Analisis Putusan Tipikor.docx

  • Uploaded by: firman dasabrata
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisis Putusan Tipikor.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,001
  • Pages: 35
Analisis Putusan Nomor : 102/PUU-XIII/2015 Tentang Pengujian Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tindak Pidana Korupsi dari Dosen pengampu Bapak Setiabudi Hartono. SH,. MH.

Disusun Oleh : Nama NPM Kelas Mata Kuliah

: Firman : 1610631010073 :5A : Tindak Pidana Korupsi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG 2018

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | i

Kata Pengantar Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “Tindak Pidana Korupsi”. Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Tindak pidana Korupsi di program studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Setiabu Hartono.SH,.MH. selaku dosen pengampua mata kuliah Tindak pidana Korupsi dan kepada segenap pihak yang telah membantu dalam pengumpulan bahan makalah serta arahan selama penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Karawang, 1 Januari 2018

Penulis

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | ii

Daftar Isi

Cover .........................................................................................................................i Kata Pengantar ........................................................................................................ii Daftar Isi ...................................................................................................................iii BAB 1 Pendahuluan.................................................................................................1 1.1 Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana.....3 1.2 Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Dalam Era Reformasi ...6 BAB II Pembahasan Posisi Kasus/Abstraksi ........................................................16 2.1 Identitas Pemohon ................................................................................................18 2.2 Dasar Permohonan dan Legal Standing Pemohon ...............................................18 2.3 Analisis Pertimbangan Putusan............................................................................25 2.4 Konklusi ...............................................................................................................28 2.5 Amar Putusan .......................................................................................................29 2.6 Hari dan Tanggal Musyawarah Majelis Hakim ...................................................29 2.7 Hari dan Tanggal Putusan ....................................................................................30 BAB III Penutup ......................................................................................................31 3. Kesimpulan ............................................................................................................31 3.1 Saran ....................................................................................................................31 Daftar Isi ...................................................................................................................32

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | iii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang berjalan yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hokum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK). Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah di sebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa. Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana alam dan kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.1 Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law akan dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan: Dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindak lanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi secara terbuka, resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan

1

Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Hlm. 69.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 1

Korupsi dan mengurangi peranan lembaga Negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.2 Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari masalah Negara, pejabat Negara atapun orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Dalam hal ini Harkristuti Harkrisnowo menyatakan: Baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus tersebut samasama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya, setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi terang bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut, “…dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatankesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya…”, Sedangkan pelaku tindak pidana jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memilki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat mata dan bukan individu, tetapi Negara, justru karena invisibility inilah maka public kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi, demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk diubah karena kasat matanya tindak pidana jalanan.3 Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika di kaitkan dengan reformasi. Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara waktu itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut adalah: a) Amandemen UUD 1945; Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI; b) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); c) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi); d) Mewujudkan kebebasan pers; dan e) Mewujudkan kehidupan demokrasi. 4 Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan salah satu agenda yang harus di realisasikan oleh pemegang kekuasaan pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum maupun pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan kehidupan bangsa dan Negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai salah satu agenda dari gerakan reformasi disamping agenda-agenda yang lain.

2

Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hlm. 116

3

Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Hlm. 67.

4

Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Hlm. 6

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 2

Barda Nawawi ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum dengan fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.5 Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan bahwa sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan, sebagaimana dikatakan olehnya sebagai berikut: Sistem peradilan peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses menegakkan hukum, jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman” karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan “kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa “sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan istilah SPP atau Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem Peradilan Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).6 Bertolak dari pengertian yang demikian maka penegakan hukum pidana, seperti proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembicaraan ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Dilihat dalam kerangka sistem peradilan pidana munculnya lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di era reformasi ini menimbulkan permasalahan karena akan mengganggu sistem yang telah ada yaitu sistem peradilan pidana terhadap tindak pidana korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah Kedudukan KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana?; (2) Bagaimanakah penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK dalam era reformasi? 1.1

Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu struktur hukum yang luar biasa yang dibentuk di era transisi yang sampai saat ini masih eksis. Dalam banyak hal lembaga ini berhasil memberikan shock therapy dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sifat yang luar biasa ini terlihat dari besarnya tugas dan kewenangan yang diberikan

5 6

Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 157 Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hlm. 20.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 3

oleh undang-undang kepada lembaga ini sebagaimana dapat dilihat dalam pasal-pasal di bawah ini : Pasal 6: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. Pasal 7 Dalam melakukan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. Meminta Laporan instansi terkiat mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Berdasarkan pada kutipan di atas tentang tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat bahwa lembaga ini mempunyai kewenangan yang sangat luas di bandingkan dengan instansi penegak hukum yang lain. Oleh karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi sering disebut sebagai lembaga yang super body. Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Yang dimaksud kekuasaan manapun adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara indivudial dari pihak eksekutif, legislative, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dari situasi ataupun dengan alasan apapun. Sedangkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Melihat kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi seperti diuraikan di atas terlihat bahwa lembaga ini memiliki independensi yang lebih dibanding dengan kepolisian dan Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 4

kejaksaan. Padahal lembaga ini kewenangannya mencakup kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yaitu berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan relative kurang independen dalam melaksanakan tugasnya karena kedua lembaga ini berada dalam struktur kekuasaan eksekutif, oleh karena itu kedua lembaga ini akan mengalami suatu konflik antara fungsi dan tugas yudisial dengan kepentingan politik, yaitu pada saat melaksanakan fungsi dan tugas penegakan hukum berhadapan dengan adanya perintah dari pihak eksekutif yang bertentangan dengan fungsi dan tugasnya tersebut. Secara teoritis keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (Legislatively entrusted power). Pembentukan Lembaga ini di era transisi pada prinsipnya akibat ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga konvensional yang ada seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dalam salah satu konsideran dibentuknya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dapat diartikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kontek penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifat transisi saja dan akan berfungsi sebagai trigger mechanism bagi lembaga konvensional untuk berbenah diri menghadapi tuntutan reformasi. Ketika lembaga konvensional yang ada telah berhasil melakukan pembenahan secara internal dan mulai mendapatkan kepercayaan kembali oleh masyarakat sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan, namun sebaliknya apabila Lembaga konvensional tersebut tidak mampu memperbaiki kinerjanya dalam pemberantasan korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap dipertahankan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi apabila dilihat dari sudut desain kelembagaan masuk dalam kerangka “proportional model” yaitu merupakan desain kelembagaan yang bertumpu pada prinsip pemencaran kekuasaan, karena sesuai dengan salah satu konsideran di atas pertimbangan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi adalah karena tidak efektifnya lembaga penegak hukum konvensional yang ada. Pada masa rezim orde baru berkuasa mekanisme kerja lembaga penegak hukum konvensional tersebut tidak lepas dari control eksekutif dan pada masa transisi ini eksistensi lembaga konvensional penegak hukum tersebut mengalami krisis legitimasi.7 Oleh karena itu keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipandang sebagai bentuk control warga Negara terhadap lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Keberadaan Lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebelum adanya Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana termasuk tindak pidana korupsi, sehingga dalam kontek sistem peradilan pidana keberadaan tiga lembaga penegak hukum tersebut dapat di pandang sebagai suatu sistem. Dalam hal ini Muladi menyatakan: Selanjutnya akan tampak pula, bahwa Sistem Peradilan Pidana akan melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantive, hukum pidana formil maupun 7

George Junus Aditjondro. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta. Hlm. 35. 8 Muladi. 1995. Ibid. Hlm. 16.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 5

hukum pelaksanaan pidana. Disamping itu dapat dilihat pula bentuknya baik yang bersifat prefentif, represif maupun vkuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub-sistem peradilan pidana yaitu lembaga kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.8 Peradilan Pidana adalah suatu proses yang di dalamnya ikut bekerja beberapa lembaga penegak hukum beserta aparaturnya. Kegiatan peradilan pidana adalah kegiatan bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan oleh lembaga pemasyarakatan. Kegiatan berkelanjutan ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terpadu antara kepolisian, kejaksaan, hakim dan petugas pemasyarakatan, sehingga peradilan pidana merupakan suatu sistem. Dihadapkan pada sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub sistem kepolisian, kejaksaan dan pengadilan maka kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi muncul sebagai sistem tersendiri yang terpisah dari sistem peradilan pidana dan mempunyai fungsi yang sama dengan sistem peradilan pidana yang konvensional dalam hal penyelesaian tindak pidana korupsi. Hal ini berarti ada dualisme sistem peradilan pidana dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi. Pertama adalah sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, dan yang kedua adalah sistem yang ada dalam tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dikatakan sebagai suatu sistem karena di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari fungsi-fungsi yang dimiliki oleh sub sistem peradilan pidana seperti fungsi penyelidikan dan penyidikan, fungsi penuntutan, dan fungsi mengadili. Fungsi mengadili ada pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang keberadaannya didasarkan pada Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 1.2 Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Dalam Era Reformasi Penegakan hukum pidana yang menurut Barda Nawawi Arief identik dengan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.8 Apabila dikaitkan dengan pendapat Lawrence Friedman9 tentang sistem hukum yang terdiri dari subsansi, struktur dan kultur hukum maka penegakan hukum pidana adalah merupakan upaya untuk membuat substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Penegakan hukum tindak pidana korupsi dapat diartikan pula sebagai konkritisasi terhadap sistem hukum yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu usaha untuk mewujudkan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi secara konkret. Substansi hukum yang berkaitan dengan upaya pemberatasan tindak pidana korupsi yang pertama kali muncul sejak reformasi dan dimulainya masa transisi dari kehidupan politik yang otoriter menuju kehidupan politik yang demokratis adalah di keluarkannya Tap MPR. No. 8 9

Barda Nawawi Arief, 1992. Op.cit. Hlm. 19. Satjipto Rahardjo. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. Hlm. 56.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 6

IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian, dalam kurun waktu kurang dari setahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas Negara.10 Perbedaan utama antara kedua Ketetapan MPR tadi adalah bahwa ketetapan bulan November 1999 menyebut nama bekas presiden Republik Indonesia yang kedua. Butir (d) ketetapan itu menyatakan bahwa “Usaha-usaha untuk menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme mesti dilakukan melalui investigasi terhadap semua orang yang dicurigai melakukan praktek-praktek tersebut, baik itu bekas pejabat atau pejabat yang sekarang, keluarga dan teman-teman mereka, termasuk bekas presiden Soeharto, atau dari sector swasta/konlomerat, dengan tetap berpegang pada prinsip asumsi tak bersalah dan hak asasi manusia. 12 Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dijadikan landasan hukum pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yaitu dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam bagian mengingat kedua undang-undang tersebut menyebutkan salah satunya adalah Tap MPR No. IX/MPR/1998. Produk perundang-undangan lain yang merupakan respon terhadap tuntutan reformasi dalam rangka pemberantasan korupsi adalah : a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; d. Disamping itu juga ada TIMTAS Tipikor yang dipimpin oleh JAMPIDSUS waktu itu yaitu Hendarman Supanji yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan perundangan-undangan menunjukkan adanya respon positif dari penyelenggara Negara baik eksekutif maupun legislatif untuk mengakomodir semangat masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis adanya perubahan kehidupan politik yang mengarah pada kehidupan politik yang demokratis pada era reformasi baik itu ketika rezim Habibie, Megawati, Gus Dur maupun SBY yang sedang berkuasa.

10

George Junus Aditjondro. 2002. Op.cit. Hlm. 1 12 Ibid.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 7

Melihat pada penjelasan di atas tampak bahwa secara substantive telah ada upaya positif untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun demikian apabila dicermati substansi dari beberapa peraturan perundang-undangan yang ada menunjukkan adanya upaya setengah hati dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari tidak dicantumkannya ketentuan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum di rubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan bahwa pelaku tindak pidana yang diadili pada saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku tapi belum di sidangkan tidak dapat diadili. Kasus nyata mengenai ketidakjelasan antara Undangundang yang lama menuju undang-undang yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus penuntutan terhadap Hakim Mahkamah Agung yang di dakwa menerima suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut oleh Penuntut Umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tetapi dakwaan itu tidak dapat diterima oleh hakim karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 oleh Pasal 44 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.11 Adapun ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahu 1999 sebagai berikut: Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidk berlaku. Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan karena dalam hukum pidana berlaku asas retro aktif yang merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Dalam Hukum pidana asas ini merupakan asas yang fundamental dan essensial.12 Asas ini di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang mendahuluinya.13Asas Legalitas, sebagaimana karakter aslinya, mengandung tujuh aspek yang dapat dibedakan sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.

Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undangundang; Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi; tidak dipidana hanya berdasar kebiasaan; Tidak ada rumusan delik yang kuran jelas (syarat lex certa); Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan dalam undang-undang; dan Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.14

Respon positif dari penyelenggara Negara baik dari eksekutif maupun legislatif terhadap tuntutan reformasi ternyata melahirkan hukum (Undang-Undang) yang tidak mencerminkan 11

Tri Andrisman. 2010, Hlm. 51. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung. Hlm. 140. 13 Andi Hamzah, 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta. Hlm. 41. 14 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Hlm. 13 12

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 8

keadilan masyarakat dan dalam hal tertentu kebutuhan membangun hukum dan perundangundangan memang seringkali merupakan “permainan politik” elit.15 Hal ini menimbulkan kesan adanya upaya setengah hati dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi, karena para koruptor yang telah berhasil mengeruk uang rakyat yang dilakukan pada masa berlakunya undangundang Nomor 3 Tahun 1971 terlepas dari jerat hukum. Upaya pemberantasan korupsi di era reformasi menampakan adanya rivalitas antara pihak yang mempunyai semangat memberantas korupsi dengan pihak-pihak yang menghendaki status quo. Rivalitas ini terlihat adanya berbagai upaya untuk menghambat upaya pemberantasan Korupsi. Dalam kerangka pikir dalam sub bab di atas telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong dalam extraordinary crime maka upayaupaya yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi harus secara luar biasa pula. Salah satu upayanya yaitu dengan membentuk instrument hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument), sepanjang instrument yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan atau menyimpang dengan pelbagai standar yang berlaku secara universal.16 Berbagai instrument hukum yang luar biasa telah di keluarkan, diantaranya adanya amanat dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 43 ayat (1) yang memberikan amanat agar dalam waktu 2 (dua) Tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Struktur Hukum dalam sistem hukum pemberantasan korupsi berupa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu instrument hukum yang luar biasa dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dikatakan luar biasa karena lembaga ini mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam upayanya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu dalam Pasal 27 Undang-undang tersebutpun ada amanah untuk membentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Penyelesaian perkara korupsi yang harus didahulukan dibanding perkara-perkara yang lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25. Adanya prioritas dalam penyelesaian perkara korupsi dibanding dengan perkara lainnya adalah juga instrument hukum yang luar biasa karena menurut Harkristuti Harkrisnowo17 bahwa: a. Kasus korupsi harus didahulukan dalam proses peradilan pidana dibanding dengan kasus-kasus lainnya, dan; b. Kasus korupsi harus didahulukan dari kasus ikutan yang berkenaan dengan korupsi tersebut (misalnya, pencemaran nama baik). Makna yang dikandung dalam ketentuan ini sudah sangat jelas, yakni bahwa: a. Kasus korupsi merupakan kasus yang sangat merugikan Negara dan masyarakat 15

Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Idiologi. Nuansa. Jakarta. Hlm. 19 16 Nyoman Serikat Jaya Putra, 2008, Op.cit, Hlm. 58. 17 Harkristuti Harkrisnowo, 2009, Op.cit, Hlm. 80.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 9

Indonesia, karenanya harus didahulukan; b. Kasus korupsi harus ditempatkan dalam prioritas tertinggi dalam agenda para penegak hukum, dan c. Dituntut keseriusan dari para penegak hukum untuk secara sungguh-sungguh menjalankan tugasnya itu melakukan proses peradilan terhadap korupsi. 18 Menyikapi amanat Pasal 27 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pemerintahan Gus Dur telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (5) yang menentukan penyidik berwenang pula untuk meminta keterangan mengenai keuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka, membuka/memeriksa/menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan, mengusulkan pencekalan, dan merekomendasikan kepada atasan tersangka untuk pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya. Perluasan kewenangan tersebut juga terlihat dalam Pasal 12 ayat (4) Peraturan Pemerintah tersebut yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan, dengan persetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Perintah Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3). Adanya perluasan kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah tersebut menunjukan bahwa ada political will dari pemerintah untuk merespon realitas yang berkembang dalam masyarakat kaitannya dengan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang tergolong dalam extra ordinary crime. Oleh karena itu apabila di lihat dari teori hukum responsive dari Nonet dan Selznik,19 maka peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk hukum yang bersifat responsif. Responsifitas perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dalam realitanya mendapatkan berbagai macam kendala baik dalam substansinya seperti tidak diaturnya aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketidak tegasan pengaturan aturan peralihan dalam Undang-undang tersebut di manfaatkan oleh pihak yang menghendaki status quo untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 padahal apabila dicermati lebih jauh dalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana ada suatu asas yang mengatakan lex specialis derogat legi generale, asas ini mengatakan bahwa aturan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum. Asas ini tercantum dalam Pasal 103 KUHP yang menentukan : Ketentuan-ketentuan dalam Bab I ini sampai dengan Bab VIII buku ini, juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP tersebut sebenarnya tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak 18 19

Ibid. Hlm. 83. Satjipto Raharjo, tt: Op.cit. Hlm. 60

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 10

Pidana Korupsi tidak akan menimbulkan masalah, karena apabila Undang-undang tersebut sebagai lex spesialis tidak mengatur hendaknya di kembalikan ke KUHP sebagai lex generale-nya. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah tindak pidana terjadi, di pakai undang-undang yang paling menguntungkan/meringankan terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka tidak ada alasan untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku. Oleh karena itu upaya mempermasalahkan tidak adanya aturan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menunjukkan adanya tarik ulur antara pihak yang dengan tegas berniat memberantas tindak pidana korupsi dengan pihak yang menghendaki status quo di era transisi ini. Konflik yang ada mengenai berbagai macam penafsiran tentang tidak diaturnya aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh pemerintah diintegrasikan ke dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam salah satu pertimbangan diundangkannya undang-undang tersebut di katakan : Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan peralihan sebagai suatu respon adanya permasalahan pro dan kontra yang terjadi dalam masyarakat berkaitan tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah di integrasikan dalam Pasal VI A Pasal 43 A yang menentukan: (1) Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, di periksa dan di putus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal, 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 undang-undang ini dan Pasal 13 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5000.000,00 (Lima Juta Rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat 2 undang-undang ini. Di akomodasinya konflik yang terjadi dalam masyarakat berkaitan penafsiran mengenai tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam undang-undang Nomor 31 Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 11

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menunjukkan bahwa Undang-Undang tersebut telah menampilkan dirinya sebagai instrumen hukum yang berfungsi mengintegrasikan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat sebagaimana dikatakan oleh Bredemier20 yang mengatakan fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat. Kendala terhadap upaya pemerintah dalam merespon tuntutan reformasi, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan adanya upaya judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Permohonan judicial review tersebut oleh Mahkamah Agung dengan keputusannya Nomor : 03 P/HUM/2000 telah dikabulkan seluruhnya, adapun permohonan judicial review yang dimohonkan oleh pemohon judicial review adalah: i. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya; ii. Menyatakan P.P. No. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku secara umum; iii. Memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP No. 19 Tahun 2000 dengan ketentuan apabila dalam waktu 90 hari setelah putusan dikirimkan (disampaikan) ternyata tidak dilaksanakan pencabutan, demi hukum, PP yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum; iv. Menghukum pihak pemerintah untuk membayar biaya perkara.21 Secara filosofis keputusan tersebut melanggar rasa keadilan masyarakat (keadilan substantive) kerena hakim tidak memperhatikan perasaan masyarakat yang berkembang pada masa reformasi ini sebagaimana tergambar dalam tuntutan yang menghendaki adanya pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme. Mahkamah Agung lebih mengutamakan prinsip rechtsmatigheid dibanding prinsip yang lain yaitu doelmatigheid. Pada dasarnya hukum mengandung di dalam dirinya tujuan yang hendak dicapai, yang diidealkan memberi manfaat (asas kemanfaatan) bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat tehnis.22 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk instrumen hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument) yang dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu keputusan Mahkamah Agung tersebut lebih menampakan dirinya sebagai hukum yang otonom dimana Mahkamah Agung memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga hukum yang terspesialisasi dan relatif otonom. Kecurigaan adanya upaya menggagalkan semangat memberantas tindak pidana korupsi dengan upaya Judicial review terhadap PP Nomor 19 Tahun 2000 terilihat dari pendapat Jimly Asshiddiqie23 yang menyatakan :

20

Satjipto Rahardjo.1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung. Hlm. 82.

21

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 23 Maret 2001, Varia Peradilan Tahun 2001 Jimly Asshiddiqie, Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan Pengadfilan. 23 Ibid. Hlm. 47. 22

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 12

Apa sebenarnya yang menyebabkan Indra Sahnun Lubis merasa sangat berkepentingan sehingga mereka mengajukan permohonan keberatan terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tersebut ? Atas dasar kepentingan apa sehingga apa sehingga mereka merasa terdorong untuk mengajukan permohonan?. Apakah murni atas dasar kepentingan hukum, atas dasar kepentingan membela dan melindungi warga Negara yang terancam oleh eksistensi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 tersebut? Jika pilihannya adalah yang terakhir berarti kepentingan hukum yang terlibat di dalamnya berkaitan dengan norma hukum yang nyata-nyata –dengan meminjam istilah dari yang dipergunakan oleh Hans Kelsen dalam pandangannya mengenai ‘stuffenbau-theorie’bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms), bukan norma hukum yang bersifat umum (general norms). Dalam pendapatnya lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan : Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP Nomor 19 Tahun 2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para pemohon yang mewakili kepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh TGTPK. Sangat boleh jadi, kedua hakim tersebut memang tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau dari segi prosedur objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut norma hukum yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Yaitu sebatas kepentingan 2 orang hakim agung yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dan tidak secara langsung berkaitan dengan materi PP No. 19 Tahun 2000.24 Berdasarkan pendapat Jimly Asshiddiqie di atas, tampak ada pihak-pihak yang lebih mementingkan kepentingan individu dibanding kepentingan umum yang lebih luas dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya dilakukan untuk lepas dari jerat hukum meskipun upaya tersebut akan mengakibatkan kepentingan umum yang lebih luas dikorbankan. Pada masa transisi kondisi demikian memang biasa terjadi karena pada masa reformasi posisi pihak yang telah diuntungkan oleh rezim lama (orde baru) masih eksis dalam birokrasi pemerintahan sebaliknya banyak pula pihak yang menghendaki perubahan dan berusaha mengakomodir tuntutan reformasi. Upaya memerangi tindak pidana korupsi tidak pernah mengenal surut berbagai upaya untuk menghambat di hadapi pula dengan upaya yang lebih tegas dalam membentuk instrumen hukum yang luar biasa. Di hapuskannya TGTPK melalui keputusan Mahkamah Agung segera disambut dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan amanat dari Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002. Bersamaan itu pula berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada dilingkungan Peradilan Umum dan untuk sementara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi wilayah Negara Republik Indonesia. KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah membuat suatu gebrakan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan berhasil 24

Ibid. Hlm. 49.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 13

membuat para pelaku tindak pidana korupsi jera karena tidak ada kasus Korupsi yang di adili oleh pengadilan tindak pidana korupsi lepas dari jerat hukum. Keberadaan dua lembaga tersebut pun sempat membuat para pejabat Negara merasa takut apabila berhadapan dengan KPK. Upaya yang luar biasa inipun mendapat suatu hambatan kembali dengan di ajukannya upaya judicial review mengenai eksistensi Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Komisi Korupsi. Berdasarkan permohonan judicial review tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka eksistensi pengadilan tipikor saat ini hanya efektif sampai di bentuknya Pengadilan Tipikor yang harus dibentuk dengan Undang-undang tersendiri yang lepas dari Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh Mahkamah Konstitusi keputusan tersebut dikatakan sebagai Smooth transition, sebab keputusan sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi keputusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan harusnya telah inkracht van gevijsde, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Lebih lanjut dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang tersebut juga ditentukan : Putusan Mahkamah yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Namun, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberi kesempatan paling lambat 3 (tiga) tahun kepada eksistensi pengadilan tipikor hingga terbentuknya pengadilan tipikor yang baru, sehingga bunyi amar keputusan yang dijaruhkan Mahkamah Konstitusi tersebut menyimpangi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 47 dan Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Waktu 3 (tiga) tahun sejak dijatuhkannya keputusan Mahkamah Konstitusi pada bulan 19 Desember 2006 berkaitan dengan eksistensi pengadilan tipikor berarti pengadilan tipikor yang ada sekarang ini akan tidak efektif lagi pada yanggal 19 Desember tahun 2009, berarti eksistensi pengadilan tipikor tinggal 5 bulan lagi. Sedangkan anggota DPR hasil Pemilu April 2009 akan di lantik sekitar bulan Oktober, ini berarti hanya ada waktu 2 (dua) bulan untuk membahas RUU Pengadilan Tipikor sebab apabila dibahas oleh anggota DPR hasil pemilu yang baru di prediksi akan mengalami jalan buntu karena para anggota DPR yang baru tersebut belum memahami permasalahan secara mendalam mengenai RUU Tipikor. Kesempatan yang tinggal 2 bulan lagi ini ternyata tidak di kelola dengan baik oleh pemerintah dan DPR karena sampai saat ini belum terlihat rencana pembahasan RUU tipikor. Sudah barang tentu kondisi yang demikian ini akan semakin menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 14

Dihapuskannya sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi oleh putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipandang sebagai tindakan yang dapat menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi karena keputusan demikian akan membawa konsekuensi yuridis bahwa yang dikatakan tindak pidana korupsi haruslah perbuatan yang sesuai dengan rumusan undang-undang saja. Perbuatan-perbuatan lain yang tidak dirumuskan dalam undang-undang tapi dapat merugikan keuangan Negara tidak dapat dijerat dengan undangundang tindak pidana korupsi. Penghapusan sifat melawan hukum materiil bertentangan dengan arah perkembangan hukum pidana. Arah perkembangan hukum pidana di Indonesia mengarah kepada pengakuan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai seminar Nasional, dalam kebijakan legislative maupun dalam Konsep KUHP. Oleh karena itu penghapusan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi akan menyulitkan penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatan yang tidak masuk dalam rumusan tindak pidana korupsi namun di pandang dari ukuran kepatutan perbuatan tersebut tidak patut atau tidak pantas dilakukan.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 15

BAB II PEMBAHASAN 2. Posisi Kasus/Abstrakis Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 30 Juli 2015, yang kemudian diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 4 Agustus 2015 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 209/PAN.MK/2015 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 102/PUU pada tanggal 21 Agustus 2015, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 21 September 2015 dan diterima di Kepaniteraan juga pada tanggal 21 September 2015, menguraikan hal-hal sebagai berikut: Negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Stahl, konsep Negara hukum yang disebut dengan istilah arechtsstaať mencakup empat elemen penting, yaitu: pedindungan hak asasi manusia, perubahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara. Atas dasar ciri-ciri negera hukum ini menunjukkan bahwa ide sentral negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu kepada Prinsip kebebasan dan persamaan. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, khususnya elemen perlindungan hak asasi manusia. secara konstitusional negara Indonesia telah menjamin, menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 dapat dikatakan tidak mencatumkan secara tegas mengenai jaminan Hak Asasi Manusia. Tetapi setelah UUD 1945 diamandemen, terutama arnandernen kedua tahun 2000, ketentuan mengenai HAM dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang mendasar. UUD 1945 perubahan ini telah memuat materi HAM yang diatur dalam pasal 28A ayat (1) sampai dengan pasal 28j ayat (2). Materi yang berkaitan dengan hak memperoleh keadilan terdapat dalam pasal 28D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selain itu, pasal 28I ayat (1) juga menyebutkan hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak ini merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak Asasi Manusia telah diperjuangkan untuk mengakui hak hidup dan perlakuan yang layak kepada setiap orang. Pengakuan Hak Asasi Manusia di abad modem dipertegas oleh Franklin D. Roosevolt (1941) dalam the four of freedom. Yang isinya, kebebasan berbicara (the freedom of speech), kebebasan beragama (the freedom of religion), kebebasan dari kemiskinan (the freedom from want), dan kebebasan dari rasa takut (the freedom of fear). Banyak diantaranya instrumen hukum internasional Yang menjadi dasar penegakan Hak Asasi Manusia (selanjutnya akan disingkat dengan HAM), Scott Davidson (1995: 108) menguraikan diantaranya, ICCPR (International covenant on Civil and Political Right), ICESCR (International Covenant On Economic, Social And Cultural Right) ICRD (International Convention On The Elimination Of AII Forms Of Racial Discrimination), Torcure Convention, dan UCRC (United Nation Convention On Right Of The Child). Pernyataan Hak Asasi Manusia (Unifersal Declaration Human Right) ditegaskan dalam Pasal 11 UDHR yang berbunyi “setiap orang yang dituntut karena disangka pelanggaran pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu pengadilan terbuka, dan di dalam sidang itu diberi segala jaminan yang perlu untuk pembelaannya." Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 16

Dari pencantuman dan ratifikasi beberapa ketentuan/ instrumen hukum internasional (ICCPR, ICESCR, UDHR) berarti negara Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) dan menganut sistem dualisme dalam pengakuan ketentuan hukum internasional. Mutlak menjadikan sistem negara hukum yang mengakui persamaan Hak Asasi Manusia (ciri negara hukum formil). Ketentuan/ regulasi Hak Asasi Manusia dapat ditemukan baik dalam UUD 1945 (Pasal 28), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai prosedur penegakan hukum yang bertujuan mempertahankan hukum materil (hukum pidana), dalam pertimbangan filsufisnya menegaskan Ubahwa negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pernerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Ini mengindikaskan bahwa tujuan atau esensi dari hukum acara pidana yang bersłnggungan dengan penegakan hak asasi terhadap pelaku tindak pidana terdapat dalam KUHAP. Nyatanya, memang perlakuan terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana dalam due process of law harus memperhatikan kepentingan dan hak asasi setiap orang, yang menjadi bahagian dari due process 0f law. Pejabat yang berwenang dalam melakukan penegakan hukum harus sesuai dengan tugas dan kewenangannya dengan yang ditegaskan dalam UndangUndang (baca: KUHAP). Hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP ditegaskan mulai dari Pasal 50 s/d Pasal 74. Pengakuan/ perlindungan hak asasi tersangka di sini adalah kelanjutan dari Pasal 11 UDHR, Pasal 28 UUD 1945, dan Pasal 18 butir 1 s/d 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sistem peradilan pidana (criminal jusdce system), sebagai bahagian dari due process of law, secara singkat memberi arah, tugas dan tata cara penyelidikan, penyidikan. Pejabat Negara yang ditugaskan sebagai penyidik, sebagaimana ditegaskan dalam KUHAP memilki tugas seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan. Dalam menjalankan tugas tersebut tetap harus sesuai dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan, misalnya harus sesuai dengan mekanisme, syarat dan alasannya (Pasal 16 — Pasal 19). Begitupun penahanan harus sesuai dengan syarat, alasan dan tata cara yang ditetapkan dalam KUHAP (Pasal 20 — Pasal 21). Namun dalam kenyataannya, Pergerakan substansi hukum tidak dilaksanakan secara profesional dan proporsional Olah pejabat penyidik. Banyak hasil penelitian, menunjukan disparitas oleh karena kesalahan dalam penyidikan. kasus yang memperlihatkan pejabat kepolisian sebagai penyidik (Pasal 6 KUHAP) bertindak sewenang-wenang. Pemaksaan kepada tersangka untuk memberikan pengakuan bersalah. Kelalaian dari penyidik maupun penuntut memberikan hak bagi tersangka untuk memperoleh bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP). Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut umum dalam menginterpretasikan norma hukum yang dapat merugikan Tersangka. Terlebih lagi intervensi media telah mencabut hak asasi tersangka di ranah publik sebagai pelaku yang tidak bersalah (presumption of innocence) sebelum putusan pengadilan inkrach (incracht van bewijske).

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 17

2.1

Identitas Pemohon

Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945, diajukan oleh: Nama

: Drs. Rusti Sibua, M.Si.

Tempat/Tanggal Lahir

: Daruba, 05 Maret 1962

Pekerjaan

: Bupati Kabupaten Morotai

Alamat

: Desa/Kelurahan Muhajirin Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara.

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 30 Juli 2015 memberi kuasa kepada Achmad Rifai MA, S.H., Saiful Anam, S.H., Bambang Kurniawan, S.H., Zenuri Makhrodji, S.H., Achmad Rulyansyah, S.H., Lissa Rochmilayali, S.H., dan Nanang Hamdani, S.H. Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor hukum "ACHMAD RIFA & PARTNERS", yang beralamat di Menara Lippo Kuningan Lt. 17, Jalan HR. Rasuna Said Kav. B Nornor 12 Kuningan — Jakarta Selatan, bertindak baik secara sendiri-sendiri bersama-sarna untuk dan atas nama pernberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ....................................................................................... Pemohon 1. 2. 3. 4. 5. 6. 2.2

Membaca permohonan Permohonan; Mendengar keterangan pemohon; Mendengar keterangan presiden; Memeriksa bukti-bukti pemohon; Mendengar dan membaca keterangan ahli dan saksi pemohon; Membaca kesimpulan pemohon;

Dasar Permohonan dan legal Standing Pemohon

1. Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip "Rule of Law, and not of Man". yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip—prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut UUD atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat). 2. Dengan demikian rule Of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat terutama keadilan sosal. Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 18

didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu a. Negara Indonesia adalah negara hukum [Pasal 1 ayat (3)] b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggaraakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], c. Setiap warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, serta menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya [Pasal 27 ayat (1)], d. Dalam Bab X A Tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum [Pasal 28D ayat (1)] dan e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)]. 3. Dalam Sistem Peradilan pidana di Indonesia mengarah kepada apa namanya Due Process of Law (lawan dari arbitrary process), yaitu mengenal peradilan pidana yang adil. Dimana due process of law ini salah satunya memiliki unsur, Hearing (mendengar tersangka/terdakwa) Dalam due process of law ini mengkehendaki adanya mendengar dari tersangka/terdakwa dalam peradilan. Dimana hakim diharuskan untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh tersangka/terdakwa. Jadi disini tersangka/terdakwa diberikan hak untuk memberikan pendapatnya dan untuk didengar oleh hakim. Berikutnya adalah prinsip Defense (pembelaan), due process of law ini juga mengkehendaki suatu keadilan, sehingga dalam peradilan pidana tersangka atau terdakwa diberikan suatu hak untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya. Kemudian prinsip Evidance and a fair and Impartial Court (pembuktian yang adil dan tidak memihak) Prinsip pembuktian yang adil dan tidak memihak ini merupakan salah satu bentuk dari prinsip persamaan didepan hukum (equality before the law). Sistem hukum Indonesia dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan di hadapan hukum (equality before law). 4. Due process of law ini harus diartikan sebagai Perlindungan atas kemerdekaan seorang warga negara yang dijadikan tersangka dan terdakwa, dimana status hukumnya berubah ketika ia ditetapkan sebagai tersangka, ditangkap atau ditahan, tetapi hakhaknya sebagai warga negara tidak hilang. Walaupun kemerdekaannya dibatasi oleh hukum dan mengalami degradasi moral, bukan berarti hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa menjadi hilang. Hak untuk didengar, didampingi advokat (penasihat hukum), hak mengajukan pembelaan, hak untuk mengumpulkan bukti dan menemui saksi, diadili oleh pengadilan yang adil, jujur, dan tidak memihak, dan dibuktikan kesalahannya melalui pengadilan adalah hak-hak yang harus dihormati dan dijamin. 5. Bahwa dengan dberlakukannya Pasał 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasał 82 ayat (1) huruf d, Pasał 137, Pasał 143 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasał 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nornor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan bertentangan dengan Pasał 1 ayat (3), Pasał 27 ayat (1), Pasał 28 D ayat (1), Pasał 28G ayat (1) dan Pasał 28I (2) UUD 1945. MENGENAI PENGUJIAN PASAL 50 Ayat (2) Dan Ayat (3) KUHAP 6. Bahwa sebagaimana bunyi pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP (2) “Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penutut umum.” Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 19

(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan 7. Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan pada dasamya merupakan hak Tersangka dan untuk melindungi tersangka dimaksud, akan tetapi dapat dikecualikan pada Tersangka Yang sebelumnya telah mengajukan gugatan praperadilan agar mendapatkan kepastian hukum. Pengakuan, jaminan, perlindungan Hukurn, kepastian hukum Yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum terhadap pengajuan upaya hukum praperadilan yang telah diajukan sebelum perkaranya dimajukan ke Pengadilan oleh penuntut umum. 8. Bahwa dengan diberlakukannya Pasał 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP "bertentangan dengan Pasał 1 ayat (3), Pasał 27 ayat (1), Pasał 28D ayat (1), Pasał 28G ayat (1) dan Pasał 281 ayat(2) UUD 1945. 9. Frasa Segera dimaiukan ke penqadilan pada Pasał 50 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan sebelurn adanya gugatan Praperadilan, hal itu karena sering digunakan alat oleh Penyidik dan Penuntut Umum untuk menyegerakan proses Penyidikan dan Penuntutan dengan atau tanpa memenuhi prosedur yang ada, dengan tujuan untuk menghindari gugatan Praperadilan yang diajukan oleh segenap warga Negara. Berdasarkan yang dialami oleh Pemohon kata "Segera” cenderung disalahartikan dan disalahgunakan oleh maupun penuntut umum yakni dengan mempercepat proses penyerahan tahap I dan tahap Il oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini terbukti dengan menyerahkannya tahap Il berkas Pemohon dengan atau tanpa melaksanakan Pemeriksaan saksi yang merupakan hak dari pemohon sesuai dengan pasal 65 dan pasal 116 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) KUHAP. MENGENAI PENGUJIAN PASAL 82 ayat (1) huruf d KUHAP 10. Bahwa dengan memaknai pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP “ dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada preperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.’ 11. Bahwa meşkipun sepintas ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut jelas, namun dalam praktek telah menimbulkan pengertian yang multitafsir, sehingga melanggar asas lex certa dan asas lex dimana merupakan dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan hukurn pidana. Sehingga dikarenakan multitafsir tersebut mengakibatkan ketidak pastian hükum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan yang şecara nyata bertentangan dengan prinsip due precess of bw sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. 12. Bahwa kata-kata mulai diperiksa dipengadilan negeri pada kenyataannya tidak jelas dan menimbulkan tafsir ganda, Tafsir Pertama merujuk kepada pengertian sejak berkas perkara dilimpahkan dari jaksa penuntut umum ke Pengadilan Negeri, Tafsir Kedua merujuk sejak diperiksa pada pemeriksaan sidang perdana ataş perkara dimaksud, sedangkan Tafsir Ketiga merujuk pada setelah pembacaan surat dakwaan. 13. Dalam hal ini Pemohon lebih sependapat dengan tafsir ketiga, dalam hal ini merujuk pada setelah pembacaan surat dakwaan, hal ini mengingat pemeriksaan pokok perkara telah dinyatakan dimulai diperiksa setelah dibacakan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum, pelimpahan perkara tidak dapat diartikan sebagai telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Yang dimaksud mulai diperiksa adalah majelis hakim sudah Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 20

memeriksa pokok perkara itu, pemeriksaan perkara disitu tentu mengacu pada pokok perkara pada dakwaan, karna fungsi dakwaan adalah sebagai dasar pemeriksaan juga sebagai dasar pembuktian, jadi memeriksa dişini diartikan setelah dakwaan dibacakan, disitulah dikatakan pemeriksaan dimulai. Untuk itu pengertian mulai diperiksa oleh pengadilan negeri harus diartikan setelah dibacakan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga dengan demikian Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP harus dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang makna mulai diperiksa oleh pengadilan negeri harus diartikan setelah dibacakan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. 14. Bahwa selain itu permintaan praperadilan merupakan hak tersangka yang tidak dapat dihilangkan, hal ini untuk membuktikan apakah prosedur, wewenang dan substansi penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan dan penyitaan oleh penyidik telah benar dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Untuk itu gugurnya praperadilan harus dilihat (waktunya) lebih dahulu mana antara permohonan praperadilan dengan pelimpahan perkara yang dajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atau pemeriksaan oleh majelis hakim pokok perkara. Apabila pengajuan Praperadilan lebih dahulu diajukan dari pelimpahan perkara ke Pengadilan, maka seyogyanya tidak menggugurkan praperadilan. dan Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili perkara praperadilan dapat melanjutkan perkara praperadilan dengan tidak menggugurkan permohonan praperadian yang diajukan oleh pemohon, begitu juga pengadilan negeri atau hakim yang memeriksa dan mengadili pokok perkara dapat menunggu sampai dengan dengan adanya putusan praperadilan diambil. Namun apabila permohonan praperadilan diajukan setelah dilimpahkannya pokok perkara oleh Jaksa Penuntut Urnum ke Pengadilan Negeri atau setelah diperiksanya pokok perkara oleh majelis hakim, maka gugatan praperadilan setelah pelimpahan perkara atau pemeriksaan pokok perkara dapat dikatakan gugur. Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat disimpulkan frasa "Pemeriksaan mengenai" bertentangan dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 280 ayat (1), Pasa! 28G ayat (1) dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945 UndangUndang Dasar 1945 karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta telah menghilangkan hak-hak tersangka untuk dapat menempuh upaya hukurn berupa praperadilan untuk menilai apakah prosedur, wewenang dan substansi yang dialakukan baik dalam proses penyelidikan maupun menyidikan telah ditempuh dengan prosedur yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. MENGENAI PENGUJIAN PASAL 137 KUHAP 15. Bahwa dengan memaknai Pasal 137 KUHAP "Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang rnengadili." 16. Sepanjang dimaknai sebelum adanya proses praperadilan, maka penuntut umum harus menunggu proses praperadilan yang sedang berlangsung diajukan Oleh Pemohon, bukan malah mempercepat proses tahapan pelimpahan ke Pengadilan dengan tujuan menggugurkan permohonan praperadilan yang sedang berlangsung atau malah menunda-menunda sidang praperadilan yang sedang berlangsung dengan ajuan untuk menggugurkan proses praperadilan. Sehingga dengan demikian makna yang terkandung dalam Frasa melimphkan perkara ke pengadilan pada pasal 137 KUHAP Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 21

dapat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang dimaknai sebelum adanya permohonan praperadilan. MENGENAI PENGUJIAN PASAL 143 ayat (1 ) KUHAP 17. Bahwa pemaknaan Pasal 143 ayat (1) KUHAP "Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan." 18. Tersangka berhak perkaranya segera diadili pada dasarnya merupakan hak Tersangka dan untuk melindungi tersangka dimaksud, akan tetapi dapat dikecualikan pada Tersangka Yang sebelumnya telah mengajukan gugatan Praperadilan agar mendapatkan kepastian hukum, Pengakuan, jaminan, perlindungan Hukum, kepastian hukum Yang adil sena perlakuan Yang sama dihadapan hukum terhadap pengajuan upaya hukum praperadilan Yang telah diajukan sebelum perkaranya dimajukan ke Pengadilan Oleh penuntut umum. 19. Bahwa dengan diberlakukannya Pasal 143 ayat (1) KUHAP "bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 Undang-Undang Dasar 1945. 20. Untuk itu frasa seqera mengadili perkara tersebut pada Pasal 143 ayat (1) KUHAP harus dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan sebelum adanya gugatan Praperadilan, hal itu karna sering digunakan alat Oleh Penyidik dan Penuntut Umum untuk menyegerakan proses Penyidikan dan Penuntutan dengan atau tanpa mernenuhi prosedur yang ada, dengan tujuan untuk menghindari gugatan Praperadilan yang diajukan Oleh segenap warga Negara. Berdasarkan yang dialami Oleh Pemohon, kata “Segera” cenderung disalahartikan dan disalahgunakan Oleh Penyidik maupun penuntut umum yakni dengan mempercepat proses penyerahan tahap I dan tahap Il Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini terbukti dengan menyerahkannya tahap Il berkas Pemohon dengan atau tanpa melaksanakan Pemeriksaan saksi yang merupakan hak dari Pemohon sesuai dengan Pasal 65 dan Pasa' 116 ayat (1), ayat (2) ayat (3) dan ayat (4) KUHAP. MENGENAI PENGUJIAN PASAL 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK 21. Bahwa Pemaknaan Pasal 52 ayat (1 ) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (1) Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada pengadilan negeri. (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) ketua pengadilan negeri Wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari komisi pemberantasan korupsi untuk diperiksa dan diputus Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Kornisi Pemberantasan Tmdak Pidana Korupsi di atas harus diartikan sepanjang belum ada gugatan praperadilan. Hal itu mengingat banyak disalahgunakan Oleh Penyidik dan Penuntut Umum untuk mencari celah hukum agar Segera rnenyerahkan tahapan penyidikan atau penuntutan dengan tujuan agar menggugurkan proses prapedilan yang sedang berlangsung, sehingga hak tersangka untuk mencari keadlan dan kepastian hukum mengenai prosedur substansi dan wewenang terhadap penetapan tersangka, penggeledahan, penangkapan dan penyitaan dapat tersalurkan dengan baik, sehingga Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 22

mendapat putusan yang benar-benar adil. tidak mendasarkan pada semata-mata gugurnya praperadilan yang diajukan dikarenakan berkas perkaranya sudah atau telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk memeriksa pokok perkara. Dengan demikian Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) , Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 Undang-undang Dasar 1945. 2.2.1 Legal Standing Pemohon 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pemohon pengujan undang-undang adalah “pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang" yang dalam huruf a menyebutkan "perorangan warga negara Indonesia". Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional" adalah "hak-hak yang diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 2. Bahwa Yurisprudensi Tetap Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-lll/2005 juncto Putusan Nomor II/PUU-V/2007 dan putusanputusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan komulatif tentang apa yang dimaksud dengan "kerugian konstitusional" dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu: a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pernohon telah dirugikan Oleh suatu undang-undang yang diuji; c. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verbancô antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; dan e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak Iagi terjadi; 3. Apabila mendasarkan pada 5 (lima) parameter berdasarkan Putusan Nornor 006/PUUIII/2005 juncto Putusan Nornor II/PUU-V/2007, maka Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini, dengan alasan: a. Sebagai warga Negara Pemohon memiliki hak konstitusional atas "pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasai 1 ayat (3) UUD 1945 b. Hak konstitusional Pemohon atas -pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil" dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan Oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dirugikan dengan berlakunya sejumlah Pasal dalam KUHAP dan 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diuji melalui permohonan ini. c. Kerugian Konstitusional Pemohon tersebut secara (khusus) dan actual karena Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 23

4.

5.

6.

7.

Acara Pidana dan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diberlakukan dalam perkara praperadilan dengan Nomor 69/Pid. Prap/2015FN.JKT.SEL. d. Dengan demikian terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP dan KPK yang dimohonkan dalam perkara ini yang telah menyebabkan hak konstitusönal Pmohon atas "ppengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil" dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana dberikan Oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) LIUD 1945 telah dirugikan. e. Apabila permohonan ini dikabulkan, maka jelas pasal-pasal dalam KUHAP dan UU KPK yang dimohonkan dalam perkara ini tidak dapat diterapkan lagi kepada pemohon, sehingga hak konstitusional pemohon tidak dirugikan lagi karena pasalpasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang memiliki pekerjaan sebagai Bupati Kabupaten Morotai untuk masa jabatan 2012-2016 yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka Oleh Kornisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan Tindak Pidana Suap terkait pemenangan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), berdasar pada konferensi pers Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi pada hari Jumat tanggal 6 Juni 2015 bertempat di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahwa pada tanggal 6 Juli 2015 Pemohon telah mendaftarkan gugatan Praperadilan Pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Register Perkara Nornor 69/Pd.Prap/2015/PN.JKT.SEL akan tetapi baru mendapatkan jadwal sidang perdana pada tanggal 27 Juli 2015, dengan demikian terdapat jangka waktu kurang lebih 3 minggu penentuan jadwal sidang setelah pendaftaran Praperadilan. Bahwa pada tanggal 27 Juli 2015, Termohon dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menghadiri persidangan dan meminta penundaan sidang selama 2 minggu dengan alasan masih mempersiapkan berkas praperadilan yang dajukan Pemohon, hanya saja majelis hakirn hanya memberikan waktu selama 1 minggu untuk pemeriksaan sidang berikutnya yakni pada tanggal 3 Agustus 2015 dengan agenda pembacaan gugatan praperadilan. Pada tanggal yang sama yakni pada tanggal 27 Juli 2015 Pemohon mendapat informasi dari Wicklief Ruus bahwa perkara sebagaimana didakwakan kepada Pernohon akan dilimpahkan ke Tahap Il, atas dasar pelimpahan tahap Il tersebut, penasehat hukum menyampaikan nota keberatan terkait telah diserahkannya Berkas Perkara Tahap Il, mengingat pada Pemeriksaan Lanjutan 3 pada tanggal 22 Juli 2015 melalui Penyidik Novel dan Rufriyanto Maulana Yusuf, memberikan waktu kepada Pernohon dan Penasehat Hukum Pemohon untuk menyerahkan daftar nama-nama saksi meringankan untuk dilakukan pamanggilan dan pemeriksaan, kernudian Penasehat Hukum telah memberikan daftar nama saksi meringankan tersebut pada tanggal 24 Juli 2015, akan tetapi KPK tidak melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi meringankan yang telah diajukan Oleh Pemohon.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 24

8. Bahwa pada tanggal 30 Juli 2015 Penasehat Hukum melakukan kroscek kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata perkara atas diri Pemohon telah terregister dengan nomor perkara 76/PlD.SUS/TPW2015'PN.JKT.PST. Untuk itu pernohon merasa hak pemohon sebagaimana Tersangka untuk mengahdirkan saksi yang meringankan menjadi terhambat serta tidak dpenuhi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Apabila mendasarkan pada Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (1), ayat (2) ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, saksi meringankan merupakan Hak Tersangka untuk mengajukannya, 9. Bahwa berdasarkan Putusan Praperadilan yang diajukan oleh Pemohon dengan Nomor 69/Pid.Prap/2015/PN .JKT.SEL dinyatakan gugur, dikarenakan pokok perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini hakim Praperadilan mendasarkan Putusannya pada Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. 10. Berdasarkan argument dan uraian singkat Pernohon di atas, maka jelas Pernohon memenuhi kapasitas dan syarat untuk mengajukan permohonan uji konstitusionalitas (consttitutional review/ juditial review) Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nornor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2.3

Analisa Pertimbangan Putusan

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan a quo Undang-Undang Nornor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (Legal standing). 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). 3. Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan. 4. Menyatakan Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasa 143 ayat (1) KUHAP, dan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), dan Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 12 November 2015 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2015, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya:

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 25

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 2.3.1 Pertimbangan Hukum Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menunggu sampai adanya putusan pengadilan. Pemerintah tidak sependapat karena penambahan frasa tersebut akan berimplikasi pada tidak terpenuhinya batas waktu 14 hari untuk melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri. Sedangkan frasa "wajib" dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU KPK yang dikaitkan dengan Pasal 52 ayat (1) UU KPK dapat dipahami bahwa ketua pengadilan negeri tidak diwajibkan dan tidak terikat untuk menerima pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apabila perkara tersebut telah diajukan praperadilan. Penerimaan pelimpahan berkas perkara dari KPK wajib di terima setelah adanya putusan pengadilan, sebagaimana telah diuraikan di atas, lihat penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang KPK. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 58 UU KPK yang menyatakan bahwa: "segala kewenangan yang berkaitan Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang diatur undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku tiga hal yaitu penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Oleh karena itu, usul atas penambahan frasa pada Pasal 52 ayat (2) UU KPK adalah bertentangan dan tidak sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; yakni Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menjadi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena penambahan frasa tersebut menjadikan proses penyelesaian penanganan perkara menjadi berlarut-larut atau terkatung-katung yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan uraian di atas ketentuan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang a quo yang memberikan batas waktu untuk mengajukan permohonan pra-peradilan sampai dengan jangka waktu dilimpahkannya berkas perkara Oleh penuntut urnum kepada pengadilan negeri. Menurut Pemerintah justru telah memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang adil dan bermartabat kepada tersangka maupun terdakwa. 2.3.2 Legal Standing Pemohon Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelornpok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undangundang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara: bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-llV2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 26

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan Oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut Oleh Pemohon dianggap dirugikan Oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaktidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadI; d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan penguji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabukannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 2.3.3 Pokok Permohonan Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasal 143 ayat (1) UU 8/1981 sena Pasal 52 ayat (1) ayat (2) UU 30/2002 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1)Pasal 280 ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 281 ayat (2) UUD 1945 dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut, 1. Bahwa pada pokoknya Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) UU 8/1981 menyatakan, “(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum" serta, "(3) terdakwa berhak segera diadili Oleh Pengaduan." Menurut Pemohon, norma tersebut seharusnya dapat dikecualikan pada Tersangka yang sebelumnya telah mengajukan gugatan praperadilan agar mendapatkan kepastian hukum, pengakuan, jaminan, perlindungan hukum, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap upaya pra-peradilan tersebut. Frasa “segera” dimajukan ke pengadilan dalam norma tersebut seharusnya dinyatakan konstitusional bersyarat, sepanjang tidak diartikan sebelum adanya gugatan praperadilan, karena kata "segera" cenderung disalahartikan dan disalahgunakan Oleh Penyidik maupun penuntut umum untuk menghambat hak Pernohon dalam proses praperadilan. 2. Berkenaan dengan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, yang menyatakan, "dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan pra-peradilan belum selesai, maka permitaan tersebut gugur." Menurut Pemohon, ketentuan a quo dapat menciptakan pengertian yang multitafsir, dimana frasa "mulai diperiksa di pengadilan negeri menimbulkan berbagai tafsir, misalnya: sejak berkas perkara dilimpahkan dari jaksa penuntut umum ke Pengadilan Negeri, sejak diperiksa pada sidang perdana, atau sejak setelah pembacaan Surat dakwaan. Adanya multitafsir tersebut menurut Pernohon melanggar asas lex certa dan lex stricta, dan dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum; 3. Berkenaan dengan Pasal 137 UU 8/1981 yang menyatakan, "Penuntut urnum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwakan melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan rnelimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili." menurut Pemohon frasa "dengan melimpahkan perkara ke pengadilan" dapat menyebabkan hilangnya atau gugurnya hak Pemohon untuk mengajukan praperadilan. karena dalam praktiknya penuntut umum Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 27

4.

5.

6.

7.

2.4

dapat mempercepat pelimpahan ke pengadilan dengan tujuan menggugurkan permohonan praperadilan yang sedang berlangsung, atau malah menunda-nunda sidang praperadilan yang sedang berlangsung dengan tujuan menggugurkan proses praperadilan. Menurut Pemohon norma tersebut haruslah dimaknai sebelum adanya permohonan praperadilan. Berkenaan dengan Pasal 143 ayat (1) UU 8/1981 yang menyatakan, "Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan Surat dakwaan.", menurut Pemohon norma ini juga seharusnya ditafsirkan sepanjang tidak diartikan sebelum adanya gugatan praperadilan, demi melindungi hak pemohon untuk mengajukan prapradilan. Berkenaan dengan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK, yang masing-masing menyatakan, Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus, menurut Pemohon norma ini juga banyak disalahgunakan oleh Penyidik dan Penuntut Umum untuk mencari celah hukum agar segera menyerahkan tahapan penyidikan atau penuntutan dengan tujuan agar menggugurkan proses praperadilan yang sedang berlangsung, sehingga hak tersangka untuk mencari keadilan dan kepastian hukum mengenai prosedur substansi dan wewenang terhadap penetapan tersangka, penggeledahan, penangkapan dan penyitaan dapat tersalurkan dengan baik, sehingga mendapat putusan yang benar-benar adil, tidak mendasarkan pada semata-mata gugurnya praperadilan yang diajukan dikarenakan berkas perkaranya sudah atau telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk memeriksa pokok perkara. Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti surat tulisan yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-12, 2 (dua) orang ahli, yaitu Nur Basuki Minamo dan Chairul Huda, serta 3 (tiga) orang saksi yaitu Abdul Rahim Fabanyo, Isra Barani, dan Sofyan Baba yang masing-masing telah didengar keterangannya dalam persidangan (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 November 2015. Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangannya pada persidangan tanggal 20 Oktober 2015 sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara.

Konklusi

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: 1. Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; 2. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, 3. Pokok perrnohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 28

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Unchng-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5076);

2.5 Amar Putusan Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai "permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah mulai pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan". 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Ariel Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal lima, bulan April, tahun dua ribu enam belas, dan pada hari Rabu, tanggal dua, bulan November, tahun dua ribu enam belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan, bulan November tahun dua ribu enam belas, selesai diucapkan pukul 11.11 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi. yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Patriahs Akbar, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, dan Aswanto, masing-masing. 2.6 Hari Dan Tanggal Musyawarah Majelis Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Ariel Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal lima, bulan April, tahun dua ribu enam belas, dan pada hari Rabu, tanggal dua, bulan November, tahun dua ribu enam belas

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 29

2.7 Hari Dan Tanggal Putusan Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal sembilan, bulan November tahun dua ribu enam belas, selesai diucapkan pukul 11.11 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi. yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, I Dewa Gede Palguna, Patriahs Akbar, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, dan Aswanto, masingmasing.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 30

BAB III PENUTUP 3. Kesimpulan Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum dilihat dalam sistem peradilan pidana, Komisi Pemberantasan Korupsi menampakkan dirinya sebagai sistem tersendiri dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yaitu suatu sistem yang mempunyai kewenangan luar biasa, sehingga ada dualisme sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifat transisi dan dapat difungsikan sebagai pemicu untuk perbaikan kinerja lembaga penegak hukum konvensional seperati kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dan sekaligus sebagai kontrol masyarakat terhadap kinerja lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam pemberatasan tindak pidana korupsi. 2. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi oleh KPK dalam sistem peradilan pidana menunjukkan adanya persaingan antara pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo (keadaan tetap seperti semula) dan pihak-pihak yang menghendaki adanya upaya yang maksimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terlihat secara setengah hati. Kesimpulan demikian terlihat dari adanya berbagai upaya penghambatan terhadap gerak laju pemberantasan tindak pidana korupsi seperti tidak mencatumkan aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; adanya upaya judicial review terhadap lembaga-lembaga super body yang mempunyai kewenangan yang luar biasa dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti judicial review terhadap TGTPK dan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; keengganan lembaga legislatif untuk melakukan pembahasan terhadap RUU Tipikor; dan dihapuskannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi oleh Mahkamah Konstitusi. 3.1 Saran 1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diperkuat dan diberikan beberapa hak yang telah dipunyai seperti hak untuk menyadap, menyidik dan menuntut tetap dipertahankan, demikian pula dengan lembaga pengadilan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang khusus terpisah dari pengadilan negeri. 2. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diberikan kewenangan untuk merekrut penyidik dan penuntut dari warga negara Indonesia yang mempunyai keahlian di bidang hukum.

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 31

Daftar Pustaka Aditjondro, George Junus. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta. Arief, Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan Pengadfilan. Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hamzah, 2005. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta. Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Moeljatno, 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Alumni. Bandung. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Idiologi. Nuansa. Jakarta. Rahardjo, Satjipto. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. ----------------. 1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung. Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Putusan Nomor : 102/PUU-XIII/2015 Tentang Pengujian Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang | 32

Related Documents


More Documents from ""