Arsitektur Rumah Adat.docx

  • Uploaded by: sendal jepit
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Arsitektur Rumah Adat.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,051
  • Pages: 10
Pola, Bentuk, Arsitektur, dan Karakteristik Rumah Gadang

Rumah Gadang berbentuk kapal, yaitu kecil di bawah dan besar di atas. Bentuk atapnya punya lengkung ke atas, kurang lebih setengah lingkaran, dan berasal dari daun Rumbio (nipah). Bentuknya menyerupai tanduk kerbau dengan jumlah lengkung antara biasanya empat atau enam, dan satu lengkungan ke arah depan rumah. Denah dasar bentuk empat persegi panjang dan lantai berada di atas tiang-tiang. Tangga tempat masuk berada ditengah-tengah dan merupakan serambi muka. Ada juga yang membuatnya dibagian sebelah ujung, biasanya untuk dapur.

Bangunan rumah gadang khas dengan atap gonjongnya. Tidak hanya itu, jika diperhatikan, massa bangunan rumah gadang juga terlihat besar ke atas yang memberikan kesan

‘besar

kepala’.

Bukan

tidak

ada

alasan

mengapa

masyarakat

Minangkabau

menghasilkan karya arsitektur dengan bentuk seperti ini. Sebagai arsitektur tradisional, geometri-geometri yang diterapkan pada rumah gadang tentunya mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau sebagai simbol yang merujuk pada identitas budaya mereka. Jika geometri-geometri tersebut lahir sebagai sebuah simbol, tentu ada sesuatu yang disimbolkannya. Misalnya, simbol dari sesuatu yang berbentuk fisik seperti alam (hewan, tumbuhan ataupun kondisi alam yang dianggap ‘penting’ dalam suatu golongan masyarakat) ataupun simbol dari sesuatu yang bersifat non-fisik seperti cara hidup (way of life) dan keyakinan atau kepercayaan. Namun dibalik semua itu, bagi saya sendiri terdapat hal yang cukup menarik perhatian yaitu bagaimana cara masyarakat Minangkabau mentransformasikan apa yang ingin mereka simbolkan ke dalam bentuk geometri arsitektural. Metode desain seperti apa yang mereka terapkan hingga lahir bentuk rumah gadang seperti yang kita lihat sekarang, khususnya bentuk atap gonjongnya.

RUMAH ADAT BATAK KARO

Pembangunan Rumah Adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah Adat menggambarkan kebesaran suatu Kuta (kampung), karena dalam pembangunan sebuah Rumah Adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembangunan Rumah Adat dilakukan secara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan. Kegiatan gotong-royong ini terutama digerakkan oleh Sangkep Sitelu (sukut, kalimbubu dan anak beru) yang dibantu oleh Anak Kuta (masyarakat kampung setempat). Hal ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan sebuah Kuta menggambarkan struktur sosial dan tatanan organisasi yang tinggi pada masyarakat Karo, yang terdiri dari pihak Simantek Kuta (pendiri kampung), Ginemgem (masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Simantek Kuta) dan Rayat Derip (penduduk biasa).

Pembangunan sebuah Rumah Adat pada jaman

dahulu harus mengikuti ketentuan adat dan tradisi masyarakat Karo yang telah ada secara turuntemurun. Sebelum membangun Rumah Adat diawali dengan ‘Runggu’ (musyawarah) dalam menentukan hari baik untuk memulai pembangunan, pada hari pembangunan diadakan sebuah upacara untuk meletakkan pondasi rumah dan meminta petunjuk dan perlindungan dari para leluhur orang Karo agar pelaksanaan pembangunan berjalan dengan baik. Demikian juga ketika Rumah Adat telah selesai dibangun, maka diadakan lagi upacara Mengket Rumah Mbaru (memasuki rumah baru). Upacara ini juga diawali dengan Runggu, untuk menentukan hari baik untuk mengketi (mendiami) rumah baru tersebut. Pada hari yang ditentukan diadakan upacara pengucapan syukur kepada leluhur, dan memohon agar rumah yang telah selesai dibangun dapat bertahan lama dan para penghuninya hidup harmonis serta menjadi berkat dan dijauhkan dari bencana.

RUMAH ADAT BALI

Di Bali saat ini ditemukan berbagai corak arsitektur, mulai dari Arsitektur tradisional bali kuno, tradisional bali yang di kembangkan, arsitektur masa kini yang berstil bali bahkan arsitektur yang sama sekali tidak memiliki nuansa bali. Mengetahui aspek-aspek arsitektur tadisional bali di butuhkan pengetahuan yang mendalam terutama aspek filosofi, religius dan sosial budaya.Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Pasali. Arsitektur Tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi agama Hindu, merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan. Arsitektur Tradisional Bali memiliki beberapa konsep-konsep dasar yang mempengaruhi nilai tata ruangnya, antara lain : 1. Konsep Keseimbangan (keseimbangan unsur semesta, konsep catur lokapala,konsep dewata nawa sanga ), konsep ini juga harus menjadi panutan dalam membangun diberbagai tataran arsitektur termasuk keseimbangan dalam berbagai fungsi bangunan. konsep dewata nawa sanga ialah aplikasi dari pura-pura utama yang berada di delapan penjuru arah dibali yang yang dibangun menyeimbangkan pulau bali, pura-pura utama itu untuk memuja manifestasi tuhan yang berada di delapan penjuru mata angin dan di tengah.Aplikasi konsep ini menjadi pusat yang berwujud natah (halaman tengah) dari sini menentukan nilai zona bangunan yang ada disekitarnya dan juga pemberian nama bangunan disekitarnya seperti Bale Daje,Bale Dauh,Bale Delod,Bale Dangin, 2. Konsep Rwe Bhineda (hulu - teben, purusa - pradana) Hulu Teben merupakan dua kutub berkawan dimana hulu bernilai utama dan teben bernilai nista/ kotor. Sedangkan purusa(jantan) pradana(betina) merupakan embryo suatu kehidupan 3. Konsep Tri Buana - Tri Angga, Susunan tri angga fisik manusia dan struktur tri buana fisik alam semesta melandasi susunan atas bagian kaki, badan, kepala yang masingmasing bernilai nista, madya dan utama. 4. Konsep keharmonisan dengan lingkungan, ini menyangkut pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatan potensi sumber daya manusia setempat, khususnya insan-insan ahli pembangunan tradisional setempat.

KONSEP SULAPAQ EPPAQ WOLA SUJI ORANG BUGIS

Pandangan kosmogoni orang bugis ini dengan apa yang disebut konsep Sulapaq Eppaq Wola Suji (Segi Empat Belah Ketupat). Konsep Sulapaq Eppaq adalah filsafat tertinggi orang bugis yang menjadi seluruh wujud kebudayaan dan sosialnya. Wujud Konsep Sulapaq Eppaq juga dapat dilihat dalam bentuk manusia Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [ orang bugis menyebutnya lego - lego ].

Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian bagiannya utamanya : 1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri. 2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya. 3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.Dalam pandangan kosmologis Bugis, rumah tradisional mereka adalah 'mikro kosmos' dan juga merupakan refleksi dari 'makro kosmos' dan 'wujud manusia'. Tradisi Bugis menganggap bahwa Jagad Raya (makro kosmos) bersusun tiga, yaitu Boting langi (dunia atas), Ale-kawa (dunia tengah), dan Buri-liung (dunia bawah). Ketiga susun dunia itu tercermin pada bentuk rumah tradisional Bugis, yaitu: (1) Rakkeang: loteng di atas badan rumah merupakan simbol 'dunia atas', tempat bersemayam Sange-Serri (Dewi Padi). Ruangan ini digunakan khusus untuk menyimpan padi. (2) Watang-pola (badan rumah) simbol 'dunia tengah'. Ruangan ini merupakan tempat tinggal. Terdiri atas tiga daerah, yaitu: (a) Ruang Depan: untuk menerima tamu, tempat tidur tamu, dan tempat acara adat dan keluarga; (b) Ruang Tengah: untuk ruang tidur kepala keluarga, isteri dan anak-anak yang belum dewasa, tempat bersalin, dan ruang makan keluarga; (c) Ruang Dalam: untuk ruang tidur anak gadis dan nenek-kakek. Ada bilik tidur untuk puteri, ruang yang paling aman dan terlindung dibanding ruang luar dan ruang tengah. (3) Awa-bola: kolong rumah tidak berdinding, simbol 'dunia bawah'. Tempat menaruh alat pertanian, kuda atau kerbau, atau tempat menenun kain sarung, bercanda, dan anak-anak bermain. Ukuran panjang, lebar dan tinggi rumah ditentukan berdasarkan ukuran anggota tubuh - tinggi badan, depa dan siku - suami-isteri pemilik rumah. Dengan demikian, proporsi bentuk rumah merupakan refleksi kesatuan wujud fisik suami-isteri pemilik rumah.

ARSITEKTUR RUMAH ADAT SUNDA (JAWA BARAT)

Bentuk rumah masyarakat Sunda adalah panggung, yaitu rumah berkolong dengan menggunakan pondasi umpak. Di samping itu, panggung merupakan bentuk yang paling penting bagi masyarakat Sunda, dengan suhunan panjang dan jure. Bentuk panggung yang mendominasi sistem bangunan di Tatar Sunda mempunyai fungsi teknik dan simbolik. Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi, yaitu: tidak mengganggu bidang resapan air, kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang baik untuk kehangatan dan kesejukan, serta kolong juga dipakai untuk menyimpan persediaan kayu bakar dan lain sebagainya. Fungsi secara simbolik didasarkan pada kepercayaan Orang Sunda, bahwa dunia terbagi tiga: buana larang, buana panca tengah, dan buana nyuncung. Buana panca tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan diri sebagai pusat alam semesta, karena itulah tempat tinggal manusia harus terletak di tengah-tengah, tidak ke buana larang (dunia bawah/bumi) dan buana nyuncung (dunia atas/langit). Dengan demikian, rumah tersebut harus memakai tiang yang berfungsi sebagai pemisah rumah secara keseluruhan dengan dunia bawah dan atas. Tiang rumah juga tidak boleh terletak langsung di atas tanah, oleh karena itu harus di beri alas yang berfungsi memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang disebut umpak sebagainya. Secara teknis, rumah tradisional Sunda memiliki ciri yang khas, yaitu bentuk atap yang menyesuaikan terhadap keadaan alam, fungsi, dan adat istiadat dari kampung setempat (Anwar dan Nugraha, 2013). Material yang digunakan untuk membangun semua bersumber dari alam. Hasil karya mereka tampak harmoni dengan lingkungan sekitarnya sehingga keberlangsungan hidup generasi pada masa yang akan datang tetap terjaga dengan baik.

ARSITEKTUR RUMAH ADAT MEALAYU RIAU

Bangunan BALAI ADAT MELAYU RIAU pada umumnya diberi ragam hiasan, mulai dari pintu,jendelah,vetilasi sampai kepuncak atap bangunan,ragam hias disesuaikan dengan makna dari setiap ukiran. Selembayung Selembayung disebut juga “ selo bayung “ dan “tanduk buang” adalah hiasan yang terletak bersilangan pada kedua ujung perabung bangunan.pada bangunan balai adat melayu ini setiap pertemuan sudut atap di beri selembayung yang terbuat dari ukiran kayu. Hiasan pada pintu dan jendelah Hiasan pada bagian atas pintu dan jendelah yang disebut”lambai-lambai”,melambangkan sikap ramah tamah. Hiasan “Klik-klik” disebut kisi-kisi dan jerajak pada jendelah dan pagar. SUMBER CORAK Corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.

RUMAH ADAT BATAK TOBA

Berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang dilekatkan tanduk kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau. Punggung kerbau adalah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau adalah tiang-tiang pada kolong rumah. Sebagai ukuran dipakai depa, jengkal, asta dan langkah seperti ukuran-ukuran yang pada umumnya dipergunakan pada rumah-rumah tradisional di Jawa, Bali dan daerahdaerah lain. Pada umumnya dinding rumah merupakan center point, karena adanya ukir-ukiran yang berwarna merah, putih dan hitam yang merupakan warna tradisional Batak. Ruma Gorga Sarimunggu yaitu ruma gorga yang memiliki hiasan yang penuh makna dan arti. Dari segi bentuk, arah motif dapat dicerminkan falsafah maupun pandangan hidup orang Batak yang suka musyawarah, gotong royong, suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif. Rumah melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos yang terdiri dari adanya tritunggal benua, yaitu : Benua Atas yang ditempati Dewa, dilambangkan dengan atap rumah; Benua Tengah yang ditempati manusia, dilambangkan dengan lantai dan dinding; Benua Bawah sebagai tempat kematian dilambangkan dengan kolong. Pada jaman dulu, rumah bagian tengah itu tidak mempunyai kamar-kamar dan naik ke rumah harus melalui tangga dari kolong rumah, terdiri dari lima sampai tujuh buah anak tangga. Ada tiang yang dekat dengan pintu (basiha pandak) yang berfungsi untuk memikul bagian atas, khususnya landasan lantai rumah dan bentuknya bulat panjang. Balok untuk menghubungkan semua tiang-tiang disebut rassang yang lebih tebal dari papan. Berfungsi untuk mempersatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah dan dipegang oleh solong-solong (pengganti paku). Pintu kolong rumah digunakan untuk jalannya kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong. Tangga rumah terdiri dari dua macam, yaitu : pertama, tangga jantan (balatuk tunggal), terbuat dari potongan sebatang pohon atau tiang yang dibentuk menjadi anak tangga. Anak tangga adalah lobang pada batang itu sendiri,berjumlah lima atau tujuh buah. Biasanya terbuat dari sejenis pohon besar yang batangnya kuat dan disebut sibagure. Kedua, tangga betina (balatuk boru-boru), terbuat dari beberapa potong kayu yang keras dan jumlah anak tangganya ganjil. Tiang-tiang depan dan belakang rumah adat satu sama lain dihubungkan oleh papan yang agak tebal (tustus parbarat), menembus lubang pada tiang depan dan belakang. Pada waktu peletakannya, tepat di bawah tiang ditanam ijuk yang berisi ramuan obat-obatan dan telur ayam yang telah dipecah, bertujuan agar penghuni rumah terhindar dari mara bahaya.

RUMAH ADAT TORAJA (TONGKONAN)

Rumah Adat Toraja atau yang biasa disebut dengan Tongkonan, kata tongkonan sendiri berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkupulnya bangsawan toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini selain berfungsi sebagai tempat tinggal juga memiliki fungsi sosial budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Masyarakat Suku Toraja menganggap rumah tongkonan itu sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) dianggap sebagai bapak. Rata-rata rumah orang Toraja menghadap ke arah utara, menghadap ke arah Puang Matua sebutan bagi orang Toraja kepada Tuhan YME dan untuk menghormati leluhur mereka dan dipercaya akan mendapatkan keberkahan di dunia. Rumah Tongkonan adalah rumah panggung yang dibangun atau didirikan dari kombinasi lembaran papan dan batang kayu. Kalau dilihat, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Material kayu dari kayu uru, yaitu sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi. Kayu uru banyak ditemui dihutan-hutan didaerah Toraja dan kualitas dari kayu uru cukup baik, kayu-kayu ini tidak perlu dipernis atau di pelistur, kayu dibiarkan asli . Rumah Toraja atau Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian: 1.

Kolong (Sulluk Banua)

2.

Ruangan rumah (Kale Banua)

3.

Atap (Ratiang Banua)

Pada bagian atap rumah Tongkonan, bentuknya melengkung seperti tanduk kerbau. Terdapat jendela kecil disisi timur dan barat pada bangunan, bertujuan sebagai tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin.

RUMAH ADAT SUKU DAYAK (RUMAH BETANG) Rumah Betang memiliki keunikan tersendiri dapat diamati dari bentuknya yang memanjang serta terdapat hanya terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam Betang. Tangga sebagai alat penghubung pada Betang dinamakan hejot. Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni Betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda Betang. Hampir semua Betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan. Betang dibangun biasanya berukuran besar, panjangnya dapat mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Betang di bangun menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T et B), selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun serta anti rayap.

Ciri-ciri bentuk rumah suku-suku Dayak secara universal dapat dilihat dari: Bentuk Bangunan: Bentuk bangunan panjang dan hanya beberapa unit saja dalam satu kampung. Biasanya tidak lebih dari 5 unit. Satu unit bisa digunakan oleh 5-10 anggota keluarga. Bahkan ada yang digunakan secara komunal oleh lebih dari 30 anggota keluarga. Bentuk rumah berkolong tinggi, dengan ketinggian sampai dengan 4 meter dari permukaan tanah. Badan rumah (dinding) terkadang berarsitektur jengki dengan atap pelana memanjang. Tata Ruang : Ruang-ruang yang ada dalam Rumah Betang biasanya terdiri dari sado', padongk, bilik, dan dapur. 1. Sado' (dalam bahasa Dayak Simpangk) adalah pelantaran tingkat bawah yang biasanya merupakan jalur lalu lalang penghuni rumah Betang. Sado' juga biasanya digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas umum seperti menganyam, menumbuk padi, berdiskusi adat secara massal, dan lain sebagainya. 2. Padongk dapat diterjemahkan sebagai ruang keluarga, letaknya lebih dalam dan lebih tinggi dari pada sado'. Ruangan ini biasanya tidak luas, mungkin berkisar antara 4x6m saja. Padongk lebih umum dimanfaatkan oleh pemilik Rumah Betang sebagai ruang kumpul keluarga, ngobrol, makan minum, menerima tamu dan aktivitas yang lebih personal. 3. Bilik adalah ruang tidur. Bilik tentu saja digunakan untuk tidur. zaman dahulu, satu bilik bisa dipakai oleh 3-5 anggota keluarga. mereka tidur dalam satu ruangan dan hanya dibatasi oleh kelambu. Kelambu utama untuk ayah dan ibu, kelambu kedua dan ketiga untuk anak-anak. tentu kelambu anak laki-laki dan perempuan akan dipisahkan. 4. Ruang yang terakhir didalam Rumah Betang adalah Dapur. Ruang ini terbuka dan memiliki view yang langsung berhadapan dengan ruang padongk. Umumnya dapur hanya berukuran 1x2m dan hanya untuk menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya ada tempara untuk menyimpan persediaan kayu bakar. Dapur di rumah Betang amat sederhana dan hanya berfungsi untuk kegiatan masak memasak saja.

ARSITEKTUR RUMAH JOGLO (JAWA TENGAH)

Desain Soko Guru dan Tumpangsari Struktur rumah joglo terdiri dari kerangka (pilar) yang membentuk rumah dan disebut Soko Guru. Joglo sendiri sebenarnya struktur rumah tradisional dalam bentuk 4 pilar utama atau tiang dan tumpang sari. Tumpang sari adalah susunan balok, yang didukung oleh Soko Guru. Joglo di zaman kuno digunakan sebagai simbol atau identitas yang menunjukkan status sosial kelas sosial tertentu. Hal ini cukup beralasan mengingat masyarakat yang adil pertama dengan tingkat ekonomi yang berlebihan yang mampu memiliki rumah Joglo. Bahan untuk membuat rumah Joglo kayu umumnya didominasi. Joglo pertama mayoritas dimiliki hanya oleh kaum bangsawan pernah digunakan untuk menerima tamu kehormatan dari luar daerah yang membutuhkan area yang luas.

Ruangan Khusus Rumah Adat Jawa Tengah Bila dilihat dari desain interior, rumah Joglo memiliki ruang khusus dan tiga bagian utama: paviliun pertama, yang kedua pringgitan, dan omah ndalem terakhir atau juga disebut omah njero. Bagian ketiga memiliki fungsi yang berbeda, seperti ruang paviliun yang digunakan untuk menerima tamu, ruang pringgitan digunakan secara eksklusif untuk hiburan atau ruang wayang golek. Nama Pringgitan sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Jawa kuno “Pringgit” yang berarti wayang. Fungsi ruang terakhir adalah omah ndalem atau omah njero. Omah ndalem atau omah njero difungsikan sebagai ruang keluarga, di mana omah ndalem sendiri umumnya dibagi menjadi 3 kamar tidur (panggilan senthong Jawa) yaitu kamar kiri, tengah, dan bagian kanan. Biasanya masing-masing dari tiga kamar yang digunakan untuk fungsi yang berbeda, tergantung pada selera pemilik rumah. Jika kita melihat dari konstruksi atau struktur, rumah tradisional Jawa desain Jawa Tengah cukup sederhana. Spesifikasi secara rinci, di ruang paviliun dirancang dengan 4 pilar atau tiang yang kemudian disebut Soko Guru. Pilar keempat memiliki makna yang mewakili empat arah mata angin (utara, selatan, barat, dan timur). Di bagian atas (didukung oleh Soko Guru) adalah blok kayu persegi dirancang untuk mengikuti struktur rumah. Orang Jawa Tengah menyebutnya blok kayu dengan nama Tumpangsari, yang juga menjadi ciri khas rumah Joglo selain program Master Soko. Inti dari rumah Joglo yang sebenarnya di omah ndalem atau omah njero, di mana omah njero umumnya memiliki 2 ketinggian yang berbeda. Perbedaan ketinggian dimaksudkan untuk sirkulasi udara.

Related Documents


More Documents from "Dewy Arch"