Bab 6 - Gambaran Ringkas Sistem Inovasi

  • Uploaded by: Tatang Taufik
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 6 - Gambaran Ringkas Sistem Inovasi as PDF for free.

More details

  • Words: 14,278
  • Pages: 38
Bab GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

1.

PENDAHULUAN

Akan menjadi perdebatan yang berkepanjangan bila mendiskusikan apakah Indonesia benar-benar ”memiliki” sistem inovasi nasional (sistem nasional inovasi) atau tidak. Sebagian mungkin akan menyatakan bahwa SIN/SNI Indonesia ”belum terbentuk,” namun sebagian mungkin berargumentasi bahwa hal tersebut ada. Namun, apabila pengertian sistem inovasi lebih dipandang sebagai suatu ”konsepsi” atau suatu cara pandang, maka dapat dikatakan bahwa sistem inovasi di Indonesia setidaknya mulai berkembang, walaupun belum sepenuhnya berfungsi atau beberapa fungsi yang penting belum berkembang. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran elemen-elemen sistem itu sendiri. Lembaga/organisasi yang penting dalam suatu sistem inovasi telah mulai berkembang di Indonesia, hubungan/keterkaitan antar lembaga (atau aktor), fungsi dan aktivitas dalam sistem inovasi juga mulai berkembang. Patut diakui, kesemuanya masih memiliki banyak kelemahan, termasuk dalam konteks kebijakannya.98 Untuk memberikan gambaran umum tentang sistem inovasi di Indonesia, berikut adalah diskusi sangat ringkas menyangkut beberapa hal. Untuk mengawali memberikan gambaran nasional akan disampaikan beberapa indikator kuantitatif yang dinilai relevan dengan sistem inovasi untuk maksud buku ini. Ulasan ringkas tentang beberapa perkembangan nasional yang menyangkut sistem inovasi Indonesia akan mengawali diskusi tentang kebijakan inovasi di Indonesia. Selanjutnya, gambaran kelembagaan dan perkembangan legislasi yang penting akan dibahas secara singkat. Perlu dipahami bahwa dalam melakukan telaahan berkaitan dengan praktik sistem inovasi, terutama konteks struktur penadbirannya, beragam aspek senantiasa berubah. Seperti juga dialami di berbagai negara lain, ini seringkali terjadi bukan saja ketika situasi yang dihadapi dan rejim pemerintahan berubah, tetapi juga ketika ”personil/individu” pejabat baik dalam badan/lembaga penentu kebijakannya maupun badan/lembaga penasihatnya berganti. Selain itu, tidaklah mudah membuat hubungan secara langsung (straightforward) antara struktur penadbiran dengan kinerja inovasi. Karena itu, kajian tentang hal ini (sebagaimana yang disajikan di sini) perlu diletakkan sebagai suatu pandangan/perspektif yang berkaitan dengan suatu atau sehimpunan potret(-potret) sesaat dan sebagai bagian terbatas dari keseluruhan yang terus berkembang.

98

Diskusi tentang Sistem Inovasi Indonesia antar lain dapat dilihat pada KRT (2002) – laporanlaporan PERISKOP; Aiman, et al. (2004); Gammeltoft dan Aminullah (2004).

208

n

2.

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

BEBERAPA INDIKATOR NASIONAL

Dengan menggunakan beragam indikator berdasarkan data statistik yang tersedia, kemampuan iptek nasional sejauh ini masih sangat tertinggal, termasuk dari sebagian negara ASEAN lainnya. Kondisi ini semakin memburuk dengan adanya krisis ekonomi tahun 1997. Tabel 6.1 berikut menunjukkan perbandingan umum beberapa negara dalam indikator tertentu terkait dengan iptek. Sementara itu, Institute for Management Development (IMD) menerbitkan The World Competitiveness Scoreboard yang mengungkapkan rangking daya saing negara tahun 2003 (http://www.imd.ch/wcy/ranking/). Berbeda dengan tahun sebelumnya, penyusunan rangking tersebut menggunakan 321 kriteria (lihat Tabel 6.2) dan mencakup sebanyak 59 negara (49 negara pada tahun 2002). Terdapat tambahan negara dan “ekonomi regional/daerah” dalam edisi tahun 2003. Dua negara ditambahkan, yaitu Jordan dan Romania, dan 8 “ekonomi regional/daerah” yaitu: Bavaria (Jerman), Catalonia (Spanyol), Ile-de-France (Perancis), Lombardy (Italia), Maharashtra (India), Rhone-Alps (Perancis), the State of Sao Paulo (Brazil) dan Zhejiang (RRC). Selain itu, penyajiannya dipisah untuk negara dengan penduduk lebih banyak dari 20 juta jiwa (30 negara) dengan negara yang jumlah penduduknya lebih sedikit dari 20 juta jiwa (29 negara).

Tabel 6.1 Perbandingan Beberapa Negara Menurut Indeks Tertentu Terkait dengan Iptek. Peringkat Daya Saing Negara

(1)

PDRB/ Kapita

HDI

WEF

IMD (4)

GCI

BCI

(5)

(6)

TAI

TCI

Kategori

Dana Litbang

(7)

(8)

(9)

(10)

(2)

(3)

AS

34.320

0,937

1

2

1

0,733

298

Leader

2,6

Kanada

27.130

0,937

3

16

12

0,589

31

Leader

1,7

Australia

25.370

0,939

2

10

11

0,587

75

Leader

1,8

Jerman

25.350

0,921

5

13

5

0,583

235

Leader

2,4

Jepang

25.130

0,932

11

11

13

0,698

994

Leader

2,8

Finlandia

24.430

0,930

1

1

2

0,744

187

Leader

2,8

Singapura

22.680

0,884

2

6

8

0,585

8

Leader

1,1

Korea

15.090

0,879

15

18

23

0,666

779

Leader

2,8

Malaysia

8.750

0,790

4

29

26

0,396



Potential Leader

0,2

Thailand

6.400

0,768

10

32

31

0,337

1

Dynamic Adopter

0,1

China

4.020

0,721

12

44

46

0,299

1

Dynamic Adopter

0,7

Indonesia

2.940

0,682

28

72

60

0,211



Dynamic Adopter

0,1

India

2.840

0,590

20

56

37

0,201

1

Dynamic Adopter

0,7

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

209

Keterangan Tabel: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Kolom 2: PDB per Kapita tahun 2001 dengan Purchasing Power Parity (PPP) US$. Kolom 3: Nilai Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) tahun 2001. Kolom 4: Rangking menurut IMD di antara 30 negara berpenduduk > 20 juta jiwa (huruf miring : rangking untuk kelompok negara berpenduduk < 20 juta jiwa, 29 negara). Kolom 5 dan 6: Rangking menurut WEF tahun 2003 (102 negara). Kolom 7 dan 8: TAI (Technology Achievement Index) dan TCI (Technology Creation Index) dikutip dari UNDP - Human Development Report Tahun 2001.99 Kolom 9 dan 10: Kategori negara dan dana litbang (data tahun 1987-97) dikutip dari UNDP - Human Development Report Tahun 2001. Detail cara perhitungan dapat dilihat dalam masing-masing sumber. Sumber Data: UNDP, Human Development Report (2003, 2002, 2001). IMD (2003, www.imd.org). WEF (2003, www.weforum.org).

Tabel 6.2 Faktor Daya Saing. Faktor Utama

Sub Faktor

Keterangan

Kinerja Ekonomi (Economic Performance)

§ § § § §

Ekonomi Domestik Perdagangan Internasional Investasi Internasional Tenaga Kerja (employment) Harga

Evaluasi ekonomi makro dari perekonomian suatu negara, meliputi sebanyak 75 kriteria.

Efisiensi Pemerintah (Government Efficiency)

§ § § § §

Keuangan Publik Kebijakan Fiskal Kerangka Kelembagaan Peraturan Bisnis Kerangka Kemasyarakatan

Tingkat kondusif-tidaknya kebijakan pemerintah untuk daya saing, mencakup sebanyak 81 kriteria.

Efisiensi Bisnis (Business Efficiency)

§ § § § §

Produktivitas Pasar Tenaga Kerja Keuangan Praktik Manajemen Sikap dan Nilai

Tingkat kinerja perusahaan dalam hal cara-cara yang inovatif, profitable, dan bertanggung jawab, sebanyak 69 kriteria.

Infrastruktur (Infrastructure)

§ § § § §

Infrastruktur Dasar Infrastruktur Teknologi Infrastruktur Saintifik Kesehatan dan Lingkungan Pendidikan

Tingkat “kesesuaian” sumber daya dasar, teknologi, dan sumber daya manusia dalam memenuhi kebutuhan bisnis, sebanyak 96 kriteria.

Sumber: IMD (Rosselet-McCauley, 2003).

99

Indeks Pencapaian Teknologi (Technology Achievement Index/TAI) yang merupakan indeks komposit berdasarkan delapan indikator pada empat dimensi (kreasi teknologi, difusi inovasi terkini, difusi inovasi lama, dan keterampilan manusia); dan Indeks Kreasi Teknologi (Technology Creation Index/TCI) yang menunjukkan jumlah paten per satu juta penduduk.

210

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Gambar 6.1 dan 6.2 menunjukkan posisi daya saing beberapa negara menurut IMD. Dari 30 negara (dan daerah) berpenduduk lebih dari 30 juta jiwa, Indonesia menduduki posisi ke-28, jauh di bawah negara ASEAN lain, bahkan Provinsi Zhejiang di China dan Sao Paulo di Brazil.

1 (1)

100

USA

86.5

AUSTRALIA

2 (3)

84.1

CANADA

3 (2)

72.9

MALAYSIA GERMAN

69.8

TAIW AN

69.3

4 (6) 5 (4) 6 (7)

66.5

UNITED KINGDOM SPAIN

59.8

THAILAND

58.4

7 (5) 9 (8) 10 (13) 11 (11)

56.3

JAPAN

50.8

CHINA SAO PAULO

12 (12)

47.8

ZHEJIANG

47.4

KOREA

46.5 13.2

INDONESIA

0

13 14 15 (10)

28 (25)

20

40

60

80

100

Score

Catatan: Rangking Daya Saing Beberapa Negara Berpenduduk > 20 Juta Jiwa Menurut The World Competitiveness Scoreboard 2003

Sumber : IMD (2003). Dalam kurung : rangking tahun 2002.

Gambar 6.1 Rangking Daya Saing Beberapa Negara Tahun 2003 Menurut IMD.

World Competitiveness Yearbook Negara > 20 juta jiwa (30 negara)

WCY (49 negara)

Negara < 20 juta jiwa (29 negara)

’ 99

’00

’01

’02

’03

’ 99

’00

’01

’02

25

24

24

25

28

47

44

49

47

Efisiensi Pemerintah

Kinerja Ekonomi ’ 99 ’00 ’01 ’02 ’03 26 19

17

19

24

’ 99 ’00 25

21

Efisiensi Bisnis

’01

’02

’03

24

23

27

Sumber : IMD (2003).

Gambar 6.2 Perkembangan Daya Saing Indonesia Menurut IMD.

’ 99 ’00 ’01 ’02 26 24

22

26

’03 30

Infrastruktur ’ 99 ’00 ’01 ’02 ’03 26 26

25

26

30

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

211

Indikator lain adalah yang dikembangkan oleh the World Economic Forum (WEF). Porter dan Stern (2001) dalam the Global Competitiveness Report (GCR) yang diterbitkan oleh WEF mendiskusikan bagaimana kapasitas inovatif berbagai negara dengan konsep seperti telah dibahas pada Bab 2 (Tabel 6.3).100 Dalam pengukuran WEF ini, terdapat dua bagian utama, yaitu: ¨

Bagian pertama disebut the Growth Competitiveness Index (GCI), yang dikembangkan oleh Jeffrey D. Sachs (Columbia University dan John W. McArthur of The Earth Institute) dan disajikan dalam The Global Competitiveness Report 2001–2002. Tujuan utama GCI adalah menganalisis potensi pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus (sustained) dalam jangka menengah dan jangka panjang. GCI didasarkan pada tiga gagasan, yang secara singkat adalah sebagai berikut:101 a.

Proses pertumbuhan ekonomi dapat dianalisis dalam tiga kategori penting (sebagai pilar yang mendasari GCI), yaitu: lingkungan ekonomi makro, kualitas kelembagaan publik, dan teknologi: §

Lingkungan ekonomi makro merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi.

§

Dalam ekonomi pasar, kesejahteraan pada akhirnya diciptakan oleh bisnis. Walaupun begitu, bisnis tersebut beroperasi dalam suatu negara dan berhubungan dengan lembaga-lembaganya (termasuk sistem legal dan peradilan).

§

Kemajuan teknologi (technological progress) sebagai sumber teramat penting bagi pertumbuhan.

Tiga komponen, yaitu: indeks teknologi (the technology index), indeks lembaga publik (the public institutions index), dan indeks lingkungan ekonomi makro (the macroeconomic environment index) yang mencerminkan GCI (ketiga komponen tersebut dikombinasikan untuk memperoleh keseluruhan GCI). b.

Walaupun kemajuan teknologis pada akhirnya merupakan sumber terpenting bagi pertumbuhan, sumbernya mungkin akan berbeda bagi setiap negara. Hal ini, terutama untuk perekonomian yang telah dekat dengan teknologi termaju, inovasi merupakan sumber perbaikan teknologi. Untuk yang masih jauh dari teknologi termaju, perbaikan teknologi dapat dicapai sebagian melalui inovasi dan sebagian lagi dengan meniru atau mengadopsi pengetahuan yang telah dikembangkan sebelumnya di negara maju. Dalam analisis ini, terdapat dua kelompok negara, yaitu: “inovator inti” (core innovators) dan “inovator non-inti” (non-core innovators), yang didasarkan pada “kapasitas inovatifnya” (innovative capacity), dengan menggunakan batasan 15 paten per 1 juta penduduk. Bagi kelompok inovator inti, bobot inovasi lebih besar. Sementara untuk negara inovator non-inti, bobot adopsi teknologinya (menggunakan technology transfer subindex) yang lebih besar (dan nol untuk inovator inti).

c.

100

101

Pentingnya determinan daya saing ekonomi yang beragam bagi negara inovator inti dan non-inti. Untuk negara inovator inti, inovasi teknologi semakin penting bagi pertumbuhan ekonomi sehingga diberi bobot yang lebih tinggi dibanding pada negara inovator non-inti. Untuk negara inovator non-inti, yang pada dasarnya masih sangat penting untuk mengupayakan ketepatan pengembangan lingkungan ekonomi makro dan kelembagaannya, bobot yang sama diberikan pada ketiga indeks.

Porter dan Stern (2001) juga mengungkapkan keterkaitan erat antara kapasitas inovatif dengan daya saing dan dengan kesejahteraan. Lihat http://www.weforum.org/

212

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

n

Tabel 6.3 Perbandingan Kapasitas Inovatif Beberapa Negara Tahun 2001.102 Kapasitas Inovatif Negara

Rangking

Rangking

Indeks

Daya Saing (CCI)

S&E

KI

LIK

Keterkaitan

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

AS

1

30,3

2

6

1

1

1

Finlandia

2

29,1

1

7

4

2

3

Jerman

3

27,2

4

11

7

4

10

Inggris

4

27,0

7

18

13

3

9

Australia

7

26,9

9

8

10

9

5

Kanada

10

26,5

11

14

5

12

11

Jepang

12

26,4

15

1

12

7

21

Singapura

13

26,0

10

17

2

17

15

Taiwan

14

26,0

21

16

9

8

17

Korea

23

22,9

28

22

24

24

24

Selandia Baru

24

22,1

20

28

35

27

19

India

38

18,9

36

59

39

31

23

China

43

18,1

47

44

46

44

41

Thailand

46

17,4

38

60

30

40

49

Malaysia

52

16,8

37

63

28

54

46

Indonesia

54

16,4

55

47

48

58

62

Vietnam

61

13,8

62

70

69

55

57

(1)

Sumber : Porter dan Stern (2001). Keterangan Tabel: 1. 2. 3. 4. 5.

6.

7.

102

Kolom 2: Rangking Kapasitas Inovatif (Innovative Capacity Rank). Kolom 3: Nilai Indeks Kapasitas Inovatif (Innovative Capacity Index). Kolom 4: Rangking Daya Saing (Current Competitiveness Index). Kolom 6: Rangking Proporsi iImuwan dan Enjiner dalam struktur tenaga kerja. Kolom 7: Rangking Kebijakan Inovasi (Innovation Policy). Ukuran subindeksnya mencakup: tingkat paten internasional, jumlah paten, dan proporsi jumlah ilmuwan dan enjiner dalam tenaga kerja, serta tiga ukuran lain: efektivitas perlindungan HKI, kemampuan negara untuk mempertahankan ilmuwan dan enjiner, dan ukuran dan adanya kredit pajak litbang bagi sektor swasta. Kolom 8: Rangking Lingkungan Inovasi Klaster (Cluster Innovation Environment): Ukuran yang digunakan untuk subindeks ini adalah sofistikasi dan tekanan berinovasi dari pembeli domestik. Kehadiran pemasok riset dan training khusus, dan kehadiran dan perkembangan klaster industri. Kolom 9: Rangking Keterkaitan (Linkage). Ukuran yang digunakan untuk subindeks ini berkaitan dengan kualitas keseluruhan dari lembaga-lembaga riset, dan ketersediaan modal ventura bagi proyek-proyek inovatif namun berisiko.

Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Porter dan Stern (2001).

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA ¨

n

213

Bagian kedua, yang disebut the Business Competitiveness Index/BCI (pada edisi sebelumnya disebut the Microeconomic Competitiveness Index/MICI), dikembangkan oleh Michael Porter (Harvard University) dan pertama kalinya diperkenalkan dalam The Global Competitiveness Report 2000. BCI didasarkan pada konsep bahwa ukuran daya saing adalah produktivitas, dan determinan produktivitas dan pertumbuhannya adalah konteks ekonomi makro, politik, legal, dan sosial untuk pembangunan dan landasan ekonomi mikro untuk pembangunan. BCI menekankan pada konteks landasan ekonomi mikro bagi produktivitas. Dua faktor utama yang diukur adalah sofistikasi strategi dan operasi perusahaan, dan kualitas lingkungan bisnis ekonomi mikro.

Cakupan survei daya saing negara oleh WEF selanjutnya bertambah dari 80 negara menjadi 102 negara. Gambar 6.3 merupakan sebagian potret daya saing Indonesia menurut versi WEF untuk tahun 2003.

GCR (102 negara)

Rangking Daya Saing Indonesia

Rangking GCI

Indikator

72

Rangking BCI

60

Rangking

Indikator

Rangking

Indeks Lingkungan Ekonomi Makro

64

Operasi dan Strategi Perusahaan

62

Indeks Lembaga Publik

76

Kualitas Lingkungan Bisnis Nasional

61

Indeks Teknologi

78

Sumber : WEF (www.weforum.org)

Gambar 6.3 Rangking Daya Saing Indonesia Tahun 2003 Menurut WEF.

Dalam laporan WEF tersebut, Porter juga menunjukkan hubungan antara BCI dengan PDB per kapita. BCI merupakan faktor yang menentukan 83% variasi PDB per kapita. Analisis non linier untuk setiap kelompok negara (berdasarkan pendapatannya) mengungkapkan bahwa di negara berpendapatan lebih tinggi, perbaikan dalam BCI mempunyai dampak lebih tinggi terhadap PDB per kapita dibanding dengan di negara berpendapatan lebih rendah. Dua interpretasi menurut Porter adalah seperti berikut. Pertama, perbaikan kondisi ekonomi mikro di negara-negara berpendapat lebih tinggi mempunyai dampak spillover positif (perbaikan pada satu bagian lingkungan bisnis akan mempunyai dampak yang lebih besar, jika bagian lingkungan bisnis lainnya lebih kuat). Kedua,

214

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

negara-negara berpendapatan lebih rendah hanya memperoleh manfaat lebih sedikit dari perbaikan kondisi ekonomi mikro karena kelemahan dalam kondisi ekonomi makro, politik, legal, dan sosial. Negara-negara juga dapat dilihat berdasarkan perbandingan antara kemajuan perusahaannya relatif terhadap kemajuan lingkungan bisnis di negaranya. Indonesia (di bawah garis 45 derajat) dalam segi ini termasuk negara yang perusahaan-perusahaannya cukup maju dibanding dengan kondisi lingkungan bisnisnya. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan mengelompokkan atas tiga kategori negara berdasarkan perbandingan antara tingkat PDB per kapita dengan daya saing ekonomi mikronya (upside potential, neutral, current overachievers). Menurut analisis ini, Indonesia, termasuk negara berpendapatan rendah yang mempunyai potensi bahwa perbaikan ekonomi mikro akan mendukung peningkatan pendapatan per kapita (upside potential).103 Sementara itu, the World Bank Institute telah merancang suatu program yang disebut Knowledge for Development (K4D), yang perannya adalah membantu negara-negara anggota mencapai tujuan memanfaatkan revolusi dalam pengetahuan untuk mengurangi kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Program ini terdiri atas empat komponen utama, yaitu: ¨

Course/Policy Forum yang mempersiapkan peserta mengatasi isu-isu kunci dalam menggunakan pengetahuan secara efektif, dan menyediakan suatu metodologi pengkajian pengetahuan untuk mengkaji kesiapan negara masing-masing bagi ekonomi pengetahuan.

¨

Policy Services yang membantu negara anggota mengembangkan strategi pengetahuan yang kongkrit untuk ekonomi secara keseluruhan ataupun dalam sektor-sektor spesifik. Karya terbaru yang dihasilkan termasuk laporan tentang China and the Knowledge Economy: Seizing the 21st Century dan Korea and the Knowledge-based Economy: Making the Transition.

¨

TechNet, yang merupakan kelompok tematik Bank Dunia tentang iptek untuk pembangunan yang berperan sebagai clearinghouse dan jaringan bagi para profesional.

¨

Knowledge Economy Tools yang membantu negara-negara melakukan benchmark masingmasing negaranya terhadap negara tetangga, pesaing, ataupun negara lainnya yang diharapkan dapat dicontoh. Salah satu alatnya adalah yang disebut Knowledge Assessment Methodology (KAM).

Dalam publikasinya, Bank Dunia (World Bank, Knowledge Assessment Matrix) menyajikan alat interaktif untuk mengevaluasi kinerja suatu negara dalam berbagai dimensi, termasuk yang terkait dengan sistem inovasi (lihat http://www1.worldbank.org/gdln/kam.htm). Tabel 6.4 dan Gambar 6.4 berikut mengilustrasikan gambaran sistem inovasi Indonesia dan perbandingan dengan beberapa negara. Beragam indikator perbandingan, yang antara lain seperti telah disampaikan, menunjukkan ketertinggalan Indonesia dalam daya saing dan sistem sistem inovasi bahkan dari beberapa negara ASEAN lain yang dewasa ini terus berkembang pesat (terutama Singapura, Malaysia dan Thailand).

103

Hasil WEF dapat dilihat di http://www.weforum.org/

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

215

Tabel 6.4 Gambaran Perbandingan Sistem Inovasi Menurut KAM Bank Dunia Tahun 2004. Variabel

Indonesia

Malaysia

Singapura

Thailand

2.40 / 4.34

6.10 / 8.32

14.90 / 9.82

2.90 / 5.04

Pembayaran royalty and license fees ($ juta)

n/a / n/a

751.00 / 7.93

n/a / n/a

1101.00 / 8.37

Pembayaran royalty and license fees / 1 juta penduduk

n/a / n/a

31.60 / 7.39

n/a / n/a

17.90 / 6.74

Penerimaan royalty and license fees ($ juta)

n/a / n/a

21.00 / 5.32

n/a / n/a

8.00 / 4.68

Penerimaan roy. and lic. fees / 1 juta pddk.

n/a / n/a

0.90 / 5.19

n/a / n/a

0.10 / 2.34

Rasio pendaftaran sains & enjinering (% mhs dikti)

39.00 / 7.69

27.00 / 3.89

n/a / n/a

18.00 / 1.20

Jml peneliti dalam litbang (JPL)

21160 / 6.67

3415 / 2.74

16740 / 5.71

4409 / 3.33

JPL / 1 juta pend.

129.82 / 1.90

153.83 / 2.02

4082.93 / 9.29

74.23 / 1.19

Tot. pengeluaran litbang (% PNB)

0.07 / 0.13

0.40 / 3.20

1.88 / 8.13

0.10 / 0.67

Perdag. Manuf. sbg % PDB

34.89 / 5.45

165.90 / 9.73

229.54 / 9.91

83.46 / 9.02

Kolaborasi riset univ.-perusahaan

3.50 / 4.81

3.80 / 5.97

5.00 / 8.83

3.80 / 5.97

Kewirausahaan di antara Manajer

4.00 / 0.39

6.73 / 8.63

5.34 / 3.14

6.10 / 5.29

Artikel jur.l ilmiah dan tekn. (AJIT)

142.00 / 4.33

416.00 / 5.83

1653.0 / 7.00

470.00 / 6.00

AJIT / 1 juta penduduk

0.70 / 0.50

18.32 / 4.42

418.27 / 8.58

7.80 / 3.75

Beban Adm. Perusahaan Pemula

4.50 / 5.97

5.40 / 8.57

5.90 / 9.61

5.10 / 7.79

Ketersediaan modal ventura

2.40 / 1.69

3.40 / 5.45

4.30 / 7.92

3.20 / 4.68

Aplikasi paten yang diberi (granted) oleh the USPTO (P-USPTO)

10.00 / 5.23

56.00 / 6.92

304.00 / 8.04

47.00 / 6.73

P - USPTO / 1 juta penduduk

0.05 / 2.80

2.35 / 6.82

73.61 / 8.13

0.77 / 5.79

Ekspor high-tech (% ekspor manufaktur)

13.00 / 6.93

57.00 / 9.70

60.00 / 9.80

31.00 / 9.01

Pengeluaran swasta untuk litbang

3.30 / 3.90

4.10 / 6.88

4.60 / 7.79

3.30 / 3.90

% PMA (FDI) dari PDB

216

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Malaysia

S ingapura

Thailand

Indonesia

% PMA (FD I) dari PDB Rasio pendaftaran sains & enjinering Pengeluaran swasta untuk litbang (% dari mahasiswa pendidikan tinggi) Ekspor high-tech sbg % dari ekspor Jml peneliti dalam litbang / 1 juta manufaktur penduduk 10

9 8 7

6 5 4

3

Paten yang diberi oleh USPTO / 1 juta penduduk

Total pengeluaran litbang sbg % PNB

2 1 0

Ketersediaan modal ventura

Beban Administratif Perusahaan Pemula Artikel jurnal ilmiah dan teknis / 1 juta penduduk

Perdag. Manuf. sbg % PDB

Kolaborasi riset universitasperusahaan K ewirausahaan di antara Manajer

Sumber : Berdasarkan Data KAM Bank Dunia.

Gambar 6.4 Perbandingan Beberapa Variabel Sistem Inovasi Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN Lain Menurut KAM Bank Dunia.

3.

MENUJU EKONOMI PENGETAHUAN

Di antara perubahan dewasa ini adalah perkembangan ekonomi internasional menunjukkan “kecenderungan ke arah ”ekonomi pengetahuan.”104 Pengetahuan dan inovasi dipandang semakin menentukan aktivitas ekonomi, dan pada akhirnya tentunya kesejahteraan ekonomi masyarakat. Negara yang masih terlampau bertumpu pada melimpahnya sumber daya alam semata (dengan proses peningkatan nilai tambah rendah) cenderung memiliki tingkat pendapatan lebih rendah. Seperti ditunjukkan pada Gambar 6.5 berikut, Indonesia masih termasuk kelompok negara demikian. Bank Dunia juga menelaah kondisi suatu negara berkaitan dengan perkembangan ekonomi pengetahuan dengan menyusun indikator tertentu yang disebut Indeks Ekonomi Pengetahuan/IEP atau Knowledge Economy Index/KEI. IEP (KEI) merupakan rata-rata nilai (skor) kinerja suatu negara atau daerah dalam empat pilar Ekonomi Pengetahuan/EP (Knowledge Economy/KE), yaitu Rejim Insentif Ekonomi (Economic Incentive Regime); Pendidikan; Inovasi; dan Informasi, Komunikasi dan Teknologi (lihat Tabel 6.5). Indeks Pengetahuan (Knowledge Index/KI) adalah rata-rata kinerja suatu wilayah dalam tiga pilar Ekonomi Pengetahuan/EP (Knowledge Economy/KE), yaitu Pendidikan; Inovasi; dan Informasi, Komunikasi dan Teknologi.105

104

105

Beberapa menggunakan istilah berbeda seperti ekonomi economy/KBE), knowledge-driven economy, atau new economy,

berbasis

pengetahuan/EBP

(knowledge-based

Skor setiap pilar diperoleh dari rata-rata normalisasi skor setiap pilar yang menentukan variabel untuk setiap data yang tersedia. Setiap pilar intinya terdiri atas tiga variabel. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat http://info.worldbank.org/ etools/kam2004/html/technical.htm.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

217

$35,000

$30,000 United States

PNB p er Kap ita

$25,000

Sw itzerland Singapore Netherlands Canada

$20,000

Australia

Sw eden $15,000

$10,000

Argentina South Africa

$5,000 China 0

Indonesia 10

20

Trinidad and Tobago

Colombia

Romania $0

Chile

30

Egypt Bolivia 40

Peru

50

Venezuela

Russian Federation 60

70

80

90

Persentase Ekspor Bahan Mentah/Baku Persentase ekspor berupa bahan mentah/baku yang dihitung berdasarkan persentase barang eskpor dalam bahan baku pertanian, logam dan bijih (metals and ores), dan bahan bakar (fuels).

Sumber : Berdasarkan data World Development Report 2000.

Gambar 6.5 Persentase Ekspor Sumber Daya Alam dan PNB per Kapita Tahun 1998.

Seperti halnya analisis dari WEF, studi Bank Dunia menunjukkan hubungan erat antara kemajuan ekonomi berbasis pengetahuan (diindikasikan oleh Indeks Ekonomi Pengetahuan/IEP, yang antara lain mencakup kemampuan inovasi) dengan kesejahteraan ekonomi masyarakat (yang diindikasikan oleh PDB per kapita) suatu negara (Gambar 6.6). Uraian yang disampaikan menunjukkan bahwa Indonesia, sebagai suatu negara berpenduduk besar dan memiliki peran sangat penting di masa lalu (setidaknya di kawasan ASEAN), kini merupakan salah satu negara yang, menurut beragam indikator kemajuan, khususnya berkaitan dengan kapasitas inovatif atau sistem inovasi, mengalami ketertinggalan bahkan dari sebagian negara ASEAN sekalipun. Tanpa upaya sungguh-sungguh untuk memperbaikinya secara cepat, maka ancaman ketertinggalan (kesenjangan) dari negara ASEAN lain berpotensi semakin melebar. Jika masukan sumber daya, terutama dana, merupakan faktor yang menentukan kemajuan keluaran litbang/inovasi dan capaian Indonesia (daya saing dan PDB per kapita), sebagaimana diyakini, maka gambaran yang disampaikan sebelumnya tidaklah terlampau mengejutkan. Ini dapat dilihat misalnya dari relatif rendahnya pendanaan aktivitas iptek/litbang di Indonesia (Gambar 6.7). Sebagai perbandingan, rasio anggaran litbang/PDB di Malaysia, China dan Singapura pada tahun 2000 berturut-turut adalah 0,5%; 1%; dan 1,89%.

218

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN Tabel 6.5 Perbandingan antar Kinerja Beberapa Negara Menurut Indikator Ekonomi Pengetahuan Tahun 2004.

Negara Finlandia Norwegia AS Belanda Swiss Australia Selandia Baru Jerman Jepang Singapura Korea Malaysia Thailand Dunia China Indonesia India

IEP (KEI)

Rejim Insentif Ekonomi

Inovasi

Pendidikan

Infrastruktur Inovasi

9,14 8,84 8,67 8,66 8,65 8,64 8,40 8,37 8,25 8,24 7,74 5,31 5,05 4,82 3,49 2,57 2,52

8,61 8,14 7,81 8,34 8,36 8,14 8,28 7,95 7,23 9,53 6,10 5,52 5,88 4,55 2,42 2,41 2,78

9,63 8,81 9,39 8,64 9,46 8,62 7,94 8,82 9,26 8,67 8,04 4,42 3,58 4,88 4,13 1,74 3,20

9,17 8,98 8,43 8,65 7,82 9,14 8,95 7,87 8,09 5,61 7,80 4,51 5,80 4,90 3,04 3,43 2,13

9,13 9,41 9,03 9,02 8,97 8,67 8,43 8,82 8,40 9,13 9,03 6,81 4,94 4,96 4,35 2,71 1,95

Sumber: Bank Dunia.

Sumber : Dahlman (2003).

Gambar 6.6 Hubungan antara IEP (KEI) dengan PDB per Kapita.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

P ersentase terhadap P D B

Iptek

n

219

Litbang

0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 1999

2000

2001

2002

Tahun Sumber : LIPI dan KRT (2003) “Indikator Iptek Indonesia.”

Gambar 6.7

Pendanaan Aktivitas Iptek dan Litbang di Indonesia.

Kelemahan dukungan sumber daya, terutama pendanaan, bagi iptek/litbang, mengindikasikan dan sebenarnya berimplikasi pula pada daya dukung iptek/litbang bagi perkembangan inovasi, penghargaan/apresiasi yang rendah terhadap aktor iptek, dan efektivitas program/kegiatan inovasi. Walaupun rasio jumlah tenaga peneliti per 10.000 penduduk Indonesia (4,7) relatif lebih tinggi dibanding dengan Malaysia (3) dan Thailand (4,4), ini tidak otomatis mengindikasikan ”lebih baik.”106 Rendahnya pendapatan peneliti Indonesia pada umumnya dan cukup banyaknya tenaga berpendidikan tinggi yang tidak bekerja di bidangnya, serta produktivitas peneliti merupakan di antara faktor yang perlu dikaji lebih dalam. Invensi (terutama ukuran paten) merupakan salah satu indikator yang biasanya digunakan sebagai proksi bagi tingkat inovasi. Dengan menggunakan data paten (Tabel 6.6 dan Gambar 6.8), perkembangan potensi inovasi di Indonesia sejauh ini masih relatif lambat. Secara keseluruhan, paten dalam negeri adalah sekitar 3,6% dari keseluruhan paten yang diberi (granted) di Indonesia. Penurunan perolehan paten di akhir 1990an, sangat mungkin berkaitan dengan pengaruh krisis ekonomi yang berdampak luas, termasuk terhadap aktivitas litbang. Walaupun begitu patut dicatat bahwa peningkatan intensitas perhatian pemerintah (terutama melalui KRT beserta LPND yang dikoordinasikannya), departemen teknis lain (terutama Deperindag) dan pihak-pihak lain (terutama perguruan tinggi negeri seperti IPB dan ITB) sejak tahun 1999, memberi pengaruh cukup signifikan terhadap peningkatan perolehan HKI dalam negeri.

106

Lihat data indikator iptek (LIPI dan KRT, 2003).

220

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

n

Tabel 6.6 Jumlah Paten yang Diberikan (Granted). Dalam Negeri

Tahun P

PS

Luar Negeri Jumlah

P

PS

Total

% DN Paten

Jumlah

1993

1

11

12

1

5

6

18

66,670

1994

5

26

31

54

7

61

92

33,700

1995

14

27

41

376

23

399

440

9,318

1996

19

41

60

883

17

900

960

6,250

1997

15

26

41

961

19

980

1.021

4,016

1998

10

6

16

1.207

157

1.364

1.380

1,159

1999

7

21

28

1.267

6

1.273

1.301

2,152

2000

5

13

18

1.048

8

1.056

1.074

1,676

2001

9

40

49

1.325

24

1.349

1.398

3,505

2002

21

51

72

2.471

14

2.485

2.557

2,816

2003

16

61

77

2.828

6

2.834

2.911

2,645

2004*

28

68

96

1.870

21

1.891

1.987

4,831

150

391

541

14.291

307

14.598

15.139

3,574

Jumlah

Sumber: Ditjen HKI, Departemen Kehakiman dan HAM RI

Sementara itu, Tabel 6.7 dan Gambar 6.9 menunjukkan perkembangan paten dalam negeri dan masih relatif tingginya ”kegagalan” perolehan paten. Ini dapat mengindikasikan kualitas penelitian yang masih relatif rendah atau proses pengajuan yang belum memenuhi ketentuan.

3000 2500 2000 1500 Dalam Negeri

1000

Luar Negeri

500 0 1993

1995

1997

1999

2001

2003

Sumber : Data dari Situs Web Ditjen HKI. * Data tahun 2004, sampai September.

Gambar 6.8 Perbandingan Paten yang Diberi (Granted) dari Pemohon Dalam Negeri dan Luar Negeri.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

221

Tabel 6.7 Perkembangan Paten dalam Negeri. Paten Dalam Negeri

Paten Sederhana Dalam Negeri

Tahun Diberi (Granted)

Diberi (Granted)

Ditolak

Total

Ditolak

Diberi (Granted)

Ditolak

2001

9

3

40

9

49

12

2002

21

13

50

48

72

61

2003

16

17

61

30

77

47

2004

28

8

68

30

96

38

Jumlah

74

41

220

117

294

158

Sumber: Data dari Situs Web Ditjen HKI. * Data tahun 2004, sampai September.

P Diberi

P Ditolak

PS Diberi

PS Ditolak

Total Diberi

Total Ditolak

120 100 80 60 40 20 0 2001

2002

2003

2004*

Sumber : Data dari Situs Web Ditjen HKI. * Data tahun 2004, sampai September.

Gambar 6.9 Perkembangan Paten Dalam Negeri.

4.

PERKEMBANGAN INOVASI NASIONAL: BIDANG IPTEK

Diskusi yang disampaikan di sini ditekankan pada tinjauan singkat terkait dengan perkembangan iptek nasional. Walupun bukan merupakan pencermatan komprehensif dan mendalam tentang perkembangan iptek nasional, menurut hemat penulis secara historis terdapat tiga masa/periode penting dalam perkembangan iptek nasional sejauh ini, yaitu: periode/masa inisiasi/awal, peletakan fondasi iptek, dan masa transisi krisis. Selanjutnya, percepatan proses dalam mengatasi krisis merupakan kunci bagi Indonesia untuk dapat memasuki era baru pemajuan sistem inovasi.

222 4.1

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Masa/Periode Inisiasi

Awal penting perkembangan iptek nasional yang signifikan terjadi terutama pada masa Kabinet Pembangunan II (1973 - 1978). Kecuali Dokumen Repelita yang memuat elemen-elemen kebijakan/program yang terkait dengan sistem inovasi, belum ada kebijakan inovasi yang ”eksplisit dan signifikan” bagi perkembangan perekonomian.107 Walaupun begitu, Sumitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada periode tersebut berperan sangat penting dalam memulai perkembangan iptek nasional. Pada periode inilah Program Riset Nasional mulai dikembangkan dan masa ini merupakan periode ”awal pertumbuhan kelembagaan iptek.”108 Pembangunan ”Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) yang dimulai sejak tahun 1976 (berdasarkan Keppres No. 43 tahun 1976), pada masa itu dimaksudkan untuk memindahkan sejumlah pusat milik LIPI, BATAN, BAKOSURTANAL, LAPAN, dan BPS ke suatu kawasan (Serpong, Kabupaten Tangerang) agar pusat-pusat tersebut, dengan kelangsungan identitasnya masing-masing, dapat membentuk kemampuan iptek yang kuat bagi pengamanan dan pelaksanaan kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan Program Riset Nasional.

4.2

Masa Pembangunan Fondasi Iptek

Periode ini sangat penting terutama bagi perluasan kelembagaan iptek dan perkembangan ”industri strategis” sebagai wahana strategis bagi pembangunan iptek nasional. B.J. Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi sekaligus menjadi arsitek pembangunan iptek yang sangat menentukan perkembangan iptek hingga saat kini. Upayanya antara lain menyusun Matriks Nasional Ristek yang kemudian, pada tahun 1978 membentuk Tim Perumus dan Evaluasi Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (PEPUNAS RISTEK). Ia menyadari pentingnya interaksi yang baik semua pihak, khususnya antara Tim PEPUNAS Ristek dengan masyarakat dan wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Pemahaman kalangan iptek tentang masalah yang dihadapi oleh masyarakat dinilainya sangat penting untuk merespon program iptek yang sesuai. Sebaliknya, masyarakat akan dapat merasakan dan memahami betapa perlunya ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan di dalam kehidupan masyarakat yang sedang giat membangun. Fungsi Tim PEPUNAS Ristek intinya serupa dengan “Dewan Riset (Research Council)” di berbagai negara maju, yang hendak dikembangkannya. Dalam konteks ”kebijakan inovasi,” tujuan utama dalam konsep Habibie (tujuan utama pembangunan nasional jangka panjang) adalah membentuk struktur ekonomi yang lebih seimbang, dengan peningkatan secara berarti peranan industri domestik dalam pendapatan nasional sambil mempertahankan sektor pertanian yang kuat. Dalam pandangannya, strategi yang ditempuh adalah transformasi teknologi dan industri, dengan berfokus pada delapan wahana strategis transformasi dan lima bidang prioritas riset dan teknologi (kebutuhan dasar manusia; sumber daya alam dan energi; industrialisasi; pertahanan/keamanan; dan sosial-budaya, ekonomi dan falsafah), dalam empat matra (darat, laut, udara – termasuk dirgantara, dan lingkungan hidup). Kelompok kebutuhan dasar manusia mencakup wahana mekanisasi alat pertanian; kelompok sumberdaya alam dan energi mencakup wahana industri energi; kelompok industrialisasi mencakup perhubungan darat, laut, udara, industri telekomunikasi, dan industri rekayasa; sedangkan kelompok pertahanan dan keamanan mencakup industri pertahanan-keamanan. 107

108

Di masa ini, sebenarnya diskusi tentang sistem inovasi di negara-negara maju pun baru memasuki babak sangat awal dan masih terbatas di kalangan akademis. Catatan: Di masa-masa sebelumnya (sekitar tahun 1950an), aktivitas Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI), yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1956, merupakan di antara awal aktivitas menonjol di bidang iptek; LIPI didirikan pada tahun 1967.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

223

Dengan semakin meningkatnya aktivitas riset dan teknologi di Indonesia, ada kepentingan untuk semakin meningkatkan pengawasan dan koordinasi secara nasional, agar kegiatan yang dilakukan tidak tumpang tindih sehingga bisa mencapai sasarannya secara efektif dan efisien. Untuk itu, melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1984, Tim PEPUNAS Ristek ditingkatkan menjadi Dewan Riset Nasional (DRN) yang diketuai oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.109 Pada masa Menristek B.J. Habibie, arah pengembangan PUSPIPTEK diperluas dengan memasukkan kawasan industri teknologi tinggi dan kawasan pendidikan tinggi sebagai elemen baru dalam keseluruhan kawasan PUSPIPTEK. Dengan demikian PUSPIPTEK diarahkan menjadi technopark yang merupakan kawasan yang dibangun untuk meningkatkan pertukaran informasi dan alih teknologi antar- dan antara industri, lembaga litbang dan/atau perguruan tinggi. Pendirian dan pengembangan pusat-pusat iptek selama ini, khususnya yang kemudian berada di bawah koordinasi Menegristek pada dasarnya dimaksudkan sebagai sarana dalam kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Masing-masing pusat dalam kelangsungan identitasnya diharapkan merupakan komponen-komponen yang saling mendukung sehingga membentuk suatu pola sistem kegiatan yang merupakan sub sistem dalam sistem nasional secara menyeluruh. Harapan Habibie tentang semakin menguatnya peran iptek dalam pemajuan ekonomi sebenarnya juga bersamaan dengan pergeseran pandangan dalam ekonomi. Walaupun belum menjadi bagian dari arus utama (mainstream) ekonomi saat itu (pertengahan tahun 1980an), the New Growth Theory yang terutama diajukan oleh Paul Romer mulai mempengaruhi pandangan para ekonom secara internasional. Tantangan berkaitan dengan perkembangan ekonomi, politik dan kondisi yang masih di tahap awal perkembangan iptek serta pola kepemimpinan dalam pemerintahan dan pergeseran paradigma yang mulai terjadi tidak mudah membawa kepada perkembangan yang setidaknya memperbaiki “kompatibilitas” kebijakan ekonomi dan iptek. Tidak mengherankan apabila perkembangan “kebijakan” (atau langkah-langkah) di bidang iptek dinilai banyak pihak sangat lekat dengan figur pribadi B.J. Habibie (atau dipandang lebih merupakan “kehendak” Habibie). Kedekatan pribadi Habibie dengan Presiden Suharto saat itu menunjukkan sisi ganda bagi perkembangan iptek. Di satu pihak hal ini memberikan kemudahan dalam mempelopori upaya pembangunan iptek, yang sebenarnya juga selalu merupakan arena politis yang tidak mudah di negara manapun. Di sisi lain, hal ini menjadi pola strategi pembangunan yang cenderung dinilai ”dualistis” dan menjadi area perkembangan kebijakan/program dan koordinasi yang dipandang “tak sejalan” (mismatch), mendorong debat pada beragam tataran serta pendikotomian antara “iptek dan ekonomi” yang berlangsung terus, yang seringkali banyak terkait (atau dikaitkan) dengan penilaian atas figur individu/personal. Dampak negatif yang dirasakan saat ini bukan saja pada kecenderungan “marjinalisasi” iptek itu sendiri tetapi juga penilaian atas organisasi/lembaga yang dirintis oleh (pada masa) Habibie.110 Walaupun tidak secara eksplisit diungkapkan sebagai grand strategy pengembangan sistem inovasi, pemikiran-pemikiran Habibie sebenarnya sarat dengan pandangan kesisteman yang juga mulai berkembang pada masa-masa tersebut. Rancangan kelembagaan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang secara khusus memiliki wadah organisasi (kedeputian) Analisis Sistem menunjukkan hal tersebut.111

109

110

111

Pembentukan Dewan Riset Nasional (DRN) pada tanggal 7 Januari 1984 melalui Keppres RI No. 1/1984 merupakan di antara masa awal penting kelembagaan resmi badan penasihat (advisory body) non-struktural dalam penadbiran inovasi di Indonesia. Penilaian dan penyikapan yang kurang obyektif (bahkan tidak simpatik) dari kalangan tertentu (bahkan birokrasi pemerintahan tertentu) atas BUMN industri strategis dan BPPT yang lebih memposisikan sebagai ”beban” nasional ketimbang aset nasional merupakan contoh dampak negatif dari hal ini. Catatan: Proses pembentukan BPPT bermula dari gagasan Mantan Presiden Soeharto kepada BJ Habibie pada tanggal 28-Januari-1974. Dengan surat keputusan no. 76/M/1974 tanggal 5-Januari-1974, BJ Habibie diangkat sebagai penasihat pemerintah di bidang advanced technology dan teknologi penerbangan yang bertanggung jawab langsung pada presiden dengan membentuk Divisi Teknologi Maju dan Teknologi Penerbangan (ATTP) Pertamina. Melalui surat keputusan Dewan Komisaris Pemerintah Pertamina No.04/Kpts/DR/DU/1975 tanggal 1 April 1976, ATTP diubah

224

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Suatu pelajaran berharga yang perlu dipetik dari masa ini antara lain adalah minimumnya interaksi timbal-balik yang produktif antara “kalangan iptek” (dengan kebijakan dan program ipteknya) dan “para ekonom” (dengan kebijakan dan program sektoral/industrial dan ekonomi makro) terutama dalam pemerintahan sendiri belum membawa pada pengkristalan perbaikan bagi agenda/strategi bersama (common agenda) dalam pembangunan.

4.3

Masa “Transisi” Krisis

Musibah krisis ekonomi yang membawa kepada krisis multidimensi yang berkepanjangan semakin tidak menguntungkan bagi perkembangan/kemajuan iptek nasional. Keadaan yang tidak menguntungkan tersebut dan langkah-langkah yang (mungkin terpaksa atau dirancang) diambil oleh pemerintah turut merugikan akumulasi aset intelektual dan modal sosial yang sudah mulai berkembang terkait dengan iptek di masa sebelumnya dan membawa kepada keadaan semakin termarjinalkannya iptek. Dengan indikator apapun, daya saing dan kemampuan inovasi atau iptek Indonesia semakin tertinggal bahkan dari beberapa negara ASEAN sekalipun yang sebelumnya relatif “sejajar” dengan Indonesia. Kalangan iptek, terutama KRT beserta LPND yang dibawah koordinasi Menristek, berupaya merespon tantangan yang dihadapi tidak lagi dengan mengandalkan kepada sosok/figur individual tetapi lebih secara kelembagaan. Upaya ini tentu bukan proses yang mudah, terlebih karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan. Kelemahan kerangka kebijakan (khususnya menyangkut legislasi yang menjadi fondasi sistem inovasi) yang mulai disadari, direspon dengan beberapa upaya yang penting. MPR pada Agustus 2002 misalnya sepakat agar iptek tercantum dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, kewajiban memajukan iptek dimuat dalam amandemen keempat UUD 45, sehingga pasal 31 ayat 5 secara eksplisit menyatakan bahwa ”pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia.” Ditambah lagi dengan UU Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek (Sisnas P3Iptek) maka setiap pembangunan iptek diharapkan mempunyai landasan hukum yang kokoh.

4.4

Era Baru Pemajuan Sistem Inovasi

Proses pemulihan dari krisis di Indonesia belumlah usai sepenuhnya dan penyikapan terhadap pemajuan sistem inovasi sebagai kunci bagi peningkatan daya saing juga ”belum berubah” secara signifikan. Karena itu, periode yang sangat penting ini (era baru pemajuan sistem inovasi dan daya saing) menurut hemat penulis belumlah terjadi dan semestinya tidak dipandang sebagai ”proses alamiah” semata yang akan terjadi dengan sendirinya. Prasyarat penting bagi perkembangan ke arah ini adalah: 1.

Kepemimpinan yang kuat, tegas dan visioner. Kualitas kepemimpinan (dan kepeloporan) ini bukan saja di kalangan pemerintah (pusat maupun daerah) tetapi juga swasta dan masyarakat umum;

2.

Kerangka kebijakan yang kokoh;

3.

Komitmen dan konsistensi dalam upaya pemajuan sistem inovasi secara kontinyu.

menjadi Divisi Advanced Technology Pertamina. Divisi ini kemudian diubah menjadi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.25 tanggal 21 Agustus 1978, yang selanjutnya diperbarui dengan Surat Keputusan Presiden No.47 tahun 1991 dan beberapa perubahan keppres selanjutnya. Di masa Habibie, walaupun tidak pernah dinyatakan tentang “sistem inovasi’, pemikirannya sarat dengan konsep kesisteman dalam bidang riset dan teknologi. Di antara pemikirannya, disampaikan antara lain Matriks Nasional Ristek yang menetapkan adanya lima bidang prioritas bagi riset dan teknologi Indonesia (kebutuhan dasar manusia; sumber daya alam dan energi; industrialisasi; pertahanan/keamanan; dan sosial-budaya, ekonomi dan falsafah).

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

225

Peringatan dari Lukman Hakim (2004) yang menegaskan bahwa ”. . . Untuk mencapai koherensi kebijakan diperlukan: (1) Pemahaman bersama atas isu kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Komitmen dan kepemimpinan yang tegas. Dalam kaitan membangun sistem inovasi nasional, Indonesia masih belum memiliki keduanya. . . .” patut menjadi perhatian khusus banyak pihak.

5.

BEBERAPA PERKEMBANGAN LEMBAGA DAN LEGISLASI YANG PENTING

5.1

Kelembagaan

Kelembagaan yang terkait dengan perkembangan iptek di Indonesia pada dasarnya seperti ditunjukkan pada Gambar 6.10. Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Presiden No. 47 tahun 2003112 bahwa Meneg Ristek antara lain mempunyai kewenangan membangun sistem inovasi dan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Namun dengan keluarnya Perpres No. 9 tahun 2005, Keppres No. 47 tahun 2003 tersebut tidak berlaku lagi.

PRESIDEN

AIPI

Menko Ekonomi

KRT DRN

Perguruan Tinggi Swasta

LPND Ristek BPPT

Dep/ Kementerian Lain Lembaga Litbang Departemen

KPP/ BAPPENAS

Menko & Dep./ Kementerian Lain

Depkeu

Kementerian BUMN

Depdiknas

Depkeh & HAM

Balitbang Diknas Perg. Tinggi Negeri

Balitbang Indag

Dep/ Kementerian Lain

DPR

LIPI Lembaga Litbang Swasta

LAPAN BATAN BAKOSURTANAL

BSN BAPETEN

Balitbangtan Lemlitbang Departemen Lain

BUMN Keuangan

BPTP, Balai/UPT Pusat, Balai/ UPT

PUSPIPTEK

10 BUMNIS (dulu) : 1. PT. DI 2. PT. PAL 3. PT. PINDAD 4. PT. K. STEEL 5. PT. INKA 6. Perum Dahana 7. PT. INTI 8. PT. BHARATA 9. PT. BBI 10.PT. LEN

BUMN lain

Pusat, Balai/ UPT Pusat, Balai/ UPT

Gambar 6.10 Struktur Kelembagaan yang Terkait dengan Perkembangan Iptek.

112

Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2003 (Disahkan 8 Juli 2003).

226

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1990, merupakan wadah ilmuwan Indonesia terkemuka yang bertujuan menghimpun ilmuwan Indonesia terkemuka untuk memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan atas prakarsa sendiri dan/atau permintaan mengenai penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada Pemerintah serta masyarakat untuk mencapai tujuan nasional. AIPI bersifat mandiri dan nonstruktural serta bukan merupakan badan Pemerintah atau bagian dari badan tersebut. Seperti telah disampaikan, Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai peningkatan daripada Tim PEPUNAS Ristek, diresmikan pada tanggal 7 Januari 1984 melalui Keppres RI No. 1/1984. Matriks Nasional Ristek yang digunakan sejak Pelita IV/1987, dalam Keppres tersebut disebut sebagai Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (PUNAS RISTEK), yang sekarang menjadi acuan seluruh lembaga penelitian termasuk universitas dalam memberikan arah kegiatan penelitian. Pada awal pembentukannya, Dewan Riset Nasional terdiri atas 63 anggota yang dilantik oleh Presiden RI pada tanggal 28 November 1984. Menjelang tahun 1994, jumlah anggota DRN bertambah menjadi 164 orang yang dilantik pada peringatan Dasawarsa DRN, 28 November 1994 melalui Keppres RI No. 371/M/1994. Sepertiga dari jumlah anggota DRN berasal dari lingkungan swasta dan BUMN. Keanggotaan DRN kini maksimum 100 orang ditambah perwakilan Dewan Riset Daerah. Menurut rancangannya saat ini (berdasarkan Perpres No. 16 tahun 2005 tentang Dewan Riset Nasional), DRN (sebagai suatu badan penasihat atau advisory body bagi Menteri Negara Riset dan Teknologi) dibentuk pemerintah untuk menggali pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. DRN merupakan lembaga non-strukural yang independen dalam melaksanakan tugasnya. DRN mempunyai tugas: £

Membantu Menteri (Menristek) dalam merumuskan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi;

£

Memberikan berbagai pertimbangan kepada Menteri dalam penyusunan kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.

arah

dan

prioritas

utama

Keanggotaan DRN berasal dari masyarakat yang memiliki unsur kelembagaan iptek (sebagaimana dimaksud dalam UU No. 18 tahun 2002), yaitu unsur: perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan usaha, dan lembaga penunjang. DRN periode sekarang memasuki babak baru dalam menjalankan perannya. Tantangan yang dihadapi bukan saja memenuhi ”tugas klasik” (bersama KRT) dalam menyusun kebijakan strategis pembangunan nasional iptek dan memastikan kesinkronannya dengan berbagai perundangan (misalnya UU. No. 18 tahun 2002) dan dokumen pembangunan yang relevan (misalnya RPJM/Perpres No. 7 tahun 2005), tetapi juga memberikan pengaruh perubahan yang signifikan terhadap perbaikan penadbiran inovasi dan kerangka kebijakan inovasi di Indonesia (baik pada tataran nasional maupun daerah). Karena itu, mengembangkan/memperkuat hubungan, jaringan dan kerjasama horisontal maupun dengan tataran daerah dan komunitas internasional merupakan agenda yang sangat penting bagi DRN. Ini juga sangat penting dalam menggalang gerakan yang meluas dalam peningkatan investasi untuk inovasi. Dalam periode sebelumnya, anggota DRN dibagi dalam 5 (lima) Kelompok Kerja yang masingmasing bertanggung jawab atas bidang-bidang khusus dalam pembangunan nasional. Masing-masing kelompok dikoordinasikan oleh seorang Ketua, yang dibantu oleh Sekretaris, dan Wakil Ketua yang menjadi Ketua Subkelompok. Kelompok kelompok kerja tersebut adalah:

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

227

1.

Kelompok Bidang Kebutuhan Dasar Manusia, terdiri atas 4 (empat) subkelompok: Pangan dan Gizi; Kesehatan; Perumahan dan Pemukiman; Pendidikan.

2.

Kelompok Bidang Sumberdaya Alam dan Energi, terdiri atas 3 (tiga) subkelompok: Sumber Daya Alam; Energi; Lingkungan.

3.

Kelompok Bidang Industrialisasi, terdiri atas 4 (empat) subkelompok: Industri Manufaktur Besar; Industri Manufaktur Kecil dan Menengah; Jasa Enjiniring; Iptek dan Sumberdaya Manusia Pendukung Industri.

4.

Kelompok Bidang Pertahanan Keamanan.

5.

Kelompok Bidang Sosial, Ekonomi, Budaya, Falsafah, Politik, Hukum dan Perundangundangan, terdiri atas 3 (tiga) subkelompok: Politik dan Ekonomi; Sosial dan Hukum; Agama, Budaya dan Falsafah.

Dalam program penelitian yang diarahkannya, dana APBN untuk kegiatan iptek disalurkan melalui sejumlah mekanisme, yang sebagian diantaranya disalurkan lewat beberapa program iptek yang bersifat unggulan, antara lain sebagai berikut: 1.

2.

Program Pusat a.

Riset Unggulan Terpadu (RUT): Kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian LPD/LPND dan atau perguruan tinggi dalam waktu terbatas dari 2 sampai 3 tahun, dan bersifat bottom-up. Tujuannya adalah mendorong penelitian di bidang-bidang yang penting melalui keterpaduan riset antarlembaga dan antardisiplin.

b.

Riset Unggulan Kemitraan (RUK): Bertujuan untuk meningkatkan insentif bagi kegiatan penelitian dan teknologi di industri serta memacu kegiatan iptek antara industri dengan lembaga litbang dan perguruan tinggi. Inisiatif kegiatan bersifat bottom-up, sedangkan pesertanya adalah industri, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi.

c.

Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS): Riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan industri ini bersifat top-down. Tujuannya: menggalang sumber daya dan investasi iptek yang ada di sektor pemerintah dan swasta serta memacu terbentuknya jaringan kemampuan iptek bagi keperluan peningkatan daya dukung iptek dalam pelaksanaan pembangunan, khususnya dalam memperkuat daya saing nasional menghadapi persaingan global.

Program Lembaga: Program lembaga adalah kegiatan dan investasi iptek yang perencanaan dan pengelolaannya ditangani pada tingkat instansi. Ada 2 kategori yang saling berbeda dalam program ini, yaitu : a.

Program Terpilih, yaitu program lembaga yang diprioritaskan oleh suatu instansi sesuai dengan tugas dan fungsinya.

b.

Program Selingkung (in-house), yaitu program lembaga yang diperlukan oleh suatu instansi namun prioritasnya tidak tinggi.

Dalam model organisasi yang digunakan oleh Arnold, et al., (2003), tidak ada organisasi pada Tingkat 1 dalam sistem inovasi di Indonesia. Pada Tingkat 2, kementerian yang berperan penting terutama bagi perkembangan iptek adalah Kementerian Riset dan Teknologi (KRT). Namun memang untuk dapat melaksanakan peran efektif dalam pengembangan sistem inovasi, koordinasi yang kuat

228

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

dengan kementerian/departemen lain dan lembaga/organisasi lain (termasuk non-pemerintah) perlu dikembangkan. Yang tentu saja perlu semakin diperhatikan adalah hubungan dengan tataran pemerintahan daerah beserta organisasi daerah yang relevan. Jangkauan dan dampak yang luas dan signifikan dalam pemajuan sistem inovasi akan semakin dipengaruhi oleh bagaimana koordinasi antara berbagai tataran pemerintah yang berbeda. KRT saat ini (berdasarkan Perpres No. 11 tahun 2005) mengkoordinasikan 7 lembaga pemerintah non departemen (LPND), yaitu: BPPT, LIPI, LAPAN, BATAN, BAKOSURTANAL, BSN, dan BAPETEN. Di PUSPIPTEK - Serpong, Kabupaten Tangerang sendiri kini terdapat sekitar 26 laboratoria yang berada di bawah koordinasi beberapa LPND Ristek. Beberapa LPND seperti BPPT, LIPI, dan BATAN juga memiliki fasilitas lab/balai/UPT yang tersebar di beberapa daerah di luar Jabodetabek. Sementara itu, departemen sektoral/teknis lainnya mengkoordinasikan sekitar 114 lembaga litbang. Kini terdapat sekitar 76 perguruan tinggi negeri dan 1.671 perguruan tinggi swasta di Indonesia (30 PTN atau 39,5% dari total PTN dan 929 PTS atau 55,6% dari total PTS berada di Pulau Jawa). Sebaran knowledge pool yang tidak merata demikian menunjukkan persoalan ketimpangan daya dukung iptek secara kewilayahan dan sebenarnya juga merupakan indikasi brain drain di wilayah Indonesia itu sendiri. Namun persoalan brain drain, nampaknya bukan semata dihadapi dalam konteks ”daerah” saja tetapi juga dalam korpus-korpus iptek, khususnya lembaga litbang) itu sendiri. Persoalan masih banyaknya tenaga peneliti yang tidak lagi bekerja di lembaga yang bersangkutan dan/atau yang bekerja tidak sesuai dengan bidang keahliannya (terutama tenaga S2 dan S3) adalah di antaranya.113 Seperti diilustrasikan pada Gambar 6.11, keterkaitan antara simpul-simpul dalam sistem inovasi di Indonesia merupakan di antara kelemahan yang ditemui dari studi PERISKOP yang melakukan kajian dengan mengambil sampel di sepuluh lokasi di Indonesia (lihat KRT dan BMBF, 2002). Hal ini juga diindikasikan oleh survei tentang indikator iptek yang mengungkapkan persentase pendanaan litbang extramural industri manufaktur yang relatif kecil (sekitar 6,9% dari total dana litbang industri, dan hanya sekitar 8% dari porsi tersebut dikerjasamakan dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah) (lihat LIPI dan KRT, 2003). Sementara itu, Gambar 6.12 mengilustrasikan perbandingan kekuatan relatif dan keterkaitan dalam elemen sistem inovasi daerah di sepuluh lokasi survei PERISKOP. Dalam konteks penadbiran (governance), di antara kelemahan utama dalam sistem inovasi nasional Indonesia adalah menyangkut koordinasi dan koherensi kebijakan. Untuk tingkat nasional, praktis belum ada suatu ”mekanisme” yang efektif bagi koordinasi dan koherensi kebijakan inovasi nasional. Kesemuanya diserahkan kepada bagaimana para menteri berkoordinasi satu dengan lainnya. Namun untuk konteks sistem inovasi, sebenarnya hal ini belum pernah benar-benar menjadi agenda nasional. Tidaklah mengherankan apabila beberapa prakarsa kebijakan yang dipandang penting bagi pemajuan sistem inovasi pun ”terbentur” pada kelemahan koordinasi antar departemen/kementerian dalam kabinet itu sendiri.

113

Menurut hemat penulis, ini tidak terjadi karena tingginya mobilitas SDM akibat ”pasar” tenaga kerja nasional yang bekerja baik, namun nampaknya lebih dipengaruhi oleh belum berkembangnya sistem pengelolaan SDM terspesialisasi dan/atau kekeliruan penempatan dan pengelolaan kompetensi (yang disadari atau tidak) sering terjadi bagi SDM berpendidikan tinggi dalam lembaga litbang atau mesin birokrasi lain dalam lembaga pemerintah di Indonesia. Harus diakui, hingga kini tenaga SDM berpendidikan tinggi di bidang litbang sebagian besar bekerja di lembaga litbang pemerintah dan/atau perguruan tinggi negeri. Jika potensi ini tidak terkelola dengan baik, tentu merupakan pengabaian aset nasional yang telah terinvestasikan dengan pembiayaan dan waktu yang tidak kecil. Ini nampaknya juga merupakan bagian dari ”persoalan SDM lembaga pemerintah/PNS” yang perlu diatasi.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

Kekuatan dari Elemen dalam Sistem Inovasi

n

229

Perusahaan

Di atas rata-rata

Rata-rata

Lembaga Teknologi

Di bawah rata-rata

Lembaga Pendidikan

Framework Conditions

Sumber : KRT-BMBF (2002), Studi PERISKOP.

Gambar 6.11 Kekuatan Relatif dan Keterkaitan dalam Sistem Inovasi Daerah di Indonesia.

Kekuatan dari Elemen dalam Sistem Inovasi

Di atas rata-rata

Rata-rata

Manado Medan

Padang Samarinda

Di bawah rata-rata

Bandung

Jogjakarta

Semarang

Surabaya

Mataram

Makassar

Sumber : KRT-BMBF (2002), Studi PERISKOP.

Gambar 6.12 Gambaran Geografis Kekuatan Relatif dan Keterkaitan dalam Sistem Inovasi di Indonesia.

230

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Sebagai contoh, persoalan insentif pajak untuk kegiatan litbang atau beberapa upaya penjabaran UU No. 18 tahun 2002 (RPP) misalnya sempat terhambat dalam pencapaian kesepakatan antarlembaga pemerintah. Selain itu, harus diakui bahwa sejauh ini, dokumen Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstra Bangnas Iptek) juga belum sepenuhnya dijadikan sebagai salah satu acuan program di bidang iptek oleh semua pihak. Untuk ”bidang” iptek (termasuk litbang), yang merupakan bagian dari sistem inovasi, umumnya dipahami merupakan mandat dari KRT. Namun arah, strategi, prioritas, dan kebijakan, program/aktivitas litbang departemen sebenarnya lebih ditentukan oleh departemen/kementerian masing-masing. Dewan Riset Nasional dan juga Rapat Koordinasi Nasional bidang Riset dan Teknologi (Rakornas Ristek) juga belum sepenuhnya efektif sebagai alat koordinasi untuk memperkuat keterkaitan ”Pusat – Daerah” dan pemajuan sistem inovasi daerah. Usaha kecil dan menengah yang merupakan kelompok pelaku bisnis terbesar (sekitar 99,7%) menjadi prioritas pembangunan nasional. Namun upaya yang dilakukan, termasuk pengkoordinasian kebijakan dari beragam kementerian dan departemen terkait belum sepenuhnya dapat mensinkronkan kebijakan dan program secara terpadu. Demikian halnya dengan penetapan prioritas sektoral (termasuk prioritas di bidang riptek) di masa lalu umumnya lebih merupakan agenda sektoral dan belum dapat menjadi alat untuk membangun agenda bersama (kolaboratif) dan menggerakkan keseluruhan sumber daya dan kapabilitas ke arah yang lebih fokus. Nampaknya, penguatan suatu ”kerangka landasan” yang dapat menjadi ”pijakan bersama” perlu menjadi salah satu agenda prioritas dalam pengembangan/penguatan sistem inovasi. Perbaikan mekanisme koordinasi yang lebih efektif perlu terus dilakukan. Beberapa daerah kini memiliki lembaga litbang (balitbangda) sebagai organisasi struktural pemerintah daerah (sebagian merupakan hasil ”pemisahan dan pemekaran” bidang penelitian dari Bappeda). Selain itu, beberapa daerah (sekitar enam provinsi) juga mengembangkan Dewan Riset Daerah/DRD (di tingkat provinsi). Namun patut diakui bahwa dua lembaga daerah ini umumnya masih menghadapi beragam kendala untuk dapat berperan dalam pemajuan inovasi di daerah. Dengan semakin pentingnya peran daerah dalam pemajuan sistem inovasi, penguatan kelembagaan pada tataran daerah juga merupakan agenda penting dalam pemajuan sistem inovasi daerah maupun bagi kepentingan nasional. Dengan mempertimbangkan kondisi yang demikian, peningkatan kapasitas daerah dalam sistem inovasi (termasuk kampanye keperdulian), baik di lingkungan pemerintahan maupun masyarakat umum dan di tingkat nasional maupun daerah, nampaknya harus menjadi salah satu agenda yang tidak boleh diabaikan dalam menata kembali koordinasi kebijakan inovasi di Indonesia.

5.2

Beberapa Perkembangan Legislasi

Sejauh ini secara singkat terdapat beberapa perkembangan kebijakan yang penting bagi sistem inovasi di Indonesia, yaitu: 1.

Amanat Amandemen Keempat UUD 45, Pasal 31 – Ayat 5 yang menyatakan: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Pasal ini mengamanatkan negara berkewajiban mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara eksplisit.

2.

Undang-undang No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3iptek). Di antara muatannya, empat hal utama yang dicakup adalah:

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

231

§

Azas dan tujuan pengembangan Sisnas P3iptek;

§

Fungsi Sisnas P3iptek dan peran dari unsur penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek;

§

Fungsi dan peran pemerintah pusat dan daerah; dan

§

Peran serta masyarakat dalam kegiatan iptek.

3.

Inpres Nomor 4 tahun 2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ini juga menindaklanjuti UU No.18/2002, khususnya Pasal 18 dan 19 berkaitan dengan Kebijakan Strategis Nasional Pembangunan Iptek (Jakstranas Iptek). Dalam hal ini Presiden menginstruksikan Menteri Riset dan Teknologi untuk mengkoordinasikan perumusan dan pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan Pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan instansi terkait. Kebijakan Strategis merupakan dokumen politik bagi seluruh pelaku iptek, yang dibuat untuk memadukan dan menyamakan gerak langkah seluruh lembaga iptek. Jakstranas Iptek tersebut juga mengandung visi, misi dan tujuan strategis pelaksanaan kegiatan pembangunan iptek. 114

4.

Sebelumnya terdapat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi Nomor 02/M/Kp/II/2000 tentang Kebijakan Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional ( 2000 – 2004 ).

5.

Keputusan Presiden No. 47 tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2003 (Disahkan 8 Juli 2003). Antara lain disebutkan pada Pasal I, menyangkut perubahan ”Pasal 15 butir f, bahwa Meneg Ristek mempunyai kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu membangun sistem inovasi dan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi nasional (IPTEKNAS) serta melaksanakan pengelolaan dan pengembangan pusat ilmu pengetahuan dan teknologi.” Selanjutnya Keppres ini tidak berlaku lagi dan digantikan dengan Perpres No. 9 tahun 2005.

Beberapa produk hukum lain yang terkait dengan iptek juga ditetapkan. Namun tampaknya produk-produk legal tersebut tentu masih belumlah cukup untuk dapat mendorong aktivitas iptek dalam memenuhi berbagai harapan dan kebutuhan masyarakat.

A.

UU No. 18 tahun 2002 (Sisnas P3Iptek)

Disahkannya Undang-undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan tonggak penting adanya landasan hukum yang diharapkan dapat memperkuat landasan pembangunan dan mempercepat perkembangan iptek, mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan sumber daya iptek secara lebih efektif, menggalakkan pembentukan jaringan, dan mengikat semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam usaha memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

114

Catatan: Beberapa aturan pelaksanaan di bidang iptek kini sedang dalam proses penyiapan. Empat Rancangan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh UU No.18/2002 adalah: PP tentang Alih Teknologi yang memfasilitasi pendapatan lembaga litbang dalam komersialisasi hasil litbang (Pasal 16); PP tentang ijin penelitian pihak asing (Pasal 17); PP tentang ijin litbang dan penerapan iptek berisiko tinggi & berbahaya (Pasal 22); PP tentang kewajiban industri mengalokasikan dana untuk litbangyasa/inovasi dan difusi (Pasal 28).

232

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Dalam UU 18/2002 tersebut tidak disebutkan secara eksplisit mengenai sistem inovasi, namun disampaikan bahwa sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (Sisnas P3Iptek) yang dimaksud dalam UU 18/2002 tersebut mengandung dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh di lingkungan Negara Republik Indonesia. Disampaikan dalam UU 18/2002 tersebut antara lain bahwa Sisnas P3Iptek berfungsi membentuk pola hubungan yang saling memperkuat antara unsur penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh untuk mencapai tujuan: £

memperkuat daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi bagi keperluan mempercepat pencapaian tujuan negara, serta

£

meningkatkan daya saing dan kemandirian dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam pergaulan internasional.

Dengan pengertian ini sebenarnya esensi Sisnas P3Iptek sama dengan (atau setidaknya berangkat dari konsep) sistem inovasi nasional, dan karenanya merupakan bagian langkah penting bagi perkembangan sistem inovasi di Indonesia. Hal ini tentu akan ditentukan oleh penjabaran lanjut (secara legal) dan implementasinya. Dalam UU No. 18/2002 ini ditegaskan bahwa fungsi kelembagaan, termasuk pemerintah daerah dalam Sisnas P3Iptek adalah: £

mengorganisasikan pembentukan sumber daya manusia, penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi;

£

membentuk iklim dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi penyelenggaraan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam UU No.18/2002 (Bab IV Fungsi dan Peran Pemerintah, Pasal 18) ditegaskan bahwa: (1)

Pemerintah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia.

(2)

Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah wajib merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Penjelasan tentang ini adalah sebagai berikut: Agar pelaksanaan fungsi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat direncanakan secara baik dan dapat dipahami oleh perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, dan lembaga penunjang yang terlibat dalam pelaksanaannya, serta oleh semua pihak di lingkungan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga swasta yang berkepentingan, arah, prioritas utama, dan kerangka pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut perlu dituangkan secara tertulis ke dalam suatu kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan strategis itu berdasarkan GBHN dan PROPENAS yang sekaligus merupakan penjabarannya.115

115

Catatan: dengan sistem politik dan pemerintahan yang baru, GBHN dan PROPENAS tentu berubah dalam bentuk dokumen arah dan program pembangunan lain. Mengacu kepada UU No 25 tahun 2004 tentang SPPN, maka dokumen yang serupa dengan ini adalah RPJP dan RPJM.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

233

Sementara itu Pasal 19 mengungkapkan bahwa: (1)

Menteri wajib mengoordinasikan perumusan kebijakan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dengan mempertimbangkan segala masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penjelasan tentang ini adalah sebagai berikut: Sebagai unsur pemerintah yang membidangi penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan penyusunan kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi secara bersama dengan unsur pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan, serta mempertimbangkan pemikiran dan pandangan dari pihak yang berkaitan dengan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.

(2)

Untuk mendukung Menteri dalam merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah membentuk Dewan Riset Nasional yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penjelasan tentang ini adalah sebagai berikut: Dewan Riset Nasional merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk menggali pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Dewan ini merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memberikan berbagai pertimbangan bagi penyusunan kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mewakili semua kepentingan, keanggotaan Dewan Riset Nasional mencakup perwakilan dari Dewan Riset Daerah. (3)

Dalam menetapkan prioritas utama dan mengembangkan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri wajib memperhatikan pentingnya upaya : a.

penguatan penguasaan ilmu-ilmu dasar, ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis, dan peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan yang merupakan tulang punggung perkembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b.

penguatan pertumbuhan industri berbasis teknologi untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi serta memperkuat tarikan pasar bagi hasil kegiatan penelitian dan pengembangan;

c.

penguatan kemampuan audit teknologi impor yang dikaitkan dengan penguatan Standar Nasional Indonesia untuk melindungi konsumen dan memfasilitasi pertumbuhan industri dalam negeri.

Penjelasan tentang ini adalah sebagai berikut: Dalam menyusun kebijakan strategis pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, perhatian khusus supaya diberikan pada aspekaspek sebagai berikut: a.

Penguasaan matematika, fisika, kimia, dan biologi serta pembentukan kapasitas litbang yang merupakan landasan fundamental bagi pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan penguasaan ilmu-ilmu sosial dan budaya yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

234

B.

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

b.

Penguatan kemampuan rekayasa dan inovasi pada kegiatan industri yang daya saing produksinya sangat dipengaruhi oleh faktor teknologi;

c.

Penguatan kemampuan audit teknologi yang dilaksanakan sejalan dengan pemberdayaan Standarisasi Nasional Indonesia serta penumbuhan kecintaan produk dalam negeri. Hal itu sangat penting untuk membendung banjir proses atau produk asing yang murah, namun mutu dan kinerjanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Banjir proses atau produk asing yang murah tersebut tidak hanya merugikan konsumen dan industri dalam negeri, tetapi juga memperlemah tarikan pasar bagi hasil penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan di dalam negeri.

Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek

Kebijakan Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional yang memuat arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi disusun untuk jangka waktu lima tahun, yang tentunya perlu menjadi salah satu acuan bagi pemajuan iptek oleh berbagai pihak, bukan saja kalangan KRT beserta LPND yang di bawah koordinasinya. Tujuan strategis yang ditetapkan dalam Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek 2000 – 2004 (versi revisi dari dokumen sebelumnya): 1.

Penguatan ekonomi nasional yang berkelanjutan

2.

Pemantapan tatanan sosial politik

3.

Reposisi kelembagaan iptek

4.

Peningkatan kemandirian dan keunggulan

5.

Penyelarasan dengan perkembangan global

Prioritas Utama Nasional Riset dan Teknologi (Punas Ristek) 2001-2005. Punas Ristek merupakan penjabaran kebijakan 11 (sebelas) bidang prioritas yang terdapat dalam Jakstra Ipteknas (Sosial Budaya; Pertanian dan Pangan; Sistem Nasional, Sektoral, dan Daerah; Kelautan, Kebumian, dan Kedirgantaraan; Bahan baru; Energi; Kesehatan; Informatika dan Mikroelektronika; Lingkungan; Manufaktur; Transpotasi dan logistik), serta memuat prioritas tema penelitian untuk kurun waktu 20012005. Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) menetapkan 6 (enam) bidang prioritas yaitu: (1) Pangan, (2) Bioteknologi, (3) Energi, (4) Kelautan, Kebumian, dan Kedirgantaraan, (5) Manufaktur, dan (6) Teknologi Informasi. Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 tahun 2005 menetapkan bahwa ”arah kebijakan Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi difokuskan pada enam bidang prioritas yaitu: (i) pembangunan ketahanan pangan, (ii) penciptaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan, (iii) pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, (iv) pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, (v) pengembangan teknologi pertahanan, dan (vi) pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan; yang dijabarkan ke dalam program-program pembangunan sebagai berikut: 1.

Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

2.

Program Difusi dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

3.

Program Penguatan Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

4.

Program Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA C.

n

235

Beberapa Peraturan Perundangan Terkait Lain

Peraturan perundangan lain yang penting adalah yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (HKI), yang sekarang ini berjumlah 7 (tujuh), yaitu: 1.

Hak Cipta: Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;

2.

Paten: UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;

3.

Merek: UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (termasuk di dalamnya tentang “indikasi geografis”);

4.

Desain Industri: UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;

5.

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu: UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

6.

Rahasia Dagang: UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

7.

Varietas Tanaman: UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Perlindungan hukum kekayaan intelektual atau HKI pada dasarnya bertujuan untuk: 1.

Memberi ”kejelasan hukum” mengenai hubungan kekayaan intelektual penemu/pencipta, pemilik, perantara dengan yang menggunakan untuk jangka waktu tertentu;

2.

Memberikan ”penghargaan” atas keberhasilan seseorang atau sekelompok orang, baik berupa karya cipta atau temuan dari hasil penelitian;

3.

Mempromosikan dengan ”mempublikasikan penemuan atau karya cipta,” secara terbuka bagi masyarakat dalam bentuk dokumen Paten dan Hak Cipta;

4.

Mendorong atau merangsang terciptanya suatu ”alih informasi” melalui karya cipta serta ”alih teknologi” melalui paten, menjadi penemuan yang lebih menguntungkan dari temuan sebelumnya tanpa kesepakatan dari pihak yang terkait;

5.

Memberikan perlindungan bagi ”kemungkinan peniruan” karena temuan merupakan hasil dari suatu penelitian yang mengandung risiko akan ditiru orang lain untuk dikembangkan.

Sementara itu, pengelolaan kekayaan intelektual pada dasarnya dimaksudkan untuk mendapatkan “nilai-nilai” strategis, yang secara umum dapat dikelompokkan atas tujuan berikut: 1.

Mendapatkan keuntungan bisnis (finansial);

2.

Jaminan keamanan legal di masa datang (dasar bagi klaim legal atas penggunaan kekayaan intelektual/KI secara “tidak legal” oleh pihak lain dan/atau perlindungan dari klaim legal atas HKI oleh pihak lain tentang penggunaan kekayaan intelektual tertentu);

3.

Akumulasi aset intelektual bagi peningkatan kapasitas (capacity building) individu dan lembaga (organisasi);

4.

Memperoleh pengakuan (acknowledgment) dan penghargaan (appreciation) atas kompetensi atau prestasi intelektual.

236

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Menyadari bahwa pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/technology) merupakan aset bangsa yang penting, upaya peningkatan pendokumentasian, pengembangannya dan perlindungan hukumnya mulai dan tengah dilakukan oleh berbagai pihak.116 Keberhasilan inovasi akan sangat ditentukan antara lain oleh dukungan ketersediaan pendanaan yang sesuai, dalam tahapan/siklus inovasi yang umumnya membutuhkan “bentuk/skema” tertentu. Sistem pendanaan/pembiayaan demikian belum berkembang di Indonesia. Bank komersial (yang tentunya lebih merupakan sumber pendanaan dengan skema kredit sebagai alat/mekanisme pendanaan bisnis) yang relatif berkembang (terlepas dari masih demikian banyaknya persoalan nasional yang bersumber dari sektor ini). Sementara pendanaan lain, terutama untuk modal berisiko, belum demikian berkembang di Indonesia. Modal ventura misalnya, dari 59 perusahaan modal ventura di Indonesia (15 swasta, 3 BUMN, 15 jont ventures, dan 26 modal ventura daerah. Lihat KRT-BMBF, 2002), sejauh ini masih dalam tahap awal. Walaupun pola investasinya dapat berupa partisipasi ekuitas, convertible bonds, dan revenue/profit sharing, dalam praktiknya sebagian sebenarnya masih beroperasi seperti skema perbankan.117 Kerangka legislasi sebagai landasan legal yang kuat untuk pembiayaan inovasi, terutama untuk ventura, belum ada. Demikian juga dengan instrumen perpajakan bagi modal berisiko, yang agresif dikembangkan di negara maju. Belum ada insentif dalam pasar keuangan di Indonesia bagi perkembangan dana berisiko.

5.3

Beberapa Implikasi pada Tataran ”Daerah”

Perkembangan politik nasional turut mendorong perubahan dalam tata pemerintahan. “Daerah” kini semakin disadari memegang peran kunci dalam pembangunan. Ini tentu merupakan perubahan yang penting pula bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan. Beberapa hal penting dari UU No. 18/2002 berkaitan dengan “konteks daerah” adalah sebagai berikut. Dalam UU No.18/2002 (Bab IV Fungsi dan Peran Pemerintah, Pasal 20) ditegaskan bahwa: (1)

Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam penjelasannya disampaikan sebagai berikut: Dalam mendorong pertumbuhan dan sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya, pemerintah daerah harus menyadari bahwa sistem ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di daerahnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(2)

116 117

Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah daerah wajib merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya.

Lihat misalnya beberapa kajian penulis (2001 – 2004 dalam Daftar Pustaka) tentang topik ini. Menurut Studi PERISKOP (KRT-BMBF, 2002, Work Package 9), modal ventura Indonesia kurang lebih pada tahapan serupa dengan Filipina, namun relatif tertinggal dibanding dengan Malaysia dan Thailand, terlebih lagi dengan Singapura.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

237

Dalam penjelasannya disampaikan sebagai berikut: Kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerah diperlukan agar semua pihak yang berkepentingan dapat memahami arah, prioritas, serta kerangka kebijakan pemerintah daerah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. (3)

Dalam merumuskan kebijakan strategis yang dimaksud dalam ayat (2), pemerintah daerah harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4)

Untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah daerah membentuk Dewan Riset Daerah yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya. Dalam penjelasannya disampaikan sebagai berikut: Dewan Riset Daerah merupakan lembaga yang kegiatannya berkaitan dengan penyusunan kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerah yang bersangkutan. Dewan Riset Daerah juga berfungsi untuk mendukung pemerintah daerah melakukan koordinasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan daerah-daerah lain, serta mewakili daerah di Dewan Riset Nasional.

Pasal 21 (Peran Pemerintah) UU No.18/2002 mengungkapkan bahwa: (1)

Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).

(2)

Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

(3)

Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga. Dalam penjelasannya disampaikan sebagai berikut: a.

b.

c.

d.

e.

Dukungan sumber daya yang dimaksud dalam ayat ini dapat berbentuk dukungan keahlian dan kepakaran, dukungan informasi dan kekayaan intelektual, serta dukungan sarana dan prasarana. Dukungan dana yang dimaksud dalam ayat ini dapat diberikan sebagai bantuan pembiayaan bagi perguruan tinggi, lembaga litbang, dan badan usaha dalam melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau sebagai bantuan pembiayaan bagi lembaga penunjang untuk memperkuat daya dukung serta meningkatkan aliran investasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemberian insentif yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa keringanan pajak, penanggulangan risiko, penghargaan dan pengakuan, maupun bentuk insentif lain yang dapat mendorong pendanaan kegiatan penelitian, pengembangan, perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi dari badan usaha dan masyarakat, serta meningkatkan alih teknologi dari badan usaha asing yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimaksud dalam ayat ini diperlukan untuk meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang strategis serta menggali potensi nasional dan daerah. Pembentukan lembaga yang dimaksud dalam ayat ini adalah lembaga yang belum atau tidak dapat dikembangkan oleh masyarakat, namun diperlukan untuk memperkuat Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

238 (4)

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen maupun sebagai unit kerja departemen atau pemerintah daerah tertentu. Dalam penjelasannya disampaikan sebagai berikut: Pada tingkat pusat, pembentukan lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa: a.

b.

c.

d.

Lembaga litbang departemen dan lembaga lain yang sejenis yang berada di bawah naungan departemen tertentu yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan sektor tertentu; Lembaga litbang non departemen yang merupakan organisasi yang berdiri sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan lintas sektor. Pada saat undang-undang ini dibuat, yang termasuk dalam jenis lembaga ini, antara lain, adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Lembaga penunjang departemen dan lembaga lain yang sejenis berada di bawah naungan departemen tertentu yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan sektor tertentu; Lembaga penunjang non departemen merupakan organisasi yang berdiri sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan lintas sektor. Pada saat undang-undang ini dibuat, yang termasuk dalam jenis lembaga ini, antara lain, adalah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Standardisasi Nasional.

Di daerah pembentukan lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa lembaga litbang dan lembaga penunjang yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya yang diperlukan untuk menggali dan mengembangkan potensi daerah sesuai dengan karakteristik daerah. (5)

Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan akuntabel.

Dalam UU No.18/2002 (Bab VI Pembiayaan, Pasal 26) disampaikan bahwa: Pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 27 ditegaskan bahwa: (1)

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam penjelasannya disampaikan sebagai berikut: Pengalokasian anggaran pemerintah dan pemerintah daerah harus diupayakan agar dapat mencukupi kebutuhan pembiayaan bagi unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibentuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, mengembangkan diri, dan membuat instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3). Pengalokasian anggaran tersebut terutama dimaksudkan untuk mendorong peningkatan pembiayaan sektor swasta bagi kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui peningkatan pembiayaan oleh sektor swasta, total pembiayaan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan diharapkan dapat secara bertahap mencapai tingkat yang setara dengan negara maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

239

(2)

Anggaran yang dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk membiayai pelaksanaan fungsi dan peran pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1).

(3)

Perguruan tinggi, lembaga litbang, badan usaha, lembaga penunjang, organisasi masyarakat dan inventor mandiri berhak atas dukungan dana dari anggaran pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasannya disampaikan sebagai berikut: Pemajuan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IImu Pengetahuan dan Teknologi merupakan tanggung jawab negara. Semua pihak yang berperan dalam pemajuan Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IImu Pengetahuan dan Teknologi memiliki hak untuk mendapatkan dukungan dana dari pemerintah dan pemerintah daerah selama kegiatan itu berpotensi meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan pula untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberikan dukungan dana untuk menstimulasi penganggaran dari sektor swasta serta memperbesar aliran investasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berkaitan dengan perbaikan dalam pembangunan, juga telah dihasilkan beberapa perundangan penting, antara lain UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (menggantikan UU No. 22 tahun 1999) dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (menggantikan UU No. 25 tahun 1999). Terlepas dari berbagai kekurangan/kelemahan yang diperdebatkan, perundangan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa tanggung jawab ”daerah” dalam pembangunan iptek khususnya dan sistem inovasi pada umumnya sangatlah besar dan memberikan keleluasaan ruang gerak daerah. Bahkan ditegaskan antara lain dalam UU No. 32/2004, bahwa ¨

tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2, Ayat 3); dan

¨

kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban antara lain: memajukan dan mengembangkan daya saing daerah (Pasal 27, Ayat 1, butir g).

Menurut hemat penulis, esensi ini akan sangat erat terkait dengan kepeloporan daerah dalam memajukan sistem inovasi daerah sesuai dengan potensi terbaik setempat, dan tentunya sebagai bagian integral dari sistem inovasi nasional. Namun ini pun tak akan memiliki makna signifikan tanpa keberanian untuk kemerdekaan berpikir, berkreasi, bersikap, dan bertindak secara tepat. Sudah barang tentu hal demikian mungkin tak sederhana mengingat telah sedemikian lama terbiasa dengan bersandar pada petunjuk dari atas, arahan dari pusat, dan ”tradisi” sentralistik sejenisnya. Sejalan dengan semangat otonomi daerah dalam UU No. 32 tahun 2004, pada prinsipnya penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah adalah bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya menurut undang-undang tersebut, pelaksanaan ketentuan tentang pembagian urusan pemerintahan (yang diatur dalam Pasal 10, 11, 12, 13 dan 14) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

240

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Walaupun tidak banyak memberikan arah dan penegasan yang berkaitan dengan ”sistem inovasi daerah,” UU No. 32 tahun 2004 sebagai salah satu elemen kerangka legislasi penting bagi SID mengungkapkan hal relevan penting antara lain seperti berikut:118 ¨

¨

¨

Dalam UU No. 32 tahun 2004 di antara dasar pemikiran undang-undang ini secara eksplisit dinyatakan: . . . pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui (antara lain) . . . ”peningkatan daya saing daerah.” Seperti disampaikan dalam bagian penjelasannya bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 Ayat (3): Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Menurut bagian penjelasannya, yang dimaksud dengan "Daya saing daerah" dalam ayat ini adalah merupakan kombinasi antara faktor kondisi ekonomi daerah, kualitas kelembagaan publik daerah, sumber daya manusia, dan teknologi, yang secara keseluruhan membangun kemampuan daerah untuk bersaing dengan daerah lain. Pasal 27 ayat (1): Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban (antara lain, butir g): memajukan dan mengembangkan daya saing daerah. Mengingat bahwa daya saing daerah akan semakin ditentukan oleh perkembangan sistem inovasi daerah, maka kepemimpinan, kepeloporan, komitmen dan konsistensi kepala daerah dalam pemajuan sistem inovasi di daerahnya masing-masing maupun dalam kerangka kerjasama dengan daerah lain akan mempengaruhi perkembangan daya saing, kualitas pelayanan umum, dan pada gilirannya perbaikan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi dan lebih adil.

Di antara beberapa hal yang perlu dicermati dalam kerangka kebijakan, terutama dalam konteks hubungan ”Nasional – Daerah” antara lain: 1.

2.

118

Semangat demokrasi yang menjiwai otonomi daerah memberikan keleluasaan dan kemandirian kepada setiap daerah (dan tentunya kepada para pelaku ekonomi) untuk menentukan sendiri “arah, prioritas dan kerangka kebijakan (termasuk pilihan-pilhan teknologi)” yang dianggap paling sesuai bagi masing-masing daerah. Proses demokrasi berkaitan erat dengan perbaikan partisipasi masyarakat dan proses pembelajaran para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan dalam proses kebijakan inovasi di daerah maupun dalam konteks hubungan ”Pusat – Daerah.” Semangat mengedepankan give them tools, not rules: Semangat pemberdayaan, di mana tentunya sistem inovasi daerah (termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi) merupakan wahana penting, yang menjiwai otonomi daerah (setidaknya dari kehendak yang dinyatakan pemerintah). Daerah pada dasarnya memiliki keleluasaan dalam menentukan langkah yang dianggap paling tepat sesuai dengan potensi dan keragaman karakteristik daerahnya. “Universalitas” instrumen potensial teknologi misalnya, pada akhirnya harus selaras dengan dan berpijak di atas realita “kekhasan lokal (site specificity)” agar dapat memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat. Aspek keragaman sosial budaya, agroklimat, dan lainnya misalnya, merupakan beberapa hal yang tak mungkin diabaikan begitu saja.

Di antara hal penting yang perlu diindahkan dalam UU No. 33 tahun 2004 (Perimbangan Keuangan) adalah Pasal 7 yang menyatakan bahwa dalam upaya meningkatkan PAD, daerah dilarang: (butir a) menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Menurut penjelasannya: yang dimaksud dengan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah Peraturan Daerah yang mengatur pengenaan Pajak dan Retribusi oleh Daerah terhadap objek-objek yang telah dikenakan pajak oleh Pusat dan Provinsi, sehingga menyebabkan menurunnya daya saing Daerah.

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

241

3.

Efektivitas teknologi dalam menjawab berbagai persoalan-persoalan nasional dan menghadapi tantangan global, berpangkal pada keberhasilannya memecahkan persoalan-persoalan/ tantangan “lokal” yang dihadapi oleh masyarakat; sejauh mana masyarakat mampu memanfaatkannya untuk kepentingan kesehariannya, menguasai dan mengembangkannya dari waktu ke waktu. Karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci pemberdayaan dalam pengertian memungkinkan kemanfaatan “langsung” dalam pemecahan persoalan yang dihadapi maupun sebagai pendorong utama meningkatnya kapasitas masyarakat. Hal demikian hanya mungkin berkembang jika aksesibilitas masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi makin membaik. Otonomi dan desentralisasi yang dibarengi dengan peningkatan aksesibilitas masyarakat/daerah terhadap berbagai potensi kemajuan teknologi dalam konteks ini memiliki arti signifikan dalam meningkatkan daya serap dan permintaan (absorptive capacity and demand creation) dalam masyarakat di daerah masing-masing.

4.

Pemajuan/penguatan sistem inovasi pada tataran daerah menjadi sangat penting bukan saja bagi peningkatan daya saing di daerah yang bersangkutan, tetapi juga sebagai “bagian integral (sub sistem) dari, dan pilar” bagi sistem inovasi nasional dan meningkatnya daya saing secara nasional. Pragmatisasi penguatan kelembagaan, interaksi dan proses pembelajaran dalam sistem inovasi akan semakin penting pada tataran lokal. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 18 tahun 2002 (Sisnas P3Iptek) dan perundangan terkait lain diharapkan dapat menjadi landasan legislasi untuk perbaikan proses pembangunan, termasuk integrasi, sinkronisasi dan sinergi dalam rangka pengembangan sistem inovasi daerah.

6.

CATATAN PENUTUP

Harus diakui, bahwa pada tataran nasional maupun daerah, sistem inovasi di Indonesia masih tertinggal jauh dari banyak negara, terutama beberapa yang telah didiskusikan pada bagian sebelumnya, bahkan dalam banyak hal telah mulai tertinggal dari negara anggota ASEAN lain terutama Singapura, Malaysia dan Thailand. Akan semakin sulit untuk dapat meningkatkan daya saing Indonesia, jika pemajuan sistem inovasi belum menjadi agenda nasional dan jika tak ada kepemimpinan, kepeloporan, komitmen dan konsistensi bagi upaya-upaya yang lebih sistematis dan terkoordinasi. Dalam penadbiran sistem inovasi Indonesia, tidak/belum ada satu pun dokumen legislasi yang dengan jelas dan tegas menetapkan basis sistem inovasi nasional, walaupun beberapa “menyinggung” secara tersirat (implisit) atau menyebut secara tersurat (eksplisit) tentang ini. Karena itu, terdapat beberapa catatan kecil yang menurut hemat penulis perlu disampaikan di sini. 1.

UU No. 18 tahun 2002 (Sisnas P3Iptek) tidak secara tegas dan lugas menyebutkan tentang istilah sistem inovasi. Secara konsep, “muatan” UU No. 18 tahun 2002 tersebut pada dasarnya mengacu kepada atau setidaknya mengandung elemen-elemen penting sistem inovasi. Sekalipun masih terdapat perbedaan tentang “batasan” pengertian istilah ini, namun dapat dikatakan bahwa terdapat konvensi umum dalam literatur bahwa pengertian sistem inovasi pada dasarnya meliputi sistem iptek dan elemen (subsistem dari) sistem-sistem lainnya. Pengertian dan keterkaitan dalam ”sistem” di dalam UU No. 18 tahun 2002: (Undang-undang tentang sistem nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi/Sisnas P3Iptek). Seperti disebutkan pada bagian pertimbangan butir c, . . . yang mengandung dan membentuk keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling memperkuat antara unsur-unsur kelembagaan, sumber daya, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam satu keseluruhan yang utuh di lingkungan Negara Republik Indonesia. Uraian dalam bagian penjelasan (umum) seakan mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan sistem

242

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

nasional penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sistem inovasi (atau bagian dari sistem inovasi) sebagaimana didiskusikan dalam buku ini. Sistem pendidikan dan sistem produksi misalnya disinggung dalam bagian penjelasan Pasal 5 Ayat 1. Namun memang tidak ada pernyataan dalam satu pasal pun yang dengan gamblang menyatakan hal tersebut atau keterkaitan antara keduanya (apakah Sisnas P3Iptek ini identik dengan sistem inovasi atau bagian dari sistem inovasi, sebagaimana dikenal luas dalam literatur). Istilah ”sistem inovasi” tidak digunakan sama sekali dalam UU No. 18 tahun 2002. 2.

Sekalipun begitu, Keppres No. 47 tahun 2003 menyebutkan antara lain bahwa ”Meneg Ristek mempunyai kewenangan: . . . . (butir f) kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu membangun sistem inovasi dan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi nasional (IPTEKNAS) serta melaksanakan pengelolaan dan pengembangan pusat ilmu pengetahuan dan teknologi.” Dengan keluarnya Perpres No. 9 tahun 2005, maka Keppres No. 47 tahun 2003 tidak berlaku lagi. Setidaknya hingga sementara ini, tidak ada satupun kementerian koordinator, departemen atau kementerian negara yang berwenang/berperan mengkoordinasikan pengembangan/pembangunan sistem inovasi nasional. Dengan tidak adanya satupun dokumen legal tentang sistem inovasi, memang nampak ada ”kejanggalan” menyangkut kejelasan dan ketegasan dalam dan antara landasan legal yang penting bagi pembangunan sistem inovasi di Indonesia ini. Karena itu, dokumen tentang kejelasan dan ketegasan tentang bagaimana pembangunan/pengembangan sistem inovasi di Indonesia (termasuk peran para pihak, siapa berperan apa, misalnya dalam memperkuat penadbiran inovasi, meningkatkan koordinasi dan memperbaiki koherensi kebijakan inovasi secara nasional) sangat diperlukan.

3.

Perpres No. 7 tahun 2005 mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan lemahnya daya saing bangsa dan kemampuan iptek ditunjukkan oleh ”lemahnya sinergi kebijakan iptek, sehingga kegiatan iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan.” Sayangnya, keseriusan untuk memperbaiki kebijakan iptek khususnya dan kebijakan inovasi (yang menurut hemat penulis justru akan berdampak signifikan terhadap perkembangan iptek) tidak secara eksplisit menjadi prioritas program pembangunan, walaupun ”muncul” sebagai kegiatan dalam program-program iptek (Bab 22 - Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Menarik untuk disampaikan, di mana disampaikan bahwa: £

Salah satu sasaran dari Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (sasaran 3) adalah: ”Tertatanya mekanisme intermediasi untuk meningkatkan pemanfaatan hasil litbang oleh dunia usaha dan industri, meningkatnya kandungan teknologi dalam industri nasional, serta tumbuhnya jaringan kemitraan dalam kerangka sistem inovasi nasional”;

£

Pada ”Program Peningkatan Kapasitas Iptek Sistem Produksi” (judul Program 4) disebutkan bahwa: ”Tujuan program ini adalah mendorong peningkatan kapasitas teknologi pada sistem produksi di dunia usaha dan industri serta peningkatan sinergi antar berbagai komponen sistem inovasi.”

Ini nampaknya mengindikasikan pentingnya sistem inovasi. Namun tidak ada penjelasan (betapapun singkatnya) dalam RPJM Nasional tersebut tentang apa yang dimaksud dengan istilah sistem inovasi dalam Perpres tersebut dan bagaimana sistem inovasi tersebut ditumbuhkembangkan. Tidak ada satu bab lain pun (selain Bab 22) yang menyebutkan secara eksplisit sistem inovasi. Dengan tidak/belum adanya satupun dokumen formal berkaitan dengan sistem inovasi, maka hubungan antara ketiga dokumen legal tersebut (UU No. 18 tahun 2002, Keppres No. 47 tahun 2003 dan yang menggantikannya yaitu Perpres No. 9 tahun 2005, dan Perpres No. 7 tahun 2005), dan khususnya tentang upaya pengembangan sistem inovasi (dari segi “legislasi”) meninggalkan “kekaburan” atau memungkinkan penafsiran yang sangat beragam. Para pihak di luar lingkungan KRT beserta LPND yang dikoordinasikannya, misalnya, sangat boleh jadi tidak “memandang” (atau “menyadari”) peran pentingnya dalam berkontribusi membangun sistem

BAB 6 GAMBARAN RINGKAS SISTEM INOVASI DI INDONESIA

n

243

inovasi nasional. Dalam hal ini, menurut hemat penulis, kejelasan, ketegasan dan komitmen pemerintah menjadikan pengembangan sistem inovasi sebagai salah satu agenda penting nasional diperlukan. Perbaikan dokumen RPJM dan/atau penyusunan dokumen strategis tertentu (misalnya dalam Jakstra Iptek terbaru, fungsi dan kewenangan kementerian atau dokumen relevan lain) mungkin merupakan langkah yang perlu dilakukan segera. 4.

Beberapa pasal dalam UU No. 18 tahun 2002 (terutama pasal 20 beserta penjelasannya) mengungkapkan peran pemerintah daerah (Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004, pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah). Penadbiran inovasi (innovation governance), terutama dalam konteks kebijakan inovasi, ”lebih leluasa” untuk dirancang dan ditentukan oleh kepala daerah. Namun untuk itu, perlu upaya dari berbagai pihak yang kompeten untuk membantu daerah memahami dan memiliki kapasitas memadai merumuskan, mengimplementasikan dan memperbaiki terus-menerus kebijakan inovasi di daerah (termasuk misalnya adanya semacam ”panduan” atau guidelines, bantuan teknis atau pendampingan, langkah-langkah kolaboratif dan upaya peningkatan kapasitas daerah/capacity building). Kelemahan berkaitan dengan ini misalnya menyangkut perkembangan kelembagaan DRD dan kelembagaan relevan lain, yang turut dipengaruhi oleh sangat terbatasnya penjabaran operasional dari legislasi yang ada dan keterbatasan kapasitas daerah untuk menindaklanjutinya. Menurut hemat penulis, ini sangat penting, karena selain akan mempengaruhi keberhasilan penjabaran pada tataran daerah dari legislasi yang telah disusun, juga mempengaruhi proses perbaikan koherensi (termasuk koordinasi) antara nasional dan daerah (”pusat – daerah”), khususnya menyangkut kebijakan inovasi.

Terlepas dari beberapa catatan tersebut, pemajuan sistem inovasi daerah akan semakin menentukan bukan saja bagi perkembangan daya saing daerah, tetapi juga sebagai pilar bagi kemajuan sistem inovasi dan daya saing nasional. Agenda ini tentu selain perlu semakin menjadi bagian penting dari para penentu kebijakan di tingkat nasional, juga harus menjadi agenda penting setiap daerah. Berdasarkan pengalaman penulis sendiri, terutama dalam beragam program/kegiatan di daerah, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan/ditekankan kembali dalam bagian diskusi ini: ¨

Kelemahan data: Kelemahan data terkait dengan sistem inovasi (pada tataran nasional maupun daerah) merupakan di antara kelemahan menonjol di Indonesia. Beberapa hal penting seperti besaran alokasi pendanaan pemerintah daerah untuk aktivitas inovasi (litbang dan yang terkait lainnya), umumnya tidak tersedia begitu saja. Data tentang sumber daya dan investasi bagi inovasi di daerah sulit diketahui. Sebaran perolehan (dan/atau pengajuan) HKI menurut daerah, sampai buku ini ditulis, juga belum ada. Ini adalah sebagian kecil di antara kelemahan data yang dimiliki. Tanpa dukungan ketersediaan data penting dan berkualitas, sulit dikembangkan kebijakan yang baik. Karena itu, pengembangan “profil daerah” yang memuat data terutama berkaitan dengan penataan sistem inovasi sangat penting untuk dilakukan.

¨

Positioning (nasional dalam konteks internasional ataupun daerah dalam konteks nasional maupun dengan daerah lain pada tataran internasional) sangat penting dalam pemajuan sistem inovasi. Karena itu upaya benchmarking misalnya semakin menjadi bagian penting yang dilakukan oleh/di berbagai negara. Benchmarking merupakan suatu langkah awal, namun hal demikian akan membantu daerah dalam konteks nasional maupun global. Mengawali hal ini, dengan segala keterbatasan (termasuk ketersediaan data), maka bagian berikut akan mendiskusikan dan merangkum isu-isu utama sehubungan dengan pemajuan sistem inovasi di Indonesia.

¨

Upaya-upaya yang lebih sinkron, terkoordinasi dan serentak, baik antarlembaga dan antara para pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun ”pusat – daerah” dalam pemajuan sistem inovasi perlu dikembangkan untuk memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan daya saing.

244

n

PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Related Documents


More Documents from "Anonymous GRQkZF"