Crs Fix 1.docx

  • Uploaded by: widiayunit
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Crs Fix 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,020
  • Pages: 29
BAB I PENDAHULUAN

Kanker masih menjadi salah satu penyebab kematian yang paling banyak di dunia dewasa ini. Hingga tahun 2001 dilaporkan bahwa kanker menempati urutan penyebab kematian utama didunia dengan presentase 23,2%. Keganasan pada bagian mulut, faring, dan esophagus juga masih termasuk dalam sepuluh besar keganasan di seluruh dunia dengan jumlah penderita sebanyak 363.000. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah jenis keganasan yang muncul di rongga nasofaring yang berasal dari epitel skuamosa (Squamous Cell Carcinoma) dengan predileksi di fossa Rossenmuller yang berepitel transisional.1,2 Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. Berdasarkan data Laboratotium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit. Meskipun banyak ditemukan di Negara Penduduk non-Mongoloid, namun demikian daerah cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi prevalensi karsinoma nasofaring, yaitu dengan 2500 kasus pertahun untuk provinsi Guang Dong atau prevalensi 39,84/100.000 penduduk.3 Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini. Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak dan kelateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak

mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.3

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN Nama

: Tn. AN

Umur

: 54 tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Alamat

: Perumahan Vila Karya Mandiri Simp. Rimbo Jambi

Pekerjaan

: PNS

Tanggal pemeriksaan

: 20 Februari 2018

2.2 ANAMNESIS a. Keluhan Utama Benjolan di leher kanan.

b. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien datang ke RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan benjolan dileher sebelah kanan. Benjolan semakin membesar sejak ± 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengatakan adanya sumbatan pada hidung sebelah kanan. Ditemukan sekret pada hidung yang tersumbat dan berbau, sedangkan pada hidung sebelah kiri tidak ditemukan darah dan sekret. Awalnya pasien merasa kebas pada wajah sebelah kanan sebelum benjolan semakin membesar. Selain itu pasien juga mengeluhkan susah membuka mulut, tenggorokan terasa mengganjal, berlendir, dan sulit pada saat menelan makanan. Pasien mengeluh nyeri kepala (+) hingga pandangannya menjadi kabur pada mata kanan dan pandangan double (+). Pasien mengeluhkan pendengarannya menurun pada telinga kanan. Terdapat riwayat mimisan. Bersin dan sesak disangkal, demam (-). Pasien juga

mengatakan tidak ada gatal, nyeri, bengkak, dan keluar cairan pada telinga, serta mual dan muntah tidak ada. Pasien dahulu merupakan sorang perokok aktif, namun sudah berhenti sejak ± 3 bulan yang lalu. Dalam kesehariannya pasien mengaku tidak mengkonsumsi ikan asin. Keluhan lain, Pasien datang dengan keluhan kaki kiri patah dengan tulang tampak keluar dari kulit ± 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan tidak disertai demam.

c. Riwayat Pengobatan Pasien pernah berobat ke klinik dokter spesialis saraf namun keluhan tidak kunjung sembuh.

d. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien sebelumnya pernah berobat ke dokter spesialis saraf karena kekauan pada otot wajahnya dan didiagnosis terkena penyakit Bell’s palsy. Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-).

e. Riwayat Penyakit Keluarga Di dalam keluarga tidak ada mengalami penyakit yang sama seperti pasien ataupun penyakit kanker dan penyakit keturunan. TELINGA

HIDUNG

Kanan/kiri Gatal

TENGGOROK

LARING

Kanan/kiri Suara parau

:

: -/-

Rinore

: -/-

Sukar Menelan : +

Dikorek : -/-

Buntu

: +/-

Sakit Menelan : -

Afonia

:-

Nyeri

Bersin

:-

Trismus

:-

Sesak napas

:-

:-

Rasa sakit

:-

: -/-

Bengkak : -/-

*Dingin/Lembab : +

Ptyalismus

Otore

: -/-

*Debu Rumah

:-

Rasa Ngganjal : +

Tuli

: -/-

Berbau

: +/-

Rasa Berlendir : +

-

Rasa ganjal : -

Tinitus

: +/-

Mimisan

:+

Vertigo : -

Nyeri Hidung

: -/-

Mual

Suara sengau

:-

:-

Rasa Kering

:-

Muntah : -

2.3 PEMERIKSAAN FISIK  Kesadaran

: Compos mentis

 TD

: 110/70 mmHg

 Pernapasan

: 22 x/i

 Suhu

: 36,7 °C

 Nadi

: 80 x/i

 Anemia

:-

 Sianosis

:-

 Stridor inspirasi

: -/-

 Retraksi suprasternal : -/ Retraksi interkostal

: -/-

 Retraksi epigastrial

: -/-

a. Telinga Daun Telinga

Kanan

Kiri

Anotia/mikrotia/makrotia

-

-

Keloid

-

-

Perikondritis

-

-

Kista

-

-

Fistel

-

-

Ott hematoma

-

-

Nyeri tekan tragus

-

-

Nyeri tarik daun telinga

-

-

Kanan

Kiri

-

-

Liang Telinga Atresia

Serumen

+

-

Epidermis prop

-

-

Korpus alineum

-

-

Jaringan granulasi

-

-

Exositosis

-

-

Osteoma

-

-

Furunkel

-

-

Kanan

Kiri

Hiperemis

-

-

Retraksi

+

-

Bulging

-

-

Atropi

-

-

Perforasi

-

-

Bula

-

-

Sekret

-

-

Kanan

Kiri

Fistel

-

-

Kista

-

-

Abses

-

-

Kanan

Kiri

Fistel

-

-

Kista

-

-

Abses

-

-

Membrana Timpani

Retro-aurikular

Pre-aurikular

Tuba eustachii

Tidak Dilakukan

b. Hidung RINOSKOPI ANTERIOR Vestibulum nasi Kavum nasi Selaput lendir Septum nasi Lantai + dasar hidung

Kanan

Kiri

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Sekret (+), hiperemis (-),

Sekret (-), hiperemis (-),

Edema mukosa (-)

Edema mukosa (-)

DBN

DBN

Deviasi (-)

Deviasi (-)

DBN

DBN

Hipertrofi (-),hiperemis (-),

Hipertrofi (-), hiperemis(-),

livide (-), pucat

livide (-), pucat

DBN

DBN

Polip

-

-

Korpus alineum

-

-

Tidak terlihat

Tidak terlihat

Kanan

Kiri

Konka inferior Meatus nasi inferior

Massa tumor RINOSKOPI POSTERIOR Kavum nasi Selaput lendir Koana Septum nasi

Sulit dinilai Konka superior Adenoid Massa tumor Fossa rossenmuller Transiluminasi Sinus

Kanan

Kiri

Sinus maxillaries Tidak dilakukan Sinus Frontalis

c. Mulut Hasil Selaput lendir mulut Bibir

DBN Sianosis (-), laserasi (-)

Lidah gigi

DBN

Kelenjar ludah

DBN

d. Faring Hasil Uvula

Bentuk normal, terletak ditengah

Palatum mole

Hiperemis (-), benjolan (-)

Palatum durum

Hiperemis (-), benjolan (-)

Plika anterior

Hiperemis (-)

Tonsil

T1-T1, Hperemis (-/-), detritus (-/-)

Plika posterior

Hiperemis (-)

Mukosa orofaring

Hiperemis (-), granula (-)

e. Laringoskopi indirect Hasil Pangkal lidah

Sulit dinilai

Epiglotis

Sulit dinilai

Sinus piriformis

Sulit dinilai

Aritenoid

Sulit dinilai

Sulcus aritenoid

Sulit dinilai

Corda vocalis

Sulit dinilai

Massa

Sulit dinilai

f. Kelenjar Getah Bening Leher Kanan

Kiri

Teraba massa keras Regio I

terfiksasi, ukuran 12x8 cm,

DBN

tidak nyeri, permukaan rata Teraba massa keras Regio II

terfiksasi, ukuran 12x8 cm,

DBN

tidak nyeri, permukaan rata Teraba massa keras

Teraba massa terfiksasi

terfiksasi, ukuran 12x8 cm,

ukuran 3x4 cm, tidak nyeri,

tidak nyeri, permukaan rata

permukaan rata, nodular

Regio IV

DBN

DBN

Regio V

DBN

DBN

Regio VI

DBN

DBN

area Parotis

DBN

DBN

Area postauricula

DBN

DBN

Area occipital

DBN

DBN

Area supraclavicula

DBN

DBN

Regio III

g. Pemeriksaan Nervi Craniales I.

Nervus Olfactory

: DBN

II.

Nervus Opticus

: DBN

III.

Nervus Occulomotorius -

Pemeriksaan kelopak mata atas, konstruksi pupil

-

Kanan (+), kiri DBN

-

Hasil : Diplopia

IV.

Nervus Trochlearis

: DBN

V.

Nervus Trigeminus

: DBN

VI.

Nervus Abducen -

Pemeriksaan deviasi mata ke lateral

-

Kanan (+), kiri DBN

-

Hasil : Diplopia

VII.

Nervus Fascialis

: DBN

VIII.

Nervus Vestibularis

: Penurunan pendengaran

IX.

Nervus Glosopharyngeus

: DBN

X.

Nervus vagus

: DBN

XI.

Nervus Accesorius

: DBN

XII.

Nervus Hypoglosus

: DBN

2.4 PEMERIKSAAN AUDIOLOGI Tes Pendengaran Tes rinne

Kanan

Kiri

-

+

Tes weber Tes schwabach

Lateralisasi ke kanan Memanjang

Sama dengan pemeriksa

Kesan : Terdapat tuli konduktif pada telinga kanan 2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Radiologi

: Tidak dilakukan.

b. Laboratorium

: Tidak dilakukan.

c. Nasoendoskopi

: Terdapat massa di naso faring dan tampak hiperemis

d. CT-Scan

: Ca nasofaring meluas,tampak massa hiperdens pada

regio nasofaring meluas kesinus maksilaris kanan, etmoid, spenoid, dan supra intracranial, tampak lesi hipodens pada intracranial, KGB pada colli bilateral.

2.6 DIAGNOSIS BANDING -

Angiofibroma nasofaring juvenile

-

Tumor colli

-

Limpoma

2.7 DIAGNOSIS Karsinoma Nasofaring

2.8 PENATALAKSANAAN Diagnostik -

Pemeriksaan CT-scan nasofaring

-

Pemeriksaan nasoendoksopi

-

Pemeriksaan biopsy

Terapi Terapi simptomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) -

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakitnya.

-

Menjelaskan kepada pasien mengenai tujuan dan manfaat dari pengobatan yang diberikan kepada pasien.

-

Menyarankan untuk mengurangi atau menghindari paparan zat kimiawi.

-

Menyarankan pasien untuk menjaga pola makan pasien.

2.9 PROGNOSIS Quo ad vitam

: dubia ad malam

Quo ad fungsionam

: dubia ad malam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1

ANATOMI NASOFARING

Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung, berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi anteroposterior 3 cm. Di depan nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, di dinding lateral terdapat muara tuba eustachius, dan ke belakang dinding melengkung ke atas dan ke depan dan terletak di bawah korpus os sfenoi dan bagian basilar dari os oksipital. Di belakang atas torus tuabirus terdapat resesus faring atau fosa Rosenmuleri dan terdapat di ujung atas posteriornya terletak foramen laserum.4

Gambar 1. Anatomi Nasofaring

Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, masing-masing menimbulkan gejala-gejala neurologic yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fosa kranii media menyebabkan gangguan saraf otak

III, IV,VI, dan kadang-kadang II. Sebaliknya, penyebaran ke kelenjar faring lateral di dan sekitar selubung karotis atau jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan kerusakan saraf otak ke IX,X,XI dan XII. Saraf otak ke VII dan VIII jarang terkena.4 Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastium melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.4 Pembagian daerah nasofaring: 1. Dinding posterosuperior: Daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak. 2. Dinding lateral: termasuk fosa Resenmuleri. 3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX). Serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus. Fungsi nasofaring : a. Sebagai jalan udara pada respirasi b. Jalan udara ke tuba eustachii c. Resonator d. Sebagai drainase sinus paranasal kavum timpani dan hidung.

3.2

KARSINOMA NASOFARING

3.2.1

Definisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan

dapat menyebar

kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral,

posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher. KNF pertama kali dilaporkan secara terpisah oleh Regaud dan Schimnke pada tahun 1921.5

3.2.2

Epidemiologi Berdasarkan GLOBOCAN 2012, terdapat 87.000 kasus baru nasofaring

muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan) dengan 51.000 kematian akibat karsinoma nasofaring (36.000 pada laki-laki dan 15.000 pada perempuan). Karsinoma nasofaring terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.6 Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine.3 Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangukusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.3

3.2.3

Etiologi Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah

Virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun.3

Banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Letak geografis sudah disebutkan diatas, demikian pula faktor rasial. Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lainlain.3 Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan, memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortilitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Kebiasaan penduduk Eskiomo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini. Suatu contoh terkenal di Cina Selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien karsinoma nasofaring dan 1 menderita tumor ganas payudara. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell-mediated immunity dari virus EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. Pengaruh infeksi dapat dilihat dengan menurunnya kejadian malaria akan diikuti oleh menurunnya pula Limfoma Burkitt, suatu keganasan yang disebabkan oleh virus yang sama.3

3.2.4

Klasfikasi

World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan KNF menjadi 3 kelompok, yaitu:4 Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, dengan jembatan interseluler, mirip dengan yang ditemukan pada saluran pernapasan atas.

Tipe 2, non keratinizing squoamous cell carcinoma, sel tumor menunjukkan maturasi, dimana diferensiasis skuamosa tidak terlihat jelas. Tipe 3, undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki batas sel tidak jelas dengan inti sel yang hiperkromatik. Amerika dan Eropa menetukan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium karsinoma nasofaring menurut AJCC/UICC tahun 2010.7 Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:3,7 Tumor Primer (T) Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer Tis : Karsinoma in situ T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan / kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2 : Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring. T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang mastikator.

KGB Regional (N) NX : KGB regional tidak dapat dinilai N0 : Tidak ada metastasis ke KGB regional N1 : Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang. N2 : Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular

N3 : Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavikular: N3a : Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b : Meluas ke fossa supraklavikular Metastasis Jauh (M) M0 : Tanpa metastasis jauh M1 : Metastasis jauh

Stadium: Tabel 1. Stadium Karsinoma Nasofaring3 Stadium 0

Tis, N0, M0

Stadium I

T1, N0, M0

Stadium IIA

T2a, n0, M0

Stadium IIB

T1, N1, M0 T2, N1, M0 T2a, N1, M0 T2b, N0, M0

Stadium III

T1, N2, M0 T2a, N2, M0 T2b, N2, M0 T3, N0, M0 T3, N1, M0 T3, N2, M0

Stadium IVA

T4, N0, M0 T4, N1, M0 T4, N2, M0

Stadium IVB

Semua T, N3, M0

Stadium IVC

Semua T, semua N, M1

3.2.5

Patofisiologi Pengetahuan mengenai patogenesis molekuler kanker secara umum dibutuhkan

untuk memahami patogenesis kanker nasofaring. Terdapat beberapa prinsip yang perlu diketahui mengenai dasar terbentuknya kanker, dan prosesnya terangkum dalam Gambar 1. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:  Karsinogenesis bermula dari kerusakan genetik yang nonletal. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh agen yang terdapat di lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, atau virus. Selain itu, Agen ini bisa juga diturunkan melalui germ line. Akan tetapi, mutase juga dapat terjadi secara acak dan tidak terduga.  Sebuah tumor berasal dari satu sel precursor yang rusak dan mengalami ekspansi klonal. Gen yang menjadi target kerusakan adalah empat kelas gen regulator normal: protoonkogen yang mempromosikan pertumbuhan, gen supresor tumor yang menginhibisi pertumbuhan, gen pengatur apoptosis, dan gen yang terlibat dalam reparasi DNA.  Karsinogenesis terdiri dari banyak langkah pada tingkat genetik maupun fenotipe akibat banyak mutasi. Hasilnya, neoplasma dapat berprogresi menjadi ganas, dengan karakteristik neoplasma ganas seperti pertumbuhan berlebihan, invasi local, dan kemampuan metastasis yang jauh.

Jadi, jika disimpulkan, sel yang normal mula-mula terpajan agen yang dapat merusak DNA. Apabila reparasi DNA gagal terjadi karena gen-gen pengatur pertumbuhan sel rusak, maka sel akan mengalami pertumbuhan klonal yang tak terkontrol. Lama-lama, terjadi progresi tumor yang dapat berujung pada neoplasma yang malignan. Neoplasma malignan memiliki karakteristik berupa invasi dan metastasis. Pada metastasis, sel tumor terlepas dari massa primer, memasuki aliran darah atau sistem limfatik, lalu tumbuh di tempat yang jauh dari situs awalnya. Proses metastasis terdiri dari invasi sel tumor ke matriks ekstraseluler, diseminasi vaskular, penempatan sel tumor, dan kolonisasi. Melalui studi pada manusia dan tikus,

ditemukan bahwa metastasis tidak selalu timbul, meski jutaan sel terlepas dalam sirkulasi setiap harinya dari suatu tumor. Hal ini disebabkan oleh berbagai mekanisme control (misalnya sistem imun adaptif dan induksi apoptosis) yang mengatur setiap langkah dari proses metastasis sehingga tidak semua sel dapat bertahan hidup.8

Gambar 2. Skema Patofisiologi terjadinya Keganasan8

3.2.6

Gejala Klinis

Menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring secara dini merupakan hal yang paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa: a. Gejala Telinga Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan

pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.2,3

b. Gejala hidung -

Epistaksis Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.

-

Sumbatan hidung Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengana gangguan penciuman dan adanya ingus kental.

Gejala akibat tumor yang mengadakan infiltrasi 1. Gejala lanjut a. Limfadenopati Servikal Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik),

di

bawah

angulus

mandibula,

di

dalam

otot

sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya.3,9

b. Gejala Neurologis Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf cranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Sindroma parafaring/penjalaran secara retroparotidian, akibat tumor menjalar ke belakang secara ekstrakranial dan mengenai saraf kranial posterior yaitu saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan sindroma Horner. Parese saraf IX menyebabkan keluhan sulit menelan karena hemiparese otot konstriktor faringeus superior. Parese saraf X menyebabkan gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia, spasme esofagus, gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dispnu, dan hipersalivasi,

parese

saraf

XI

menyebabkan

atrofi

otot

trapezius,

sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, parese saraf XII menyebabkan hemiparese dan atrofi sebelah lidah, sedangkan saraf VII dan VIII jarang terkena karena letaknya lebih tinggi. Karsinoma nasofaring juga kadang-kadang menimbulkan gejala yang tidak khas berupa trismus. Gejala ini timbul bila tumor primer telah menginfiltrasi otot pterigoid sehingga menyebabkan terbatasnya pembukaan mulut. Gejala trismus sangat jarang dijumpai tetapi lebih sering terdapat sebagai efek samping radioterapi yang diberikan, sehingga menyebabkan degenerasi serat otot pterigoid dan masseter. Sakit kepala yang hebat merupakan gejala yang paling berat bagi penderita karsinoma nasofaring,

biasanya merupakan stadium terminal dari karsinoma nasofaring. Hal ini disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya.3,9

2. Gejala Metastasis Jauh Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Metastasis jauh dari karsinoma nasofaring dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limpa. Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paruparu (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan.10

3.2.7

Diagnosis Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan

daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan.3 Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) sensitivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifisitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifisitasnya hanya 30%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer 160.3 Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornyo (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukkan

melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.3 Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan keteter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsy tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topical dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.3

3.2.8

Penatatalaksanaan

1. Radioterapi Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya.11,12 Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 7590% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3.12

2. Kemoterapi Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama kali dipergunakan pada tahun 1970-an. Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif. Penelitian inter grup 1997 pertama kali menunjukkan bahwa

pengunaan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi meningkatkan overall survival apabila dibandingkan dengan penggunaan radioterapi tunggal. Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu dalam mengurangi metastase jauh.12,13

3. Pembedahan Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher setelah radiasi dan pada pasien tertentu, pembedahan penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastase jauh.12 3.2.9

Pencegahan Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan

risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) pendudukan dari daerah dengan risiko tinggi ke tempat lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berakaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologic IgA-anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.3

3.2.10 Komplikasi Toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher, hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang diradiasi. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin dapat terjadi sejalan dengan penggunaan obat cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi kepada pasien yang diberikan ciplastin. Bleomycin meningkatkan risiko menderita fibrosis paru.

Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi yang langka dari radioterapi dan dapat dihindari dengan perawatan gigi yang tepat.1

3.2.11 Prognosis Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lajut, dimana sudah menimbulkan gejala atau gangguan (biasanya benjolan di leher). Angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam jangka waktu 5 tahun menurut American Joint Comitte Cancer (AJCC) Cancer Staging Manual edisi ke-7:15

Tabel 2. Prognosis Pasien Karsinoma Nasofaring Stadium

Angka Harapan Hidup

I

72%

II

64%

III

62%

IV

38%

BAB IV ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada Tn. AN (54 tahun), diketahui bahwa pasien datang ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan benjolan dileher sebelah kanan. Benjolan semakin membesar sejak ± 1 tahun lalu. Pasien juga mengatakan adanya sumbatan pada hidung sebelah kanan. Pasien mengeluhkan pendengarannya menurun pada telinga kanan, serta mengeluhkan susah membuka mulut, tenggorokan terasa mengganjal, nyeri kepala hingga pandangannya menjadi kabur pada mata kanan dan pandangan double. Hal itu sesuai dengan keluhan karsinoma nasofaring yang merupakan tumor ganas dikepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia dengan gejala dini berupa tinnitus, rasa tidak nyaman ditelinga sampai rasa nyeri ditelinga, mual, muntah, pandangan double, sakit kepala, metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan dileher yang mendorong pasien untuk berobat, serta adanya keluhan epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Kemudian pada Tn. AN dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan hasil keadaan umum kurang baik, pada pemeriksaan otoskopi tidak ada kelainan hanya saja pada membran timpani pada telinga sebelah kanan terdapat retraksi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, didapatkan lantai dasar hidung tampak pucat dan kavum nasi kanan terdapat sekret. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior sulit dinilai. Pada pemeriksan leher, didapatkan benjolan di regio I,II, dan III pada leher sebelah kanan, dimana benjolan teraba massa keras terfiksasi dengan ukuran 12x8 cm serta disebelah kiri terdapat benjolan di regio III dengan benjolan teraba massa terfiksasi dengan ukuran 3x4 cm, tidak ada nyeri permukaan rata, dan nodular. Pada pemeriksaan nervus, didapatkan gangguan pada reaksi pupil pada nervus III, gangguan pada nervus VI dimana pada saat mata melirik kearah lateral terganggu, dan penurunan pendengaran pada nervus VIII. Pada pemeriksaan audiologi, didapatkan hasil tuli konduktif pada telinga kanan.

BAB V KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. Penyebab KNF yaitu virus Epstein-Barr, akan tetapi virus ini bukan satusatunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetic, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, social ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Pada pasien KNF, gejala dapat timbul pada telinga berupa rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Pada hidung berupa epistaksis, sumbatan hidung yang menetap, gejala menyerupai pilek kronis disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Selain itu, dapat pula ditemukan gejala lanjut berupa limfadenopati servikal, gejala neurologis serta gejala metastasis jauh. Penegakan diagnosis pasti dengan melakukan biopsy nasofaring. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan CT-scan, pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B dan diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan bipsy nasofaring. Untuk penatalaksanaannya berdasarkan dari klassifikasi stadium: stadium awal dapat dilakukan radioterapi, stadium II dan III dengan kemoradiasi, dan stadium IV dengan N < 6 cm dapat berupa kemoradiasi sedangkan N > 6 cm berupa kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenlee RT, et al. Cancer Statistics. Pubmed Journal. 2001. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/11577478/ pada 21 Februari 2018 2. National Cancer Institute. Nasopharyngeal Cancer. 2009 Diunduh dari URL: http://cancer.gov pada 21 Februari 2018 3. Adham M, Roezin A. Karsinoma Nasofaring. Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (Ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. 2007 4. Ballenger JJ. PEnyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid Satu, Edisi 13. Alih Bahasa: Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Jakarta: Binapura Aksara. 1997 5. Brennan B. Nasopharyngeal Carcinoma Review in Orphanet Journal in Rare Disease. Biomed Central. 2006 6. IARC. GLOBOCAN 2012: Estimed Cancer Incidence, Mortality and prevalence Wordwide in 2012. Globocan 2012;2012;3-6 7. American Cancer Society, 2013. Nasopharyngeal Cancer. Diunduh dari URL: http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf pada 21 Februari 2018 8. Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta: EGC. 2007 9. Witte MC, Neel. Nasopharyngeal Cancer. In: Byron J. Bailey, editors. Head and Neck Otolaryngology, 2nd Ed. Lippincot-Raven. Philadelphia. 1998 10. Chiesa F & De Paoli F, 2001. Distant metastasis from nasopharyngeal cancer. ORL (63):214-6. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Distant+metastasis+from+nasophar yngeal+cancer pada 21 Februari 2018 11. Guigay J, Temam S, Bourhi J. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic management: the place of chemotherapy. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17018743 pada 21 Februari 2018 12. Wei, WI and Sham, JST, 2005, Nasopharyngeal Carcinoma. Diunduh dari URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15950718 pada 21 Februari 2018

13. Mould RF, Tai THP. Nasopharyngeal Carcinoma: Treatments and Outcomes in The 20th Century. The British Journal of Radiology. 2002 14. Nasir N, 2009. Karsinoma Nasofaring. Kedokteran Islam. Diunduh dari URL: Http://www.Nasriyadinasir.co.cc/2009/12/karsinomanasofaring_20.html pada 21 Februari 2018 15. AJCC Cancer Staging Manual 7th Edition. 2010

Related Documents

Crs Fix 1.docx
June 2020 12
Crs Bst.docx
October 2019 30
Accouplement-crs
June 2020 12
Crs Cpa.docx
October 2019 24

More Documents from "Agus Mubin"