Bab I Pendahuluan.docx

  • Uploaded by: Nugraha Agung
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Pendahuluan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,361
  • Pages: 17
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormatisatu-kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifatistimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur,kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahandan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasakeadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Propinsi Papua khususnya bagi masyarakat Papua. Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Papua. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua. Setelah berlakunya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, pada kenyataannya tidak sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, tidak terpenuhinya kesejahteraan rakyat, tidak mendukungnya penegakan hukum, penangananpelanggaran hak asasi manusia khususnya dalam bidang hak sipil dan politik yang terjadi masa lalu maupun masa kini di Provinsi Papuabelumselesai. Dalam kaitannya dengan hak sipil politik, Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia yang terkandung dalam kovenan internasional tentang hak sipil politik diantaranya : a) negara wajib melindungi setiap hak, baik dengan hukum maupun kebijakannya; b) negara tidak diperkenankan mengganggu, membatasi, apalagi melarang kebebasan orang

untuk melaksanakan kegiatan pribadi dan politiknya; c) negara melalui aparat kepolisian wajib mengambil tindakan semestinya yang ketika terjadi perbuatan kriminal; dan d) negara melalui aparat penegak hukum (pengadilan) wajib melaksanakan proses hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan kejahatan. B. Rumusan Masalah Bagaimana situasi pelanggaran hak sipil politik terhadap warga negara indonesia asal papua di provinsi papua setelah berlakunya uu no 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus

BAB II PEMBAHASAN A. Tinjaun Umum tentang Hak SIPOL terhadap warga negara Indonesia asal Papua 1. Hak Sipil dan Politik a. Pengertian Hak SIPOL Hak sipil politik adalah bagian dari hak asasi manusia. Kovenan internasional tentang hak sipil politik tidak memberikan pengertian definitif tetapi Ifdhal Kasim dalam bukunya yang berjudul Hak Sipil dan Politik, menyimpulkan bahwa hak sipil politik adalah hak yang bersumber dari martabat an melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang hak sipil dan politik yanng pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.2 b. Karakteristik SIPOL Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh Negara agar manusia bebasmenikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang hak sipil dan politik. Adapun hak-hak yang termasuk ke dalam hak-hak sipil dan politik adalah : 1. Hak untuk hidup; 2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi;

3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa; 4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; 5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah; 6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum; 7. Hak untuk bebas berpikir, berkeyakianan dan beragama; 8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi; 9. Hak untuk berkumpul dan berserikat; 10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Hak-hak Sipil dan Politik yang memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Dicapai dengan segera 2. Negara bersifatpasif 3. Dapatdiajukankepengadilan 4. Tidakbergantungpadasumberdaya 5. Non-ideologis.4 c. Sejarah Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak SIPOL Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis UmumPerserikatan BangsaBangsa (MU-PBB) memproklamasikanUniversal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yangmemuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik dikalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun dikalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.5 Pada tahun 1950, Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan mengenai Hak Sipil dan

Politik;dan (2) Kovenan mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Majelis Umum PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. d. Ruang Lingkup Hak SIPOL, HAM dan OTSUS Perubahan Konstitusi (UUD 1945) yang terjadi sebanyak 4 (empat) tahap semasa reformasi bergulir. Di dalam pembahasan konstitusi diatur isu yang sangat krusial seperti hak asasi manusia (HAM). Hak-hak dasar yang diakui secara universal kini mendapatkan pengakuan yang kuat oleh negara, hak inipun menjadi hak konstitusional (constitutional rights) yang dijamin oleh hukum tertinggi. Pengaturan HAM di dalam UUD 1945 dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus lain, serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia. Selain itu, terdapat hak yang dikategorikan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights) yang meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan berpikir dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Hak sipil dan politik (SIPOL) yang paling mendasar adalah hak kebebasan untuk berpikir dan berkeyakinan, tanpa adanya intervensi dari siapapun, sekalipun itu otoritas negara. Hal inilah yang disebut sebagai freedom of religion and believe (hak kebebasan atas agama dan kepercayaan). Hal lain yang masih terdapat dalam hak-hak sipil politik adalah hak untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk tidak dibunuh atau disiksa. Hak ini disebut pula sebagai hak dasar, atau non-derogable rights yang artinya hak-hak dasar manusia yang tidak bisa ditunda dan tidak bisa dicabut dalam situasi apapun, baik itu dalam keadaan perang maupun dalam situasi darurat, negara harus tetap melindunginya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM memuat pengakuan yang luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undangundang tersebut dengan gamblang mengakui paham “natural rights,” melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada setiap manusia. Otonomi khusus yang diberikan kepada Papua bersifat khusus dan berbeda dengan otonomi yang diberlakukan di daerah daerah lain.

Kekhususan otonomi di Papua sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2001 dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, adanya institusi reprensentasi kultural orang asli Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Melalui MRP sesungguhnya diharapkan hukum-hukum adat yang hidup dalam masyarakat diakui keabsahannya sebagai hukum formal. Kedua, adanya pengaturan yang bersifat khusus terkait dengan pendapatan daerah untuk Papua. Kekhususan Papua adalah pada besaran dana bagi hasil untuk sumber daya alam di sektor pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan pertambangan gas alam sebesar 70%. Persentase ini lebih besar dari persentase yang diatur untuk daerah lain, di mana bagi hasil pertambangan minyak bumi untuk daerah adalah 15,5% dan gas alam 30,05%. Ketiga, diakuinya eksistensi Papua, penamaan lembaga, serta penamaan aturan yang juga bersifat khusus. 2. Pelanggaran HAM Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menyebutkan bahwa pelanggaran hak asas manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun instansi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijaknya. Macam-macam pelanggaran hak asasi manusia bisa berupa pelanggaran terhadap : a) hak asasi pribadi, misalnya hak memeluk agama, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka; b) hak asasi ekonomi, misalnya hak menikmati SDA, hak untuk membeli dan menjual, c) hak asasi sosial, misalnya hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh pendidikan, hak untuk menikmati/ mempelajari kebudayaan, d) hak asasi memperoleh perlindungan, misalnya hak untuk memperoleh rasa aman, hak untuk memperoleh perlindungan hukum, dan e) hak asasi politik, misalnya hak untuk mengikuti pemilu, hak untuk menjadi anggota DPR dan hak untuk anggota partai politik.

Menurut Catatan Kondisi Hak Asasi Manusia di Papua yang dikeluarkan oleh ELSAM (Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat) terdapat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di Papua, yaitu: 1.Peristiwa Abepura. Pada 7 Desember 2000 terjadi penyerangan kantor Polsek Abepura oleh sekelompok orang bersenjata golok dan parang. Dalam peristiwa itu satu orang anggota polisi tewas dan sejumlah lainnya luka-luka. Beberapa jam setelah penyerangan itu Polres Jayapura menggelar operasi penyisiran dan pengejaran. Dalam operasi tersebut telah terjadi rangkaian kekerasan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. 2. Peristiwa Wasior. Peristiwa ini bermula dari penyerangan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini lima orang anggota Brimob tewas dan satu orang warga sipil tewas. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan di sekitar Wasior. Dalam proses pengejaran tersebut diduga telah terjadi pula pelanggaran berat hak asasi manusia. 3. Peristiwa Pembunuhan Theys. Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay hari Sabtu, 10 November 2001 diculik. Esok harinya, ia ditemukan telah tewas di Koya Tengah, Kecamatan Muara Tami, Kabupaten Jayapura. Jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok mobil Toyota Kijang dengan wajah babak belur dan luka di pelipis, dahi, dan leher. Peristiwa ini menyulut kemarahan masyarakat Sentani, daerah asal Theys. Ratusan warga Sentani membakar dua rumah toko, dua bank (BRI dan BPD Irja), dan 12 bangunan lainnya, situasi pun mencekam sampai ke harihari berikutnya. Penculikan yang berakhir pembunuhan ini diduga terkait erat dengan aktivitas politik Theys dan kawan-kawannya. Saat dibunuh, Theys berstatus sebagai tahanan luar dan sedang diadili di Pengadilan Negeri Jayapura dengan dakwaan melakukan sejumlah kegiatan makar dengan tujuan memisahkan Irian Jaya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Banyak pihak berpendapat bahwa pembunuhan Theys adalah upaya terakhir untuk membungkam keinginan rakyat Papua untuk merdekan. 4. Peristiwa Wamena.

Pada bulan April 2003 telah terjadi pembobolan gudang senjata api milik Kodim Wamena. Setelah peristiwa ini TNI melakukan operasi pengejaran dan penyisiran di sekitar kota Wamena. Dalam operasi ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan. Selain dilanda beragam tindak kekerasan yang hampir tiap tahun terjadi, Papua juga menyimpan sejumlah ironi lainnya. Salah satunya adalah ironi tentang gizi buruk, busung lapar dan kelaparan. Di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrau, Papua Barat, ada 95 warga meninggal dunia akibat busung lapar. Meski angka kematian itu tidak terjadi secara serentak melainkan merupakan akumulasi sejak November 2012, namun fakta tersebut tetap saja memprihatinkan. “Ini adalah pembiaran yang dilakukan pemerintah daerah di sana,” kata Plt. Sekretariat Komnas HAM Papua, Frits Bernard Kamuki Ramandey kepada Suara Pembaruan (SP), Rabu (3/4) malam. Kematian 95 warga Kampung Kwor, kata Frits, bahkan menjadi bahan pembicaraan hingga saat ini. Bagaimana tidak, dalam catatan SP sejak 2002 hingga 2012, Provinsi Papua telah menerima dana otonomi khusus (Otsus) sebesar Rp 28,413 triliun, dan Papua Barat dari 2009 hingga 2012 sudah ditransfer dana sebesar Rp 5,269 Triliun. Tak hanya itu, dana tambahan infrastruktur untuk Provinsi Papua sebesar Rp 2,501 Triliun dan Papua Barat sebesar Rp 2,298 Triliun pun sudah ditransfer. "Lalu kemanakah uang ini saat rakyatnya menderita?" tanya Frits penuh keprihatinan.3 Terkait nasib perempuan Papua. Perempuan Papua mengalami beragam tindak kekerasan yang kejam luar biasa. Menurut Ringkasan Eksekutif dari buku berjudul “Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963 – 2009”, Hasil Pendokumentasian Bersama Kelompok Kerja Pendokumentasian Kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua, 2009-2010, tertulis bahwa dari sebanyak 261 kasus yang didokumentasi, tim mengidentifikasi tiga tipologi kekerasan yaitu: pertama, kekerasan yang didukung dan dilakukan oleh negara. Dalam tipologi ini ditemukan sebanyak 138 orang perempuan mengalami bentuk kekerasan seksual, yaitu: perkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) serta percobaan perkosaan. Perempuan korban juga mengalami kekerasan non seksual, yaitu: pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan perampasan harta benda. Dalam tipologi ini, sejumlah perempuan juga menjadi korban karena sebagai istri, ibu dan anak dari laki-laki/suami/ayah yang menjadi sasaran kekerasan oleh negara. Tipologi kedua, kekerasan dalam keluarga. Dalam tipologi ini, ditemukan sebanyak 98 orang perempuan mengalami bentuk kekerasan fisik, psikis dan seksual dalam bentuk: poligami/selingkuh, penganiayaan, penelantaran ekonomi, perkosaan dalam

perkawinan, kekerasan psikis, pembatasan ruang gerak dan pemaksaan kawin. Dalam tipologi ini juga dicatat perempuan menderita HIV/AIDS karena tertular dari suami atau pasangannya. Ketiga, tim dokumentasi juga mencatat bentuk kekerasan yang disebut sebagai kekerasan berlapis, yaitu satu bentuk kekerasan tertentu berdampak pada bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Tim dokumentator menemukan setidaknya 14 orang perempuan menjadi korban kekerasan berlapis. Secara khusus pendokumentasian ini juga mencatat, kekerasan yang dilakukan oleh negara sangat berdekatan dengan bentuk kekerasan di publik yang dilakukan oleh pelaku non negara atau sering disebut Kekerasan dalam Masyarakat. Ditemukan 11 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang terjadi dalam konteks perang suku dan eksploitasi sumber daya alam. Kasus-kasus kekerasan ini terjadi tidak terlepas dari kebijakan dan kelalaian negara. Lantas, bagaimanakah nasib anak-anak Papua. Ternyata mereka juga bernasib mengenaskan. Banyak hak-hak anak yang tidak terpenuhi dengan baik. Selain persoalan gizi buruk, anak-anak Papua juga terenggut hak atas pendidikannya dan hak untuk tumbuh kembang dengan baik. Menurut catatan Organisasi Buruh Internasional dalam terbitan ”Ikhtiar Kebijakan Singkat – Juli 2011” melalui tulisan berjudul ”Pekerja Anak dan Pendidikan di Masyarakat Papua”, tertulis kasus pekerja anak di Provinsi Papua adalah yang tertinggi kedua di Indonesia, menurut Survei Rumah Tangga Sangat Miskin tahun 2008 (RTSM) yang dilakukan oleh Kementrian Sosial (Kemensos) ada 130.000 pekerja anak di Papua (75.000 laki-laki dan 55.000 perempuan) di mana 80.000 di antaranya berusia antara dan kurang dari 15 tahun. Adapun tentang pendidikan, tercatat jumlah sekolah yang ada di provinsi hanya sebanyak 2.365 buah. Jumlah anak usia sekolah di Papua sesungguhnya mencapai 445.000 anak. Dari jumlah itu, sebanyak 98.185 anak belum pernah sekolah, sedangkan 11.399 lainnya putus sekolah. Papua juga menghadapi persoalan terancamnya sejumlah budaya, bahasa, dan kekayaan adat istiadat lainnya yang dimiliki sejumlah suku di Papua. Di Papua terdapat ratusan suku, di mana setiap suku memiliki bahasa dan adat istiadat sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk berkomunikasi antar suku mereka menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi tersebut secara pelan mulai mengikis jumlah penutur yang menggunakan bahasa sukunya sendiri. Lama kelamaan bahasa dari salah satu suku bisa punah karena tidak adalagi penuturnya. Demikian pula dengan beragam bentuk seni dan budaya di Papua bisa terancam punah bila tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk melestarikannya. Ancaman lain yang saat ini nyata menimpa Papua adalah eksploitasi sumber daya alam: tambang, kehutanan, kelautan dan perikanan, keragaman

hayati, dan lainnya. Di Papua banyak usaha eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan kelestarian lingkungan hidup. Bila dibiarkan maka dalam waktu tidak lama hutan Papua bisa punah, tanah dan lingkungan alamnya tercemar, masyarakat adatnya terpinggirkan. Beragam persoalan yang terjadi di Papua sering tidak terekspos kepada publik atau masyarakat umum di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini terjadi lantaran belum adanya kekebasan pers di Papua. Media massa sering menghadapi banyak kesulitan ketika harus menyampaikan fakta-fakta yang terjadi di Papua. Hingga bulan Juli 2013, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura yang membidangi Divisi Advokasi AJI Papua mencatat 13 kasus yang berkaitan dengan kebebasan pers di indonesia. Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor, mengatakan jika dibandingkan dengan tahun 2012 kasus-kasus terhadap jurnalis ini mengalami peningkatan secara kuantitas dan kualitas. Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia sejak 1969 hingga kini, adalah kondisi kebebasan pers di Papua. Pemerintah memberikan standar ganda pada jurnalis dalam melakukan peliputan di wilayah itu. Pemerintah selama ini mengesankan Papua sebagai daerah yang terbuka dan berotonomi khusus di satu sisi, namun mempersulit perizinan jurnalis asing yang akan meliput di wilayah itu pada sisi lain. Dampak dari standar ganda yang diterapkan pemerintah ini, adalah masih adanya kasus hukum yang melibatkan jurnalis asing. Kasus paling baru menimpa dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat. Keduanya ditahan karena melakukan aktivitas jurnalisme di Papua dengan menggunakan visa wisata. Dalam proses hukum, keduanya divonis bersalah dan dideportasi ke negara asal. Sayangnya, pengadilan tidak pernah melihat “problem mendasar” dari pelanggaran visa itu, dan bagaimana menghilangkan “problem mendasar” itu, agar tidak kembali terjadi di kemudian hari. Apa yang dialami Thomas dan Valentine, memperpanjang daftar kasus tercabiknya kebebasan pers di Bumi Cendrawasih, seiring masih maraknya kasus pelanggaran hukum dan HAM secara umum di Papua. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, tekanan berat juga dialami jurnalis lokal Papua. Selain kematian jurnalis Merauke TV Adriansyah Matrais yang misterius hingga kini, kasus kekerasan jurnalis di Papua, terus terjadi. Sepanjang 2014, setidaknya ada dua peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi. Dan di awal 2015, terjadi lagi satu kasus penganiayaan. Bagi AJI, sikap Pemerintah RI yang abai terhadap keterbukaan informasi di Papua, adalah bagian dari upaya menghambat kebebasan pers. Hal itu sama juga dengan mempertaruhkan masa depan Papua. Kondisi geografis dan demografis di wilayah tersebut adalah kendala perkembangan media di Papua. Dan kondisi

menjadi semakin parah, ketika tidak ada “good will” dan “political will” dari pemerintah untuk membuka informasi di Papua. Selama ini, ada perlakuan yang berbeda terhadap jurnalis asing yang akan datang ke Papua untuk melakukan aktivitas jurnalistik. Sebelum menginjakkan kaki di provinsi tersebut, jurnalis media asing harus mengantongi sejumlah izin dari belasan kementerian dan lembaga. Termasuk di antaranya lembaga intelijen. Dalam proses ini, rentan disalahgunakan untuk menutup informasi penting dari Papua. Padahal, seperti wilayah lain di Indonesia, kondisi Papua penting untuk diinformasikan ke dunia luar. Dengan segala potensi pariwisata, budaya serta kondisi masyarakatnya. Papua memiliki hak yang sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Keterbukaan dan kemudahan akses peliputan di Papua bisa memberikan efek positif pada pemerintah Indonesia di dunia internasional.6 Menurut Thomas Dandois meskipun Jokowi berjanji akan membuka kesempatan bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua tapi itu tampaknya sulit untuk diimplementasikan di lapangan. “Saya rasa tidak mungkin perubahan itu bisa dilakukan dalam semalam," ujarnya kepada Radio Australia, seperti dilansir ABC, Kamis (28/5/2015).7 Sebelum tahun 1963 Irian Barat masih dikenal dengan nama Nederlands Nieuw Guinea. Pada tanggal 1 Mei 1963 Irian Barat direbut dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan diubah menjadi Irian Jaya oleh Presiden Soeharto. Pada tahun 1999 oleh Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diganti kembali menjadi Papua hingga saat ini. Layakkah rakyat Papua menerima semua itu, hak-hak mereka terabaikan bahkan terlanggar. Apakah provinsi Papua termasuk miskin sehingga tidak mampu memenuhi hak-hak rakyatnya. Sesungguhnya Papua adalah provinsi yang kaya raya dengan sumber daya alam. Papua merupakan provinsi yang terletak di wilayah paling timur negara Republik Indonesia dan merupakan daerah yang penuh harapan. Daerahnya belum banyak dirambah aktivitas manusia dan kaya akan sumber daya alam yang menyajikan peluang untuk berbisnis dan berkembang. Tanahnya yang luas dipenuhi oleh hutan, laut dan keanekaragaman biota dan berjuta-juta hektare tanah cocok untuk tanah pertanian. Di dalam perut bumi Papua tersimpan gas alam, minyak dan aneka bahan tambang lainnya yang siap menunggu untuk diolah.9 Sektor pertambangan memberikan kontribusi lebih dari 50 persen perekonomian Papua, dengan jenis tambang unggulan adalah tembaga, emas,

minyak dan gas, dengan potensi 2,5 miliar ton batuan biji emas dan tembaga terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu, batu bara 6,3 juta ton, batu gamping di atas areal seluas 190 ribu ha, pasir kuarsa seluas 75 ha dengan potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 juta ton, marmer sebanyak 350 juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi, nikel dan krom. Luas hutan di Papua mencapai 31 juta ha dengan hasil hutan sebagian besar adalah kayu meranti, kayu matoa, kayu merbau, dan kayu damar. Total produksi hutan sebesar 21 ribu ton (2005). Total potensi hutan meskipun secara fisik cukup besar namun kurang ekonomis karena potensi per hektarnya sangat rendah yaitu 35 m³/ha untuk jenis komersial dan 61 m³/ha untuk semua jenis. Luas lahan pengembangan tanaman pangan dan hortikultura mencapai 3,5 juta ha (2005), dengan rincian yang sudah dimanfaatkan 103 ribu ha atau 2,29 persen dan yang belum dimanfaatkan seluas 3,4 juta ha atau 97,08 %. Luas perkebunan sebesar 5,5 juta ha, seluas 161 ribu ha sudah dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat (PR) dan perkebunan besar (PB) dengan total produksi 62 ribu ton. Komoditas unggulan adalah kelapa sawit dengan produksi 31 ribu ton (49,91 persen), kakao dengan produksi 11 ribu ton (18.28 persen), kopi Arabic produksi 2.583 ton (4.16%), buah merah dengan produksi 1.889 ton (3,04%) dan karet dengan total produksi 1.458 ton (2,35%) di tahun 2005. Komoditas yang paling diminati oleh investor adalah kelapa sawit, dengan luas areal perkebunan 21,4 ribu ha. Di Papua terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada. Keragaman bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh karena itu bahasa Indonesialah yang digunakan secara umum oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan sampai dipelosok-pelosok pedalaman. Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua. Dalam hal kerukunan antar umat beragama Papua dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. Mayoritas penduduk Papua beragama Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua maka jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak misionaris baik asing maupun Indonesia yang melakukan misi keagamaan di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat melalui sekolah-sekolah misionaris, pengobatanpengobatan maupun secara langsung mendidik masyarakat pedalaman dalam bidang pertanian, mengajar bahasa Indonesia maupun pengetahuanpengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler.

Penduduk asli Papua terdiri dari beragam etnik dan yang sudah teridentifikasi sebanyak 250 kelompok etnik. Mereka hidup secara berkelompok dalam unit-unit kecil, saling terpisah dan memiliki adat, budaya dan bahasa sendiri. Pada daerah-daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan kelompok etnik dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeda. Dengan mengacu pada perbedaan topografi dan adat istiadatnya maka sacara garis besar penduduk Papua dapat di bedakan menjadi 3 kelompok besar yaitu: • Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum, rumah di atas tiang (rumah panggung); mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan. • Penduduk daerah pedalaman yang hidup pada daerah sungai, rawa, danau dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan. • Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun beternak secara sederhana. Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis ayah atau patrilineal. Jumlah penduduk Papua hingga 2008 adalah 2,6 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 7 jiwa per kilometer persegi (2008). Jumlah penduduk usia kerja (Agustus 2008) sebesar 1,4 juta jiwa terdiri dari angkatan kerja sebesar 1,07 juta jiwa dan bukan angkatan kerja sebesar 326 ribu jiwa. Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja sebanyak 1,03 juta jiwa dan pengangguran 47 ribu jiwa. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 76,70 persen, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 4,39 persen. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 sebanyak 794 ribu jiwa (40,78 persen) di mana 95,5 persen berada di pedesaan. Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2009 sebesar Rp 1.216.100. Jumlah penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) (2005) menurut kategori sangat miskin sebanyak 157 ribu jiwa, miskin sebanyak 139 ribu jiwa, dan mendekati miskin sebanyak 192 ribu jiwa. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di tahun 2006 adalah 62,8, sementara angka indeks untuk Indonesia sebesar 70,1 pada tahun yang sama. Sampai saat ini pembangunan di Papua belum berjalan dengan baik. Meskipun pemerintah pusat sejak 2002- 2013 telah mengucurkan dana sekira Rp 40 triliun ke Papua tapi belum terjadi perubahan signifikan. Bahkan di beberapa daerah di Papua masih terjadi kelaparan, gizi buruk, dan standard kesehatan yang masih rendah. Dana otonomi khusus yang semestinya digunakan untuk petani, nelayan, dan infrastruktur ternyata malah dialokasikan untuk gaji pegawai dan pembangunan gedung-gedung pemerintahan. Pada Pasal 36 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus mengatur bahwa sekurang-kurangnya 15% dana Otonomi Khusus ditambah dengan 20%

dana APBD diperuntukkan atau dianggarkan untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Ternyata dana tersebut menguap tak jelas tanpa ada yang bertanggungjawab dan tidak ada penindakan hukum. 3. Warga Negara Indonesia asal Papua a. Konsep Dasar tentang Warga Negara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dalam Pasal 4 huruf a menyatakan bahwa kew arganegaraan adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Asas kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam negara tersebut. Dalam menerapkan asas kewarganegaraan dikenal dua pedoman penetapan, yaitu : 1) Asas kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan kelahiran dijumpai dua bentuk asas yaitu, ius soli dan ius sanguinis. Dalam bahasa Latin ius berarti hukum, dalih atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah dan sanguinis yang berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan darah atau keturunan.10 2) Asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan yang dapat dilihat dari sisi derajat. Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suamiistri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah dalam suatu kesatuan yang bulat, sehingga perlu adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama dan meniscayakan kewarganegaraan yang sama pula, sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. b. Hak Warga Negara Indonesia dalam UUD 1945 Komponen dari suatu bangsa warga negara akan mendapatkan kompensasi dari negaranya sebagai hak yang harus diperoleh, selain memberikan kontribusi tanggung jawab sebagai kewajiban pada negaranya. Berikut ini beberapa hak yang dimiliki warga negara Indonesia yang telah tercantum dalam UUD 1945 :

1. Hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat kerakyatan yang dianut Indonesia. Pasal 27 (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kesamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian. Pasal ini menunjukkan kepedulian kita terhadap hak asasi sekaligus keseimbangan antara hak dan kewajiban dan tidak adanya diskriminasi diantara Warga Negara. 2. Hak kebebasan berserikat dan berkumpul Pasal 28 UUD 1945 menetapkan hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan dan sebagainya. 3. Hak kebebasan memeluk agama Pasal 29 (1), (2) UUD 1945 mengatur kebebasan beragama di Indonesia. Hak atas kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau golongan melainkan berdasarkan keyakinan sehingga tidak dapat dipaksakan. 4. Provinsi Papua Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus, bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima puluh) bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia. Lebih dari 250 suku yang ada di Papua masingmasing memiliki hukum adat tersendiri yang masih bertahan hingga kini. Dalam masyarakat adat, hukum adat dinilai lebih menguntungkan pihak korban dari pada hukum positif. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Papua masa era kolonial Belanda daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea).12 B. Tinjauan Umum UU NO 21 tahun 2001 tentang OTSUS Papua serta Perkembangannya Lahirnya otonomi khusus Papua, jika dipandang dari aspek kejiwaan mengandung 3 (tiga) pesan moral utama, yaitu : (1) Adanya keberpihakan kepada orang asli Papua, (2) Pemberdayaan, (3)Perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua dari berbagai bentuk penyimpangan yaitu, kekerasan, penganiayaan, penghinaan, dan pembunuhan. Pelaksanaan otonomi khusus, diharapkan akan menghentikan semua bentuk pelanggaran hak-hak dasar, kekerasan dan konflik. Pelaksanaan otonomi khusus diterapkan mengutamakan pembangunan dalam rangka dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, adanya keadilan, kedamaian, penghormatan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua, akan tetapi realitas masih menunjukkan dalam

tataran implementasi, otonomi khusus, banyak menimbulkan penyimpangan dari amanat pokok otonomi khusus.

C. Pelanggaran Hak SIPOL terhadap Warga Negara Indonesia asal Papua setelah berlakunya UU No 21 Tahun 2001 tentang OTSUS Papua Papua menjadi perhatian nasional maupun internasional terkait masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia merupakan syarat fundamental dari berjalannya Negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia. Hal itu merupakan prinisp penting yang mendasari bahwa setiap pelaksanaan kekuasaan Negara harus menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar pijakan demi terpenuhinya martabat manusia setiap warga negaranya. Kasus pelanggaran HAM yang banyak terjadi di Papua saat ini antara lain pelanggaran Hak Sipil dan Politik dalam bentuk pembatasan hak berekspresi, kekerasan terhadap masyarakat sipil terkait stigma separatis, masih maraknya kasus-kasus penembakan yang mengakibatkan korban dan berkurangnya perlindungan terhadap hak hidup dan hak atas rasa aman. Kebijakan Pemerintah berupa UU Otonomi Khusus untuk Papua yang dituangkan dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang telah dianggap gagal oleh sebagian besar masyarakat Papua. Upaya masyarakat sipil di Papua yang mendesak supaya diselenggarakannya dialog damai antara Pemerintah Pusat dan perwakilan masyarakat Papua untuk menciptakan perdamaian dialog Jakarta-Papua. Permasalahan di Papua yang terjadi selama ini telah berakibat serius terhadap kondisi pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Situasi seperti ini tidak pernah disikapi oleh pemerintah Indonesia secara bijaksana, tetapi malah sebaliknya menerapkan kebijakan secara sepihak yang makin menambah persoalan di Papua. Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua, baik semasa orde baru maupun peristiwa semasa reformasi belum diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang ada, misalnya kasus Pembunuhan Theys dan kasus Abepura Desember 2000 sangat mengecewakan masyarakat Papua. Begitu pula dengan kasus-kasus lainnya, seperti kasus Wasior dan Wamena hingga kini belum kelihatan hasilnya. Ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia telah menambah rasa kekecewaan masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia. UU Otonomi Khusus (Otsus) merupakan sebuah produk ideal yang memberi harapan untuk memulihkan hubungan antara pemerintah pusat dengan masyarakat Papua secara bertahap dan menyeluruh. UU yang terdiri dari 79 pasal ini cukup banyak memuat aturan yang berusaha untuk meningkatkan posisi dan kesejahteraan penduduk asli Papua, antara lain dengan menetapkan “Perlindungan Hak-hak Masyarakat

Adat” (Pasal 43 dan 44), bahkan penduduk Provinsi Papua juga diberi hak untuk membentuk partai politik dan rekruitmennya digariskan agar memprioritaskan masyarakat asli Papua (Pasal 28).15

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Setelah berlakunya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, masih banyak terjadi pelanggaran hak sipil politik di Papua yang tak pernah kunjung habis-habisnya. Pada dasarnya pemberian undang-undang otonomi khusus merupakan kewenangan khusus bagi orang Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dengan maksud untuk mewujudkan mensejahterakan dan bermartabat bagi orang Papua. Sudah hampir 13 tahun berlakunya UU Otonomi Khusus Papua, ternyata belum ada perubahan dengan penegakan hukum, keadilan hukum, tidak ada kesejahteraan rakyat dan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua. Meningkatnya kekerasan pelanggaran HAM di Papua oleh oknum militer baik TNI maupun Polri di provinsi paling timur ini. Seharusnya dengan adanya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua masalah pelanggaran hak asasi manusia mengenai penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan, penembakan misterius bisa diselesaikan dengan baik. B. Saran 1. Dialog Jakarta-Papua yaitu untuk menuntut hak keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua dan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM baik masa lalu maupun masa yang akan datang. 2. Kebijakan penyelesaian masalah di Papua dipusatkan pada implementasi yang konsisten atas otonomi khusus sebagai solusi yang adil, menyeluruh dan bermartabat. 3. Perlu ada Pengadilan HAM di Provinsi Papua, karena jarak antaraMakassar dan Papua cukup jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmett Salina. 2009. “Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009”. Jayapura: Komnas Perempuan. Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua dan International Center For Transtitional Justice (ICTJ) Indonesia serta didukung oleh HIVOS dan Swiss Embassy

Baiq L.S.W. Wardhani. 2008. “Go Internasional’ Konflik Etnis: Determinan, Difusi dan Eskalasi”. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol.2, No. 4, 2008. FISIP Universitas Parahyangan.

Carolyn Marr, 201, “Tanah Papua: Perjuangan yang Berlanjut untuk Tanah dan Penghidupan”, Buletin Down to Earth Edisi Khusus Papua No. 89-90, November 2011.

Danny Erlis Waimbo dan Prapto Yuwono. 2012. “Dinamika Masyarakat Papua Pada Era Otonomi Khusus”. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Vol. XXI, No. 1, 2012.

Departemen Ketahanan RI. 2006. “Ketahanan Wilayah Papua”. Jakarta: Direktorat Analisa Lingkungan Strategis Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan.

Related Documents

Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72
Bab-i-bab-v.doc
May 2020 71
Bab I & Bab Ii.docx
June 2020 67
Bab I & Bab Ii.docx
June 2020 65
Bab I-bab Iii.docx
November 2019 88

More Documents from "Nara Nur Gazerock"