SEMANGAT DI WARUNG KOPI Ditemani secangkir kopi, rokok di sela-sela jari, di pagi hari yang ber-asap. Asap yang mengepul dari mulut Ari dan kolega-nya, cangkir kopi, dan tungku dari bagian belakang warung Mak Jamil. Kepulan asap dari spot-spot warung Mak Jamil kiranya telah menjadi salah satu sumbangan polusi udara bagi kampung Balongwojo selain dari cerobong asap pabrik terasi yang terletak tidak jauh dari warung mak Jamil. Karena aktifitas keseharian dari warung Mak Jamil hanyalah sebagai tempat penampungan para pemuda pengangguran sukarela yang masing-masing dengan rela menghabiskan waktu hanya untuk se-cangkir kopi, dan puluhan batang rokok untuk menemani alunan gitar, langkah-langkah buah catur dan kartu-kartu yang berserakan. Mungkin Mak Jamil merasa bosan karena setiap hari harus melihat mereka, atau mungkin ia merasa khawatir akan anak gadisnya yang se-umur-an dengan Ari, akan meniru jejak Ari. Di belakang warung,Mak Jamil berbisik “Nak, kamu pengen ndak…emmm hidup kayak yang dijalanin Ari gitu?” Tanya Mak Jamil dengan nada sedih “Maksud Emak apaan sih?” Erka pun balik bertanya kebingungan “Ah… ndak kok, Emak cuman gak mau kalau anak Emak hidup susah setelah sepeninggal Emak nanti” tegas Mak Jamil dengan senyum kecut “Ah!!! Emak ini kenapa sih kok ngomongnya jadi ngawur gini?” dengan perasaan takut dan penasaran yang bercampur ia membalas senyum ibunya dan segera bergegas menemui Ari. Tiba-tiba Erka menyambar tangan Ari yang sedang asyik menyulut rokok dan menariknya sambil tertawa riang, dan mereka berlari menuju sebuah pohon besar di depan pabrik terasi yang memberikan suasana kesejukan di wilayah pabrik terasi itu “Ri’, aku pengen ngomong ma kamu” celotehnya dengan kegirangan “emangnya kamu nggak pernah ngomong apa?” ejek Ari dengan wajah penasaran “bneran nih…. Srius…. Please….!!!” “ok… ok… emang kamu mau ngomong apa sih, kok keliatannya serius banget? Kamu mau dikawinkan yaa…? hahaha” sahutnya sambil meledek “ehmmm… ayo donk Ri’, ni tentang Anshori, kamu inget nggak? dia…” “knapa dia nglamar kamu ya? Hahaha bener kan dugaan ku?” “bukan….” “truz, apa donk?kamu di jodohkan dan kamu gag mau gitu?” “bukaaan… makanya diem dulu donk!!! Maen nyrocos aja. Gini lho, kemaren tuh aku ngobrol banyak banget ma Anshori, crita mengenang masa-masa SMA tiga tahun yang lalu, truz tiba-tiba dia tanya tentang kamu lho… ” dia balik meledek Ari “emangnya kenapa kalo dia nanya aku?” Tanya Ari dengan nada cuek “hehehe… cemburu ni…?” “cemburu apaan? Emang dia nanya apa aja tentang aku?” “cieee… penasaran ni…?” ledekan pun bertubi-tubi dilancarkan oleh Erka “nggak bangettt kali, ya sudah kalo kamu gag mau crita ya sudah” dengan nada kesal sambil terus manyambung rokok yang baru saja habis dihisapnya “ya, ya, ya, aku critain, dia tuh ternyata dari dulu udah ng-fans berat lho ma kamu, malah…” “ng-fans moyangmu?” selanya “bener…, malah dia tuh dulu katanya sudah sempet mau nembak kamu, waktu itu kamu abis olahraga, masih inget nggak? dia datang dari belakangmu setelah dia panggil namamu tiba-tiba ada bogem yang menimpa mukanya sampai dia pingsan? Hayooo bogem siapa tuh?” “hmm…hmmm… ndak bener nih… pazti ada yang ndak bener nih, dia crita soal itu juga? Lagian aku nggak tau kalo dia mau, nembak aku katanya? Waktu itu ada suara dari belakangku dan aku tidak sengaja menoleh dengan cepat, ternyata ada muka yang udah menempel di bogemku ini” sambil menunjukkan tangannya -untuk ukuran seorang perempuan- yang berotot. Setelah sekian lama bercengkerama di bawah pohon, mereka pun kembali ke warung, dan ternyata di warung sudah ada Anshori yang memang sengaja ingin bertemu dengan Ari yang sudah berpisah sekitar tiga tahun. Setelah tahu bahwa Ari setiap hari ada di warung Erka teman sekelasnya waktu SMA dulu, dia langsung menemuinya di warung
itu “hai, kalian dari mana?” Anshori menyambut kedatangan mereka berdua Sementara Erka sengaja diam agar pertanyaan Anshori tersebut dijawab oleh Ari “oh, kita… dari jalan-jalan kok” jawab Ari sambil menggerak-gerakkan sikunya ke Erka “Ka’ kamu dari mana saja? Temanmu sudah dari tadi nungguin kamu” “sbentar ya aku ambil minum dulu” Mereka lalu duduk di sebelah warung, ada sebuah tempat tongkrongan yang terbuat dari bambu yang biasa di pakai anak-anak muda minum kopi, bermain kartu,bermain gitar dan menyayi dan lain-lain, termasuk Ari juga yang biasa nongkrong di sana. Sementara Erka sedang asyik ngobrol dengan ibunya di belakang warung sambil membuat minum untuk teman-temannya. “nak, kamu jadilah anak yang baik ya! Jangan kayak Temanmu Ari itu…” “maksut Emak apa? Memangnya Ari itu anaknya nggak baik gitu?” “bukan seperti itu, tapi emak ingin kamu jadi orang yanglebih berguna dari si Ari itu, nggak cuman nongkrong aja tiap harinya. Emak ingin kamu jadi anak yang pinter, mengerti, dan giat agar kamu jadi orang yang sukses ndak seperti emakmu sama bapakmu ini” “sudahlah Mak, jangan menjelek-jelekkan orang kayak gitu, pokoknya aku janji aku akan jadi anak yang berbakti kepada Emak dan Bapak, meskipun bapak kayak gitu” Mak Jamil tentu tidak mengharapkan anak gadisnya yang semata wayang itu menjadi anak yang gagal. Meskipun Mak Jamil hanyalah seorang penjual kopi dan nasi pecel, istri seorang pemabuk yang tak mempunyai pekerjaan yang layak untuk menghidupi seorang istri dan anak, sejak kecil beliau tak pernah mengenal dunia pendidikan, tetapi semangat beliau dalam menjunjung tinggi derajat putrinya tetap menjulang. Hendi Solihuddin Sastra Inggris 052154251 June 17th 2009