7. Muslim Awam Membungkam Bualan Intelek Liberal tentang Agama 31 Mei 2005 (a) http://www.freewebs.com/ulil-awam/agama.htm To:
[email protected] From: "Ulil Abshar-Abdalla" <
[email protected]> Date: Tue, 31 May 2005 01:51:45 -0700 (PDT) Subject: ~JIL~ Soal Pindah Agama -- atau Masuk Islam?
Salam, Saya berkali-kali mendapat email tentang keinginan sejumlah orang muallaf untuk belajar Islam dengan saya. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa Islam seperti disodorkan oleh JIL adalah lebih masuk akal. Sebuah email yang saya terima dari seorang gadis di Bali bercerita tentang keinginannya masuk Islam sejak lama. Tetapi tertunda, bahkan hampir gagal, karena peristiwa bom Bali. Dia punya pandangan bahwa Islam agama kekerasan. Tetapi setelah membaca tulisan-tulisan dari JIL dan mendengar ulasan-ulasan tentang Islam dari saya, dia merasa mantap kembali untuk masuk Islam. Seseorang yang lain bercerita bahwa dia telah masuk Islam dan hampir keluar lagi setelah menyaksikan hal-hal yang mengecewakan dalam Islam. Tetapi dia membatalkan niatnya itu setelah membaca tulisan-tulisan dari JIL. Sejauh ini, saya belum mendapatkan satu email-pun dari orang yang keluar dari Islam hanya karena berkenalan dengan pikiran-pikiran Islam liberal. Suatu ketika ada tuduhan bahwa puluhan pasangan di Sumbar menikah beda agama, dan gara-gara itu keluar dari Islam. Konon katanya pelaku nikah beda agama itu melakukannya karena pikiran-pikiran JIL. Kebenaran hal ini sangat susah dibuktikan. Tetapi, poin saya bukan soal JIL telah "menyelamatkan" orang-orang yang hendak keluar dari Islam, atau "menyelamatkan" orang-orang dari luar Islam ke dalam Islam. Bukan itu. Poin saya adalah: bagaimana mungkin seseorang pindah agama. Di kantor saya, seorang staf masuk Islam gara-gara pacaran dengan staf lain yang beragama Islam. Menyaksikan itu, saya terus terang agak kaget. Bagaimana mungkin seseorang pindah agama? Bagi saya, agama adalah soal yang tak main-main. Pindah agama adalah peristiwa "gempa" yang maha hebat. Hingga sekarang ini, saya masih bergetar jika mendengar seseorang pindah agama. Secara umum, saya tak suka orang yang pindah agama: baik pindah ke Islam, atau pindah ke agama lain. Saya percaya bahwa semua agama adalah baik dan benar, oleh karena itu tak ada gunanya pindah agama. Jika anda kebetulan "lahir" dan "tumbuh" dalam agama A atau B, maka
1
teruskan mencari kebenaran dalam agama itu hingga sejauh-jauhnya, dan anda akan mencapai Tuhan. Tetapi, dalam kenyataannya, banyak orang yang pindah agama. Tentu banyak alasan yang bisa dikemukakan. Ada yang pindah agama karena perkawinan, karena gengsi sosial (saya pernah mendengar penuturan seorang peneliti masalah-masalah Cina di Indonesia, Dr. Tung Jhu Lan [benar ejaannya?]dari LIPI, bahwa banyak orang-orang Cina di Indonesia yang meninggalkan agama nenek moyang [Konghucu atau Taoisme] dan masuk Kristen, karena agama Kristen diasosiasikan dengan kemoderenan), atau karena alasan kesadaran dan keinsafan batin yang mendalam. Dalam sejarah Nabi sendiri, ada dua model perpindahan agama: karena kesadaran batin yang mendalam atau karena alasan politik. Umumnya, orang-orang Arab yang masuk Islam pada periode dakwah Islam di Mekah adalah dimotivasikan oleh kesadaran dan pilihan yang sadar. Sebagian besar konversi ke Islam yang berlangsung di Madihan adalah bukan semata-mata karena pilihan yang sadar, tetapi ada unsur politik, terutama konversi yang terjadi saat penaklukan kota Mekah. Sebagian besar orang Arab masuk Islam saat itu karena melihat "Islam telah menang secara politik", sehingga masuk ke dalam agama itu sangat menguntungkan. Begitu Nabi wafat, banyak orang-orang Arab keluar Islam lagi. Dengan demikian, ada dua jenis perpindahan agama: perpindahan yang otentik, dan perpindahan yang politis. Jarang sekali ada orang yang pindah agama karena alasan-alasan yang otentik. Sebagian besar orang masuk ke suatu agama adalah karena alasan-alasan politik dalam pengertian yang luas. Di suku-suku pedalaman, hingga saat ini, jika kepala suku masuk agama A, maka seluruh anggota suku itu akan ikut. Saya tak yakin, para misionaris Kristen yang mengkristenkan para suku pedalaman di pulau-pulau luar Jawa menggunakan argumen yang rasional, dan atas dasar itu kemudian suku-suku tersebut sadar masuk Kristen. Ini persis seperti pada zaman Nabi dulu: ketika kepala suku Aus masuk Islam lewat "Bai'at al 'Aqabah", maka pelan-pelan seluruh anggota suku itu masuk Islam. Mungkin perpindahan agama seperti ini bisa disebut sebagai "konversi komunalistik". Perpindahan agama secara komunalistik bisa dikatakan punah saat ini, atau hampir punah. Sebab, sudah jarang terjadi seseorang pindah agama karena "bos" di kantor atau kepala suku pindah ke agama lain. Lagi pula, masyarakat tribal dalam pengertian yang "asli" pelan-pelan makin pudar. Mungkin kasus konversi komunalistik hanya ada di masyarakat terpencil yang masih mempertahankan karakter kesukuan. Di era modern, kecenderungan yang kian menonjol adalah bahwa keputusan-keputusan tentang masalah yang sangat "personal" seperti agama itu sepenuhnya merupakan keputusan pribadi. Oleh karena itu, perpindahan agama di masa modern makin cenderung "otentik": orang pindah agama karena mengalami goncangan tertentu yang menyebabkan "goncangan teologis", lalu mencari alternatif iman baru. Dengan kata lain, saat ini orang
2
pindah agama karena keputusan pribadi, bukan karena dipaksa "kepala suku". Karena konversi agama makin bersifat individual, maka saya melihat peristiwa perpindahan agama sebagai peristiwa yang "mengagumkan" tetapi juga sekaligus sulit saya pahami: apa yang terjadi pada seseorang sehingga dia meninggalkan agamanya yang lama, dan masuk ke agama yang baru. Ada dua kemungkinan seseorang mengambil keputusan secara individual untuk pindah agama: atau orang itu tak serius dengan agamanya, sehingga agama bagi dia ibarat "HP" yang bisa diganti setiap minggu; atau dia mengalami goncangan hebat, sehingga agama "lama" tak lagi memuaskan dia, dan kemudian mencari yang "baru". Jenis konversi individual yang pertama tak layak kita bicarakan di sini. Saya hanya berbicara tentang orang yang sungguh-sungguh dengan agama sebagai dasar pemberi makna hidup. Oleh karena itu, saya hanya akan berbicara tentang konversi kedua, dan itulah konversi yang benar-benar otentik. Sebagaimana saya katakan tadi, setiap agama mengandung kebenaran. Pada saat yang sama, setiap agama mengandung kelemahan. Ajaran monoteisme Islam, misalnya, sangat baik, tetapi bukan tanpa efek samping yang buruk. Orang-orang Taliban yang menghancurkan patung Budha di Bamiyan didorong, antara lain, oleh pemahaman tentang tauhid yang keras. Orang-orang yang tak setuju dengan Taliban boleh mengatakan bahwa itu adalah tafsiran yang keliru. Tetapi, orangorang Taliban yakin benar bahwa menghancurkan patung Budha adalah konsekwensi dari ajaran Taudi atau monoteisme Islam. Sekali lagi, saya katakan, setiap agama mengandung kelebihan dan kekurangan. Karena fakta dasar ini, saya agak susah memahami, kenapa seseorang pindah agama. Apakah dia merasa bahwa agamanya mengandung kelemahan mendasar, sehingga harus pindah ke agama lain? Apakah jika ia pindah ke agama lain, dia merasa terhindar dari kelamahan itu? Bukankah dalam agama "baru" itu juga terdapat kelemahan pula? Ataukah dia merasa bahwa agama baru itu "sedikit kelemahannya" dibanding dengan agama "lama"? Atau dia sama sekali "lugu" bahwa agama "baru" seluruhnya baik dan agama "lama" seluruhnya jelek? Orang yang paling saya benci adalah figur seperti Irene Handono, mantan suster yang masuk Islam dan kemudian menjelek-jelekkan agamanya yang lama. Saya kira, Islam tak membutuhkan orang-orang seperti ini. Irene Handono, yang kasetnya dijual di manamana, berisi ceramah yang menjelekkan Kristen, hanya relevan untuk orang-orang awam yang mengira bahwa agama adalah seperti "klub bola": suporter satu klub mengejek suporter yang lain. Orang yang pindah dari agama satu ke agama lain dan menjelekjelekkan agama "lama" sudah pasti tidak menguasai dengan baik agama yang ditinggalkannya, apalagi agama yang baru dipeluknya. Sekali lagi saya katakan, setiap agama mengandung kelebihan dan kekurangan. Banyak
3
hal yang bisa dikritik (juga dipuji) dalam Kristen, begitu juga banyak hal yang bisa dikritik (dan sudah tentu juga dipuji) dalam Islam. Pendekatan yang paling baik antaragama saat ini adalah sikap saling belajar satu dari yang lain. Pertanyaan lucu yang kerap diajukan ke saya, karena saya berpandangan bahwa semua agama adalah baik dan benar: kenapa saya tak pindah agama setiap hari, seperti ganti handuk (toh, untuk handuk, saya hanya ganti setiap minggu, bukan setiap hari). Pertanyaan semacam ini jelas bukan pertanyaan yang sungguh-sungguh, tetapi pertanyaan "apologetik" atau "istifham inkary" dalam istilah ilmu balaghah (ilmu keindahan bahasa Arab). Pertanyaan semacam itu muncul dari pengandaian yang salah: seolah-olah agama adalah barang remeh yang bisa diganti setiap saat. Oleh karena itu, secara berseloroh, saya menjawab pertanyaan semacam itu dengan mengatakan: jika semua agama benar, kenapa harus pindah. Bagi saya, pindah agama, secara otentik, adalah "gempa" dahsyat yang sulit saya pahami, dan terjadi hanya dalam kasus-kasus perkecualian yang jarang terjadi. Selain itu, secara umum saya kurang setuju dengan konversi, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat khusus. Bagi saya, agama adalah berkaitan dengan komitmen terhadap sesuatu yang Mutlak. Hubungan kita dengan agama tidaklah bisa disamakan dengan hubungan kita dengan hal-hal lain yang bersifat mundan dan duniawi. Setiap agama adalah jalan menuju keselamatan, dan oleh karena itu siapapun yang bersungguh-sungguh mencari keselamatan dalam agama apapun yang kebetulan ia terima dari keluarga atau lingkungannya, maka ia akan menemukan jalan kebenaran. Ulil KOMENTAR ORANG AWAM Untuk pindah agama, Ulil --demikian pula yang lain-- tidak perlu mengadakan jumpa pers, tidak pula dengan men-tipex kata Islam dalam KTP-nya. Seseorang --siapa saja, saya tidak menuduh siapa-siapa-- bisa murtad dari Islam atau jatuh ke dalam kekufuran dengan ucapan atau perbuatannya sendiri yang dilakukan secara sadar dan sengaja yang tidak bisa diartikan lain selain kufur! Lagi-lagi Ulil sedang membual tentang agama menurut persepsi dia sendiri tanpa merujuk kepada dalil-dalil agama itu sendiri. Pikiran dan ucapannya bolak-balik tidak karuan, sesekali seolah-olah "memuji dan membenarkan" agama sambil "menghina dan menyalahkan" agama, terkadang seakan-akan "ramah terhadap agama" sambil "menggampar agama" (istilah Ulil sendiri). Itulah cara Ulil menyampaikan pesan terselubung: tidak usah serius dan ambil pusing dengan agama! Mudah saja untuk menguak borok bualan Ulil tersebut. Dengarkan ucapannya: "Jika anda kebetulan lahir dan tumbuh dalam agama A atau B, maka teruskan mencari kebenaran
4
dalam agama itu hingga sejauh-jauhnya, dan anda akan mencapai Tuhan." Kemudian tak lama setelah itu ia berkata: "Orang yang paling saya benci adalah figur seperti Irene Handono, mantan suster yang masuk Islam dan kemudian menjelek-jelekkan agamanya yang lama." Maka kita katakan: Justru itulah hasil akhir dari pencarian dan penemuan seorang suster terhadap Tuhan dan kebenaran. Kenapa anda jengkel dengan penemuannya? Satu lagi bukti bahwa paham pluralisme itu memang sesuatu yang aneh, rancu dan kontradiktif (paling tidak bagi Islam). Kalau pluralisme mengatakan semua agama benar, tentunya ia pun harus mengakui kebenaran agama yang menyatakan bahwa hanya ia satusatunya agama yang benar. Kalau si pluralis itu tidak mau mengakui ajaran agama itu berarti ia menolak paham pluralisme itu sendiri. Sedang jika ia menerima ajaran agama seperti itu, berarti ia pun melanggar paham pluralisme. Jadi, tidak bisa tidak, anda harus memilih salah satunya, berpegang dengan pluralisme atau berpegang dengan agama Islam. Dan kaum liberalis memilih pluralisme, dus melepaskan Islam. Kalau toleransi (yang tidak melanggar syariah), okelah.... Tapi pluralisme? No way !!!! Wassalam, Yusuf Anshar
Selanjutnya orang awam membungkam tipuan intelek liberal
5