8. Muslim Awam Membungkam Tipuan Intelek Liberal tentang Sikap Berislam 31 Mei 2005 (b) http://www.freewebs.com/ulil-awam/irshad.htm To:
[email protected] From: "Ulil Abshar-Abdalla" <
[email protected]> Date: Tue, 31 May 2005 23:21:24 -0700 (PDT) Subject: Re: ~JIL~ Irshad Manji dan upaya "mencari" Islam
Bung Ikra yang baik, Saya menikmati buku Irshad Manji. Dia memang bukan seorang sarjana Muslim. Tetapi, dia dengan jujur mengungkapkan sesuatu yang dirasakan oleh seorang Muslim tentang Islam sebagaimana "dipraktekkan" dalam masyarakat. Saya mendapat banyak pelajaran dari buku dia, sebab Manji adalah sedikit di antara perempuan Muslimah yang berani melontarkan "suara lain". Jujur saja, harus diakui bahwa dalam hukum dan ajaran Islam banyak sekali "diskriminasi" atas perempuan. Sudah tentu, jika dikatakan demikian, bukan berarti Islam tak membawa perbaikan bagi hak-hak perempuan. Islam jelas membawa banyak hal positif bagi perempuan. Tetapi, hak-hak perempuan dan defenisi tentang hak perempuan terus bergerak, sementara hukum Islam "mogok" di tengah jalan, tak bergerak-gerak, dengan alasan bahwa hukum itu sudah ketentuan Tuhan, sehingga tak boleh diutak-utik. Saya sedih sekali melihat "ulama laki-laki" dengan seenaknya melegitimasikan diskriminasi atas perempuan dengan bersembunyi di balik "hukum-hukum Tuhan" yang konon tak boleh diubah. Ini sama dengan memakai agama untuk melanggengkan ketidakadilan. Sikap saya, sebagaimana Irshad Manji, jelas: Islam harus ditafsirkan terus-menerus sesuai dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Islam tak boleh dihentikan geraknya dengan alasan bahwa Tuhan sudah memberikan batas-batas yang jelas berkenaan dengan masalah perempuan. Hubungan antara agama dan pemeluknya harus bersifat dialektis ('alaqah jadaliyyah): agama tak bisa bersikap "burung unta", tak mau tahu terhadap "protes-protes" yang dilontarkan oleh pemeluknya, seperti Irshad Manji. Agama harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan pemeluknya. Tetapi pemeluk agama juga harus bisa menyesuaikan dirinya dengan "visi moral" yang dikehendaki oleh agama. Dengan demikian, pemeluk agama harus menyesuaikan diri dengan agama. Hubungan yang dialektis antara agama dan pemeluknya mengandaikan bahwa baik agama dan pemeluknya saling menyesuaikan diri. Agama tak bisa meletakkan dirinya secara doktriner sebagai "diktator" yang memaksakan hukum-hukumnya pada manusia, walaupun jelas hukum-hukum itu tak sesuai dengan kebutuhan umatnya. Tetapi manusia juga tak bisa meletakkan dirinya secara absolut sebagai "kriteria" tunggal. Oleh karena
1
itu, dalam agama, pengalaman manusia sama pentingnya dengan teks ajaran itu sendiri. Ajaran agama muncul karena merespon pengalaman manusia dalam suatu situasi sejarah yang spesifik, dan karena itu teks ajaran juga dibentuk oleh kondisi historis itu. Tetapi, haraplah tak diabaikan bahwa agama, selian terkondisikan oleh sejarah, juga melampaui sejarah. Agama adalah "di dalam" dan sekaligus "di luar" sejarah itu sendiri. Ada buku lain yang juga layak dibaca, karya Asra Nomani, "Standing Alone in Mecca : An American Woman's Struggle for the Soul of Islam". Buku ini berkisah tentang seorang perempuan Muslimah asal Pakistan yang terseok-seok mencari "jiwa Islam" yang sesungguhnya melalui pengalaman hidup yang pasang surut. Buku lain yang layak dibaca adalah "otobiografi spiritual" yang ditulis oleh Ziauddin Sardar, "Desperately Seeking Paradise". Sardar bercerita tentang perjalanannya mencari Islam, bergabung dengan banyak kelompok-kelompok Islam, termasuk Jamaah Tabligh. Salah satu sikap sebagian umat Islam yang saya anggap kurang tepat adalah anggapan bahwa Islam yang "benar" dan "lurus" sudah tersedia, sudah selesai, karena lengkap terkandung dalam ajaran-ajaran yang diwedarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad. Umat Islam tak perlu repot-repot lagi "mencari". Buat apa "mencari jalan kebenaran", toh semuanya sudah tersedia dengan komplit plit plit dalam ajaran yang ada. Memang benar, bahwa Islam telah diwedarkan dengan tuntas oleh Nabi. Tetapi penerapan ajaran Nabi itu tidak semudah yang dibayangkan. Penerapan ajaran Nabi haruslah kreatif dan dinamis, dan karena itu penelaahan yang rasional dalam bentuk ijtihad diperlukan. Dan di situlah proses pencarian Islam berlangsung. Sikap bahwa semuanya telah "selesai" dan "sempurna" dalam Islam adalah cerminan dari kemalasan berpikir, "spiritual complacency". Karena pencarian penting, maka pengalaman manusia menjadi penting dalam agama. Agama tidak bisa menundukkan pengalaman manusia sepenuhnya, sebaliknya pengalaman manusia tidak bisa mengarahkan sepenuhnya agama. Yang terjadi adalah proses dialektis: Islam adalah "imam" dan sekaligus "makmum" terhadap umat Islam. Begitu juga sebaliknya. Buku-buku semacam yang ditulis oleh Irshad Manji, Asra Nomani, atau Sardar sangat penting dibaca oleh umat Islam, untuk menunjukkan bahwa "menjadi Muslim" yang relevan dengan abad modern bukanlah pekerjaan mudah. Ada pergulatan dan pergelutan di sana. Salah satu kalimat yang saya sukai dalam website resmi Irshad Manji adalah berikut ini: "I appreciate that every faith has its share of literalists. Christians have their Evangelicals. Jews have the ultra-Orthodox. For God's sake, even Buddhists have fundamentalists. But what this book hammers home is that only in Islam is literalism mainstream. Which means that when abuse happens under the banner of Islam, most Muslims have no clue
2
how to dissent, debate, revise or reform." Bagaimana berbeda pendapat dalam Islam dan tidak dituduh serta dicabar sebagai kafir dan murtad, itulah masalah utama yang menjadi keprihatinan Manji -- tentunya juga orang-orang lain di banyak negeri Islam. Yang hendak mengenal lebih jauh Irshad Manji, bisa menengok websitenya yang sangat bagus tampiannya <www.muslim-refusenik.com>. Ulil KOMENTAR ORANG AWAM Sebelum berbicara panjang-lebar dan ngawur-nglantur tentang agama, seharusnya kita sudah memahami dulu baik-baik apa itu agama menurut pengertiannya yang asasi. Hindari dulu berprasangka buruk terhadap praktek dan pemahaman agama yang sudah mapan tapi berprasangka baik terhadap diri sendiri yang --menurutnya-- cukup jujur dan "berani tampil beda". Mari kita mendekati agama itu apa adanya. Untuk bisa memahami agama dengan benar dan jujur, kita harus mengingat kembali apa itu agama. Islam, menurut Islam itu sendiri, adalah agama yang diturunkan oleh Tuhan Pencipta alam semesta, Yang Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Kedengarannya klise dan sederhana. Tapi untuk mengimani fakta tersebut dan menerima segala konsekwensinya bukanlah perkara yang enteng dan sepele. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, tidak ada jalan lain selain "membaca" alam semesta sebagai ayatayat kauniyyah (ciptaan Allah) dan membaca al-Quran dan as-Sunnah sebagai ayat-ayat tanziliyyah (ajaran Allah). Lewat pembacaan dan perenungan yang intens itulah ada orang yang kemudian mengimani Islam, ada orang yang ragu-ragu dan ada pula orang yang mengingkari Islam. Orang yang mengimani Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Tuhan Pencipta alam, dengan iman yang mantap, pastilah akan menerima seluruh ajaran Islam tanpa ragu dan siap diatur dengannya. Betapa tidak! Ia tahu persis bagaimana Kesempurnaan Tuhan dan ia sadar betul betapa keterbatasan dirinya, kelemahan pikiran dan perasaannya yang sering keliru dan tertipu. Maka apalagi yang perlu diragukan dan dikritisi, yang perlu diragukan dan dikritisi adalah pikiran dan perasaan kita. Persoalannya setelah kita meyakini itu, tinggal bagaimana mempelajari Islam yang diwariskan oleh Nabi dari generasi ke generasi lewat para ulama, bukan lewat para orientalis. Untuk berislam, harus dimulai dan diawali dengan rukun Islam pertama yakni syahadat sebagai suatu pengakuan keimanan sekaligus pernyataan kesiapan untuk mengabdi hanya kepada Allah Rabbul'alamin dengan menjalankan ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad SAW. Kenapa demikian? Karena persoalan beragama bukanlah persoalan main-main dan coba-coba, pertimbangan untung-rugi duniawi atau logis-tidak logis (menurut pikiran kita). Urusan beragama adalah urusan pengabdian, ketundukan dan
3
penyerahan diri yang bulat kepada Allah. Mau diapakan kita oleh Allah, "sami'na wa atha'na", itulah makna pengabdian. Kasarnya, jangankan syariah Allah itu baik dan benar, salah dan buruk (maha suci Allah dari kesalahan dan kezaliman) sekalipun, mesti kita laksanakan. Karena kita ini hambaNya yang tidak berkuasa sedikit pun untuk menolak Keputusan-Nya. Persis seperti ketaatan Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang rela menyembelih puteranya (sebelum kemudian diganti dengan domba) karena perintah Allah. Beliau tidak pernah berpikir sedikitpun untuk mempertanyakan perintah Allah yang terkesan keliru dan kejam itu. Nah, bagaimana mungkin kita bisa menjalankan pengabdian yang sedemikian itu kalau belum bersyahadat? Orang yang tidak memulai keislamannya dengan syahadat sebagai starting point, maka dalam perjalanan keislamannya akan mengalami ambiguitas, serba salah. Orang yang sejak awal, tidak melangkah dengan penuh keyakinan dan kepastian maka dalam perjalanannya nanti akan selalu penuh dengan kesangsian, sikap kritis bahkan penolakan. Masalahnya, meniti hidup di atas Islam selalu penuh dengan cobaan, tantangan, perangkap dan jebakan. Dunia itu sendiri adalah ujian dan godaan, belum lagi tipu daya syaitan yang sangat lihai dan halus serta makar kaum kuffar yang sangat licik dan brutal. Pendeknya, sangat riskan dan rawan kita terjatuh dan terjerambab ke dalam kekufuran dan kesesatan manakala kita mencoba-coba berislam tanpa diawali dengan syahadat. Terlebih lagi, yang lebih penting, keislaman tanpa syahadat yang benar, bukanlah suatu pengabdian dan penyerahan diri secara bulat kepada Tuhan. Syahadat memberi isi dan materi pengabdian yaitu ikhlas menjalankan perintah Allah menurut contoh tuntunan Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Bila ada orang di luar Islam yang bersikap skeptis, kritis bahkan sinis terhadap Islam, kita sudah maklum. Itulah pilihan dan konsekwensi ketidakpercayaannya terhadap Islam sebagaimana yang dijelaskan di atas. Yang runyam bila ada orang-orang yang lisannya mendaku muslim dan beriman, lantas melontarkan penolakan terhadap Islam dengan 1001 alasan yang cukup halus dan lihai. Diantara alasannya bahwa Islam yang dipahami dan dipraktekkan selama ini adalah Islam menurut pemikiran dan penafsiran manusia. Jadi bisa dikritisi, diutak-utik, diperbaharui bahkan dikoreksi. Jawabannya mudah saja. Apakah anda lebih percaya dan tenteram dengan pikiran dan penafsiran anda dan orang-orang semacam anda sendiri? Mengapa anda lebih memilih penafsiran orang-orang yang miskin iman dan faqir taqwa, ketimbang para ulama yang berpegang dengan dalil-dalil yang shahih, memiliki metodologi ilmiah islamiah yang konsisten, sangat hati-hati dalam berfatwa, dan memiliki mekanisme kontrol dan koreksi terhadap sesama ahli ilmu? Yang waras-waras sajalah! Diantara alasan mereka lagi adalah pemahaman dan pengamalan para sahabat dan ulama salaf itu cocok untuk kondisi dan situasi ketika itu. Sedang sejarah dan peradaban manusia terus berubah dan berkembang, diperlukan penafsiran dan pembaharuan yang terus-menerus sesuai dengan zamannya. Jawabannya pun sebenarnya mudah saja.
4
Astrologi, feng shui, paranormal, dll sudah ada sejak zaman dahulu kala, mengapa manusia modern yang katanya serba rasional masih mempelajari dan menggunakannya? Lantas, apakah konsep tawakkal dan doa kepada Allah Rabbul'alamin sudah tidak relevan? Pakai otak dong! Mode pakaian yang serba minim ternyata sekarang lagi trend, bahkan di barat sana tidak sedikit komunitas telanjang alias nudis. Manakah yang lebih beradab, budaya telanjang atau budaya berpakaian rapi seperti jilbab? Kemana harga diri manusia modern? Barter, mungkin adalah sistem perdagangan yang paling antik. Apakah sudah tidak berlaku sekarang? Bahkan institusi pemerintah pun masih menggunakannya. Pemerintah Indonesia dan Rusia pernah barter. Kenapa banyak orang sok tahu yang melecehkan gagasan penggunaan mata uang emas dan perak sebagai alat tukar yang lebih islami? Model pemerintahan dengan sistem kerajaan (kepala negara dipilih dari garis keturunan) masih berlaku hingga sekarang. Bahkan model penguasa imperialis yang ingin menjajah dan menjarah dunia masih mewarnai sepak terjang negara sekelas Amerika. Dari sudut pandang mana pula para islamphobi menertawakan sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan alternatif untuk peradaban akhir zaman? Yahudi; suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, anda setuju atau tidak, adalah sebuah agama ultra rasialis, super eksklusif. Salah satu kepercayaan dasar mereka (termaktub dalam protokolat zionis) adalah bahwa bangsa Yahudi adalah manusia pilihan Tuhan, selain mereka adalah binatang tunggangan Yahudi. Ideologi itulah yang melecut dan memotivasi mereka untuk mengobok-obok dan mengangkangi dunia dengan kejeniusan mereka. Itulah yang terjadi hingga sekarang! Nah, apa salahnya Islam memproklamirkan diri kepada ummat manusia sebagai satusatunya agama samawi terakhir yang disyariatkan oleh Tuhan? Siapa yang masuk Islam akan masuk surga sedang yang menolak Islam padahal sudah mendengar dakwah Islam, akan menjadi penghuni neraka. Kendati demikian, mereka tetap dipergauli dengan baik di dunia (toleransi) selama mereka tidak memusuhi ummat Islam. Mengapa ummat Islam dipaksa-paksa menerima paham pluralisme yang kufur itu? Coba lihat! Kita tidak bisa berkesimpulan lain selain bahwa orang-orang yang meminta agar ajaran Islam ditafsirkan berbeda dari apa yang dipahami dan diamalkan secara murni dan lurus dari al-Quran dan as-Sunnah adalah orang-orang yang jahil dan fasiq. Mereka lemah iman (kalau bukan tidak beriman), tidak kuasa melawan godaan dunia dan hawa nafsu, apalagi untuk menentang musuh-musuh Islam! Akhirnya mencari celah dan helah untuk meninggalkan dan menanggalkan Islam. Sekarang kita coba lihat lagi bagaimana cara, gaya dan tipu-daya Ulil dalam memutarbalikkan fakta. Katanya berislam secara apa adanya itu adalah wujud dari kemalasan berpikir, sebaliknya berislam dengan kreatif dan dinamis (baca: tafsir bebas ala liberal) itu membutuhkan keseriusan dan kejeniusan berpikir. He... he... he... :-D Anak kecil juga tahu. Disiplin dan konsisten mengikuti peraturan itu berat, sedang bebas
5
berkreasi tanpa kaidah dan aturan itu enak bukan main! Untuk membuat tafsir Quran dan syarah Hadits ala liberal, orang tidak perlu belajar sama sekali! Modalnya cukup mengerti bahasa Indonesia dan punya sedikit keberanian (baca: kekurang-ajaran) untuk berpikiran ngawur. Tidak perlu belajar bertahun-tahun bahasa Arab, ushul fiqh, musthalah hadits, asbabunnuzul, asbabul wurudl, menelaah kitab-kitab salaf dan bermulazamah dengan para ulama. Yang penting adalah bagaimana agar Islam itu enak didengar dan enteng dikerjakan, masuk di akal orang-orang yang mendewakan akal dan menyenangkan hati orang-orang yang telanjur kepincut dengan dunia. Kesimpulannya, berislam dengan baik dan benar membutuhkan kerja keras, belajar serius, kesungguhan, mujahadah dan jihad. Sedangkan "berislam" cara liberal adalah mencari celah dan helah untuk meninggalkan dan menanggalkan ajaran Islam yang cukup dilakukan dengan santai, senda gurau dan gelak tawa. Ha... ha... ha... :-D Wassalam Yusuf Anshar
Selanjutnya orang awam membungkam jampi-jampi intelek liberal
6