“Perlindungan Hukum terhadap Korban Bencana Alam sebagai Hak Asasi Manusia Di Tinjau dari Filsafat Hukum” Dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Di Buat Oleh : Nama : Rildo Rafael Bonauli NIM : 1810622009 Magister Hukum
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN ” Jakarta FAKULTAS HUKUM 2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Sejarah Lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terbentuk tidak terlepas dari perkembangan penanggulangan bencana pada masa kemerdekaan hingga bencana alam berupa gempa bumi dahsyat di Samudera Hindia pada abad 20. Sementara itu, perkembangan tersebut sangat dipengaruhi pada konteks situasi, cakupan dan paradigma penanggulangan bencana. Indonesia terletak di perbatasan lempeng Eurasia dan Australia yang bergerak aktif, sehingga Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bencana yang tinggi. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebesar 83% dari wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana (Tempo Interaktif, 2010). Walaupun Indonesia memiliki potensi bencana yang besar, sistem penanggulangan bencana di Indonesia belum berjalan dengan baik. Minimnya kesadaran akan perlunya usaha pencegahan dan mitigasi bencana serta kesiapsiagaan masyarakat menjadikan bencana sebagai sebuah ancaman yang serius. Hal ini dapat dilihat dari seringnya terjadi bencana dengan korban dan kerugian 2 yang besar serta dampak yang berkepanjangan, sehingga suatu rancangan pencegahan bencana diperlukan untuk meminimalisasi jumlah korban maupun kerugian yang diakibatkan oleh bencana. Selain usaha pencegahan, diperlukan usaha peningkatan kemampuan penanggulangan pada saat bencana dan pasca bencana, yang secara spesifik diperuntukkan untuk menangani kondisi kritis. Kondisi kritis yang terjadi pada saat bencana dan sesaat setelah bencana, dinyatakan sebagai fase tanggap darurat. Fase tanggap
1
2
darurat tersebut merupakan fase yang membutuhkan penanganan ekstra, terutama mobilisasi dan suplai sumber daya yang besar. Mobilisasi dan suplai sumber daya yang besar dalam waktu yang singkat tersebut menjadikan aktivitas logistik menjadi aspek yang dominan di dalam penanganan bencana, dimana prioritas dari aspek logistik dalam operasi penanganan bencana terletak pada delivery time yang singkat dan ketersediaan suplai yang tinggi. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini di Indonesia terdapat peristiwa bencana yang terjadi setiap tahun. Pasca meletusnya Gunung Krakatau yang menimbulkan tsunami besar di tahun 1883, setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia selama hampir satu abad (1900-1996).1 Tsunami, badai, dan gempa bumi yang menghantam sebagian negara di Benua Asia dan Amerika pada 2004/2005 dan Tsunami dan Gempa bumi yang terjadi di Kota Palu telah menyoroti perlunya perhatian serius terhadap tantangantantangan HAM yang berlipat ganda yang mungkin dihadapi orang-orang yang terkena dampak bencana-bencana semacam itu. Seringkali HAM mereka kurang diperhatikan. Masalah-masalah yang sering dihadapi orang-orang yang terkena dampakdampak bencanabencana alam diantaranya adalah akses yang tidak setara terhadap bantuan; diskriminasi dalam pemberian bantuan; relokasi yang dipaksakan; pemulangan atau pemukiman kembali yang tidak aman atau dipaksakan; dan hal-hal yang berkaitan dengan ganti rugi properti. Populasi yang terkena dampak seringkali dipaksa meninggalkan rumah rumah atau tempat tinggal akibat hancurnya rumah dan pernaungan mereka karena letusan gunung berapi, tsunami, banjir, kekeringan, longsor, gempa bumi, dan angin putting beliung. Dengan demikian sejumlah besar korban juga terpaksa mengungsi akibat bencana-bencana semacam ini atau akibat munculnya rasa khawatir terhadap kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi lagi di masa depan. Pola-pola diskriminasi dan pelecehan terhadap hak ekonomi, sosial, dan kultural mungkin sudah terjadi selama tahap tanggap darurat di situasi bencana alam, risiko terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM akan semakin besar seiring dengan semakin lamanya situasi pengungsian berlangsung. Biasanya situasi-situasi yang mempengaruhi HAM orangorang yang terkena dampak bencana-bencana alam tidak dirancang dan diterapkan dengan sengaja, tetapi merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang kurang tepat atau hasil dari kelalaian semata-mata. 1
M. Hajianto, Analisa Teoritis Gempa Bumi, Belajar Dari Bencana Aceh, Pontianak, 2005, hal.5.
3
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban bencana alam di palu berdasarkan ketentuan hukum HAM yang ditinjau dari filsafat hukum? 1.3 Tujuan Pembahasan Adapun tujuan penulisan ini: Untuk mengetahui konsistensi ketentuan-ketentuan hukum, tentang perlindungan korban bencana alam sebagai HAM.
BAB II PEMBAHASAN 1.1 Perlindungan Korban Bencana Alam di Palu berdasarkan ketentuan Ham Situasi bencana alam disaster) ataupun bencana karena manusia, tetap tidak bisa menghilangkan aspek pertanggungjawaban Negara. Definisi bencana ini seakan membatasi bahwa satu-satunya penyebab bencana merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek kecerobohan manusia. Banjir, tanah longsor, epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta muncul menjadi bencana apabila sistem dan mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan secara benar. “Pelimpahan” faktor alam sebagai penyebab bencana ini kemudian menjadi pembenaran untuk melepaskan kewajiban negara dalam penanganan bencana. Hak asasi manusia dalam konteks bencana mengasumsikan para korban tetap harus dijamin haknya oleh Negara. Hak tersebut harus bisa diklaim ke service provider atau penyelenggara negara (address) dan negara harus menjamin mekanisme agar hak tersebut dalam diklaim jika tidak dipenuhi oleh negara (re-dress) dengan memberikan remedy (penyembuhan). Tanpa jaminan HAM, penduduk yang terkena dampak bencana beresiko besar kehilangan hak untuk pulih dari kondisi seperti sebelum gempa dan rentan terdorong dalam situasi yang lebih buruk. Selain itu, banyak sekali upaya preventif dari bencana, sangat membuka peluang bagi penghilangan hak-hak dasar penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana, khususnya hak atas kepemilikan (rumah, tanah), pekerjaan dan hak dasar lain. Dalam Protecting Persons Affected by Natural Disasters (IASC Operational Guidelines on Human Rights and Natural Disasters) oleh IASC (Inter-Agency Security Committee) yakni suatu institusi yang dibentuk oleh badan internasional baik dibawah naungan PBB dan NGO interasional yang bergerak pada isu humanitarian telah disusun standar operasional urusan bencana dengan menggunakan standar instrumen HAM internasional, maupun instrumen internasional lain yang relevan, yakni hukum humanitarian (menyangkut bencana akibat konflik sosial/bersenjata) dan ketentuan soal Internally Displaced Person (IDP). Petunjuk pelaksanaan ini mencakup prinsip-prinsip penanganan bencana yakni aspek non diskriminasi bagi semua penduduk yang terkena dampak bencana, perlindungan atas HAM bagi mereka, pengadopsian standar HAM bagi setiap organisasi dalam operasi humanitarian.
4
5
Prinsip lain berupa jaminan informasi bagi penduduk meliputi: a. tentang bencana alam dan tingkat bencana yang mereka hadapi, b. langkah-langkah mitigasi yang mungkin bisa dilakukan, c. informasi peringatan dini, d. Informasi terkait dengan bantuan humanitarian dan dukungan recovery. Petunjuk operasional ini secara juga menetapkan hak-hak substantif yang harus dilindungi atau dipenuhi oleh Negara dalam penanganan bencana. Hak hidup, termasuk jaminan fisik dan martabat (evakuasi, relokasi dan langkah-langkah penyelamatan lain, Perlindungan terhadap dampak bencana, perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan berbasis gender, perlindungan di shelter, perlindungan dari pengambilalihan tanah pribadi dan bentuk eksploitasi lain). Hak atas perlindungan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar (akses terhadap barang, pelayanan dan bantuan kemanusiaan, pemberian merata bantuan makanan, air, sanitasi, pakaian, shelter dan pelayanan kesehatan utama). Perlindungan hak ekonomi, sosial budaya lainnya (pendidikan, property, perumahan, keterampilan hidup dan pekerjaan) dan terakhir perlindungan atas hakhak sipil politik (pendataan, kebebasan untuk berpindah dan hak untuk kembali, berhubungan dengan keluarga yang hidup, hilang atau meninggal, kebebasan ekspresi, berkumpul dan berorganisasi dan beragama, hak memilih). UU PB sebenarnya telah mengakomodir prinsip HAM (aspek non diskirminasi dan perlindungan atas hak hidup dan kelangsungan hidup) dalam draft pasal prinsipprinsip penanggulangan bencana. namun, prinsip ini dikaburkan dengan tujuan dari pembuatan UU ini sendiri melalui peminimalisiran peran dan tanggung jawab negara dalam urusan bencana dengan dalih mempertahankan nilai-nilai lokal (gotong– royong, kesetiakawanan dan kedermawanan). UU PB selanjutnya justru lebih menekankan aspek teknis penanggulangan bencana ketimbang memuat jaminan hak asasi manusia para korban atau penduduk yang rentan terkena dampak bencana. Patut dicermati dari UU PB adalah tentang definisi bencana “Bencana adalah suatu gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat yang diakibatkan oleh faktor alam diantaranya bencana gempa bumi, tsunami, longsor, angin topan, banjir, letusan gunungapi, kekeringan, epidemi, dan wabah penyakit, bencana karena faktor nonalam diantaranya kebakaran dan gagal teknologi, dan bencana karena faktor manusia mencakup peristiwa kerusuhan sosial, teroris, dan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian harta benda, dampak psikologis, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa manusia.” Definisi bencana ini seakan
6
membatasi bahwa satu-satunya penyebab bencana merupakan faktor alam, tanpa melihat aspek kecerobohan manusia. Banjir, tanah longsor, epidemi dan wabah penyakit tidak serta merta muncul menjadi bencana apabila sistem dan mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan secara benar. “Pelimpahan” faktor alam sebagai penyebab bencana ini kemudian menjadi pembenaran untuk melepaskan kewajiban negara dalam penanganan bencana. Pasalpasal pada Bab III dan IV UU PB menyebut eksplisit lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku penanggulangan bencana di samping pemerintah. Ini bisa diinterpretasikan negara bukanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. konsekuensi dari ini, maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses penanganan bencana. Mekanisme address-redress-remedy sebagai mekanisme penegakan HAM menjadi hilang sebagai konsekuensi “lepasnya’tanggung jawab negara. Hilangnya kewajiban negara secara substantif membuat jaminan hak yang diberikan negara dalam tahapan penanganan bencana (Pengurangan resiko bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta penatalaksanaan bencana) seolah hanya monumen puisi pengakuan tentang hak asasi manusia tanpa dapat dinikmati para korban atau penduduk yang rentan terkena bencana.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Negara memikul tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada warga negara khususnya dalam hal penanggulangan bencana. Perlindungan tersebut sebagai perwujudan kewajiban pemerintah berupa perlindungan sebagai hak azasi warga negara. Hal ini didasarkan pada konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan Alinea ke IV, yang berbunyi sebagai berikut : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …”. Sebagai suatu norma dasar yang abstrak, maka ketentuan yang terdapat dalam konstitusi dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan yuridis formal terhadap perlindungan pengelolaan lingkungan hidup dan sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Bahwa dalam penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu : a. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi atau Tata Usaha Negara. b. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata. c. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana. Melihat dari ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan atau pun penanggulangan bencana, sebenarnya pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap pengerusakan lingkungan, sudah cukup lengkap. Permasalahannya adalah bagaimana Pemerintah dan aparat penegak hukum menggunakan hati nurani untuk mengedepankan kepentingan hak asasi warga negara.
7
3.2 Saran Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebenarnya sudah memuat norma-normanya secara umum dan dirasakan telah cukup baik dalam memberikan perlindungan kepada warga negara, namun Pemerintah perlu memastikan bahwa undang-undang tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam hal implementasinya di lapangan.
8