Industri dan Agroindustri Industri dari sisi ekonomi mikro diartikan sebagai kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Sedangkan dari sisi ekonomi makro yang lebih berorientasi pada pendapatan, industri cenderung didefinisikan sebagai kegiatan yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan,1994).Walaupun
terlihat
ada
perbedaan
antara
pendekatan ekonomi mikro dan makro namun perbedaan tersebut umumnya bersifat gradual. Dalam artian, variabel-variabel ekonomi mikro dalam kajian organisasi industri dapat juga dianalisis dari sisi ekonomi makro. Dalam
model
analisis
organisasi
industri
yang
dikembangkan oleh Schrerer (1971) dan Greer (1980), kajian industri ditekankan pada analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja. Dari sisi permintaan, analisis struktur pasar berkenaan dengan variabel jumlah dan skala pembeli, diferensiasi produk, kondisi entry dan konglomerasi. Sedangkan dari sisi penawaran variabel analisis berkenaan dengan jumlah penjual, kondisi ongkos, integrasi vertikal dan horizontal serta organisasi buruh.
1
Untuk analisis prilaku industri, dari sisi permintaan yang dianalisis berkenaan dengan strategi harga, produk dan promosi. Sedangkan dari sisi penawaran variabel analisisnya adalah taktik legal, advertensi, penelitian dan inovasi. Selanjutnya,
variabel
kinerja
industri
yang
dianalisis
berkenaan dengan efisiensi alokatif, efisiensi tekhnis, efek inflasi dan pemerataan dari sisi permintaan. Dari sisi penawaran adalah kemajuan teknologi, kualitas produk, kesempatan kerja dan laba. Bila ditelaah model analisis organisasi industri yang berkenaan dengan struktur pasar, prilaku dan kinerja maka penelitian yang akan dilakukan ini lebih berkenaan dengan kinerja industri walaupun tidak secara menyeluruh. Industri yang dimaksud disini tentu saja dalam konteks agroindustri. Agroindustri merupakan salah satu sub sistem agribisnis. Agribisnis adalah suatu sistem yang meliputi semua kegiatan, dimulai
dari
pengadaan
sarana
produksi
sampai
dengan
pemasaran produk yang dihasilkan oleh usaha tani atau suatu usaha agroindustri. Oleh sebab itu sistem agribisnis merupakan rangkaian
kegiatan
pengelolaan
usaha
pertanian
yang
berkesinambungan yang terdiri dari lima subsistem yang berkaitan yaitu (Deptan,1995) : 1. Subsistem
pengadaan
sarana
produksi,
teknologi
dan
pengembangan sumber daya manusia.
2
2. Sub sistem produksi dan usaha tani. 3. Sub sistem pengolahan hasil-hasil pertanian (agroindustri). 4. Sub sistem distribusi dan pemasaran hasil agroindustri. 5. Sub sistem pendukung keempat sub sistem terdahulu, antara lain penelitian, penyuluhan, permodalan dan informasi pasar. Interaksi antara subsistem di dalam sistem agribisnis tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dengan muatan-muatan lokal, regional dan nasional maupun global yang masing-masing spesifik sifatnya. Oleh karena itu sub sistem agroindustri polanya tergantung kepada sub sistem lainnya terutama tergantung pada sub sistem produksi / usahatani dan sub sistem distribusi dan pemasaran hasilnya serta pelaku-pelaku yang terkait (Tambunan,2001). Dalam konteks tersebut, petani atau lembaga petani/ produsen adalah sekaligus konsumen. Sebagai produsen, petani merupakan faktor produksi utama dalam memproduksi hasil pertanian baik dalam bentuk segar, bahan baku ataupun dalam bentuk olahan sederhana untuk sub sistem agroindustri. Sebagai konsumen, petani merupakan pengguna terhadap saprodi dan teknologi.
Perusahaan agroindustri adalah konsumen.
Perusahaan agroindustri merupakan pengguna hasil produksi petani . Sebagai produsen, perusahaan agroindustri adalah penghasil produk untuk dipasarkan melalui sub sistem distribusi dan pemasaran hasil
3
agroindustri. Pola agroindustri merupakan pola hubungan timbal balik (langsung) antara sub sistem produksi/ usaha tani. Agroindustri diartikan sebagai usaha pengolahan lebih lanjut hasil pertanian (perkebunan) baik untuk dijadikan bahan setengah jadi dari bahan baku industri ataupun lebih lanjut diolah menjadi barang siap pakai (Nasrun,1996). Dalam agroindustri ada proses pengolahan lebih lanjut maka diharapkan terjadi peningkatan nilai tambah dibandingkan bahan baku awalnya. Nilai tambah tersebut terjadi baik dikarenakan adanya perubahan bentuk maupun karena perubahan rasa (Sulaeman,1996). Pemahaman agroindustri relatif lebih lengkap disampaikan oleh Saragih
(1994).
Ia
menyatakan
bahwa
agroindustri
memiliki
pengertian sebagai suatu kegiatan usaha yang mengolah bahan baku yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan tersebut dapat mencakup berbagai bentuk
transformasi dan preservasi melalui
perlakuan fisik dan kimia, penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa karakteristik produk olahan yang dihasilkan oleh suatu agroindustri banyak ditentukan oleh teknologi yang digunakan. Nilai tambah yang terdapat didalamnya dengan sendirinya akan meningkatkan nilai guna. Dalam upaya pengembangan agroindustri yang perlu mendapat perhatian adalah harus berdampak bagi pembangunan ekonomi daerah. Ada lima indikator yang dapat dilihat dari keberhasilan
4
pengembangan agroindustri dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu (1) pertumbuhan dalam pendapatan dan produksi per kapita (2) pengurangan
kemiskinan
dan
peningkatan
pemerataan
(3)
peningkatan daya serap tenaga kerja dan upah riel (4) perlindungan sumber daya alam (5) berdampak positif terhadap sosial budaya (Reardon dan Barret, 2000). Lebih jauh Santoso (1994) menyatakan bahwa ciri industri agro yang baik adalah tumbuh dan berkembangnya spesialisasi usaha industri
pengolahan
pada
setiap
mata
rantai
agribisnis
dan
diversifikasi pengolahan. Pada akhirnya diharapkan menimbulkan peningkatan nilai tambah industri yang kaya dengan keterkaitan serta perluasan bidang usaha dan lapangan kerja.
2.2.2 Faktor Internal dan Eksternal Industri Masalah pokok dalam industrial economic adalah efisiensi dalam mencapai optimalisasi dan hal ini terkait dengan cost of production. Faktor yang menentukan optimumnya suatu industri dapat dilihat dari internal economies dan external economies (Sadli,1987). Internal economies merupakan faktor-faktor dari dalam industri yang dapat mempengaruhi cost of production. Adapun faktor-faktor yang menentukan internal economies adalah pertama technical economies. Faktor technical economies ini berkenaan dengan tingkatan dan ukuran teknik yang digunakan dalam proses produksi. Semakin
5
besar skala usaha industri dalam kaitannya dengan teknik produksi yang digunakan, maka diharapkan semakin efisien skala ekonomi dari industri dalam mencapai optimalisasi. Ada beberapa macam faktor yang mempengaruhi technical economies yaitu division of labor, integration of processes, balance of processes, inventory reserver dan standarization. Yang dimaksud dengan division of labor adalah melakukan pembagian kerja pada level tenaga kerja yang sesuai dengan divisi pekerjaan masing-masing. Tujuannya adalah melakukan spesialisasi pada tenaga kerja dengan tujuan menambah keahlian, menghemat waktu dan biaya produksi. Integration of processes adalah melakukan pengintegrasian teknik produksi pada satu proses produksi. Dengan adanya pekerjaan yang terintegrasi dalam mengerjakan satu pekerjaan maka diharapkan dapat menekan biaya produksi dan mengeliminir ketergantungan terhadap bagian produksi lainnya. Dalam teknik produksi, setiap mesin yang digunakan
harus
memperhatikan aspek keseimbangan antara produksi satu mesin dengan
input
mesin
lainnya.
Dengan
memperhatikan
aspek
keseimbangan ini maka proses produksi berjalan lancar. Inilah yang dimaksud dengan balance of processes. Adapun yang dimaksud dengan inventory reserver berkenaan dengan tingkat efisiensi cadangan (bahan baku) yang harus dimiliki. Semakin besar industri
6
maka cadangan yang diperlukan semakin kecil. Dari sisi biaya tentu saja hal ini semakin efisiens. Faktor
technical
economies
yang
terakhir
adalah
standarization. Dengan semakin besar suatu industri maka semakin memungkinkan dilakukannya standarisasi produk dalam proses produksi dalam upaya menaikkan produktivitas. Melalui standarisasi maka akan terjadi efisiensi pada tingkat bahan baku dan teknik produksi. Faktor-faktor yang menentukan internal economies yang kedua adalah managerial economies. Untuk faktor ini lebih berkenaan dengan division of labor. Division of labor pada managerial economies disini bukan dalam artian tekhnis tapi pada level pimpinan. Harus sudah ada pembagian pekerjaan pada masing-masing manajer (manajer produksi, pemasaran dan lainnya) sehingga setiap tingkatan manajemen bekerja sesuai keahliannya dan diharapkan menjadi semakin spesialis Faktor ketiga dari internal economies adalah financial economies. Hal ini lebih berkenaan dengan kemampuan industri dalam memenuhi kebutuhan modalnya, baik modal usaha maupun modal investasi. Ada kecenderungan, semakin besar skala usaha suatu industri maka semakin mudah bagi industri yang bersangkutan untuk memperoleh tambahan modalnya.
7
Faktor keempat dari internal economies adalah marketing economies. Pada dasarnya marketing economies dapat dipilah dua yaitu dari sisi penjualan dan pembelian. Efisiensi dari sisi penjualan ini tercermin dari seberapa besar biaya penjualan yang dikeluarkan untuk memasarkan produk yang dihasilkan hingga sampai ke tangan konsumen. Untuk dari sisi pembelian lebih berkenaan dengan biaya pembelian bahan mentah. Untuk kedua hal ini banyak faktor yang turut mempengaruhi besaran biaya yang dikeluarkan, dalam hal ini dapat dikelompokan sebagai faktor eksternal ekonomi. Faktor berikutnya yang menentukan optimumnya suatu industri adalah
external
economies.
External
economies
merupakan
tingkatan ekonomis yang didapat industri sebagai akibat perubahan yang terjadi pada industri lainnya. Adapun faktor external economies yang mempengaruhi optimalisasi industri dapat dipilah dua yaitu pecuniary
external
economies
dan
technological
external
economies. Pecuniary external economies adalah eksternal ekonomis yang
disebabkan adanya perubahan harga faktor produksi yang
disebabkan oleh perubahan produksi industri lain yang menghasilkan faktor produksi tersebut. Banyak faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi seperti masalah teknik produksi ataupun bahan baku dari industri mitra.
8
Technological external economies adalah eksternal ekonomis yang timbul karena adanya kenaikan produksi industri dengan input yang sama sebagai akibat kenaikan produksi industri lain. Disini external economies tidak berupa penurunan harga input tetapi melalui perubahan fungsi produksi. Dalam hal ini terjadi perubahan efisiensi atau marginal productivity dari salah satu atau beberapa faktor produksi yang naik : kenaikan skill, kenaikan teknologi, sikap masyarakat, kontinuitas buruh, kontinuitas bahan baku, transportasi dan pasar.
9