KASUS : Mencuri 3 buah kakao, Nenek Minah dihukum 1 Bulan 15 Hari
Banyumas - Nenek Minah (55) tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan menjadikannya
sebagai
pesakitan
di
ruang
pengadilan.
Bahkan
untuk
perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN)
Purwokerto. Dan hari ini, Kamis (19\/11\/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian. Selama persidangan yang dimulai pukul 10.00 WIB, Nenek Minah terlihat tegar. Sejumlah kerabat, tetangga, serta aktivis LSM juga menghadiri sidang itu untuk memberikan dukungan moril. Hakim Menangis Pantauan detikcom, suasana persidangan Minah berlangsung penuh keharuan. Selain menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai terdakwa, majelis hakim juga terlihat agak ragu menjatuhkan hukum. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis. "Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih. Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti sidang tersebut. Mereka segera menyalami Minah karena wanita tua itu tidak harus merasakan dinginnya sel tahanan. ANALISIS : Analisis kasus tentang Nenek Minah menggunakan Aliran Positivisme Kasus nenek Minah menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan. Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut: I.
Hukum adalah perintah
II.
Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.
III.
Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuantujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
IV.
Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
V.
Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.
Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas. Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana. Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya. Karena melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme, maka harus melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam menjawab persoalan ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi hukum. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya. Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan, karena hal tersebut bukan konsen dari hukum. Kasus nenek Minah sontak mencidrai rasa keadilan di tengah masyarakat, sebab nenek Minah yang tak tau apa-apa tersebut harus berurusan dengan hukum dan dijatuhi hukuman oleh hakim. Padahal apa yang diperbuat oleh nenek Minah sangat tidak berbanding dengan sanksi yang diterimanya. Seharusnya perkaraperkara kecil seperti ini tidak sampai ke pengadilan dan cukup diselesaikan bawah, tetapi hukum berkata lain. Substansi hukum tidak lagi mencerminkan
keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh dari nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat. Menurut Aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya
dan
lenyapnya)
sesuai
dengan
perkembangan
masyarakat.
Perkembangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat. Analisis
Kasus
Nenek
Minah
Menggunakan
Aliran
Sociological
Jurisprudence Oleh sebab itu, menurut aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang
ada
dalam
masyarakat,
tetapi
kebiasaan-kebiasaan
orang
dalam
pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di Negara Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk ‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain di masyarakat. Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law). Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislated, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri. Kasus nenek Minah merupakan secuil kecil masalah ketidakadilan ditengahtengah masyarakat. Banyak substansi hukum yang ada tidak berihak kepada kepentingan masyarakat, hukum tidak lagi mencerminkan perkembangan
masyarakat sehingga banyak masalah-masalah hukum terkini ditengah-tengah masyarakat tidak bisa dijawab oleh hukum, karena hukum yang berlaku sudah banyak yang usang seperti hukum warisan kolonial yang masih bersifat positivis. Secara idialnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum. Dari kasus nenek Minah, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan aparat penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.