310761498-kejang-demam-komplek.docx

  • Uploaded by: Aprido
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 310761498-kejang-demam-komplek.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,078
  • Pages: 46
PERSENTASI KASUS II KEJANG DEMAM KOMPLEKS dengan INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS dan DELAYED DEVELOPMENT

Disusun Oleh : Rizcha Octaviani 030.09.211

Pembimbing : Dr. Daniel Effendi, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 24 MARET – 31 MEI 2014 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, 2014

0

BAB I PENDAHULUAN Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.1,2 Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti tetapi demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.2 Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.3 Beberapa faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/ multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).1 Kejang demam mempunyai angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak

2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami

gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. 1

1

BAB II PERSENTASI KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH STATUS PASIEN KASUS II Nama Mahasiswa

: Rizcha Octaviani

Pembimbing : Dr. Daniel Effendi, SpA

NIM

: 030.09.211

Tanda tangan:

IDENTITAS PASIEN Nama

: Anak AA

Suku bangsa : Jawa

Jenis kelamin : Perempuan

Pendidikan

: -

Umur

: 1 tahun 5 bulan

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Kampung Melayu Barat rt/ rw 010/ 006 no.16, Bukit Duri, Tebet

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 08 November 2012

Orang Tua/Wali Ayah

Ibu

Nama

: Tn. RT

Nama

: Ny. DI

Umur

: 29 tahun

Umur

: 28 tahun

Pekerjaan

: Wiraswasta

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan

: SLTA

Pendidikan

: SLTA

Suku bangsa : Jawa

Suku bangsa : Betawi

Agama

Agama

: Islam

: Islam

Alamat : Alamat : - Jl. Kampung Melayu Barat rt/ rw - Jl. Kampung Melayu Barat rt/ rw 010/ 006 no.16, Bukit Duri, Tebet 010/ 006 no.16, Bukit Duri, Tebet

2

I.

ANAMNESIS Lokasi

: Lantai 5, Bangsal Timur, kamar 512

Tanggal / waktu

: 10 April 2014/ 19.00 WIB

Tanggal masuk

: 10 April 2014

Keluhan utama

: Kejang sejak 1 jam SMRS

Keluhan tambahan

: Demam, batuk, pilek

a. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RSUD Budi Asih bersama kedua orangtuanya dengan kejang yang berlangsung sejak 1 jam SMRS. Saat kejang, kaki kanan pasien kaku dan telapak kaki kanan mengarah ke arah luar, mata mendelik ke atas dan keluar air liur dari mulut. Kejang berlangsung sekitar 1 jam. Pada saat dibawa ke RSUD, pasien masih dalam keadaan kejang. Dari awal kejang hingga di RSUD, kejang terjadi hanya 1 kali. Saat kejang, pasien tidak BAK maupun BAB. Setelah kejang diatasi di IGD, pasien tertidur. Kejang yang terjadi bukan yang pertama kalinya, pasien sudah pernah kejang dari usia 7,5 bulan dan didahului oleh demam. Dari usia 7,5 bulan sampai saat ini, pasien telah kejang sebanyak 4 kali. Sejak 1 hari SMRS, pasien demam dengan suhu 37,50º C diukur dengan termometer digital. Demam akan turun apabila diberikan obat panas namum demam akan naik kembali. Batuk dan pilek terjadi bersamaan dengan demam. Batuk tidak berdahak dan pilek dengan ingus bening dan encer. Mual, muntah dan sesak nafas disangkal oleh ibu pasien.

b. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita Penyakit

Umur

Penyakit

Umur

Alergi

(-)

Difteria

(-)

Cacingan

(-)

Diare

1 tahun 4 bulan 1. 7,5 bulan

DBD

(-)

Kejang

2. 1 tahun 3 bulan 3. 1 tahun 4 bulan

Penyakit Penyakit jantung Penyakit ginjal Radang paru

Umur (-)

(-)

(-)

3

Otitis

(-)

Morbili

(-)

TBC

(-)

Parotitis

(-)

Operasi

(-)

Lain-lain

(-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah menderita diare pada usia 1 tahun 4 bulan. Pasien pernah kejang sebelumnya sebanyak 3 kali pada usia 7,5 bulan, 1 tahun 3 bulan dan 1 tahun 4 bulan.

c. Riwayat Kehamilan/ Persalinan

KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan

Tidak ada

Perawatan antenatal

Rutin kontrol ke dokter kandungan 1 bulan

sekali

dan

sudah

mendapat

imunisasi vaksin TT 2 kali saat hamil Tempat persalinan

Rumah sakit

Penolong persalinan

Dokter

Cara persalinan Masa gestasi

Spontan pervaginam Penyulit : Cukup bulan Berat lahir : 2100 gram, lahir gemeli (saudara kembar pasien berat lahirnya: 3000 gram)

KELAHIRAN

Panjang lahir : ibu pasien tidak ingat (panjang lahir saudara kembar pasien juga Keadaan bayi

tidak ingat) Lingkar kepala : (tidak tahu) Langsung menangis (+) Kemerahan (+) Nilai APGAR : (tidak tahu) Kelainan bawaan : tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan : Kontrol kehamilan baik, persalinan spontan, langsung menangis. Neonatus cukup bulan, kecil masa kehamilan. Berat badan lahir rendah, sedangkan saudara kembar pasien neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan.

4

d. Riwayat Perkembangan Pertumbuhan gigi I

: Umur 6 bulan

Gangguan perkembangan mental

: Tidak ada

(Normal: 5-9 bulan)

Psikomotor Tengkurap

:

Umur 10 bulan

(Normal: 3-4 bulan)

Duduk

:

Umur 11 bulan

(Normal: 6-9 bulan)

Berdiri

:

Belum bisa

(Normal: 9-12 bulan)

Berjalan

:

Belum bisa

(Normal: 13 bulan)

Bicara

:

Umur 12 bulan

(Normal: 9-12 bulan)

Perkembangan pubertas Belum pubertas. Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Terdapat keterlambatan dalam perkembangan. Pasien belum pubertas. Menurut ibu pasien, saudara kembar pasien tidak mengalami keterlambatan perkembangan.

e. Riwayat Makanan Umur

ASI/PASI

Buah / Biskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

0–2

ASI

-

-

-

2–4

ASI

-

-

-

4–6

PASI

-

+

-

6–8

PASI

+

+

-

8 – 10

PASI

+

+

-

10 -12

PASI

+

+

+

(bulan)

Jenis Makanan

Frekuensi dan Jumlah

Nasi

3 x/ hari dan 2-3 centong

Sayur

3 x/ hari, bersamaan dengan bubur dan 1 sendok sayur

Daging

3x/ hari dan 1 potong

Ayam

2 x/ minggu dan 1 potong

Telur

2 x/ minggu dan 1 butir

5

Tahu dan Tempe

Jarang Susu Dancow, frekuensi 10x/ hari, botol

Susu

120 ml

Ikan

3x/ hari divariasikan dengan daging

Kesimpulan riwayat makanan: Tidak ada kesulitan makan pada pasien, jenis makanan cukup bervariasi dengan jumlah yang cukup. Pasien hanya mendapatkan ASI selama 4 bulan. f. Riwayat Imunisasi Vaksin BCG DPT / PT

2 bulan 2 bulan

Dasar ( umur ) 4 bulan 6 bulan

Ulangan ( umur )

Polio

0 bulan

2 bulan

4 bulan

6 bulan

Campak Hepatitis B

0 bulan

1 bulan

6 bulan

-

Pnemokokus

-

-

-

-

Hib

-

-

-

-

-

Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien telah mendapat imunisasi dasar PPI sesuai jadwal, hanya belum mendapat imunisasi campak. g. Riwayat Keluarga a. Corak Reproduksi

No

Tanggal

Jenis

lahir

kelamin

Hidup

Lahir mati

Abortus

Mati

Keterangan

(sebab)

kesehatan Sehat

1.

08-11-2012

Perempuan

+

-

-

-

(kakak pasien)

2.

08-11-2012

Perempuan

+

-

-

-

Pasien

Pasien mempunyai saudara kembar yang dalam keadaan sehat, tidak pernah mengalami hal yang sama seperti pasien, tidak pernah kejang ataupun sakit lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan kakak pasien normal sesuai usianya.

6

b. Riwayat Pernikahan Ayah / Wali

Ibu / Wali

Tn. RT

Ny. DI

1

1

Umur saat menikah

26 tahun

25 tahun

Pendidikan terakhir

SLTA

SLTA

Agama

Islam

Islam

Suku bangsa

Jawa

Betawi

Keadaan kesehatan

Sehat

Sehat

Tidak ada

Tidak ada

-

-

Nama Perkawinan ke-

Kosanguinitas Penyakit, bila ada

Kesimpulan Riwayat Keluarga : Ibu pasien mempunyai riwayat kejang demam saat beliau kecil. Kejang demam hanya terjadi 1 kali pada usia 2 tahun. c. Riwayat Keluarga orangtua pasien : Kakak dan Adik dari ibu pasien (paman dan bibi) mempunyai riwayat kejang demam. Tidak ada yang mempunyai riwayat epilepsi dalam keluarga pasien. h. Riwayat Lingkungan Pasien tinggal di rumah yang berlantai 2, terdapat 4 kamar tidur, 2 kamar mandi, serta 1 dapur. Terdapat ventilasi di setiap ruangan. Pencahayaan baik. Sumber air berasal dari air PAM. Sampah rumah tangga diangkut secara teratur setiap hari. Pasien tinggal diperumahan yang tidak terlalu padat penduduk. Kesimpulan keadaan lingkungan : keadaan lingkungan cukup baik dan bersih.

i. Riwayat Sosial dan Ekonomi Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan sekitar Rp.3.000.000,-/ bulan. Ibu pasien sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien, penghasilan dari suaminya cukup untuk memnuhi kebutuhan keluarga. Kesimpulan ekonomi dan sosial : cukup baik.

7

II.

PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis Keadaan Umum Kesan Sakit

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Kesan Gizi

: baik

Keadaan lain

: anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)

Data Antropometri Berat Badan sekarang

: 8,9 kg

Berat Badan sebelum sakit : 9 kg Tinggi Badan

Lingkar Kepala

: 40 cm

Lingkar Lengan Atas : 15 cm

: 88 cm

Status Gizi BB/ U

: 8,9/ 10,9 x100% = 81,7 % (Gizi normal menurut kurva NCHS)

TB/ U

: 88/ 79 x100% = 111 % (Tinggi normal menurut kurva NCHS)

BB/ TB

: 8,9/ 12,3x100% = 72 % (Gizi kurang menurut kurva NCHS)

LK

: 40 cm (Mikrosefali, <-2 SD Kurva Neillhaus)

LILA

: 15 cm (persentil 25 - 50 tabel Frisancho A.R)

Dari status gizi dapat disimpulkan bahwa gizi pasien baik pada masa lampau maupun sekarang. Tanda Vital Nadi

: 106 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular

Pernapasan

: 30 x/ menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 3

Suhu

: 36,90º C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)

KEPALA

: Mikrosefali, deformitas (-), hematoma (-)

RAMBUT

: Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal

WAJAH

: Wajah simetris, edema palpebra (-/-), luka atau jaringan parut (-/-)

MATA : Visus

: tidak dinilai

Ptosis

: -/-

Sklera ikterik

: -/-

Lagofthalmus : -/-

Konjuntiva pucat

: -/-

Cekung

Exophthalmus

: -/-

Kornea jernih : +/+

Strabismus

: -/-

Lensa jernih

: +/+

Nistagmus

: -/-

Pupil

: bulat, isokor

: -/-

8

Refleks cahaya

: langsung +/+ , tidak langsung +/+

TELINGA : Bentuk

: normotia

Tuli

: -/-

Nyeri tarik aurikula : -/-

Nyeri tekan tragus

: -/-

Liang telinga

: lapang

Membran timpani

: sulit dinilai

Serumen

: -/-

Refleks cahaya

: sulit dinilai

Cairan

: -/-

HIDUNG : Bentuk

: simetris

Napas cuping hidung

: -/-

Sekret

: +/+ bening encer

Deviasi septum

:-

Mukosa hiperemis

: -/-

BIBIR: - Simetris, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-) MULUT: - Oral higiene baik, trismus (-), mukosa gusi dan pipi merah muda, ulkus (-), halitosis (-). Lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-)

TENGGOROKAN: - Arkus faring simetris, hiperemis (-). Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-). Faring hiperemis, granula (-), ulkus (-), massa (-), PND (-) LEHER: - Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah - Tiroid tidak teraba membesar THORAKS :  JANTUNG Inspeksi

: Ictus cordis terlihat pada ICS V 1cm medial linea midklavikularis sinistra

Palpasi

: Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial linea midklavikularis sinistra

Perkusi

: Batas jantung sulit dinilai

Auskultasi

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

9

 PARU Inspeksi - Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang tertinggal, pernapasan abdomino-torakal, pada sela iga tidak terlihat adanya retraksi, tidak ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada. Palpasi - Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vokal fremitus sama kuat kanan dan kiri Perkusi

: Sonor di kedua lapang paru.

Auskultasi

: Suara napas vesikuler, reguler, ronkhi -/-, wheezing -/-

ABDOMEN : Inspeksi - Perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi bermakna, benjolan (-), turgor baik Palpasi - Datar, supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar. - Ballotement -/-, Nyeri ketok CVA -/Perkusi

: Timpani pada seluruh lapang perut, shifting dullness (-)

Auskultasi

: Bising usus (+), frekuensi 3 x / menit

ANOGENITALIA: - Jenis kelamin perempuan, labia minor tertutup sempurna oleh labia mayor, tidak tampak kelainan. KGB : Preaurikuler

: tidak teraba membesar

Postaurikuler

: tidak teraba membesar

Submandibula

: tidak teraba membesar

Supraclavicula

: tidak teraba membesar

Axilla

: tidak teraba membesar

Inguinal

: tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK : Ekstremitas

: akral hangat ++/++

Tangan

Kanan

Kiri

Tonus otot

normotonus

normotonus

Sendi

aktif

aktif

Refleks fisiologis

(+)

(+) 10

Refleks patologis

(-)

(-)

Lain-lain

edema (-)

edema (-)

Kaki

Kanan

Kiri

Tonus otot

normotonus

normotonus

Sendi

aktif

aktif

Refleks fisiologis

(+)

(+)

Refleks patologis

(-)

(-)

Lain-lain

edema (-)

edema (-)

KULIT: -

Warna kuning langsat merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik, lembab, pengisian kapiler <2 detik

TULANG BELAKANG: -

Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)

TANDA RANGSANG MENINGEAL : Kaku kuduk

(-)

Brudzinski I

(-)

(-)

Brudzinski II

(-)

(-)

Laseq

(-)

(-)

Kerniq

(-)

(-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium dari IGD (10 April 2014) Hematologi

Hasil

Nilai Normal

Leukosit

24,2 ribu/ µ

Meningkat

Eritrosit

4,1 juta/ uL

Normal

Hemoglobin

10,2 g/ dL

Normal

Hematokrit

31%

Normal

Trombosit

405 ribu/ uL

Normal

MCV

77,0 fL

Normal

MCH

24,9 pg

Normal

32,4 g/ dL

Normal

MCHC

11

RDW

14,4%

Normal

61 mg/ dL

Normal

Natrium

143 mmol/ L

Normal

Kalium

4,6 mmol/ L

Normal

Clorida

110 mmol/ L

Normal

Metabolisme Karbohidrat Gula Darah Sewaktu Elektrolit

IV. RESUME Pasien perempuan, 1 tahun 5 bulan diantar orangtuanya dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS. Kejang yang terjadi adalah kejang fokal, berlangsung sekitar 1 jam. Saat di IGD RSUD Budhi Asih kejang masih berlangsung. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien demam disertai batuk dan pilek. Pasien mempunyai riwayat kejang demam sejak usia 7,5 bulan. Keluarga pasien mempunyai riwayat kejang demam. Pasien mengalami keterlambatan perkembangan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dan

kesadaran compos mentis. Nadi: 106x/ menit,

pernapasan: 30x/ menit dan suhu: 36,9º C. Kepala pasien berdasarkan kurva Neillhaus dapat disimpulkan mikrocephali. Pemeriksaan hidung didapatkan sekret +/+, bening dan encer. Status generalis dan neurologis baik dan tidak ditemukan kelainan. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan terdapat leukositosis. V.

DIAGNOSIS KERJA Kejang demam kompleks dengan infeksi saluran napas atas dan delayed development

VI. DIAGNOSIS BANDING -

Epilepsi

-

Meningitis

-

Encephalitis

-

Bronkopnemonia

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN -

Urine lengkap

-

Feces lengkap 12

-

Electroencefalogram (seminggu setelah tidak sakit) Electroencefalogram untuk memeriksa pada pasien apakah telah terjadi epilepsi pada pasien ini, karena epilepsi merupakan komplikasi tersering pada kejang demam kompleks yang sering berulang. Pada epilepsi dapat ditemukan gambaran yang normal atau pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes yang mendukung ke arah epilepsi

-

CT-Scan Pada pasien ini dari pemeriksaan lingkar kepala didapatkan mikrocephali maka dari itu ct-scan dianjurkan untuk mengetahui adakalh kelaianan anatomi pada pasien ini.

-

MRI Digunakan untuk melihat adakah kelaianan anatomi pada pasien in karena adanya mikrocephali selain dengan pemeriksaan ct-scan.

VIII. TATALAKSANA Non Medikamentosa -

Informasi dan edukasi mengenai keadaan dan penyakit pasien

-

Observasi tanda vital dan kejang berulang

-

Tirah baring

-

Konsul ke bagian fisioterapi karena pada pasien terdapat keterlambatan motorik, pasien belum dapat berdiri dan berjalan yang seharusnya sudah dapat dilakukan oleh anak seusianya.

-

Konsul ke bagian tumbuh kembang untuk mengevaluasi tumbuh kembang pasien karena pada pasien terdapat delay motor development dan riwayat kejang berulang yang dapat menyebabkan keterlambatan tumbuh kembang

Medikamentosa -

IVFD KaEN1B 3cc/ kgbb/ jam

-

O2 1 liter/ menit

-

Maintance Fenitoin 2x30 mg dalam Nacl 50cc (selama ½ jam) untuk 12 jam kemudian (jam 23:00 dan 11:00) (dosis maintance fenitoin 5-7 mg/ kgbb)

-

Injeksi Ampisilin 4x225 mg (dosis ampisilin 25 mg/ kgbb/ kali) 13

-

Injeksi Gentamisin 1x45mg (dosis gentamisin 5 mg/ kgbb/ hari)

-

Paracetamol 100 mg jika suhu ≥ 38º C (dosis paracetamol 10 mg/ kgbb/ kali)

Pada pasien ini setelah tidak kejang juga dibutuhkan profilaksis jangka panjang terus menerus yaitu asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Profilaksis ini digunakan sampai 1-2 tahun kejang terakhir kemudian diturunkan secara bertahap 1-2 bulan. IX. PROGNOSIS -

Ad Vitam

: dubia ad bonam

-

Ad Sanationam

: dubia ad malam

-

Ad Fungsionam : dubia ad malam

X.

FOLLOW UP Tanggal

11-04-2014

S

O

A

P

Kejang (-)

KU/ Kes: tss/ CM

-

KDK

Demam (-)

N: 92 x/ menit,

-

ISPA

KaEN1B

Batuk (+)

S: 36,70 oC, P: 28 x/

-

Delayed

3 cc/ kgbb/

Pilek (+)

menit

development

jam

Kepala: mikrocephali

-

-

IVFD

Injeksi

Mata: CA -/-, SI -/-

Ampisilin

Hidung : nch -, sekret

4x225 mg

+/+, bening, encer

-

Injeksi

Mulut: bibir kering

Gentamisin

(-), sianosis (-)

1x45 mg

Thorax:

-

Paracetamol

BJI-II reg, m (-), g

100 mg jika

(-). SN ves rh -/-, wh

suhu ≥ 38º C

-/Abdomen: Supel. BU (+), NT

14

(-) Ext: akral hangat pada keempat ekstermitas 12-04-2014

Kejang (-)

KU/ Kes: tss/ CM

Demam (-)

-

KDK bebas

-

Venflon

N: 96 x/ menit,

kejang

-

Injeksi

Batuk (+)

S: 36,80 oC, P: 29 x/

pertama

Ampisilin

Pilek (+)

menit

-

ISPA

4x225 mg

Kepala: mikrocephali

-

Delayed

Mata: CA -/-, SI -/-

hari

-

develoment

Injeksi Gentamisin

Hidung : nch -, sekret

1x45 mg

+/+, bening, encer

-

Paracetamol

Mulut: bibir kering

100 mg jika

(-), sianosis(-)

suhu ≥ 38º C

Thorax: BJI-II reg, m (-), g (-). SN ves rh -/-, wh -/Abdomen: Supel. BU (+), NT (-) Ext: akral hangat pada keempat ekstermitas

Hasil

pemeriksaan

feces lengkap: normal

13-04-2014

Kejang (-)

KU/ Kes: tss/ CM

Demam (-)

KDK bebas

-

Venflon

N: 96x/ menit,

kejang

-

Injeksi

Batuk (+)

S: 36,50 oC, P: 28 x/

kedua

Ampisilin

Pilek (+)

menit

-

ISPA

4x225 mg

Kepala: mikrocephali

-

Delayed

Mata: CA -/-, SI -/-

-

hari

develoment

-

Injeksi Gentamisin

15

Hidung : nch -, sekret

1x45 mg

+/+, bening, encer

-

Paracetamol

Mulut: bibir kering

100 mg jika

(-), sianosis (-)

suhu ≥ 38º C

Thorax: BJI-II reg, m (-), g (-). SN ves rh -/-, wh -/Abdomen: Supel. BU (+), NT (-) Ext: akral hangat pada keempat eksermitas

Hasil lab: Leukosit:12,8 ribu/ µ Eritrosit: 4,6 jt/ uL Hb: 11,7 g/ dL Ht: 35% Trombosit: 448 ribu/ µ LED: 4 mm/jam MCV: 75,6 fL MCH: 25,3 pg MCHC: 33,4 d/ dL RDW: 12,8% 14-04-2014

Kejang (-)

KU/ Kes: tss/ CM

Demam (-)

N: 104 x/ menit,

-

Batuk kering S: 36,20 oC, P: 30 x/ (+) Muntah

menit 1x Kepala: mikrocephali

setelah

Mata: CA -/-, SI -/-

minum susu

Hidung : nch -, sekret

KDK bebas

-

Venflon

kejang

-

Amoksilin

hari

ketiga

oral

-

ISPA

mg

-

Delayed development

-

3x150

Asam Valproat syrup

16

+/+, kering

2x1,5cc

Mulut: bibir kering

(dosis

(-), sianosis (-)

mg/

Thorax:

hari,

BJI-II reg, m (-), g

sediaan:

(-). SN ves rh -/-, wh

syrup

-/-

mg/ 5ml)

Abdomen:

-

15 kgbb/

250

Ambroxol

Supel. BU (+), NT

4,5

mg,

(-)

Terbutalin

Ext: akral hangat pada

0,75 mg dan

keempat ekstermitas

CTM 4,5 mg dalam puyer 3x1

15-04-2014

Kejang (-)

KU/ Kes: tsr/ CM

-

ISPA

-

Aff Venflon

Demam (-)

N: 100 x/ menit,

-

Delayed

-

Pasien boleh

Batuk berkurang

(+) S: 36,60 oC, P: 28 x/

development

pulang

menit Kepala: mikrocephali

Obat pulang:

Mata: CA -/-, SI -/-

-

Amoksilin

Hidung : nch -, sekret

oral

-/-

mg

Mulut: bibir kering

-

3x150

Ambroxol

(-), sianosis (-)

4,5

Thorax:

Terbutalin

BJI-II reg, m (-), g

0,75 mg dan

(-). SN ves rh -/-, wh

CTM 4,5 mg

-/-

dalam puyer

Abdomen:

3x1

Supel. BU (+), NT

-

mg,

Asam

(-)

Valproat

Ext: akral hangat pada

syrup

keempat ekstermitas

2x1,5cc

17

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1.1 DEFINISI 3.1.1.1 Kejang Sebelum memahami definisi mengenai kejang, perlu kita ketahui tentang seizure dan konvulsi. Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf di otak yang tidak dapat dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang dari seizure yang terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan). Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak bisa dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari seizure.1 3.1.1.2 Kejang Demam Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus Statment on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.1,2 Definisi kejang demam menurut International League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya misalnya karena keseimbangan elektrolit akut.3,4 Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului dengan demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. 2,5 18

Anak yang pernah kejang tanpa demam kemudian mengalami kejang demam kembali dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam definisi kejang demam. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam ialah 38 oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang berlangsung sering tidak diketahui.2,5 Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam) sedangkan kejang demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal, kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang demam sederhana yaitu 80% di antara seluruh kejang demam. 2,5 Jika kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik satu kali atau multipel tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka diklasifikasikan sebagai status epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian ini berkisar 5 % dari keseluruhan kejang yang disertai demam.4 Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi, terkadang kejang terjadi pada demam yang tidak begitu tinggi. Bila hal ini terjadi maka anak tersebut memiliki resiko tinggi untuk berulangnya kejang. 2

3.1.2. EPIDEMIOLOGI Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Dua sampai lima persen anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam, insiden bangkitan kejang tertinggi pada usia 18 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.2 Gen yang dicurigai berperan dengan terjadinya kejang demam antara lain: FEB1 (8q), FEB2 (19q), FEB3 (5q),SCAN1A (2q), dan SCAN1B (19q) Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan

19

sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.3,6 Prognosis kejang demam mempunyai angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik.1 3.1.3 MANIFESTASI KLINIS Bangkitan kejang pada bayi dan anak-anak sering terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39°C atau lebih, disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat (ISPA, OMA, dan lainya). Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam. Kejang dapat bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik. Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam kompleks dapat diikuti oleh hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.2,7

3.1.4 KLASIFIKASI KEJANG Kejang diklasifiaksikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang). 1.

Kejang parsial Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergatung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot; sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami gejala – gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan 20

klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia, dan de ja vu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran. Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi. kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata. 2.

Kejang Generalisata Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik, kejang tonik dan kejang klonik. a. Kejang absence (petit mal) Ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonikklonik.

21

b. Kejang tonik-klonik (grand mal) Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya. Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyatakan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipernatremia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak mungkin mengalami kejag non demam pada kehidupan selanjutnya. c. Kejang mioklonik Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau tungkai, cenderung singkat. d. Kejang atonik Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lemahnya postur tubuh. e. Kejang klonik Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tungal atau multipel di lengan, dan tungkai.

22

f. Kejang tonik Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontaksi) wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas. Kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. 1. Kejang Demam Sederhana Adalah kejang yang terjadi pada umur antara 6 bulan sampai 5 tahun, berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang bersifat umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Frekwensi kejang kurang dari 4x/ tahun, dan biasanya kejang timbul dalam 16 jam sesudah kenaikan suhu. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.4 2. Kejang Demam Kompleks Adalah kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.4 Perbedaan kejang demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK) dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks1

Selain klasifikasi diatas, terdapat juga klasifikasi lain, yaitu klasifikasi Livingston. Klasifikasi ini dibuat karena jika anak kejang maka akan timbul pertanyaan, dapatkah diramalkan dari sifat dan gejala mana yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita epilepsi. Livingston (1954) membagi kejang demam atas 2 golongan : 5 1.

Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) 23

2.

Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever)

Modifikasi Livingston diatas dibuat untuk diagnosis kejang demam sederhana adalah: 1. Umur anak ketika kejang adalah 6 bulan dan 4 tahun 2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit 3. Kejang bersifat umum 4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam 5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal 6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan 7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali. Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria modifikasi diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini memiliki kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja. 3.1.5 FAKTOR RISIKO KEJANG DEMAM Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).1,6 1. Faktor demam. Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,80 oC aksila atau di atas 38,30 o

C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada

anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang. 1 Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. 1,8

24

Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. 1,8 Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,90°C-39,90°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C38,90°C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC. 1 2. Faktor usia Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu 1: 1. Neurulasi 2. Perkembangan prosensefali 3. Proliferasi neuron 4. Migrasi neural 5. Organisasi 6. Mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.1 Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi. 1,8 Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam. 1,8 Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila

25

anak mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan kejang. 1,8 Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.1 3. Riwayat keluarga Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar 60-80%. Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai

riwayat pernah

menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.1 4. Faktor Prenatal dan Perinatal Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi

pada

ibu dapat menyebabkan

aliran darah ke plasenta berkurang

sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR. Komplikasi

persalinan

diantaranya

partus

lama.

Keadaan

tersebut

dapat

mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai seperti demam. 1 5. Faktor Pascanatal Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf

pusat seperti

meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian kejang demam pada anak sebesar 20,6%.1

26

3.1.6 PATOGENESIS KEJANG DEMAM Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel

Gambar 1. Potensial Membran Sel Neuron1

tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut ‘Potensial Membran Sel Neuron’. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh: 1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan. Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan potensial membran sel yang didahului dengan stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi, channel ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari ion Na+, sehingga menyebabkan potensial membran sel lebih positif, sehingga terbentuklah suatu potensial aksi. Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron repolarisasi, channel ion K+ harus terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar

Gambar 2. Depolarisasi dan Repolarisasi 4

27

dapat terjadi efluks ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran lebih negative atau ke potensial membrane istirahat. Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara 2 sel neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan akson neuron presinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk menghantarkan arus listrik pada sinaps ini, dibutuhkan peran dari suatu neurotransmitter. Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu : 1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membrane lebih positif dan mengeksitasi neuron post sinaps 2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane lebih negative sehingga menghambat transmisi sebuah impuls. Sebagai contoh : GABA (Gamma Aminobutyric Acid). Dalam medis sering digunakan untuk pengobatan epilepsy dan hipertensi. Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu 1 : -

Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

-

Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.

-

Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang

berlebihan.

Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang. Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, pada keadaan demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi 28

difusi ion kalium dan natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak. 1 Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut 1: -

Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang

belum

matang/immatur. -

Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang

menyebabkan

gangguan permiabilitas membran sel. -

Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang akan merusak neuron.

-

Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion keluar masuk sel.

Kejang demam Gambar 3. Mekanisme terjadinya kejang 1 demam 4

29

Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38o C sudah terjadi kejang, Namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah. 1 Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak. Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang 1

Awal (< 15 menit)

Lanjut (15-30 menit)

Berkepanjangan (>1jam)

Meningkatnya kecepatan

Menurunnya tekanan

Hipotensi disertai

denyut jantung

darah

berkurangnya aliran darah

Meningkatnya tekanan

Menurunnya gula darah

serebrum sehingga terjadi hipotensi serebrum

darah Meningkatnya kadar

Disritmia

glukosa Meningkatnya suhu pusat

Gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema

Edema paru nonjantung

serebrum

tubuh Meningkatnya sel darah putih

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.

30

3.1.7 DIAGNOSIS Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain dapat disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidakseimbangan elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis banding tersebut, meningitis merupakan penyebab kejang yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada kejang yang disertai demam yaitu 2-5%. 4 Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi pada sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola. Lebih dari 50% kejadian kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun berhubungan dengan infeksi virus herpes (Human Herpes Virus 6 dan 7).4 Hal – hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu 9 : -

Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang

-

Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca kejang

-

Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/ OMA, dan lainnya)

-

Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga

-

Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia) Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain 9:

-

Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran

-

Suhu tubuh: apakah terdapat demam

-

Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Lasuque dan pemeriksaan nervus cranial

-

Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) memnonjol, papil edema

-

Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran pernapasan, faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih dan lain sebagainya yang merupakan penyebab demam

-

Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis9

31

Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika terdapat komplikasi atau penyakit lain yang mendasari seperti gangguan keseimbangan elektrolit yang berkaitan dengan dehidrasi akibat infeksi saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dilakukan untuk mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur urin untuk melihat ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan fokus infeksi dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium, fosfor, magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam juga kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang demam sederhana.10 Beberapa

pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

dilakukan

ialah

EEG

(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7 hari setelah serangan kejang. Namun, perlambatan EEG ini kurang mempunyai nilai prognostik dan kejadian kejang berulang dikemudian hari atau perkembangan ke arah epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada pasien kejang demam sederhana karena hasil pemeriksaan yang kurang bermakna.2 Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh karena itu pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan, sangat dianjurkan pada bayi berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi berumur >18 tahun jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke meningitis.2,4,5,8 Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam

evaluasi kejang

demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada kejang demam kompleks sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya kerusakan di otak misalnya di daerah hipokampus jika penyebab kejang masih belum diketahui. Secara umum, perlu tidaknya pemeriksaan penunjang dilakukan dapat dilihat pada tabel di bawah ini7:

32

Tabel 2. Pemeriksaan penunjang pada kejang yang disertai demam7

Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang baik berupa pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang demam sederhana didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding kejang yang disertai dengan demam seperi meningitis 7

Diagnosis kejang demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia

yaitu jika memenuhi kriteria sebagai berikut 5: -

Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun

-

Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit

-

Kejang umumnya berhenti sendiri

-

Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal

-

Kejang tidak berulang dalam 24 jam

3.1.8 TATA LAKSANA Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu 2: 1. Pengobatan fase akut 2. Mencari dan mengobati penyebab 3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus dilakukan ialah membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan terapi oksigen dan jika perlu dilakukan intubasi. 2 Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko 33

terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan ketika anak demam (> 38,5oC). Dosis parasetamol yang digunakan ialah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.5 Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 2,5: 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih efektif daripada diazepam per rektal pada anak.11 Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam11

34

Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada bagan berikut ini 12:

Bagan 1. Tatalaksana kejang demam12

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering berulang dan menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu proflaksis intermiten pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari. 2 Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke jaringan otak. Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam pada kenaikan suhu mencapai 38,5oC atau lebih yaitu dengan dosis 2: 4

5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg 35

5

10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah ataksia, mengantuk dan hipotonia.2 Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital 45mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital berupa kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 3050% pasien. Efek samping dapat dikurangi dengan menurunkan dosis fenobarbital. Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Fenitoin dan carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. 2 Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut 2:

6

Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan

7

Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung

8

Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis sementara dan menetap

9

Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :13 1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik 2. Memberitahukan cara penanganan kejang 3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali 4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat efek samping obat Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:13 1. Tetap tenang dan tidak panik 2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

36

3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut 4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang 5. Tetap bersama pasien selama kejang 6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti 7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

3.1.9 PROGNOSIS Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal atau kejang umum. 3,5 Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang pertama < 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang yang cepat setelah demam. Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada tahun pertama.2,5Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah : 1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama 2. Kejang demam kompleks 3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4% 6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10% - 49% . 5

37

DELAYED DEVELOPMENT 3.2.1 DEFINISI Perkembangan yang terlambat (Developmental Delay) adalah ketertinggalan secara signifikan pada fisik, kemampuan kognitif, perilaku, emosi, atau perkembangan sosial seorang anak bila dibandingkan dengan anak normal seusianya. Seorang anak dengan Global Developmental Delay (GDD) adalah anak yang tertunda dalam mencapai sebagian besar hingga semua tahapan perkembangan pada usianya. Ciri khas GDD biasanya adalah fungsi intelektual yang lebih rendah dari pada anak seusianya disertai hambatan dalam berkomunikasi

yang cukup berarti,

keterbatasan kepedulian terhadap diri

sendiri,

keterbatasan kemampuan dalam pekerjaan, akademik, kesehatan dan keamanan dirinya.14,16 3.2.2 EPIDEMIOLOGI Prevalensi GDD diperkirakan 5-10% dari populasi anak di dunia, sedangkan angka kejadian GDD diperkirakan 1%-3% anak-anak berumur <5 tahun, dan sebagian besar anak dengan GDD memiliki kelemahan pada semua tahapan kemampuannya. Global Delay development merupakan keadaan yang terjadi pada masa perkembangan dalam kehidupan anak (lahir hingga usia 18 bulan). Sekitar 8% dari seluruh anak usia lahir hingga 6 tahun di dunia memiliki masalah perkembangan dan keterlambatan pada satu atau lebih area perkembangan. Sementara di Indonesia khususnya di Jakarta, telah dilakukan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SSDIDTK). Hasilnya, dari 476 anak yang diberi pelayanan SDIDTK, ditemukan 57 (11,9%) anak dengan kelainan tumbuh kembang. Adapun lima jenis kelainan tumbuh kembang yang paling banyak dijumpai adalah Delayed Development (tumbuh kembang yang terlambat) sebanyak 22 anak, Global Delayed Development sebanyak 4 anak, gizi kurang sebayak 10 anak, Mikrochepali sebanyak 7 anak dan anak yang tidak mengalami kenaikan berat badan dalam beberapa bulan terakhir sebanyak 7 anak. 14,15 3.2.3

ETIOLOGI

Penyebab Terjadinya Developmental delay pada anak-anak diantaranya genetik, suatu syndrome misalnya pada down syndrome, anak dengan hipotiroid, cedera kepala, lingkungan anak yang tidak mendukung seperti child abuse, infeksi perinatal seperti rubella, konsumsi alkohol saat kehamilan, kelahiran premature dan berat badan lahir rendah, serta kelainan pendengaran dan penglihatan.15 38

3.2.4 MANIFESTASI KLINIK Sebagian besar pemeriksaan pada anak dengan delay development difokuskan pada keterlambatan perkembangan kemampuan kognitif, motorik, atau bahasa. Gejala yang terdapat biasanya berupa keterlambatan perkembangan sesuai tahap perkembangan pada usianya seperti anak terlambat untuk bisa duduk, berdiri dan berjalan. Keterlambatan kemampuan motorik halus dan kasar, rendahnya kemampuan sosial, perilaku agresif serta masalah dalam berkomunikasi.14,17 3.2.5

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis pada anak dengan developmental delay didapatkan melalu riwayat kehidupannya sejak lahir, dimulai waktu prenatal, perinatal, dan postnatal, disertai riwayat perkembangannya sejak lahir. Selain itu diperlukannya pula pemeriksaan-pemeriksaan klinis lainnya untuk memastikan adanya masalah perkembangan pada anak tersebut, beserta dilakukannya Developmental Delay Screening Test.17

Bagan 2. Screening untuk delayed development15 39

Denver Developmental Screening Test (DDST) merupakan alat untuk menilai perkembangan seorang anadk berusia 0 tahun sampai usia 6 tahun.. Metode ini dikembangkan pada tahun 1967 Tes terdiri hingga 125 item, dibagi menjadi empat bagian: 

Sosial / pribadi: aspek sosialisasi di dalam dan di luar rumah, misalnya tersenyum



Fungsi motorik halus: mata / tangan koordinasi, dan manipulasi benda-benda kecil, misalnya menggenggam dan menggambar



Fungsi motorik kasar seperti duduk, berjalan, melompat dan lainnya.



Bahasa: produksi suara, kemampuan untuk mengenali, memahami, dan penggunaan bahasa, misalnya kemampuan untuk menggabungkan kata-kata Fungsi motorik kasar: kontrol motor, duduk, berjalan, melompat, dan gerakan lainnya

Gambar 3. DDST (Denver Developmental Screening Test)17

40

3.2.6 TATA LAKSANA Tidak ada terapi khusus bagi anak dengan delayed development, tetapi untuk beberapa keadaan dapat dilakukan penatalaksanaan. Jika ditemukan masalah dalam pendengaran atau penglihatan dapat dilakukan koreksi dengan merujuk ke spesialis mata dan THT. Prinsip tatalaksana delayed development adalah dengan terapi rehabilitasi medik sesuai dengan keterlambatan yang terjadi. Pada pasien yang mengalami keterlambatan dalam berbicara membutuhkan speech therapy. Pada anak dengan keterlambatan motorik kasar seperti belum dapat berdiri dan berjalan dapat dilakukan fisioterapi. Penanganan sebaiknya dilakukan sedini mungkin sehingga menghindari dan memperkecil kelainan pada masa sekolah. Fisioterapi merupakan salah satu jenis layanan terapi fisik yang menitikberatkan untuk menstabilkan atau memperbaiki gangguan fungsi alat gerak/fungsi tubuh yang terganggu yang kemudian diikuti dengan proses/metode terapi gerak. Fisioterapi membantu anak mengembangkan kemampuan motorik kasar. Kemampuan motorik kasar meliputi otot-otot besar pada seluruh tubuh yang memungkinkan tubuh melakukan fungsi berjalan, melompat, jongkok, dan seterusnya.16,17

3.2.7

PROGNOSIS

Global Development Delay memiliki kemungkinan penyebab yang beraneka ragam. Keterlambatan perkembangan dapat terjadi pada otak anak saat otak terbentuk pada masa gestasi. Penyebab yang mungkin antara lain: lahir prematur, kelainan genetik dan herediter, infeksi, tetapi seringkali penyebab GDD tidak dapat ditentukan. Secara umum, perjalanan penyakit GDD tidak memburuk seiring dengan waktu pertumbuhan anak.16

41

BAB IV ANALISA KASUS Definisi kejang demam menurut International League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya. Pada pasien ini, berusia 1 tahun 5 bulan datang dengan kejang yang berlangsung selama 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Satu hari sebelum kejang timbul, pasien demam naik turun. Selain demam, pasien juga menderita batuk dan pilek. Pada kejang demam sering terjadi akibat infeksi ekstrakranium, pada pasien ini bangkitan kejang terjadinya karena demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas. Kejang demam kompleks adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. Durasi kejang pada pasien ini lebih dari 15 menit (sekitar 1 jam), kejang pada pasien bersifat fokal yaitu kaki kanan pasien kaku dan telapak kaki kanan mengarah ke arah luar, mata mendelik ke atas dan keluar air liur dari mulut. Durasi pada kejang demam yang melebihi waktu 30 menit dapat dikatakan sebagai status konvulsivus. Kejang pada pasien ini bukan terjadi yang pertama kalinya tetapi sudah 4 kali terjadi, kejang pertama terjadi pada usia 7,5 bulan dan setiap kejang selalu didahului oleh demam, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa banding yaitu epilepsi. Pada pasien ini juga terdapat beberapa risiko kejang demam yaitu riwayat keluarga yang kejang demam (pada ibu, paman dan bibi pasien) serta riwayat kelahiran pasien yang dikatagorikan BBLR yang dapat menjadi faktor resiko kejang demam kompleks pada pasien. Pada kejang demam kompleks yang berulang maka akan menyebabkan ambang demam menjadi rendah untuk timbulnya kejang. Pada pasien ini juga terjadi keterlambatan perkembangan, hal ini sering terjadi pada pasien dengan kejang berulang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan lingkar kepala pasien yang menurut kurva Neillhaus didapatkan nilai <-2 yang berarti mikrocephali. Pada anak yang mikrocephali cenderung mengalami gangguan perkembangan. Selain itu pada pemeriksaan hidung didapatkan sekret bening yang menandakan terjadinya infeksi saluran pernafasan atas. Pada pemeriksaan neurologi tidak ditemukan kelainan, hal tersebut dapat menyingkirkan diagnosa banding lainnya seperti meningitis. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukositosis yang menandakan adanya infeksi, pada pasien ini menderita infeksi 42

saluran pernapasan atas. Pemeriksaan anjuran untuk pasien ini adalah pemeriksaan urin dan feses rutin untuk mencari adanya fokal infeksi lainnya serta elektroensefalogram karena pada pasien ini kejang demam kompleksnya cendrung berulang dan besar risikonya untuk menjadi epilepsi. Selain itu juga dibutuhkan pemeriksaan radiologi seperti CT-Scan dan MRI karena pada pasien ini terdapat mikrocephali yang dapat memungkinkan adanya kelainan anatomi pada kepala (otak). Pada pasien ini telah mendapatkan terapi di IGD, terapi awal pada anak dengan kejang yaitu diazepam rectal maupun intravena sesuai berat badan pasien. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam rectal dengan dosis 0,5-0,75 mg/ kg atau 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan lebih dari 10 kg pasien masih kejang maka diberikan diazepam melalui intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/ kgbb dan jika setelah pemberian diazepam intravena, anak masih kejang maka diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/ kgbb/jam namun jika setelah pemberian fenitoin tersebut kejang masih berlangsung maka pasien harus dirawat diruang intensif. Pada pasien ini setelah pemberian fenitoin, kejang sudah dapat teratasi maka fenitoin diberikan secara maintance dengan dosis 5-7 mg/kgbb dengan pemantauan 12 jam kedepan. Prognosis pada pasien ini cenderung memburuk karena pasien telah kejang pertama kali diusia 7,5 bulan dan telah 4x mengalami kejang berulang, selain itu keluarga pasien juga mempunyai riwayat kejang dan hal tersebut dapat menyebabkan kecendrungan kearah epilepsi serta pada pasien juga telah terjadi keterlambatan dalam perkembangan. Namun untuk membuktikan telah terjadi epilepsi pada pasien ini masih diperlukan pemeriksaan electroencephalogram (EEG) dan pemeriksaan tersebut belum dilakukan pada pasien ini, pemeriksaan tersebut dilakukan seminggu setelah bebas sakit. Pada pasien ini perlu dilakukan rujukan ke rehabilitasi medik untuk dilakukan fisioterapi karena pasien ini belum dapat berdiri dan berjalan, selain itu juga perlu dikonsul ke bagian tumbuh kembang untuk mengevaluasi adanya delay pada perkembangan yang lainnya.

43

DAFTAR PUSTAKA

1. Fuadi F, (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis), Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. 2. Soetomenggolo T.S, (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi, IDAI, Jakarta. 3. Jones T, Jacobsen S.J, (2007), Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications, Int. J. Med. Sci. 4(2):110-114. 4. Wolf P, Shinnar S, (2005), Febrile Seizures in Current Management in Child Neurology, Third Edition.BC Decker Inc. 5. Pusponegoro H.D, Widodo D.P, Ismael S, (2006), Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 6. Kusuma D, Yuana I, (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan Bangkitan Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. 7. Scheffer I.E, Sadleir L.G, (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311. 8. Bahtera T, (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa Tengah. 9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak Indonesia Jilid 1. 10. Srinivasan J, Wallace K.A., Scheffer I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025. 11. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures, British Columbia Medical Assosiation. 12. Mangunatmadja, I, Widodo D.P, (2011), Simposium dan Workshop Tata Laksana Terkini Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Kalimantan Barat. 13. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J Pediatri 2002;7:143-151 14. Moersintowarti B.Narendra,dkk. 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja Jilid 1. Jakarta : Penerbit Sagung Seto 15. Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB. 2004. Nelson textbook of pediatrics 17th ed. Saunders. Philadelphia. American Academy of Pediatrics. Identifying Infants and Young 44

Children With Developmental Disorders in the Medical Home: An Algorithm for Developmental Surveillance and Screening. Pediatrics Volume 118, Number 1, July 2006. 16. Jacoby D. Pustaka Kesehatan Populer (Psikologi). Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer,2009.p.120-25. 17. Oberklaid F. Delayed Development Identification and Management (2005). Australian Family Physician, Vol 34, No.9, September 2005.

45

More Documents from "Aprido"

Ppt Lansia.pptx
April 2020 7
Hepatitis A.pdf
April 2020 5
Interna 1.pdf
April 2020 5
Hemofilia.pdf
April 2020 6