Pembahasan Fiqih Legal.docx

  • Uploaded by: Syavita Wirarti
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembahasan Fiqih Legal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,839
  • Pages: 21
BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas tarbiyah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, saya selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalahmasalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian dari Kaidah Kedua ? 2. Apa Saja Sumber Pengambilan Kaidah ? 3. Apa Saja Kaidah-Kaidah Cabang dan Aplikasinya ? C. Tujuan 1. Mengetahui Pengertian dari Kaidah Kedua 2. Mengetahui Sumber Pengambilan Kaidah 3. Mengetahui Kaidah-Kaidah Cabang dan Aplikasi

1

BABII PEMBAHASAN A. Pengertian Kaidah Kedua Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah :

‫القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة‬ "Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak”1 Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi :

‫العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي واالجتهاد‬ ‫ويحتاج فيه الى النظر والتأمل‬ ”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan”2 Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki :

‫االمر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها‬ "Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu”3 Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang 1 Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami, Iskandariyah Muassasah Tsaqofah AlJamiiyah. Hal 4 2 Hasbi As-Siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang . Hal 25 3 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan Bintang. . Hal 11

2

berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.4 Maka Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenisjenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya didalam nash.

4 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, Hal. 13

3

B. Sumber Pengambilan Kaidah a. AL-QUR’AN Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir. Ayat – ayat Al quran Allah turunkan dengan cara yang terpisah – pisah menurut kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa tersebut di dalam istilah hukum Islam di sebut asbabun nuzul. Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur – angsur menurut situasi sebab – sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa dahulu. Membutuhkan stategi tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum mereka yang sudah kuno dengan hukum baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas seperti aturan larangan minum khamar dan maisir. Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak membicarakan soal – soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan secara rinci dalam Al quran. Karena itu, Al quran membutuhkan penjelasan – penjelasan. Di antaranya melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum seperti masalah shalat, zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan dengan Hadits. Selain itu, untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk persoalan ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum. Qawaid Fiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk menyusun suatu kaidah, seperti kaidah ‫التيسير تجلب المشقة‬

4

(Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan). Dalil yang menjadi patokan dari kaidah ini yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185 ... ‫العسر بكم يريد ال و العسر بكم هللا يريد‬... “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Surat Al-Baqarah ayat 286

‫وسعها اال نفسا هللا يكلف ال‬ “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas memberikan isyarat bahwa dalam hukum syar’i tidak didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hambanya. Pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan5 Dan contoh kaidah lain yaitu

‫ (يزال الضرر‬Kemudharatan itu

harus dihilangkan), ayat Al quran yang senada dengan kaidah ini adalah surat Al-Baqarah ayat 231:

‫وال تمسكوهن ضرار ًا لتعتدوا‬ “janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka” b. Sunnah Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di atas, sunnah dapat dibagi atas : Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah, dan Sunnah Taqririyyah.

5 Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah, (Ciputat: ADELINA, 2008), hal. 73

5

Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir dapat menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda pendapat dalam menjadi kan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih yang dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah. Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat, padat, lugas dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah. Contoh kaidah yang merujuk kepada sunnah atau hadits yaitu :

‫األمور بمقاصدها‬ ( hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya) Kaidah ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh Rasulullah yang berbunyi, ‫“ انما االعمال بالنيات‬sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya”6 c. IJMA’ Setelah Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama sebagai sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai sesuatu ketentuan hukum syari’at.7 Ijma’ sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil Al quran yaitu dalam potongan ayat surat An nisa ayat 115

‫منكم األمر اولي و الرسول اطيعوا و هللا اطيعوا امنوا الذين ياايها‬

6 Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor: Ulul Albab Institut, 2010), hal. 9 7 A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta : Widjaya, 1962), hal. 125

6

“wahai orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian...” Adapun kaidah yang berdasarkan pada ijma’ yaitu : (Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash) ‫النص مع اجتهاد ال‬ d. IJTIHAD Ijtihad dalam pengertian bahasa yaitu meluangkan kesempatan dan mencurahakan kesungguhan. Adapun dalam pengertian istilah yaitu meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui ketentuan – ketentuan hukum dalam dalil Syari’at Segala persoalan hukum ulama – ulama mujtgahid selalu memakai ketentuan – ketentuan nash kecuali jika pada suatu persoalan tidak terdapat

dalil

nash

mengungkapkan,

maka

disini

mereka

mengqiyaskan perkara ini kepada perkara lain yang memiliki sama illatnya.8 Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah yang digunakan yaitu “ijtihad yang lalu, tidak bisa dibatalkan ijtihad yang baru” Hal ini berdasarkan perkataan dari Umar Bin Kattab : “itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang” Dari kaidah di atas maksudnya yaitu ijihat yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, tidak dapat diganggu gugat, selagi tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang dapat membantah. e. QIYAS Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya.

8 Ahmad Sudjono, Alih Bahasa: Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung : Almaarif), hal.142

7

Secara istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Adapun rukun qiyas ada empat macam : 1. Asal (pokok) yaitu yang menjadi ukuran (maqis ‘alaih) 2. Far’un (cabang) yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan 3. Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabang 4. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok[6] Salah satu kaidah yang mirip dengan qiyas yaitu ‫الحوادث تضاف الي اقرب األوقاف‬ “sesuatu yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya”9 f. ISTIHSAN Istihsan ialah meninggalkan hukum sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil syara’ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan peninggalan tersebut. Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum sesuatu hal, kemudian seseorang mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang jelas/ kuat untuk menuju kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal.10 Salah satu kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber qawaid yaitu

9 Ibid, A. Hanafie, hal.128 10 Ibid, Ahmad Sudirman Abbas, hal, 132

8

“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan dikerjakan lebih ringan kepada mudaratnya” g. ISTISHAB Dari segi bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan “istishabtu ma kaana fil maadhi” artinya saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang. Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.11 Contoh kaidah yang merujuk kepada istishab: ‫االصل بقاء ما كان علي ما كان ما لم يكن ما يغيره‬

“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”

h. MASLAHAH MURSALAH Merupakan kebaikan (mashlahah) yang tidak disinggungsinggung

syara’,

untuk

mengerjakan

atau

meninggalkannya,

sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan. Salah satu kaidahnya ‫أنه يقدم في كل والية من هو‬

“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih didahulukan”

11 Ibid, A. Hanafie, hal. 142

9

i. URF Urf ialah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan kata lain ialah adat istiadat. Alasan pengambilan ‘Urf diantaranya 1. Syari’at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan urf yang berlaku padda bangsa Arab, seperti syarat kafaah dalam perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusaka atas dasar ashabah. 2. Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup mereka yang membutuhkan. Salah satu contoh kaidah yang menjadikan Urf sebagai sumber qawaidnya

‫العادة محكمة‬ “adat istiadat itu ditentukan sebagai hukum” j. Sadduz Zari’ah Yaitu menumbat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Salah satu rujukan kaidah yaitu “Menolak

kerusakan

harus

didahulukan

daripada

menarik

kemaslahatan”

C. Kaidah-Kaidah Cabang dan Aplikasi a. Pengertian Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan AsySyakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan. Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni: 1. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin

10

ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”. 2. Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”. 3. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”. 4. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”. 5. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”. Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni : a. Al

Yakin

Secara bahasa: mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan kebalikan dari Al Syak. Bisa disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang ada tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sederajat. b. Ghalabah al Dzan 11

Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan. c.

Al Dzan Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga membuang lainnya yang lemah maka inilah yang disebut al dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salahsatunya dan membuang yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan

d. Al syak Al syak secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al syak adalah setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan hati tidak condong pada salahsatunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah disebut salah duga/al wahn.

b. Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas kemudian dibagi menjadi kaidah-kaidah cabangnya yakni :

1. ‫صل‬ ‫( َما َكانَ َماكَانَ َعلَى َبقاء أاْلض أ‬Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya) Kaidah ini semakna pula dengan ‫اء ِه يحأ كَم بِزَ َم ِن ثَ َبتَ َما‬ ِ َ‫( ِخ ََلفِ ِه َعلَى الدَّ ِليأل يَق أم َمالَم ببَق‬Apa yang

12

ditetapkan berdasrkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya) Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa diubah, selama belum

ada

bukti

kuat

dan

meyakinkan

yang

bisa

mengubahnya, misal :

a) Aminah meyakini bahwa ia telah punya wudhu (suci), tetapi kemudian ia ragum apakah sudah batal atau belum. Berdasarkan kaidah ini ia tetap dihukumi punya wudhu. Sebab, sebelumya ia yakin bahwa ia telah berwudhu.

Keyakinannya

tersebut

tidak

bisa

dihilangkan denga keraguannya yang mengatakan bahwa ia telah mengalami hadas.

b) Fandi memiliki hutang kepada Anton. Fandi kemudian mengaku bahwa ia telah membayar hutang tersebut, tetapi anton tidak mengakuinya. Dalam hal ini, Fandi tetap dihukumi punya hutang, sampai ia benar-benar mampu membuktikan bahwa dirinya telah membayar hutangnya kepada Anton

c) ‫صل‬ ‫( ال ِذ َّم ِة بَ َر َءة أْل َ أ‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari

tanggung

jawab)

Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.

13

Misal :

1. Anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai ia baligh.

2. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai ada bukti adanya akad nikah yang sah. َ‫أ‬ َ ْ 3. ُ‫اْل أصل‬ ُ‫ال َعدم‬ (Hukum asal adalah ketiadaan) َ‫أ أ‬ َ ِّ َ ْ Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah ُ‫ف اْلصل‬ ُ ِ ُ‫الصفات‬ ُ‫عأرضة‬ ِ ‫ال‬ َ ْ ُ‫( ال َعدم‬hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada)

Misal : 1. Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual. 2.

َّ ‫ث تَقَ ِد ره ِبأ َ أق َر ِب‬ ‫أن‬ ِ ‫صل فِي ك ِل َحا ِد‬ ‫( أاْل َ أ‬Asal setiap kejadian dilihat ِ ‫الز َم‬ dari

waktu

yang

terdekat)

Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga terdapat ‫ب أَ أوقَاتِ ِه‬ ِ ‫ضفَة أالحأ ِد‬ ‫( أاْل َ أ‬Hukum asal adalah َ ‫ث إِلَى أ أق َر‬ َ ِ ‫صل إ‬ penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja.

14

Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh. Misal : 1. Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waku paling dekat dengan keamtiannya. ‫( ِري ِأم أ أ‬Hukum asal segala sesuatu 2. ‫اْلبَا َحة َحتَّى يَد َّل الدَّ ِليأل َعلَى التَّح‬ ِ َ‫صل فِي أاْل َ أشي‬ ‫ْاْل َ أ‬ ِ ‫اء أ‬ adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya) Misal : 1. Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya,

maka

hukumnya

boleh

dimakan.

َ ‫اء أال َح‬ Dikalangan madzhab Hanafi ada pula ‫ظر‬ ِ ‫صل ِفي أاْل َ أش َي‬ ‫( أاْل َ أ‬Hukum asal segala sesuatu adalah larangan[haram]). Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan kaidah ‫صل فِي أال ِعبَدَةِ أالمب أ‬ ‫ط ََلن َحتَّى يَق َم الدَّ ِليأل َعلَى أاْل َ أم ِر‬ ‫( أاْل َ أ‬Hukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya), kaidah ini َّ ‫( ََلح أكم ِل أْل َ أف َعا ِل َقبأل ور أو ِد ال‬Tidak ada hukum terhadap semakna dengan ِ‫ش أرع‬ suatu perbuatan sampai datangnya syari’ah) dan kaidah ‫أال َم أشك أوك ِفي وج أو ِب ِه ََل‬ ‫( يَ ِجب فِ أعله‬Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).

15

2.

‫( أاليَ ِقن يزَ ال أ‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang ‫باليَ ِقي ِأن ِمثأ ِل ِه‬ meyakinkan pula) Misal : 1. Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum. 2. Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan bahwa hutang A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya. 3. ‫( أ َ أن َماثَبَتَ يَ ِقي ٍأن ََل ي أرتَفَع ِإ ََّل يَ ِقي ٍأن‬Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi) Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan. 4. ‫صل فِي أالك َََل ِم ال َح ِق أيقَة‬ ‫( أاْل َ أ‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang

sebenarnya)

Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh. Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

16

Misal : 1. Apabila seseorang berkata:”Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad”. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewamenyewa, gadai dan lain-lainnya di dalam akad harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan arti kiasannya. 2. ‫ضاعِ التَّحأ ِريأم‬ ‫( أاْل َ أ‬Hukum asal bersenggama adalah haram) َ ‫صل فِي أاْل َ أب‬ Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa menghalalkannya, yakni pernikahan. Misal : 1. Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah satu dari syarat nikah, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum asal melakukan hubungan badan adalah haram. Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi alSyak”, yakni sebagai berikut : 2.

‫الظ ِن الَّذِي يَ أ‬ َّ ‫( ََل ِعب َأرة ِب‬Tidak dianggap [diakui], َ ‫ظ َهر َخ‬ ‫طاءه‬ persangkaan

yang

jelas

salahnya)

Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada

17

kreditor,

kemudian

wakil

debitor

atau

penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta dikembalikan

uang

yang

dibayarkannya,

karena

pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka yang jelas salahnya. 3. ‫( ََل ِعب َأرة ِللت َّ َو ُّه ِم‬Tidak diakui adanya wahan[kira-kira]) Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yangsalah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.

18

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari apa yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitasnya. Al

Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak (Keyakinan tidak bisa dihapus dengan

keraguan) memiliki dua kata dasar yang utama yakni al-Yaqin yang berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan al-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu ada empat yakni Al Yakin, Ghalabah al Dzan, Al Dzan dan

Al

syak.

Sedangkan Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak dibagi menjadi sebagai berikut : 1. ‫صل‬ ‫( َما َكانَ َماكَانَعَلَى بَقاء أاْلض أ‬Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya) 2. ‫صل‬ ‫( ال ِذ َّم ِة بَ َر َءة أْل َ أ‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab) 3. ‫صل‬ ‫( أال َعدَم أاْل َ أ‬Hukum asal adalah ketiadaan) َّ ِ‫( بِأ َ أق َرب‬Asal setiap kejadian dilihat dari 4. ‫صل‬ ِ ‫أن ره تَقَ ِد َحا ِد‬ ‫ث ك ِل فِي أاْل َ أ‬ ِ ‫الز َم‬ waktu yang terdekat) 5. ‫صل‬ ِ َ‫اْلبَا َحة أاْل َ أشي‬ ‫اء فِي أاْل َ أ‬ ِ ‫( التَّحأ ِري ِأم َعلَى الدَّ ِليأل يَد َّل َحتَّى أ‬Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)

19

‫( ِمثأ ِل ِه أ‬Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti 6. ‫باليَ ِقي ِأن يزَ ال أاليَ ِقن‬ yang meyakinkan pula) 7. ‫( يَ ِقي ٍأن ِإ ََّل ي أرتَفَع ََل يَ ِقي ٍأن َماثَبَتَ أ َ أن‬Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi) 8. ‫صل‬ ‫( ال َح ِق أيقَة أالك َََل ِم فِي أاْل َ أ‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya) 9. ‫صل‬ ‫ضاعِ فِي أاْل َ أ‬ َ ‫( التَّحأ ِريأم أاْل َ أب‬Hukum asal bersenggama adalah haram) ‫طاءه يَ أ‬ َّ ‫ظ َهر الَّذِي بِال‬ َ ‫( َخ‬Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang 10. ‫ظ ِن ََل ِعب َأرة‬ jelas salahnya) 11. ‫( ِللت َّ َو ُّه ِم ِعب َأرة ََل‬Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])

20

DAFTAR PUSTAKA Abbas, Ahmad Sudirman. 2008. Sejarah Qawaid Fiqhiyyah. Ciputat : Adelina Abbas, Ahmad Sudirman. 2008. Qawaid Fiqhiyyah.Ciputat : Adelia Hanafie, A. 1962. Usul Fiqh. Jakarata : Widjaya Sudjono, Ahmad.1981. Alih Bahasa : Filsafat Hukum dalam Islam. Bandung : Almaarif

21

Related Documents

Pembahasan Fiqih Legal.docx
November 2019 15
Fiqih
May 2020 39
Fiqih
July 2020 28
Pembahasan
August 2019 65
Usul Fiqih
May 2020 39
Fiqih Sholat.docx
May 2020 25

More Documents from "Fachrizal Uuyeach"