ANALISIS OTENTISITAS MULTIKULTURALISME PENDIDIKAN ISLAM Oleh Abaz Zahrotien A. Pra Analisisa Ternyata suatu pekerjaan cukup melelahkan untuk meneliti data-data, dengan mengawalinya dari mulai mengumpulkan, menyusun untuk dapat dikatakan layak sebagai karya ilmiah. Dalam bab analisis peneliti diberi kesempatan untuk menuangkan gagasannya sebagai wujud pemahaman atas datadata instrumentaif, sebagai data pendukung dan sumber yang dianggapa fital dalam sebuah karya tulis. Terlalu berlebihan apabila peneliti secara serta merta menuangkan gagasan tanpa adanya penbenaran dari konsep lain, setidaknya sebagai data pendukung atas argumentasi yang diajukan sebagai buah kejernihan pemahaman atas konsep yang telah diahadirkan dalam bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini, merupakan bagian yang cukup penting, terutama terkait dengan sejauh mana tingkat ketajaman analisa yang akan diajukan oleh seorang peneliti atas data-data yang telah tersusun pada bab-bab sebelumya. Tingkat penguasaan atas pokok permasalah sangatlah menentukan arah dan fokusnya pemahaman, sehingga di sini dapat berdampak pada sejauh mana peneliti dapat menguraikan pemahamannya yang dilanjutkan dengan menberikan penilaian, baik beruap afirmasi atau penegasian ataupun memberikan pandangan yang lebih terbuka untuk memberikan saran dan kritik atas apa yang telah disampaikan. Wacana multikulturalisme bukanlah hal yang baru lagi dalam sebuah kajian keilmuan, terlebih dikalangan intelektual akademik ilmu-ilmu social humaniora. Hanya masih menjadi bahan permasalahan untuk dapat dikatakan sebagai
kesadaran
populis
dikalangan
masyarakat
pada
umumya.
Multukulturalisme sebagai sebuah diskursus telah membanjiri perpustakaan, seminar-seminar perguruan tinggi dan memadati toko-toko buku, tapi di luar masyarakat akademik masih sering kita temukan masyarakat yang boleh dikatakan belum begitu akrab dengan gagasan tersebut. Masih juga banyak kalangan yang menyatakan sikap kecurigaanya dengan melontarkan tuduhan yang
dialamatkan kepada perumus dan pengkonsep wacan multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan wacana yang kehadirannya inheren dengan derasnya
perubahan
social
yang
disebabkan
oleh
“globalisasi”
dan
“demokratisasi”. Globalisasi sebagai suatu andaian capaian terbentuknya satu tata kehidupan dunia tanpa batas, dalam kenteks politik tercipnya satu polis dunia yag tunggal yang mengontrol negara bangsa sedunia. Dalam konteks ekonomi dapat kita jumpai munculnya kekuatan ekonomi lintas negara-bangsa, dan lelmbagalembaga ekonomi dunia yang memiliki andil cukup besar bagi perubahan ekonomi pada level international. Dalam konteks ilmu pengetahuan, temuan-temuan mutakhir dalam bidang teknologi memberikan berbagai macam kemudahan bagi manusia, terlebih pesatnya perkembangan teknologi informasi menjadikan dunia semakin terasa sempit. Seolah tanpa batas. Berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia dapat diakses tanpa membutuhkan waktu yang lama. Dengan mudahnya arus informasi persebaran perubahan tata kehidupan, life style, terjadi berbagai macam gelombang perubahan, perubahan ini terjadi pada dimensi yang sangat luas. Tak terkecuali factor budaya., globalisasi menangarah pada mondialisasi struktur juga ada pengaruh pada penbentukan tren budaya satu atau penbentukan satu culture global. Globalisasi cukup memancing perdebatan diantara para kalangan, ada yang menyatakan sepakat, dan afirmatif dengan segala kehadirannya, landasan filosofisnya, dan tak sedikit yang memberi tanggapan negative, mengingat berbagai macam konskensi yang akan ditimbulkan oleh arus globalisasi, pasar bebas, dan berbagai rangkaaian agenda sebuah peristiwa masa depan yang dianggap akan cukup memberikan kerugian banyak negara di belah dunia, terutan negara-negara di belahan dunia ketiga yang jika dilihat kondisi dan keeradaanya saat ini belum memungkinkan untik bersaing di era global. Sama halnya dengan apa yang disebut demokratisasi, telah memberikan sumbangsih bagi konflik politik pada ruang lingkup kenegaraan.. gelombang demokratisasi yang merambah ke dunia ketiga khususnya Indonesia tanpa diiringi ksadaran pengakuan hak atas kebebasan orang lain telah mengakibatkan konflik
yang merambah saampai pada konflik ke tinggkat desa-desa, seolah kebebasan telah tergantikan oleh sikap yang cenderung keblablasan. Satu sisi konflik dapat dikatakan sebagai suatu hal yang dialektis, tetapi konflik akhir-akhir ini lebih mengarah pada kecenderungan “distruktif” dan “veilence”. B. Reorientasi Basis Epistimologi Multikulturalisme Pendidikan Islam Epistimologi, adalah kata yang sering dianggap akrab dalam kajian filsafat ilmu pengetahuan. Jika Ontology adalah membahas, mengungkapkan tentang obyek kajian filsafat yani menyangkut seputar yang “Ada”, secara sederhana, dapat diungkapkan bahwa “epistimologi” merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas bagaimana langkah atau tata cara untuk “mengetahuai yang Ada atau Keberadaan”. Aksiologi merupakan salah satu cabang filsafat pengetahuan yang membahas seputar nilai kemanfatan sebuah ilmu pemengetahuan. Ungkapan tadi, sebagai suatu pengantar untuk memudahkan pemahaman peneliti dalam rangka membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin saja hadir ditengah pembahasan. Kata “epistimologi”, ketika disandingkan dengan kata “re” dan “orientasi”, memiliki impliksi pemahaman cukup jauh. Seakan, peneliliti dituntut melakuakan perenungan jauh ke dasar belantara “teks-teks” kebenaran yakni agama. Selain itu, peneliti juga akan meleburkan diri pada wilayah pemahaman kondisi sosiologis antropologis masyarakat yang dikatakan multicultural, dan lengakap dengan berbagai macam persoalan yang perlu untuk dijawab, dan lingkaran permasalahan yang memunculkan pertanyaan, untuk sesegera dicarikan titik pemecahannya (tingkat Problematika (sosial, kultural, agama dan lain sebagainnya). Pada selanjutnya peneliti juga dituntut untuk memahami semangat kesejatrahan dimana teks itu di konstruk Teks yang dimaksudkan adalah teks yang
dijadikan
rujukan
dalam
menggali
landasan
penggalian
sumber
pengetahuan, dalam hal ini adalah menyangkut seputar wacana multikulturalisme pedidikan Islam. Dalam bab ini bukanlah sebagai suatu tuntutan keyakinan semata, untuk merujuk secara epistimologis kedalam sumber keagamaan, tetapi
dalam hal ini menyangkut keharusan metodik untuk merujuk kesana. Pada alasan berikutnya, adalah meyangkut bentuk sikap keprihatinan atas berbagai macam persoalan yang melanda kehidupan umat beragama pada umumnya, dan keberagamaan di Indonesia pada khusnya. Serta kepercayaan masyarakat atas peran dan fungsi pendidikan sebagai salah satu media untuk melakukan
transformasi
sosial.
Apapun
topik
pembicaraannya,
terlebih
menyangkut pendidikan Islam, tidak lepas dari basis epistimologis sebagai kerangka acu dalam penggalian sumber-sumber pengetahuan, yaitu al- Quran. Wacana multkulturalisme adalah merupakan suatu bentuk keprihatinan kalangan inteletual setelah mengalami penyaksian berbagai macam konflik yang kerap kali muncul di depan mata. Sebagaimana lazimnya, sumber wacana selalu mengacu
pada pandangan
filosofis
yang
mendasarinya,
tak
terkecuali
multikulturalisme. Wacana tersebut merupakan wacana yang pada awalnya dibangun di atas pandangan filsafat posmodernisme, sebagai salah satu bentuk aliran pemikiran baru, yang muncul di dunia pemikiran barat sebagai antitesa atas kegagalan proyek modernitas dengan segala capaian dan kemungkinankemungkinan negatifnya. Wacana multikulturalisme, yang pada perkembagan berikutnya oleh para pakar ilmu pendidikan negeri ini di infiltrasikan dalam dunia pendidikan. Dengan awal berangkatan mereka dari satu titik kesadaran bahwa, pendidikan merupakan media yang masih dapat dipercaya sebagai media transformasi social. Dengan demikian, maka upaya umtik membangun multikulturalisme dunia pendidikan menjadi usaha yang serius untuk dilakukan. System Pendidikan Nasional, dimana pendidikan islam merupan bagian dari system pendidikan nasional, bilamana terjadi suatu arah baru kebijakan pendidikan maka secara tidak langsung akan menyangkut pendidikan islam.
C. Tafsir Sosiologis Ayat-Ayat Pendidikan Dalam Perspektif Cross Cultural Studes. Dalam sub bab ini, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terutama bagi peneliti, sebelum jauh terlarut dalam kekaburan pemahaman tentang istlah “ayat-ayat”, dalam judul kecil skripsi yang telah dipilih, dan secara sadar telah diletakkan dalam sub bahasan pada bab ini. “Ayat-ayat” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tidak lain ayat-ayat Al-Qur’an, yang merupakan sumber maroji’ dan masodir yang menempati momer wahid dalam Islam. Oleh karena itu,tidak ada alasan lain yang menunjukkan ke selain dari pada kumpulan ungkapan-ungkapan yang terkandung dalam al-Quran. Sebagaiman yang diungkapkan oleh Abid Al Jabiri, bahwasannya kebenaran pengetahuan islam adalah merupakan konstuksi pengetahuan bayaniah, artinya suatu ungkapan-ungkapan kebenaran yang bersifat metaforis. Dimana watak dasar dari sebuah kebenaran teks tersebut adalah multi tafsir. Kemungkinan munculnya berbagai macam penefsiran merupakan hal yang potensial untuk terjadi. Pluralita penersiran, tidak lepas oleh beberapa sebab, termasuk didalamnya subyektifitas penafsir; meliputi kapasitas keilmuan, tren idiologi, konteks sosiologis, factor kesejarahan adalah sangat menentukan dalam menyusun makna-makna dari balik teks. Selain itu juga penegasan secara singkat menyangkut “cultural studies” adalah suatu pendekatan baru untuk menemukan konsep baru dalam dunia pendidikan. Disiplin tersebut merupakan disiplin yang berada diluar kajian akademik. Yang kemudian dijadikan salah satu pendekatan untuk memahani melayani pendidikan. Dimana pendidikan dilihat sebagai suatu hal yang inheren dengan proses pembudayaan. Pendidikan merupakan salah satu media perubahan social. Dalam ungkapan yang berbeda ayat-ayat, disebut “teks”. Tetapi dalam hal ini, jika dalam pembahasannya mengambil kata teks akan jauh kesulit dibandingkan memilih kata “ayat-ayat”, karena teks memiliki makna lebih umum, cakupan akan bagian-bagiannya lebih luas dan banyak.,dan kata “ayat” mauk dalam dbagian”teks”.
Apa yang dikehendaki oleh peneliti, mengenai tafsir di atas adalah menyangkut metodelogi penafsiran, yakni bagaimana dapat memberikan tawaran secara metodologis penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an
secara umum
ataupun ayat-ayat al-Quran yang berimplikasi secara maknawi sorikh pada pendidikan. Tafsir adalah salah satu didiplin ilmu untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh teks. Sehingga melalui perangkat ilmu tafsir tadi diharapkan dapat menemukan makna-makna baru D. Menyemai Akar Sosial Multikulturalisme di Lingkungan pendidikan Berbasis Keagamaan Lingkungan pendidikan sekolah yang berbasis keagamaan seperti madrasah, pondok pesantren dan majlis ta’lim merupakan salah satu bentuk institusi pendidikan yang lebih memberikan nilai plus, terutama kajian-kajian keagamaan, seperti fiqih, aqidah akhlaq, ilmu tasawuf dan berbagai macam pelajaran keagamaan yang lain. Terkadang diakui atau tidak agama bisa menjadi pemicu munculnya konflik social, terlebih dikalangan masyarakat keagamaan yang cenderung masih kaku dan eksklusif. Prinsip kebebasan perlu ditekankan dalam menyampaikan ajaran agama mengingat berbagai macam aliran pemahaman merupakan hal yang niscaya. Pluralitas pemahaman atas agama, heterogenitas rasial, kemajemukan budaya bukanlah suatu hal yang perlu untuk dihindari, melainkan menuntut penyikapan yang arif, terbuka, dan lebih santun dalam mendialogkan berbagai macam wujud perbedaan yang merupakan kenyataan yang eksistensial. Untuk membangun kesadaran keagamaan yang pluralis inklusif dan multikulturalis bukanlah suatu hal yang dapat dikehendaki secara serta merta tetapi membutuhkan proses panjang. Setidaknya kesadaran multikulturalis perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini. Termasuk dalam materi keagamaan yang mendorong dan mengarahkan ke kesadaran multikulturalis Pertama, yang perlu ditekankan adalah aspek teologis yang lebih longgar dalam hal ini agar tidak mudah terjebak pada tindakan pengkafiran atau “takfir”. Pengakuan atas kemutlakan dan kemaha Esaan Tuhan perlu dikontekskan dalam
kehidupan bermasyarakat yang lebih luas. Dengan prinsip taukhid setidaknya dapat memberikan “counter attack”, bagi tumbuh kembangnya kesadaran truth claim dan truth salvation. Sehingga tidaklah atau jarang kita temui suatu kesadatran “superior” atas apa yang diyakini, budaya, ras, suatu komunitas dan menganggap kominitas yang berseberangan sebagai yang inferior. Sehingga memudahkan orang mengangap orang lain atu pemeluk agama lain sebagai komunitas yang khalal untuk di musui bahkan dimusnahkan. Titik tekan pemahaman keagamaan diarahkan pada suatu kesadaran yang lebih isoteris dan lebih menampakkan wajah agama uyang diyakini sebagai rahmat bagi sekluruh alam. Peran kekhalifahan manusia dalam menjaga keseimbangan kesemestaan, lingkungan social