Anestesi Pasien Kardiovaskular.doc

  • Uploaded by: Boventario Dimas
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Anestesi Pasien Kardiovaskular.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 26,673
  • Pages: 95
47 Bab 20 ANESTESIA PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT KARDIOVASKULAR Konsep Kunci 1. Komplikasi kardiovaskular adalah 25–50% dari seluruh kematian setelahpada pembedahan nonjantung. Infark miokard (IM) peri-operatifsi (IM), edema pulmonalparu, gagal jantung kongestif, aritmia, dan tromboembolisme sering terjadi pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit kardiovaskular. 2. Dua faktor risiko praprabedah-operasi terpenting adalah sindrom koroner tidak stabil dan adanya gagal jantung kongestif. Kontraindikasi pembedahan nonjantung elektif yang disepakati adalah infark miokard yang terjadi kurang dari 1 bulan sebelum pembedahan dengan adanya risiko iskemik persisten yang dibuktikan oleh gejala atau uji noninvasif, gagal jantung tidak terkompensasi, dan stenosis aorta atau mitral berat. 3. Berapapun tekanan darah prabedah-operasi, banyak pasien dengan hipertensi mengalami respons hipotensif yang bermakna pada induksi anestesia, diikuti oleh respons hipertensif yang berlebihan saat intubasi. Pasien hipertensi dapat menunjukkan respons berlebihan terhadap katekolamin endogen (dari intubasi atau stimulasi pembedahan) dan obat agonis simpatis eksogen yang diberikan. 4. Pasien dengan penyakit jantung koroner ekstensif (tiga pembuluh atau cabang kiri utama), riwayat IM, atau disfungsi ventrikel memiliki risiko komplikasi jantung yang besar. Risiko peri-operasioperatif setelah infark miokard umumnya berhubungan dengan jumlah iskemia yang masih ada (miokardium yang berisiko infark). 5. Monitor Hoter, elektrokardiografi saat latihan fisik, pemindaian perfusi miokard, dan ekokardiografi penting dilakukan untuk menentukan risiko peri-operasiperioperatif dan perlunya angiografi koroner. Tetapi pemeriksaan-pemeriksaan ini hanya diindikasikan jika hasil uji akan mengubah terapi pasien. 6. Penghentian obat antiangina yang mendadak – terutama penghambat penyekat ß- dapat memperberat peningkatan episode iskemik mendadak (efek rebound). 7. Prioritas paling utama dalam tata laksana pasien penyakit jantung iskemik adalah mempertahankan keseimbangan pasokan dan kebutuhan miokard. Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah melalui jalur otonom harus dikontrol oleh anestesia yang dalam atau penghambat adrenergik, serta menghindari reduksi perfusi koroner yang berlebihan atau menurunnya saturasi oksigen.

48 8. Deteksi iskemia intra-operasiintrabedah tergantung dari pengenalan perubahan ekokardiografi, manifestasi hemodinamik, atau abnormalitas gerakan dinding jantung regional pada ekokardiografi transesofageal. Kurva yang menurun (down-slope) dan depresi ST horizontal merupakan tanda iskemia yang lebih spesifik daripada depresi dengan kurva yang naik.(up-slope) Elevasi segmen ST yang baru jarang terjadi saat pembedahan nonjantung dan merupakan tanda iskemia berat, vasospasme atau infark. 9. Target

utama

hemodinamik

dalam

penatalaksanaan

stenosis

mitral

adalah

mempertahankan ritme sinus (jika terjadi pra-operasiprabedah) dan mencegah takikardia, peningkatan curah jantung yang besar, dan hipovolemia atau kelebihan cairan akibat terapi cairan. 10. Tata laksana anestesi harus bersifat individual pada kasus regurgitasi mitral dan gangguan fungsi ventrikel kiri. Faktor-faktor yang memperberat regurgitasi, seperti melambatnya denyut jantung (sistolik memanjang) dan peningkatan beban akhir akut, harus dihindari. Ekspansi volume berlebihan juga dapat memperburuk regurgitasi karena dilatasi ventrikel kiri. 11. Mempertahankan ritme sinus, denyut jantung dan volume intravaskular tetap normal sangat penting pada pasien stenosis aorta. Hilangnya waktu sistolik atrium yang normal sering menyebabkan perburukan yang cepat, terutama jika disertai takikardia. Anestesia spinal dan epidural merupakan kontraindikasi pada stenosis aorta berat. 12. Bradikardia dan peningkatan resistensi vaskular sistemik (RVS) akan meningkatkan volume regurgitan pada regurgitasi aorta, sedangkan takikardia dapat menyebabkan iskemia miokard. Depresi miokard berlebihan harus dihindari. Peningkatan beban awal sebagai kompensasi harus dipertahankan, tetapi penggantian cairan yang berlebihan dapat langsung menyebabkan edema pulmonal. 13. Pada pasien dengan penyakit jantung bawaan, pada kelainan pintas (shunt) kiri- kekanan, terjadi peningkatan RVS relatif terhadap resistensi vaskular pulmonal (RVP), sedangkan pada shunt pintas kanan-ke-kiri lebih sering terjadi peningkatan RVP relatif terhadap RVS. 14. Dengan aAdanya aliran pintas (shunt) antara jantung kanan dan kiri, apapun arahnya, maka harus dipastikan tidak ada gelembung udara atau bekuan dari cairan intravena untuk mencegah emboli paradoks ke sirkulasi serebral atau koroner. 15. Target tata laksana anestesi pada pasien tetralogi Fallot adalah mempertahankan volume intravaskular dan RVS. Peningkatan RVP, seperti yang dapat terjadi akibat asidosis atau peningkatan tekanan jalan napas berlebihan, harus dihindari. Pintas

49 kanan-ke-kiri cenderung memperlambat ambilan anestesi inhalasi; di sisi lain, hal inisebaliknya, dapat mempercepat onset obat-obat intravena, 16. Jantung yang ditransplantasikan akan mengalami denervasi total, sehingga tidak ada pengaruh otonom langsung. Terlebih lagi, tidak adanya refleks peningkatan denyut jantung dapat membuat pasien sangat sensitif terhadap vasodilatasi cepat. Vasopressor tidak langsung, seperti efedrin dan dopamin kurang efektif dibandingkan obat yang beraksi langsung, karena tidak adanya persediaan katekolamin pada neuron miokard. Penyakit kardiovaskular – terutama penyakit jantung hipertensif, iskemik, dan kelainan katup – merupakan penyakit medis yang paling sering ditemui dalam praktik anestesi dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas peri-operasiperioperatif. Tata laksana pasien dengan penyakit ini akan terus menantang kreativitas dan kemampuan anestesiologis. Respons adrenergik terhadap stimulasi bedah dan efek sirkulasi obat anestesi, intubasi endotrakeal, ventilasi tekananpositif, kehilangan darah, pergeseran cairan, dan perubahan temperatur tubuh akan mengakibatkan beban tambahan pada sistem kardiovaskular yang sudah terganggu. Sebagian besar obat-obat anestesi menyebabkan depresi jantung, vasodilatasi, atau keduanya. Bahkan obat anestesi yang tidak memiliki efek sirkulasi langsung, dapat menyebabkan depresi sirkulasi pada pasien penyakit jantung berat yang bergantung pada peningkatan aktivitas simpatis secara kronik. Interupsi aktivitas simpatis dapat menyebabkan dekompensasi sirkulasi akut. Tatal aksana anestesi yang optimal pada pasien dengan penyakit kardiovaskular membutuhkan pengetahuan mendalam fisiologi jantung normal (lihat Bab 19), efek sirkulasi berbagai obat anestesi (lihat Bab 7–10), dan patofisiologi serta terapi penyakit-penyakit ini. Prinsip yang sama digunakan dalam mengobati penyakit ini pra-operasiprabedah dan harus diterapkan intraoperasiintrabedah. Pada sebagian besar kasus, pilihan obat anestesi tidaklah sepenting bagaimana obat tersebut digunakan dan pengertian patofisiologi yang mendasari. Tabel 10-1. Prediktor klinis peningkatan risiko kardiovaskular peri-operasiperioperatif (infark miokard, gagal jantung, kematian).1,2 Mayor Sindrom koroner tidak stabil -

IM3 akut atau baru dengan bukti risiko iskemia yang penting dari gejala klinis atau pemeriksaan noninvasif

-

Angina tidak stabil atau angina berat (Canadian kelas Canadian III dan IV)5

50 Gagal jantung terdekompensasita Aritmia yang bermakna -

Blok atrioventrikular derajat tinggi

-

Aritmia ventrikular simtomatik dengan dasar penyakit jantung

-

Aritmia supraventrikular dengan kecepatan denyut ventrikel tidak terkontrol

Penyakit katup berat IntermediatMenengah Angina pektoris ringan (Canadian kelas Canadian I atau II) Riwayat infark miokard dari anamnesis atau gelombang Q patologis Gagal jantung terkompensasi Diabetes melitus (terutama tipe tergantung insulin) Insufisiensi renal Minor Usia lanjut EKG abnormal (hipertrofi ventrikel kiri, blok serabut kiri (left bundle branch block), kelainan STT Ritme selain sinus (misalnya, fibrilasi atrium) Kapasitas fungsional rendah (misalnya, tidak mampu naik satu anak tangga dengan membawa tas berisi belanjaan) Riwayat stroke Hipertensi sistemik tidak terkontrol 1 dari ACC/AHA Guideline Update on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery 2

EKG, elektrokardiogram; IM, infark miokard

3

The American College of Cardiology National Database Library mendefinisikan IM baru adalah

yang terjadi lebih dari 7 hari tetapi kurang dari satu bulan (30 hari); IM akut adalah 7 hari pertama setelah onset. 4

Termasuk angina ‘stabil’ pada pasien dengan pola hidup sedentersedentary (banyak duduk).

5

Campeau L: Derajat angina pektoris. Circulation 1976; 54”522

FAKTOR RISIKO JANTUNG Prevalensi penyakit kardiovaskular meningkat

dengan progresif dengan bertambahnya usia.

Terlebih lagi, jumlah pasien usia lebih dari 65 tahun akan semakin bertambah sebesar 25–35% dalam dua dekade mendatangberikutnya. Infark miokard peri-operasiperioperatif, edema

51 paruulmonal, gagal jantung kongestif, aritmia, dan tromboembolisme sering terlihat pada pasien yang sudah menderita penyakit kardiovaskular. 1 Komplikasi kardiovaskular menyebabkan 25–35% kematian pada pembedahan nonjantung. InsidensiInsidens edema pulmonal paru kardiogenik pasca operasipascabedah sekitar 2% pada semua pasien berusia lebih dari 40 tahun, tetapi hanya 6% pada pasien dengan riwayat gagal jantung dan 16% pada pasien dengan gagal jantung terkompensasi. Prevalensi gangguan kardiovaskular yang relatif tinggi pada pasien bedah menjadi dasar dibuatnya risiko jantung atau kemungkinan komplikasi jantung intra-operasiintrabedah atau pascaoperatifpascabedah yang fatal atau mengancam nyawa. 1 American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force Report membagi tiga risiko kardiovaskular menjadi prediktor risiko mayor, intermediatmenengah, dan minor (Tabel 20-1).

Prediktor

mayor

intermediatmenengah

berarti

berarti

tanda

harus

dilakukan

peningkatan

tata

risiko

laksana dan

intensif,

perlunya

prediktor

penilaian

pra-

operasiprabedah yang teliti, dan prediktor minor adalah tanda penyakit kardiovaskular yang belum menunjukkan peningkatan risiko peri-operasiperioperatif. Pasien dengan prediktor mayor harus menjalani evaluasi jantung noninvasif, dan, jika memungkinkan, seperti akan dibahas pada bab selanjutnya, melakukan angiografi koroner. Sebagian besar pasien dengan prediktor peningkatan risiko kardiovaskular adalah kategori intermediatmenengah dan minor. Skema tata laksana yang disederhanakan (Gambar 20-1) dapat dilihat, dan bila terdapat dua dari tiga kriteria klinis pada Tabel 20-2 perlu dilakukan pemeriksaan jantung noninvasif. 2 Dua faktor risiko pra-operasiprabedah yang paling penting adalah sindrom koroner tidak stabil dan bukti adanya gagal jantung kongestif. Identifikasi pasien yang berisiko besar memungkinkan pengukuran yang tepat yang mungkin dapat mengubah hasil. Terlebih lagi, beberapa studi menyarankan angka komplikasi yang lebih rendah akan tercapai jika dilakukan monitoring pemantauan invasif dan intervensi hemodinamik agresif (misalnya, vasodilator, penghambat blok adrenergik) dilakukan pada pasien risiko tinggi untuk komplikasi jantung. Kontraindikasi yang umum untuk pembedahan nonjantung elektif adalah IM kurang dari 1 bulan sebelum waktu pembedahan dengan tanda adanya risiko iskemik persisten dari gejala atau pemeriksaan noninvasif, gagal jantung terdekompensasita, dan stenosis aorta atau mitral berat.

52 Faktor risiko intra-operasiintrabedah yang paling penting adalah kedaruratan pembedahan, dan lokasi pembedahan. Komplikasi jantung dua hingga lima kali lebih sering terjadi pada pasien yang menjalani operasi darurat. Tabel 20-3 merupakan skema stratifikasi risiko untuk berbagai prosedur pembedahan nonjantung dari American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force. Sebagian besar komplikasi jantung terjadi pada pembedahan mayor toraks, abdomen, dan vaskular. Operasi vaskular, terutama prosedur pintas (bypass) infrainguinal, menggambarkan prosedur yang berisiko tinggi karena penyakit vaskular perifer dan penyakit koroner yang memiliki faktor risiko yang sama (diabetes, riwayat merokok, hiperlipidemia, dan usia lanjut); gejala penyakit jantung koroner seringkali tidak jelas dengan keterbatasan aktivitas karena akibat klaudikasio dan karena sifat prosedur, yang dapat lebih lama dan sering disertai hilangnya kehilangan darah yang signifikan. Risiko kardiovaskular pada pembedahan arteri karotis tampaknya lebih sedikit daripada pembedahan bypass aorta dan arteri infrainguinal. Walaupun hipertensi tidak terkontrol bukan merupakan faktor risiko komplikasi pasca operatif yang jelas, tetapi seringkali terjadi naik-turun tekanan darah yang cukup besar intraoperasiintrabedah. Hipertensi intra-operasiintrabedah lebih sering menyebabkan morbiditas jantung dibandingkan hipotensi. Walaupun pada pasien kardiovaskular tampaknya anestesia regional lebih baik dibandingkan anestesia umum, baru sedikit studi yang mendukung hal ini. Terlebih lagi, pada beberapa pasien, efek hemodinamik anestesia spinal dan epidural (lihat Bab 16) lebih berbahaya dibandingkan anestesia umum yang bagus tata laksananya. Dua atau lebih dari gejala berikut? 1. Prediktor klinis intermediatmenengah 2. Kapasitas fungsional rendah (kurang dari 4 METS) 3. Risiko tinggi pembedahan

Tidak  tidak diperlukan pemeriksaan pra-operasiprabedah lanjutan Ya  Adakah indikasi angiografi?(misalnya angina tidak stabil?) Ya  angiografi pra-operasiprabedah Tidak  Apakah pasien mampu ambulasi dan melakukan latihan fisik?

53 Ya  EKG saat istirahat normal  Ya  EKG, ETT* Tidak  Ekokardiografi latihan atau pencitraan perfusi** Tidak  Bronkospasme? Blok AV derajat II? Tergantung teofilin? Disfungsi katup? Tidak  Aritmia simtomatik sebelumnya (terutama takikardia ventrikel)? Hipertensi yang bermakna?  tidak  Pencitraan stres farmakologis (nuklir atau eko) Ya  perfusi dipiridamol atau adenosin Ya Aritmia simtomatik sebelumnya (terutama takikardia ventrikular)? Tekanan darah rendah atau ambang batas? Echo window buruk? Tidak  Eko stres dobutamin atau pencitraan nuklir Ya  pemeriksaan lain (misal, monitor Holter, angiografi) Gambar 20-1. Tata laksana pasien dengan prediktor peningkatan risiko kardiovaskular perioperasiperioperatif intermediatmenengah atau minor. Perhatikan bahwa pemeriksaan hanya diindikasikan jika hasil pemeriksaan mempengaruhi perawatan pasien. * ETT (Exercise Tolerance Test), pemeriksaan toleransi latihan (uji latih). ** Jika ada LBBB, lebih disarankan pencitraan perfusi

vasodilator.

(Dari ACC/AHA Guideline

Update

on Perioperative

Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery.) HIPERTENSI Pertimbangan pra-operasiprabedah Hipertensi adalah penyebab kematian dan kecacatan utama pada sebagian besar masyarakat Barat dan kelainan pra-operasiprabedah paling sering pada pasien bedah, dengan prevalensi keseluruhan 20–25%. Hipertensi tidak terkontrol jangka panjang akan mempercepat terjadinya aterosklerosis dan kerusakan organ hipertensif. Hipertensi merupakan faktor risiko mayor

54 penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskular. Komplikasi meliputi infark miokard, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusif perifer, dan diseksi aorta. Adanya hipertrofi ventrikel kiri pada pasien hipertensi dapat merupakan prediktor mortalitas jantung yang penting. Peningkatan mortalitas jantung juga telah dilaporkan pada pasien dengan bruitbising karotis – bahkan jika tidak ada gejala. Definisi Pengukuran tekanan darah dipengaruhi banyak variabel, seperti postur, waktu apakah siang atau malam hari, keadaan emosi, aktivitas yang baru dilakukan, dan obat yang dikonsumsi, serta alat dan teknik yang digunakan untuk mengukur. Diagnosis hipertensi tidak bisa ditegakkan dari satu hasil pra-operasiprabedah tetapi harus dikonfirmasi juga dengan adanya riwayat tekanan darah tinggi yang konsisten. Walaupun kecemasan pra-operasiprabedah atau nyeri seringkali menyebabkan hipertensi pada pasien normal, tetapi pasien dengan riwayat hipertensi umumnya menunjukkan peningkatan tekanan darah pra-operasiprabedah yang lebih bermakna. Studi epidemiologis menunjukkan korelasi langsung dan berkesinambungan antara tingkat mortalitas dan tekanan darah diastolik dan sistolik. Definisi hipertensi sistemik masih tidak jelas tetapi secara umum adalah peningkatan tekanan darah diastolik lebih dari 90–95 mmHg atau tekanan sistolik lebih besar dari 140–160 mHg secara konsisten. Klasifikasi yang sering digunakan dapat dilihat pada Tabel 20-4. Hipertensi ambang (borderline) adalah jika tekanan diastolik 85–89 mmHg atau jika tekanan sistolik 130–139 mmHg. Bahkan pasien dengan hipertensi ambang memiliki peningkatan risiko komplikasi kardiovaskular. Hipertensi berat (stadium 3) didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang baru, bertahan, dan progresif, biasanya tekanan darah diastolik melebihi 110–119 mmHg; sering ditemukan disfungsi ginjal. Hipertensi maligna adalah kegawatdaruratan medis yang ditandai oleh hipertensi berat (> 220/120 mmHg) disertai edema papil dan, seringkali, ensefalopati. Tabel 20-2. Jalan pintas untuk pemeriksaan pra-operasiprabedah pada pasien jika terdapat dua faktor. 1,2

1. Terdapat prediktor klinis intermediatmenengah (Angina kelas Canadian I atau II, riwayat IM berdasarkan riwayat atau gelombang Q patologis, gagal jantung terkompensasi atau sebelumnya, atau diabetes) 2. Kapasitas fungsional buruk (kurang dari 4 MET)

55 3. Prosedur pembedahan risiko tinggi (operasi mayor darurat 3; pembedahan reparasi aorta atau vaskular perifer; prosedur pembedahan yang memanjang dengan banyaknya kehilangan darah atau cairan) Modifikasi darii ACC/AHA Guideline Update on Perioperative Cardiovascular Evaluation for

1

Noncardiac Surgery. 2 3

HF, gGagal jantung; METs, metabolic equivalent; IM, Infark miokard. Operasi mayor darurat adalah operasi yang harus segera dilakukan tanpa waktu untuk

melakukan pemeriksaan noninvasif atau intervensi pra-operasiprabedah. Tabel 10-3. Stratifikasi risiko jantung1 untuk prosedur pembedahan nonjantung.2 Tinggi (risiko jantung dilaporkan lebih dari 5%) Operasi mayor darurat, terutama pada usia lanjut Pembedahan aorta dan pembuluh darah besar lainnya Pembedahan vaskular perifer Prosedur pembedahan yang telah diperkirakan akan menyebabkan banyak kehilangan darah/ pergeseran cairan yang besar Sedang (risiko jantung umumnya kurang dari 5%) Endarterektomi karotis Pembedahan kepala dan leher Pembedahan intraperitoneal dan intratorakal Pembedahan ortopedi Pembedahan prostat Rendah3 (risiko jantung dilaporkan kurang dari 1%) Prosedur endoskopi Prosedur superfisial Operasi katarak Operasi payudara 1 InsidensiInsidens gabungan kematian akibat jantung dan infark miokard nonfatal. 2

ACC/AHA Guideline Update on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac

Surgery 3

Umumnya tidak membutuhkan pemeriksaan jantung lebih lanjut pada pra-operasiprabedah.

Tabel 20-4. Klasifikasi tekanan darah (dewasa). Kategori tekanan darah Normal Normal tinggi

Tekanan sistolik (mmHg) < 130 130–139

Tekanan diastolik (mmHg) < 85 85–89

56 Hipertensi Stadium 1/ ringan

140–159

90–99

Stadium 2/ sedang

160–179

100–109

Stadium 3/ berat

180–209

110–119

Stadium 4/ sangat berat

> 210

> 120

Patofisiologi Hipertensi dapat idiopatik (esensial) atau, yang lebih jarang, hipertensi sekunder karena kondisi medis lainnya, seperti gangguan ginjal, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, akromegali, feokromositoma, kehamilan, atau terapi estrogen. Delapan puluh sampai sembilan puluh lima persen kasus adalah hipertensi esensial dan dapat disertai peningkatan abnormal ambang batas curah jantung, resistensi vaskular sistemik (RVS). Pola yang berkembang sering terlihat pada perjalanan penyakit. Pada awalnya, curah jantung akan meningkat, tetapi RVS tetap dalam kisaran normal (pada dalam kkenyataannya, tinggi dengan yang tidak sesuaitepat). Seiring dengan progresi penyakit, curah jantung akan kembali normal tetapi RVS menjadi sangat tinggi. Volume cairan ekstraseluler dan aktivitas renin plasma (lihat Bab 29) mungkin rendah, normal, atau tinggi. Peningkatan beban akhir jantung secara kronis akan menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik dan perubahan fungsi diastolik (lihat Bab 19), Hipertensi juga mengubah autoregulasi serebral (lihat Bab 25) sehingga aliran darah serebral normal tetap dipertahankan walaupun tekanan darah tinggi; batas autoregulasi berada pada kisaran tekanan darah 110–180 mmHg. Mekanisme yang menyebabkan perubahan pada pasien hipertensi masih belum jelas, tetapi tampaknya melibatkan hipertrofi vaskular, hiperinsulinemia, peningkatan kalsium intraseluler dan peningkatan konsentrasi natrium intraseluler pada otot polos dan sel-sel tubulus ginjal. Peningkatan kalsium intraseluler mungkin menyebabkan peningkatan tonus arteriol, sedangkan peningkatan konsentrasi natrium mengganggu ekskresi natrium ginjal. Aktivitas berlebihan sistem saraf simpatis dan peningkatan respons terhadap agonis simpatis terjadi pada beberapa pasien. Pasien hipertensi seringkali memperlihatkan respons terhadap vasopressor yang berlebihan. Aktivitas sistem renin-angiotensin – -aldosteron yang berlebihan (lihat Bab 29) berperan penting pada pasien dengan hipertensi yang cepat memburuk. Terapi jangka panjang

57

Terapi obat dapat menurunkan progresi hipertensi, dan insidensiinsidens stroke, gagal jantung, PJK, dan kerusakan ginjal. Terapi dapat juga menghambat perubahan-perubahan patofisiologis, seperti hipertrofi ventrikel kiri dan perubahan autoregulasi serebral. Sebagian besar pasien hipertensi ringan hanya membutuhkan terapi obat tunggal, yang dapat berupa diuretik tiazid, penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin-converting enzyme, ACE), penghambat reseptor angiotensin, penghambat penyekat adrenergik ß, atau penyekatghambat kanal kalsium. Joint National Committee on Hypertension (AS) merekomendasikan diuretik tiazid dosis rendah untuk sebagian besar pasien hipertensi. Akan tetapi, penyakit yang menyertai turut mempengaruhi pemilihan jenis obat. Penghambat ACE dianggap pilihan lini pertama yang optimal pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung, sedangkan penghambat ACE atau penghambat reseptor angiotensin dianggap sebagai obat lini pertama awal yang optimal pada pasien dengan hiperlipidemia, gagal ginjal kronis, atau diabetes (terutama bila disertai nefropati). Penyekatghambat adrenergik ß, atau, yang lebih jarang, penyekghambat kanal kalsium digunakan sebagai obat lini pertama pada pasien PJK. Penghambat ACE, penghambat reseptor angiotensin, dan penghambat adrenergik ß umumnya kurang efektif daripada diuretik dan penghambat kanal kalsium pada pasien kulit hitam. Untuk pasien usia lanjut, pedoman terapi merekomendasikan diuretik dengan atau tanpa penghambat adrenergik ß atau penghambat kanal kalsium saja. Pasien dengan hipertensi sedang hingga berat membutuhkan obat kedua atau ketiga. Diuretik sering digunakan sebagai tambahan penghambat adrenergik ß dan penghambat ACE jika terapi obat tunggal tidak efektif. Penghambat ACE dapat memperpanjang hidup pada pasien gagal jantung kongestif atau disfungsi ventrikel kiri. Selain itu, obat-obat ini dapat mempertahankan fungsi ginjal pada pasien diabetes atau pasien dengan gangguan ginjal. Anestesiologis harus terbiasa dengan nama-nama dan mekanisme kerja obat-obat antihipertensi (Tabel 20-5). Tabel 20-5. Obat-obat antihipertensi oral Kategori Diuretik

Kelas Tiazid

Subkelas

Nama obat Klorotiazid (Diuril) Klortalidon (Thalitone) Hidroklorotiazid (Microzide) Indapamid (Lozol)

Diuretik

hemat

Metolazon (Zaroxolyn) Spironolakton (Aldacktone)

58 kKalium

Triamteren (Dyrenium)

Loop diuretik

Amilorid (Midamor) Bumetanid (Bumex) Asam etakrinat (Edecrin) Furosemid (Lasix)

Simpatolitik

Penghambat reseptor ß

Torasemid (Demadex) Asebutolol (Sectral)

adrenergik

Atenolol (Tenormin) Betaxolol (Kerlone) Bisoprolol (LopressorZebeta) Carteolol (Cartrol) Metoprolol (Lopressor) Nadolol (Corgard) Penbutolol (Levatol) Pindolol (Visken) Propranolol (Inderal) 

Timolol (Blocadren) 1 Doxazosin (Cardura) Prazosin (Minipress) Terazosin (Hytrin)

 dan ß

1 + 2 Fenoksibenzamin (Dibenzyline) Labetalol (Trandate) Carvedilol (Coreg) Clonidin (Catapres)

Agonis 2 sentral

Guanabenz (Wytensin) Guanfacine (Tenex)

Vasodilator

Penghambat

post- Guanadrel

Metildopa (Aldomet) Reserpin

ganglion Penghambat

kanal Benzotiazepin

Diltiazem1 (Tiazac)

Kalsium

Fenilalkilamin

Verapamil1 (Calan SR)

Dihidropiridin

Amlodipin (Norvasc) Felodipin (Plendil) Isradipin (Dynacirc)

59 Nicardipin (Cardene) Nifedipine (Procardia XL) Penghambat ACE

Nisoldipi (Sular) Benazepril (Lotensin) Captopril (Capoten) Enalapril (Vasotec) Fosinopril (Monopril) Lisinopril (Zestril) Moexipril (Univasc) Perindopril (Aceon) Quinapril (Accupril) Ramipril (Altace)

Antagonis

Trandopril (Mavik) Candesartan (Atacand)

reseptor

Eprosartan (Tevetan)

angiotensin

Irbesartan (Avapro) Losartan (Cozaar) Olmesartan (Benicar) Telmisartan (Micardis)

Vasodilator langsung

Valsartan (Diovan) Hidralazin (Apresoline) Minoxidil

1

Lepas lambat

2

ACE, Angiotensin-converting enzyme.

TATA LAKSANA PRA-OPERASIPRABEDAH Pertanyaan yang sering muncul dalam prakteik anastesi adalah derajat hipertensi praoperasiprabedah yang masih dapat diterima untuk pembedahan elektif. Kecuali pada pasien yang terkontrol optimal, sebagian besar pasien hipertensi yang masuk ke kamar operasi akan mengalami hipertensi dalam derajat bervariasi. Walaupun data-data statistik menunjukkan hipertensi sedang pra-operasiprabedah (tekanan diastolik < 90–110 mmHg) masih belum jelas berhubungan dengan komplikasi pasca-operasipascabedah, tetapi data lainnya mengindikasikan bahwa hiepertensi yang tidak diterapi atau tidak terkontrol lebih mungkin mengalami episode iskemia miokard , aritmia, atau hipertensi dan hipotensi intra-operasiintrabedah. Mengukur

60 kedalaman anestesi intra-operasiintrabedah dan menggunakan obat-obat vasoaktif dapat menurunkan insidensiinsidens komplikasi pasca-operasi pascabedahyang mungkin disebabkan kontrol hipertensi pra-operasiprabedah yang buruk. Walaupun idealnya pembedahan dilakukan secara elektif hanya jika normotensif, tetapi hal ini tidak mutlak karena adanya autoregulasi serebral. Reduksi tekanan darah yang terlalu banyak dapat mengganggu perfusi serebral. Terlebih lagi, keputusan untuk menunda atau melanjutkan pembedahan sangat tergantung individu pasien, berdasarkan tingginya peningkatan tekanan darah pra-operasiprabedah; kemungkinan disertai iskemia miokard, disfungsi ventrikel, atau komplikasi serebrovaskular atau ginjal; dan prosedur pembedahan (diantisipasi apakah pembedahan mayor menginduksi perubahan beban awal atau beban akhir jantung). Pada banyak kasus, hipertensi praoperasiprabedah disebabkan komplians yang buruk terhadap obat. Seringkali, terapi obat harus diteruskan hingga saat pembedahan. Beberapa klinisi menhentikan konsumsi penghambat ACE pagi hari sebelum operasi karena obat ini sering menyebabkan peningkatan insidensiinsidens hipotensi intra-operasiintrabedah; akan tetapi, pemberhentian obat ini juga meningkatkan risiko hipertensi peri-operasiperioperatif yang cukup tinggi dan perlunya antihipertensi parenteral. Prosedur pembedahan harus ditunda bila tekanan darah diastolik pra-operasiprabedah yang lebih dari 110 mHg – terutama bila disertai bukti kerusakan organ, operasi ditunda sampai tekanan darah dapat terkontrol dengan baik selama beberapa hari. Anamnesis Anamnesis pra-operasiprabedah harus mencari tahu berapa berat dan durasi hipertensi, terapi obat yang diresepkan, dan ada tidaknya komplikasi hipertensi. Gejala iskemia miokard, kegagalan ventrikel, gangguan perfusi serebral, atau penyakit vaskular perifer harus ditanyakan, begitu juga komplians pasien terhadap regimen obat. Pertanyaan mengenai nyeri dada, toleransi latihan fisik, sesak napas (terutama pada malam hari), edema, pusing (rasa melayang) postural, sinkop, amaurosis, dan klaudikasio, harus diperhatikan. Efek samping terapi obat yang sedang diminum (Tabel 20-6) juga harus diidentifikasi. Berikut akan dibahas bagiamana mengevaluasi pasien dengan riwayat IM; stroke didiskusikan di Bab 27. Pemeriksaan fisik Fisik & Evaluasi Laboratorium

61 Oftalmoskopi mungkin merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada pasien hipertensi (selain sfigmomanometri), tetapi sayangnya tidak selalu dilakukan. Perubahan pembuluh darah retina yang terlihat biasanya paralel dengan beratnya dan progresi arteriosklerosis dan kerusakan hipertensif pada organ lain. Bunyi Irama derap (jantung gallop) jantung S4 sering terdengar pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. Penemuan fisik lainnya seperti ronkhi pulmonal dan irama derapgallop (gallop) jantung S3 merupakan penemuan tahap lanjut dan mengindikasikan adanya gagal jantung kongestif. Tekanan darah harus diukur pada posisi berbaring terlentang dan posisi berdiri. Perubahan ortostatik dapat terjadi karena deplesi volume (lihat Bab 29), vasodilatasi berlebihan, atau terapi obat simpatolitik; pemberian cairan pra-operasiprabedah dapat mencegah terjadinya hipotensi berat setelah induksi anestesia pada pasien tersebut. Walaupun bruit bising (bruit) karotis asimtomatik biasanya tidak menimbulkan keadaan hemodinamis yang signifikan (lihat Bab 17), tetapi bruitbising karotis menggambarkan penyakit atherosklerosis vaskular yang dapat mempengaruhi sirkulasi koroner. Jika ditemukan bruitbising, maka diperlukan pemeriksaan Doppler arteri karotis untuk mengekslusi penyumbatan hemodinamis yang signifikan. Elektrokardiogram (EKG) seringkali normal, tetapi pada pasien dengan riwayat hipertensi menahun seringkali terdapat tanda-tanda iskemia, abnormalitas konduksi, dan infark lama, atau hipertrofi ventrikel kiri atau strain. EKG normal tidak harus mengeksklusi adanya penyakit jantung koroner atau hipertrofi ventrikel kiri. Begitu pula, ukuran jantung yang normal pada pemeriksaan radiografi dada bukan berarti tidak ada hipertrofi ventrikel. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk hipertrofi ventrikel kiri dan dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi sistolik dan fungsi diastolik pasien dengan gejala gagal jantung (lihat Bab 19). Radiografi dada umumnya baik tetapi mungkin menunjukkan jantung bentuk sepatu bot (sugestif hipertrofi ventrikel kiri), kardiomegali yang jelas, atau kongesti vaskular pulmonal. Fungsi ginjal paling baik dievaluasi melalui pengukuran kreatinin serum dan kadar urea nitrogen darah (lihat Bab 32). Kadar elektrolit serum harus diperiksa pada pasien yang mengkonsumsi obat diuretik atau digoksin, atau jika pasien menderita gagal ginjal. Hipokalemia ringan hingga sedang sering terjadi pada pasien dengan pengobatan diuretik (3–3,5 mEq/l) tetapi biasanya tidak terlalu berpengaruh buruk. Penggantian kalium harus dilakukan hanya pada pasien simtomatik atau pasien yang juga mengkonsumsi digoksin (lihat Bab 28). Hipomagnesemia juga sering terjadi dan mungkin merupakan penyebab penting aritmia peri-operasiperioperatif. Hiperkalemia dapat ditemukan pada pasien – terutama pasien dengan gangguan fungsi ginjal (lihat Bab 29) – yang juga mengkonsumsi diuretik hemati kelium atau penghambat ACE.

62

Tabel 20-6. Efek samping terapi antihipertensif jangka panjang. Jenis obat Diuretik

Efek samping

Tiazid

Hipokalemia,

hiponatremia,

hiperglikemia,

hiperurisemia,

hipomagnesemia, hiperlipidemia, hiperkalsemia Diuretik loop

Hipokalemia, hiperglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, alkalosis metabolik

Hemat Kalium Simpatolitik

Hiperkalemia

Penghambat adrenergik 

Bradikardia, blok konduksi, depresi miokard, peningkatan tonus bronkus, sedasi, kelelahan (fatigkelelahanue), depresi

Penghambat adrenergik 

Hipotensi postural, takikardia, retensi cairan

Agonis 2 sentral

Hipotensi postural, sedasi, mulut kering, depresi, penurunan kebutuhan anestesi, bradikardia, hipertensi rebound, tes Coomb positif dan anemia hemolitik (metildopa), hepatitis (metildopa)

Penghambat ganglion Vasodilator

Hipotensi postural, diare, retensi cairan, depresi (reserpin)

Penghambat kanal kKalsium

Depresi jantung, bradikardia, blok konduksi (verapamil, diltiazem), edema perifer (nifedipin), takikardia (nifedipin), peningkatan blok neuromuskuler nondepolarisasi

Penghambat ACE1

Batuk,

angioedema,

takikardia

refleksif,

retensi

cairan,

disfungsi ginjal, gagal ginjal pada stenosis arteri renalis bilateral, hiperkalemia, depresi sumsum tulang (captopril) Antagonis reseptor angiotensin

Hipotensi, gagal ginjal pada stenosis arteri renalis bilateral, hiperkalemia

Vasodilator langsung

Takikardia refleksif, retensi cairan, sakit kepala, sindrom mirip lupus eritematosus sistemik (hidralazin), efusi pleura atau

perikardial (minoxidil) 1 ACE, Angiotensin-converting enzyme, enzim pengubah angiotensin. Premedikasi Premedikasi dapat mengurangi kecemasan pra-operasiprabedah dan sangat disarankan pada pasien hipertensi. Hipertensi prabedah ringan hingga sedang pra-operasi seringkali membaik

63 setelah

pemberian

obat

ansiolitik,

seperti

midazolam.

Obat-obat

antihipertensi

pra-

operasiprabedah juga harus diteruskan sedapat mungkin sampai dekat jadwal operasi dan dapat diberikan dengan seteguk air. Seperti telah dibahas di pada bab ini, beberapa klinisi menghentikan konsumsi penghambat ACE karena dapat meningkatkan insidensiinsidens hipotensi intraoperasiintrabedah. Agonis adrenergik 2 sentral dapat digunakan sebagai tambahan terapi premedikasi pasien hipertensi; klonidin (0,2 mg) akan meningkatkan efek sedasi, menurunkan kebutuhan anestesi intra-operasiintrabedah, dan mengurangi hipertensi peri-operasiperioperatif. Akan tetapi, pemberian klonidin pra-operasiprabedah seringkali disertai hipotensi intraoperasiintrabedah yang bermakna dan bradikardia. TATA LAKSANA INTRA-OPERASIINTRABEDAH Tujuan Seluruh rencana anestesi pasien hipertensi adalah mempertahankan tekanan darah tetap dalam kisaran stabil. Pasien dengan hipertensi ambang batas dapat diterapi seperti pasien normotensi. Akan tetapi, pasien dengan hipertensi jangka lama atau hipertensi tidak terkontrol, akan mengalami perubahan autoregulasi aliran darah serebral; diperlukan rerata tekanan darah yang lebih tinggi untuk mempertahankan aliran darah serebral. Karena sebagian besar pasien dengan hipertensi lama diasumsikan memiliki PJK dan hipertrofi jantung, maka peningkatan tekanan darah yang berlebihan tidak diinginkan. Hipertensi, terutama bila disertai takikardia, dapat memperberat atau mencetuskan iskemia miokard, disfungsi ventrikel, atau keduanya. Tekanan darah arterial harus dipertahankan 10–20% dari nilai pra-operasiprabedah. Jika terdapat hipertensi yang bermakna (> 180/120 mmHg) pra-operasiprabedah, maka tekanan darah arterial harus dipertahankan dalam kadar normal-tinggi (150–140/ 90–80 mmHg). Pemantauan Sebagian besar pasien hipertensi tidak membutuhkan pemantauan intra-operasiintrabedah khusus. Monitor tekanan intraarterial langsung digunakan untuk pasien dengan perubahan tekanan darah yang drastis dan pasien yang menjalani prosedur bedah mayor yang disertai perubahan beban awal dan beban akhir jantung yang bermakna. Monitor elektrokardiografi harus difokuskan untuk mendeteksi tanda-tanda iskemia. Keluaran urin harus dimonitor dengan ketat melalui kateter urin (indwelling catheter) pada pasien gangguan ginjal yang menjalani prosedur pembedahan yang mungkin lebih dari 2 jam. Jika digunakan monitor hemodinamik invasif, maka penurunan

64 komplians ventrikel (lihat Bab 19) seringkali tampak jelas pada pasien dengan hipertrofi ventrikel; tekanan baji kapiler pulmonal (12–18 mmHg) diperlukan untuk mempertahankan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan curah jantung. Induksi Induksi anestesi dan intubasi endotrakeal merupakan periode dimana sering terjadi instabilitas hemodinamik pada pasien hipertensi. Berapapun nilai tekanan darah pra-operasiprabedah, banyak pasien hipertensi menunjukkan respons hipotensi berlebihan pada induksi anestesia, diikuti respons hipertensi yang berlebihan saat intubasi. Respons hipotensi pada saat induksi menggambarkan efek depresan sirkulasi obat anestesi dan antihipertensi (lihat Tabel 20-6). Sebagian besar, jika tidak semua, obat antihipertensi dan anestesi umum memiliki sifat vasodilator, depresan jantung, atau keduanya. Selain itu, banyak pasien hipertensi sudah mengalami kekurangan volume. Obat-obat simpatolitik juga meningkatkan refleks proteksi sirkulasi yang normal (lihat Bab 19), menurunkan tonus simpatis dan meningkatkan aktivitas vagal. Hingga 25% pasien menunjukkan hipertensi berat setelah intubasi endotrakeal. Durasi laringoskopi, yang berhubungan dengan derajat hipertensi, harus sesingkat mungkin. Terlebih lagi, intubasi umumnya harus dilakukan pada anestesi dalam (sehingga hipotensi dapat dicegah). Salah satu dari beberapa teknik yang dapat digunakan sebelum intubasi untuk meningkatkan respons hipertensi: - Memperdalam anestesi dengan obat volatil poten selama 5–10 menit. - Pemberian opioid bolus (fentanil, 2,5–5 μug/kg; alfentanil 15-25 μug/kg; sulfentanil, 0,25–0,5 μug/kg; atau remifentanil, 0,5–1 μug/kg). - Pemberian lidokain, 1,5 mg/kg intravena atau intratrakea. - Penghambat adrenergik  dengan esmolol, 0,3–1,5 mg/kg; propranolol, 1-3 mg; atau labetalol, 5-20 mg. - menggunakan anestesi jalan napas topikal (lihat Bab 5). Pilihan obat Anestesi A. OBAT-OBAT INDUKSI Teknik atau obat induksi untuk hipertensi yang paling unggul masih belum jelas. Bahkan pada anestesi regional, pasien hipertensi seringkali mengalami reduksi tekanan darah yang berlebihan

65 dibandingkan pasien normotensif. Propofol, barbiturat, benzodiazepin, dan etomidat sama-sama aman dalam menginduksi anestesi umum pada sebagian besar pasien hipertensi. Ketamin merupakan kontraindikasi pada prosedur operasi elektif, karena stimulasi simpatis ketamin dapat memperberat hipertensi (lihat Bab 8); sifat stimulasi simpatis dapat dikurangi dengan pemberian obat lain dalam dosis kecil, misalnya benzodiazepin atau propofol. B. OBAT-OBAT UNTUK MEMPERTAHANKAN ANESTESI Anestesi dapat dilanjutkan dengan secara aman dengan obat volatil (tunggal atau ditambah nitrogen oksida), teknik yang seimbang (opioid + NO + relaksan otot), atau teknik intravena total. Teknik primer apapun yang digunakan, penambahan obat volatil atau obat vasodilator intravena umumnya menghasilkan kontrol tekanan darah intra-operasiintrabedah yang lebih memuaskan. Vasodilatasi dan depresi miokard jantung yang cepat dan reversibel karena obat volatil memungkinkan titrasi efek obat terhadap tekanan darah arterial. Beberapa klinisi yakin bahwa sulfentanil, salah satu jenis opioid, memberikan supresi otonom dan kontrol tekanan darah yang terbaik. C. RELAKSAN OTOT Setiap relaksan otot (disebut juga obat blok neuromuskuler), dengan pengecualian bolus pankuronium dosis tinggi, dapat digunakan secara rutin. Pankuronium dapat menginduksi blok vagal dan pelepasan katekolamin saraf yang mengeksaserbasi hipertensi pada pasien yang tidak terkontrol dengan baik. Akan tetapi, jika pankuronium diberikan secara perlahan dengan peningkatan dosis sedikit-sedikit, jarang terjadi peningkatan denyut jantung atau tekanan darah. Terlebih lagi, pankuronium berguna untuk melawan tonus vagal berlebihan yang diinduksi opioid atau manipulasi pembedahan. Hipotensi setelah dosis besar tubokurarin, metokurin, atrakcurium, atau mivakurium (lihat Bab 9) dapat meningkat pada pasien hipertensi. D. VASOPRESOR Pasien hipertensi menunjukkan respons berlebihan baik terhadap katekolamin endogen (dari intubasi atau stimulasi pembedahan) dan pemberian obat agonis simpatis eksogen. Jika diperlukan vasopressor untuk terapi hipotensi berat, maka diberikan dosis kecil obat efek langsung, seperti fenilefrin (25-50 μug) yang lebih disukai dibandingkan obat yang efeknya tidak langsung. Begitu pula, dosis kecil efedrin (5-10 mg) lebih tepat digunakan jika tonus vagal tinggi. Pasien yang mengkonsumsi simpatolitik pra-operasiprabedah dapat menunjukkan penurunan respons terhadap vasopresor, terutama efedrin; pada keadaan yang jarang, diperlukan dosis kecil

66 epinerfrin, 2-5 μug. Pemberian dosis epinefrin yang tidak tepat pada pasien hipertensi dapat menyebabkan morbiditas kardiovaskular yang signifikan. Hipertensi Intra-operasiIntrabedah Hipertensi intra-operasiintrabedah yang tidak berespons dengan peningkatan kedalaman anestesi (terutama dengan obat volatil) dapat ditangani dengan berbagai obat parenteral (Tabel 20-7). Penyebab-penyebab reversibel – seperti dalamnya anestesi yang tidak adekuat, hipoksemia, atau hiperkapnia – hal-hal ini harus selalu diperiksa sebelum diberikan terapi antihipertensi. Pemilihan obat hipotensif (lihat Bab 13) tergantung dari beratnya, akutnya, dan penyebab hipertensi, fungsi ventrikel dasar, denyut jantung, dan adanya penyakit bronkospastis paru. Obat penghambat adrenergik  saja atau diberikan sebagai tambahan, merupakan pilihan yang baik pada pasien dengan fungsi ventrikel yang baik dan peningkatan denyut jantung. Pada pasien dengan penyakit bronkospastik, lebih dipilih nikardipin. Takikardia refleksif setelah pemberian nifedipin sublingual berhubungan dengan iskemia miokard dan efek antihipertensif yang onset lambat. Nitroprusid tetap merupakan obat yang paling cepat dan efektif untuk hipertensi intraoperasiintrabedah sedang hingga berat. Nitrogliserin mungkin kurangm efektif tetapi juga berguna dalam mencegah iskemia miokard. Fenoldopam juga merupakan obat yang berguna dan dapat meningkatkan atau mempertahankan fungsi ginjal. Hidralazin memberikan kontrol tekanan darah tetapi memiliki onset lambat dan dapat menyebabkan refleks takikardia. Refleks takikardia tidak terjadi pada pemberian labetalol karena blok kombinasi adrenergik  dan . Tabel 20-7. Obat-obat parenteral untuk terapi hipertensi akut Obat Nitroprusid Nitrogliserin Esmolol

Kisaran dosis 0,5–10 μug/ kg/menit 0,5–10 μug/ kg/menit 0,5 mg/kg dalam 1 menit;

Onset 30 - 60 1 menit 1 menit

durasi 1–5 menit 3–5 menit 12–20 menit

Labetalol Propranolol Trimetafan Fentolamin Diazoksid Hidralazin Nifedipin

50–300 ug/kg/menit 5–20 mg 1–3 mg 1–6 mg/ menit 1–5 mg 1-3mg/kg, secara lambat 5-20 mg 10 mg

1–2 menit 1–2 menit 1–3 menit 1–10 menit 2-10 menit 5-20 menit 5-10 menit

4–8 jam 4–8 jam 10–30 menit 20–40 menit 4-6 jam 4-8 jam 4 jam

(sublingual) Metildopa Nikardipin

250-1000 mg 0,25-0,5 mg

2-3 jam 1-5 menit

6-12 jam 3-4 jam

67

Enalaprilat Fenoldopam

5-15 mg/ jam 0,625-1,25 mg 0,1-1,6 mg/kg/menit

6-15 menit 5 menit

4-6 jam 5 menit

TATA LAKSANA PASCA-OPERASIBEDAH Hipertensi pasca-operasi pascabedah (lihat Bab 48) sering terjadi dan harus diantisipasi pada pasien hipertensi tidak terkontrol. Monitor tekanan darah yang ketat harus diteruskan pada kamar pemulihan dan periode pasca-operasi pascabedah awal. Selain iskemia miokard dan gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan darah yang tinggi juga dapat menyebabkan pembentukan hematom luka dan disrupsi jahitan vaskular. Hipertensi pada periode pemulihan disebabkan banyak faktor dan diperburuk oleh abnormalitas respirasi, nyeri, kelebihan cairan, atau distensi kandung kemih (lihat Bab 48). Penyebabpenyebab tersebut harus dikoreksi dan diberikan obat antihipertensi parenteral jika perlu. Labetalol intravena berguna untuk kontrol hipertensi dan takikardia, sedangkan nikardipin berguna mengontrol tekanan darah jika denyut jantung lambat, terutama jika dicurigai terjadi iskemia miokard atau bronkospasme. Jika pasien dapat minum secara oral, maka dapat diberikan obat-obat antihipertensi pra-operasiprabedah kembali. PENYAKIT JANTUNG ISKEMIK Pertimbangan Pra-operasiPrabedah Iskemia miokard adalah kebutuhan metabolisme oksigen yang melebihi pasokan oksigen (lihat Bab 19). Iskemia dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan metabolisme miokard yang bermakna, penurunan penghantaran oksigen miokard, atau kombinasi keduanya. Penyebab yang sering adalah hipertensi berat atau takikardia (terutama bila disertai hipertrofi ventrikel); vasospasme arteri koroner atau obstruksi anatomis; hipotensi berat, hipoksemia, atau anemia; dan stenosis atau regurgitasi aorta berat. Sejauh ini, penyebab iskemia miokard yang paling sering adalah aterosklerosis arteri koroner. PJK (Penyakit Jantung Koroner) bertanggung jawab terhadap lebih dari sepertiga kematian pada masyarakat Barat dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

peri-

68 operasiperioperatif. InsidensiInsidens PJK keseluruhan pada pasien bedah diperkirakan antara 5% hingga 10%. Faktor risiko mayor PJK meliputi hiperlipidemia, hipertensi, diabetes, merokok, usia lanjut, jenis kelamin pria, dan riwayat keluarga PJK. Faktor risiko lain adalah obesitas, riwayat penyakit serebrovaskular atau penyakit vaskular perifer, menopause, penggunaan kontrasepsi oral tinggi estrogen (pada wanita perokok), gaya hidup sedentersedentary (banyak duduk), dan mungkin pola perilaku yang berisiko rentan PJK. Pada umur 65 tahun, insidensiinsidens PJK mendekati 37% pada laki-laki, dibandingkan perempuan insidensiinsidens PJK adalah 18%. Secara klinis, gejala PJK adalah manifestasi dari gejala nekrosis miokard (infark), iskemia (biasanya angina), aritmia (termasuk kematian mendadak), atau disfungsi ventrikel (gagal jantung kongestif). Jika gejala gagal jantung kongestif mendominasi, maka sering digunakan istilah kardiomiopati iskemik. Dikenal tiga sindrom klinis mayor. : iInfark miokard, angina tidak stabil, dan angina stabil kronik. IM akut didiskusikan pada Bab 49. Angina tidak Tidak stabilStabil Angina tidak stabil didefinisikan sebagai (1) peningkatan mendadak dalam hal derajat keparahanserangan angina yang mendadak parah, frekuensi (lebih dari tiga episode tiap harinya) atau durasi serangan angina (angina kressendo), (2) angina saat istirahat, atau (3) angina onset baru (dalam 2 bulan terakhir) dengan episode yang berat atau sering (lebih dari tiga kali per hari). Episode angina sering tidak berhubungan dengan faktor-faktor pemberat yang jelas. Angina tidak stabil dapat juga terjadi setelah IM atau diperberat oleh kondisi medis nonjantung (seperti anemia berat, demam, infeksi, tirotoksikosis, hipoksemia, dan tekanan emosional) pada pasien yang sebelumnya stabil. Angina tidak stabil, terutama jika disertai perubahan segmen ST yang signifikan saat istirahat, biasanya menggambarkan penyakit koroner yang berat dan sering mendahului IM. Disrupsi plak disertai agregasi trombosit atau trombi trombus dan vasospasme adalah keadaan patologis yang saling berhubungan. Pada 80% pasien terdapat stenosis pada satu atau lebih arteri koroner utama yang kritis. Pasien dengan angina tidak stabil harus dirawat di unit perawatan koroner (Intensive Coronary Care Unit, ICCU) untuk evaluasi dan terapi. Umumnya diberikan antikoagulan heparin, bersama dengan aspirin, nitrogliserin intravena, penghambat , dan, mungkin, penghambat kanal kalsium. Jika iskemia tidak membaik dalam 24–48 jam, pasien dievaluasi dengan angiografi koroner untuk kemungkinan angioplasti atau pembedahan revaskularisasi darurat.

69 Angina Stabil Kronis Nyeri dada sering terjadi pada daerah substernal, pada saat latihan fisik, menjalar ke leher atau lengan, dan membaik jika istirahat atau jika diberikan nitrogliserin. Variasi nyeri sering terjadi, termasuk nyeri pada daerah epigastrium, punggung, atau nyeri leher atau sesak napas sementara akibat disfungsi ventrikel (ekuivalen setara angina). Iskemia silent, adalah iskemia yang tidak dicetus oleh latihan fisik dan tanpa gejala (asimtomatik) sering terjadi. Pada penderita diabetes terdapat insidensiinsidens iskemia asimtomatik yang relatif tinggi. Gejala uUmumnya tidak timbul gejala ada hingga lesi aterosklerotik menyebabkan oklusi hinggayang mencapai 50–75% pada sirkulasi koroner. Jika segmen stenosis mencapai oklusi 70%, umumnya terjadi dilatasi kompensasi maksimum pada bagian distal: aliran darah umumnya adekuat saat istirahat tetapi menjadi tidak adekuat bila terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme. Pasokan darah kolateral yang luas memungkinkan beberapa pasien tetap asimtomatik walaupun terdapat gangguan yang berat. Vasospasme koroner juga merupakan salah satu penyebab iskemia transmural transien pada beberapa pasien; 90% episode vasospastik terjadi pada lesi stenosis yang telah ada sebelumnya pada pembuluh epikardial dan sering diperberat oleh berbagai faktor, seperti ketegangan emosi dan hiperventilasi (angina Prinzmetal). Spasme koroner sering ditemukan pada pasien angina dengan berbagai tingkat aktivitas atau tekanan emosional yang berbeda (ambang yang bervariasi); jarang terjadi angina pada saat latihan fisik (ambang tetap). Prognosis keseluruhan pasien PJK berhubungan dengan jumlah dan beratnya obstruksi koroner dan juga fungsi ventrikel. Terapi Penyakit Jantung Iskemik Pendekatan umum terapi pasien penyakit jantung iskemik terbagi dalam 5 tahapan: -

Koreksi faktor risiko koroner dengan harapan dapat memperlambat progresivitas penyakit.

-

Modifikasi gaya hidup pasien untuk eliminasi stres dan meningkatkan toleransi latihan.

-

Koreksi komplikasi kondisi medis yang dapat menyebabkan eksaserbasi iskemia, seperti hipertensi, anemia, hipoksemia, tirotoksikosis, demam, infeksi, atau efek samping obat.

-

Manipulasi farmakologis hubungan pasokan – kebutuhan oksigen miokard (lihat Bab 19).

70 -

Koreksi lesi koroner dengan intervensi koroner perkutan atau PCI (angioplasti dengan atau tanpa stent, atau aterektomi) atau operasi bypass arteri koroner.

Tiga tahapan terakhir berhubungan langsung dengan peran ahli anestesiolog. Prinsip yang sama juga harus diterapkan pada perawatan pasien di kamar operasi dan unit perawatan intensif. Obat farmakologis yang paling sering digunakan adalah nitrat, penghambatmblokade , dan penghambat kanal kalsium. Obat-obatan ini juga memiliki efek sirkulasi yang poten, yang dapat diperbandingkan pada Tabel 20-8. Setiap obat-obatan ini dapat digunakan untuk angina ringan. Penghambat kanal kalsium merupakan obat pilihan untuk pasien dengan angina vasospastik dominan, sedangkan obat penghambat adrenergik  biasanya digunakan pada pasien dengan angina saat latihan fisik dengan fungsi ventrikel yang adekuat. Nitrat merupakan obat yang baik untuk kedua jenis angina. Tabel 20-8. Perbandingan obat-obat antiangina.1 Parameter

Nitrat

jantung

Penghambat kanal kalsium Verapamil

Nifedipin

Penghambat Diltiazem



Nikardipin   /-

  

Nimodipin  /-

  

-/  -/   

nodus SA Konduksi AV Vasodilatasi

-



-





Koroner









-/

Beban awal Beban akhir Kontraktilitas Otomatisasi

Sistemik     -/ 1 SA, sinoatrial; AV, atrioventrikular; , meningkat; -, tidak ada perubahan;  berkurangmenurun. A. NITRAT Nitrat merelaksasi semua otot polos vaskular, tetapi efeknya paling besar pada vena dibandingkan pembuluh arteri. Penurunan tonus vena dan berkurangnya aliran balik vena ke jantung (beban awal) akan mengurangi tegangan dinding dan beban akhir. Efek ini akan mengurangi kebutuhan

71 oksigen miokard. Venodilatasi yang jelas menjadikan nitrat obat yang baik jika juga terdapat gagal jantung kongestif. Yang juga tak kalah penting, nitrat akan membuat dilatasi arteri koroner. Dilatasi sedikit saja pada tempat yang stenosis akan cukup meningkatkan aliran darah, karena aliran berbanding langsung dengan seperempat kuadrat jari-jari pembuluh. Vasodilatasi koroner terinduksi nitrat akan lebih meningkatkan aliran darah subendokard pada area yang iskemik. Redistribusi yang lebih baik bagi aliran darah koroner ke daerah iskemik mungkin tergantung pada adanya kolateral pada sirkulasi koroner. Nitrat dapat digunakan baik untuk terapi iskemia akut maupun profilaksis serangan angina yang sering. Tidak seperti penghambat  dan penghambat kanal kalsium, nitrat tidak memiliki efek inotropik negatif – gambaran yang diinginkan pada disfungsi ventrikel. Nitrogliserin intravena juga dapat digunakan untuk mengkontrol anestesi hipotensif (lihat Bab 13). B. PENGHAMBAT KANAL KALSIUM Efek dan kegunaan penghambat kanal kalsium yang sering digunakan dapat dilihat pada Tabel 20-8 dan 20-9. Penghambat kanal kalsium akan mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan beban akhir jantung dan menambah pasokan oksigen dengan meningkatkan aliran darah (vasodilatasi koroner). Verapamil dan diltiazem juga dapat mengurangi kebutuhan dengan menurunkan denyut jantung. Efek poten nifedipin pada tekanan darah sistemik dapat memperberat hipotensi, refleks takikardia, atau keduanya; preparat onset cepat (misalnya, sublingual) berhubungan dengan IM pada beberapa pasien. Kecenderungan nifedipin mengurangi beban akhir akan mengimbangi efek inotropik negatif. Nifedipin bentuk lepas lambat berhubungan dengan refleks takikardia yang lebih sedikit dan lebih cocok dibandingkan obat lain untuk pasien dengan disfungsi ventrikel. Amlodipin, memiliki profil sama dengan nifedipin tetapi hampir tidak berefek pada denyut jantung, juga digunakan pada pasien disfungsi ventrikel. Sebaliknya, verapamil dan diltiazem memiliki lebih banyak efek pada kontraktilitas jantung dan konduksi atrioventrikular (AV) sehingga harus digunakan dengan berhati-hati, pun jika digunakan, pada pasien dengan disfungsi ventrikel, abnormalitas konduksi, atau bradiaritmia. Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel tampak lebih baik mentoleransimenoleransi diltiazem dengan baik daripada verapamil. Nikardipin dan nimodipin secara umum memiliki efek sama dengan nifedipin; nimodipin

72 digunakan terutama untuk mencegah vasospasme serebral setelah perdarahan subarakhnoid, sedangkan nikardipin digunakan sebagai vasodilator arteri intravena. Penghambat kanal kalsium bisa dapat berinteraksi dengan obat-obat anestesi lain dengan secara signifikan. Semua obat penghambat kanal kalsium akan meningkatkan potensiasi obat penghambat neuromuskuler baik jenis depolarisasi dan nondepolarisiasi, dan efek sirkulasi obat anestesi volatil. Verapamil juga dapat mengurangi kebutuhan zat anestesi. Baik verapamil dan diltiazem dapat meningkatkan (potensiasi) efek depresi kontraktilitas jantung dan konduksi nodus AV dari obat anestesi volatil. Nifedipin dan obat serupa juga dapat mempotensiasi vasodilatasi sistemik obat volatil dan intravena. C. OBAT PEMBLOKADE PENGHAMBAT ADRENERGIK  Obat-obat ini menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas, dan, pada beberapa kasus, mengurangi beban akhir (melalui efek antihipertensif). Hambatan yang optimal akan mengakibatkan denyut jantung istirahat antara 50 dan 60 kali/ menit dan mencegah peningkatan yang bermakna saat latihan fisik (peningkatan denyut < 20 kali/ menit saat latihan). Obat yang tersedia memiliki perbedaan dalam hal selektivitas reseptor, aktivitas simpatomimetik intrinsik (agonis parsial), d. Dan sifat stabilisasi membran (Tabel 20-10). Stabilisasi membran, sering dideskripsikan sebagai efek mirip kquinidin, menyebabkan aktivitas antiaritmia. Obat-obat dengan sifat simpatomimetik intrinsik ditoleransi lebih baik oleh pasien disfungsi ventrikel ringan hingga sedang. Penghambatmblokade adrenergik ß dosis rendah telah terbukti baik pada pasien dengan gagal jantung kongestif terkompensasi. Penghambatmblokade adrenergik ß nonselektif merupakan kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi ventrikel yang signifikan, kelainan konduksi, atau penyakit bronkospastik. Obat penghambatmblokade adrenergik ß2 juga dapat menutupi gejala hipoglikemia pada pasien diabetes yang sadar, memperlambat pemulihan metabolik dari hipoglikemia, dan mengganggu kemampuan mengatasi pasoukan kalium yang besar (lihat Bab 28). Penghambat nonselektif secara teori juga dapat meningkatkan intensitas vasospasme koroner pada beberapa pasien, sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan angina vasospastik dominan. Obat yang kardioselektif (spesifik reseptor ß1) tetap harus digunakan secara berhati-0hati pada pasien dengan jalan napas yang sensitif, karena selektivitas obat-obat ini tergantung pada besar dosis. Asebutolol dapat sangat berguna pada pasien dengan penyakit jalan napas bronkospastik, karena obat ini bersifat selektif untuk reseptor ß1 dan memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik.

73

D. OBAT-OBATAN LAIN Penghambat ACE telah dapat meningkatkan angka keselamatan pasien gagal jantung kongestif atau disfungsi ventrikel kiri. Digoksin juga berguna untuk pasien fibrilasi atrium yang dapat memberikan respons ventrikel cepat dan pasien kardiomegali, terutama jika terdapat gejala gagal jantung. Terapi aspirin jangka panjang telah dapat menurunkan kejadian serangan koroner bahkan pada pasien dengan PJK asimtomatik. Pemberian terapi antiaritmia pada pasien dengan kompleks ektopik ventrikel dengan PJK yang signifikan dan disfungsi ventrikel kiri harus dipantau dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Pasien dengan takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel memanjang yang dapat terinduksi, takikardia ventrikel memanjang atau fibrilasi ventrikel merupakan kandidat untuk pemasangan kardiovertersi – defibrilator otomatis internal (ICD, internal cardioverter-defibrillator). Terapi fokus ektopik ventrikel (dengan pengucualian takikardia ventrikel memanjang) pada pasien dengan fungsi ventrikel baik tidak memperbaiki harapan hidup dan dapat meningkatkan mortalitas. Sebaliknya, pemasangan ICD telah menunjukkan peningkatan keselamatan pada pasien dengan kardiomiopati tahap lanjut (fraksi ejeksi < 30%) bahkan bila tidak ada aritmia yang terekam. E. TERAPI KOMBINASI Angina sedang hingga berat seringkali membutuhkan terapi kombinasi dengan dua atau tiga jenis obat. Pasien disfungsi ventrikel mungkin tidak dapat mentoleransimenoleransi efek inotropik negatif kombinasi dari penghambat  dan penghambat kanal kalsium; penghambat ACE ditoleransi lebih baik dan tampaknya meningkatkan angka keselamatan. Begitu pula, efek gabungan penghambat  dan penghambat kanal kalsium dapat memicu blok jantung pada pasien yang rentan. Kombinasi amlodipin dan nitrat kerja panjang umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan disfungsi ventrikel yang signifikan tetapi dapat menyebabkan vasodilatasi berlebihan pada beberapa kasus, TATA LAKSANA PRA-OPERASIPRABEDAH Pentingnya penyakit jantung iskemik – terutama riwayat infark miokard- sebagai salah satu faktor risiko morbiditas dan mortalitas peri-operasiperioperatif telah didiskusikan pada awal bab ini. Sebagian besar penelitian juga mengkonfirmasimengonfirmasi bahwa keluaran peri-operatif

74 tergantung dari beratnya (keparahan) penyakit dan fungsi ventrikel. Pasien dengan PJK luas (tiga pembuluh darah atau cabang utama kiri), riwayat infark miokard baru, atau disfungsi ventrikel memiliki risiko komplikasi jantung paling besar. Risiko ini bagi infark miokard yang baru terjadi,adalah sama, baik infark miokard yang baru terjadi adalah transmural atau subendokard, adalah sama. Risiko peri-operasiperioperatif setelah infark miokard berhubungan dengan sisa iskemia residu yang ada (miokardium yang berisiko infark). Walaupun mayoritas infark miokard peri-operasiperioperatif yang terjadi adalah infark non-Q, tetapi penelitian terdahulu tetap menunjukkan angka mortalitas infark peri-operasiperioperatif mencapai 50%. Gambar 20-2 menunjukkan pedoman American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force untuk tata laksana pra-operasiprabedah pasien dengan prediktor klinis mayor peningkatan risiko kardiovaskular

(Tabel

20-1).

Penelitian

menunjukkan

bahwa

pemeriksaan

peri-

operatifperioperatif yang dilakukanpada pasien berisiko tinggi yang menjalani operasi revaskularisasi (coronary bypass koroner), sebelum pembedahan aorta abdominal, dapat meningkatkan keselamatan jangka pendek dan jangka panjang. Data yang serupa mengenai PCI pra-operasiprabedah untuk mengurangi komplikasi kardiovaskular pada pasien risiko tinggi masih sedikit. Terlebih lagiLebih lanjut, prosedur pembedahan umumnya harus ditunda hingga 2 minggu setelah prosedur PCI untuk mencegah perdarahan pasca-bedah karena pasien mendapatkan terapi antitrombosit untuk mencegah trombosis pada stent. Angina kronis stabil (ringan hingga sedang) tampaknya tidak meningkatkan risiko peri-operatif secara substansial. Begitu pula, riwayat operasi bypass koroner atau angioplasti koroner saja tidak meningkatkan risiko peri-operatif secara substansial. Skema tata laksana yang disederhanakan untuk pasien dengan prediktotr risiko sedang dan minor dapat dilihat pada Tabel 20-2 dan Gambar 20-1. Pemberian penghambat  pra-operasiprabedah telah menurunkan mortalitas perioperasiperioperatif dan menurunkan insidensiinsidens komplikasi kardiovaskular pascaoperasibedah. Anamnesis Anamnesis sangat penting pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Pertanyaan harus meliputi gejala, terapi terdahulu dan terapi saat ini, komplikasi, dan hasil dari pemeriksaanpemeriksaan sebelumnya. Informasi ini biasanya sudah cukup untuk memperkirakan berat penyakit dan fungsi ventrikel.

75 Gejala terpenting yang harus ditanyakan meliputi nyeri dada, sesak, toleransi latihan yang buruk, sinkop atau hampir sinkop. Hubungan antara gejala dan tingkat aktivitas harus ditentukan. Aktivitas dijabarkan dalam aktivitas sehari-hari, seperti, berjalan kaki atau naik tangga. Kemampuan mengerjakan pekerjaan rumah ringan atau naik satu anak tangga berhubungan dengan nilai ekivalen kesetaraan metabolik 4 (4 MET, metabolic equivalent) dan merupakan salah satu kriteria penting untuk menetukan perlunya pemeriksaan jantung noninvasif (Gambar 20-1 dan Tabel 20-2). Penyakit yang berata mungkin relatif asimtomatik karena gaya hidup yang sedenter. Khususnya pada pasien diabetes yang rentan terhadap iskemia asimtomatik (Bab 36). Deksripsi pasien mengenai nyeri dada mungkin mengarah ke vasospasme (ambang batas angina yang bervariasi). Mudah lelah atau napas pendek-pendek menunjukkan fungsi ventrikel. Pada riwayat angina tidak stabil atau infark miokard harus ditanyakan waktu terjadinya dan apakah disertai komplikasi aritmia, gangguan konduksi, atau gagal jantung. Pasien dengan riwayat infark anterior cenderung lebih berat dibanding riwayat infark inferior. Lokalisasi area iskemik sangat penting untuk memutuskan sadapan elektrokardiografi yang digunakan untuk pemantauan intra-operasiintrabedah. Aritmia dan abnormalitas konduksi lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat infark dan fungsi ventrikel buruk. Pasien dengan fungsi ventrikel buruk sering memakai alat ICD. Kata-kata STEP 1

Terjemahan LANGKAH 1

STEP 2

LANGKAH 2

STEP 3

LANGKAH 3

STEP 4

LANGKAH 4

Yes

Ya

No

Tidak

Need for non cardiac surgery

Perlu pembedahan nonjantung

Emergency surgerusurgery

Pembedahan darurat

Operating Room

Kamar operasi

Postoperative risk stratification and risk factor

Stratifikasi risiko pasca-operasi pascabedah dan

management

tata laksana faktor risiko

Urgent or elective surgery

Operasi segera atau elektif

Coronary revascualrization within 5 yr?

Revaskularisasi koroner dalam 5 tahun?

Recurrent symptoms or signs?

Gejala atau tanda berulang?

76 Recent coronary evaluation

Evaluasi koroner baru-baru ini

Recent coronary angiogram or stressstres test?

Pemeriksaan angiogram koroner baru atau uji latih?

Favorable result and no change symptoms

Hasil baik dan tidak ada perubahan gejala

Operating room

Kamar operasi

Unfavorable result or change in symptoms

Hasil tidak memuaskan atau terjadi perubahan gejala

Clinical predictor

Prediktor klinis

Major clinical predictor

Prediktor klinis mayor

Consider delay or cancel noncardiac surgery

Pertimbangkan untuk menunda pembedahan nonjantung

Consder coronary angiography Medical

management

and

Pertimbangkan angiografi koroner risk

factor

Tata laksana medis dan modifikasi faktor risiko

modification Subsequent care dictated by findings and

Perawatan

selanjutnya

berdasarkan

hasil

treatment results pemeriksaan dan terapi Gambar 20-2. Tata laksana pasien dengan prediktor mayor peningkatan risiko kardiovaskular peri-operatif. Perhatikan bahwa pemeriksaan diindikasikan jika hasil akan mempengaruhi perawatan pasien (Dari ACC/AHA Guideline Update on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery.) Pemeriksaan Fisik & Evaluasi Laboratorium Rutin Evaluasi pasien PJK sama dengan pasien hipertensi; bahkan hipertensi dan PJK seringkali terdapat bersamaan pada pasien. Evaluasi laboratorium pasien dengan riwayat yang cocok dengan angina tidak stabil baru-baru ini dan akan menjalani prosedur pembedahan darurat harus meliputi pemeriksaan enzim jantung serum. Kadar troponin spesifik jantung (T atau I), kreatin kinase (isoenzmim MB), dan laktat dehidrogenase (isoenzim tipe 1) pada serum berguna untuk menyingkirkan adanya infark miokard. Kadar digoksin serum dan kadar antiaritmia lainnya juga berguna untuk menyingkirkan adanya toksisitas obat. EKG dasar normal pada 25–50% pasien PJK tanpa riwayat infark miokard. Segmen ST yang mendatar berhubungan dengan PJK; segmen ST normal akan melandai dari kompleks QRS menuju gelombang T. Bukti elektrokardiografi adanya iskemia seringkali menjadi jelas hanya

77 saat terjadi nyeri dada. Abnormalitas dasar yang paling sering adalah segmen ST non spesifik dan perubahan gelombang T. Sebelum infark, sering terjadi manifestasi gelombang Q atau hilangnya gelombang R pada sadapan yang terdekat dengan lokasi infark. Blok AV derajat pertama, blok konduksi, atau hemiblok mungkin terjadi. Elevasi segmen ST yang persisten setelah IM seringkali indikatif adanya aneurisma ventrikel kiri. Interval QT yang panjang (QTc > 0,44 detik) mungkin mencerminkan adanya iskemia yang mendasari, toksisitas obat (umumnya obat antiaritmia kelas 1, antidepresan, atau fenotiazin), kelainan elektrolit (hipokalemia atau hipomagnesemia), disfungsi otonom, prolaps katup mitral, atau, yang lebih jarang, kelainan kongenital. Pasien dengan interval QT memanjang berisiko mengalami aritmia ventrikular – terutama takikardia ventrikel polimorfik (torsade de pointes), yang dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel. Interval QT memanjang mencerminkan pemanjangan repolarisasi ventrikel yang tidak serentak dan predisposisi terhadap fenomena re-entry (lihat Bab 19). Pembedahan elektif harus ditunda sampai toksisitas obat dan ketidakseimbangan elektrolit telah disingkirkan. Sebaliknya, pada aritmia ventrikel polimorfik dengan interval QT normal, yang berespons terhadap obat antiaritmia konvensional (lihat Bab 19 dan 47) umumnya akan berespons baik dengan alat pacu jantung atau magnesium. Pasien dengan pemanjangan QT kongenital umumnya merespons penghambat  dengan baik. Blok ganglion stelata kiri (lihat Bab 18) juga efektif dan menunjukkan bahwa ketidakseimbangan otonom berperan penting pada kelompok pasien ini. Radiografi dada berguna untuk pemeriksaan penyaring untuk menyingkirkan adanya kardiomegali atau kongesti vaskular pulmonal sekunder akibat disfungsi ventrikel. Yang lebih jarang, dapat terjadi kalsifikasi koroner, aorta atau katup aorta. Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan penyaring untuk populasi umum, kemampuan prediksi pemeriksaan uji latih noninvasif pada pasien normal adalah rendah tetapi cukup dapat dipercaya pada pasien tersangka jantung koroner (teorema Bayes). Interpretasi pra-operasiprabedah akan hasil pemeriksaan ini sangat penting, terutama pada pasien tersangka PJK. Pemantauan Holter, elektrokardiografi latihan, sken perfusi miokard, dan ekokardiografi penting dilakukan untuk menentukan risiko peri-operatif dan perlunya angiografi koroner. Tetapi pemeriksaan ini hanya diindikasikan jika hasilnya akan mempengaruhi perawatan pasien. A. PEMANTAUAN HOLTER

78

Pemantauan elektrokardiografi ambulasi secara berkesinambungan (Holter) sangat berguna dalam evaluasi aritmia, terapi obat antiaritmia, dan keparahan serta frekuensi episode iskemik. Episode iskemia asimtomatik sering ditemukan pada pasien PJK. Terlebih lagi, terjadinya episode iskemia yang sering terjadi saat pemantauan Holter berhubungan dengan iskemia intra-operasiintrabedah dan pascabedah-operasi. Pemantauan Holter merupakan pemeriksaan penyaring yang baik karena memiliki nilai prediksi negatif yang baik untuk komplikasi jantung pasca-operasipascabedah. B. ELEKTROKARDIOGRAFI LATIHAN Kegunaan pemeriksaan ini terbatas pada pasien dengan kelainan dasar segmen ST dan pasien yang tidak mampu meningkatkan denyut jantungnya (> 85% prediksi maksimal) yang disebabkan kelelahanfatig, dispnea, atau terapi obat. Secara keseluruhan, sensitivitas adalah 65% dan spesifisitas 90%. Pemeriksaan ini paling sensitif (85%) pada pasien PJK pada tiga pembuluh atau cabang utama kiri. Penyakit yang terbatas pada arteri sirkumfleksa kiri juga mungkin tidak ditemukan karena iskemia yang distribusinya tidak terbukti pada EKG standar. Pemeriksaan yang normal tidak berarti tidak ada PJK, tetapi berarti penyakit yang ada belum berat. Derajat depresi segmen ST, keparahan dan konfigurasi, onset terjadinya, dan waktu yang diperlukan untuk resolusi adalah penemuan yang penting. Respons iskemia miokard pada latihan ringan berhubungan dengan peningkatan risiko komplikasi peri-operatif dan kejadian jantung jangka panjang. Penemuan lain yang signifikan meliputi perubahan tekanan darah dan munculnya aritmia. Ektopik ventrikel terinduksi latihan sering mengindikasikan PJK yang berat yang disertai disfungsi ventrikel. Iskemia mungkin menyebabkan instabilitas listrik sel-sel miokard. Faktorfaktor yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah multipel dapat dilihat pada Tabel 2011. C. SKEN PERFUSI MIOKARD Pencitraan perfusi miokardium dengan thalium-201 atau tekhnetium-99m digunakan untuk evaluasi pasien yang tidak dapat melakukan latihan fisik (misalnya, karena penyakit vaskular perifer) atau dengan kelainan EKG tanpa perlunya latihan fisik (misal, LBBB). Jika pasien tidak dapat melakukan latihan, maka pencitraan didapatkan sebelum dan setelah injeksi dilator koroner intravena, misalnya, dipiradamol atau adenosin, untuk mendapatkan respons hiperemis yang sama dengan respons latihan. Pemeriksaan perfusi miokard atau injeksi dipiridamol atau adenosin

79 memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitasnya untuk deteksi PJK adalah sedang. Pemeriksaan ini paling baik untuk mendeteksi penyakit dua atau tiga pembuluh. Pencitraan dapat menentukan lokasi dan jumlah area iskemia atau jaringan parut dan membedakannya. Defek prefusi yang terisi saat fase redistribusi mencerminkan iskemia, bukan infark terdahulu. Nilai prediksi negatif perfusi normal adalah 99%. Tabel 20-11. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah multipel saat elektrokardiografi latihan. Depresi ST secara horizontal lebih dari 2 mm atau depresi ST yang melandai Onset depresi ST awal dengan beban yang ringan Depresi ST persisten setelah latihan selama 5 menit atau lebih Kegagalan mencapai denyut jantung maksimum lebih dari 70% prediksi. Disritmia ventrikel yang sering atau kompleks pada denyut jantung lambat D. EKOKARDIOGRAFI Teknik ini menyediakan informasi mengenai fungsi ventrikel regional dan global, dapat dapat dilakukan saat pasien istirahat, setelah latihan, atau saat pemberian dobutamin. Kelainan gerakan dinding regional dan fraksi ejeksi ventrikel kiri berhubungan dengan hasil angiografi. Terlebih lagi, ekokardiografi dengan stress dobutamin tampaknya merupakan prediktor yang baik untuk komplikasi jantung pada pasien yang tidak dapat melakukan latihan. Kelainan gerakan dinding jantung yang baru atau memburuk setelah infus dobutamin merupakan indikasi adanya iskemia yang signifikan. Pasien dengan fraksi ejeksi kurang dari 50% cenderung memiliki penyakit yang lebih berat dan peningkatan morbiditas peri-operatifperioperatif. Akan tetapi, pemeriksaan ekokardiografi dengan stressstres dobutamin mungkin tidak dapat dipercaya pada kasus LBBB karena pada beberapa pasien dapat terjadi kelainan gerakan septum bahkan jika tidak adaPJK anterior desendens kiri. E. ANGIOGRAFI KORONER. Angiografi koroner tetap merupakan baku emas evaluasi PJK dan angka komplikasinya rendah (< 1%). Meskipun begitu, angiografi koroner harus dilakukan hanya untuk menentukan apakah pasien akan membaik dengan angioplasti koroner perkutan atau harus dilakukan operasi bypass arteri koroner sebelum dilakukan operasi nonjantung. Lokasi dan beratnya oklusi dapat ditentukan, dan vasospasme koroner juga dapat diobservasi saat angiografi. Dalam evaluasi lesi

80 stenosis yang tetap, oklusi yang dianggap signifikan adalah oklusi lebih dari 50–75% . Perkiraan persentase oklusi dapat menyesatkan (terutama jika nilainya 40–80%) karena perbedaan penilai dan asumsi umum bahwa oklusi konsentrik, padahal oklusi dapat terjadi eksentrik. Beratnya penyakit seringkali dinyatakan menurut jumlah pembuluh koroner utama yang terkena (satu- , dua-, atau tiga pembuluh). Stenosis yang signfikan pada cabang utama kiri arteri koroner sangat penting karena akan mempengaruhi hampir seluruh ventrikel kri. Terlebih lagi, oklusi 50–75% pada arteri utama kiri dapat menimbulkan kelainan hemodinamik signifikan. Ventrikulografi dan pengukuran tekanan intrakardiak juga dapat memberikan informasi yang penting. Pengukuran yang terpenting adalah fraksi ejeksi. Indikator disfungsi ventrikel yang signifikan adalah fraksi ejeksi kurang dari 0,5%, tekanan ventrikel akhir diastolik lebih dari 18 mmHg setelah injeksi kontrasi, indeks jantung kurang dari 2,2 l/menit/m2, dan kelainan gerakan dinding yang jelas atau multipel. Premedikasi Menghilangkan kecemasan dan nyeri pra-operasiprabedah merupakan target yang diinginkan pada pasien PJK. Premedikasi yang memuaskan akan mencegah aktivasi simpatis, yang dapat mempengaruhi keseimbangan pasokan – kebutuhan oksigen miokard. Akan tetapi, medikasi yang berlebihan juga merusak dan harus dihindari karena dapat menyebabkan hipoksemia, asidosis respiratorik, dan hipotensi. Benzodiazepin, tunggal ataupun kombinasi dengan opioid, paling sering digunakan (lihat Bab 8). Hasil yang memuaskan dicapai dengan kombinasi morfin, 0,1– 0,15 mg/kg dan skopolamin, 0,2–0,4 mg intramuskuler. Pemberian oksigen via kanul nasal secara bersamaan membantu mencegah hipoksemia setelah pemberian premedikasi. Pasien dengan gangguan fungsi ventrikel dan disertai penyakit paru dosisnya harus dikurangi. Medikasi praoperasiprabedah harus dilanjutkan sampai waktu oeprasi. Premedikasi dapat diberikan secara oral dengan seteguk air, intramuskulerintramuskular, intravena, sublingual atau transdermal. Penghentian obat antiangina yang mendadak peri-operatifperioperatif, terutama obat penghambat ,

dapat mencetuskan episode iskemia mendadak (efek

rebound). Terlebih lagi,

penghambatanblok adrenergik  profilaksis ternyata dapat menurunkan insidensiinsidens iskemia intra-operasiintrabedah dan pasca-operasi pascabedah, dan tampaknya lebih baik dibandingkan profilaksis dengan penghambat kanal kaalsium saja. Banyak klinisi memberikan nitrat intravena atau transdermal untuk profilaksis pada pasien PJK pada periode peri-operatifperioperatif. Walaupun praktik ini secara teori menguntungkan, tetapi efikasinya pada pasien yang sebelumnya

81 tidak mendapat terapi nitrat dan tanpa ada tanda-tanda iskemia yang sedang terjadi masih belum dipastikan. Absorbsi nitrogliserin transdermal pada periode peri-operatifperioperatif tidak dapat dipastikan, sedangkan pemberian intravena dapat menurunkan beban awal jantung secara signifikan, yang dapat menyebabkan hipotensi jika tidak dikompensasi cairan intravena. TATA LAKSANA INTRA-OPERASIINTRABEDAH Periode intra-operasiintrabedah umumnya berhubungan dengan faktor-faktor dan kejadian yang dapat mempegaruhi hubungan pasokan – kebutuhan oksigen miokard. Aktivasi sistem simpatis berperan penting. Hipertensi dan peningkatan kontraktilitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, sedangkan takikardia akan meningkatkan kebutuhan dan mengurangi pasokan (lihat Bab 19). Walaupun iskemia miokard umumnya disertai takikardia, tetapi dapat terjadi tanpa perubahan hemodinamik yang jelas. Tujuan Prioritas utama dalam tata laksana pasien penyakit jantung iskemik adalah mempertahankan pasokan – kebutuhan oksigen miokard yang baik. Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah yang dimediasi sistem otonom harus dikontrol dengan anestesia dalam atau blok adrenergik, dan harus dicegah reduksi tekanan perfusi koroner (lihat Bab 19) atau reduksi oksigen arterial. Walaupun batas yang pasti tidak dapat diprediksi, tetapi tekanan arterial diastolik secara umum harus dipertahankan sama atau lebih dari 50 mmHg. Tekanan diastolik yang lebih tinggi lebih disukai pada pasien dengan oklusi koroner berat. Peningkatan berlebih tekanan diastolik akhir ventrikel kiri – seperti yang disebabkan kelebihan cairan harus dihindari akarena dapat meningkatkan tegangan dinding ventrikel (beban akhir) dan dapat mengurangi perfusi subendokard (lihat Bab 19). Konsentrasi hemoglobin darah yang adekuat (> 9–10 mg/dL) dan tekanan oksigen arterial (> 60 mmHg) harus dipertahankan. Pemantauan Pada semua pasien dengan PJK berat dan pasien dengan faktor risiko jantung mayor atau multipel disarankan pemantauan tekanan intraarterial (lihat Tabel 20-1)/ Tekanan vena sentral atau tekanan arteri pulmonal juga harus dipantau pada prosedur yang berlangsung lebih lama atau prosedur yang komplikatif yang melibatkan banyak pergeseran cairan atau kehilangan darah (lihat Bab 6).

82 Pemantauan tekanan arteri pulmonal lebih disukai pada pasien dengan disfungsi ventrikel yang signifikan (fraksi ejeksi < 40–50%). Ekokardiografi transesofageal memberikan informasi yang berharga, baik secara kualitatif dan kuantitatif, mengenai kontraktilitas dan ukuran bilik jantung (beban awal). Sangat penting untuk mengetahui bahwa walaupun berbeda dari pengalaman klinis, tetapi baik pemantauan tekanan arteri pulmonal ataupun ekokardiografi transesofageal telah terbukti memperbaiki hasil pada kebanyakan ujipenelitian-penelitian klinis. Deteksi iskemia intra-operasiintrabedah tergantung dari dikenalinya perubahan ekokardiografi, manifestasi hemodinamik, atau abnormalitas gerakan dinding regional pada ekokardiografi transesofageal. Ekokardiografi transesofageal Doppler juga dapat mendeteksi onset regurgitasi mitral yang disebabkan disfungsi otot papilaris yang iskemia. A. ELEKTROKARDIOGRAFI Perubahan iskemia awal tidak terlalu jelas dan sering tidak terdeteksi. Perubahan ini meliputi perubahan morfologi gelombang T, termasuk inversi, bentuk meningkat tajam, atau keduanya (Gambar 20-3). Tanda iskemia yang lebih jelas terlihat dalam bentuk depresi segmen ST yang progresif. Segmen ST yang melandai ke bawah dan depresi horizontal ST lebih spesifik untuk iskemia dibandingkan depresi yang melandai naik. Elevasi segmen ST baru jarang terjadi saat pembedahan nonjantung dan merupakan tanda iskemia berat, vasospasme atau infark. Harus diperhatikan bahwa elevasi ST minor yang terisolasi pada sadapan mid-prekordial (sadapan V3 dan V4) dapat merupakan varian normal pada pasien usia muda. Tanda iskemia juga dapat bermanifestasi

sebagai

aritmia

atrial

atau ventrikular

yang

tidak terjelaskan

intra-

operasiintrabedah atau onset abnormalitas konduksi yang baru terjadi intra-operasiintrabedah. Sensitivitas EKG dalam mendeteksi iskemia berhubungan dengan jumlah sadapan yang digunakan untuk pemantauan. Penelitian menyarankan sadapan V5, V4, II, V2, dan V3 (dalam urutan sensitivitas tertinggi ke terendah) adalah sadapan yang paling berguna. Idealnya, setidaknya pemantauan dilakukan pada dua sadapan secara simultan. Umumnya sadapan II digunakan untuk memantau iskemia dinding inferior dan aritmia dan V5 untuk iskemia dinding anterior. Sadapan esofageal dapat juga berguna pada pasien dengan iskemia dinding posterior. Jika hanya bisa memantau satu sadapan, maka digunakan sadapan V5 modifikasi yang memberikan sensitivitas tertinggi (lihat Bab 6). B. PEMANTAUAN HEMODINAMIK

83

Kelainan hemodinamik tersering yang terjadi saat episode iskemia adalah hipertensi dan takikardia. Hipertensi dan takikardia seringkali merupakan penyebab dari iskemia. Hipotensi terjadi lambat dan merupakan manifestasi dari disfungsi ventrikel yang progresif. Korelasi hemodinamik yang paling sensitif didapat dari pemantauan arteri pulmonal. Iskemia seringkali, walaupun tidak selalu, disertai dengan peningkatan tekanan baji kapiler pulmonal secara mendadak. Peningkatan gelombang v yang prominen (jelas) dan mendadak pada gelombang tekanan baji biasanya merupakan tanda regurgitasi mitral akut dari disfungsi otot papilaris yang iskemia atau dilatasi ventrikel kiri akut. C. EKOKARDIOGRAFI TRANSESOFAGEAL (ETE) ETE dapat sangat berguna dalam mendeteksi disfungsi jantung global dan regional dan juga fungsi katup pada beberapa pasien. Terlebih lagi, deteksi abnormalitas gerakan dinding regional yang baru terjadi merupakan tanda yang cepat dan lebih sensitif untuk deteksi iskemia dibandingkan EKG. Pada Dalam penelitian pada hewan dengan pengurangan dimana aliran darah koroner dikurangi secara bertahap, terjadi abnormalitas gerakan dinding regional sebelum terjadi perubahan EKG. Walaupun kejadian abnormalitas baru intra-operasiintrabedah berhubungan dengan IM pasca-operasi pascabedah pada beberapa penelitian, tetapi tidak semua abnormalitas merupakan tanda iskemia. Baik abnormalitas regional dan global dapat disebabkan karena perubahan denyut jantung, perubahan konduksi, beban awal dan beban akhir, atau perubahan kontraktilitas karena induksi obat. Berkurangnya penebalan dinding sistolik mungkin merupakan indeks yang lebih baik untuk iskemia dibandingkan gerakan dinding jantung saja. Sayangnya, pemeriksaan ETET membutuhkan peralatan yang mahal dan pemeriksa yang terbiasa dengan tekniknya sehingga dapat memutuskan interpretasi intra-operasiintrabedah yang akurat dan cepat. Endokardium

Sel-sel darah merah

Miokardium Epikardium Normal / Iskemia endokard / Iskemia epikard / Cedera endokard / Cedera epikard Normal Iskemia Cedera atau infark

84 Gambar 20-3. Tanda-tanda elektrokardiografi pada iskemia. Pola iskemia dan cedera. (Modifikasi dan reproduksi, dengan ijin, dari Schamroth L: The 12 Lead Electrocardiogram. Blackwell, 1989.) Tata laksana Kardioverter-Defibrilator Internal (ICD, Internal Cardioverter-Defibrillator) Pasien pra-operasiprabedah yang menderita PJK dan yang menggunakan ICD semakin banyak. Pasien umumnya juga menderita kardiomiopati tahap lanjut dan/ atau riwayat takikardia atau fibrilasi ventrikular ventrikel simtomatik atau fibrilasi. ICD, yang dapat berfungsi sebagai alat pacu jantung dan juga defibrilator, dapat menjadi masalah jika dalam pembedahan digunakan elektrokauter. Elektrokauter dapat menyebabkan (1) terpicunya ICD karena alat ini dapat menginterpretasi listrik yang ada sebagai fibrilasi ventrikel, (2) inhibisi fungsi pacu jantung karena artefak kauter, (3) peningkatan kecepatan pacu karena aktivasi sensor yang responsif, dan (4) set penyetelan ulang ke modus back-up atau reset secara temporer atau permanen atau modul reset. Penggunaan kauter bipolaer, penempatan plat grounding jauh dari alat ICD, dan pembatasan penggunaan kauter secara singkat saja akan membantu mengurangi kemungkinan terjadinya masalah-masalah tersebut walaupun tidak menghilangkannya. Alat ICD harus memiliki fungsi defibrilator dengan program mati (off) segera sebelum pembedahan dan diprogram ulang segera sesudahnya. Plat defibrilator eksternal harus diaplipkasikan dan ditempelkan pada mesin eksternal intra-operasiintrabedah. Pemantauan denyut arterial yang ketat dengan oksimeter pulsasi atau gelombang arterial perlu dilakukan untuk memastikan pacu jantung tidak terhambat dan perfusi arterial tetap berlangsung walaupun ada artefak pada EKG pada saat dilakukan kauter bedah. Produsen alat harus dihubungi untuk memastikan metode terbaik tata laksana alat sebelum operasi (misalnya, program ulang atau aplikasi magnet). Banyak model ICD yang digunakan. Akan tetapi, banyak yang tidak memiliki fungsi antitakikardia karena magnet dan sifat alat berbeda-beda tergantung dari modelnya. Pilihan Anestesia A. ANESTESI REGIONAL Walaupun penelitian yang mendokumentasikan kelebihan anestesi regional dibanding anestesi umum masih sedikit, tetapi anestesi regional seringkali merupakan pilihan baik untuk prosedur pada ekstremitas, perineum, dan mungkin, abdomen bagian bawah. Penurunan tekanan darah yang berlebihan setelah anestesi spinal atau epidural harus diterapi secepat mungkin dengan

85 fenilefrin dosis kecil (25–50 μug) atau obat serupa untuk mempertahankan tekanan perfusi koroner jingga cairan intravena yang cukup dapat diberikan. Efedrin dosis kecil ( 5–10 mg) lebih disukai bila terdapat bradikardia. Hipotensi berat biasanya dapat dicegah dengan pemberian cairan terlebih dulu (loading) (lihat Bab 16). Hipotensi yang tidak berespons terhadap fenilefrin atau efedrin dapat diterapi dengan epinefrin (2–10 μug). Pasien dengan gagal jantung kongestif terkompensasi biasanya dapat mentoleransimenoleransi simpatektomi dengan baik dan tidak membutuhkan loading cairan pra-operasiprabedah. Anestesi yang inkomplit atau terputus-putus atau sedasi berlebihan saat anestesi regional merupakan kelemahan dari anestesi jenis ini, dan dapat membuat stressstres yang tidak perlu pada pasien, dan serta dapat memperburuk iskemia miokard. Konversi anestesi regional menjadi anestesi umum dapat dilakukan bila terjadi keadaan seperti di atas dan akandapat memperbaiki keadaan hipertensi, takikardia, hipoksia ataupun hiperkapnia yang terjadi akibat anestesi yang tidak baik. B. ANESTESIA UMUM 1.Induksi – prinsip umum yangadalah sama seperti untuk pasien hipertensi juga diterapkan pada pasien penyakit jantung iskemik. Banyak pasien PJK juga disertai hipertensi. Pada pasien dengan PJK sedang hingga berat (tiga pembuluh darah, cabang utama kiri, atau fraksi ejeksi < 40%) diperlukan beberapa modifikasi dalam teknik induksi. Induksi harus memberi efek hemodinamik seminimal mungkin, dan menyebabkan hilangnya kesadaran yang baik, dan anestesi yang cukup dalam untuk mencegah terjadinya respons vasopresor saat intubasi (jika diperlukan intubasi); akan tetapi, pada banyak kasus, hipertensi ringan hingga sedang ditoleransi paling baik ditolerir dibandingkan hipotensi. Apapun obat yang digunakan, tujuantujuan ini paling konsisten dicapai dengan teknik terkontrol lambat. Induksi dengan peningkatan dosis kecil secara bertahap biasanya dapat menghindari penurunan tekanan darah berlebihan yang terjadi pada bolus besar. Titrasi obat induksi – pertama untuk penurunan kesadaran dan kemudian untuk penurunan tekanan darah yang masih dapat diterima – memungkinkan respons individual yang bervariasi. Terlebih lagi, anestesi harus cukup dalam untuk intubasi endotrakeal dapat dicapai dengan depresi kardiovaskular dibandingkan dengan teknik bolus. Pemberian pelemas otot (segera setelah refleks kelopak mata menghilang) dan ventilasi terkontrol memastikan oksigensi yang adekuat selama induksi. Hiperkarbia sering disertai hipertensi. Intubasi endotrakeal dilakukan begitu anestesi yang cukup dalam tercapai dan tekanan darah

86 arterial telah mencapai batas terendah yang dapat diterima. Tekanan darah, denyut jantung, dan EKG harus dinilai berulang kali pada setiap tahap induksi. 2. Obat-obat pilihan a. Obat induksi – pemilihan obat yang spesifik tidaklah penting bagi sebagian besar kasus. Propofol, barbiturat, etomidat, benzodiazepin, opioid, dan berbagai kombinasi obat seringkali digunakan. Ketamin sendiri merupakan kontraindikasi relatif karena efek simpatomimetik tak langsung yang dapat berpengaruh buruk terhadap keseimbangan pasokan – kebutuhan oksigen miokard. Tetapi, jika ketamin dikombinasi dengan benzodiazepin atau propofol, ketamin tidak menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis yang bermakna, dan umumnya keadaan hemodinamik relatif stabil dengan depresi jantung yang minimal. Kombinasi benzodiazepin dan ketamin mungkin paling berguna pada pasien dengan fungsi ventrikel buruk (fraksi ejeksi < 30%). Anestesia dengan opioid dosis tinggi sebelumnya banyak digunakan pada pasien dengan disfungsi ventrikel yang signifikan. Kecuali meperidin (dosis tinggi), opioid saja umumnya tidak menyebabkan depresi jantung atau hanya sedikit depresi jantung. Kombinasi opioid dengan obatobatan intravena lainnya (terutama golongan benzodiazepin), seringkali menyebabkan depresi jantung yang signifikan dan depresi ini tergantung besar dosis.Depresi jantung yang jelas dapat juga terjadi pada induksi dengan opioid murni dosis tinggi (lihat Bab

21); hal ini

menggambarkan berhentinya terhentinya tonus simpatis dasar yang tinggi. Pasien dengan fungsi ventrikel

buruk

seringkali

harus

mengandalkan

tonus

simpatis

yang

tinggi

untuk

mempertahankan curah jantungnya (lihat Bab 19) dan dapat mengalami dekompensasi dengan anestesia opioid dosis tinggi, Terlebih lagi, penggunaan opioid sebagai obat tunggal bukan merupakan anestesi yang lengkap karena insidensiinsidens kesadaran intra-operasiintrabedah dan hipertensi yang cukup tinggi (lihat Bab 21); depresi pernapasan memanjang setelah teknik induksi opioid juga tidak cocok untuk sebagian besar operasi nonjantung. Banyak klinisi selalu menggunakan dosis kecil obat intravena atau anestesi volatil sebagai tambahan anestesi opioid primer. Kontrol respons adrenergik pada intubasi endotrakeal telah didiskusikan pada bagian hipertensi. b. Obat untuk mempertahankan anestesi (maintenance) – pasien umumnya ditata laksana dengan teknik anestesi opioid – volatil. Pasien dengan fraksi ejeksi kurang dari 40% mungkin sangat

87 sensitif terhadap efek depresan obat volatil atau bolus opioid dosis tinggi. Nitrat oksida, terutama jika disertai opioid, dapat juga menimbulkan depresi jantung yang signifikan. Efek obat volatil yang poten terhadap sirkulasi koroner didiskusikan pada Bab 19. Semua obat volatil secara umum memiliki efek yang baik terhadap keseimbangan oksigen miokard, mengurangi kebutuhan sehingga kurang dari pasokan. Isofluran akan mendilatasi arteri intramiokard daripada pembuluh epikard yang lebih besar tetapi pada praktiek klinis hanya sedikit bukti yang menunjukkan isofluran dapat menyebabkan fenomena ‘pencuri koroner’. Deteksi iskemia intra-operasiintrabedah harus segera diikuti pencarian faktor presipitasi dan dimulainya intervensi. Poksigenasi Oksigenasi dan hematokrit (atau hemoglobin) harus diperiksa dan kelainan hemodinamik (hipotensi, hipertensi, atau takikardia) harus dikoreksi. Hematokrit kurang dari 28% berhubungan dengan iskemia peri-operatifperioperatif dan komplikasi pascaoperasibedah, terutama pada pasien yang menjalani pembedahan vaskular. Kegagalan identifikasi penyebab iskemia atau memperbaiki manifestasi iskemia menunjukkan bahwa harus diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin yang optimal membutuhkan insersi jalur arterial dan, pada beberapa pasien (pasien dengan gangguan ventrikel sedang hingga berat), diperlukan kateter arteri pulmonal. Pasta nitrogliserin dapat juga digunakan jika nitrogliserin intravena tidak adapat digunakan, tetapi pasta nitrogliserin memiliki onset lambat dan absorpsi yang bervariasi. c. Relaksan otot – kurangnya efek samping sirkulasi yang signifikan membuat rokuronium, vekuronium, pipekuronium dan doksakurium sebagai relaksan otot yang baik pada pasien penyakit jantung iskemik. Bradikardia berat telah dilaporkan terjadi pada pemberian vekuronium (dan atrakurium) walaupun jarang, tetapi hampir pada setiap saat terjadi pada pemberian yang disertai opioid sintetis. Jika digunakan secara benar, relaksan otot lainnya (lihat Bab 9) dapat juga diberikan dengan aman pada pasien PJK. Terlebih lagi, efek samping sirkulasi juga dapat digunakan untuk menyeimbangkan efek samping obat anestesi lainnya – misalnya, sifat vagolitik pankuronium dapat melawan efek vagotonik dari opioid poten (lihat Bab 8). Atrakurium pada dosis kurang dari 0,4 mg/kg dan mivakurium, dosis mencapai 0,15 mg/kg, diberikan perlahan, umumnya efek hemodinamik minimal. Efek sirkulasi suksinilkolin terutama disebabkan karena stimulasi ganglia otonom dan reseptor muskarinik jantung dan dapat menyebabkan berbagai efek terhadap denyut jantung dan tekanan darah (lihat Bab 9). Efek keseluruhannya dipengaruhi oleh tonus simpatis dan parasimpatis yang telah ada sebelumnya, dan blok hambatan adrenergik . Bradikardia dapat juga terjadi setelah pemberian suksinilkolin pada pasien yang mendapat obat pemblokade penghambat .

88 Hilangnya paralisis otot dengan obat standar biasanya tidak memilikiada efek buruk pada pasien PJK. Penggunaan glikopirolat sebagai pengganti atropin dapat mengurangi kecenderungan takikardia transien (lihat Bab 10). TATA LAKSANA PASCA-OPERASIPASCABEDAH StressStres miokard dapat tetap berlangsung pada saat pemulihan anestesia dan awal periode pasca-operasipascabedah. Pasien harus tetap menerima tambahan oksigen sampai oksigenasi adekuat tercapai. Kondisi mMenggigil biasanya membaik setelah pemberian meperidin intravena 20–30 mg; terapi lain adalah klonidin, 75 μug, atau butorfanol, 1–2 mg intravena. Hipotermia harus dikoreksi dengan penggunaan penghangat udarahforced-air surface. Nyeri pasca-operasi pascabedah harus dikontrol dengan analgesia atau teknik anestesi regional (lihat Bab 18). Jika terdapat kecurigaan kelebihan cairan atau pasien dengan riwayat fungsi ventrikel buruk, maka pemeriksaan radiografi dada dapat berguna. Kongesti paru dapat diterapi dengan cepat dengan furosemid 20–40 mg intravena, atau terapi vasodilator intravena (biasanya nitrogliserin). Risiko terbesar pada pasien pasca-operasi pascabedah adalah iskemia yang tidak terdeteksi. Walaupun mayoritas IM gelombang Q peri-operatifperioperatif terjadi dalam tiga hari pertama setelah operasi (biasanya setelah 24 - 48 jam), tetapi sejumlah infark non-Q yang signifikan dapat terjadi dalam 24 jam pertama. Karena kurang dari 50% pasien mengalami nyeri dada, maka pemeriksaan EKG 12 sadapan pasca-operasi pascabedahsecara rutin perlu dilakukan untuk deteksi kejadian iskemia. Umumnya tanda yang sering terjadi adalah hipotensi yang sulit dijelaskan. Tanda-tanda lain meliputi gagal jantung kongestif dan perubahan status mental. Hampir semua pasien yang mengalami komplikasi ini berusia lebih dari 50 tahun. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan elektrokardiografi dan enzim jantung, atau, yang lebih jarang, studi radionuklida. Ekokardiografi transesofageal atau transtorakal dapat juga berguna. KELAINAN KATUP JANTUNG 1. PemeriksaanEvaluasi umum Umum Ppasien Di manapun letak lesi katup atau apapun penyebabnya, evaluasi pra-operasiprabedah yang pertama kali harus dilakukan adalah menentukan berat lesi dan pengaruh hemodinamiknya,

89 fungsi ventrikel yang tersisa, dan adanya efek sekunder pada fungsi paru-paru, ginjal dan hepar. PJK yang terjadi bersamaan tidak boleh dilewatkan, terutama pada pasien usia tua dan pasien yang memiliki faktor risiko (lihat pembahasan sebelumnya). Iskemia miokard dapat juga terjadi walaupun tidak ada oklusi koroner yang signfikan pada pasien dengan stenosis atau regurgitasi aorta berat. Tabel 20-12. Klasifikasi fungsional penyakit jantung, modifikasi dari klasifikasi

fungsional jantung New York Heart Association. Kelas I II III IV

Keterangan Asimtomatik kecuali saat aktivitas fisik berat Simtomatik pada aktivitas sedang Simtomatik pada aktivitas ringan (minimal) Simtomatik pada saat istirahat

Anamnesis Anamnesis pra-aneastesia harus terfokus pada gejala yang berhubungan d engan fungsi ventrikel dan juga berhubungan dengan data-data laboratorium. Pertanyaan harus meliputi toleransi latihan, rasa mudah lelah, dan sesak napas secara umum (dispnea), sesak jika berbaring terlentang (ortopnea), atau sesak pada malam hari (dispnea nokturnal paroksismal). Klasifikasi fungsional penyakit jantung menurut New York Heart Association (Tabel 20-12) berguna dalam membantu penentuan keparahan klinis gagal jantung, perbandingan pasien, dan memperkirakan prognosis.

KELAINAN KATUP JANTUNG 2. Evaluasi umum pasien Dimanapun letak lesi katup atau apapun penyebabnya, evaluasi pre-operatif yang pertama kali harus dilakukan adalah menetukan berat lesi dan pengaruh hemodinamiknya, fungsi ventrikel yang tersisa, dan adanya efek sekunder pada fungsi paru-paru, ginjal dan hepar. PJK yang terjadi bersamaan tidak boleh dilewatkan, terutama pada pasien usia tua dan pasien yang memiliki faktor risiko (lihat pembahasan sebelumnya). Iskemia miokard dapat juga terjadi walaupun tidak ada oklusi koroner yang signfikan pada pasien dengan stenosis atau regurgitasi aorta berat.

90 Tabel 20-12. Klasifikasi fungsional penyakit jantung, modifikasi dari klasifikasi

fungsional jantung New York Heart Association. Kelas I II III IV

Keterangan Asimtomatik kecuali saat aktivitas fisik berat Simtomatik pada aktivitas sedang Simtomatik pada aktivitas ringan (minimal) Simtomatik pada saat istirahat

Anamnesis Anamnesis pra-anastesia harus terfokus pada gejala yang berhubungand engan fungsi ventrikel dan juga berhubungan dengan data-data laboratorium. Pertanyaan harus meliputi toleransi latihan, mudah lelah, dan edema tungkai, sesak napas secara umum (dispnea), sesak jika berbaring terlentang (ortopnea), atau sesak pada malam hari (dispnea nokturnal paroksismal). Klasifikasi fungsional penyakit jantung menurut New York Heart Association (Tabel 20-12) berguna dalam membantu penetuan keparahan klinis gagal jantung, perbandingan pasien, dan memperkirakan prognosis. Gejala nyeri dada dan neurologis harus pula ditanyakan. Beberapa lesi katup berhubungan dengan fenomena tromboemboli. Prosedur operasi sebelumnya seperti valvotomi atau penggantian katup dan efeknya juga harus pula ditanyakan. Tinjauan terhadap oObat-obatan yang digunakan harus dapat mengevdinilai ulang dan dievaluasi efikasi danuntuk menyingkirkan efek samping yang serius. Obat yang sering digunakan adalah digoksin, diuretik, vasodilator, penghambat ACE, antiaritmia, dan antikoagulan. Umumnya digoksin paling efektif mengontrol kecepatan ventnrikel pada fibrilasi atrium. Kecepatan ventrikel harus kurang dari 80–90 denyut/ menit pada saat istirahat dan tidak boleh melebihi 120 kali/ menit saat latihan fisik/ dalam tekanan (stressstres). Tanda-tanda toksisitas digoksin yang utama adalah tanda pada jantung (aritmia), gastrointestinal (mual atau muntah), neurologis (bingung, perubahan kesadaran(), atau visual (perubahan persepsi warna atau skotoma). Aritmia yang disebabkan digoksin disebabkan karena kombinasi peningkatan otomatisasi dan penurunan konduksi pada sel-sel khusus di atrium, ventrikel, nodus AV dan SA. Terapi vasodilator preoperatifprabedah juga dapat digunakan untuk mengurangi preload, afterload, atau keduanya. Vasodilatasi yang berlebihan dapat memperburuk toleransi latihan dan hipotensi postural seringkali merupakan manifestasi awal. Pemeriksaan Fisik

91

Tanda-tanda terpenting adalah tanda gagal jantung kongestif. Gagal jantung kiri (gallop S3 atau bising pulmonal) dan juga gagal jantung kanan (distensi vena jugularis, refluks hepatojugularis, hepatosplenomegali,

atau

edema

tungkai)

dapat

juga

terjadi.

Penemuan

auskultasi

mengkonfirmasi disfungsi katup (Tabel 20-13), tetapi pemeriksaan ekokardiografi lebih dapat dipercaya. Defisit neurologis, yang biasanya sekunder akibat fenomena emboli, harus pula diperhatikan. Evaluasi Laboratorium Selain pemeriksaan laboratorium yang telah dibahas untuk pasien hipertensi dan PJK, pada kasus kelainan katup, pemeriksaan fungsi hati (lihat Bab 34) juga berguna menilai disfungsi hati yang disebabkan kongesti hepar pasif pada pasien gagal jantung kanan berat atau kronis. Analisa gas darah arteri harus dilakukan pada pasien dengan gejala-gejala pulmonal yang signifikan. Penghentian antikoagulan harus dituliskan dicatat dan disertai pemeriksaan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial sebelum pembedahan. Penemuan elektrokardiografi umumnya tidak spesifik. Pemeriksaan ini meliputi perubahan gelombang T atau segmen ST, aritmia, kelainan konduksi, atau deviasi aksis QRS yang menggambarkan hipertrofi ventrikel. Interval P-R memanjang juga mungkin merupakan tanda toksisitas digoksin. Aritmia yang disebabkan toksisitas digoksin dapat berupa (dalam urutan semakin jarang) denyut ventrikel ektopik, takikardia atrial paroksismal dengan AV blok 2:1, AV blok saja, bradikardia sinus yang jelas, ritme atrial bawah atau jungsional AV, dan disosiasi AV. Radiografi dada juga berharga untuk menilai ukuran jantung dan kongesti paru. Pembesaran ruang jantung yang spesfik dapat terlihat dari pemeriksaan (Gambar 20-4). Tabel 20-13. Efek manuver diagnostik terhadap murmur jantung.1 Manuver Inspirasi Valsava Berdiri Berjongkok Jongkok

atau

mencengkeram

Murmur Sistolik SP RT KMH ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ↓

PKM RM ↑ ↑ ↓

DSV

SA ↓

↓ ↑





Murmur Diastolik RP ST RA ↑ ↑ ↑ ↑

SM ↓

92 tangan Elevasi



tungkai Oklusi





arteri

sementara Inhalasi amil ↑







↑ ↑







↑ ↑











nitrat 1 , meningkat; , berkurang; SP, stenosis pulmonal; RT, regurgitasi trikusipid; KMH, Kkardiomiopati hipertrofihipertrofik; PKM, Prolaps prolaps katup mitral; RM, Regurgitasi regurgitasi mitral; DSV, defek septum ventrikel; SA, stenosis aorta; RP, regurgitasi pulmonal; ST, stenosis trikuspid; RA, regurgitasi aorta; SM stenosis mitral Vena brakiosefalika kanan

Vena brakiosefalika kiri

Vena kava superior

Aorta

Arterio pulmonal kanan

Arteri pulmonal kiri

Vena pulmonal kanan

Trunkus pulmonal

Atrium kanan

Cincin katup pulmonal

Cincin katup trikuspid

Atrium aksesorius kiri

Ventrikel kanan

Cincin katup aorta

Vena kava inferior

Cincin katup mitral Ventrikel kiri

Diafragma Gambar 20-4. Lokalisasi radiologis struktur dan ruang-ruang jantung pada radiografi dada bagian depan. Pemeriksaan khusus Ekokardiografi, angiografi radionuklida, dan kateterisasi jantung memberikan informasi diagnostik dan prognostik yang penting mengenai lesi katupt. Seringkali, ditemukan lebih dari satu kerusakan katup. Pada banyak kasus, pemeriksaan noninvasif menegaskan perlunya kateterisasi jantung. Informasi dari pemeriksaan ini sebaiknya dinilai oleh kardiolog. Pertanyaanpertanyaan berikut harus dijawab: 

Kelainan katup manakah yang paling penting untuk keadaan hemodinamik?



- Seberapa berat lesi katup tersebut?



Berapa derajat gangguan ventrikel yang ada?



Apakah kelainan yang lain memberikan signifikansi hemodinamik?

93 

Adakah bukti-bukti PJK?

3. Premedikasi Premedikasi dengan obat-obatan umum dengan dosis standar (lihat Bab 8) lebih disukai dan ditoleransi dengan baik pada pasien dengan fungsi ventrikel normal atau hampir normal. Di sisi lain, pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk cenderung sangat sensitif terhadap sebagian besar obat, dan dosis premedikasi harus dikurangi sesuai proporsi berat gangguan ventrikel. Pada hari operasi, umumnya pasien tetap harus menerima pengobatan rutinnya pada pagi hari. Oksigen tambahan mungkin diperlukan pada pasien dengan hipertensi pulmonal atau pasien dengan penyakit paru-paru. Tabel 20-14. Kondisi jantung yang disertai endokarditis.1 Kategori risiko tinggi Katup jantung buatan, termasuk katup bioprostese dan homograft. Riwayat endokarditis bakterialis sebelumnya Penyakit jantung sianotik kongenital kompleks (misal, ventrikel tunggal, transposisi arteri-arteri besar, tetralogi Fallot) Keadaan yang menyebabkan pintas sistemik pulmonal baik karena pembedahan atau keadaan lain Kategori risiko sedang Malformasi jantung kongenital lainnya (selain daripada kelainan kongenital di kelompok risiko tinggi atau risiko ringan) Disfungsi katup didapat (misal, penyakit jantung reumatik) Kardiomiopati hipertrofik Prolaps katup mitral dengan regurgitasi katup dan/ atau penebalan katup Faktor risiko ringan (risiko tidak lebih besar daripada populasi umum) Defek septum atrium sekundum terisolasi Defek septum atrium, defek septum ventrikel, atau duktus arteriosus paten yang telah diperbaiki secara pembedahan (tanpa residu di atas 6 bulan) Riwayat pembedahan bypass graft arteri koroner Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi katup Murmur jantung fisiologis, fungsional atau murni Riwayat penyakit Kawasaki sebelumnya tanpa disfungsi katup Riwayat demam reumatik tanpa disfungsi katup Pacu jantung jantung (epikardial intravaskular) dan implan defibrilator

94

1

Adaptasi dari pedoman AHA.

Antibiotik Profilaksis Risiko endokarditis bervariasi tergantung dari kelainan (Tabel 20-14). Risiko endokarditis infektif pada pasien dengan kelainan katup jantung setelah peristiwa yang dapat mengintroduksi bakteri – meliputi

operasi

gigi,

orofaringeal

atau

nasofaringeal,

genitourinariusgenitourinaria, atau setiap insisi dan drainase

gastrointestinal,

atau

- telah diketahui. Profilaksis

umumnya harus mengikuti pedoman umum yang direkomendasikan American Heart Association (Tabel 20-15). Tabel 20-15. Regimen Profilaksis profilaksis untuk berbagai prosedur.1

Untuk prosedur pembedahan gigi, oral, traktus respiratorius, atau esofagus 2 I.

Profilaksis umum standar untuk pasien berisiko:

Amoksisilin: dewasa, 2 g (anak, 50 mg/ kg) diberikan per oral 1 jam sebelum prosedur operasi II.

Tidak dapat mengkonsumsi obat oral:

Ampisilin: dewasa, 2 g (anak, 50 mg/kg) diberikan IM atau IV 30 menit sebelum prosedur operasi III.

Alergi amoksisilin/ ampisilin/ penisilin

Klindamisin: dewasa, 600 mg (anak, 20 mg/kg) diberikan per oral 1 jam sebelum prosedur operasi, atau Sefaleksin3 atau Sefadroksil3: dewasa, 2 g (anak, 50 mg/kg) diberikan per oral 1 jam sebelum prosedur operasi atau Azitromisin atau Klaritromisin: dewasa, 500 mg (anak, 15 mg/kg) per oral 1 jam sebelum prosedur operasi IV.

Alergi amoksisilin/ ampisilin/ penisilin dan tidak dapat mengkonsumsi obat oral

Klindamisin: dewasa, 600 mg (anak, 20 mg/kg) IV 30 menit sebelum prosedur atau Sefazolin3; dewasa, 1 g (anak, 25 mg/kg) IM atau IV 30 menit sebelum prosedur Untuk prosedur operasi genitourinariusgenitourinaria/ gastrointestinal: I.

Pasien risiko tinggi:

Ampisilin dan gentamisin: ampisilin (dewasa, 2 g; anak, 50 mg/kg) dan gentamisin 1,5 mg/kg (untuk dewasa dan anak, tidak lebih dari 120 mg) IM atau IV dalam 30 menit sebelum prosedur operasi dimulai; 6 jam kemudian, ampisilin (dewasa, 1 g, anak, 25 mg/kg) IM atau

95 IV, atau amoksisilin (dewasa, 1 g; anak 25 mg/kg) per oral II.

Pasien risiko tinggi alergi ampisilin/ amoksisilin:

Vankomisin dan gentamisin: vankomisin (dewasa, 1 g; anakm 20 mg/kg) IV selama 1–2 jam dan gentamisin 1,5 mg/kg (untuk dewasa dan anak, tidak lebih dari 120 mg) IM atau IV; injeksi total/ infus dalam 30 menit sebelum prosedur operasi dimulai III.

Pasien risiko sedang

Amoksisilin: dewasa, 2 g (anak, 50 mg/ kg) diberikan per oral 1 jam sebelum prosedur operasi Ampisilin: dewasa, 2 g (anak, 50 mg/kg) diberikan IM atau IV 30 menit sebelum prosedur operasi IV.

Pasien risiko sedang alergi ampisilin/ amoksisilin:

Vankomisin: dewasa, 1 g (anak 20 mg/kg) IV selama 1–2 jam; infus total dalam 30 menit 1

sebelum prosedur operasi dimulai Berdasarkan pedoman AHA.

2

Dosis lanjutan tidak lagi direkomendasikan. Dosis total anak tidak boleh melebihi dosis dewasa.

3

Sefalosporin tidak boleh digunakan pada pasien dengan reaksi hipersensitifitas hipersensitivitas

tipe cepat terhadap penisilin. Tata laksana Antikoagulan Pasien yang mendapatkan obat antikoagulan umumnya dapat menghentikan konsumsi obat selama 1–3 hari peri-operatifperioperatif tanpa adanya bahaya. InsidensiInsidens komplikasi tromboemboli meningkat jika ada riwayat emboli sebelumnya dan adanya trombus, fibrilasi atrium, atau katup jantung mekanik buatan. Risiko tromboembolisme paling tinggi pada pemakaian katup jantung mekanik jenis Starr-Edward, terutama jika terletak pada katup mitral atau trikuspid; dan risiko terendah pada katup jantung bioprostesa (katup jaringan sapi atau babi). Sebagian besar kasus, warfarin dapat dihentikan dengan aman sejak 3 hari sebelum operasi dan dimulai lagi 2–3 hari pasca-operasipascabedah. Jika risiko tromboemboli sangat tinggi, maka antikoagulan dapat dihentikan sehari sebelum operasi dan diberikan vitamin K atau infus plasma; terapi heparin intravena dapat dimulai 12–24 jam pasca-operasi pascabedah jika hemostasis bedah diyakini sudah adekuat. 4. Gangguan Katup Spesifik STENOSIS MITRAL

96

Pertimbangan pra-operasiprabedah Stenosis mitral hampir selalu terjadi sebagai komplikasi lambat dari demam reumatik akut. Dua pertiga pasien stenosis mitral adalah wanita. Proses stenosis diperkirakan terjadi minimum 2 tahun setelah penyakit akut dan terjadi akibat penyatuan dan kalsifikasi progresif daun katup. Gejala umumnya terjadi setelah 20–30 tahun, ketika orifisium katup mitral berkurang dari ukuran normal 4–6 cm2 menjadi kurang dari 2 cm 2. Kurang dari 50% pasien memiliki stenosis mitral terisolasi; selebihnya juga disertai regurgitasi mitral dan hingga 25% pasien juga disertai keterlibatan katup aorta (stenosis atau regurgitasi). Patofisiologi Proses reumatik menyebabkan daun katup menebal, mengalami kalsifikasi, dan membentuk kerucut; kalsifikasi annular dapat juga terjadi. Komisura mitral akan menyatu, korda tendineaosus menyatu dan memendek, dan daun katup menjadi keras; akibatnya, bukaan katup akan menunjukkan gambaran melengkung atau membentuk kubah saat diastolik pada pemeriksaan ekokardiografi. Restriksi aliran darah yang signifikan melalui katup mitral akan mneybabkan gradien tekanan transvalvular yang tergantung dari curah jantung, denyut jantung (waktu diastolik), dan ada atau tidaknya tendangan atrium normal. Peningkatan pada curah jantung ataupun denyut jantung (pemendekan waktu diastolik) membuat perlunya aliran yang lebih cepat melalui katup dan mnyebabkan gradien tekanan transvalvular yang lebih tinggi. Atrium kiri sering mengalami dilatasi yang jelas dan meningkatkan kejadian takikardia supraventrikel, khususnya fibrilasi atrium. Stasis aliran darah di atrium meningkatkan risiko terbentuknya trombus, biasanya pada atrium kiri. Hilangnya sistolik atrium normal (uang bertanggung jawab untuk 20–30% pengisian ventrikel) menyebabkan perlunya aliran diastolik yang lebih tinggi melewati katup untuk mempertahankan curah jantung dan meningkatkan gradien transvalvular. Elevasi tekanan atrium kiri akut akan ditransmisikan dengan cepat ke kapiler pulmonal. Jika rerata tekanan kapiler pulmonal meningkat dengan akut diatas 25 mmHg, akan terjadi transudasi caiaran kapiler yang menyebabkan edema pulmonal. Elevasi kronis tekanan kapiler pulmonal sebagian terkompensasi oleh peningkatan aliran limfe paru-paru tetapi akhirnya akan menyebabkan perubahan vaskular paru yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskular

97 pulmonal (RVP) yang ireversibel dan hipertensi pulmonal. Penurunan komplians paru dan peningkatan usaha pernapasan sekunder menyebabkan dispnea kronik. Kegagalan ventrikel kanan seringkali diperberat oleh elevasi afterload ventrikel kanan akut atau kronik. Dilatasi ventrikel kanan dapat menyebabkan regurgitasi katup trikuspid atau pulmonal. Peristiwa embolisasi sering terjadi pada pasien stenosis mitral dan fibrilasi atrium. Lepasnya bekuan dari atrium kiri akan menyebabkan emboli sistemik, sebagian besar ke sirkulasi serebral. InsidensiInsidens emboli pulmonal, infark pulmonal, hemoptisis, dan bronkitis berulang juga meningkat. Hemoptisis seringkali terjadi akibat ruptur hubungan vena pulmonal – bronkial. Nyeri dada terjadi pada 10–15% pasien stenosis mitral, bahkan bila tidak ada aterosklerosis koroner; etiologi nyeri dada seringkali tidak dapat dijelaskan tetapi mungkin akibat emboli pada sirkulasi koroner atau tekanan ventrikel kanan yang terlalu tinggi. Pasien dapat mengalami suara serak karena kompresi saraf laringeus rekurens kiri oleh atrium kiri yang membesar. Fungsi ventrikel kiri pada sebagian besar pasien stenosis mitral murni normal (Gambar 20-5), tetapi gangguan fungsi ventrikel kiri dapat terjadi pada sekitar 25% pasien dan mungkin menggambarkan kerusakan residu dari miokarditis reumatik atau adanya penyakit hipertensi atau penyakit jantung iskemik yang bersamaan. Tekanan VK (mmHg) Volume VK (ml) Gambar 20-5. Lingkaran tekanan – volume pada pasien dengan gangguan katup jantung. A, normal; B, stenosis mitral; C, stenosis aorta; D, regurgitasi mitral (kronis); E, regurgitasi aorta (kronis). VK, Ventrikel kiri, (Reproduksi, dengan ijin, dari Jackson JM, Thomas SJ, LowensteinE: Anesthetic Management of Patients with valvular heart disease. Semin Anesth 1982; 1: 239.) Perhitungan Area Katup Mitral & Gradien Transvalvular Hubungan antara curah jantung, luas katup, dan gradien transvalvular dapat dinyatakan dalam persamaan Gorlin: Luas katup = Aliran melalui katup K x rerata gradien transvalvular

98 Dimana K adalah konstanta tekanan hidraulikhidrolik. Jika aliran katup mitral dinyatakan dalam ml/ detik, tekanan dalam mmHg, dan luas katup dalam cm 2, K = 38. Kecepatan aliran katup mitral dapat diperkirakan sebagai berikut: Kecepatan aliran mitral =

curah jantung Periode pengisian diastolik x denyut jantung

Ekokardiografi dua dimensi dan Doppler dapat digunakan untuk memperkirakan turunnya tekanan pada katup yang stenosis dan luas katup. Berdasarkan asumsi kecepatan aliran darah akan lebih cepat pada bagian distal dibandingkan bagian proksimal obstruksi, maka persamaan Bernoulli dapat disederhanakan sebagai berikut: P = 4V2 Dimana P adalah gradien tekanan (mmHg) dan V adalah kecepatan aliran darah (m/detik) distal dari obstruksi. Luas orifisium (lubang) katup dapat diperkirakan dari waktu gradien tekanan awal puncak menjadi setengah dari nilai awal, yaitu waktu paruh tekanan (T 1/2). Hubungan ini dapat diperkirakan sebagai berikut A = 220/ T1/2 Dimana A adalah luas orifisum katup (cm 2) dan T1/2 adalah waktu dari aliran tercepat (V max) ke Vmax2 (Vmax/1,4). Hubungan ini berdasarkan observasi bahwa T1/2 relatif konstan pada suatu ukuran lubang tertentu pada berbagai kecepatan aliran. Waktu paruh tekanan 220 meterdetik berhubungan dengan luas katup mitral 1 cm 2. Luas katup juga dapat diperkirakan dengan planimetri aksis pendek ventrikel kiri (lihat Bab 21). Bila tidak ada regurgitasi mitral yang signifikan, maka luas katup mitral dapat juga diturunkan dari persamaan kontinu (lihat bagian stenosis aorta): Luas katup mitral = IsmSVtm/ VTI jetSMMS-jet Dimanengana IS SVtm adalah stroke volume/isi sekuncup (transmitral) dan IkjetSM VTIMS-jet adalah integral waktu kecepatan sinyal Doppler dari jet stenosis mitral dari sinyal Doppler; isi sekuncup dapat dihitung dari pengukuran luas potong lintang dan integral waktu kecepatan Doppler dari jalur arus ventrikel kiri (lihat bagian stenosis aorta).

99

Luas katup mitral kurang dari 1 cm 2 umumnya berhubungan dengan gradien transvalvular 20 mmHg pada saat istirahat dan dispnea saat aktivitas minimal; luas katup mitral kurang dari 1 cm 2 seringkali disebutkan sebagai stenosis mitral kritis. Pasien dengan luas katup antara 1,5 dan 2 cm 2 umumnya asimtomatik atau hanya gejala ringan dengan aktivitas. Jika luas katup mitral antara 1 dan 1,5 cm2, sebagian besar pasien simtomatik pada aktivitas ringan hingga sedang. Walaupun curah jantung mungkin normal saat istirahat, tetapi curah jantung gagal meningkat saat aktivitas fisik karena penurunan preload ventrikel kiri. Terapi Waktu dari onset gejala hingga terjadi inkapastiasi kira-kira 5–10 tahun. Pada tahap ini, sebagian besar pasien meninggal dalam waktu 2–5 tahun. Pembedahan korektif (penggantian katup secara terbuka, valvuloplasti) biasanya dilakukan jika terjadi gejala yang signifikan. Valvuloplasti balon transseptal perkutan dapat digunakan pada pasien-pasien terpilih usia muda atau pasien hamil ataupun usia tua yang bukan kandidat pembedahan. Tata laksana medis terutama suportif dan meliputi pembatasan aktivitas fisik, restriksi natrium (garam), dan diuretik. Digoksin hanya berguna pada pasien fibrilasi atrium dan respons ventrikel cepat. Obat penghambat adrenergik ß dosis kecil juga berguna dalam mengontrol denyut jantung pada pasien gejala ringan hingga sedang. Pasien dengan riwayat emboli dan risiko tinggi (lebih dari 40 tahun; atrium membesar dengan fibrilasi atrium kronis) biasanya diterapi dengan antikoagulan. Tata laksana Laksana Anestesisi A. TUJUAN

9 Target hemodinamik utama adalah mempertahankan ritme sinus (jika ritme sinusterdapat saat pra-operatifprabedah) dan mencegah takikardia, peningkatan curah jantung yang besar, dan mencegah hipovolemia dan kelebihan cairan akibat terapi cairan berlebihan. B. PEMANTAUAN

100 Pemantauan hemodinamik yang menyeluruh (tekanan intraarterial langusng dan tekanan arteri pulmonal) biasanya diindikasikan pada semua prosedur pembedahan mayor, terutama bila disertai pergeseran cairan yang cukup banyak. Penggantian ciaran yang berlebihan akan memperburuk edema pulmonal pada pasien dengan penyakit berat. Tekanan arteri pulmonal harus dipantau dengan ketat. Pengukuran tekanan baji kapiler pulmonal pada stenosis mitral menggambarkan gradien transvalvular dan tidak harus berarti tekanan akhir diastolik ventrikel. Gelombang a yang jelas dan penurunan y yang berkurang umumnya terjadi pada bentuk gelombang tekanan baji kapiler pulmonal pada pasien ritme sinus. Gelombang cv yang jelas pada bentuk gelombang tekanan vena sentral umumnya merupakan tanda regurgitasi trikuspid sekunder. EKG umumnya menunjukkan takik pada gelombang P pada pasien ritme sinus. C. PILIHAN OBAT Pasien dapat sangat sensitif terhadap efek vasodilatasi anestesi spinal dan epidural. Anestesi epidural lebih disukai daripada anestesi spinal karena onset blok simpatis yang

bertahap.

Ketamin merupakan obat induksi yang buruk untuk anestesia umum karena stimulasi simpatis. Begitu juga pPankuronium juga harus dihindari karena menginduksi takikardia. Dalam mempertimbangkan obat yang digunakan, opioid merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan anestesi gas. Anestesi gas dapat menyebabkan vasodilatasi yang tidak diinginkan atau memperburuk ritme jungsional dengan kontraksi atrium yang tidak efektif. Dari obat-obatan anestesi gas, halotan mungkin yang paling baik karena halotan menurunkan menurunkan denyut jantung dan paling sedikit menimbulkan vasodilatasi, tetapi obat anestesi gas lain juga telah digunakan dengan aman. Nitrat oksida harus digunakan dengan berhati-hati karena dapat meningkatkan RVP secara akut pada beberapa pasien. Takikardia intra-operatif dapat dikontrol dengan mendalamkan anestesia dengan opioid (kecuali meperidin) atau penghambat ß (esmolol atau propranolol). Dengan adanya fibrilasi atrium, kecepatan ventrikel dapat dikontrol dengan diltiazem atau digoksin. Verapamil tidak terlalu terpilih karena sering menyebabkan vasodilatasi. Perburukan hemodinamik yang jelas karena takikardia supraventrikel mendadak membutuhkan kardioversi. Untuk vasopresor, dipilih fenilefrin daripada efedrin karena fenilefrin memiliki lebih sedikit aktivitas agonis adrenergik . Terapi hipertensi akut atau reduksi afterload dengan vasodilator poten harus dilakukan dengan pemantauan hemodinamik menyeluruh.

101 REGURGITASI MITRAL Pertimbangan pra-operasiPrabedah Regurgitasi mitral dapat terjadi secara akut atau perlahan akibat sejumlah penyakit. Regurgitasi mitral kronis biasanya disebabkan demam reumatik (seringkali disertai pula dengan stenosis mitral); kelainan kongenital atau kelainan perkembangan katup; atau dilatasi, destruksi, atau kalsifikasi anulus mitral. Regurgitasi mitral akut biasanya disebabkan karena iskemia miokard atau ruptur korda tendineae), endokarditis infektif, atau trauma dada.

Patofisiologi Gangguan utama pada regurgitasi mitral adalah reduksi curah jantung karena adanya aliran balik darah ke atrium kiri pada saat sistolik. Ventrikel kiri akan mengkompensasimengompensasi dengan cara dilatasi dan meningkatkan volum diastolik akhir ventrikel (Gambar 20-5). Regurgitasi melalui katup mitral akan mengurangi afterload ventrikel kiri, yang sering pada awalnya meningkatkan kontraktilitas. Volume sistolik akhir tetap normal tetapi kemudian akan meningkat sesuai progresi penyakit. Dengan meningkatkan volume diastolik akhir, ventrikel kiri yang kelebihan volume dapat mempertahankan curah jantung normal bahkan jika fraksi ejeksi berkurang. Dengan bertambahnya waktu, pasien regurgitasi mitral kronis akan mengalami hipertrofi eksentrik ventrikel kiri (lihat Bab 19) dan gangguan kontraktilitas progresif, yang dicerminkan oleh penurunan fraksi ejeksi (< 50%). Pada pasien dengan regurgitasi mitral berat, volume regurgitan dapat melebihi curah jantung. Volume regurgitan yang mengalir melalui katup mitral tergantung dari ukuran orifisium katup mitral (yang bervariasi tergantung ukuran rongga ventrikel), kecepatan denyut jantung (waktu sistolik), dan gradien tekanan ventrikel – atrium kiri saat sistolik. Faktor terakhir dipengaruhi oleh resistensi relatif aliran ventrikel kiri, yaitu, RVS dan komplians atrium kiri. Jadi, penurunan RVS atau peningkatan rerata tekanan atrium kiri akan mengurangi volume regurgitan. Komplians atrium dapat pula menentukan manifestasi klinis yang dominan. Pasien dengan komplians atrium berkurang atau normal (regurgitasi mitral akut) mengalami kongesti vaskular pulmonal dan edema pulmonal. Pasien dengan komplians atrium yang meningkat (regurgitasi mitral lama menyebabkan dilatasi atrium kiri) terutama menunjukkan tanda-tanda curah jantung yang rendah.

102 Sebagian besar pasien berada diantara dua gejala ekstrim tadi dan menunjukkan gejala kongesti pulmonal dan curah jantung rendah. Pasien dengan fraksi regurgitan kurang dari 30% dari isi sekuncup total umumnya memiliki gejala ringan. Fraksi regurgitan 30–60% umumnya menyebabkan gejala sedang, sedangkan fraksi regurgitan lebih dari 60% menunjukan gejala yang berat. Ekokardiografi, khususnya ekokardiografi transesofageal, sangat berguna dalam mengetahui patofisiologi penyebab regurgitasi mitral dan juga untuk pedoman terapi. Gerakan daun katup mitral dapat digambarkan sebagai normal, berlebihan (prolaps), atau terbatas/ restriktif (Gambar 20-6). Gerakan berlebihan atau prolaps didefinisikan oleh gerakan sistolik katup melebihi bidang katup mitral dan mengarah ke atrium kiri (lihat bagian dibawah prolaps katup mitral). Aliran regurgitan eksentrik pada ekokardiografi Doppler berwarna adalah khas untuk prolaps katup, sedangkan aliran sentral lebih khas untuk regurgitasi dengan gerakan katup normal atau terbatas (restriktif). Kata- kata Anterior leaflet

Daun katup anterior

LA

Atrium Kiri

LV

Ventrikel Kiri

Posterior leaflet

Daun katup posterior

Chordae tendinae

Korda tendinae

Papillary muscle

otot Otot papilaris

Normal mution

Gerakan normal

Regurgitan Jet

Aliran regurgitan

Prolapse (excessive motion)

Prolaps (gerakan berlebihan)

Restricted motion

Gerakan terbatas

Bileaflet Prolapse

Prolaps kedua katup

Gambar 20-6. Klasifikasi gerakan katup mitral (dari ekokardiografi transesofageal). Perhatikan pada prolaps katup, ujung bebas daun katup

akan memanjang melebihi bidang anulus mitral

menyebabkan aliran yang eksentrik. Pada gerakan yang terbatas, daun katup gagal menutup menyebabkan aliran sentral. Perhitungan Menghitung Fraksi Regurgitan

103 Untuk menghitung fraksi regurgitan (FR), harus diukur isi sekuncup dan isi sekuncup regurgitan. Walaupun kedua hal ini dapat diperkirakan dari data kateterisasi, tetapi ekokardiografi Doppler dapat membantu perhitungan akut. Isi sekuncup dihitung dari jalur aliran ventrikel kiri (JAVKi) dan pada katup mitral di mana Isi sekuncup = luas potongan lintang (A) x (ITV) Dan dan luas potongan melintang (A) dapat diperkirakan dari, A = 0,785 x (diameter)2 Integral kecepatan waktu (ITV) adalah luas kecepatan dibandingkan waktu sinyal yang didapat dari pulsasi Doppler (lihat Bab 21). Jadi, Isi sekuncup regurgitan regurgitasi mitral = (AM x ITVM)- (AJAVKi x ITVAVKi) Dandan FR = Isi sekuncup regurgitan/ Isi sekuncup Isi sekuncup regurgitan lebih dari 65 ml biasanya berhubungan dengan regurgitasi mitral berat. Terapi Terapi medis meliputi digoksin, diuretik, dan vasodilator – termasuk penghambat ACE.> Reduksi afterload sangat berguna pada sebagian besar pasien dan mungkin bahkan dapat menyelamatkan nyawa pasien regurgitasi mitral akut. Reduksi resistensi vaskular sistemik akan meningkatkan isi sekuncup ke sirkulasi dan menurunkan volume regurgitan. Terapi pembedahan digunakan untuk pasien dengan gejala sedang hingga berat. Operasi penggantian katup dilakukan jika mungkin untuk menghindari masalah yang disebabkan penggantian katup (misalnya, tromboembolisme, perdarahan, dan kegagalan katup buatan). Tekanan arteri pulmonal (mmHg) Waktu Baji

104 Gambar 20-7. Bentuk gelombang baji kapiler pulmonal pada regurgitasi mitral, menunjukkan gelombang v yang besar. Tata laksana Laksana Anestesi A. TUJUAN 10 Tata laksana anestesi tergantung dari berat regurgitasi mitral dan fungsi ventrikel yang ada. Faktor-faktor yang memeprberat regurgitasi, misalnya denyut jantung yang lambat (sistolik memanjang) dan peningkatan akut afterload, harus dihindari. Bradikardia dapat meningkatkan volume regurgitan dengan meningkatkan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan dilatasi akut anulus mitral. Denyut jantung idealnya harus dijaga antara 80 hingga 100 kali/ menit. Peningkatan akut afterload ventrikel kiri, misalnya setelah intubasi endotrakeal dan stimulasi pembedahan, harus ditangani segera, dengan menghindari depresi miokard yang berlebihan. Ekspansi volume yang berlebihan juga dapat memperburuk regurgitasi karena dilatasi ventrikel kiri. B. PEMANTAUAN Pemantauan berdasarkan berat disfungsi ventrikel dan prosedur operasi. Pemantauan tekanan arteri pulmonal sangat berguna pada pasien yang simtomatik. Reduksi afterload intra-operatif dengan vasodilator harus dengan pemantauan hemodinamik lengkap. Regurgitasi mitral dapat dikenali dari bentuk gelombang tekanan baji arteri pulmonal sebagai gelombang v

yang besar

dan penurunan y yang cepat (Gambar 20-7). Tinggi gelombang v berbanding terbalik dengan komplians atrium dan pulmonal tetapi berhubungan langsung dengan aliran darah pulmonal dan volume regurgitan; jadi gelombang v tidak terlalu jelas pada pasien regurgitasi mitral kronis, kecuali jika terjadi perburukan akut. Gelombang v yang sangat besar seringkali terlihat jelas pada gelombang tekanan arteri pulmonal meskipun tanpa penempatan kateter. Ekokardiografi transesofageal Doppler berwarna berguna dalam menghitung berat regurgitasi secara kuantitatif dan pedoman intervensi terapi pada pasien dengan regurgitasi mitral berat (Tabel 20-16). Sesuai definisinya, pada regurgitasi mitral berat terjadi aliran darah balik ke vena pulmonarispulmonalis saat sistolik. C. PILIHAN OBAT

105

Pasien dengan fungsi ventrikel yang relatif masih baik cenederung aman dengan sebagian besar teknik anestesi. Anestesia spinal dan epidural dapat ditolerir ditoleransi dengan baik, khususnya jika untuk menghindari bradikardia. Pasien dengan gangguan ventrikel sedang hingga berat seringkali sangat sensitif terhradap efek depresi jantung obat-obat gas. Anestesia dengan opioid sebagai obat primer mungkin lebih cocok untuk pasien-pasien ini – sekali lagi, dengan mencegah bradikardia. Pemilihan pankuronium sebagai pelemas otot pada anestesia dengan opioid merupakan pilihan yang baik. Tabel 20-16. Penilaian lesi regurgitasi dengan ekokardiografi Doppler berwarna Derajat 0 +1 +2

Keterangan Tidak ada Ringan Ringan

+3

sedang Sedang hingga berat

penerima Aliran regurgitasi sampai dua- pertiga ruang jantung

+4

Berat

penerima Aliran regurgitasi mengisi hampir semua ruang jantung

1

Kriteria Tidak ada regurgitasi ke ruang jantung Aliran regurgitasi terbatas ke area dekat katup hingga Aliran regurgitasi sampai ke sepertiga ruang jantung

penerima dan terdapat aliran balik1 Untuk katup atrioventrikular aliran balik terjadi proksimal pada vena yang masuk ke atrium;

untuk katup semilunar aliran balik terjadi pada pembuluh darah besar bagian distal. PROLAPS KATUP MITRAL Pertimbangan pra-operasiPrabedah Prolaps katup mitral klasik ditandai adanya klik midsistolik dengan atau tanpa murmur sistolik pada apeks pada pemeriksaan auskultasi. Prolaps katup mitral merupakan kelainan yang relatif sering, mencapai hingga 5% populasi umum, lebih sering pada wanita (hingga 15%). Diagnosis berdasarkan dari penemuan auskultasi dan ditegakkan oleh pemeriksaan ekokardiografi, yang menunjukkan prolaps daun katup mitral ke atrium kiri. Pasien dengan murmur seringkali memiliki elemen regurgitasi mitral. Daun katup mitral posterior lebih sering terkena dibandingkan anterior. Anulus mitral dapat juga mengalami dilatasi. Secara patologi, sebagian besar terjadi degenerasi miksomatosa pada daun katup. Sebagian besar kasus prolaps mitral adalah sporadik atau familial, juga mengenai orang-orang normal. InsidensiInsidens prolaps

106 katup mitral yang cukup tinggi ditemukan pada pasien dengan penyakit jaringan ikat (khususnya sindrom Marfan).

Sebagian besar pasien prolaps katup mitral asimtomatik, tetapi pada sebagian kecil terjadi degenerasi miksomatosa yang progresif. Manifestasi yang dapat terjadi meliputi nyeri dada, aritmia, peristiwa emboli, regurgitasi mitral, endokarditis infektif, dan, jarang, kematian. Diagnosis dapat ditegakkan pra-operatifprabedah melalui auskultasi bunyi klik yang khas tetapi harus dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekokardiografi. Prolaps diperjelas dengan manuver menurunkan volume ventrikel (preload). EKG umumnya normal tetapi bisa menunjukkan gelombang T terbalik atau bifasik atau perubahan segmen ST di inferior. Sering terjadi aritmia atrium dan ventrikel. Walaupun juga dilaporkan bradiaritmia, tetapi yang tersering adalah takikardia supraventrikel paroksismal yang menyebabkan aritmia memanjang. Peningkatan insidensiinsidens jalur pintas AV abnormal (lihat Bab 19) juga dilaporkan pada pasien prolaps katup mitral. Sebagian besar pasien prolaps mitral memiliki harapan hidup normal. Sekitar 15% akan terjadi regurgitasi mitral progresif. Sebagian kecil akan mengalami fenomena emboli atau endokarditis infektif. Pasien dengan klik dan murmur sistolik berisiko mengalami komplikasi lebih besar. Obat antikoagulan atau antitrombosit dapat diberikan pada pasien dengan riwayat emboli, sedangkan obat penghambat adrenergik  sering diberikan untuk aritmia. Tata laksana Laksana Anestesi Tata laksana pasien prolaps katup mitral berdasarkan keadaan klinis pasien. Sebagian besar pasien asimtomatik dan tidak memerlukan tata laksana khusus, selain profilaksis antibiotik. Pasien dengan murmur sistolik tampaknya memiliki risiko besar untuk endokarditis infektif. Aritmia ventrikel dapat terjadi intra-operatif, khususnya setelah stimulasi simpatis, dan umumnya berespons baik dengan lidokain atau penghambat adrenergik ß. Anestesia yang cukup dalam dengan anestesi gas umumnya akan menurunkan kecenderungan aritmia intra-operasiintrabedah. Regurgitasi mitral disebabkan oleh prolaps umumnya akan mengalami eksaserbasi dengan penurunan ukuran ventrikel. Hipovolemia dan faktor-faktor yang mempercepat pengosongan ventrikel – seperti peningkatan tonus simpatis atau penurunan afterload – harus dihindari. Vasopresor dengan aktivitas agonis adrenergik  murni (seperti fenilefrin) lebih disukai dibandingkan agonis adrenergik  (efedrin).

107

STENOSIS AORTA Pertimbangan pra-operasiPrabedah

Stenosis katup aorta adalah penyebab tersering obstruksi ventrikel kiri. Obstruksi aliran ventrikel kiri jarang disebabkan kardiomiopati hipertrofi, stenosis subvalvular kongenital diskret, atau, lebih jarang, stenosis supravalvular. Penyebab stenosis katup aorta hampir selalu kongenital, reumatik atau degeneratif. Kelainan jumlah kuspid (tersering katup bikuspid) atau kelainan arsitektur katup aorta meneyebabkan turbulensi yang mencederai katup dan menyebabkan stenosis. Stenosis aorta reumatik jarang terjadi secara terisolasi; lebih sering disertai dengan regurgitasi aorta atau penyakit katup mitral. Pada bentuk degeneratif yang sering terjadi, kalsifikasi katup aorta, terjadi kerusakan karena pemakaian menyebabkan tumpukan kalsium pada kuspid yang normal, dan mencegah katup terbuka normal. Patofisiologi Berbeda dengan obstruksi akut ventrikel kiri, yang dengan cepat akan menyebabkan dilatasi ventrikel dan mengurangi isi sekuncup (lihat Bab 21), obstruksi karena stenosis katup aorta hampir selalu terjadi bertahap, memungkinkan ventrikel pada awalnya mengkompensasi dan mempertahankan isi sekuncup. Hipertrofi konsentrik ventrikel memungkinkan ventrikel kiri mempertahankan isi sekuncup dengan pembentukan gradien transvalvulaer yang signifikan dan mengurangi tegangan dinding ventrikel (Gambar 20-5). Stenosis aorta kritis terjadi jika orifisium katup aorta berkurang menjadi 0,5–0,7 cm 2 (normalnya adalah 2,5–3,5 cm2). Pada stenosis berat, pasien umumnya memiliki gradien transvalvular sebesar 50 mmHg saat istirahat (curah jantung normal) dan tidak mampu meningkatkan curah jantung dengan baik. Terlebih lagi, peningkatan gradien transvalvular lebih lanjut tidak dapat lagi meningkatkan isi sekuncup dengan signifikan. Luas katup aorta antara 0,7 dan 0,9 cm 2 umumnya menunjukkan gejala ringan hingga sedang. Pada stenosis katup aorta jangka panjang, terjadi perburukan kontraktilitas miokard secara progresif dan menggangu fungsi ventrikel kiri. Sebagian besar pasien dengan stenosis aorta memiliki periode laten yang panjang hingga 30–60 tahun (tergantung dari penyebab)sebelum munculnya gejala yang signifikan.

108 Stenosis aorta lanjut menimbulkan gejala klasik, yaitu trias dispnea saat aktivitas fisik, angina, dan sinkop ortostatik atau saat olah raga/ aktivitas fisik. Gambaran stenosis aorta yang jelas adalah penurunan komplians ventrikel kiri akibat hipertrofi (lihat Bab 19). Disfungsi diastolik merupakan akibat peningkatan massa otot ventrikel, fibrosis , atau iskemia miokard. Volume akhir diastolik ventrikel tetap normal hingga tahap akhir penyakit, tetapi tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat pada awal penyakit. Penurunan gradien tekanan diastolik antar atrium dan ventrikel kiri mengganggu pengisian ventrikel, yang menjadi tergantung dari kontraksi atrium. Hilangnya sistolik atrium dapat memperburuk gagal jantung kongestif atau hipotensi pada pasien stenosis aorta. Curah jantung istirahat bisa normal pada pasien simtomatik, tetapi, yang khas, curah jantung tidak dapat meningkat pada aktivitas fisik. Pasien mengalami angina bahkan jika tidak ada PJK. Kebutuhan oksigen miokard meningkat karena hipertrofi ventrikel, sedangkan pasokan oksigen miokard menurun karena kompresi pembuluh koroner intramiokard yang disebabkan tekanan intrakavitas sistolik yang tinggi (hingga 300 mmHg). Sinkop saat aktivitas fisik atau hampir-sinkop mungkin disebabkan ketidakmampuan tubuh mentolerirmenoleransi vasodilatasi jaringan otot. Aritmia yang menyebabkan hipoperfusi juga dapat menyebabkan sinkop dan kematian mendadak pada beberapa pasien. Emboli kalsium kadang dapat mengakibatkan komplikasi neurologis. PerhitunganMenghitung luas Luas Kkatup Aaorta & Ggradien Ttransvalvular Seperti juga pada stenosis mitral, luas katup dapat dihitung dari data kateterisasi karena gradien transvalvular sebanding dengan curah jantung. Dengan menggunakan persamaan Gorlin:

Luas katup = Kecepatan aliran melalui katup K x  rerata gradien transvalvular

Kecepatan aliran katup dinyatakan dalam ml/detik, tekanan dalam mmHg, dan luas katup dalam cm2; K = 44. Kecepatan aliran katup aorta dapat dihitung sebagai berikut:

109 Kecepatan aliran katup aorta = Curah jantung

Periode ejeksi sistolik x denyut jantung

Seperti juga pada stenosis mitral, tekanan gradien melalui katup aorta dapat ditentukan secara noninvasif dengan ekokardiografi Doppler kontinu: P = 4V2 Didi mana P adalah gradien tekanan puncak (mmHg) dan V adalah puncak kecepatan aliran darah (m/detik) distal dari obstruksi. Kecepatan puncak lebih dari 4,5 m/detik biasanya menandakan stenosis berat. Terlebih lagi, jika area proksimal dari stenosis (jalur aliran ventrikel kiri) dapat diukur, maka dapat diterapkan persamaan berikut untuk memperhitungkan luas katup. Baik IVT ataupun kecepatan maksimum dapat digunakan: A2 = A1V1/V2 Dimana di mana A2 adalah luas katup, A1 adalah luas potongan lintang ventrikel kiri, V1 adalah kecepatan aliran darah maksimum di jalur aliran ventrikel kiri, V2 adalah kecepatan maksimum melalui katup aorta. Adanya regurgitasi aorta tidak mempengaruhi akurasi perhitungan ini. Terapi Begitu terbentuk gejala yang signifikan, sebagian besar pasien, yang tidak dioperasi, akan meninggal dalam waktu 2-5 tahun. Pasien dengan gagal jantung kongestif diterapi dengan digoksin, restriksi natrium (garam), dan diuretik dosis kecil. Valvuloplasti balon perkutan biasanya dilakukan pada pasien muda stenosis aorta kongenital; operasi ini juga dapat dilakukan pada pasien tua dengan stenosis aorta karena kalsifikasi yang merupakan kandidat buruk untuk operasi penggantian katup. Efikasi jenis operasi perkutan untuk kelompok usia lanjut ini berumur pendek, dan stenosis ulang biasanya terjadi dalam waktu 6–12 bulan. Tata laksana Laksana Anestesi

110 A. TUJUAN 11 Mempertahankan ritme sinus normal, denyut jantung, dan volume intravaskular sangat penting pada pasien stenosis aorta. Hilangnya waktu sistolik atrium yang normal seringkali menyebabkan perburukan dengan cepat, khususnya bila disertai takikardia. Kombinasi fibrilasi atrium akan mengganggu pengisian ventrikel dan harus segera dilakuka kardioversi. Penurunan komplians ventrikel juga membuat pasien sangat sensitif terhadap perubahan volume intravaskular mendadak. Banyak pasien terlihat memiliki isi sekuncup yang tetap walaupun hidrasi sudah adekuat; pada keadaan ini, curah jantung tergantung dari kecepatan denyut jantung. Bradikardia (< 50 kali/menit) ditoleransi dengan buruk. Denyut jantung optimal adalah antara 60 sampai 90 kali/ menit. B. PEMANTAUAN Pemantauan EKG dan tekanan darah secara ketat sangatlah penting. Pemantauan untuk iskemia cukup kompleks karena adanya kelainan segmen ST dan gelombang T. Pemantauan tekanan intraarterial disarankan pada pasien stenosis aorta berat, karena banyak pasien tidak dapapt mentolerirmenoleransi hipotensi yang singkat sekalipun. Kateterisasi arteri pulmonaris pulmonal juga berguna, tetapi data-data yang didapat harus diinterpretasi dengan berhati-hati; tekanan baji kapiler pulmonal yang lebih tinggi dari normal seringkali diperlukan untuk mempertahankan volume diastolik akhir ventrikel kiri dan curah jantung yang adekuat. Gelombang a yang jelas seringkali terlihat pada bentuk gelombang tekanan baji arteri pulmonarispulmonal. Vasodilator harus diberikan hanya jika terdapat kateter arteri pulmonarispulmonal, karena pasien seringkali sangat sensitif terhadap obat-obatan vasodilator. Ekokardiografi transesofageal sangat berguna untuk memantau iskemia, preload ventrikel, kontraktilitas, fungsi katup, dan efek intervensi terapi. C. PILIHAN OBAT Pasien dengan stenosis aorta ringan hingga sedang (umumnya asimtomatik) dapat mentolerirmenoleransi anestesia spinal atau epidural. Teknik-teknik ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena hipotensi dapat teradi akibat reduksi preload, afterload, atau keduanya. Anestesia epidural lebih disukai daripada anestesi spinal karena onset hipotensi lebih lambat

111 terjadi, sehingga memungkinkan koreksi yang agresif. Anestesia spinal dan epidural merupakan kontraindikasi pada stenosis aorta berat. Pemilihan obat-obat anestesi umum sangat penting pada pasien stenosis aorta simtomatik (sedang hingga berat). Pada kasus stenosis aorta sedang – berat, biasanya teknik anestesia opioid primer umumnya menghasilkan sedikit depresi jantung; obat induksi nonopioid yang cocok meliputi etomidat dan kombinasi ketamin dan benzodiazepin. Jika obat anestesi gas digunakan, kontrol harus benar-benar hati-hati untuk menghindari depresi miokard berlebihan, vasodilatasi, atau hilangnya sistolik atrium normal. Takikardia dan hipertensi, yang dapat memperburuk iskemia, harus diterapi dengan mendalamkan anestesia. Jika digunakan obat penghambat adrenergik , esmolol adalah obat terpilih karena waktu paruhnya singkat. Sebagian besar pasien stenosis aorta sangat sensitif terhadap vasodilator. Akan tetapi, karena kesimbangan kebutuhan – pasokan oksigen miokard sudah terganggu, maka toleransi terhadap hipotensi, bahkan hipotensi ringan sekalipun, sangatlah buruk. Hipotensi umumnya diterapi dengan fenilefrin dosis kecil (25–50 ug). Takikardia supraventrikel intra-operatif dengan gangguan hemodinamik harus segera diterapi dengan kardioversi sinkronisasi. Denyut ektopik ventrikel yang sering (yang sering menggambarkan iskemia) biasanya toleransi hemodinamik buruk dan harus diterapi dengan lidokain intravena. Amiodaron umumnya efektif untuk aritmia supraventrikel dan aritmia ventrikel. KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK Pertimbangan pra-operasiPrabedah Kardiomiopati hipertrofik dapat herediter (umumnya penyebab bervariasi) atau terjadi secara sporadis. Kardiomiopati hipertrofik dahulu disebut dengan nama lain: stenosis subaorta hipertrofik idiopatik, hipertrofi septal asimetrik, kardiomiopati hipertrofik obstruktif, dan stenosis otot subaorta. Kardiomiopati hipertrofik ditandai oleh hipertrofi ventrikel kiri yang heterogen tanpa adanya penyebab yang jelas. Otot yang hipertrofi umumnya memperlihatkan arsitektur seluler abnormal. Pasien yang terkena menunjukkan gejala disfungsi diastolik yang terlihat dari peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri walaupun fungsi ventrikel hiperdinamik. Diastolik yang kaku mungkin disebabkan karena hipertrofi otot abnormal, yang cenderung terjadi pada septum

112 interventrikel bagian atas dibawah katup aorta; lebih jarang, kadang hanya melibatkan apeks ventrikel. Pada 25% pasien, hipertrofi menyebabkan obstruksi dinamik laliran ventrikel kiri saat sistolik. Obstruksi merupakan akibat penyempitan area subaorta karena pergerakan sistolik ke anterior dari katup anterior mitral terhadap septum yang hipertrofi. Gerakan sistolik ke anterior sebagian disebabkan efek penarikan Ventrui pada katup anterior saat ejeksi cepat ventrikel yang hipertrofi. Sebaliknya pada obstruksi yang menetap (seperti stenosis katup aorta), obstruksi yang terjadi (dan tekanan gradien) adalah dinamis dan puncaknya terjadi pada mid-sistolik hingga akhir sistolik. Terlebih lagi, derajat obstruksi dapat bervariasi tiap denyut jantung. Faktor-faktor yang memperburuk obstruksi adalah peningkatan kontraktilitas, penurunan volume ventrikel, dan penurunan afterload ventrikel kiri. Regurgitasi mitral sekunder akibat gerakan sistolik ke anterior disebabkan karena kegagalan katup mitral untuk menutup pada akhir sistolik biasanya menyebabkan aliran regurgitan ke arah posterior. Studi anatomik juga menyarankan menemukan adanyapasien dengan k kelainan katup mitral; katup mitral, khususnya katup mitral bagian anterior, seringkali lebih panjang daripada normal. Sebagian besar pasien asimtomatik. Pasien simtomatik umumnya mengeluh dispnea saat aktivitas fisik, juga dapat disertai fatigkelelahan, sinkoppingsan, hampir pingsan, atau angina. Gejala yuang ada tidak harus berhubungan dengan derajat berat obstruksi ventrikel kiri. Kematian mendadak seringkali merupakan manifestasi pertama penyakit pada pasien kurang dari 30 tahun dan merupakan penyebab kematian tersering. Baik aritmia supraventrikel dan aritmia ventrikel sering terjadi. Pasien dengan obstruksi ditandai murmur sistolik kasar (lihat Tabel 20-13). EKG secara khas menunjukan hipertrofi ventrikel kiri dan gelombang Q yang dalam dan lebar. Diagnosis

ditegakkan

berdasarkan

ekokardiografi.

Bahkan

pasien

asimtomatik

dapat

menunjukkan defek perfusi miokard pada pemeriksaan sken talium-201. Gradien tekanan puncak dapat diukur dengan ekokardiografi Doppler dengan menentukan kecepatan puncak pada jalur aliran ventrikel kiri (lihat bagian mengenai stenosis aorta). Terapi kardiomiopati hipertrofik adalah dengan obat penghambat adrenergik  dan penghambat kanal kalsium. Kedua obat ini akan menurunkan kontraktilitas dan dapat mencegah peningkatan gradien tekanan subaorta pada pasien obstruksi. Penghambat kanal kalsium juga dapat meningkatkan komplians diastolik (relaksasi). Amiodaron umumnya efektif untuk aritmia supraventrikel dan aritmia ventrikel. Nitrat, digoksin, dan diuretik dihindari karena dapat memperburuk obstruksi ventrikel kiri. Operasi miomektomi/ miotomi hanya dilakukan untuk

113 pasien dengan gejala sedang hingga berat; ekokardiografi transesofageal sangat membantu dalam reseksi. Tata laksana Anestesi Evaluasi pra-operatifprabedah pada pasien kardiomiopati hipertrofik harus terfokus dalam evaluasi potensi obstruksi dinamik yang signfikan, aritmia maligna, dan iskemia miokard. Hasil ekokardiografi (atau angiografi) dan pemantauan Holter harus dinilai oleh ahli kardiologi. Target anestesi adalah minimalisasi aktivasi simpatis, menambah volume intravaskular untuk mencegah hipovolemia, dan meminimalkan penurunan afterload ventrikel kiri.

Keperluan pemantauan tergantung dari berat obstruksi dan prosedur operasi. Pemantauan hemodinamik lengkap umumnya diperlukan untuk pedoman terapi cairan bila terdapat kelainan komplians ventrikel. Bentuk gelombang tekanan arterial pada pasien obstruksi dapat berbentuk bifida (pulsa bisferien): Puncak awal yang cepat menggambarkan ejeksi ventrikel awal yang tidak terobstruksi, sedangkan penurunan gelombang berikutnya dan puncak kedua adalah akibat obstruksi dinamik.

Pada pPasien dengan obstruksi yang signifikan, biasanya diperlukan depresi miokard beberapa derajat, depresi miokard biasanya lebih disukai dan hal ini dapat dicapai dengan pmeenggunakan obat anestesi gas, khususnya halotan dan enfluran. Obat adrenergik  juga berguna melawan efek aktivasi simpatis dan menurunkan obstruksi. Anestesia regional dapat menimbulkan eksaserbasi obstruksi aliran ventrikel kiri dengan menurunkan preload dan afterload jantung. Fenilefrin dan obat-obatan agonis adrenergik  merupakan vasopresor yang ideal pada pasien-pasien ini karena tidak menambah kontraktilitas tetapi meningkatkan resistensi vaskular sistemik (afterload ventrikel).

REGURGITASI AORTA Pertimbangan pra-operatifPrabedah

114 Regurgitasi aorta biasanya berkembang secara perlahan dan progresif (kronis), tetapi dapat juga berkembang dengan cepat (akut). Regurgitasi aorta kronik dapat disebabkan oleh kelainan pada katup aorta, akar aorta, atau keduanya. Kelainan katup biasanya kongenital (katup bikuspid) atau karena demam reumatik. Penyakit-penyakit yang mengenai aorta asendens menyebabkan regurgitasi karena dilatasi anulus aorta; misalnya sifilis, ektasia annuloaorta, nekrosis sistik medial (dengan atau tanpa sindrom Marfan), spondilitis ankilosa, artritis reumatoid, dan artritis psoriatik, dan berbagai penyakit jaringan ikat lainnya. Insufisiensi aorta akut paling sering terjadi setelah endokarditis infektif, trauma, atau diseksi aorta.

Patofisiologi Apapun penyebabnya, regurgitasi aorta menyebabkan kelebihan volume ventrikel kiri (Gambar 20-5). Isi sekuncup yang dikeluarkan jantung berkurang karena aliran balik (regurgitan) ke ventrikel kiri saat diastolik. Tekanan arterial sistemik diastolik dan resistensi vaskular sistemik rendah. Penurunan afterload jantung membantu ejeksi ventrikel. Isi sekuncup total adalah jumlah isi sekuncup yang efektif dan volume regurgitan. Volume regurgitan tergantung dari denyut jantung (waktu diastolik) dan gradien tekanan diastolik pada katup aorta (tekanan diastolik aorta dikurangi tekanan akhir diastolik ventrikel kiri). Denyut jantung yang lambat meningkatkan regurgitasi karena peningkatan waktu diastolik yang tidak proporsional (lihat Bab 19); sedangkan peningkatan tekanan arterial diastolik akan menambah volume regurgitan karena meningkatkan gradien tekanan aliran balik. Pada regurgitasi aorta kronis, ventrikel kiri akan berdilatasi secara progresif dan mengalami hipertrofi eksentrik. Pasien regurgitasi aorta berat memiliki volume akhir diastolik terbesar; dilatasi jantung masif sering juga disebut cor bovinum. Peningkatan volume akhir diastolik akan mempertahankan isi sekuncup tetap efektif karena volume akhir sistolik tidak berubah. Setiap peningkatan volume regurgitan akan dikompnesasi oleh peningkatan volume akhir diastolik. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri biasanya normal atau hanya sedikit meningkat, karena komplians ventrikel pada awalnya akan meningkat. Kemudian, seiring perburukan fungsi ventrikel, fraksi ejeksi akan berkurang, dan terjadi gangguan pengosongan ventrikel yang bermanifestasi sebagai peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan volume akhir sistolik secara bertahap.

115 Pada inkompetensi katup aorta mendadak, tidak sempat terjadi kompensasi dilatasi atau hipertrofi ventrikel kiri. Isi sekuncup yang efektif akan semakin berkurang karena ventrikel yang berukuran normal tidak mampu mengakomodasi volume regurgitan yang besar secara mendadak. Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang mendadak akan ditransmisikan kembali ke sirkulasi pulmonal dan menyebabkan kongesti pulmonal akut. Regurgitasi aorta akut umumnya menunjukkan onset edema pulmonal dan hipotensi mendadak, sedangkan regurgitasi kronis biasanya menunjukkan onset yang perlahan seperti gagal jantung kongestif. Gejala umumnya minimal (pada bentuk kronis) jika volume regurgfitan tetap dibawah 40% isi sekuncup, tetapi menjadi berat jika melebihi 60%. Angina dapat terjadi bahkan jika tidak ada penyakit jantung koroner. Kebutuhan oksigen miokard meningkat akibat hipertrofi dan dilatasi otot jantung, sedangkan pasokan darah miokard berkurang karena tekanan diastolik yang rendah di aorta yang disebabkan regurgitasi. Perhitungan Fraksi Regurgitan & Pengukuran Keparahan Penyakit. Seperti juga pada regurgitasi mitral, isi sekuncup regurgitan (ISR) dan fraksi regurgitan (FR) regurgitasi aorta dapat diperkirakan dari ekokardiografi Doppler pulsatilberdenyut. Isi sekuncup diukur pada jalur aliran ventrikel kiri (JAVKi) dan pada katup mitral (M). Sehingga, ISR regurgitasi aorta = (AJAVKi x IVTJAVKi) – (AM x IVTM) dan FR = ISR/isi sekuncup Waktu paruh tekanan (T½1/2, lihat bagian stenosis mitral) aliran jet regurgitan merupakan paramater ekokardiografi yang juga berguna untuk menilai beratnya regurgitasi aorta secara klinis. Semakin pendek waktu paruh, semakin berat regurgitasi; regurgitasi berat akan meningkatkan tekanan diastolik ventrikel kiri dan menyebabkan tekanan ekuilibrasi yang lebih cepat. Sayangnya, T½ 1/2 tidak hanya dipengaruhi area orifisium regurgitan teapi juga oleh tekanan aorta dan tekanan ventrikel. Jet regurgitasi aorta dengan T½ T1/2 kurang dari 240 milidetik berarti regurgitasi berat.

116 Terapi Sebagian besar pasien dengan regurgitasi aorta kronis akan tetap asimtomatik selama 10–20 tahun. Jika gejala yang signifikan muncul, maka angka harapan hidup tanpa operasi penggantian katup jantung adalah 5 tahun. Digitalis, diuretik, dan terapi reduksi afterload, terutama dengan penghambat ACE, umumnya akan menguntungkan bermanfaat bagi pasien dengan regurgitasi aorta kronis tahap lanjut. Penurunan tekanan darah arterial akan mengurangi gradien regurgitasi diastolik. Pasien regurgitasi aorta kronis harus dioperasi sebelum terjadi disfungsi ventrikel ireversibel. Pasien regurgitasi aorta akut umumnya membutuhkan inotropik intravena (dopamin atau dobutamin) dan vasodilator (nitroprusid). Pembedahan diniOperasi diindikasikan pada regurgitasi aorta akaut: tata laksana medis saja berhubungan dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi.

Tata Llaksana Anestesi A. TUJUAN 12 Denyut jantung harus dipertahankan pada batas atas normal (80–100 kali/ menit). Bradikardia dan peningkatan resistensi vaskular sistemik akan meningkatkan volume regurgitan pada pasien regurgitasi aorta, sedangkan takikardia dapat menyebabkan iskemia miokard. Depresi miokard yang berlebihan harus dihindari. Kompensasi peningkatan preload jantung harus dipertahankan tetapi terapi cairan yang berlebihan juga dapat menyebabkan edema pulmonal. B. PEMANTAUAN Pemantauan hemodinamik lengkap harus dilakukan pada semua pasien regurgitasi aorta dan regurgitasi kronis yang parah. Penutupan katup mitral prematur seringkali terjadi pada regurgitasi aorta akut dan dapat menyebabkan kesalahan tekanan baji kapiler pulmonarispulmonalis dalam memperkirakan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Munculnya gelombang v besar menunjukkan adanya regurgitasi mitral yang terjadi sekunder akibat dilatasi ventrikel kiri. Karakteristik gGelombang tekanan arterial pada pasien regurgitasi aorta secara khas memiliki menunjukkan tekanan pulsasi yang sangat lebar. Pulsasi bisferiens dapat juga terjadi pada beberapa pasien dan mungkin disebabkan karena efeksi isi sekuncup yang banyak dan cepat.

117 Ekokardiografi transesofageal Doppler berwarna dapat sangat berguna dalam menghitung kuantitas keparahan regurgitasi dan sebagai pedoman intervensi terapi (lihat Tabel 20-16). Sesuai definisinya, pada regurgitasi aorta berat aliran darah yang terbalik terjadi pada aorta pada keseluruhan diastolik (holodiastolik); terlebih lagi, semakin jauh aliran aorta holodiastolik, regurgitasi semakin berat. B. PILIHAN OBAT

Sebagian besar pasien dapat mentolerirmenoleransi anestesi spinal dan epidurual, jika volume intravaskular dipertahankan. Jika diperlukan anestesia umum, obat yang ideal adalah isofluran dan desfluran karena berhubungan dengan vasodilatasi. Teknik anestesia umum yang primer berbasis opioid lebih cocok untuk pasien dengan penurunan fungsi ventrikel. Pankuronium merupakan pilihan yang baik sebagai relaksan otot dengan teknik anestesia opioid, karena dapat mencegah bradikardia. Reduksi afterload intra-operasiintrabedah yang optimal dengan nitroprusid harus disertai dengan pemantauan hemodinamik yang lengkap. Efedrin umumnya merupakan vasopresor terpilih untuk terapi hipotensi. Fenilefrin dosis kecil (25–50 μug) dapat digunakan jika hipotensi jelas-jelas disebabkan oleh vasodilatasi berlebihan. Fenilefrin dosis besar dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik (dan tekanan diastolik arteri) dan dapat mengeksaserbasi regurgitasi.

REGURGITASI TRIKUSPID Pertimbangan Pra-operatifPrabedah Hingga 70–90% pasien ekokardiografi memiliki regurgitasi trikuspid ringan; volume regurgitan pada kasus-kasus tersebut hampir selalu tidak signifikan. Secara klinis, regurgitasi trikuspid yang signifikan, sering disebabkan karena dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan kegagalan ventrikel kiri kronik. Regurgitasi trikuspid juga dapat terjadi setelah endokarditis infektif (biasanya pada pemakai narkoba suntik), demam reumatik, sindroma karsinoid, atau trauma dada, atau karena anomali Ebstein (pergeseran katup ke arah bawah karena kelainan perlekatan daun katup).

118 Patofisiologi Kegagalan ventrikel kiri kronik seringkali menyebabkan peningkatan tekanan vaskular pulmonal yang menetap. Peningkatan afterload kronik menyebabkan dilatasi progresif dinding ventrikel kanan yang tipis, dan dilatasi berlebihan anulus trikuspid akhirnya menyebabkan regurgitasi. Peningkatan

volume

akhir

diastolik

memungkinkan

ventrikel

kanan

mengkompensasimengompensasi volume regurgitan dan mempeprtahankan aliran ke- depan yang efektif. Karena atrium kanan dan vena kava bersifat sangat komplians dan dapat mengakomodasi kelebihan volume, maka tekanan atrium kanan dan tekanan vena sentral hanya sedikit meningkat. Peningkatan tekanan arteri pulmonarispulmonalis akut atau peningkatan bermakna akan meningkatkan volume regurgitan dan terlihat sebagai peningkatan tekanan vena sentral. Terlebih lagi, peningkatan afterload ventrikel kanan yang bermakna secara mendadak akan mengurangi output efektif ventrikel kanan, mengurangi preload ventrikel kiri, dan memperburuk hipotensi sistemik. Hipertensi vena kronik menyebabkan kongesti hepar pasif dan disfungsi hepar progresif, yang akhirnya menyebabkan sirosis kardiak. Kegagalan ventrikel kanan berat dengan penurunan loading jantung kiri dapat menyebabkan pintas kanan-ke-kiri melalui foramen ovale yang tidak tertutup total, yang dapat menyebabkan hipoksemia yang bermakna. Perhitungan Menghitung Volume Regurgitan & Tekanan Arteri PulmonarisPulmonalis Untuk menghitung volume regurgitan, isi sekuncup dihitung pada katup trikuspid dan pada tempat lain (yang tidak terkena) seperti jalur aliran ventrikel kiri atau katup mitral (lihat bagian mengenai regurgitasi mitral): Isi Sekuncup Regurgitan regurgitasi trikuspid = (AT x IVTT)-(AJAVKi x IVTJAVKi) dimana AT adalah luas katup trikuspid dan IVTT adalah integral kecepatan waktu aliran di katup trikuspid. Pada regurgitasi trikuspid berat aliran sistolik normal ke atrium kanan akan berbalik kembali dan aliran balik juga terlihat pada vena-vena hepar. Tekanan sistolik arteri pulmonarispulmonalis dapat diperkirakan dari kecepatan puncak regurgitan: P = 4 x V2

119 dimana P adalah gradien tekanan sistolik (mmHg) antara ventrikel kanan dan atrium kanan dan V adalah kecepatan aliran darah puncak (m/detik) jet regurgitan. Jika tekanan vena sentral diketahui, maka: Tekanan sistolik arteri pulmonarispulmonalis = Tekanan vena sentral + P Terapi Regurgitasi trikuspid umumnya ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien. Jika tidak ada hipertensi pulmonal, banyak pasien dapat mentoleransimenoleransi operasi eksisi katup trikuspid. Karena penyakit yang mendasari umumnya lebih penting dibandingkan regurgitasi trikuspid itu sendiri, maka terapi ditujukan pada penyakit penyebab. Pada regurgitasi sedang hingga berat, dapat dilakukan operasi anuloplasti trikuspid bersamaan dengan penggantian katup jantung lainnya. Tata laksana Laksana Anestesi A. TUJUAN Target hemodinamik harus ditujukan terutama kepada penyakit penyebab. Hipovolemia dan faktor-faktor yang meningkatkan afterload ventrikel kanan, seperti hipoksia dan asidosis, harus dihindari untuk mempertahankan isi sekuncup ventrikel kanan dan preload ventrirkel kiri yang efektif. Tekanan akhir ekspirasi positif dan tekanan jalan napas yang tinggi pada saat ventilasi mekanik tidak terlalu diinginkan karena mengurangi aliran balik vena dan meningkatkan afterload ventrikel kanan. B. PEMANTAUAN Pada pasien regurgitasi trikuspid, pemantauan tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonarispulmonalis sangat berguna. Tekanan arteri pulmonarispulmonalis tidak selalu dapat dilakukan, karena aliran regurgitan yang banyak dapat mempersulit jalan kateter arteri pulmonarispulmonalis melalui katup trikuspid. Tekanan vena sentral sangat berguna dalam memantau

fungsi

ventrikel

kanan,

sedangkan

tekanan

arteri

pulmonarispulmonalis

memungkinkan pengukuran afterload dan preload ventrikel kiri. Peningkatan tekanan vena sentral menunjukkan perburukan fungsi ventrikel kanan. Tidak ada penurunan x dan gelombang cv yang jelas biasanya terlihat pada bentuk gelombang tekanan vena sentral. Pengukuran termodilusi curah jantung akan terlihat meningkat karena adanya regurgitasi trikuspid.

120 Ekokardiografi transesofageal Doppler berwarna sangat berguna untuk evaluasi keparahan regurgitasi dan kelainan lainnya. C. PILIHAN OBAT Pemilihan obat anestesi harus didasarkan pada penyakit penyebabnya. Sebagian besar pasien dapat mentolerirmenoleransi anestesia spinal dan epidural dengan baik. Koagulopati sekunder akibat disfungsi hepar harus disingkirkan sebelum teknik anestesi regional dilakukan. Selama anestesia umum, nitrogen oksida dapat mengeksaserbasi hipertensi pulmonal dan bila diberikan harus secara hati-hati. PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL Pertimbangan Pra-operasiPrabedah Penyakit jantung kongenital meliputi sejumlah daftar abnormalitas yang panjang dan tidak berakhir yang mungkin dideteksi saat bayi, masa kanak-kanak awal, atau, yang lebih jarang, terdeteksi saat dewasa. InsidensiInsidens penyakit jantung kongenital pada semua kelahiran hidup mencapai angka 1%. Perjalanan penyakit beberapa defek pada pasien seringkali mencapai masa dewasa (Tabel 20-17). Terlebih lagi, jumlah penyakit jantung kongenital yang mencapai usia dewasa saat ini meningkat, mungkin karena perkembangan terapi medis. Peningkatan jumlah pasien penyakit jantung kongenital yang mungkin menjalani operasi nonjantung atau persalinan obstetrik juga akan meningkat. Penyakit jantung kongenital dan defek yang kompleks dengan patofisiologi yang bervariasi membuat sulitnya sulit dilakukan klasifikasi. Skema yang sering digunakan dapat dilihat pada Tabel 20-18. Sebagian besar pasien mengalami sianosis, gagal jantung kongestif, atau kelainan asimtomatik. Sianosis umumnya akibat kelainan hubungan intrakardiak yang memungkinkan darah yang tidak mengandung oksigen mencapai sirkulasi arterial sistemik (pintas kanan-ke-kiri). Gagal jantung kongestif paling jelas terlihat pada defek obstruksi aliran ventrikel kiri atau peningkatan aliran darah pulmonal yang bermakna. Yang terakhir ini biasanya disebabkan karena hubungan intrakardiak abnormal yang mengembalikan darah yang teroksigenasi ke jantung kanan (pintas kiri-ke-kanan). Umumnya pintas kanan-ke-kiri umumnya menurunkan aliran darah pulmonal, tetapi lesi yang kompleks akan meningkatkan aliran darah pulmonal – bahkan jika ada pintas kanan-ke-kiri. Banyak kasus dengan lebih dari satu lesi. Bahkan, keselamatan penyakit jantung kongenital dengan banyak anomali (misal, transposisi, anomali aliran balik vena total,

121 atresia pulmonal) tergantung dari adanya lesi pintas lainnya (misalnya, duktus arteriosus paten, foramen ovale paten, defek septum ventrikel). Hipoksemia kronik pada pasien dengan penyakit jantung sianotik akan menyebabkan eritrositosis. Peningkatan sel darah merah, yang disebabkan peningkatan sekresi eritropoietin dari ginjal, akan mengembalikan konsentrasi oksigen ke normal. Sayangnya, viskositas darah juga dapat meningkat ke titik yang mengganggu penghantaran oksigen. Terlebih lagi, defisiensi besi akan mengeksaserbasi hiperviskositas dengan terbentuknya sel darah merah yang lebih rigid dan sulit berubah bentuk di mikrosirkulasi. Jika oksigenasi jaringan kembali normal, hematokrit akan stabil (biasanya < 65%), dan tidak ada gejala hiperviskositas, maka disebut eritrositosis terkompensasi. Pasien eritrositosis tidak terkompensasi tidak dapat mencapai kesetimbangan ini; maka terjadi gejala hiperviskositas dan berisiko komplikasi trombosis, terutama stroke. Hal terakhir ini diperberat oleh dehidrasi dan defisiensi besi. Anak kurang dari 4 tahun memiliki risiko stroke terbesar. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan stroke pada dewasa adalah flebotomi berlebeihan dan terapi aspirin atau antikoagulan. Flebotomi umumnya tidak direkomendasikan jika tidak ada gejala hiperviskositas dan hematokrit < 65%. Kelainan koagulasi sering terjadi pada pasien penyakit jantung sianotik. Hitung trombosit cenderung normal-rendah, dan banyak pasien memiliki defek kaskade koagulasi. Pada beberapa pasien, flebotomi dapat memperbaiki hemostasis. Hiperurisemia sering terjadi akibat peningkatan reabsorbsi urat sekunder karena hipoperfusi ginjal. Artritis gout jarang terjadi, tetapi hiperurisemia dapat menyebabkan gangguan ginjal progresif. Ekokardiografi Doppler pra-operasiprabedah penting dalam membantu menentukan letak anatomis defek untuk mengkonfirmasimengonfirmasi atau menyingkirkan adanya lesi lain atau komplikasi, signifikansi fisiologis, dan efek intervensi terapeutik. Tata Llaksana Anestesi Populasi pasien dengan penyakit jantung kongenital meliputi empat kelopmpok: pasien yang telah menjalani operasi jantung korektif dan tidak membutuhkan operasi lebih lanjut, pasien dengan operasi paliatif saja, pasien yang belum menjalani operasi jantung, dan pasien dengan kondisi tidak mungkin dioperasi dan menunggu transplantasi jantung. Walaupun tata laksana pasien kelompok pertama mungkin sama dengan pasien normal lainnya (kecuali untuk pertimbangan pemberian antibiotik profilaksis, lihat Tabel 20-15), untuk perawatan pasien kelompok lain diperlukan pemahaman patofisiologi kompleks defek-defek yang ada. Bahkan

122 pasien yang telah menjalani operasi korektif rentan terhadap masalah peri-operatifperioperatif (Tabel 20-19). Beberapa prosedur pembedahan membatasi risiko endokarditis, sedangkan yang lainnya meningkatkan risiko melalui penggunaan katup buatan atau meciptakan pintas baru. Pasien dengan defek septum atrium ostium sekundum defek septum atrium dan pasien dengan stenosis pulmonal ringan memiliki risiko terendah. Tata laksana pasien operasi jantung dan selama persalinan obstetrik didiskusikan pada Bab 21 dan 43. Tata laksana umum pasien pediatrik didiskusikan pada Bab 44. Untuk tujuan tata laksana anestesi, penyakit jantung kongenital dapat dibagi menjadi lesi obstruktif, dominan pintas kiri-ke-kanan, atau dominan kanan-ke-kiri (lihat Tabel 20-18). Pada kenyataannya, pintas dapat terjadi ke pada dua arah dan dapat berbalik pada beberapa kondisi. 1. Lesi Obstruktif Stenosis aorta kongenital telah didiskusikan sebelumnya (lihat bagian stenosis aorta) dan koarktasio aorta didiskusikan di pada Bab 21. Stenosis Pulmonal Stenosis katup pulmonal akan mengobstruksi aliran ventrikel kanan dan menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan. Obstruksi berat terdeteksi pada periode neonatal, sedangkan obstruksi yang lebih ringan mungkin tidak terdeteksi sampai usia dewasa. Katup umumnya mengalami deformitas, bisa baik pada katup bikuspid atau trikuspid. Daun katup sering mengalami fusi parasial dan tapak menggelembung (seperti kubah) saat sistolik pada ekokardiografi. Ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan sering terdapat stenosis dilatasi pasca-stenosis pada arteri pulmonarispulmonalis. Gejala yang terjadi adalah gejala gagal jantung kanan (lihat Bab 19). Pasien simtomatik akan mengalami fatigkelelahan, dispnea, dan sianosis perifer bila beraktivitas fisik akibat keterbatasan aliran darah pulmonalar dan peningkatan ekstraksi oksigen jaringan. Pada stenosis berat, gradien katup pulmonalr melebihi 60-80 mmHg, tergantung umur pasien. Pintas kanan-ke-kiri juga dapat terjadi jika ada foramen ovale paten atau defek septum atrium. Curah jantung sangat tergantung pada peningkatan denyut jantung, tetapi peningkatan denyut jantung yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pengisian ventrikel. Valvuloplasti balon perkutan umumnya dapat dipertimbangkan pada pasien stenosis pulmonar simtomatik. Tata laksana pasien yang menjalani operasi harus mempertahankan, agar denyut jantung harus

123 dipertahankan normal atau hanya sedikit meningkat, menambah preload, dan menghindari faktorfaktor yang meningkatkan resistensi vaskular pulmonar pulmonal(lihat Bab 22). 2. Pintas Kiri-ke-Kanan (Sederhana) Dominan Pintas sederhana merupakan hubungan abnormal terisolasi antara jantung kanan dan kiri. Karena tekanan jantung normalnya lebih tinggi pada jantung kiri, darah akan mengalir dari jantung kiri ke kanan, dan aliran darah melalui jantung kanan dan paru-paru meningkat. Tergantung dari ukuran dan lokasi hubungan, ventrikel kanan dapat terkena efek tekanan tinggi sisi kiri, menyebabkan peningkatan tekanan dan volume. Afterload ventrikel kanan normalnya 5% ventrikel kiri, sehingga gradien tekanan kiri-ke-kanan yang kecil saja dapat menyebabkan peningkatan aliran darah pulmonar yang besar. Rasio pulmonar terhadap aliran darah sistemik dapat dihitung dari saturasi oksigen pada saat kateterisasi berdasarkan persamaan berikut: QP = QS

CaO2 – CvO2 CPVO2 – CpaO2

Didi mana CaO2 adalah aliran darah arterial sistemik, CvO2 adalah aliran darah vena campuran, CpvO2 adalah kandungan oksigen darah vena pulmonal (misalnya, vena pulmonarispulmonalis) dan CpaO2 adalah kandungan oksigen arteri pulmonarispulmonalis. Rasio lebih dari 1 biasanya menunjukkan pintas kiri-ke-kanan, sedangkan rasio kurang dari 1 menunjukkan pintas kanan-ke-kiri. Rasio 1 menunjukkan tidak ada pintas atau terjadi pintas dua arah dengan kekuatan sama besar. Peningakatan alariran darah pulmonar pulmonal yang besar menyebabkan kongesti vaskular paruparu dan peningkatan cairan ekstravaskular paru-paru. Peningkatan cairan ekstravaskular akan mengganggu pertukaran gas, menurunkan komplians paru-paru, dan meningkatkan kerja pernapasan. Distensi atrium kiri juga menekan bronkus kiri, sedangkan distensi pembuluh darah pulmonaris pulmonal akan menekan bronkusi yang lebih kecil. Dalam waktu beberapa tahun, peningkatan aliran darah pulmonal kronik akan menyebabkan perubahan vaskular yang ireversibel, dan meningkatkan resistensi vaskular pulmonal. Peningkatan afterload ventrikel kanan menyebabkan hipertrofi dan peningkatan tekanan jantung kanan secara progresif. Pada penyakit tahap lanjut, tekanan jantung kanan dapat melebihi tekanan

124 jantung kiri. Pada keadaan ini, pintas intrakardiak akan berubah arah dan menjadi pintas kananke-kiri (sindrom Eisenmenger). Jika hubungan jantung kecil, maka aliran pintas akan tergantung terutama dari ukuran defek yang ada (pintas restriktif). Jika hubungan yang ada besar (pintas nonrestriktif), maka aliran pintas akan tergantung dari keseimbangan hubungan antara resistensi vaskular pulmonal dan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan pada resistensi vaskular sistemik relatif terhadap resistensi vaskular pulmonal akan mengarah ke pintas kanan-ke-kiri Lesi ruang jantung yang sering (misalnya, atrium tunggal, ventrikel tungga, trunkus arteriosus) menggambarkan bentuk ekstrim pintas nonrestriktif; aliran pintas pada lesi ini adalah dua arah dan tergantung total pada perubahan relatif afterload ventrikel. Jika terdapatAdanya aliran pintas antara jantung kanan dan kiri, apapun arahnya, maka harus disingkirkan kemungkinan adanya gelembung udara atau bekuan dari cairan intravena untuk mencegah emboli paradoksal ke sirkulasi serebral atau koroner. Defek Septum Atrium (Atrial Septal Defect, ASD) Defek seaptum atrium ostium sekundum merupakan jenis paling sering dan biasanya terjadi sebagai lesi tunggal pada regio fossa ovalis. Defek ini kadang disertai aliran balik vena pulmonal parsial, tersering pada vena pulmonalris kanan atas. Defek septum atrium sekundum dapat menyebabkan lubang tunggal atau multipel antar atrium. Jenis lain yang lebih jarang, seperti defek sinus venosus, dan ostium primum umumnya berhubungan dengan kelainan jantung lainnya. Defek sinus venosus terletak di septum interatrial bagian atas dekat vena kava superior; satu atau lebih vena pulmonalris kanan seringkali mengalirkan darah ke vena kava superior. Sebaliknya, defek ostium primum terletak pada septum interatrial bagian bawah dan terletak menutupi katup mitral dan triskuspid; banyak pasien juga memiliki celah pada katup anterior mitral dan beberapa memiliki kelainan setum katup trikuspid. Sebagian besar anak dengan defek septum atrium bersifat simtomatik minimal; beberapa anak mengalami infeksi paru-paru berulang. Gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal sering terjadi pada orang dewasa dengan defek septum atrium. Pasien defek ostium primum seringkali memiliki pintas yang besar dan dapat menjadi regurgitasi mitral yang signfikan. Jika tidak ada gagal jantung, respons anestesi terhadap obat inhalasi dan intravena umumnya tidak akan berubah signifikan pada pasien DSA. Peningkatan resistensi vaskular sistemik harus dihindari karena dapat memperburuk pintas kiri-ke-kanan.

125 Defek Septum Ventrikel, (Ventricular Septal Defect, VSD) Defek septum ventrikel merupakan penyakit jantung kongenital tersering, 25-35% dari penyakit jantung kongenital. Defek tersering pada pars membranosa septum interventrikular (VSD membranosa atau infrakristal) pada bagian posterior dan anterior septum dari katup trikuspid. VSD muskularis merupakan jenis kedua tersering dan terletak pada bagian mid atau apeks septum interventrikel, dimana dapat terjadi defek tunggal atau lubang multipel (menyerupai keju Swiss). Defek pada septum subpulmonal (suprakristal) seringkali disertai regurgitasi aorta karena katup koroner kanan dapat prolaps ke defek septum venrikel. Defek septum pada lubang masuk ventrikel umumnya serupa dengan perkembangan dan lokasi defek septum AV (lihat bagian berikutnya). Kelainan fungsional yang terjadi pada VSD tergantung dari ukuran defek, resistensi vaskular pulmonal, dan ada atau tidaknya kelainan lain. VSD yang kecil, khususnya jenis muskularis, seringkali menutup pada masa kanak-kanak. Defek restriktif berhubungan dengan pintas kiri-kekanan yang kecil (rasio aliran darah pulmonal-sistemik kurang dari 1,75:1). Defek yang besar menyebabkan pintas kiri-ke-kanan yang besar pula (pintas lebih dari 2:1) yang berhubungan langsung dengan resistensi vaskular sistemik dan tidak langsung dengan resistensi pulmonal. Infeksi paru-paru berulang dan gagal jantung kongestif sering terjadi pada rasio pulmonalsistemik 3-5:1. Pasien dengan VSD kecil ditangani secara medis dan dilanjutkan dengan pemeriksaan elektrokardiografi (untuk mencari tanda hipertrofi ventrikel kanan) dan ekokardiografi. Operasi penutupan biasanya dilakukan pada pasien dengan VSD besar sebelum terjadi penyakit vaskular pulmonal dan Eisenmenger fisiologis. Seperti pada defek septum atrium, bila tidak ada gagal jantung, respons terhadap obat anestesi inhalasi dan intravena umumnya tidak berubah signifikan. Begitu pula, peningkatan pada resistensi vaskular sistemik akan memperburuk pintas kiri-ke-kanan. Jika terdapat pintas kanan-ke-kiri, peningkatan resistensi vaskular pulmonal mendadak atau penurunan resistensi vaskular sistemik mendadak tidak dapat ditolerirditoleransi dengan baik. Defek Septum Atrioventrikular Defek bantalan endokard (kanal AV) menyebabkan defek pada septum atrium atau ventrikel yang berdekatan, seringkali dengan kelainan katup AV. Lesi ini paling sering terjadi pada pasien sindrom Down (lihat Bab 44). Defek dapat menyebabkan pintas yang besar pada atrium maupun ventrikel. Regurgitasi mitral dan trikuspid dapat menimbulkan eksaserbasi kelebihan volume

126 ventrikel. Pada awalnya, pintas lebih dominan kiri ke kanan; akan tetapi, dengan meningkatknya hipertensi pulmonal, maka terjadi sindrom Eisenmenger dengan sianosis yang semakin jelas. Duktus Arteriosus Persisten Menetapnya hubungan antara arteri pulmonaris pulmonalis utama dan aorta dapat menyebabkan pintas kiri-ke-kanan restriktif ataupun nonrestriktif. Kelainan ini paling sering bertanggungjawab terhadap perburukan kardiopulmonal pada bayi prematur, dan kadang terjadi pada usia lebih tua. Target anestesi sama dengan defek septum atrium dan ventrikel. Anomali Aliran Balik Vena Parsial Defek ini terjadi jika satu atau lebih vena pulmonaris pulmonalis mengalir ke sisi kanan jantung; Vena vena yang mengalami anomali umumnya berasal dari paru kanan. Kemungkinan tTempat masuknya vena yang anomali yaitu keadalah atrium kanan, vena kava superior atau inferior, dan sinus koronarius. Kelainan yang terjadi menyebabkan pintas kiri-ke-kanan yang bervariasi. Perjalanan klinis dan prognosis biasanya baik dan sama dengan ASD sekundum. Sinus koronarius yang sangat besar pada pemeriksaan ekokardiografi transesofageal sangat sugestif akan anomali drainase vena ke sinus koronarius, yang dapat mempersulit tata laksana kardioplegia saat operasi jantung (lihat Bab 21). 3. Pintas Kanan-ke-kiri (Kompleks) Dominan Lesi pada kelompok ini (disebut juga lesi campuran) dapat menyebabkan obstruksi maupun pintas aliran ventrikel. Obstruksi yang ada memudahkan aliran pintas ke sisi yang tidak obstruksi. Jika obstruksi ringan, jumlah aliran pintas dipengaruhi rasio resistensi vaskular sistemik terhadap pulmonal, tetapi peningkatan berat obstruksi akan membuat arah pintas dan beratnya menjadi menetap. Atresia salah satu katup jantung adalah bentuk obstruksi yang ekstrim. Pintas terjadi proksimal dari katup yang atresia dan pintas ini menetap; keselamatan tergantung pada pintas bagian distal lainnya (biasanya duktus arteriosus persisten, foramen ovale persisten, ASD, atau VSD), dimana darah mengalir ke arah yang berlawanan. Kelompok ini juga dapat dibagi lagi berdasarkan peningkatan atau penurunan aliran darah pulmonal (lihat Tabel 20-18). Tetralogi Fallot Secara klasik tetralogi ini meliputi obstruksi ventrikel kanan, hipertofi ventrikel kanan, dan VSD dengan aorta diatasnya. Obstruksi ventrikel kanan pada sebagian besar pasien disebabkan karena

127 stenosis infudibulum, karena hipertrofi otot subpulmonal (krista ventrikularis). Setidaknya 20– 25% pasien mengalami stenosis pulmonal, dan sebagian kecil pasien memiliki beberapa elemen obstruksi supravalvular. Katup pulmonaler seringkali bikuspid atau yang lebih jarang, mengalami atresia. Obstruksi infudibulum dapat meningkat dengan tonus simpatis, jadi bersifat dinamis; obstruksi ini bertanggung jawab pada keadaan hipersianosis yang terlihat pada pasien yang sangat muda. Kombinasi obstruksi ventrikel kanan dan VSD mengakibatkan ejeksi darah ventrikel kanan yang tidak mengandung oksigen dan juga darah ventrikel kiri yang mengandung oksigen ke aorta. Pintas kanan-ke-kiri melewati VSD memiliki komponen tetap dan variabel. Komponen tetap ditentukan oleh berat obstruksi ventrikel kanan, sedangkan komponen variabel tergantung dari resistensi vaskular sistemik dan pulmonal. Neonatus dengan obstruksi ventrikel kanan berat dapat mengalami perburukan dengan cepat jika aliran darah pulmonal menurun jika duktus arteriosus persisten mulai menutup. Pada keadaan ini digunakan prostaglandin E1 intravena (0,05–0,2 ug/kg/menit) untuk mencegah penutupan duktus. Biasanya dilakukan operasi paliatif dengan pintas kiri-ke-kanan atau koreksi total. Untuk operasi paliatif, paling sering digunakan pintas modifikasi Blalock-Taussig (arteri subkalviapulmonarispulmonalis kiri) untuk meningkatkan aliran darah pulmonal. Pada prosedur ini, cangkok sintetis dianastomosis antara arteri subklavia dan arteri pulmonalris ipsilateral. Koreksi total meliputi penutupan VSD, menghilangkan otot infudibulum yang menyebabkan obstruksi, dan penggantian katup pulmonal (valvulotomi atau valvuloplasti) bila perlu. Target tata laksana anestesi pada pasien tetralogi Fallot adalah mempeprtahankan volume intravaskular dan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan resistensi vaskular pulmonal, seperti pada asidosis atau tekanan jalan napas berlebihan, harus dihindari. Ketamin (intramuskular atau intravena) merupakan obat induksi yang sering digunakan karena mempertahankan atau meningkatkan resistensi vaskular sistemik sehingga tidak memperburuk pintas kananke-kiri. Pasien dengan pintas yang lebih ringan umumnya dapat mentolerirmenoleransi induksi inhalasi dengan halotan. Pintas kanan-ke-kiri cenderung memperlambat ambilan anestesi inhalasi (lihat Bab 7); sebaliknya, onset obat intravena menjadi lebih cepat. Oksigenasi seringkali membaik setelah induksi anestesia. Relaksan otot yang melepas histamin harus dihindari. Keadaan hipersianosis daapt diterapi dengan cairan intravena dan fenilefrin (5 μug/kg). Propranolol (0,1 μug/kg) dapat juga efektif untuk menghilangkan spasme infudibulum. Natrium bikarbonat, untuk koreksi asidosis metabolik, juga dapat juga berguna jika terjadi hipoksemia yang berat dan memanjang.

128 Atresia Trikuspid Pada atresia trikuspid, darah mengalir keluar dari atrium kanan hanya melalui foramen ovale persisten (atau ASD). Terlebih lagi, duktus arteriosus persistens (atau VSD) diperlukan agar darah bisa mengalir dari ventrikel kiri ke sirkulasi pulmonal. Sianosis biasanya terlihat jelas pada saat kelahiran, dan beratnya tergantung dari jumlah aliran darah pulmonal yang dapat dicapai. Keselamatan awal tergantung dari infus prostaglandin E1 dengan atau tanpa septostomi atrium perkutan dengan balon Rashkind. Sianosis berat membutuhkan pintas modifikasi Blalock-Taussig pada awal kehidupan. Tata laksana operasi yang dipilih adalah modifikasi prosedur Fontan, dimana atrium kanan dianastomosis dengan arteri pulmonarispulmonalis kanan. Pada beberapa pusat, vena kava superior disambung dengan arteri pulmonarispulmonalis utama (Glenn bidireksional) sebelum prosedur Fontan, atau menggantikan prosedur Fontan. Pada kedua prosedur, aliran darah dari vena sistemik mengalir seluruhnya ke atrium kiri karena gradien tekanan. Keberhasilan prosedur tergantung dari tekanan vena sistemik yang tinggi dan memeprtahankan resistensi vaskular pulmonal yang rendah dan tekanan atrium kiri rendah. Transplantasi jantung mungkin diperlukan pada kegagalan prosedur Fontan. Transposisi Arteri-arteri Besar Pada pasien dengan transposisi arteri besar, aliran darah vena pulmonal dan sistemik mengalir kembali ke jantung, vena pulmonal ke atrium kanan, dan vena sistemik ke atrium kiri, tetapi aorta timbul dari ventrikel kanan dan arteri pulmonal muncul dari ventrikel kiri. Sehingga, darah yang tidak mengandung oksigen kembali ke sirkulasi sistemik dan darah teroksigenasi mengalir kembali ke paru-paru. Keselamatan terjadi hanya jika terjadi campuran darah yang deoksigenasi dengan darah teroksigenasi nelalui foramen ovale dan duktus arteriosus yang persisten. Adanya VSD akan meningkatkan pencampuran darah dan mengurangi hipoksemia. Biasanya diperlukan infus Prostaglandin prostaglandin E1. Septostomi Rashkind mungkin diperlukan jika operasi harus ditunda. Terapi operasi korektif meliputi prosedur pertukaran arteri dimana aorta dipotong dan direanastomosis ke ventrikel kiri dan arteri pulmonal dipotong dan dianastomosis ke ventrikel kanan. Arteri koronaria juga harus direimplantasi ke radiks arteri pulmonarispulmonalis yang lama. Jika terdapat VSD, maka defek ditutup. Prosedur yang lebih jarang dilakukan, adalah pertukaran atrium (prosedur Senning) jika prosedur pertukaran arterial tidak dapat dilakukan. Pada prosedur Senning, diciptakan lubang pada dinding atrium dan darah dari vena pulmonarispulmonalis mengalir melalui ASD ke ventrikel kanan, dimana akan diejeksi ke sirkulasi sistemik.

129 Transposisi arteri-arteri besar dapat terjadi bersama VSD dan stenosis pulmonal. Kombinasi ini menyerupai tetralogi Fallot; tetapi obstruksi yang terjadi mempengaruhi ventrikel kiri, dan bukan mempengaruhi ventrikel kanan. Operasi korektif meliputi penutupan VSD, mengarahkan aliran ventrikel kiri ke aorta, ligasi arteri pulmonaris pulmonalis proksimal, dan menghubungkan aliran ventrikel kanan ke arteri pulmonaris pulmonalis dengan suatu katup (prosedur Rastelli). Anomali Vena Total Tidak adanya hubungan langsung antara vena pulmonaris pulmonalis dengan atrium kiri mengakbiatkan anomali aliran balik vnea. Terjadi campuran darah deoksigenasi dan teroksigenasi pada atau sebelum atrium karena vena pulmonaris pulmonalis mengalir ke vena kava superior atau inferior, sinus koronarius, atau duktus venosus. Darah biasanya mencapai atrium kiri melalui foramen ovale atau melalui defek septum atrium. Obstruksi pada aliran balik pulmonal, yang daapat terjadi jika darah mengalir ke duktus venosus dan duktus venosus mulai menutup, akan menyebabkan kongesti pulmonal berat. Operasi korektif meliputi reanastomosis vena pulmonaris pulmonalis komunis secara langsung ke atrium kiri dan menutup defek septum atrium yang ada. Trunkus Arteriosus Pada defek trunkus arteriosus, trunkus arterial tunggal memasok sirkulasi pulmonal dan sistemik. Trunkus yang ada terletak di atas defek septum ventrikel, sehingga kedua ventrikel memompa darah ke trunkus tersebut. Setelah kelahiran, resistensi vaskular pulmonal akan menurun bertahap, maka aliran darah pulmonal akan meningkat dengan cepat dan menyebabkan gagal jantung. Jika tidak ditangani, peningkatan resistensi vaskular pulmonal dan sianosis akan terjadi bersamaan dengan fisiologis Eisenmenger. Operasi korektif menutup VSD, memisahkan arteri pulmonaris pulmonalis dari trunkus, dan menghubungkan ventrikel kanan ke arteri pulmonaris pulmonalis dengan suatu hubungan (repair Rastelli). Sindrom Hipoplasia Jantung Kiri Sindrom ini adalah sekelompok defek yang ditandai dengan jantung kiri yang tidak berkembang. Seringkali disertai anomali kongenital nonjantung lainnya. Ventrikel kanan merupakan bilik pompa utama untuk sirkulasi sistemik dan pulmonal. Ventrikel kanan akan memompa darah ke arteri pulmonarispulmonalis, dan semua aliran darah yang memasuki aorta biasanya dari duktus arteriosus persisten. Pilihan operasi adalah paliatif dengan prosedur Norwood yang komplikatif atau transplantasi jantung. Prosedur Norwood biasanya dilakukan tiga tahapan.

130 PASIEN TRANSPLANTASI JANTUNG Pertimbangan pra-operasiPrabedah Jumlah pasien yang menjalani transplantasi jantung semakin bertambah karena peningkatan frekuensi transplantasi dan juga peningkatan angka keselamatan. Pasien dengan transplantasi jantung mungkin masuk ke kamar operasi pada awal periode pascaoperasipascabedah untuk eksplorasi mediastinum atau retransplantasi, atau mungkin pada tahap selanjutnya untuk insisi dan drainase infeksi, operasi ortopedi, atau operasi lain yang tidak berhubungan dengan keadaan jantungnya. Jantung yang ditransplantasikan mengalami denervasi total, sehingga pengaruh otonom tidak ada. Pembentukan impuls dan konduksi jantung normal, tetapi tidak adanya pengaruh vagal menyebabkan denyut jantung isitrahat yang relatif tinggi (100-120 kali/menit). Walaupun serabut simpatis juga terputus, tetapi respons terhadap katekolamin sirkulasi masih normal atau bahkan meningkat karena sensitivitas denervasi (peningkatan densitas reseptor). Reinervasi parsial dapat terjadi pada beberapa pasien setelah beberapa waktu. Curah jantung cenderung normal-rendah dan akan relatif meningkat perlahan-lahan sebagai respons latihan akrena respons tergantung dari peningkatan katekolamin dalam sirkulasi. Karena hubungan Starling antara volume akhir diastolik dan curah jantung (lihat Bab 19) normal, maka jantung yang ditransplantasi juga tergantung pada preload. Autoregulasi koroner masih tetap ada. Evaluasi praoperasi prabedah harus terfokus dalam evaluasi status fungsional organ tranplantasi dan deteksi komplikasi supresi imun. InsidensiInsidens penolakan cangkok tertinggi terjadi dalam 3 bulan pertama; penolakan terjadi sekitar satu pasien per tahunnya. Penolakan organ jantung dapat ditandai oleh aritmia (pada 6 bulan pertama) atau penurunan toleransi latihan karena peburukan performa miokard yang progresif. Evaluasi ekokardiografi periodik umumnya digunakan untuk memantau adanya penolakan, tetapi teknik yang paling dapat dipercaya adalah biopsi endomiokard. Aterosklerosis lebih dipercepat terjadi pada cangkok sangat sering terjadi dan merupakan masalah serius yang membatasi kehidupan transplan. Terlebih lagi, iskemia miokard dan infark hampir selalu tanpa gejala karena adanya denervasi. Karena itu, pasien dengan transplantasi jantung harus menjalani evaluasi periodik, termasuk angiografi, untuk evaluasi aterosklerosis koroner. Terapi supresi imun biasanya meliputi siklosporin, azatioprin, dan prednison. Efek samping penting meliputi nefrotoksisitas, supresi sum-sum tulang, hepatotoksisitas, infeksi oportunistik,

131 dan osteoporosis. Hipertensi dan retensi cairan sering terjadi dan umumnya membutuhkan terapi dengan diuretik dan penghambat ACE. Kortikosteroid dDosis penekan kortikosteroid penekan dibutuhkan jika pasien menjalani prosedur operasi mayor (lihat Bab 36). Tata laksana Anestesi Hampir semua teknik anestesi, termasuk anestesi regional, telah sukses digunakan dengan sukses pada pasien dengan transplantasi jantung. Karena fungsi cangkok jantung tergantung preload maka sangat penting mempertahankan preload jantung tetap normal atau tinggi. Terlebih lagi, karena tidak adanya refleks peningkatan denyut jantung membuat pasien sangat sensitif terhadap vasodilatasi cepat. Vasopresor tidak langsung seperti efedrin dan dopamin kurang efektif dibandingkan obat yang bekerja langsung karena tidak ada cadangan katekolamin pada neuron miokard (lihat Bab 12). Isoproterenol atau epinefrin yang diencerkan (10 g/ml) harus tersedia untuk meningkatkan denyut jantung jika perlu. Bradikardia sekunder akibat opioid dan penghambat kolinesterase tidak terjadi. Begitu pula, peningkatan denyut jantung tidak terjadi setelah pemberian antikolinergik, pankuronium, atau meperidin. Antikolinergik harus tetap diberikan untuk melawan relaksan otot untuk memblokade efek muskarinik nonjantung asetilkolin. Harus dilakukan pemantauan elektrokardiografi yang teliti untuk tanda-tanda iskemia. EKG biasanya menunjukkan dua set gelombang P, satu menggambarkan nodus SA penerima (yang tetap intak ( dan yang lain menggambarkan nodus SA donor. Nodus SA penerima masih tetap dipengaruhi otonom, tetapi tidak mempengaruhi fungsi jantung. Pemantauan tekanan arterial, tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonarispulmonalis secara langsung harus digunakan untuk operasi mayor; teknik asepsis harus secara ketat dilakukan saat penempatan alat pemantau. DISKUSI KASUS: FRAKTUR PANGGUL PADA WANITA LANJUT USIA KARENA JATUH Seorang wanita, 71 tahun akan menjalani operasi reduksi terbuka dan fiksasi interna (open reduction and internal fixation, ORIF) pada fraktur panggul kiri. Terdapat riwayat episode pingsan, ‘kepala terasa ringan’ dua kali beberapa hari sebelum pasien jatuh. Jika ditanyakan mengenai kejadian saat pasien jatuh, pasien hanya ingat bahwa ia sedang berdiri di kamar mandi dan menyikat gigi, kemudia saat sadar ia sudah di lantai dengan nyeri di panggul. EKG praoperasi menunjukkan ritme sinus dengan interval P-R 220 meterdetik milidetik dan adanya pola right bundle branch block (RBBB).

132 Mengapa seorang ahli anestesiolog harus memperhatikan riwayat sinkop? Riwayat sinkop pada pasien usia lanjut meningkatkan kemungkinan adanya aritmia dan penyakit jantung organik yang mendasari. Walaupun aritmia juga dapat terjadi tanpa penyakit jantung organik, tetapi dua keadaan ini seringkali saling berhubungan. Sinkop jantung biasanya terjadi akibat aritmia cepat yang mendadak mengganggu curah jantung dan mengganggu perfusi serebral. Gejala kepala terasa ringan prasinkop mungkin menggambarkan gangguan serebral derajat lebih ringan. Baik bradiaritmia dan takiaritmia (lihat Bab 19) dapat menyebabkan sinkop. Tabel 20-20 merupakan daftar penyebab sinkop jantung dan nonjantung lainnya. Bagaimana bradiaritmia dapat terjadi? Bradiaritmia dapat terjradi baik karena disfungsi nodus SA atau kelainan konduksi AV impuls jantung. Perlambatan atau blokade impuls dapat terjadi dimana saja antara nodus SA dan sistem His-Purkinje distal (lihat Bab 19). Kelainan reversibel dapat disebabkan abnormalitas tonus vagal, kelainan elektrolit, toksisitas obat, hipotermia, atau iskemia miokard. Kelainan yang ireversibel, awalnya mungkin hanya intermiten sebelum menjadi permanen, menggambarkan kelainan sistem konduksi yang terpisah atau penyakit jantung yang mendasari (paling sering hipertensi, arteri koroner, atau penyakit katup jantung). Apakah patofisiologi disfungsi nodus sinus? Pasien dengan disfungsi nodus sinus mungkin memiliki nilai EKG 12 sadapan yang normal tetapi memiliki aktivitas nodus SA yang berhenti dengan cepat (sinus arrest) atau blok konduksi intermiten impuls SA ke jaringan sekitarnya (blok jalan keluar). Gejala umumnya terjadi jika aktivitas nodus berhenti lebih lama (> 3 detik) atau denyut ventrikel efektif kurang dari 40 kali/menit. Pasien dapat mengalami pusing intermiten, sinkop, bingung, fatigkelelahan, atau sesak napas. Disfungsi nodus SA simtomatik, atau sindrom sinus sakit (sick sinus syndrome) seringkali terlihat bila diberikan obat pemblokade adrenergik , pemblokade kanal kalsium, digoksin, atau kuinidin. Istilah sindrom takikardia-bradikardia sering digunakan jika pasien mengalami takiaritmia paroksismal (umumnya flutter atrium atau fibrilasi atrium) diikuti henti sinus atau bradikardia. Bradikardia, mungkin menggambarkan kegagalan nodus SA untuk mengembalikan otomatisasi setelah supresi takiaritmia. Diagnosis harus dibuat berdasarkan gejala (pemantauan Holter)( atau setelah uji provokatif (stimulasi baroreseptor karotis atau pacu atrium cepat).

133 Bagaimana manifestasi 12 sadapan EKG pada kelainan konduksi AV? Kelainan konduksi AV umumnya bermanifestasi sebagai depolarisasi ventrikel abnormal (bundle branch block), interval P-R memanjang (blok AV derajat pertama), kegagalan beberapa impuls atrium mendepolarisasi ventrikel (blok AV derajatke dua), atau disosiasi AV (blok AV derajat ketiga; juga disebut blok jantung komplit). Tabel 20-20. Penyebab-penyebab sinkop Jantung Aritmia Takiaritmia (biasanya > 180 kali/menit) Bradiaritmia (biasanya < 40 kali/ menit) Gangguan ejeksi ventrikel kiri Stenosis aorta Kardiomiopati hipertrofik Infark miokard masif Miksoma atrium Gangguan keluaran ventrikel kanan Tetralogi Fallot Hipertensi pulmonal primer Emboli pulmonal Stenosis katup pulmonal Gangguan biventrikular Tamponade jantung Infark miokard masif Nonjantung Peningkatan refleks Refleks vasodepresor (misal, sinkop vasovagal) Hipersensitivitas sinus karotis Neuralgia Hipotensi postural Hipovolemia Simpatektomi Disfungsi otonom Manuver Valsava berkelankutanberkelanjutan

134 Penyakit serebrovaskular Kejang Metabolik Hipoksia Hipokapnia bermakna Hipoglikemia Apa yang menentukan signifikansi kelainan konduksi ini? Signifikansi/ pentingnya kelainan sistem konduksi tergantung dari lokasinya, kecenderungan progresi menjadi blok jantung komplit, dan kecendrungan tempat pacu jantung yang lebih distal untuk mempertahankan ritme jantung yang stabil dan adekuat (> 40 kali/menit). Normalnya berkas His adalah tempat terlambat pada sistem konduksi yang dapat mempertahankan ritme yang stabil (umumnya 40–60 kali/menit). Jika terjadi kegagalan konduksi dimana saja sebelum berkas His, maka berkas His normal dapat mengambil alih fungsi pacu jantung dan mempertahankan kompleks QRS yang normal kecuali terdapat defek konduksi intraventrikel distal. Jika terbentuk ritme penyelamat yang muncul dari sistem His-Purkinje bagian bawah, maka ritme biasanya lebih lambat (< 40 kali/menit) dan seringkali tidak stabil; hal ini menyebabkan kompleks QRS lebar. Apa arti blok serabut cabang dengan interval P-R normal? Hambatan konduksi atau blok pada serabut cabang kanan (right bundle branch) mengakibatkan pola QRS khas RBBB pada EKG permukaan (bentuk M atau rSR’ pada sadapan V1) dan dapat menggambarkan kelainan kongenital atau penyakit jantung organik yang mendasari. Sebaliknya, hambatan atau blok pada serabut cabang utama kiri menyebabkan pola QRS left bundle branch block (LBBB) (R yang lebar dan meningkat dengan lambat pada sadapan V5) dan hampir selalu menggambarkan penyakit jantung yang mendasarinya. Istilah hemiblok sering digunakan jika hanya satu dari dua fasikulus serabut cabang kiri yang terblokade (hemiblok anterior kiri atau posterior kiri). Jika interval P-R normal – dan tidak ada infark miokard akut – maka blok konduksi baik pada sisi kanan ataupun kiri jarang menyebabkan blok jantung total. Dapatkah letak blok AV ditentukan dari EKG 12 sadapan?

135 Tidak. Blok AV derajat pertama (interval P-R > 200 milidetik) dapat menggambarkan kelainan konduksi dimana saja antara atrium dan sistem His-Purkinje distal. Blok AV derajat kedua Mobitz tipe I, yang ditandai oleh pemanjangan interval P-R progresif sebelum gelombang P tidak diteruskan (QRS tidak mengikuti gelombang P), dan umumnya disebabkan blok pada nodus AV itu sendiri, dan dapat disebabkan karena toksisitas digitalis atau iskemia miokard; progresi menjadi blok AV derajat ketiga tidak umum. Pada pasien blok AV derajat kedua Mobitz tipe II, impuls atrium tidak diteruskan ke ventrikel secara periodik tanpa adanya pemanjangan interval P-R yang progresif. Blok konduksi hampir selalu terletak pada berkas His atau setelah berkas His, dan seringkali berkembang menjadi blok AV total (derajat ketiga), terutama setelah infark miokard anteroseptal akut. Bentuk khas QRS adalah lebar. Pada pasien dengan blok AV derajat ketiga, kecepatan depolarisasi atrium dan ventrikel tidak saling tergantung (disosiasi AV) karena seluruh impuls atrium gagal mencapai ventrikel. Jika lokasi blok terletak pada nodus AV, maka ritme berkas His yang stabil akan menyebabkan kompleks QRS normal dan ekcepatan ventrikel sering meningkat setelah pemberian atropin. Jika blok ini terjadi pada berkas His, maka sumber ritme ventrikel akan lebih distal, menyebabkan kompleks QRS yang lebar. Kompleks QRS yang lebar tidak harus menyingkirkan berkas His normal, karena mungkin disebabkan karena blok yang lebih distal pada salah satu serabut cabang. Dapatkan disosiasi AV terjadi tanpa blok AV? Ya. Disosiasi AV sering terjadi saat anestesia dengan obat gas tanpa adanya blok AV dan terjadi akibat sinus bradikardia atau percepatan ritme juctional AV. Selama disosiasi isoritmik, denyut atrium dan ventrikel berdenyut sendiri-sendiri pada kecepatan yang hampir sama. Seringkali gelombang P hanya sedikit mendahului atau sesudah kompleks QRS, dan hubungan ini umumnya bertahan. Sebaliknya, interferensi disosiasi AV karena ritme junctional yang lebih cepat daripada kecepatan sinus – sehingga impuls sinus selalu mencapai nodus AV yang refrakter. Bagaimana dapat terjadi blok bifasikular dan trifasikular? Blok bifasikular terjadi jika dua dari tiga cabang utama berkas His (kanan, anterior kiri, dan posterior kiri) mengalami blok parsial atau total. Jika satu fasikulus mengalami blok total dan fasikulus lain hanya blok parsial, maka timbul pola blok serabut cabang (bundle branch block)

136 yang disertai blok AV derajat pertama atau kedua. Jika ketiga cabang terkena, disebut blok trifasikular. Hambatan atau blok parsial pada ketiga fasikulus menyebabkan interval P-R memanjang (blok AV derajat pertama) atau LBBB dan RBBB. Blok total pada ketiga fasikulus menyebabkan blok AV derajat ketiga. Apa arti penemuan elektrokardiografi pada pasien ini? Penemuan elektrokardiografi (blok AV derajat pertama dan RBBB) berarti blok bifasikular. Mungkin terdapat gangguan sistem konduksi yang luas. Terlebih lagi, episode sinkop dan hampir sinkop mungkin menunjukkan risiko bradiaritmia yang mengancam nyawa (blok AV derajat ketiga). Perekaman elektrokardiografi intrakardiak harus dilakukan untuk mengkonfirmasi tempat hambatan konduksi. Apakah tata laksana yang tepat untuk pasien ini? Evaluasi kardiologis diperlukan karena adanya blok bifasikular simtomatik. Dapat dipilih salah satu dari dua tata laksana, tergantung kedaruratan bedah. Jika operasi gawat darurat, maka diindikasikan pemasangan kateter pacu jantung transvena sementara sebelum induksi anestesia umum atau regional. Jika operasi dapat ditunda hingga 24–48 jam (seperti pada kasus pasien ini), maka diperlukan pemantauan elektrokardiografi kontinyu, EKG 12 sadapan serial, dan pengukuran isoenzim jantung untuk menyingkirkan adanya iskemia miokard atau infark miokard dan diusahakan perekaman pantauan saat terjadi gejala. Terlebih lagi, pemeriksaan berkas His intrakardiak singkat mungkin berguna menetukan perlunya penempatan pacu jantung jika diagnosis klinis bradikardia simtomatik tidak dapat ditegakkan. Jika interval HV lebih dari 100 milidetik, maka pasien membutuhkan alat pacu jantung sebelum operasi (lihat atas). Jika interval HV normal ata 60–100 milidetik, maka pacu jantung permanen tidak merupakan indikasi mutlak, tetapi harus dipasang akses vena sentral (jugularis interna) dan akses untuk pemasangan pacu jantung tetap disarankan karena adanya riwayat sinkop. Apakah indikasi pacu jantung temporer perioperasi secara umum? Indikasi yang disarankan meliputi hal-hal berikut: bradiaritmia simtomatik yang terekam; blok serabut cabang baru, atau blok AV derajat ketiga yang disertai IM; blok bifasikular pada pasien koma (kontroversial); dan takiaritmia refrakter supraventrikular.

137 Tiga indikasi pertama umumnya membutuhkan alat pacu ventrikel, sedangkan indikasi keempat membutuhkan elektroda pacu atrium dan generatur pulsasi atrium cepat yang dapat diprogram. Bagaimana pacu jantung temporer dipasang? Alat pacu jantung dapat menggunakan elektroda transvena, transkutan, epikardial, atau transesofageal. Metode yang paling baik secara umum adalah melalui elektroda pacu transvena dalam bentuk kawat atau kateter pacu dengan ujung balon. Alat pacu bentuk kawat harus diposisikan dengan bantuan fluoroskopi, tetapi kateter pacu yang diarahkan oleh aliran dapat juga diletakkan di ventrikel kanan dengan bantuan pemantauan tekanan. Alat pacu bentuk kawat harus digunakan jika aliran darah berkurang. Jika pasien memiliki rekaman EKG intrakardiak yang ritmik, maka saat elektroda kontak dengan endokardium ventrikel kanan akan terlihat elevasi segmen ST yang mengkonfirmasimengonfirmasi penempatan elektroda. Kateter arteri pulmonarispulmonalis dengan desain khusus memiliki pintu ekstra untuk jalan masuknya kawat pacu ventrikel kanan. Kateter ini sangat berguna terutama pada pasien LBBB, yang dapat mengalami blok jantung total saat penempatan kateter. Pacu ventrikel transkutan juga dapat dilakukan melaluivia bantalan elektroda pad yang ditempelkan pada dada dan harus digunakan jika alat pacu jantung transvena belum tersedia. Elektroda epikardial biasanya digunakan saat operasi jantung. Alat pacu atrium kiri melalui elektroda esofagus merupakan teknik yang sederhana dan relatif noninvasif, tetapi hanya berguna untuk sinus bradikardia simtomatik dan untuk mengakhiri beberapa takiaritmia supraventrikel. Begitu alat pacu sudah diterpasang, elektroda disambungkan ke generator pulsasi listrik yang menghantarkan impuls secara periodik dengan besar dan kecepatan tertentu. Sebagian besar generator pacu jantung memiliki sensitivitas dan dapat mendeteksi aktivitas listrik spontan jantung (biasanya aktivitas listrik ventrikel): jika aktivitas spontan jantung terdeteksi, generator akan menghentikan impuls berikutnya. Dengan mengubah ambang rangsang sensasi generator, fungsi generator pacu jantung dapat diubah menjad dalam mode tetap (asinkron) atau mode sesuai kebutuhan (dengan meningkatkan sensitivitas). Arus terendah yang melalui elektroda yang dapat mendepolarisasi miokardium disebut ambang arus (biasanya < 2 mA untuk elektroda transvena). Pola LBBB dapat terlihat jika elektroda pacu terletak dalam ventrikel kanan, karena ventrikel kanan mengalami depolarisasi langsung, sedangkan ventrikel kiri mengalami depolarisasi (lebih lambat) oleh konduksi yang melewati miokardium, dan bukan sistem konduksi normal.

138 Apakah pacu sekuensial AV? Pacu ventrikular seringkali menurunkan curah jantung karena tidak adanya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel. Jika terdapat gangguan sistem konduksi AV, kontraksi atrium dapat tetap dipertahankan oleh stimulasi sekuensial dengan elektroda atrium dan ventrikel yang terpisah. Interval P-R dapat bervariasi dengan mengatur perlambantan antara impuls atrium dan impuls ventrikel (biasanya diatur pada 150–200 milidetik). Bagaimana klasifikasi pacu jantung? Pacu jantung dikategorikan dengan kode lima huruf, sesuai dengan ruang jantung yang dipacu, sensasi ruang jantung, respons terhadap sensasi, kemampuan diprogram, dan fungsi aritmia (Tabel 20-21). Dua mode pacu yang paling sering digunakan adalah VVI dan DDD (dua huruf terakhir seringkali dihilangkan). Tabel 20-21. Klasifikasi alat pacu jantung Ruang

jantung Sensasi

ruang Respons

yang dipacu O = tidak ada A

jantung O = tidak ada = A

Atriumatrium V

Atriumatrium = V = ventrikel

Ventrikelventrike

terhadap sensasi O = tidak ada = T = triggered

(terhambat)

ventrikel)

dan (atrium ventrikel)

Fungsi

diprogram O = tidak ada P = sederhana

antiaritmia O = tidak ada P = pacu

(terangsang) I = inhibited M

l D = Dual dual D = Dual dual D (atrium

Kemampuan

=

=

mampu S = syok

program multipel dual C = komunikasi

dan (terangsang dan

D = dual (pacu dan syok()

terhambat) R

=

modulasi

kecepatan (rate) Jika alat pacu jantung diletakkan pada pasien ini, bagaiman cara evaluasi fungsinya? Jika pasien dengan ritme dasar yang lebih lambat dibandingkan kecepatan alat pacu jantung model sesuai kebutuhan, maka pada EKG harus terlihat spike (taji) dari pacu jantung. Kecepatan spike harus identik dengan program kecepatan pacu jantung (pacu jantung permanen – biasanya 72/menit) atau dengan pengaturnya (pada alat pacu jantung temporer); bila lebih

139 lambat, mungkin baterainya lemah. Setiap spike pacu jantung harus diikuti oleh kompleks QRS (ambilan 100%). Terlebih lagi, setiap impuls harus diikuti oleh pulsasi nadi arterial yang teraba. Pada pacu jantung temporer, ritme penyelamat dapat ditetapkan dengan memperlambat kecepatan alat pacu sementara atau menurunkan keluaran arus. Jika denyut jantung pasien lebih cepat dibandingkan kecepatan alat pacu, maka spike alat pacu tidak terlihat jika sensasi generator masih baik. Pada hal ini, ambilan ventrikel tidak dapat dievaluasi kecuali kecepatan pacu meningkat atau denyut jantung spontan berkurang. Penurunan denyut jantung spontan dapat tercapai dengan meningkatkan tonus vagal (manuver Valsava atau stimulasi karotis) secara transien. Untungnya, jika baterai lemah, sensasi akan terganggu sebelum terjadi penurunan keluaran pacu jantung. Radiografi dada berguna untuk menyingkirkan adanya fraktur atau kesalahan lokasi sadapan pacu. Jika pacu jantung dicurigai malfungsi, maka harus dikonsultasikan pada ahli kardiologi. Keadaan intraoperasi apa yang dapat menyebabkan malfungsi pacu jantung? Interferensi listrik dari unit elektrokauter bedah dapat diinterpretasikan sebagai aktivitas listrike miokard dan dapat menekan generator pacu jantung. Masalah akibat elektrokauter dapat diminimalkan dengan membatasi penggunaannya hanya secara singkat saja, membatasi keluaran daya, meletakkan grounding plate sejauh mungkin dari generator pacu jantung, dan menggunakan kauter bipolar. Terlebih lagi, pemantauan pulsasi gelombang arteri secara kontinyu )tekanan, pletismogram, atau sinyal oksimetri) harus dilakukan untuk memastikan tetap ada perfusi saat elektrokauter digunakan. Miopotensial yang meningkat berhubungan dengan fasikulasi terinduksi suksinilkolin atau menggigil pascaoperasipascabedah yang dapat juga menekan generator pacu jantung. Baik hipokalemia maupun hiperkalemia dapat mengubah ambang rangsang elektroda pacu jantung untuk depolarisasi miokard dan dapat mengakibatkan kegagalan impuls alat pacu mendepolarisasi ventrikel. Iskemia miokard, infark, atau parut jantung dapat juga meningkatkan ambang rangsang elektroda dan menyebabkan kegagalan ambilan ventrikel. Apakah pengukuran yang tepat jika alat pacu jantung mengalami kerusakan intraoperasi? Jika pacu jantung temporer mengalami kerusakan intraoperasiintrabedah, maka konsentrasi oksigen inspirasi harus ditingkatkan hingga 100%. Baterai generator dan semua hubungan harus diperiksa. Sebagian besar alat memiliki indikator baterai dan lampu yang akan berkedip

140 tiap impuls dikeluarkan. Generator harus diatur ke mode asinkron, dan keluaran ventrikel diatur hingga maksimum. Kegagalan elektroda transvena temporer untuk mencapai ventrikel biasanya disebabkan kesalahan lokasi pemasangan elektroda, yaitu terlalu jauh dari endokardium ventrikel; kateter atau kawat pacu jantung harus dimasukkan lebih dalam lagi perlahan-lahan dengan hati-hati, hingga tercapai pacu ventrikel. Terapi farmakologis (atropin, isoproterenol, atau epinefrin) dapat berguna sampai masalah ini terselesasikan. Jika tekanan darah arterial yang adekuat tidak dapat dipertahankan dengan agonis adrenergik, resusitasi kardiopulmonal harus dilakukan sampai elektroda pacu lain atau boks generator baru didapatkan. Jika terjadi kerusakan pacu jantung permanen (seperti karena elektrokauter), maka umumnya alat pacu harus diubah ke mode asinkron. Beberapa unit alat memiliki kemampuan program ulang otomatis ke mode asinkron jika terjadi malfungsi. Alat pacu jantung lainnya harus diprogram ulang dengan meletakkan misalnya magnet eksternal pada generator atau, alat pemrogram. Efek magnet eksternal pada beberapa alat pacu jantung – khususnya saat elektrokauter – tidak dapat diprediksi dan umumnya harus ditentukan sebelum operasi. Obat anestesi apa yang tepat bagi pasien dengan alat pacu jantung? Semua obat anestesi telah digunakan dengan aman pada pasien dengan pacu jantung. Bahkan obat gas tampaknya tidak memiliki efek terhadap ambang rangsang alat pacu jantung. Untuk pemasangan alat pacu jantung permanen umumnya digunakan anestesia lokal dengan sedasi intravena. Bagaimana menilai fungsi sadapan pacu jantung transvena permanen? Fungsi sadapan permanen di pada posisi akhir dianalisis dengan alat pemeriksaan eksternal yang mengukur ambang voltase, impedansi sadapan, dan amplitudo potensial yang dapat dideteksi. Dengan keluaran voltase awal 5 mV dan durasi pulsasi 0,5 milidetik, maka kecepatan pacu akan meningkat hingga terjadi ambilan 100%. Pada titik inilah keluaran voltase akan berkurang perlahan untuk menentukan voltase minimum yang dapat menyebab ambilan 100% (ambang voltase). Ambang voltase ventrikel harus < 0,8 mV dan ambang voltase atrium harus < 1,5 mV. Impedansi sadapan harus berkisar 250–1000  pada keluaran 5 V. Amplitudo potensial yang dapat dideteksi biasanya > 6 mV untuk elektroda ventrikel dan > 2 mV untuk elektroda atrium.

141 BACAAN YANG DIANJURKAN Amar D: Perioperative atrial tachyarrhytimias. Anesthesiology 2002; 98: 1618. Atlee JL, Bernstein AD: Cardiac rhytm management devices (part I). Indications, device selection, and function. Anesthesiology 2001; 95: 1265. Atlee JL, Bernstein AD: Cardiac rhytm management devices (Part II). Perioperative management. Anesthesiology 2001; 95:1492. Braunwald E, Zipes DP, Libby P: Heart Disease, 6th ed. W.B. Saunders, 2001. Chassot PG, Delabays A, Spahn DR: Preoperative evaluation of patients with, or at risk of, CAD undergoing non-cardiac surgery. Br J Anaesth 2002; 89: 747. Eagle KA, Berger PG, Calkins H, et al: ACC/AHA guideline update for perioperative cardiovascular evaluation for noncardiac surgery – Executive summary. Anaesth Analg 2002; 94: 1052. Howell SJ, Sear JW, Foex P: Hypertension, hypertensive heart disease and perioperative cardiac risk. Br J Anaesth 2004; 92: 570. Kaplan JA, Reich DL, Krondstadt SN: Cardiac Anesthesia, 4th ed. W.B. Saunders, 1999. Lake CL: Pediatric Cardiac Anesthesia, 3rd ed. McGraw-Hill, 1998. Otto CM: Valvular Heart Disease, 2nd ed. W.B. Saunders. 2003. Otto CM: Textbook of Clinical Echocardiography, 3rd ed. W.B. Saunders 2004. Park KW: Preoperative cardiac evaluation. Anesth Clin North Am 2004; 22: 199.

Related Documents

Anestesi
November 2019 48
Anestesi Endotracheal.pptx
November 2019 42
Anestesi Infiltrasi
August 2019 51
Obat Anestesi
May 2020 25

More Documents from "Indah Sari"