ANALISIS CERPEN ADA YANG MENANGIS SEPANJANG HARI KARYA IWAN SIMATUPANG MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURAL MURNI DAN STRUKTURAL SEMIOTIK
A. Pendahuluan Karya sastra merupakan imajinatif penyair yang dituangkan ke dalam sebuah tulisan yang indah dan berirama sehingga dapat membuat hati dan pikiran pembaca terbawa arus dunia khayal. Baik itu ke dalam sebuah puisi ataupun prosa.
Sinopsis Cerpen ini menceritakan tentang sebuah tangisan yang selalu terdengar sepanjang hari sampai beberapa hari.Pertama kali terdengar tangisan itu, warga merasa resah karena tangisan itu begitu memilukan. Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelusup ke rumah-rumah kampung pinggir kota. Tangisan itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda. Mereka berusaha mencari dari mana asal tangisan itu dengan mendatangi rumah warga yang berduka atau warga yang mempunyai anak kecil.Tapi pemilik dari tangisan itu belum juga ditemukan. Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Warga lalu melapor kepada Pak RT dan bersama-sama menghubungi Ketua RW karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh kampung. Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Pak Lurah sudah melapor Pak Camat. Tapi karena tidak menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terusmenerus terdengar sepanjang hari itu. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangisan hingga ke seluruh provinsi. Pada hari ke-92 para
menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. “Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang menteri. Menteri yang lain hanya diam. Di kediaman Presiden yang asri dan megah juga terdengar tangisan, membuat Presiden tergeragap dari kanuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak istrinya sudah disampingnya, “Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. “Apa nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap.
B. Isi 1. Sinopsis Cerpen ini menceritakan tentang sebuah tangisan yang selalu terdengar sepanjang hari sampai beberapa hari.Pertama kali terdengar tangisan itu, warga merasa resah karena tangisan itu begitu memilukan. Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelusup ke rumah-rumah kampung pinggir kota. Tangisan itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda. Mereka berusaha mencari dari mana asal tangisan itu dengan mendatangi rumah warga yang berduka atau warga yang mempunyai anak kecil.Tapi pemilik dari tangisan itu belum juga ditemukan. Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Warga lalu melapor kepada Pak RT dan bersama-sama menghubungi Ketua RW karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh kampung. Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Pak Lurah sudah melapor Pak Camat. Tapi karena tidak menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terusmenerus terdengar sepanjang hari itu. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangisan hingga ke seluruh provinsi. Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah
terdengar ke seluruh negeri. “Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang menteri. Menteri yang lain hanya diam. Di kediaman Presiden yang asri dan megah juga terdengar tangisan, membuat Presiden tergeragap dari kanuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak istrinya sudah disampingnya, “Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. “Apa nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap.
2. Hasil Analisis Cerpen dengan Pendekatan Struktural Murni dan Pendekatan Semiotik. a. Analisis dengan Pendekatan Struktural Murni 1) Lapis Bentuk a) Satuan peristiwa 1. Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli. 2. Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda. ”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!” 3. ”Apa dia tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain menangis seharian. Ini sudah keterlaluan!” ”Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya. ”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.” 4. Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh
terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari tangisan itu? 5. Para peronda dan beberapa warga segera menuju kontrakan Kumirah. Kamar itu sepi terkunci. Tak ada tangis merembes dari dalamnya. Tangis itu mengambang di udara entah berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung mereka. Mereka sudah sambangi tiap rumah, tapi tak menemukan siapa yang menangis begitu sedih begitu nelangsa seperti itu. Kadang tangis itu terdengar seperti suara tangis bayi yang rewel kelaparan. Kadang seperti suara perempuan terisak setelah digampar suaminya yang mabok. Kadang terisak panjang. Kadang seperti keluhan. Kadang seperti erang binatang sekarat. Kadang seperti sayatan panjang yang mengiris malam. Berhari-hari tangisan itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan kenapa pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan tangisan yang begitu menyedihkan sepanjang hari seperti itu? 6. ”Ini sudah keterlaluan!” geram seorang warga. ”Bukannya saya melarang orang menangis, tapi ya tahu diri dong. Masak nangis nggak berhenti-henti begitu.” Lalu kompak, warga sepakat mengadu pada Pak RT. 7. Tak ingin terjadi hal-hal yang makin meresahkan, Pak RT segera menghubungi Ketua RW, karena barangkali yang terus-terusan menangis itu dari kampung sebelah. Seminggu lalu memang ada warga kampung dekat pembuangan sampah yang mati gantung diri setelah membunuh istri dan empat anaknya yang masih kecil. Mungkin roh orang itu masih gentayangan dan terus-terusan menangis. Namun Ketua RW menjelaskan kalau suara tangis itu memang terdengar di seluruh kampung. “Warga seberang rel juga cerita, kalau mereka siang malam mendengar suara tangis itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, kalau sampai nanti malem suara tangis itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.” 8. Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke manamana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan
menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus sepanjang hari. 9. Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu. Tangis itu telah benar-benar mengganggu karena orang-orang jadi tak lagi nyaman. Tangis itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Tangis itu telah menjadi teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah yang terus- menerus menangis sepanjang hari, berhari-hari… 10. Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal tangisan itu. Siapakah yang tahan terus- terusan menangis seperti itu. ”Mungkin itu tangis pembantu yang disiksa majikannya…” ”Mungkin itu tangisan buruh yang baru terkena PHK.” ”Mungkin itu tangisan korban mutilasi…” ”Barangkali itu tangisan bocah yang mati disodomi dan mayatnya dibuang ke dasar kali dan tak ditemukan sampai kini…” ”Barangkali itu tangisan pedagang kaki lima yang digusur dan tubuhnya tersiram air panas.” ”Atau bisa jadi itu tangisan kuntilanak…” ”Mungkin tangisan Suster Ngesot…” 11. Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi. Tangisan itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi perbukitan kering, merayap di hamparan sawah yang tergenang banjir dan terdengar gemanya yang panjang hingga ngarai dan lembah yang kelabu sampai ke dusun-dusun paling jauh di pedalaman.
Tangis itu mengalun sayup-sayup bersama galau angin yang melintasi padang savana dan teluk-teluk yang redup sampai ke pantai-pantai. Tangisan itu bagai mampu meredakan deru ombak hingga laut terlihat bening dan datar berkilauan di bawah cahaya bulan yang keperakan. Orangorang termangu diluapi kesenduan setiap mendengar tangisan yang timbul tenggelam itu. Para penyair menuliskan sajak-sajak perihal kesenduan dan kesedihan tangis itu seakan-akan itulah tangisan paling menggetarkan yang pernah mereka dengar. 12. Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan. ”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri. Menteri yang lain hanya diam. 13. Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Ia menyangka itu tangis cucunya. Tadi sore anak dan menantunya memang mengajak cucu pertamanya tidur di sini. Mungkin dia kehausan, batin Presiden, lalu bangkit menuju kamar sebelah. Tapi cucunya yang mungil itu tampak lelap. Betapa pulas dan damai tidur cucunya itu. Lalu siapa yang menangis? Seperti terdengar dari luar sana. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak istrinya sudah di sampingnya. ”Ada apa?” ”Saya seperti mendengar suara tangis…” ”Siapa?” ”Entahlah…”
”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela. 14. Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor kelelawar yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh. Apakah kau dengar tangisan itu? b) Tahapan Alur (1) Penyituasian (permulaan) Penyituasian atau permulaan cerita terdapat pada paragraf ke-1, “Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli.” Pada kutipan diatas dapat diketahui yang menjadi tokoh utama dalam cerpen tersebut adalah suara tangisan yang meresahkan warga. (2) Pelukisan situasi Pelukisan situasi terdapat pada paragraf ke-2, “Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan.” Pada kutipan tersebut menerangkan situasi warga yang resah dan tidak tahan dengan suara tangisan yang tidak diketahui siapa pemiliknya.
(3) Permunculan konflik Konflik mulai muncul pada cerpen ini terdapat dalam percakapan, “Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda. ”Siapa sih yang terus-terusan menangis begitu?!””Suruh keparat itu berhenti menangis,” sergah warga lainnya. ”Ah paling juga itu tangisan Kumirah,” ujar seorang peronda. ”Ia pasti masih sedih karena suaminya mati dibakar kemaren.” Orangorang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Sidat yang ketangkap mencuri jagung rebus, kemudian dibantai ramai-ramai. Belum puas melihat Sidat bonyok dan ringsek, seseorang menyiramkan bensin ke tubuh suami Kumirah itu. Sidat mengerang-erang terkapar. Bau daging yang melepuh terbakar itu membuat mereka merinding. Bau daging bakar yang harum campur aroma bensin itu kini kembali tercium. Seakan masih menempel di udara. Bau yang bagai kembali mengapung bersama isak tangis. Adakah yang lebih menyedihkan dari tangisan itu?” Pada kutipan percakapan di atas menjelaskan permuculan konflik terjadi karena pemikiran atau dugaan warga tentang asal-usul suara tangisan itu. (4) Peningkatan Konflik Peningkatan konflik terjadi pada paragraf ke-7, “Pada hari ke-3, suara tangis itu terdengar makin panjang dan menyedihkan. Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan.” Dan paragraf ke-8, “Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan tangisan itu. Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi karena tak juga menemukan gerangan siapakah yang terus-terusan menangis, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah merasakan kegelisahan warganya karena tangis yang terus-menerus terdengar sepanjang hari itu.” Dari dua kutipan di atas menunjukan peningkatan konflik pada cerpen ini bahwa suara tangisan sudah terdengar di seluruh kota. (5) Perumitan Perumitan cerita dalam cerpen karya Iwan Simatupang terletak pada paragraf k-9, “Hingga hari ke-65 tangisan itu makin terdengar penuh kepedihan dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi.”
Dalam kutipan di atas, suara tangisan belum saja berhenti hinggs hari ke65 dan sudah terdengar sampai ke seluruh provinsi. (6) Klimaks Klimaks dalam cerpen ini terdapat pada paragraf ke-10, “Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri. Tangis itu bahkan terdengar begitu memelas ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar terisak-isak serak bagai riak yang mengapung di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar sekan diiris-iris kesedihan. ”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri. Menteri yang lain hanya diam.” Dalam kutipan di atas, suara tangisan masih belum berhenti sehingga membuat para menteri berkumpul membahas laporan para gubernur. (7) Peleraian Peleraian dalam cerpen terdapat pada paragraf ke-11, “Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah. Tangis itu menyelusup lewat celah jendela, dan membuat Presiden tergeragap dari kantuknya. Pelan Presiden membuka jendela, tapi yang tampak hanya bayangan pagar yang baru direhab menghabiskan 22,5 Milyar. Mendadak istrinya sudah di sampingnya. ”Ada apa?” ”Saya seperti mendengar suara tangis…” ”Siapa?” ”Entahlah…” ”Sudah, tidur saja. Besok kamu mesti pidato,” kata istrinya. ”Apa ya nanti kamu akan mengeluh hanya karena mendengar tangis itu?” Presiden hanya tersenyum. Tetap berusaha tampak anggun dan tenang. Lalu menutup jendela.” Pada kutipan tersebut sudah nampak kejelasan dari sebuah peleraian, suara tangisan itu sampai ke kediaman Presiden. (8) Penyelesaian Penyelesaian dari cerpen ini terdapat pada paragraf ke-12, “Sementara tangisan itu terus mengalun dan angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam gelap. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Seekor kelelawar yang terbang melintas malam mendadak berhenti di udara. Sebutir embun yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Beberapa ekor kunang-kunang dengan cahaya kuning yang redup pucat terlihat diam mengapung dalam dingin. Semesta begitu hening. Tak ada suara selain tangis yang penuh kesedihan itu. Tangis yang terus mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh. Apakah kau dengar tangisan itu?”
Tahapan penyelesaian pada cerpen ini bahwa asal-usul suara suara tangisan itu tidak dapat terungkap siapa yang menangis. Dan masih terus terdengar mengalun mengalir hingga galaksi-galaksi paling jauh.
c) Jenis Konflik (1) Konflik manusia dengan alam “Tangisan itu terdengar begitu dekat, tetapi ketika didatangi seakan berasal dari tempat yang jauh. Tangis itu seperti air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan.” Pada cerpen ini memang yang tidak begitu jelas menjelaskan konflik manusia dengan alam, karena kata ‘tangisan’ merupakan kata kias yang dibuat pengarang. Bahwa tangisan itu seperti banjir, jadi konflik manusia dengan alam yaitu manusia yang sedang dilanda banjir. (2) Konflik manusia dengan isi hatinya “Orang-orang mendengar tangisan itu makin lama makin sarat rintihan dan kepedihan. Tangisan yang mengingatkan siapa pun pada kesedihan paling pedih dan tak terbahasakan. Siapakah dia yang terus-terusan menangis penuh kesedihan seperti itu? Bila orang itu menangis karena penderitaan, pastilah itu karena penderitaan yang benar-benar tak bisa lagi ditanggungnya kecuali dengan menangis terus-menerus sepanjang hari.” Pada kutipan di atas, orang-orang atau warga bertanya-tanya dalam hati siapa yang menangis penuh kepedihan sampai mengingatkan pada kesedihan mereka sendiri. d) Latar (1) Latar waktu Latar waktu dalam cerpen ini adalah sepanjang hari sampai hari ke-100, seperti dalam kutipan di bawah. “Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis,” “Pada hari ke-100, tangis itu sampai juga ke kediaman Presiden yang asri dan megah.”
(2) Latar alam Latar alam dalam cerpen ini adalah di kampung, di kota atau satu negara. Dapat terlihat dari kutipan di bawah, “Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu.” “Ternyata Gubernur memang sudah mendengar tentang tangis yang terdengar hingga ke seluruh provinsi” “Para menteri berkumpul membahas laporan para Gubernur perihal tangis yang telah terdengar ke seluruh negeri.”
Tapi kemudian aku sebel sekali ketika ada bajingan yang kurang ajar dan meletakkan sebuah papan reklame di kepalaku untuk menjual alat untuk memperbesar kemaluan.
e) Jenis plot Jenis plot yang terdapat pada cerpen ini adalah jenis plot maju dan mundur karena rangkain peristiwa dalam cerpen tersebut menunjukan adanya sebab akibat. f) Cara pengarang mengakhiri cerita Dalam cerpennya, pengarang mengahiri cerita dengan diterangkannya bahwa tokoh Gun memang suah mati namun gagsan dari sebuah pemikiran lah yang membuat dia bisa tetap bertahan hidup dan dikenang oleh semua orang bahkan melebihi usia dari pohon jambu bol tersebut.
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda atau ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda.
Menurut Pradopo (2001: 96) untuk memberi makna secara hemiotik dapat dilakukan dengan pembacaan secara heuristik dan hermeneutik. 1. Analisis Aspek Verba atau Bahasa Dalam cerpen ini pengarang menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti oleh para pembaca. Bahasa yang digunakan tidak kaku atau terlalu bebas, jadi cerpen ini dapat dinikmati kalangan manapun. Namun, pengarang menggunakan kalimat halus untuk membentuk kalimat sindiran. 2. Analisis Cerpen dengan Pendekatan Semiotik Berdasarkan teori di atas dari cerpen Ada yang Menangis Sepanjang Hari karya Iwan Simantupang adalah sebagai berikut:
Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara, ini memiliki simbol Menyelusup ke rumah-rumah kampung pinggir kota