BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Bangsa Indonesia tentu mengetahui dengan jelas bahwa NKRI terdiri dari ribuan pulau
dengan laut yang sangat luas, konon juga mewarisi balada tua bahwa nenek moyangku orang pelaut. Di berbagai sekolah, bahkan pada seminar ataupun diskusi publik, juga didengungkan hikayat masa kejayaan Majapahit dan Sriwijaya yang diklaim sebagai cikal bakal negara maritim. Benar, bahwa Nusantara ini memiliki sejarah maritim yang sangat membahagiakan untuk dikenang, didengungkan pada berbagai forum dan diabadikan dalam berbagai bentuk fisik. Semuanya itu bicara tentang masa lalu, misalnya—pada era berjayanya Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM, 1888-1960), pernah ada armada cabotage terbesar di dunia. Indonesia juga pernah mencengangkan dunia dengan armada samudera Jakarta Lloyd hadir di berbagai pelabuhan dunia, ada juga armada Nusantara yaitu PELNI dan yang lainnya menghubungkan berbagai kota-pelabuhan di NKRI, berikut armada pelayaran rakyat yang sempat menjamur. Bicara tentang maritim, banyak pihak cenderung memahaminya sebatas pada bidang pelayaran dan industri pendukungnya. Pandangan seperti itu memang tidak keliru dan tentunya dengan dukungan referensi yang kuat. Sebagian besar dari pandangan tersebut menunjuk pada tiga poin, yaitu: (i) relating to adjacent to sea, (ii) relating to marine shipping or navigation, (iii) resembling a mariner. Dari berbagai referensi tersebut, Apabila dipetakan dalam kepentingan berbangsa dan bernegara, maka domain maritim ada aspek politik, ekonomi, sosial, dan militer, dengan bobot yang sangat kuat dijadikan drivers untuk mengembangkan kepentingan nasional. Pada sisi yang lain, pengertian mengenai keamanan seharusnya juga dielaborasi dalam arti yang luas secure, safety, guarantee, dan tidak terperangkap dalam arti yang sempit sebatas secure. Perlu pandangan yang holistik mengenai arti keamanan, yang akan entertaint domain maritim. Penulis berpendapat bahwa pendekatan ini sangat penting artinya untuk membangun satu persepsi nasional mengenai arti pentingnya keamanan maritim Nusantara. Poin berikutnya yang perlu dielaborasi adalah mengenai Nusantara itu sendiri, oleh karena ada sejumlah kekhasan yang tidak ada duanya di muka bumi ini. Artinya—konsepsi keamanan maritim bagi
NKRI, tidak akan sama dengan pihak manapun didunia, sehingga tidak perlu ragu untuk merumuskan batasan tersendiri yang mengangkat kekhasan tersebut dan tentunya dengan landasan hukumnya yang kuat. Karakter yang khas tersebut menyangkut tiga poin, yaitu (i) negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.480 pulau, memiliki coast line dan life lines yang sangat panjang, (ii) kedudukan pada jalan silang dunia, yang ‘wajib’ hukumnya untuk mengakomodasikan kepentingan pihak lain, apakah dalam bentuk innocent passage, transit passage, archipelagic sea lanes passage dan atau masih ada juga dalam tuntutan lalu-lintas tradisional, (iii) ada laut di dalam laut wilayah, berikut kekayaan fauna flora yang mempertemukan dua samudera di daerah tropis. Perlu dipahami dengan sebaik-baiknya bahwa ketiga karakter tersebut adalah modal politik, ekonomi, dan militer, untuk membangun bangsa dan negara dan memampukan untuk berbicara di panggung kawasan Asia Tenggara, bahkan di Asia Pasifik.
1.2.
Rumusan Masalah
Apa Konsep Negara Maritim ?
Apa Saja Syarat Negara Maritim dan Bagaimana Peran Indonesia ?
Apa Saja Pengaturan Negara Maritim ?
Bagaimana Pembagian Batas Maritim ?
Bagaimana Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan Sengketa Laut Internasional ?
1.3.
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui Konsep Negara Maritim
Untuk mengetahui apa saja Syarat Negara Maritim dan Bagaimana Peran Indonesia
Untuk mengetahui Apa Saja Pengaturan Negara Maritim
Dapat memahami Pembagian Batas Maritim
Dapat memahami Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan Sengketa Laut Internasional
BAB II PEMBAHASAN
a. Negara Maritim Negara Maritim adalah suatu konsep di mana negara dalam hal ini indonesia mampu
memanfaatkan
semua
potensi
laut
baik
itu
perikanan,
kelautan,
pertambambangan, wisata bahari bahkan pertahanan negara. Pengertia Maritim Biasa identikl dengan perikanan dan kelautan.
Istilah Negara maritim Mulai Gencar pada era presiden Jokowi dan Menteri Kelautan dan perikanan susi Pudjiastuti, Karena harapan dari pemerintahan jokowi adalah menjadi negara maritim terkuat di dunia.
Pengertian Negara Maritim mempunyai arti yang berbeda beda dimana diantara menyebutkan bahwa negara maritim adalah negara yang terdiri dari Pulau pulau, negara yang di kelilingi Oleh Perairan dan Negara yang masyarakatnya bekerja dan hidup di pesisir laut.
Negara indonesia sudah pantas untuk di sebut sebagai negara maritim karena pengertian pengertian tentang negara maritim indoenesia mempunyai nya.
Indonesia sebagai negara maritim karena diantara nya ; o Indonesia memiliki wilayah laut lebih besar dari daratan o Indonesia memiliki garis pantai terpanjang no 4 di dunia o Nenek moyang indonesia adalah seorang pelaut o Hampir Penduduk paling padat mendiamai wilayah pesisir pesisir di Indonesia.
Dan Kesemua Itu Ikut Dalam Dasar Penetapan Indonesia Sebagai Negara Maritim.
b. Konsep Negara Maritim Syarat Syarat Menjadi Negara Maritim - Negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan laut walaupun negara tadi mungkin bukan atau tidak punya beberapa bahari, namun memiliki kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, alat-alat, dan lain-lain buat mengelola & memanfaatkan laut tadi, baik ruangnya maupun kekayaan alamnya dan letaknya yg strategis dan untuk bisa memiliki kemampuan tersebut di perlukan syarat atau pedoman ke arah Negara Maritim.
Lantaran itu banyak negara kepulauan atau negara pulau yg bukan atau belum sebagai negara maritim lantaran belum sanggup memanfaatkan sumber daya perairan baik laut atau bahari yang sudah berada di pada kekuasaannya ataupun kewenangannya. Sebaliknya, banyak negara yang tidak mempunyai laut atau lautnya sangat sedikit tetapi bisa memanfaatkan bahari tersebut buat kepentingannya, contohnya Singapura yang hampir tidak punya laut.
Malah negeri Belanda yg lautnya sangat mini dan kecil sanggup menjelajahi dan memanfaatkan Samudera Hindia sampai menjajah Indonesia ratusan tahun. itulah sedikit bukti negara kecil yang mempunyai kekuatan maritim yang besar. Karena belanda mampu memdefinisikan Pengertian Negara maritim secara luas.
Zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, kepulauan nusantara memiliki sifat maritim, karena bisa memanfaatkan laut sebagai capital aset yg krusial buat perdagangan & pertahanan, hingga mampu menjelajah hingga jauh ke Afrika Timur/Madagaskar dan ke Pasifik Selatan.
Indonesia adalah negara kepulauan yg sekarang sedang menuju pulang atau kembali bercita-cita menjadi negara maritim seperti pada zaman tadi. Untuk itu ada beberapa hal yg perlu kita kawal & penuhi sebagai Syarat menjadi Negara Maritim :
1.
Mengerti dan mengenal tentang sumber daya di lautan dan memahami ketentuannya. Mengenal aneka macam jenis laut Indonesia menggunakan banyak sekali ketentuannya, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut daerah zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, & hak-haknya atas bahari bebas dan dasar laut international.
2.
Mengenal & menghormati hak-hak internasional atas perairan Indonesia, seperti hak lintas innocent passage, transit passage, archipelagic sealanes passage, freedom of navigation and over flight, traditional fishing rights, & lain-lain.
3.
Mengenal berbagai kekayaan alam yg masih ada pada banyak sekali perairan tadi, baik yg dalam daerah kedaulatan juga di luarnya, yg hayati juga yang non hayati meliputi biota bahari, tempat asal dan ekosistem, arus, angin hingga kapal-kapal karam & benda-benda historis, dan aset alam laut lainnya.
4.
Negara harus bisa memanfaatkan kekayaan alam dan ruang pada luar perairan Indonesia seperti pada laut bebas & pada dasar laut internasional.
5.
Mampu
mempertahankan
kedaulatan
wilayah,
kewenangan,
keamanan,
keselamatan, kesatuan dan persatuan nasional dalam memanfaatkan ruang bahari, perhubungan/transportasi bahari, maupun kekayaannya. 6.
Mampu memelihara lingkungan bahari & memanfaatkan kekayaan alamnya secara sustainable, berkelanjutan.
7.
Mampu menghapuskan IUU fishing dan mencegah segala macam bentuk penyelundupan dan delik pada perairan Indonesia, baik di wilayahnya maupun di wilayah kewenangannya.
8.
Mampu menetapkan dan mengelola aneka macam perbatasan maritim dengan negara tetangga serta menjaga keamanan dari berbagai macam ancaman perbatasan tersebut.
9.
Mampu memajukan & menjaga keselamatan pelayaran melalui perairan Indonesia.
10.
Mampu memanfaatkan otonomi daerah yg konstruktif tentang kelautan.
Demikian adalah beberpa syarat untuk menjadikan indonesia kembali menjadi negara
maritim
dan
cita
cita
sebagai
poros
maritim
bisa
terlaksana.
Setelah Syarat menjadi Negara Maritim semua terpenuhi maka langkah selanjutnya adalah membuat konsep dan perencanaan tentang konsep untuk sebuah negara maritim. Konsep tersebut di kenal dengan sebutan Konsep Negara Maritim
c. Peranan Indonesia Sebagai Negara Maritim Optimalisasi Peran Indonesia ѕеbаgаі Negara Kepulauan dalam rangka meningkatkan Ketahanan Nasional Diakuinya Indonesia ѕеbаgаі negara kepulauan оlеh masyarakat internasional mеlаluі
UnitedNations Conference on the Law of the Sea 1982
(UNCLOS)selain merealisasikan Deklarasi Djuanda јugа menjadikan Indonesia ѕеbаgаі negara maritim besar dі Asia. Konsekuensi pengakuan tеrѕеbut membawa peran Indonesia ѕеbаgаі negara pantai уаng harus mampu mengelola wilayahnya bagi kelancaran navigasi internasional. Salah satu prinsip dalam hukum laut Internasional аdаlаh jaminan kebebasan bemavigasi. Dі pihak lain, kedaulatan negara pantai јugа diakui untuk mengelola wilayalmya ѕераnјаng hal tеrѕеbut tіdаk mengganggu kelancaran navigasi internasional.UNCLOS 1982 telah membawa konsekuensi hukum bagi Indonesia аntаrа lain, pengakuanbahwa wilayah Indonesia, air dan pulau, merupakan satu kesatuan. Laut уаng terletak dі аntаrа kepulauan merupakan laut pedalaman dan Indonesia mempunyai hak berdaulat аtаѕ wilayah laut tersebut. Mengingat Indonesia secara geografis terletak dі аntаrа dua benua dan dua samudra serta wilayah laut Indonesia merupakan daerah lаlu lintas navigasi internasional,maka Indonesia wajib menentukan alur-alur tertentu bagi kelancaran navigasi tersebut, уаіtu ара уаng disebut sebagai archipelagic sea lane passage atau Alur Laut Kepulauan Indonesia. Sebagaimana dimaklumi, jalur Selat Sunda, Selat Lombok, Laut Sulawesi аdаlаh jalur уаng selama ini, bаhkаn ѕеbеlum Indonesia merdeka, telah menjadi jalur navigasi internasional. Dі ѕаmріng itu, Selat Malaka, merupakan Selat уаng terletak dі аntаrа tiga negara pantai уаіtu Indonesia, Malaysia dan Singapura merupakan
selat
уаng
ѕаngаt
strategis.
Selat іnі merupakan jalur lalulintas laut уаng telah ada sejaksebelum Indonesia berdiri. Dalam UNCLOS 1982, Indonesia јugа wajib menjaga dan menjamin keamanan wilayah selat tersebut yang digunakan ѕеbаgаі jalur navigasi internasional, dеngаn berkoordinasi keamanan
dеngаn
negara
pantai
lainnya
уаіtu
Malaysia
dan
Singapura.
Masih banyak kewajiban lаіn уаng harus dilaksanakan оlеh Indonesia ѕеbаgаі negara уаng dі anugerahi wilayah laut dan daratan seluas lebih dart lima juta meter persegi tersebut.
d. Dasar Hukum Pengaturan Wilayah Laut Negara Berikut Undang – Undang dan Peraturan yang telah mengacu pada Konvensi Hukum Laut Internasional : 1. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982 Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum ditetapkan sebagai berikut: a. Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut; b. Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut; c. Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan d. Landas Kontinen : antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter. Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan:
Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya.
Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.
Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis pangkal atau garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan garis batas.
2. Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih mempertegas batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di laut, juga memberikan dasar dalam penetapan garis batas (boundary) dengan negara negara tetangga yang berbatasan, baik dengan negara-negara yang pantainya berhadapan maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Pada dasarnya Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar tentang hak dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum dari berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS. Batas terluar laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum 12 mil laut, dan garis pangkal yang dipakai sebagai titik tolak pengukurannya tidak berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang No. 4/Prp. tahun 1960 yang disesuaikan dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
3. Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, Undang-undang No. 6 tahun 1996 tersebut kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titiktitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan
Indonesia. Daftar koordinat ini tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar perubahan atau pembaharuan (updating) data dapat dilakukan dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Selain itu terdapat pula beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS pada tahun 1985 yang belum diubah yaitu:
Undang – Undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia Undang-Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen tahun 1958 yang menganut penetapan batas terluar landas kontinen berbeda dengan UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan perubahan terhadap Undang-Undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana mestinya ketentuan tentang batas terluar landas kontinen.
Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Menurut Undang-Undang ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi. Batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ditetapkan sejauh 200 mil-laut. Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang. Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
e. Batas Wilayah Laut Indonesia Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.
f. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing diatas laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALKI. Pembagian ALKI antara lain :
ALKI I melintasi Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda.
ALKI II melintasi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores dan Selat Lombok.
ALKI III Melintas Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu.
Hak Dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Saat Melintasi ALKI. Setiap Kapal dan pesawat Udara Asing yang melintasi ALKI harus memenuhi ketentuan dibawah ini
1. Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang. 2. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut. 3. Kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 4. Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi. 5. Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia. 6. Semua kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar-mandir, kecuali dalam hal force majeure atau dalam hal keadaan musibah atau memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dalam keadaan musibah.
7. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem aykelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.
g. Permasalahan dalam pertahanan dan keamanan wilayah Indonesia
Indonesia yang memiliki wilayah laut yang sangat luas berpontsi juga melahirkan berbagai permasalahn di wilayah laut tersebut. Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi kawasan laut dan perbatasan laut.
1. Belum Disepakatinya Garis-Garis Batas Dengan Negara Tetangga Secara Menyeluruh Beberapa segmen garis batas di laut belum disepakati secara menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI. Permasalahan yang sering muncul di perbatasan laut adalah klaim negara tetangga terhadap kawasan laut menyebabkan kerugian bagi negara secara ekonomi dan lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di laut pada umumnya sudah disepakati. Pada Batas Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE)dan Batas Laut Teritorial (BLT), sebagian besar belum disepakati bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan beberapa negara negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, terhadap batas negara di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan Indonesia maupun nelayan asing.
2. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Undang-Undang no.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa batas ZEE Indonesia di segmen-segmen perairan yang berhadapan dengan negara lain dan lebarnya kurang dari 400 mil laut, maka ZEE merupakan garis median.
Jika mengacu kepada konvensi tersebut, maka batas ZEE yang merupakan garis median pada wilayah laut yang berhadapan dengan negara-negara tetangga yaitu : a. Berhadapan dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka; b. Berhadapan dengan Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur; c. Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan sebelah utara; d. Berhadapan dengan Filiipina di Laut Sulawesi hingga Laut Fillipina; e. Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik; f. Berhadapan dengan Australia di Laut Arafura hingga Laut Timor; g. Berhadapan dengan Pulau Christmas (Australia) di Samudera Hindia; h. Berhadapan dengan Timor Leste di Selat Wetar; i. Berhadapan dengan India di Laut Andaman.
3.
Batas Laut Teritorial (BLT) BLT Indonesia lebarnya tidak melebihi 12 mil laut dari garis pangkal yang merupakan batas kedaulatan suatu negara baik di darat, laut, maupun udara. Sebagian besar BLT sudah disepakati oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, kecuali dengan Timor Leste sebagai sebuah negara yang baru merdeka. Selain itu diperlukan pula perundingan tri-partit antara IndonesiaMalaysia-Singapura untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian Barat dan Timur yang lebarnya kurang dari 24 mil dan bersinggungan langsung dengan perbatasan di ketiga negara. Mengingat pentingnya pengakuan terhadap batas kedaulatan suatu negara, maka batas laut teritorial antara pemerintah RI dan Timor Leste maupun three junctional point di Selat Malaka perlu segera disepakati untuk menghindari kekhawatiran timbulnya konflik akibat pelanggaraan kedaulatan wilayah negara
4. Batas Landas Kontinen (BLK) tarik sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah perairan Indonesia, kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu dimana
BLK dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang berhadapan langsung dengan Indonesia, antara lain : a. Berhadapan dengan India dan Thailand di Laut Andaman; b. Berhadapan dengan Thailand di Selat Malaka bagian Utara; c. Berhadapan dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan serta di Laut Natuna bagian Timur dan Barat; d. Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan; e. Berhadapan dengan Filipina di Laut Sulawesi; f. Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik; g. Berhadapan dengan dengan Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas; h. Berhadapan dengan Timor Leste di laut Timor. Selain BLK diatas, terdapat titik-titik yang bersinggungan dengan tiga negara (three junction point) secara langsung, kesepakatan terhadap titik-titik ini dilakukan melalui pertemuan trialteral. Titik-titik tersebut antara lain : (1) Three Junction Point antara Indonesia, India, dan Thailand di Laut Andaman; (2) Three Junction Point antara Indonesia, Thailand, dan Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara. Sebagian BLK antara Indonesia dengan negara tetangga telah disepakati dan telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres). Namun demikian masih terdapat beberapa segmen wilayah laut yang belum ditetapkan BLK-nya, karena masih dalam proses negosiasi atau bahkan belum dilakukan perundingan sama sekali dengan negara tetangga, antar lain BLK antara Indonesia dengan Vietnam, Filipina, Palau, dan Timor Leste.
5. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakan hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di
kawasan perbatasan saat ini perlu ditangani melalui penyediaan jumlah personil aparat keamanan dan kepolisian serta prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan yang memadai.
6. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian dan TNI-AL beserta kapal patrolinya, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di darat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum di kawasan perbatasan. Sebagai contoh, di kawasan perbatasan laut, sering terjadi pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian ikan.
7.
Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos PemeriksaanLintas Batas (PPLB) besertafasilitas sebagaigerbang
Bea
Cukai,
yang
Imigrasi,
Karantina,
dan
mengaturaruskeluarmasukorang
kawasanperbatasansangatpenting.
Sebagaipintugerbang
Keamanan dan
negara,
(CIQS)
barang sarana
di dan
prasaranainidiharapkandapatmengaturhubungansosial dan ekonomi antara masyarakat Indonesia denganmasyarakat di wilayah negara tetangganya. Disamping itu adanya sarana dan prasarana perbatasan akan mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namundemian, jumlahsarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasanperbatasanmasihminim.
h. Kasus Sengketa Perbatasan Laut Indonesia dengan Negara Tetangga Berdasarkan identifikasi, baru batas maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah lengkap disepakati. Sementara batas maritim dengan negara tetangga lain baru dilakukan penetapan batas-batas Dasar Laut (Landas Kontinen) dan sebagian batas laut wilayah. Untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia diperlukan penetapan batas-batas maritim secara lengkap. Penetapan batas ini dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Laut Internasional, yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No 17 tahun 1985. Implementasi dari ratifikasi tersebut adalah diperlukannya pengelolaan terhadap batas maritim yang meliputi Batas Laut dengan negara tetangga dan Batas Laut dengan Laut Bebas. Adapun batas-batas maritim Republik Indonesia dengan negara tetangga, mencakup Batas Laut Wilayah (Territorial Sea), batas perairan ZEE, batas Dasar Laut atau Landas Kontinen. Belum selesainya penentuan batas maritim antara pemerintah Indonesia dengan negara tetangga menjadikan daerah perbatasan rawan konflik. Penetapan batas maritim sangat dibutuhkan untuk memperoleh kepastian hukum yang dapat mendukung berbagai kegiatan kelautan, seperti penegakan kedaulatan dan hukum di laut, perikanan, wisata bahari, eksplorasi lepas pantai (off shore), transportasi laut dan lainnya.Belum adanya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa Negara tetangga menimbulkan permasalahan saling klaim wilayah pengelolaan, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.Beberapa kasus yang ada antara Indonesia dan Malaysia merupakan cerminan rentannya perairan daerah perbatasan. Terjadi saling tangkap nelayan baik dari Indonesia maupun Malaysia bahkan bias mengganggu hubungan diplomatic kedua Negara.
Dari beberapa batas laut Indonesia dengan Negara tetangga, ada batas laut yang memiliki kerawanan konflik antar negara. Indonesia Maritime Magazine mencoba untuk mengulas permasalahan batas laut tersebut. a. Indonesia-Malaysia
Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977. Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil.Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia.Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka. Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone).Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut.Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka.Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru.Selama ini penarikan batas
Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958.
MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia.Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya.Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak.Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia.Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral.
Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagaicoastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.
b. Indonesia-Singapura Penentuan titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah. Titik-titik koordinat itu terletak di Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garisgaris lurus yang ditarik dari titik koordinat.Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai perjanjian perbatasan.Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia Pada sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya.Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar.Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi. Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan
kedua tim negosiasi telah berunding selama delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara. c. Indonesia-Thailand Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan Thailand adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara.Hal itu disepakati dalam perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973. Titik koordinat batas Landas Kontinen Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan sebelum berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982.Karena itu, sudah selayaknya perjanjian penetapan titik-titik koordinat di atas ditinjau kembali. Apalagi Thailand telah mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Royal Proclamation pada 23 Februari 1981, yang isinya; “The exclusive Economy Zone of Kingdom of Thailand is an area beyond and adjacent to the territorial sea whose breadth extends to two hundred nautical miles measured from the baselines use for measuring the breadth of the Territorial Sea”. Pada prinsipnya Proklamasi ZEE tersebut tidak menyebutkan tentang penetapan batas antar negara. d. Indonesia-India Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada kesepakatan
e. Indonesia-Australia Perjanjian Indonesia dengan Australia mengenai garis batas yang terletak antara perbatasan Indonesia- Papua New Guinea ditanda tangani di Jakarta, pada 12 Februari 1973.Kemudian disahkan dalam UU No 6 tahun 1973, tepatnya pada 8 Desember 1973). Adapun persetujuan antara Indonesia dengan Australia tentang penetapan batasbatas Dasar Laut, ditanda tangani paada 7 Nopember 1974. Pertama, isinya menetapkan lima daerah operasional nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan Australia, yaitu Ashmore reef (Pulau Pasir); Cartier Reef (Pulau Ban); Scott Reef (Pulau Datu); Saringapatan Reef, dan Browse. Kedua, nelayan tradisional Indonesia di perkenankan mengambil air tawar di East Islet dan Middle Islet, bagian dari Pulau Pasir (Ashmore Reef).Ketiga, nelayan Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan dan merusak lingkungan di luar kelima pulau tersebut. Sementara
persetujuan
Indonesia
dengan
Australia,
tentang
pengaturan
Administrative perbatasan antara Indonesia-Papua New Gunea; ditanda tangani di Port Moresby, pada 13 November 1973. Hal tersebut telah disahkan melalui Keppres No. 27 tahun 1974, dan mulai diberlakukan pada 29 April 1974.Atas perkembangan baru di atas, kedua negara sepakat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan MOU 1974. f. Indonesia-Vietnam Pada 12 November 1982, Republik Sosialis Vietnam mengeluarkan sebuah Statement yang disebut“Statement on the Territorial Sea Base Line”. Vietnam memuat sistem penarikan garis pangkal lurus yang radikal.Mereka ingin memasukkan pulau Phu Quoc masuk ke dalam wilayahnya yang berada kira-kira 80 mil laut dari garis batas darat antara Kamboja dan Vietnam.
Sistem penarikan garis pangkal tersebut dilakukan menggunakan 9 turning point. Di mana dua garis itu panjangnya melebihi 80 mil pantai, sedangkan tiga garis lain panjangnya melebihi 50 mil laut. Sehingga, perairan yang dikelilinginya mencapai total luas 27.000 mil2. Sebelumnya, pada 1977 Vietnam menyatakan memiliki ZEE seluas 200 mil laut, diukur dari garis pangkal lurus yang digunakan untuk mengukur lebar Laut Wilayah. Hal ini tidak sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, karena Vietnam berusaha memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal.Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna. g. Indonesia-Filipina Berdasarkan dokumen perjanjian batas-batas maritim Indonesia dan Filipina sudah beberapa kali melakukan perundingan, khususnya mengenai garis batas maritim di laut Sulawesi dan sebelah selatan Mindanao (sejak 1973).Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan karena salah satu pulau milik Indonesia (Pulau Miangas) yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982). h. Indonesia-Timor Leste Berdirinya negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan negara tersebut.Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang. First Meeting Joint Border Committee IndonesiaTimor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta.Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003