Bab 2 Pemahaman Penertiban.docx

  • Uploaded by: Vina Vienna Andriyanti
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Pemahaman Penertiban.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,254
  • Pages: 50
PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA

2.1 Penertiban Tata Ruang 2.1.1 Pengertian Ketertiban dalam Teori Hukum Mochtar Kusumaatmadja (2002: 3-4, 85-91) mendeskripsikan tentang arti hukum dan fungsinya dalam masyarakat, bahwa dalam analisis terakhir, tujuan pokok dari hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja, adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan bakatbakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat ia hidup. Pengertian hukum yang 2-1

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Dengan memperhatikan pengertian hukum tersebut, maka hukum tidak hanya dipandang sebagai gejala normatif (asas-asas dan kaidah-kaidah) tetapi juga menggambarkan hukum sebagai gejala sosial (lembaga-lembaga dan proses-proses) yaitu gejala-gejala yang menyangkut aspek-aspek kehidupan masyarakat seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, peranan hukum dalam pembangunan tidak cukup hanya

melalui

pendekatan

normatif,

melainkan

penting

juga

memperhatikan dan menggunakan pendekatan-pendekatan yang lainnya (ekonomi, politik, sosial, budaya, teknik, ekologi, HAM, dan lain-lain). Soerjono Soekanto (1975: 4) mengatakan, bahwa tugas terpokok dari hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, oleh karena ketertiban merupakan syarat terpokok daripada adanya suatu masyarakat yang teratur, hal mana berlaku bagi masyarakat manusia di dalam segala bentuknya. Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakan untuk mengadakan kepastian di dalam pergaulan antar manusia di dalam masyarakat. Hal ini penting sekali bukan hanya bagi suatu kehidupan masyarakat yang teratur, akan tetapi merupakan suatu syarat yang mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas waktu masa kini. Tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban yang dijelmakan oleh kepastian tadi, manusia tak akan mungkin untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya di dalam masyarakat, oleh karena ketertiban tersebut bertujuan untuk menciptakan ketentraman dan ketenangan. 2-2

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA B. Arief Sidharta (2004: 1) mengatakan, bahwa pada dasarnya, secara umum

hukum

mewujudkan

itu

berfungsi

nilai-nilai

untuk

menertibkan

kemanusiaan

yang

masyarakat, fundamental,

menyelesaikan sengketa secara tertib dan adil, memelihara dan mempertahankan ketertiban serta aturan-aturan dengan jika perlu menggunakan kekerasan secara terorganisasi (menerapkan sanksi hukum) melalui prosedur pelaksanaan tertentu yang harus dijalankan secara ketat, mengatur cara pengaturan dan pemeliharaan ketertiban, mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada (perubahan) kebutuhan-kebutuhan masyarakat, mengatur cara pembentukan dan pengubahan tata tertib dan aturan-aturan. Satjipto Rahardjo (2009: 24-25) mengemukakan, bahwa kaidah-kaidah hukum itu menjadi rambu-rambu yang mengikat dan tingkah laku orang-orang dalam masyarakat. Secara teknis, kaidah hukum dapat dibedakan dalam tiga tipe, yakni kaidah perilaku, kaidah kewenangan, dan kaidah sanksi. Kaidah perilaku, menetapkan bagaimana orang (subyek hukum) harus berperilaku dalam hubungan dan interaksi kemasyarakatan. Kaidah kewenangan (publik) adalah kaidah yang memberikan kewenangan untuk menetapkan kaidah perilaku. Kaidah sanksi adalah kaidah yang menetapkan akibat hukum tertentu pada perilaku yang melanggar (atau mematuhi) kaidah hukum. Kaidah perilaku dibedakan ke dalam tipe perintah, izin dan dispensasi. Perintah adalah kaidah yang mengharuskan subyek hukum untuk melakukan perbuatan tertentu; subyek hukum tidak boleh tidak melakukan

perbuatan

itu.

Larangan

adalah

kaidah

yang

mengharuskan subyek hukum untuk tidak melakukan perbuatan tertentu, artinya subyek hukum tidak boleh melakukan perbuatan itu. Izin adalah kaidah yang membolehkan subyek hukum melakukan perbuatan tertentu sebagai pengecualian terhadap suatu perintah 2-3

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA umum. Dispensasi adalah kaidah yang membolehkan subyek hukum tidak melakukan perbuatan tertentu sebagai pengecualian terhadap suatu perintah umum. Izin dan dispensasi adalah pembolehan melakukan perbuatan yang bersifat kuat. Izin dan dispensasi harus dibedakan dari pembolehan yang lemah, yakni perbuatan yang bebas larangan, yang dilakukan boleh, tidak dilakukan juga boleh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ketertiban yang berasal dari suku kata tertib memiliki makna teraturr dan/atau menurut

aturan. Ketertiban masyarakat (social order) dapat dimaknai sebagai sistem kemasyarakatan, hubungan, dan kebiasaan yang berlangsung sesuai

dengan

hukum

yang

berlaku

untuk

mencapai

tujuan

masyarakat. Tertib hukum dapat dimaknai sebagai sistem hukum untuk mengatur segala aspek kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan hukum. Dengan demikian, tertib tata ruang dapat dimaknai sebagai sistem penataan ruang yang menjamin kesesuaian antara fungsi dan/atau peruntukan ruang yang telah ditetapkan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang, serta pelanggaran terhadapnya menimbulkan sanksi hukum. 2.1.2 Pengertian Penertiban Pemanfaatan Ruang Pengertian penertiban penertiban secara umum yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan

menertibkan. Selain itu, penertiban dalam pemanfaatan ruang yang diambil

dari

Petunjuk

Teknis

Pendampingan

Pelaksanaan

Pemanfaatan Ruang Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/Kepala BPN

adalah serangkaian proses dalam

pengenaan sanksi terhadap pelanggaran di bidang penataan ruang. Dari

pengertian

tersebut

diatas

terdapat

pemahaman

bahwa

penertiban merupakan serangkaian usaha tindakan yang terdiri dari 2-4

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA pelaksanaan tindakan awal (input), pengolahan (proses) dan akhir (output) dalam menindaklanjuti pelanggaran atau penyimpangan yang terjadi dalam bidang penataan ruang agar tercapai tertib tata ruang. 2.2 Tinjauan

Peraturan

Perundangan

Terkait

Penertiban

Pemanfaatan Ruang 2.2.1 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang No. 26 tahun 2007 mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan penataan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 angka 5). Gambar 2.1 Proses Penataan Ruang

Sumber : Diadopsi dari Pasal 1 angka 5 UU No. 26 Thn 2007.

Di dalam Pasal 2 UUPR 26/2007 juga disebutkan bahwa penataan ruang diselenggarakan berdasarkan azas keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan,

keterbukaan,

kebersamaan

dan

kemitraan,

perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, serta akuntabilitas.

2-5

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Didalam Pasal 3 UUPR 26/2007 Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah Nasional yang aman, nyaman,

produktif,

dan

berkelanjutan

berlandaskan

Wawasan

Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. Terwujudnya

keharmonisan

antara

lingkungan

alam

dan

lingkungan buatan; b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dalam sistem penyelenggaraan penataan ruang seperti yang tertuang dalam pasal 1 angka 6 UUPR 26/2007, telah jelas disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang (Turbinlakwas). Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengaturan, merupakan upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat dalam penataan ruang. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang, termasuk pedoman bidang penataan ruang. 2. Pembinaan, merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 3. Pelaksanaan, merupakan upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, serta

pengendalian

pemanfaatan

ruang.

Kegiatan

yang

dilaksanakan dalam pelaksanaan penataan ruang antara lain: 2-6

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA a. Penyusunan dokumen tata ruang, baik rencana umum tata ruang (rencana tata ruang wilayah) dan rencana rinci tata ruang; b. Pelaksanaan pemanfaatan ruang melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya dengan acuan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan; c.

Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

4. Pengawasan, merupakan upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. pengawasan

terhadap

Kegiatan kinerja

ini

dilakukan

pengaturan,

dengan

pembinaan,

cara dan

pelaksanaan penataan ruang. Gambar 2.2 Kegiatan Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam UUPR 26/2007

Sumber : Diadopsi dari UU No. 26 Tahun 2007.

2-7

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Dalam kegiatan penyelenggaraan penataan ruang terdapat kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang yang merupakan

bagian

dari

Pengendalian

Pemanfaatan

Ruang.

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 UUPR 26/2007. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Upaya pengendalian dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi (Pasal 35 UUPR 26/2007). Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yang diakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Gambar 2.3 Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam UUPR 26/2007

Sumber : Diadopsi dari UU No. 26 Tahun 2007.

2-8

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 1. Peraturan Zonasi (Pasal 36) Peraturan

zonasi

disusun

sebagai

pedoman

pengendalian

pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk

setiap

merupakan

zona

pemanfaatan

ketentuan

yang

ruang.

mengatur

Peraturan

tentang

zonasi

persyaratan

pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. 2. Perizinan (Pasal 37) Ketentuan perizinan diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun yang dimaksud dengan perizinan adalah perizinan yang terkait dengan izin pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan

harus

dimiliki

sebelum

pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin dimaksud adalah izin lokasi/fungsi ruang, amplop ruang, dan kualitas ruang. Perizinan pemanfaatan ruang dalam pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan oleh

Pemerintah

dan

pemerintah

daerah

sesuai

dengan

kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan ruang yang tidak 2-9

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. 3. Pemberian Insentif dan Disinsentif (Pasal 38) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana

(infrastruktur),

pemberian

kompensasi,

kemudahan

prosedur perizinan, dan pemberian penghargaan. Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi dan penalti. 4. Pengenaan Sanksi (Pasal 39)

Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi (Pasal 39 UUPR 26/2007). Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang

dilakukan

sesuai

dengan

rencana

tata

ruang.

Ketidaksesuaian terhadap rencana tata ruang beserta ketentuan peraturan perundangan yang berlaku atau dapat dikatakan sebagai pelanggaran

atau

penyimpangan

dalam

penyelenggaraan

pemanfaatan ruang (atau kondisi tidak tertibnya pemanfaatan 2-10

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA ruang, baik tertib administrasi maupun tertib teknis), maka dilakukan tindakan penertiban melalui perangkat tindakan penertiban yaitu pengenaan sanksi. Dalam Undang-Undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pengenaan sanksi berkenan dengan penertiban adalah : (1) Sanksi administratif; (2) Sanksi perdata; dan (3) Sanksi pidana. Gambar 2.4 Pengenaan Sanksi dalam UUPR 26/2007

Sumber : Diadopsi dari UU No. 26 Tahun 2007.

2-11

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Dalam UUPR 26/2007 dikemukakan Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, diamana dalam Pasal 61 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c.

Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan

d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal 62 UUPR 26/2007 mengamatkan setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif pada Pasal 63 berupa : a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c.

Penghentian sementara pelayanan umum;

d. Penutupan lokasi; e.

Pencabutan izin;

f.

Pembatalan izin;

g. Pembongkaran bangunan; h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau i.

Denda administratif.

Selain pengenaan sanksi administrasi, pelanggaran atas Pasal 61 UUPR 26/2007 tersebut juga dikenakan sanksi pidana yang bersifat komulatif (penjara dan denda) apabila mengakibatkan perubahan fungsi ruang, kerugian atas harta benda atau kerusakan barang dan mengakibatkan kematian sesuai dengan Pasal 69-72 UUPR 26/2007. Sanksi pidana berupa pidana pokok (penjara dan denda) dan pidana tambahan (pemberhentian tidak terhormat dari jabatan, pencabutan 2-12

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA izin usaha, pencabutan status badan hukum). Sanksi yang terakhir adalah sanksi perdata yaitu tindakan pidana yang menimbulkan kerugian secara perdata. Penertiban secara pemahaman dalam UUPR No. 26 Tahun 2007 merupakan upaya yang dilakukan agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Hal ini terkait dengan Pasal 77 UUPR 26/2007 dimana Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang yang sah menurut rencana tata ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian. Dijelaskan Pada Penjelasan Pasal 77, Masa transisi selama 3 (tiga) tahun dihitung sejak penetapan peraturan perundangan tentang rencana tata ruang dituangkan dalam Lembaran Negara dan Lembaran Daerah sesuai dengan hierarki rencana tata ruang. Selama masa transisi tidak dapat dilakukan penertiban secara paksa. Penertiban secara paksa dilakukan apabila masa transisi berakhir dan pemanfaatan ruang tersebut tidak disesuaikan dengan rencana tata ruang yang baru. 2.2.2 Peraturan

Pemerintah

No.

15

Tahun

2010

tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang Sebagaimana pada Pasal 40 UUPR 26/2007 bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan pemerintah dengan diberlakukannya PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 ini memberikan penjelasan yang lebih rinci terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang. Penyelenggaraan

2-13

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA penataan ruang terdiri atas kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 

Pelaksanaan penataan ruang dalam Pasal 1 angka 10 adalah upaya pencapaian

tujuan

penataan

ruang

melalui

pelaksanaan

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 

Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam Pasal 1 angka 13 adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

Pembahasan mengenai pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang tertuang dalam BAB VI Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan muatan pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Muatan BAB VI Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam PP 15/2010 BAB VI Pelaksanaan Pengandalian Pemanfaatan Ruang Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang (Ps. 147) Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui: (Ps.148) Peraturan Zonasi (Ps. 149-159)

Perizinan (Ps. 160-168)

Pemberian Insentif & Disinsentif (Ps.169-181)

Pengenaan Sanksi (Ps. 182-192)

UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN TERTIB TATA RUANG Sumber : Diadopsi dari PP No. 15 Tahun 2010.

2-14

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Rincian kegiatan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: 1. Pengaturan zonasi Pengaturan zonasi memuat ketentuan mengenai jenis kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan, intensitas pemanfaatan ruang, prasarana dan sarana minimum, serta ketentuan lain yang dibutuhkan. Gambar 2.6 Pelaksanaan Pengaturan Zonasi dalam PP 15/2010

Sumber : Sosialisasi PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kemen PU 2010.

2. Perizinan Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin pemanfataan ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan

dalam

pelaksanaan

pemanfaatan

ruang.

Izin

pemanfaatan ruang diberikan kepada calon pengguna ruang yang 2-15

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA akan melakukan kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan atau zona berdasarkan rencana tata ruang, yang diberikan untuk: 

Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;



Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang;



Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.

Izin pemanfaatan ruang terdiri atas izin prinsip, izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, serta izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Gambar 2.7 Pelaksanaan Perizinan dalam PP 15/2010

Sumber : Sosialisasi PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kemen PU 2010.

2-16

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian insentif dan disinsentif Pemberian

insentif

diselenggarakan

dan

untuk

disinsentif

dalam

meningkatkan

penataan

upaya

ruang

pengendalian

pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang, memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang, dan meningkatkan kemitraan

semua

pemangku

kepentingan

dalam

rangka

pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang. Gambar 2.8 Pelaksanaan Pemberian Insentif dan Disinsentif dalam PP 15/2010

Sumber : Sosialisasi PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kemen PU 2010.

2-17

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 4. Pengenaan sanksi diberikan untuk setiap pelanggaran di bidang penataan ruang. Setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang dikenakan sanksi administratif. Sanksi administrastif dapat berupa: a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Penghentian sementara pelayanan umum; d. Penutupan lokasi; e. Pencabutan izin; f. Pembatalan izin; g. Pembongkaran bangunan; h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. Denda administratif. Gambar 2.9 Pelaksanaan Pengenaan Sanksi dalam PP 15/2010

Sumber : Sosialisasi PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kemen PU 2010.

2-18

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Pelanggaran di bidang penataan ruang antara lain:

a. Pemanfataan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang  Memanfaatkan ruang dengan izin pemanfataan ruang di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya;  Memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfataan ruang di lokasi yang sesuai peruntukannya;  Memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfataan ruang di lokasi yang tidak sesuai peruntukannya.

b. Pemanfataan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang  Tidak menindaklanjuti izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan; dan/atau  Memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang tercantum dalam izin pemanfaatan ruang.

c. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang  Melanggar batas sempadan yang telah ditentukan;  Melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang telah ditentukan;  Melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan dan koefisien dasar hijau;  Melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan;  Melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan; dan/atau  Tidak menyediakan fasilitas sosial atau fasilitas umum sesuai dengan persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang.

2-19

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA d. Menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh UU sebagai milik umum.  Menutup akses ke pesisir pantai, sungai, danau, situ, dan sumber daya alam serta prasarana publik;  Menutup akses terhadap sumber air;  Menutup akses terhadap taman dan ruang terbuka hijau;  Menutup akses terhadap fasilitas pejalan kaki;  Menutup akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana;  Menutup akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat yang berwenang. Untuk menetapkan bentuk sanksi administratif yang akan dikenakan pada pelanggar, maka kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap penyelenggaraan penataan dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kriteria dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif No. a.

Bentuk Peringatan tertulis

b.

Penghentian sementara kegiatan

c.

Penghentian sementara pelayanan umum

d.

Penutupan lokasi

e.

Pencabutan izin

Tata Cara (Ps. 188 ayat (1)) Dilakukan melalui penerbitan surat peringatan tertulis dari pejabat yang berwenang. (Ps. 189) Penerbitan surat keputusan penghentian kegiatan, setelah peringatan tertulis diabaikan (Ps. 190) Penerbitan surat keputusan penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar, setelah peringatan tertulis diabaikan (Ps. 191) Penerbitan surat keputusan penutupan lokasi, setelah peringatan tertulis diabaikan (Ps. 192) Penerbitan surat keputusan pencabutan izin, setelah peringatan tertulis diabaikan.

Kriteria (Ps. 187) Besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang; Nilai manfaat pemberian sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran penataan ruang; Kerugian publik yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang.

2-20

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA No.

Bentuk

Tata Cara Kriteria (Ps. 192 huruf d) d. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. f. Pembatalan izin (Ps. 193) Penerbitan surat keputusan pembatalan izin, setelah peringatan tertulis diabaikan (Ps. 193 huruf d) d. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. g. Pembongkaran (Ps. 194) bangunan Penerbitan surat keputusan pembongkaran bangunan, setelah peringatan tertulis diabaikan. (Ps. 194 huruf c) c. berdasarkan surat keputusan pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang melakukan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. h. Pemulihan fungsi (Ps. 195-196) ruang Penerbitan surat perintah pemulihan fungsi ruang, setelah surat peringatan diabaikan i. Denda administratif. (Ps. 197) Dapat dikenakan secara tersendiri atau bersamasama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 sampai dengan Pasal 196. Sumber : Sosialisasi PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kemen PU 2010.

2-21

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Penertiban dalam PP PPR 15/2010 juga dilakukan berdasarkan hasil pengawasan penataan ruang. Dalam Pasal 1 angka 14 Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam Bab VII, Pengawasan penataan ruang diselenggarakan untuk: a. Menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang; b. Menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang; dan c.

Meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang.

Pengawasan penataan ruang dilakukan melalui penilaian terhadap kinerja: a. Pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang; b. Fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang; dan c.

Pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

Pengawasan penataan ruang terdiri atas kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan: a. Pemantauan

merupakan

kegiatan

pengamatan

terhadap

penyelenggaraan penataan ruang secara langsung, tidak langsung, dan/atau melalui laporan masyarakat. b. Evaluasi

merupakan

kegiatan

penilaian

terhadap

tingkat

pencapaian penyelenggaraan penataan ruang secara terukur dan objektif. c.

Pelaporan merupakan kegiatan penyampaian hasil evaluasi.

Pengawasan penataan ruang menghasilkan laporan yang memuat penilaian: a. Penataan

ruang

diselenggarakan

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan perundang-undangan; atau

2-22

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA b. Penataan ruang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 204 ayat (3) PP PPR 15/2010, Penataan ruang yang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan menghasilkan rekomendasi: a. Untuk dilakukan penyesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. Untuk dilakukan penertiban dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Gambar 2.10 Mekanisme Pengawasan Penataan Ruang dalam PP 15/2010 PEMERINTAH & PEMERINTAH DAERAH dengan melibatkan peran masyarakat UU 26/2007; Pasal 5

PEMANTAUAN

“kegiatan pengamatan terhadap penyelenggaraan penataan ruang secara langsung, tidak langsung, dan/atau melalui laporan masyarakat”.

PENGAWASAN PENATAAN RUANG

“upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.

EVALUASI

“kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan penataan ruang secara terukur dan objektif”.

PELAPORAN

1 2 3

menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang; menjamin terlaksananya penegakan hukum bidang penataan ruang; dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan penataan ruang. PP 15/2010; Pasal 198

“kegiatan penyampaian hasil evaluasi”. UU 26/2007; Pasal 1

PP 15/2010; Pasal 201

PENGAWASAN TEKNIS

PENGAWASAN KHUSUS

“pengawasan terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan secara berkala.”

“pengawasan terhadap permasalahan khusus dalam penyelenggaraan penataan ruang yang dilaksanakan sesuai kebutuhan”.

a. mengawasi masukan, prosedur, dan keluaran, dalam aspek pengaturan penataan ruang, pembinaan penataan ruang, dan pelaksanaan penataan ruang; b. mengawasi fungsi dan manfaat keluaran sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan c. mengawasi ketersediaan dan pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

a. memeriksa data dan informasi permasalahan khusus dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan b. melakukan kajian teknis terhadap permasalahan khusus dalam penyelenggaraan penataan ruang.

LAPORAN HASIL PENGAWASAN SESUAI

penataan ruang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

REKOMENDASI peningkatan kinerja penyelenggaraan penataan ruang.

atau TIDAK SESUAI

penataan ruang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

a. dilakukan penyesuaian dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan/atau b. dilakukan penertiban dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PP 15/2010; Pasal 202

PP 15/2010; Pasal 204

Sumber : Diadopsi dari PP No. 15 Tahun 2010.

2-23

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 2.2.3 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 24 Tahun 2014 tentang Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional/SP4N Sistem pengelolaan dan pengaduan pelayanan publik nasional memiliki ruang lingkup guna memperjelas sistem yang dilakukan pada saat terjadi pengaduan, dimana membahas tentang: 1. Kelembagaan dan sarana pengaduan pelayanan publik; 2. Mekanisme pengelolaan dan pengaduan pelayanan publik; 3. Pemantauan berupa evaluasi dan pelaporan pelayanan publik; 4. Akuntabilitas

berupa

transparansi

dan

partisipasi

dalam

pengeloaan pengaduan pelayanan publik; 5. Pembinaan dan pengawasan pelayanan publik; dan 6. Pengintegrasian sistem pengelolaan yanlik nasional. Beberapa sarana yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk pengelolaan

dan

pengaduan

menurut

Peraturan

Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 24 Tahun 2014 adalah sebagai berikut: 1. Tempat/ruangan; 2. Media/box pengaduan; 3. Formulir pengaduan dan alat tulis; dan/atau 4. Perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). 2.2.4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan Ruang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan Ruang yang selanjutnya disebut PPNS Penataan Ruang adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Penataan Ruang yang diberi wewenang 2-24

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. PPNS Penataan Ruang mempunyai tugas: (Pasal 3) a. Melakukan Penyidikan terhadap Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang; dan b. Melakukan pembinaan dalam rangka penyiapan pelaksanaan tugas Penyidikan Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang. Kewajiban PPNS Penataan Ruang: (Pasal 4) a. Memberitahukan tentang Penyidikan yang dilakukan kepada Penyidik Polri; b. Memberitahukan perkembangan Penyidikan yang dilakukannya kepada Penyidik Polri; c.

Berkoordinasi dengan Penyidik Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Memberitahukan penghentian Penyidikan yang dilakukannya kepada Penyidik Polri; dan e.

Menyerahkan

hasil

Penyidikan,

meliputi

berkas

perkara,

Tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum melalui Penyidik Polri. PPNS Penataan Ruang mempunyai fungsi mewujudkan tegaknya hukum dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang (Pasal 5). Dalam Pasal 8, wewenang PPNS dalam melakukan penyidikan adalah: a. Melakukan Pemeriksaan atas kebenaran Laporan atau keterangan yang berkenaan dengan Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang;

2-25

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA b. Melakukan Pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang; c.

Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang;

d. Melakukan Pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang; e.

Melakukan Pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang; dan

f.

Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas Penyidikan Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang.

Manjemen penyidikan pidana dilakukan melalui kegiatan Pengawasan, Pengamatan,

Penelitian

dan

Pemeriksaan

(Wasmatlitrik).

Wasmatlitrik dilaksanakan atas dasar adanya dugaan Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang (BAB VIII Penyidikan, Pasal 28). Dugaan Tindak Pidana Bidang Penataan Ruang dapat diketahui melalui: a. Adanya Laporan atau pengaduan dari masyarakat secara tertulis atau lisan; b. Temuan oleh PPNS Penataan Ruang; c.

Hasil pengawasan teknis atau pengawasan khusus;

d. Hasil audit tata ruang; dan/atau e.

Tertangkap Tangan oleh PPNS Penataan Ruang.

Dalam hal melakukan Wasmatlitrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), PPNS Penataan Ruang dapat meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, berupa: a. Bantuan penyelidikan; dan/atau 2-26

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA b. Bantuan pengamanan. Bentuk kegiatan Penyidikan (Pasal 35) yang dilakukan oleh PPNS Penataan Ruang, meliputi: a. Pemberitahuan dimulainya Penyidikan; b. Pemanggilan Saksi atau Tersangka; c.

Penangkapan;

d. Penahanan; e.

Penggeledahan;

f.

Penyitaan;

g. Pemeriksaan; h. Rekonstruksi atau reka ulang; i.

Pengambilan sumpah Saksi dan Ahli;

j.

Pencegahan;

k. Penyelesaian berkas perkara; dan l.

Penyerahan berkas perkara.

Dalam rangka meningkatkan koordinasi antar PPNS Penataan Ruang, dapat

dibentuk

forum

koordinasi

PPNS

Penataan

Ruang

beranggotakan PPNS Penataan Ruang Pusat, PPNS Penataan Ruang Provinsi dan PPNS Penataan Ruang Kabupaten/Kota. Forum koordinasi PPNS Penataan Ruang berfungsi antara lain: a. Sarana komunikasi dan koordinasi antara PPNS Penataan Ruang; b. Sarana komunikasi dan koordinasi dalam mendiskusikan dan mencari solusi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh PPNS Penataan Ruang; c.

Membantu dalam proses pembinaan terhadap PPNS Penataan Ruang Provinsi dan PPNS Penataan Ruang Kabupaten/Kota; dan

d. Membantu

dan

mendukung

kelancaran

upaya

penertiban

pemanfaatan ruang, dan penegakan hukum di bidang Penataan Ruang. 2-27

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Dalam Hubungan Kelembagaan dalam Pasal 73, Pelaksanaan tugas dan fungsi PPNS Penataan Ruang berhubungan dengan lembaga atau instansi antara lain: a. Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam hal: 1) Bantuan penyelidikan koordinasi pengawasan PPNS Penataan Ruang; 2) Pemberitahuan dimulainya Penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Penyidik Polri; 3) Bantuan Penyidikan, meliputi Bantuan Teknis, Bantuan Taktis, bantuan upaya paksa dan bantuan konsultasi; dan 4) Penyerahan berkas perkara serta penyerahan Tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum; b. Kejaksaan, dalam hal: 1) Pemberitahuan Penyidikan dengan pemberitahuan dimulainya Penyidikan; 2) Penahanan; 3) Penyerahan berkas perkara; dan 4) Penyerahan tersangka dan barang bukti; c.

Pengadilan, dalam hal: 1) Penggeledahan; dan 2) Penyitaan barang bukti;

d. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam 1) Mutasi, Pengangkatan dan Pemberhentian PPNS; 2) Pelantikan; 3) Penerbitan Kartu PPNS; dan 4) Pencegahan. e.

Kementerian, lembaga, badan, instansi, dan pemerintah daerah dalam hal: 1) Bantuan tenaga ahli; 2-28

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 2) Bantuan personil; dan 3) Bantuan teknologi, data dan informasi. 2.2.5 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Audit Tata Ruang Audit tata ruang adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan dan evaluasi terhadap data dan informasi spasial serta dokumen-dokumen pendukung untuk mengevaluasi suatu laporan atau temuan yang diduga sebagai indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang (Pasal 1 angka 12). Audit Tata Ruang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Dasar Audit Tata Ruang meliputi: a. Laporan atau pengaduan dari masyarakat terkait adanya dugaan pelanggaran di bidang penataan ruang, yang diperoleh melalui : 1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan Ruang; 2) Unit penerima laporan atau pengaduan; 3) Media daring yang disediakan sebagai sarana pengaduan atau laporan oleh pejabat yang berwenang; dan 4) Surat pembaca pada media cetak resmi. b. Temuan indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang 1) Temuan langsung oleh petugas yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang; 2) Hasil pengawasan teknis; dan 3) Hasil pengawasan khusus. c.

Bencana yang diduga disebabkan adanya indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang 1) Banjir; 2) Tanah longsor; 2-29

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 3) Kebakaran; atau 4) Bencana

lainnya

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan. Tahapan Audit Tata Ruang terdiri atas: 1. Pembentukan tim Audit Tata Ruang; 2. Perencanaan Audit Tata Ruang; 3. Pelaksanaan Audit Tata Ruang; dan 4. Penentuan tipologi pelanggaran bidang penataan ruang. Pelaksanaan Audit Tata Ruang dilakukan secara sistematis, objektif, dan terdokumentasi untuk menentukan indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang dilakukan dengan cara menilai: a. Kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang; b. Kesesuaian pemanfaatan ruang dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang; c.

Kesesuaian pemanfaatan ruang dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan

d. Penutupan atau tidak memberikan akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Laporan Hasil Audit Tata Ruang memuat: a. Deliniasi lokasi Audit Tata Ruang; b. Gambaran umum lokasi Audit Tata Ruang; c.

Hasil analisa Audit Tata Ruang;

d. Rekomendasi tindak lanjut; dan e.

Lampiran data pendukung.

2-30

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Gambar 2.11 Tahapan Kegiatan Audit Tata Ruang

Sumber : Paparan Permen ATR/Kepala BPN No. 17/2017 tentang Pedoman Audit Tata Ruang, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang-Kementrian ATR/Kepala BPN

2.2.6 Petunjuk Teknis Penertiban Pemanfataan Ruang, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Kementerian ATR/BPN (Draft Permen ATR/BPN) Kegiatan penertiban pemanfaatan ruang didasarkan pada hasil audit pemanfaatan ruang, pelaporan atau pengaduan dari masyarakat, dan isu-isu strategis lainnya yang berkembang di daerah di seluruh Indonesia. Tindakan pencegahan dan peringatan perlu dilakukan demi meningkatkan kesadaran masyarakat, pemerintah dan semua pihak dalam mewujudkan tertib ruang. Penertiban pemanfaatan ruang adalah serangkaian proses dalam pengenaan sanksi terhadap pelanggaran di bidang penataan ruang.

2-31

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Proses yang harus dilalui dalam kegiatan penertiban pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut : Gambar 2.12 Proses Kegiatan Penertiban

1. Sumber Informasi diperoleh melalui : 

Laporan dan Pengaduan secara Langsung



Laporan dan Pengaduan secara Tidak Langsung (telepon, fax, surat, media daring, jurnalistik)

2. Pengelolaan Pengaduan meliputi kegiatan : 

Inventarisasi Kasus



Seleksi Kasus



Pengumpulan & pendalaman materi, data dan informasi (pendataan dokumen, survey lapangan, wawancara)

3. Kajian Hukum dan Teknis meliputi kegiatan : 

Kegiatan Evaluasi dan Analisis Data (Audit)



Penetapan kesepakatan tindakan penertiban



Penyelenggaraan forum sosialisasi

4. Sanksi Administratif meliputi kegiatan :  Pengenaan

Sanksi

Administratif

berdasarkan

ketentuan

peraturan perudangan yang berlaku 5. Sanksi Pidana (Penyidikan) 2.2.7 Petunjuk

Teknis

Pengelolaan

Pelaporan

dan

Pengaduan

Pelanggaran Bidang Penataan Ruang UUPR mengamanatkan pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Masyarakat memiliki hak untuk melaporkan adanya indikasi pelanggaran di bidang penataan ruang. Sampai dengan saat 2-32

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA ini, proses pengelolaan pelaporan dan pengaduan terkait pelanggaran di bidang penataan ruang belum memiliki acuan prosedur yang baku sebagai standar pelayanan pelaporan dan pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan petunjuk teknis pengelolaan pelaporan dan pengaduan pelanggaran bidang penataan ruang. 1. Pelaporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pelanggaran bidang penataan ruang. 2. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan pelanggaran bidang penataan ruang yang merugikannya. Secara umum, pengelolaan pelaporan dan pengaduan pelanggaran di bidang penataan ruang meliputi: 1. Pengelolaan pelaporan dan pengaduan secara langsung; 2. Pengelolaan pelaporan dan pengaduan secara tidak langsung melalui telepon, fax, surat, dan media daring, media jurnalistik. Tahapan pengelolaan pelaporan dan pengaduan: 1. Penerimaan pelaporan dan pengaduan; 2. Pemeriksaan berkas pelaporan dan pengaduan; 3. Penelaahan pelaporan dan pengaduan; 4. Pemberian rekomendasi tindak lanjut; 5. Pemberian tanggapan terhadap pelaporan dan pengaduan kepada pihak pengadu; 6. Pemantauan,

dokumentasi

dan

pemutakhiran

status

perkembangan penanganan pelaporan dan pengaduan.

2-33

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 2.3

Kedudukan Penertiban dalam Penataan Ruang dan Ruang Lingkup Kegiatan Penertiban

2.3.1 Kedudukan Ketertiban Sebagai Tujuan Hukum dalam Kegiatan Penataan Ruang Pesan pentingnya mewujudkan ketertiban dalam kegiatan penataan ruang telah ditegaskan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 15, yang merumuskan pengertian Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Dengan demikian, kedudukan ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum dalam kegiatan penataan ruang,

lebih kuat

berada

dalam

kegiatan

Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Pengendalian Pemanfaatan Ruang tersebut dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tersebut merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Apabila pelanggar tidak kooperatif, maka penertiban secara paksa dapat dilakukan apabila masa transisi berakhir dan pemanfaatan ruang tersebut tidak disesuaikan dengan rencana tata ruang yang baru, sesuai Penjelasan Ayat (2) Pasal 77 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Dalam PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang,

Pasal

1

angka

13

dirumuskan

bahwa

pengendalian

pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Lebih lanjut, dalam Pasal 147 ditegaskan bahwa pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dalam Pasal 2-34

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 148

juga

ditegaskan

dilaksanakan

melalui

bahwa

pengendalian

penetapan

pemanfaatan ruang

peraturan

zonasi,

perizinan,

pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Untuk pelaksanaan Kegiatan Penertiban dilakukan pada saat sanksi administratif

berupa surat keputusan pencabutan izin, surat

keputusan pembatalan izin, surat keputusan pembongkaran bangunan diabaikan oleh pelanggar, sesuai ketentuan Pasal 192 PP No. 15 Tahun 2010. Apabila penataan ruang yang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan menghasilkan rekomendasi: a) untuk dilakukan penyesuaian dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

dan/atau

b)

untuk

dilakukan

penertiban dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Penetapan peraturan zonasi berfungsi sebagai pedoman dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Sanksi administratif dapat berupa: a) peringatan tertulis; b) penghentian sementara kegiatan; c) penghentian sementara pelayanan umum; d) penutupan lokasi; e) pencabutan izin; f) pembatalan izin; g) pembongkaran bangunan; h) pemulihan fungsi ruang; dan/atau i) denda administrative. Sedangkan sanksi pidana dapat berupa: a) Pidana Pokok: Penjara dan/atau Denda; b) Pidana Tambahan: Pemberhentian 2-35

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA secara tidak hormat dari jabatannya, Pencabutan izin usaha, dan/atau Pencabutan status badan hukum. Dengan demikian, penertiban penataan ruang dapat dirumuskan sebagai serangkaian proses dalam pengenaan sanksi terhadap pelanggaran di bidang penataan ruang. Kegiatan penataan ruang sesungguhnya terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait yang bermuara pada pencapaian tertib tata ruang, yaitu mencakup: 1) perencanaan tata ruang; 2) pemanfaatan ruang; dan 3) pengendalian pemanfaatan ruang. Produk rencana

tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/Kota). Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, terjadi penegasan bahwa ketentuan RTRW yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan pembangunan nasional pada aspek pemanfaatan ruang, di dalamnya dirumuskan bahwa proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang harus senantiasa melibatkan peran aktif (partisipasi) masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam pembangunan. Dengan demikian tanggung jawab terhadap penyusunan

kebijakan

pembangunan

tata

ruang,

penetapan

perencanaan pemanfaatan dan implementasi pemanfaatan ruang tidak semata-mata menjadi kewajiban pemerintah namun juga menjadi kewajiban bersama seluruh stakeholder baik di pusat maupun di daerah. Di daerah, kebijakan rencana tata ruang selanjutnya dioperasionalkan dalam bentuk Peraturan Daerah tentang RTRW, RDTRKP, RTBL yang masing-masing mempunyai tingkatan ketelitian 2-36

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA atau tingkat kerincian yang berbeda. Rencana inilah yang kemudian menjadi acuan pagi pemerintah sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang, sedangkan sebagai sarana pengendaliannya dilakukan melalui mekanisme perizinan pemanfaatan ruang. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, terjadi penegasan bahwa ketentuan RTRW yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Fungsi IMB (salah satu contoh penerapan pengendalian tata ruang) sebagai sarana pengendalian pemanfaatan ruang wilayah melalui pengaturan zonasi pada dasarnya merupakan sebuah peta kendali bagi Pemerintah Daerah dalam mengatur tata ruang di daerahnya agar dapat dikendalikan pemanfaatannya sesuai dengan fungsi ruang yang ideal dan berkelanjutan. Implementasi penataan ruang tersebut pada realitanya banyak dijumpai ketidaksesuaian, diantaranya berkaitan dengan Pergeseran fungsi lahan, magnet orientasi ini didorong oleh pesatnya atau bermunculannya pusat-pusat kegiatan dan atau kawasan yang pada umumnya berkorelasi dan berimplikasi dengan aspek

ekonomi

atau

setidak-tidaknya

multiplier

effect

yang

ditimbulkannya dianggap lebih prospektif atas upaya capaian tingkat kesejahteraan, terutama dari sudut sosio individu maupun sosio kultur. Pemaparan di atas menggambarkan pentingnya kegiatan Pengendalian pemanfaatan

ruang

yang

dimaksudkan

sebagai

upaya

tertib

pemanfaatan ruang, sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan berdasarkan mekanisme perizinan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pemanfaatan ruang hanya dapat dilakukan dengan izin yang diatur dan diterbitkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang 2-37

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA tidak memiliki izin, dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. 2.3.2 Kedudukan

Penertiban

dalam

Sistem

Penyelenggaraan

Penataan Ruang Untuk mengetahui kedudukan atau posisi penertiban dalam sistem penyelenggaraan penataan ruang dapat ditelusuri dalam pasal-pasal yang terkandung dalam penataan ruang, yaitu dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 yang dapat disandingkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Posisi Penertiban dalam UU 26/2007 dan PP 15/2010 Aspek Ketentuan Umum

UU No. 26 Tahun 2007

PP No. 15 Tahun 2010

Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. (Ps.1, point 15)

Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. (Ps.1, point 13)

Pelaksanaan Perencanaan Tata Ruang

Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat disertai dengan usulan untuk dilakukan penertiban terhadap pelanggaran rencana tata ruang. (ayat (2) Ps. 87) Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. (Ps.35)

Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang. (Ps.147) Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. (Ps.148)

Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap

Setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang dikenakan sanksi administratif (Ps. 182)

2-38

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Aspek

UU No. 26 Tahun 2007

PP No. 15 Tahun 2010

pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. (Ps.39) Apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (huruf d, Ps. 192) Apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (huruf d, Ps. 193) Berdasarkan surat keputusan pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang melakukan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (huruf c, Ps. 194). Pengawasan Penataan Ruang

Penjelasan

Penataan ruang yang diselenggarakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan menghasilkan rekomendasi: a. untuk dilakukan penyesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. untuk dilakukan penertiban dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (ayat 3, Ps.204) Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan

Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan tertib tata ruang yang mengatur ketentuan mengenai peraturan zonasi yang merupakan ketentuan persyaratan pemanfaatan

2-39

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Aspek

Penjelasan

UU No. 26 Tahun 2007

PP No. 15 Tahun 2010

sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang (Umum, point 7). Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi (Umum, point 7).

ruang, perizinan yang merupakan syarat untuk pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi, yang keseluruhannya merupakan perangkat untuk mendorong terwujudnya rencana tata ruang sekaligus untuk mencegah terjadinya pelanggaran penataan ruang. (Umum, paragraf 7 huruf e)

Masa transisi selama 3 (tiga) tahun dihitung sejak penetapan peraturan perundang-undangan tentang rencana tata ruang dituangkan dalam Lembaran Negara dan Lembaran Daerah sesuai dengan hierarki rencana tata ruang. Selama masa transisi tidak dapat dilakukan penertiban secara paksa. Penertiban secara paksa dilakukan apabila masa transisi berakhir dan pemanfaatan ruang tersebut tidak disesuaikan dengan rencana tata ruang yang baru. (Pasal demi Pasal, Pasal 77 ayat (2)) Bunyi Pasal 77 ayat (2) : (2) Pemanfaatan ruang yang sah menurut rencana tata ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.

Sumber : Diadopsi dari UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 15 Tahun 2010.

Berdasarkan

tinjauan

terhadap

kajian

normatif

(peraturan

perundangan), khususnya pada UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 15 Tahun 2010 dapat disimpulkan bahwa Kegiatan Penertiban dalam Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang dilakukan pada saat dalam pelaksanaan

pemanfaatan

ruang

terjadi

pelanggaran

atau

penyimpangan pemanfaatan ruang, khususnya yang tidak sesuai rencana tata ruang dan peraturan zonasi serta persyaratan ijin yang 2-40

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA tidak dipenuhi dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan sehingga diambil tindakan penertiban berupa pengenaan sanksi. Gambar 2.13 Kedudukan Penertiban dalam Sistem Penyelenggaraan Penataan Ruang Pengaturan

Pembinaan

Pelaksanaan

Pengawasan

Perencanaan

Pemanfaatan

Pengendalian

Penyusunan RTR

Pelaksanaan Program & Pembiayaan

Peraturan Zonasi

Peninjauan Kembali RTR

Perijinan

Insentif & Disinsentif

Indikasi Pelanggaran/ Ketidaksesuaian/Penyimpangan Sanksi TINDAKAN PENERTIBAN

Sumber : Diolah oleh Tim Peneliti 2018.

2.3.3 Ruang Lingkup Kegiatan Penertiban Pemanfaatan Ruang Ruang lingkup kegiatan penertiban pemanfaatan ruang merupakan tahapan yang harus dilalui sampai dengan dilakukannya tindakan penertiban. Adapun tahapan yang tersusun diolah dari berbagai sumber, diantaranya UUPR 26/2007, PP 15/2010 dan Petunjuk Teknis Pendampingan Penertiban, Pengelolaan Pengaduan, Audit Tata Ruang, 2-41

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA PPNS Penataan Ruang serta Sanksi Administrasi yang didalamnya terdapat tahapan-tahapan pelaksanaan penertiban pemanfaatan ruang. Adapun ruang lingkup kegiatan penertiban pada kerangka tahapan pada Gambar 2.14. Gambar 2.14 Ruang Lingkup Kegiatan Penertiban Pemanfaatan Ruang Laporan/Pengaduan Pelanggaran/Indikasi Pelanggaran

Pemeriksaan Laporan/Pengaduan (inventarisasi kasus, seleksi kasus, pengumpulan data & informasi)

Audit Tata Ruang & Pengumpulan Barang Bukti

Verifikasi Lapangan & Sosialisasi

Rekomendasi Tindakan Penertiban

Pengenaan Sanksi Administratif

Wasmatlitrik

Penyidikan

Sanksi Pidana Sumber : Diolah oleh Tim Peneliti 2018.

2-42

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA 2.4

Efektivitas

Organisasi

/

Kelembagaan

dalam

Penertiban

Pemanfaatan Ruang Menurut Richard S. Steers (1980: 4) ada tiga kerangka acuan yang sering dipakai untuk menjelaskan efektivitas organisasi. Pertama, faham optimasi tujuan, yaitu penilaian efektivitas berdasarkan kriteria tingkat ketercapaian misi akhir organisasi dengan menganalisis faktorfaktor

yang

menghambat

dan

mengoptimasikan

faktor-faktor

pendukung. Kedua, perspektif sistem, yaitu penilaian efektivitas berdasarkan kriteria berfungsinya semua unsur dalam organisasi yang menjadi syarat bagi pencapai tujuan. Ketiga, tekanan pada perilaku manusia dalam susunan organisasi, yaitu penilaian efektivitas berdasarkan kriteria perilaku manusia secara individual maupun kelompok, apakah menyokong atau menghambat pencapaian tujuan organisasi. Di samping ketiga kerangka acuan, itu, Steers (1980: 4-10) mengajukan kerangka lain, yang disebutnya sebagai suatu model proses untuk mempelajari efektivitas organisasi. Kerangka acuan ini menganggap bahwa efektivitas organisasi merupakan proses dinamis dari keseluruhan karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik SDMnya, serta kebijakan dan praktek manajemen dalam organisasi itu. Konsep efektivitas yang digunakan dalam Pembahasan penertiban tata ruang ini juga mengacu kepada rumusan yang dikemukakan oleh Amitai Etzioni (1964: 8), yaitu tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan atau sasarannya. Kerangka acuan yang dipakai untuk menganalisis, tidak hanya dari segi optimasi tujuan, perspektif sistem, atau perspektif tingkah laku manusia dalam organisasi, melainkan lebih bersifat komprehensif, dengan menelaah karakteristik organisasi, lingkungan, sumber daya manusia, serta kebijakan dan praktek manajemennya seperti kerangka analisis Steers (1980). 2-43

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Bagi seorang ahli ekonomi atau analisis keuangan, efektivitas organisasi semakna dengan keuntungan atau laba investasi yang diperoleh organisasi. Bagi seorang manajer produksi efektivitas organisasi berhubungan dengan kuantitas atau kualitas barang atau jasa yang dihasilkan organisasi. Bagi seorang ilmuwan bidang riset, efektivitas organisasi tidak lain berhubungan dengan jumlah paten, penemuan atau produk baru dari suatu organisasi. Sedangkan bagi ilmuwan sosial, efektivitas seringkali dikaitkan dengan kualitas kehidupan

pekerjanya.

Sementara,

bagi

pakar

administrasi

pemerintahan (publik), efektiviats organisasi selalu berhubungan dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dengan beragamnya pemaknaan terhadap konsep efektivitas, maka terdapat pula ancangan yang beragam mengenai berbagai cara meningkatkan efektivitas organisasi. Menurut Steers (1980: 4-10) pada umumnya ada tiga ancangan yang berbeda tapi saling berhubungan erat dalam penafsiran dan pengertian efektivitas, yaitu faham yang menekankan efektivitas, yaitu faham yang menekankan efektivitas sebagai upaya optimasi tujuan, faham yang menekankan perspektif sistemik, dan yang memberi tekanan kepada tingkah laku manusia dalam susunan organisasi. 1. Efektivitas sebagai fungsi optimasi tujuan Apabila

diteliti

beragam

ancangan yang

digunakan

untuk

mempelajari efektivitas organisasi, maka sebagian besar ancangan itu bertumpu kepada pencapaian tujuan organisasi. Menurut Etzioni (1964: 9), tingkat keberhasilan pencapaian tujuan sebagai kriteria efektivitas organisasi merupakan ancangan pendekatan rasional yang paling andal untuk menganalisis mutu perilaku organisasi. Kelebihan utama ancangan tujuan dalam menilai efektivitas adalah bahwa sukses organisasi diukur menurut 2-44

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA maksud organisasi dan menurut pertimbangan nilai si peneliti, yaitu apa yang “seharusnya” dilakukan oleh organisasi. Ancangan optimasi tujuan menempatkan sasaran organisasi sebagai

faktor

utama

yang

diperhitungkan

dalam

menilai

efektivitas. Charles Perrow (1979: 28) mengidentifikasi beberapa jenis sasaran organisasi. Pertama, sasaran resmi (official goal). Sasaran ini menggambarkan secara resmi kegiatan yang akan dilakukan oleh organisasi, alasan pembentukan organisasi, serta nilai-nilai atau falsafah yang mendasari berdirinya organisasi. Sasaran resmi bukanlah tujuan atau sasaran yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan arah tindakan; juga bukan acuan untuk mengukur performansi organisasi. Kedua, sasaran yang sebenarnya diinginkan (operative goal). Sasaran yang bersifat operatif ini merupakan tujuan aktual organisasi yang sering menggambarkan sasaran jangka pendek yang dapat diamati dan diukur ketercapaiannya baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Penggunaan ancangan optimasi tujuan memungkinkan dikenalinya secara jelas bermacam-macam tujuan dalam suatu organisasi, hambatan-hambatan, Berdasarkan

dan

ancangan

usaha-usaha optimasi

untuk

tujuan,

mencapainya.

maka

efektivitas

organiasasi dinilai menurut seberapa jauh suatu organisasi berhasil mencapai

tujuan

yang

layak

dicapai.

Tentu

saja

ukuran

keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan organisasi yang bersifat resmi terletak kepada seberapa jauh pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat operasional, aktual, realistis dan layak dicapai. 2. Efektivitas dari perspektif sistematik. Aspek kedua dari ancangan yang berdimensi ganda dalam konsep efektivitas adalah digunakannya perspektif sistem. Perspektif sistem memandang organisasi sebagai satu kesatuan dari berbagai 2-45

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA unsur yang saling berhubungan secara fungsional untuk mencapai tujuannya. Faham ini mencoba menilai efektivitas organisasi dari segi sejauh mana unsur-unsur dalam organisasi itu dapat berfungsi secara optimal. Dengan menganggap organisasi sebagai satu model sistem terbuka maka paling sedikit terdapat delapan karakteristik organisasi yang efektif (Katz & Kahn, 1966: 78 – 79 ) sebagai berikut: Pertama, adanya masukan energi dari lingkungan luar, seperti modal, sumberdaya, bahan, dll. Kedua, pengubahan bentuk energi melalui kegiatan kerja (proses produksi) maupun pelayanan (proses jasa). Ketiga, adanya keluaran, yaitu diubah bentuknya energi (masukan) menjadi keluaran untuk lingkungan. Keempat, karakter menurut daur proses transformasi, yaitu aktivitas pengolahan menghasilkan keluaran yang pada gilirannya menjadi sumber baru untuk masukan. Kelima, adanya entropi negatif, yaitu organisasi memasukkan energi lebih banyak daripada yang dikeluarkan. Berarti sistem menggunakan energi dalam proses transformasi dan menyimpan sebagian energi untuk kebutuhannya kelak. Keenam, adanya mekanisme pengendalian informasi. Sistem menerima informasi dari lingkungan, memakai prosedur persandian untuk menyaring informasi tertentu, dan menerima umpan balik dari lingkungan sebagai tanggapan atas kegiatan sistem. Ketujuh, menunjukkan tingkah laku yang mantap, dengan mengembangkan keseimbangan-keseimbangan.

Kedelapan,

adanya

diferensiasi

peranan dan spesialisasi fungsi yang berkonsekuensi kepada penataan kegiatan secara struktural. Bila

dicermati

perspektif

sistematik

ini,

maka

konsep

efektivitasnya lebih ditekankan kepada fleksibilitas dan kesiagaan unsur-unsur internal dari sistem untuk menghadapi lingkungannya 2-46

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA serta kemampuannya memperoleh sumber daya yang dibutuhkan dari luar organisasi untuk pertumbuhan dan perkembangan organisasi untuk pertumbuhan dan perkembangan organisasi tersebut. Dengan demikian, ada dua faktor penting dari sistem yang perlu diperhatikan, struktur organisasi itu secara sistematik, dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuannya. Struktur itu mengacu kepada tata susunan organisasi menurut diferensiasi peran dan fungsi setiap bagian/unit organisasi yang dianggap rasional dan efektif untuk mencapai sasaran pada masing-masing bagian dalam rangka pencapaian sasaran organisasional secara keseluruhan. Strategi, tidak lain adalah langkah-langkah kebijakan yang ditempuh organisasi untuk mengantisipasi perubahan, tantangan, dan tuntutan-tuntutan baru yang terjadi di lingkungan organisasi.

Secara

teoritis

perspektif

sistematik

ini

lebih

menekankan kriteria perumusan efektivitas organisasi dan ukuran pencapaian

keberhasilan

dari

segi

ketersediaan

komponen-

komponen yang digolongkan sebagai perangkat keras (hardware) organisasi, yaitu model sistem organisasi, struktur dan hirarkhi organisasi, serta strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. 3. Efektivitas dari perspektif tingkah laku. Di samping ancangan tujuan dan ancangan sistematik, maka pengertian dan perumusan efektivitas seringkali diberi tekanan dari perspektif tingkah laku, yaitu suatu faham yang menganggap bahwa efektivitas atau keberhasilan organisasi untuk mewujudkan tujuannya terletak kepada peran tingkah laku orang-orang yang berada di dalam sistem organisasi, baik pekerja (karyawan) maupun para pimpinannya.

2-47

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Beberapa aspek tingkah laku organisasi yang menjadi perhatian utama dalam penentuan kriteria efektivitas, antara lain perbedaan individual

dan

keragaman

kemampuan

orang-orang

dalam

organisasi, kemampuan manajerial dalam mengelola perilaku orang dalam organisasi, dan nilai-nilai yang menjadi acuan individu dalam organisasi sekaligus menuntun keseluruhan perilaku dan tindakannya. Tingkat kemampuan dan keragaman individual merupakan faktor yang turut menentukan efektivitas suatu organisasi. Banyak organisasi tidak bisa mencapai tujuannya secara optimal karena kemampuan dan keterampilan sumber daya manusianya yang terbatas. Di samping itu terdapat faktor-faktor dari dalam diri individu

yang

melaksanakan

amat

mempengaruhi

tugas-tugas

kinerjanya

organisasional.

Misalnya,

dalam faktor

motivasi, semangat kerja, keinginan dan harapan individual, kepuasan, prestasi serta kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri yang memerlukan pemenuhan oleh organisasi. Faktor-faktor individual ini sering dijadikan sebagai ukuran univarisasi untuk menilai dan menentukan derajat efektivitas suatu organisasi. Di samping itu, kemampuan manajerial dalam mengelola tingkah laku orang-orang dalam organisasi juga dipandang sebagai variabel yang berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Bagaimanapun unggulnya kemampuan sumber daya manusia dalam suatu organisasi, determinasinya yang positif bagi organisasi tergantung kepada sejauhmana kepemimpinan yang dikembangkan mampu mengelola perilaku hubungan antar manusia secara efektif, sehingga berbagai keinginan dan harapan individual dapat diintegrasikan

secara

serasi

dengan

harapan

dan

tujuan

organisasional. Tidak jarang, suatu organisasi kurang efektif dalam 2-48

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA mencapai tujuan dan sasaran yang telah dirumuskan secara operasional karena terjadinya konflik yang mendasar antara kebutuhan, tujuan dan pola tingkah laku individu di satu pihak, dengan kebutuhan dan tujuan organisasi seperti yang digariskan dalam manajemen di lain pihak. Setiap individu dalam organisasi memiliki seperangkat nilai dasar yang menjadi falsafah hidup. Nilai itu pada dasarnya merupakan gagasan abstrak yang diyakini kebenaran dan keberlakuannya dalam hidup seseorang. Dalam konteks organisasi, nilai-nilai dasar itu dapat merupakan tujuan-tujuan yang bersifat superordinate, yang dirumuskan secara positif sebagai tujuan resmi (official goal) dari organisasi. Nilai-nilai dasar itu yang diyakini kebenarannya, merupakan pemandu yang esensial bagi perilaku individu dalam pelaksanaan tugas-tugas organisasional. Pengabdian, kesetiaan, dan kejujuran dalam pelaksanaan tugas organisasi sebenarnya secara mendasar bersumber kepada pandangan hidup dan nilainilai dasar yang dianut seseorang dalam hidupnya. Dengan demikian pemilikan nilai-nilai dasar organisasi merupakan faktor tingkah laku yang turut mempengaruhi berfungsinya organisasi itu secara efektif. Dari pembahasan mengenai berbagai konsep efektivitas organisasi yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas

organisasi

multidimensional,

yang

merupakan

konstruk

pengertiannya

yang

bersifat

tergantung

kepada

pandangan tertentu yang digunakan untuk merumuskannya. Secara agak lebih komprehensif, konsep efektivitas itu mengandung tiga komponen penting yang dalam kenyataannya saling berkaitan satu sama lain. Ketiga komponen itu adalah (1) tujuan atau sasaran

2-49

PENYUSUNAN MATERI TEKNIS STANDAR PELAKSANAAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA organisasi, (2) sistem yang merupakan perangkat keras organisasi, dan (3) tingkah laku yang merupakan perangkat lunak organisasi. Secara visual, hubungan antar ketiga komponen yang membentuk dan mempengaruhi efektivitas organisasi itu dapat dilihat pada Gambar 2.15. Gambar 2.15 Hubungan Antar Komponen Efektivitas Organisasi Komponen Tujuan

Komponen Sistematik

Komponen Tingkah Laku

Sumber : Diolah oleh Tim Peneliti 2018

Dari gambar di atas maka diperoleh gambaran bahwa tingkah laku manusia dalam organisasi bidang penataan tata ruang baik di pemerintah pusat maupun daerah sangat berkaitan erat. Maka penentu utama efektivitas atau tidaknya suatu kantor atau lembaga yang berkaitan dengan tata ruang maka jawabannya adalah peningkatan kualitas koordinasi.

2-50

Related Documents

Pemahaman 2
May 2020 22
Pemahaman
May 2020 28
Pemahaman A
June 2020 19
Bm Pemahaman
May 2020 42

More Documents from "SalimHjmatsah"