SUARA MERDEKA
SABTU 25 APRIL 2009
Peringatan Hari Bumi Sedunia
Musikalisasi Puisi "Masa Tanpa Ulang" Oleh Sholahuddin DI antara rancakmusikperkusi itu ada syair-syair indah mengungkapkan keresahan seorang insan manusia yang telah jenuh hidup di alam semesta yang mengalami kerusakan. Begitulah setidaknya prolog musikalisasi puisi "Masa tanpa Ulang", di Auditorium Kampus I Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), dalam peringatan Hari Bumi Sedunia, bate-baize ini. Pementasan itu dibawakan dalam kolaborasi tiga komunitas antara lain Alam Raya Institut, Teater Fajar UMM, dan RupadatuPercution. Kemudian didukung instalasi Hery Selot dan Ipeh. Keresahan-keresahan yang diungkapkan dalam bait-bait indah dibalut musik dari Institut Alam Raya menjadikan penonton terlelap dalam bayangan kondisi alam sekarang ini. Anak-anak digambarkan kehilangan halamannya ketika pembangunan di negeri ini terns mengikis habis potensi alam. Kemudian dipertegas dengan instalasi di sisi kanan panggung. Ada sebuah pohon yang daunnya terlepas dan ranting dan sebagian pohon itu berdaun sandal jepit. Takjauh dari tempat itu Hery Selot
dan Caulil Ipeh melukis di atas kanvas. Wama-warn pewarna itu berbuah gambar pohon yang tak tuntas. Kemudian merekamemberikanbeberapa kalimat dalam lukisan tersebut. Suasana Hati Entah apa maksudnya, yang jelas kedua pelukis bermaksud memberikan
penafsiran berdasarkan suasana hatinya tentang penggundulan hutan dan bun-ii yang gersang. Andai saja bumf dapat ber suami Maka beranakpinaklah bwni Hingga tak terbatas lahan. Seandainya aku laminating jagad Pasti batas pandangku tak kan ber-
SM/Sholahuddin al-Ahmed
MUSIKALISASI PUISI: Pementasan musikalisasi puisi dalam peringatan Hari Bumi Sedunia di Auditorium Kampus I Universitas MuhammadiyahMagelang (UMM), baru-baru ini. (70)
ubah Hingga aku menjadi penguasa panorama Bait puisi itu terucap dari mulut Gepeng Nugroho, mencoba mempertanyakan clam semesta. Mengandaiandai hukum alam itu telah berubah, alam semesta keluar dari kodratnya, membelah diri, dan beranak. Sebuah khalayan yang tak mungkin terjadi. Tapi bisa saja itu terjadi ketika bumi ini membelah diri, bukan proses generasi tetapi terbelah karena kehancuran. Kemerdekaan mengartikan bumi menjadi bagian yang tak terpisahkan dan musikalisasi puisi itu. Melontarkan kalimat-kalimat keresahan dan kemudian disambung dengan ungkapan falsafah penyikapan fenomena itu. Balutan musik digital dan percusi terasa meringankan para penonton untuk mencema kalimat-kalimat yang berat itu. Bahkan kemasan itu menjadikan pertunjukan semakin indah dinikmati. Menurut Gepeng, apa yang dipersembahkan itu adalah sebuah ungkapan keresahan melihat fenomena lingkungan sekarang ini. Ketika manusia dihadapkan berbagai persoalan lingkungan maka hares menggunakan logika dan pikirannya untuk menyelamatkan. (70)