191275_crs - Ca Nasofaring.docx

  • Uploaded by: widiayunit
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 191275_crs - Ca Nasofaring.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,966
  • Pages: 25
BAB I PENDAHULUAN Kanker masih menjadi salah satu penyebab kematian yang paling banyak di dunia dewasa ini. Hingga tahun 2001 dilaporkan bahwa kanker menempati urutan ke empat penyebab kematian utama di dunia dengan presentase 23,2%. Keganasan pada bagian mulut, farings, dan esofagus juga masih termasuk dalam sepuluh besar keganasan di seluruh dunia dengan jumlah penderita sebanyak 363.000. Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah jenis keganasan yang muncul di rongga nasofarings yang berasal dari epitel skuamosa (Squamous Cell Carcinoma)

dengan

predileksi

di

fossa

Rossenmuller

yang

berepitel

transisional.1,2 Meskipun banyak ditemukan di Negara penduduk non-Mongoloid, namun demikian daerah cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi prevalensi karsinoma nasofaring, yaitu dengan 2500 kasus pertahun untuk provinsi GuangDong atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsnioma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.3 Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting dari dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.3

1

BAB II LAPORAN KASUS 2.1

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. H

Umur

: 65 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Agama

: Islam

Pekerjaan

: Tidak Bekerja

No. RM

: 872132

Pendidikan

: SMA

Alamat

: Jl. Trimulyo, RT 05, Sei Benteng, Singkut, Sarolangun, Jambi

Tanggal MRS : 27 November 2017

2.2

ANAMNESA

a. Keluhan utama Benjolan di leher b. Riwayat Penyakit Sekarang Os datang dengan keluhan terdapat benjolan di leher sebanyak 2 benjolan di sebelah kanan dan 1 benjolan di kiri sejak ±3 bulan yang lalu. Benjolan tidak dirasa nyeri, teksturnya kenyal, berwarna sama dengan kulit dan tidak terfiksasi. Sebelumnya, pada bulan Maret os mengeluh nyeri tenggorokan disertai batuk tidak berdahak dan melakukan pengobatan ke puskesmas. Akan tetapi, setelah 3 bulan berobat, os tidak sembuh dan kemudian keluhan bertambah berupa tenggorokan terasa panas, telinga sakit dan berdengung. Selain itu, os juga merasa pendengaran os berkurang sejak ± 3 bulan terakhir. Os mengaku sering demam, berat badan turun drastis (dari 75 kg menjadi 55 kg) dan berdasarkan keterangan anak os jadi mengorok saat tidur. Riwayat mimisan, bersin, dan sesak disangkal. Os juga mengatakan tidak ada gatal, nyeri, bengkak, dan keluar cairan pada telinga, serta mual dan muntah tidak ada. Pada bulan Juli, os memutuskan untuk berobat ke dokter spesialis THT RSUD Sobirin Lubuk Linggau dan dari pemeriksaan diketahui bahwa terdapat 2

tumor di belakang hidung pasien. Kemudian, pada bulan Novemer os melakukan biopsi di RS. Prof. Dr. H.M Chatib Quzwain dan didapatkan hasil berupa tumor ganas nasofaring.

c. Riwayat Pengobatan Os sebelumnya berobat ke puskesmas dan RSUD Sobirin Lubuk Linggau. d. Riwayat Penyakit Dahulu Os belum pernah menderita penyakit serius sebelumnya. Hanya batuk pilek biasa dan hanya membeli obat di warung. e. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga os yang mengalami hal serupa ataupun penyakit kanker dan penyakit keturunan. f. Riwayat Sosial Ekonomi Os merupakan karyawan swasta dengan penghasilan cukup. g. Riwayat Kebiasaan Os merupakan perokok berat aktif sejak remaja dan suka mengkonsumsi ikan asin sejak 2 tahun yang lalu setiap hari.

Telinga

Hidung

Kanan/Kiri

Tenggorok

Laring

Kanan/Kiri

Gatal

:

- / - Rinore : - +/- / +

Sukar menelan : +

Parau

: +

Korek

:

- / - Buntu

: + / +

Sakit menelan : +

Afonia

: -

Nyeri

:

- / - Bersin

:

- / -

Trismus

: -

Sesak

: -

Bengkak :

- / - Dingin :

- / -

Ptyalismus

: -

Sakit

: +

Otore

:

- / - Debu

:

- / -

Rasa ganjal

: +

Rasa ganjal: +

Tuli

: + / + Berbau :

- / -

Rasa berlendir : +

Tinitus : + / + Mimisan :

- / -

Rasa kering

Vertigo :

- / - Nyeri

Mual

- / - Sengau : + / +

:

Muntah :

: + / +

- / 3

: -

2.3

PEMERIKSAAN FISIK Tanda Vital Keadaan Umum

: Tampak Sakit Berat

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 82 kali/menit

Respiration rate

: 21 kali/menit

Suhu

: 36,5oC

Anemia

: -

Sianosis

: -

Stridor Inspirasi

: +

Retraksi Suprasternal

: -

Interkostal : -

PEMERIKSAAN TELINGA Daun Telinga - Anotia/mikrotia/makrotia - Keloid - Perikondritis - Kista - Fistel - Ott hematoma Liang Telinga - Atresia - Serumen prop - Epidermis prop - Korpus alineum - Jaringan granulasi - Exocytosis - Osteoma - Furunkel Membran timpani - Hiperemis - Retraksi - Bulging - Atropi - Perforasi - Bula - Secret 4

Epigastial : -

Kanan

Kiri

Normotia -

Normotia -

-

-

-

-

Retroaurikular - Fistel - Kista - Abses Preaurikular - Fistel - Kista - Abses Tuba Eustachii : Valsava test / Politzer RINOSKOPI ANTERIOR - Vestibulum nasi - Kavum nasi -

Selaput lendir Septum nasi Lantai + dasar hidung Konka inferior

- Meatus inferior - Polip - Korpus alineum - Massa tumor RINOSKOPI POSTERIOR - Kavum nasi - Selaput lendir - Koana - Septum nasi - Konka superior - Meatus nasi media - Muara tuba - Adenoid - Massa tumor - Polip TRANSLUMINASI - Sinus Maxilarris - Sinus Frontalis MULUT - Selaput lendir - Bibir - Lidah gigi - Kelenjar ludah

-

-

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Kanan Hiperemis (-) Sekret (-), hiperemis (-), edema (-) Dbn Deviasi (-) Dbn Hipertrofi (-), livid (+) Dbn Tidak terlihat Kanan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai + Kanan Tidak dilakukan

Kiri Hiperemis (-) Sekret (-), hiperemis (-), edema (-) Dbn Deviasi (-) Dbn Hipertrofi (-), livid (+) Dbn Tidak terlihat Kiri Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai + Kiri Tidak dilakukan

Dbn Laserasi (-) Dbn Dbn 5

FARING - Uvula - Palatum mole - Palatum durum - Plika anterior - Tonsil - Plika posterior - Mukosa orofaring LARINGOSKOPI INDIREK - Pangkal lidah - Epiglottis - Valekula - Plika ventrikularis - Plika vokalis - Komisura anterior - Aritenoid - Massa tumor - Sinus piriformis - Trakea KELENJAR GETAH BENING a. Regio I

Dbn Hiperemis (-), benjolan (-) Hiperemis (-), benjolan (-) Hiperemis (-) T1-T1, hiperemis (-/-), detritus (-/-) Hiperemis (-) Hiperemis (-), granula (-)

Sulit dinilai

b. Regio II : Dextra: terdapat 2 masa kenyal, mobile dengan ukuran: 2,5x2,1x0,5cm dan 4,8x2x0,5cm Sinistra: terdapat benjolan kenyal, mobile ukuran: 10x8x0,9cm c. Regio III d. Regio IV e. Regio V f. Regio VI g. Area parotid h. Area postaurikular i. Area occipital j. Area supraklavikula

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS: I.

Nervus Olfactory

: Terganggu

II.

Nervus Opticus

: Normal

III.

Nervus Occulomotorius

: Normal 6

IV.

Nervus Trochlearis

: Normal

V.

Nervus Trigeminus

: Normal

VI.

Nervus Abducent

: Normal

VII.

Nervus Facialis

: Normal

VIII.

Nervus Vestibularis

: Penurunan pendengaran

IX.

Nervus Glosopharyngeus : Normal

X.

Nervus Vagus

: Normal

XI.

Nervus Accesorius

: Normal

XII.

Nervus Hypoglossus

: Normal

PEMERIKSAAN AUDIOLOGI -

Tes Penala

: Kanan

Kiri

16

-

-

32

-

-

64

-

-

128

-

-

256

+

-

512

+

+

1024

+

+

2048

+

+

-

Tes Berisik

: Tidak dilakukan

-

Tes Rinne

:

-

Tes Weber

: Tidak ada lateralisasi

-

Tess Schwabah

: Memanjang pada kelua telinga

-

Tes Barany

: Tidak dilakukan

-

Tes Auropalpebra Reflek

: Tidak dilakukan

-

Audiogram

: Tidak dilakukan

KESIMPULAN

: Tuli Konduktif pada kedua telinga

PEMERIKSAAN VESTIBULAR

-

: Tidak dilakukan

7

-

2.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Radiologi

: Tidak dilakukan

b. Laboratorium

: Tidak dilakukan

c. Nasoendoskopi

: Terdapat masa di nasofaring, massa hiperemis dengan permukaan rata.

d. Patologi/No/Tgl

2.5

2.6

: Hasil : Undiferrentiated Nasopharyngeal Carcinoma No

: AH.17.1261/2

Tgl

: 17 November 2017

DIAGNOSIS BANDING -

Karsinoma Nasofaring

-

Tumor Colli

-

Limpoma

DIANGOSIS Karsinoma Nasofaring stadium III

2.7

PENATALAKSANAAN Diagnostik -

Pemeriksaan CT-scan nasofaring

-

Pemeriksaan nasoendoskopi

-

Pemeiksaan biopsy

Terapi Rujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas radioterapi dan kemoterapi.

KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) -

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakitnya.

-

Menjelaskan tujuan pengobatan kepada pasien dan keluarga.

-

Menyarankan pasien untuk menjaga pola makan pasien.

8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1

ANATOMI NASOFARING Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung,

berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi anteroposterior 3 cm. Di depan nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, di dinding lateral terdapat muara tuba eustachius, dan ke belakang dinding melengkung ke atas dan ke depan dan terletak di bawah korpus os sfenoi dan bagian basilar dari os oksipital. Di belakang atas torus tuabirus terdapat resesus faring atau fosa Rosenmuleri dan terdapat di ujung atas posteriornya terletak foramen laserum.4 Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified columnar respiratory type epithelium dan non keratinizing stratified squamous epithelium. Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung posterior septum nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh daerah yang menyatu berupa permukaan melandai yang dibatasi oleh badan sphenoid, dasar oksiput dan vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum mole.4 Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastium melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.4 Pembagian daerah nasofaring: 1. Dinding posterosuperior: daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak. 2. Dinding lateral: termasuk fosa Resenmuleri. 3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.

9

Gambar 1. Anatomi Nasofaring

3.2

KARSINOMA NASOFARING

3.2.1

DEFINISI

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher. KNF pertama kali dilaporkan secara terpisah oleh Regaud dan Schimnke pada tahun 1921.5

3.2.2

EPIDEMIOLOGI

Karsinoma nasofaring (KNF) dapat terjadi pada setiap usia dan pada umumnya terjadi di usia antara 45 – 54 tahun, namun 2 dekade terakhir dilaporkan peningkatan kasus kejadian pada usia yang lebih muda. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF. Kasus kejadian KNF pada laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000 kasus. Tumor ini memiliki insiden sebesar 95% pada keganasan nasofaring dewasa dan 20 – 35 % pada pasien anak.5,6 10

Di cina bagian selatan merupakan tempat tertinggi prevalensi karsinoma nasofaring, yaitu dengan 2500 kasus pertahun untuk provinsi Guang-Dong atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina. Bagian Selatan, Hongkong, Vietmnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eksimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dinign dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine.3 Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangukusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.3

3.2.3

ETIOLOGI

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah Virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer antivirus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun. Sebagian besar infeksi VEB tidak menimbulkan gejala. VEB menginfeksi dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Infeksi VEB biasanya subklinis. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya pada dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama VEB, jalur masuk VEB ke sel epitel masih belum jelas, replikasi VEB dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-long).3,7 Banyak penyelidikan mengani perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, 11

jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Letak geografis sudah disebutkan diatas, demikian pula faktor rasial. Tumor ini lebih sering ditemukan pada lakilaki dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.3 Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan, memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortilitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Kebiasaan penduduk Eskiomo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.3 Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina Selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien karsinoma nasofaring dan 1 menderita tumor ganas payudara. Pengaruh gentik terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell-mediated immunity dari virus EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. Pengaruh infeksi dapat dilihat dengan menurunnya kejadian malaria akan diikuti oleh menurunnya pula Limfoma Burkitt, suatu keganasan yang disebabkan oleh virus yang sama.3

3.2.4

Klasfikasi

Klasifikasi histopatologi KNF yang diajukan oleh World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan KNF menjadi 3 kelompok, yaitu:4 Tipe 1 : keratinizing squamous cell carcinoma, dengan jembatan interseluler, mirip dengan yang ditemukan pada saluran pernapasan atas. Tipe 2 : non keratinizing squoamous cell carcinoma, sel tumor menunjukkan maturasi, dimana diferensiasis skuamosa tidak terlihat jelas. 12

Tipe 3 : undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki batas sel tidak jelas dengan inti sel yang hiperkromatik. Amerika dan Eropa menetukan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium karsinoma nasofaring menurut AJCC/UICC tahun 2010.8 Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:8 Tumor Primer (T) Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer Tis : Karsinoma in situ T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan / kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2 : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring. T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang mastikator.

KGB Regional (N) NX : KGB regional tidak dapat dinilai N0 : Tidak ada metastasis ke KGB regional N1 : Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang. N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavikular: 13

N3a : Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b : Meluas ke fossa supraklavikular Metastasis Jauh (M) M0 : Tanpa metastasis jauh M1 : Metastasis jauh

Stadium: Tabel 1. Stadium Karsinoma Nasofaring8 Stadium 0

Tis, N0, M0

Stadium I

T1, N0, M0

Stadium IIA

T2a, n0, M0

Stadium IIB

T1, N1, M0 T2, N1, M0 T2a, N1, M0 T2b, N0, M0

Stadium III

T1, N2, M0 T2a, N2, M0 T2b, N2, M0 T3, N0, M0 T3, N1, M0 T3, N2, M0

Stadium IVA

T4, N0, M0 T4, N1, M0 T4, N2, M0

Stadium IVB

Setiap T, N3, M0

Stadium IVC

Setiap T, setiap N, M1

14

3.2.5

Patofisiologi

Gambar 2. Skema Patofisiologi terjadinya Keganasan9 3.2.6

Gejala Klinis

Menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring secara dini merupakan hal yang paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa: a. Gejala Telinga Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.2,3

15

b. Gejala hidung Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.2,3

1. Gejala Lanjut a. Limfadenopati Servikal Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya.3,10 b. Gejala Neurologis Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf cranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot 16

tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Sindroma parafaring/penjalaran secara retroparotidian, akibat tumor menjalar ke belakang secara ekstrakranial dan mengenai saraf kranial posterior yaitu saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan sindroma Horner. Parese saraf IX menyebabkan keluhan sulit menelan karena hemiparese otot konstriktor faringeus superior. Parese saraf X menyebabkan gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia, spasme esofagus, gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dispnu, dan hipersalivasi, parese saraf XI menyebabkan atrofi otot trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, parese saraf XII menyebabkan hemiparese dan atrofi sebelah lidah, sedangkan saraf VII dan VIII jarang terkena karena letaknya lebih tinggi. Karsinoma nasofaring juga kadang-kadang menimbulkan gejala yang tidak khas berupa trismus. Gejala ini timbul bila tumor primer telah menginfiltrasi otot pterigoid sehingga menyebabkan terbatasnya pembukaan mulut. Gejala trismus sangat jarang dijumpai tetapi lebih sering terdapat sebagai efek samping radioterapi yang diberikan, sehingga menyebabkan degenerasi serat otot pterigoid dan masseter. Sakit kepala yang hebat merupakan gejala yang paling berat bagi penderita karsinoma nasofaring, biasanya merupakan stadium terminal dari karsinoma nasofaring. Hal ini disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya.3,10

2. Gejala Metastasis Jauh Metastasis jauh dari karsinoma nasofaring dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limpa. Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosis yang

17

sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan.11

3.2.7

Diagnosis

Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan.3 Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas IgA VCA ada;ah 97,5% dan spesifisitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifisitasnya hanya 30%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer 160.3 Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornyo (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.3 Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsy tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topical dengan Xylocain 10%.3 Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.3

18

3.2.8

Tatalaksana

1. Radioterapi Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya.12,13 Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3.13 2. Kemoterapi Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama kali dipergunakan pada tahun 1970-an. Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif. Penelitian inter grup 1997 pertama kali menunjukkan bahwa pengunaan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi meningkatkan overall survival apabila dibandingkan dengan penggunaan radioterapi tunggal. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu dalam mengurangi metastase jauh.13,14 3. Pembedahan Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher setelah radiasi dan pada pasien tertentu, pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh.13 National Comprehensive Cancer Network (2010) mempublikasikan suatu petunjuk praktis klinis penanganan KNF sebagai berikut:

19

Gambar 3. Skema pengobatan KNF berdasarkan NCCN 2010.

3.2.9

Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher, hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang diradiasi. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin dapat terjadi sejalan dengan penggunaan obat cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi kepada pasien yang diberikan ciplastin. Bleomycin meningkatkan risiko menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi yang langka dari radioterapi dan dapat dihindari dengan perawatan gigi yang tepat.16

3.2.10 Pencegahan Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) pendudukan dari daerah dengan risiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berakaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologic IgA-anti 20

VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.3

3.2.11 Prognosis Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lajut, dimana sudah menimbulkan gejala atau gangguan (biasanya benjolan di leher). Angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam jangka waktu 5 tahun menurut American Joint Comitte Cancer (AJCC) Cancer Staging Manual edisi ke7:17 Tabel 2. Prognosis Pasien Karsinoma Nasofaring17 Stadium

Angka Harapan Hidup

I

72%

II

64%

III

62%

IV

38%

21

BAB IV ANALISIS KASUS Tn. H, usia 65 tahun, berobat ke poli THT-KL RSUD Raden Mattaher pada tanggal 27 November 2017 dengan keluhan batuk disertai nyeri tenggorokan sejak ± 7 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh penurunan pendengaran dan berdenging pada kedua telinga, sumbatan, nyeri, sengau dan keluar cairan pada kedua hidung, sukar menelan, sakit saat menelan, rasa ganjal dan rasa berlendir di tenggorokan. Tn. H sebelumnya telah melakukan pemeriksaan biopsy dan didapatkan hasil undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada pemeriksaan otoskopi tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, didapatkan lantai dasar hidung tampak pucat, kona inferior dan konka media tampak pucat. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior, didapatkan konka superior pucat, dan massa sulit dinilai karena pasien batuk-batuk dan ingin muntah ketika akan diperiksa. Pada pemeriksaan leher, didapatkan benjolan di regio II kanan dan kiri, dimana benjolan di sebelah kanan berukuran 2,5x2,1x0,5 cm dan 4,8x,2x0,5cm serta di sebalah kiri berukuran 10x8x0,9 cm. Pada pemeriksaan nervus, didapatkan penurunan penciuman dan pendengaran yang menandakan kemungkinan gangguan pada nervus I dan nervus VIII. Pada pemeriksaan audiologi, didapatkan hasil tuli konduktif pada kedua telinga. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang dialami pasien dimana tumor telah bermetastasis ke daerah parafaring, maka terapi yang harus diterima pasien adalah kemoradiasi, yaitu kombinasi antara kemoterapi dan radiasi. Selain itu, dapat dinilai angka harapan hidup pasien yaitu 62%.

22

BAB V KESIMPULAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsnioma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Penyebab KNF dipastikan adalah virus Epstein-Barr, akan tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Berdasarkan TNM, AJCC/UICC membagi stadium tumor menjadi stadium 0, I, IIA, IIB, III, IVA, IVB, IVC. Pada pasien KNF, gejala dapat timbul pada telinga berupa rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Pada hidung berupa epistaksis, sumbatan hidung yang menetap, gejala menyerupai pilek kronis disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Selain itu, dapat pula ditemukan gejala lanjut berupa limfadenopati servikal, gejala neurologis serta gejala metastasis jauh. Penegakan diagnostik dapat dilakukan dengan CT-scan, Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B dan diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Tatalaksana dan prognososis penyakit ditentukan berdasarkan stadium penyakit,. Dimana tatalaksana stadium awal dapat dilakukan radio terapi, stadium II dan III dengan kemoradiasi, dan stadium IV dengan N < 6 cm dapat berupa kemoradiasi sedangkan N > 6 cm berupa kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi. Sementara itu angka harapan hidup pada stadium I adalah 72%, stadium II 64%, stadium III 62%, dan stadium IV 38%. Komplikasi penyakit ini didapatkan karena toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher, hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang diradiasi.

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Greenlee RT, et al. Cancer Statistics. Pubmed Journal. 2001. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/11577478/ pada 27 November 2017 2. National Cancer Institute. Nasopharyngeal Cancer. 2009 Diunduh dari URL: http://cancer.gov pada 27 November 2017 3. Adham M, Roezin A. Karsinoma Nasofaring. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. 2007 4. Ballenger JJ. PEnyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid Satu, Edisi 13. Alih Bahasa: Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Jakarta: Binapura Aksara. 1997 5. Brennan B. Nasopharyngeal Carcinoma Review in Orphanet Journal in Rare Disease. Biomed Central. 2006 6. Ma et al 7. Yenita, Aswiyanti Asri, 2010. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring. Diunduh dari URL: http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol_1no_1/01-05.pdf pada 29 November 2017 8. American Cancer Society, 2013. Nasopharyngeal Cancer. Diunduh dari URL: http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf pada 28 November 2017 9. Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta: EGC. 2007 10. Witte MC, Neel. Nasopharyngeal Cancer. In: Byron J. Bailey, editors. Head and Neck Otolaryngology, 2nd Ed. Lippincot-Raven. Philadelphia. 1998 11. Chiesa F & De Paoli F, 2001. Distant metastasis from nasopharyngeal cancer. ORL (63):214-6. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Distant+metastasis+from+nasop haryngeal+cancer pada 28 November 2017 12. Guigay J, Temam S, Bourhi J. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic management: the place of chemotherapy. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17018743 pada 27 November 2017 13. Wei, WI and Sham, JST, 2005, Nasopharyngeal Carcinoma. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15950718 pada 27 November 2017

24

14. Mould RF, Tai THP. Nasopharyngeal Carcinoma: Treatments and Outcomes in The 20th Century. The British Journal of Radiology. 2002 15. National Comprehensive Cancer Network. Cancer of the Nasopharynx. 2010 Diunduh dari URL: http://www.ncnn.org pada 28 November 2017 16. Nasir N, 2009. Karsinoma Nasofaring. Kedokteran Islam. Diunduh dari URL: Http://www.Nasriyadinasir.co.cc/2009/12/karsinomanasofaring_20.html pada 29 November 2017 17. AJCC Cancer Staging Manual 7th Edition. 2010

25

Related Documents

Ca
November 2019 55
Ca
May 2020 41
Ca
November 2019 72
Ca
June 2020 33
Ca
December 2019 45
Ca
May 2020 29

More Documents from ""