ANALISIS PENERAPAN HUKUM ADAT (Terkhusus di dalam masyarakat sekitar domisili saya)
Permasalahan yang dialami masyarakat adat yang berkenaan dengan konsep hukum adat yang saya ketahui adalah tentang “kumpul kebo” di kalangan masyarakat yang termasuk ke dalam tindak kejahatan. Permasalahannya adalah, dalam beberapa masyarakat adat, hal tersebut jelas dilarang keberadaannya dan telah ada aturan yang melarang perbuatan tersebut beserta sanksi yang diberikan kepada pelanggarnya. Hal ini dapat terlihat pada hukum adat suku Batak Toba yang secara jelas melarang perbuatan kumpul kebo. Namun jika disinkronisasikan dengan hukum positif, ternyata pada hukum positif belum ada pengaturan secara khusus mengenai perbuatan negatif tersebut sehingga terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka saya tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai permasalahan adanya praktik kumpul kebo yang berkembang di masyarakat. Untuk mengetahui lebih rinci maka saya akan membuat pembahasan sebagai berikut:
Pengertian dan latar belakang hukum adat Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Adatrecht”. Orang yang pertama kali memakai istilah Adatrecht adalah Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” dan Het Gayoland“ yang ditulisnya tatkala ia mengamati perang Aceh. Pemakaian istilah “Adatrecht” dilanjutkan oleh Cornelis van Vallenhoven sebagai istilah teknis-juridis. Istilah “Adatrecht” baru muncul dalam perundang undangan pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Sebelumnya, hukum adat itu dinyatakan dalam berbagai istilah, seperti : “godsdientige wetten” (undang- undang agama) lembaga rakyat, “kebiasaan”, lembaga asli. Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, unsur yang asli itu pada umumnya tidak tertulis. Hanya sebagian kecil saja yang tertulis (seperti awig-awig di Bali, piagam-piagam perintah raja, patokan-patokan pada daun lontar) dimana hal ini yang merupakan pedoman bagi sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pegaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun di desa. Hukum Adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku. Hukum adat merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu dengan mempelajari hukum adat berarti kita telah mempelajari sebagian dari kebudayaan bangsa kita. Seperti yang telah sedikit dijabarkan di atas sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturanperaturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Beberapa pembagian hukum adat yang ada di Indonesia Kita sendiri juga mengetahui bahwa Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke yang terbagi atas banyaknya suku, adat, dan budaya. Dari keanekaragaman tersebut di dalam berkehidupan tentu akan membentuk suatu lingkungan sesuai daerah-
daerahnya, dan dapat kita ketahui jika lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu) 2. Tanah Gayo, Alas dan Batak : 1. Tanah Gayo (Gayo lueus) 2. Tanah Alas 3. Tanah Batak (Tapanuli) : 4. Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu) 5. Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi) 6. Nias (Nias Selatan), Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci) 1. Mentawai (Orang Pagai) 2. Sumatera Selatan : 1. Bengkulu (Renjang) 2. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang) 3. Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo) 4. Jambi (Batin dan Penghulu) 5. Enggano 3. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar) 4. Bangka dan Belitung 5. kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan) 6. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
7. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai) 8. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna) 9. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula) 10. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar) 11. Irian 12. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima) 13. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa) 14. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura) 15. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta) 16. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten) Dari banyaknya lingkungan hukum adat yang tersebar tersebut tentunya berdampak pada aturan-aturan yang berkembang di dalamnya berbeda satu sama lain, permasalahan pun juga tak luput dari bumbu-bumbu di dalam menjalankan keseharian masyarakat adat yang hidup di dalamnya.
Permasalahan yang ada di hukum adat Permasalahan adalah sesuatu yang dapat terjadi kapanpun, dimanapun, dan dalam situasi apapun tanpa dapat diprediksi sehingga perlu jalan keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan yang dialami masyarakat adat yang berkenaan dengan konsep hukum adat yang saya ketahui adalah tentang fenomena praktik “kumpul kebo” di kalangan masyarakat yang termasuk ke dalam tindak kejahatan. Permasalahannya adalah, dalam beberapa masyarakat adat, hal tersebut jelas dilarang keberadaannya dan telah ada aturan yang melarang perbuatan tersebut beserta sanksi yang diberikan kepada pelanggarnya. Hal ini dapat terlihat pada hukum adat suku Batak Toba yang secara jelas melarang perbuatan kumpul kebo. Namun jika disinkronisasikan dengan hukum positif, ternyata pada hukum positif belum ada pengaturan secara khusus yang mengenai dua perbuatan negatif tersebut sehingga terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat.
PRAKTIK KUMPUL KEBO DI MASYARAKAT
Sebelum saya membahas kumpul kebo saya ingin membahas terlebih dahulu konsep yang disimpangi oleh kumpul kebo itu sendiri yakni perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab terhadap keduanya dan anak – anak mereka (Majalah Nasehat Perkawinan No.109 Penerbit Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian – BP4 hal. 14) Pada dasarnya memang tidak dapat dipungkiri jika Pelaksanaan Perkawinan Warga Masyarakat Indonesia telah dominan dipengaruhi oleh hukum adat. Dikarenakan Masyarakat Indonesia memiliki beragam suku bangsanya, sudah barang tentu pasti beraneka ragam pula hukum adatnya yang hidup dan lestari di tanah air Indonesia. Menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubunganhubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Praktik Kumpul Kebo
Berdasarkan pembahasan dasar mengenai perkawinan , maka saya akan melangkah kepada pokok permasalahan yang dibahas yakni adanya praktik “kumpul kebo”. Sebelum saya membahas praktik kumpul kebo lebih dalam alangkah baiknya jika saya mendefinisikan pengertian dari “”kumpul kebo” itu sendiri. Kumpul kebo adalah suatu keadaan dimana setiap orang yang hidup bersama yang berhubungan layaknya sebagai suami istri namun di luar perkawinan. Kumpul kebo dalam arti melakukan hubungan seks di luar pernikahan, merupakan kejadian yang bisa dibilang biasa dilakukan oleh masyarakat di negara barat. Hal ini terbukti dengan banyaknya kisah nyata yang dialami oleh beberapa pemain sepak bola di liga champion yang hidup satu atap dengan wanita-wanitanya tanpa melangsungkan pernikahan. Bahkan sering dijumpai bahwa mereka telah memiliki buah hati dari hasil “kumpul kebo” yang mereka jalani. Tidak jarang pula ditemui bahwa mereka melangsungkan pernikahan setelah memiliki satu dua anak bahkan lebih dari itu. Pemain sepak bola terkenal yang saya ketahui telah melakukan praktik kumpul kebo yakni Frank Lampard. Frank Lampard merupakan pemain dari klub Chelsea. Santer beredar di media khususnya di media Televisi saya pernah menyaksikan kabar di Trans 7 khususnya pada program One Stop Football bahwa Frank Lampard melakukan kumpul kebo bersama pacarnya selama tiga tahun lamanya. Beliau adalah pesepak bola terkenal oleh karena itu pemberitaannya beredar cepat di media. Namun demikian di negaranya , kehidupan mereka tidak menimbulkan gejolak-gejolak masyarakat karena memang praktik kumpul kebo di budaya barat tidak dilarang. Berbeda dengan di Indonesia, praktik kumpul kebo di negara kita merupakan suatu hal yang tabuh dan menjadi perbincangan hangat di lingkungan masyarakat. Norma-norma di Indonesia sepertinya tidak memberikan izin atau ruang lingkup yang cukup bagi adanya praktik kumpul kebo. Berdasarkan hal tersebut masyarakat Indonesia jika mendengar berita kumpul kebo akan menjadi kehebohan dan perbincangan hangat banyak orang.
Hukuman Adat Bagi Pasangan Kumpul Kebo di Adat Batak Toba
Dalam hukum adat Batak Toba, keberadaan pasangan kumpul kebo sangat ditentang. Perbuatan tercela tersebut dianggap menyalai norma-norma yang ada khususnya norma kesopanan dan kesusilaan. Pada hukum adat Batak Toba sendiri dikenal sebagai daerah atau suku yang sangat tegas dalam memberikan sanksi sehingga seseorang yang melanggar peraturan harus berpikir dua kali lipat. Begitu pun dengan kumpul kebo, adanya kumpul kebo yang terjadi di suku adat Batak Toba akan dikenai sanksi adat.apabila ada yang melakukan praktik kumpul kebo di daerah teritorial mereka maka langkah yang pasti akan ditempuh adalah dinikahkan. Namun sebelum dinikahkan para pelanggar aturan yakni pasangan kumpul kebo akan diberikan sanksi sebagai berikut : 1. Pasangan yang melakukan praktik kumpul kebo akan disuruh meminta maaf kepada tetua adat dan orang tua kedua belah pihak. 2. Para pelanggar aturan yakni pasangan kumpul kebo akan ditempatkan di suatu tempat atau yang biasa disebut pengasingan. 3. Para pelanggar dalam hal ini pasangan kumpul kebo juga disuruh membayar denda yang jumlahnya ditentukan oleh aturan adat yang berlaku saat itu. 4. Setelah membayar denda barulah pasangan kumpul kebo diwajibkan melaksanakan upacara pembersihan dan harus mengundang para kepala dan tetua marga yang disaksikan oleh para pemuda dan gadis desa. 5. Pada upacara tersebut pasangan kumpul kebo diwajibkan untuk menyembelih paling tidak satu ekor kerbau yang menandakan bahwa hal tersebut adalah peristiwa besar. 6. Setelah upacara tersebut berakhir maka akan dimulailah pembicaraan untuk menentukan hukuman apa yang diberikan selanjutnya. 7. Untuk menandai bahwa pasangan kumpul kebo tersebut setuju dengan adanya hukuman baru yang harus dijalani maka tanda persetujuan tersebut berupa pemberian ulos (kain) yang diserahkan oleh kerabat mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki dan kerabatnya , dan dari mereka ini, pihak mempelai perempuan mendapatkan piso pertama. 8. Setelah itu hukuman selanjutnya akan ditentukan sesuai dengan kesepakatan pada saat itu. Begitulah tahapan-tahapan sanksi yang harus dijalani oleh pasangan kmpul kebo yang melanggar aturan adat Batak Toba. Kasus ini benar-benar pernah terjadi dan hukuman atau sanksinya juga telah diterapkan pada saat itu. Pengaturan tentang penyimpangan sosial atau tindakan yang menyalahi norma adat pada suku Batak Toba memang telah diterapkan dan dipelihara sejak zaman dahulu oleh masyarakat adat Batak Toba. Dan terbukti sangat efektif karena semua pihak atau pun aparat hukum adat yang bertugas menjalankan wewenang dan amanat dengan sangat konsisten. Apapun dan siapapun yang melanggar aturan pasti akan mendapatkan balasannya. Bahkan hal yang belum diatur pada hukum positif pun telah ada
pengaturannya pada hukum adat yang salah satunya adalah pengaturan tentang hukuman bagi pasangan kumpul kebo yakni dimana seorang pasangan yang hidup bersama layaknya suami istri tapi tidak melangsungkan pernikahan secara sah.
Sinkronisasi hukum adat dengan hukum positif
Sebenarnya memang tidak ada pengaturan secara tertulis maupun larangan yang ditetapkan atau termuat dalam peraturan perundang-undangan yang diterapkan di Indonesia yang memberikan larangan kepada pasangan pria dan wanita untuk tinggal bersama dan bertingkah laku layaknya hubungan suami dan isteri tanpa terikat tali perkawinan resmi sesuai dengan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada pemikiran orang awam kumpul kebo bisa saja dibilang sebagai perbuatan perzinahan. Namun demikian dalam pasal perzinahan pun hal tersebut merupakan suatu delik aduan. Yang dimaksud dengan delik aduan adalah suatu tindakan tersebut hanya dapat diproses jika ada pihak yang mengajukannya karena merasa dirugikan. Jika tidak ada yang mengadukan dan merasa dirugikan kasus tersebut tidak akan bisa diproses secara hukum. Selain itu dalam sudut pandang ilmu hukum dapat saya tegaskan bahwasannya pasal perzinahan pun tidak bisa menjerat pasangan kumpul kebo karena pada prinsipnya, seseorang yang dikatakan berzinah adala seseorang yang telah menikah namun berhubungan seks dengan orang lain yang bukan suami atau isterinya. Jadi pasal perzinahan tidak dapat diterapkan karena kebanyakan yang menjalani praktik kumpul kebo pun tidak jarang adalah kalangan single sama single yang artinya sama-sama belum menikah. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku kumpul kebo juga telah memiliki suami maupun isteri atau dengan kata lain adalah orang yang telah menikah. Jadi jika ada masyarakat yang menghakimi pasangan kumpul kebo dengan cara mengusir keberadaan mereka justru terjerat salah satu pasal pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila ada warga atau masyarakat setempat yang geram dengan ulah pasangan kumpul kebo tersebut dan berniat untuk melakukan tindakan sweeping dan mengusir pasangan tersebut justru dapat dituntut berdasarkan pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi sebagai berikut : Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah : 1. 1. Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukanatau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain ; 2. 2. Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan,tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam nutir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Seperti yang telah dijabarkan oleh R. Soesilo maka penjabaran pasal tersebut dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, terkait pasal ini, yang harus dibuktikan adalah: 1. Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu; 2. Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain. Berdasarkan penjelasan yang dijabarkan oleh R. Soesilo di atas maka dapat saya simpulkan bahwa dalam hal ini, para warga tidak mempunyai hak untuk mengusir orang lain dari kediamannya sendiri. Sehingga para warga dapat dipidana dengan Pasal 335 ayat (1) ke- 1 KUHP karena dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu, yaitu memaksa orang lain untuk keluar dari rumahnya. Namun di sisi lain, dalam kelompok masyarakat tertentu juga berlaku hukum adat. Seperti misalnya dalam masyarakat hukum adat batak Toba. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat hubungan yang tidak diperkenankan dalam masyarakat batak Toba. Dikatakan bahwa jika pasangan sepakat untuk secara diam-diam menjadi suami istri (marpadan-padan, berhubungan hidup bersama secara ilegal), juga disebut marmainan (melacur), dan marlangaka pilit (mengambil jalan sesat), maka perkawinan harus dilaksanakan segera setelah hal itu diketahui. Selain itu juga dijelaskan bahwa pasangan muda-mudi itu juga diminta untuk mengakui kesalahan (manopotim) di depan para tetua dan orang tua kedua belah pihak. Hukuman bagi pasangan muda-mudi itu ditentukan oleh keadaan dan hubungan antar mereka. Jika pemuda meninggalkan perempuan yang sudah digaulinya, atau jika orang tuanya tidak menghendaki perkawinan, maka hukumannya akan lebih berat. Si pemuda wajib membayar ongkos pengurasion (penyucian) dan menenangkan hati parboru dengan memberikan piso. Akan tetapi pada akhir-akhir ini santer beredar kabar yang menurut saya menggembirakan yakni tentan dimuatnya aturan tentang praktik kumpul kebo dalam Rancangan Undangundang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau yang sering disebut RUU KUHP. Aturan mengenai kumpul kebo tersebut terdapat pada pasal 485 RUU KUHP. Dari 197 pasal tambahan dan 569 pasal lama, kumpul kebo berakomodasikan pada pasal 485 RUU KUHP baru yang berbunyi : “ setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-isteri di luar pernikahan yyang sah , dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (30 juta rupiah).” Pemasukan pasal mengenai kumpul kebo ini mendapat respon pro dan kontra di berbagai kalangan. Para pihak yang kontra dengan adanya pasal ini berpendapat bahwa negara telah terlampau jauh menjamah atau memasuki ruang privasi masyarakat dan Hak Asasi Manusia yang sejatinya harus dilindungi dan dijamin keberadaannya. Selain itu mereka juga berpendapat bahwa moralitas jangan dicampuradukkan dengan ajaran agama tertentu saja.
Pendapat tersebut ditanggapi dengan santai oleh kementerian Hukum dan HAM. Menurutnya pasal yang mengatur kumpul kebo tersebut dimuat lantaran gaya hidup kumpul kebo antara laki-laki dan perempuan telah merusak kebihdupan rumah tangga keluarga ideal yang dicitacitakan dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974. Selain itu juga tujuan keberadaan pasal mengenai kumpul kebo adalah untuk mensinkronkan dengan undangundang perkawinan No. 1 tahun 1974. Hal ini bagi saya pribadi sangat positif karena yang dulunya bahwa kumpul kebo tidak mendapatkan larangan karena dianggap bahwa setiap orang memiliki hak dalam kebebasan ber-seks kini tindakan kumpul kebo jika RUU KUHP tersebut kelak jika diresmikan akan menjadi suatu tindak kejahatan. KESIMPULAN : Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diambil beberapa poin kesimpulan yang akan dijabarkan sebagai berikut : 1. Ketika ada permasalahan yang mengakibatkan pertentangan hukum positif dan hukum adat maka solusi terbaik yakni diselesaikan dengan hukum adat dimana suatu pelanggaran kumpul kebo itu terjadi. Hal tersebut disebabkan karena pada perundangundangan yang ada belum mengakomodir mengenai kumpul kebo itu sendiri walaupun sudah ada wacana bahwa kumpul kebo akan dimuat dalam RUU KUHP. 2. Penyelesaian melalui hukum adat sendiri akan lebih efektif karena masing-masing hukum adat di suatu daerah memiliki aturan tersendiri dalam menyelesaikan kasus kumpul kebo misalnya saja pada daerah suku adat Batak Toba yang telah dijelaskan tadi. 3. Kedudukan hukum positif pada kasus kumpul kebo ini bukan berati terabaikan namun saya berpendapat bahwa hukum positif juga memiliki peran lewat wacana pemuatan peraturan mengenai kumpul kebo dapat terakomodir secara universal lewat RUU KUHP tersebut yang berarti bahwa seluruh masyarakat harus tunduk pada peraturan tersebut dengan catatan harus tetap mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat daerah tersebut. 4. RUU KUHP salah satu bentuk pengakomodiran secara materiil yang berlaku universal. Untuk mengakomodir dalam masyarakat adatvakan dimungkinkan dibentuknya peradilan adat sebagai bentuk pengakomodiran secara formil sehingga dari sinilah akan terlihat hukum adat yang disinergikan dengan hukum positif
Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2. Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
Demikian pembahasan yang dapat saya sampaikan. Terima kasih