OWAS membedakan ke dalam empat tingkat atau kategori risiko. Tingkat atau kategori risiko tersebut secara berurutan adalah nilai 1

dengan risiko terendah dan nilai 4 dengan risiko tertinggi. Langkah terakhir dari aplikasi metode ini adalah melakukan analisa kategori risiko dengan menghitung posisi yang diamati dan berbagai bagian tubuh, akan mengidentifikasi suatu posisi yang paling penting dan melakukan tindakan korektif yang diperlukan untuk memperbaiki posisi kerja. Metode OWAS pun memiliki keterbatasan. Metode ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi pada beberapa posisi; yaitu punggung, lengan dan kaki dengan pemberian kode pada masing-masing posisi. Namun demikian, metode ini tidak menilai secara detail tingkat keparahan pada masing-masing posisi. Tabel 1. Pengklasifikasian kategori Risiko dan Tindakan Perbaikan Tingkat

Kategori

Efek pada sistem Muskuloskeletal

Tindakan

Risiko 1

Risiko Rendah

Perbaikan Posisi normal tanpa efek yang dapat Tidak diperlukan

2

Sedang

mengganggu sistem musculoskeletal perbaikan Posisi yang berpotensi menyebabkan Tindakan perbaikan

3

Tinggi

kerusakan pada sistem musculoskeletal mungkin dilakukan Posisi dengan efek berbahaya pada sistem Tindakan korektif

4

Sangat

musculoskeletal diperlukan segera Posisi dengan efek sangat berbahaya pada Tindakan korektif

Tinggi

sistem musculoskeletal

diperlukan

segera

mungkin (Sumber: Tarwaka, 2015) 2.2 Musculoskeletal Disorders (MSDs) 2.2.1 Pengertian Keluhan Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot rangka yang dirasakan oleh sesorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal (Grandjean, 1993; Lemasters, 1996). Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pemberian beban dihentikan. 2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah. Keluhan sistem muskuloskeletal pada umumnya terjadi karena konstraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila konstraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila konstraksi otot melebihi 20% maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat konstraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993). 2.2.2 Jenis Keluhan Muskuloskeletal a.

Keluhan leher

Didaerah leher juga terdapat otot-otot untuk mendukung atau menyokong beban leher dan untuk gerakan leher. Bagian leher ini sangat sedikit dilindungi dibandingkan bagian tulang belakang yang lain sehingga sangat mudah terkena gangguan, trauma yang menyebabkan sakit dan membatasi gerakan (Depkes RI, dalam Tikno, 2011). Nyeri dan rasa tidak nyaman pada leher umum terjadi pada waktu kerja. Penderita akan merasakan otot leher mengalami peningkatan tegangan dan leher akan merasa kaku. Ini disebabkan karena leher selalu miring saat bekerja dan peningkatan ketegangan otot. Leher merupakan bagian tubuh yang perlindungannya lebih sedikit dibandingkan bagian tubuh yang lain. Sehingga lebih rentan terkena

trauma atau kelainan yang menyebabkan nyeri pada leher dan gangguan gerakan terutama bila dilakukan gerakan yang mendadak dan kuat. Gejala yang muncul pada saat nyeri leher antara lain rasa sakit dileher dan terasa kaku, nyeri otot-otot yang terdapat pada leher, sakit kepala dan migrain. Nyeri leher kan cenderung merasa seperti terbakar. Nyeri bias menjalar ke bahu, lengan, dan tangan dengan keluhan terasa baal atau seperti ditusuk jarum. Nyeri yang tibatiba dan terus menerus dapat menyebabkan bentuk leher yang abnormal, kepala menghadap ke sisi yang sebaliknya. b.

Keluhan Bahu

Nyeri bahu hamper selalu didahului dengan munculnya tanda rasa nyeri pada bahu terutama pada saat melakukan aktivitas gerakan yang melibatkan sendi bahu sehingga seseorang yang merasakan nyeri pada bahu merasa ketakutan untuk menggerakkan sendi bahunya. Nyeri bahu pada pekerja yang dalam aktivitasnya harus mengangkat beban berat, bukan disebabkan oleh proses degerasi tetapi terjadi bila lengan harus diangkat sebatas atau melebihi akronion. Posisi tersebut bila berlangsung secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya iskemia pada tendon. c.

Keluhan Pinggang

Keluhan nyeri pinggang merupakan salah satu gangguan otot yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik (Idyan dalam Tikno, 2011). Nyeri punggung disebabkan oleh ketegangan otot dan postur tubuh yang saat mengangkat beban barang dengan posisi salah, beban barang yang terlalu berlebihan. Sikap punggung yang membungkuk dalam bekerja, membungkuk sambil menyamping, posisi duduk yang kurang baik dan didukung dengan desain kursi yang buruk, beresiko menyebabkan penyakit akibat hubungan kerja berupa gangguan muskuloskeletal yang dapat menyebabkan kekakuan dan kesakitan pada punggung. Nyeri punggung dapat merupakan akibat dari aktivitas kehidupan sehari-hari khususnya dalam pekerjaan yang berkaitan dengan postur tubuh seperti mengemudi, pekerjaan yang membutuhkan duduk yang terus menerus, atau yang lebih jarang nyeri punggung akibat dari beberapa penyakit lain. 2.2.3 Gejala Keluhan Muskuloskeletal

MSDs ditandai dengan adanya gejala sebagai berikut yaitu : nyeri, bengkak, kemerah-merahan, panas, mati rasa, retak atau patah pada tulang dan sendi dan kekakuan, rasa lemas atau kehilangan daya koordinasi tangan, susah untuk digerakkan. MSDs diatas dapat menurunkan produktivitas kerja, kehilangan waktu kerja, menimbulkan ketidakmampuan secara temporer atau cacat tetap 2.2.4 Faktor Penyebab Keluhan Muskuloskeletal Menurut Tarwaka (2015) yang mengutip Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal antara lain sebagai berikut : 1. Peregangan Otot yang Berlebihan Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera sistem muskuloskeletal. 2. Aktivitas Berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkat dsb. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. 3. Sikap Kerja Tidak Alamiah Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dsb. Semakin jauh posis bagian tubuh dari pusat grafitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja, stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja

(Grandjean, 1993; Anis & McConville, 1996; Waters & Anderson, 1996 & Manuaba, 2000). Di Indonesia, sikap kerja tidak alamiah ini lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidak sesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja. Sebagai negara berkembang, sampai saat ini Indonesia masih tergantung pada perkembangan teknologi negara-negara maju, khususnya dalam pengadaan peralatan industri. Mengingat bahwa dimensi peralatan tersebut didesain tidak berdasarkan ukuran tubuh orang Indonesia, maka pada saat pekerja Indonesia harus mengoperasikan peralatan tersebut, terjadilah sikap kerja tidak alamiah. 4. Faktor Penyebab Sekunder a. Tekanan Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap. b. Gataran Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan konstraksi otot bertambah. Konstraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot. c. Mikroklimat Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai oksigen ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.

d. Penyebab Kombinasi Risiko terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal akan semakin meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerja harus melakukan aktivitas angkat angkut dibawah tekanan panas matahari seperti yang dilakukan oleh para pekerja bangunan. Beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal. a. Umur Umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan sistem muskuloskeletal, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot. Menurut Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995), pada umumnya keluhan sistem muskuloskeletal sudah mulai dirasakan pada usia kerja, namun keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. b. Jenis Kelamin Beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga (2/3) atau 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Dari uraian tersebut, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas. c. Kebiasaan Merokok Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok akan dapat

menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. d. Kesegaran Jasmani Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik. e. Kekuatan Fisik Hubungan antara kekuatan fisik dengan risiko keluhan muskuloskeletal masih diperdebatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan sistem muskuloskeletal. Terlepas dari perbedaan kedua hasil penelitian tersebut, secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas yang mempunyai kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap risiko cedera otot. Namun untun pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik kurang relevan terhadap risiko keluhan sistem muskuloskeletal. f. Ukuran Tubuh Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan masa tubuh juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal. Apabila dicermati, keluhan sistem muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya (Tarwaka, 2015). g. Lama kerja/waktu kerja Produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh waktu kerja. Orang hanya bisa bekerja dengan baik selama 6-8 jam per hari dan 40-50 jam per minggu. Lebih dari itu cenderung menimbulkan hal-hal negatif.

2.2.5

Langkah Mengatasi Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan

rekomendasi

dari

Occupational

Safety

and

Health

Administration (OSHA, 2000), tindakan ergonomik untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik (seperti; desain stasiun dan alat kerja) dan rekayasa manajemen (seperti; kriteria dan organisasi kerja). Langkah preventif ini dimaksudkan untuk mengliminir overexertion dan mencegah adanya sikap kerja tidak alamiah. 1. Rekayasa Teknik a. Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. b. Substitusi, yaitu mengganti alat/bahan lama dengan alat/bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan. c. Partisi, yaitu melakukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja. Contohnya memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran dsb. d. Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurangi risiko sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas. 2. Rekayasa Manajemen a. Pendidikan dan pelatihan. Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjadi lebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapat melakukan penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap risiko sakit akibat kerja. b. Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya. c. Pengawasan yang intensif Malalui pengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya risiko sakit akibat kerja. Sebagai gambaran, berikut ini diberikan contoh tindakan untuk mencegah/mengatasi terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal pada berbagai kondisi/aktivitas.

1.

Aktivitas angkat-angkut secara manual a. Usahakan meminimalkan aktivitas angkat-angkut secara manual b. Upayakan agar lantai kerja tidak licin c. Upayakan menggunakan alat bantu kerja yang memadai d. Gunakan alas apabila harus mengangkat di atas kepala atau bahu e. Upayakan agar beban angkat tidak melebihi kapasitas angkat pekerja

2.

Berat bahan dan alat a. Upayakan untuk menggunakan bahan dan alat yang ringan b. Upayakan menggunakan alat angkut dengan kapasitas < 50 kg

3.

Alat tangan a. Upayakan agar ukuran pegangan tangan sesuai dengan lingkar genggam pekerja dan karakteristik pekerjaan b. Pasang lapisan peredam getaran pada pegangan tangan c. Upayakan pemeliharaan yang rutin sehingga alat selalu dalam kondisi yang layak pakai d. Berikan pelatihan sehingga pekerja terampil dalam mengoperasikan alat

4.

Melakukan pekerjaan pada ketinggian a. Gunakan alat bantu kerja yang memadai, seperti; tangga kerja dan lift b. Upayakan untuk mencegah terjadinya sikap kerja tidak alamiah dengan menyediakan alat-alat yang dapat disetel/disesuaikan dengan ukuran tubuh pekerja

2.2.6 Metode Penilaian Keluhan Sistem Muskuloskeletal (MSDs) Untuk menilai tingkat keparahan (severity) atas terjadinya gangguan atau cidera pada sistem muskuloskeletal dapat digunakan metode “Nordic Body Map”. Metode NBM merupakan metode penilaian yang sangat subjektif, yaitu keberhasilan aplikasi metode ini sangat tergantung dari kondisi dan situasi yang dialami pekerja pada saat dilakukannya penilaian. Metode ini telah secara luas digunakan oleh para ahli ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan pada sistem muskuloskeletal dan mempunyai validitas dan reliabitas yang cukup baik. Metode “Nordic Body Map” dengan menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh (body map) merupakan cara yang sangat sederhana, muda dipahami, murah

dan memerlukan waktu yang sangat singkat (±5 menit) per individu. Melalui kuesioner “Nordic Body Map” maka akan dapat diketahui bagian-bagian otot mana saja yang mengalami gangguan kenyerian atau keluhan dari tingkat rendah (tidak ada keluhan/cedera) sampai dengan keluhan tingkat tinggi (keluhan sangat sakit). NBM meliputi 28 bagian otot pada sistem muskuloskeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri, yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Adapun gambar Nordic Body Map sebagai berikut :

Gambar 1. Nordic Body Map Sumber : Tarwaka, 2015 dalam Ergonomi Industri

Penilaian dengan kuesioner Nordic Body Map dapat dilakukan dengan menggunakan skoring (misalnya; 4 skala likert). Setiap skor atau nilai haruslah mempunyai definisi operasional yang jelas dan mudah dipahami oleh responden. Di bawah ini adalah penilaian dengan 4 skala likert, dimana:

 Skor 0 = tidak ada keluhan/kenyerian pada otot-otot atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang dirasakan oleh pekerja selama melakukan pekerjaan (tidak sakit).  Skor 1 = dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada bagian otot, tetapi belum mengganggu pekerjaan (agak sakit).  Skor 2 = responden merasakan adanya keluhan/kenyerian atau sakit pada bagian otot dan sudah mengganggu pekerjaan, tetapi rasa kenyerian segera hilang setelah dilakukan istirahat dari pekerjaan (sakit).  Skor 3 = responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri pada bagian otot dan kenyerian tidak segera hilang meskipun telah beristirahat yang lama atau bahkan diperlukan obat pereda nyeri otot (sangat sakit). Langkah berikutnya adalah menghitung total skor individu dari seluruh sistem muskuloskeletal yang diobservasi. Langkah terakhir adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan maupun posisi/sikap kerja jika diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat keparahan pada sistem muskuloskeletal yang tinggi. Tabel 2. Klasifikasi Subjektivitas Tingkat Risiko Sistem Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor Individu Total Skor

Tingkat

Kategori

Tindakan Perbaikan

Keluhan Individu 0-20

Risiko 0

Risiko Rendah

Belum diperlukan adanya

Faktor Pekerjaan 21-41 Sikap Kerja

1

Sedang

tindakan perbaikan Mungkin diperlukan tindakan

42-62 2. Faktor 63-84Individu

2 3

Tinggi Sangat

dikemudian hari Diperlukan tindakan segera Diperlukan tindakan

tinggi

menyeluruh sesegera mungkin

- Umur (Sumber: Tarwaka, 2015) - Jenis Kelamin - Kebiasaan Merokok 2.3 Kerangka Teori - Kesegaran Jasmani - Kekuatan Fisik - Ukuran Tubuh - Lama Kerja 3. Faktor Lingkungan - Getaran - Tekanan - Suhu dan Kelembapan

Keluhan Musculoskeletal Disorders

Gambar 2. Kerangka Teori

2.4 Kerangka Konsep

Sikap Kerja

Keluhan Musculoskeletal Disorder

2.5 Hipotesis Penelitian Ho

: Tidak ada Hubungan Sikap Kerja Dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorder pada Pekerja Pengangkut Sampah di Kota Bitung

Ha

: Ada Hubungan Sikap Kerja Dengan Keluhan Muskuloskeletal Disorder pada Pekerja Pengangkut Sampah di Kota Bitung BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan menggunakan metode cross sectional dimana pengumpulan data dan observasi dilakukan sekaligus pada suatu waktu (point time approach).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung pada bulan Maret-April 2019. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh pekerja pengangkut sampah di lingkungan kerja Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung dengan jumlah 108 orang. 3.3.2 Sampel Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin: n=

N 2 1+N ( e )

Keterangan: N = Besar Populasi n = Besar Sampel e = Tingkat ketepatan yang diinginkan (10%) Berdasarkan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel sebagai berikut: n=

N 108 108 108 = = = 2 2 1+108 (0,01) 2.08 1+N ( e ) 1+108 ( 0,1 )

n = 51,92 ≈ 52 Yaitu 52 orang pekerja Pengangkut Sampah di Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung dengan memenuhi kriteria sebagai berikut : 1.

Kriteria inklusi a. Pekerja yang bekerja minimal selama 1 tahun b. Bersedia menjadi responden c. Dapat berkomunikasi dengan baik

2.

Kriteria eksklusi a. Pekerja yang mengkonsumsi alcohol dan obat penghilang rasa nyeri saat pengambilan data satu hari terakhir b. Mengalami cedera atau kecelakaan saat pengambilan data c. Tidak dapat berkomunikasi dengan baik

3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah sikap kerja pekerja pengangkut sampah di Kota Bitung. 3.4.2 Variabel Terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah keluhan Musculoskeletal pekerja pengangkut sampah di Kota Bitung. 3.5 Definisi Operasional 1.

Sikap Kerja Sikap kerja adalah tindakan yang diambil pekerja dan segala sesuatu yang harus dilakukan pekerja yang hasilnya sebanding dengan usaha yang dilakukan. Cara penilaiannya dengan menggunakan metode OWAS yang didasarkan pada hasil pengamatan dari berbagai posisi yang diambil pekerja selama melakukan pekerjaannya, hasilnya yaitu postur tubuh bagian belakang (4 posisi), lengan (3 posisi), kaki (7 posisi), dan pembebanan (3 interval). Hasil penilaian dihitung dengan menggunakan skala ordinal sebagai berikut: Skor 1 = posisi normal tanpa efek yang dapat mengganggu sistem muskuloskeletal Skor 2

= posisi yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada sistem

muskuloskeletal Skor 3

= posisi dengan efek berbahaya pada sistem muskuloskeletal

Skor 4

= posisi dengan efek sangat berbahaya pada sistem muskuloskeletal

Kategori hasil untuk tingkat risiko 1 = Risiko Rendah: jika skor 1 2 = Risiko Sedang: jika skor 2 3 = Risiko Tinggi: jika skor 3 4 = Risiko Sangat Tinggi: jika skor 4 2.

Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot rangka yang dirasakan oleh sesorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Untuk menilai keluhan muskuloskeletal digunakan metode Nordic Body Map. NBM meliputi 28 bagian otot pada sistem muskuloskeletal pada kedua sisi tubuh kanan dan kiri. Hasilnya dapat dihitung dengan menggunakan skala ordinal. Skor 0 = Tidak sakit Skor 1 = Sakit ringan (masih bisa beraktivitas) Skor 2 = Sakit (kram, kesemutan, pegal, masih bisa beraktivitas) Skor 3 = Sangat sakit (panas, bengkak, tidak bisa beraktivitas) Tabel 3.1 Klasifikasi Subjektivitas Tingkat Risiko Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Tingkat Skor Individu Total Skor Keluhan Individu 0-20 21-41 42-62 63-84 Sumber: Tarwaka, 2015

Tingkat Kategori Risiko

Tingkat Keluhan

0 1 2 3

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

3.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.

Kuesioner Nordic Body Map

2.

Lembar kerja penilaian OWAS

3.

Kamera

4.

Alat tulis

3.7 Pengambilan dan Pengumpulan Data 3.7.1

Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan melihat aktivitas pekerja yang menentukan sikap kerja kemudian pengisian hasil di lembar kerja OWAS dan pengisian kuesioner Nordic Body Map. 3.7.2

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan selama satu minggu. Sumber data yang diambil yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan melalui

pengamatan, gambaran sikap berupa foto yang dilakukan oleh tenaga kerja dan pengisian kuesioner, sedangkan data sekunder berupa identitas tenaga kerja, data jumlah pekerja pengangkut sampah di Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung. 3.8 Tahapan Penelitian 3.8.1

Tahap Awal

1. Mengurus surat izin penelitian pada pekerja pengangkut sampah di Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung 2. Melakukan survey awal dan menjelaskan tujuan pelaksanaan 3. Pengambilan data awal 4. Menetapkan jumlah sampel yang akan diukur sesuai kriteria yang diinginkan 5. Menyiapkan bahan penelitian 3.8.2

Tahap Pelaksanaan

1. Menjelaskan kepada responden mengenai penelitian ini 2. Melakukan wawancara dan pembagian kuesioner kepada pekerja yang menjadi sampel 3. Melaksanakan penilaian keluhan muskuloskeletal melalui kuesioner yang telah dibagikan 4. Melakukan penilaian sikap kerja dengan metode OWAS 5. Data hasil pengukuran diolah dan dimasukan ke dalam master tabel 6. Analisis terhadap hasil pengukuran 7. Hasil akhir 3.9 Pengolahan dan Analisis Data 3.9.1

Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan oleh peneliti kemudian diolah dengan menggunakan program computer meliputi beberapa tahapan: 1.

Editing Memeriksa kelengkapan, kejelasan, kesinambungan dan keseragaman data.

2.

Coding Memberikan kode pada setiap variabel untuk memudahkan pemasukan, mengelompokan dan pengolahan data.

3.

Pemasukan Data (Data Entry) Data yang sudah diberi kode kemudian dimasukan dalam bentuk program atau software komputer.

4.

Pembersihan Data Apabila semua data dari setiap sumber data satu responden selesai dimasukan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

3.9.2

Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan analisis univariat yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis univariat bisa menggambarkan variabel sikap kerja dan keluhan muskuloskeletal pada pekerja pengangkut sampah di Kota Bitung.

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Bab I.docx
April 2020 10
Ana Retno Palupi
May 2020 15
Isi.docx
August 2019 34