Tulisan Lembaga Adat

  • Uploaded by: Center of Development Studies
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tulisan Lembaga Adat as PDF for free.

More details

  • Words: 2,499
  • Pages: 8
ADAT – ADAT BIMA YANG TERCECER DARI PENELITIAN TENTANG REVITALISASI LEMBAGA ADAT DITENGAH KEGALAUAN IDENTITAS DIRI

Teridentifikasinya sejarah penerapan hukum adat dan fungsi lembaga adat dalam komunitas masyarakat Mbojo --- Teridentifikasinya model penerapan hukum adat dalam komunitas Masyarakat Mbojo yang tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku dan tidak melanggar HAM --- Dan teridentifikasi strategi kebijakan penerapan hukum adat dalam Komunitas Mbojo. Itulah beberapa hasil penting dari penelitian yang dilakukan oleh ForPuan, Forum Komunikasi Perguruan Tinggi (FKPT), Nasyatul Aisyiyah Kabupaten/Kota, dan Center of Development Studies (CeDES) – Bima yang di dukung oleh Badan Pembangunan Masyarakat dan Pemberdayan Perempuan (BPMPP) Kabupaten Bima. -----------------------------------------------------------------------------Penelitian ini merupakan proses awal dari sekian banyak proses yang akan dijadikan pijakan dalam proses pemberdayaan lembaga-lembaga adat yang ada di Kabupaten Bima. Boleh jadi, hasil penelitian ini merupakan kerangka dasar untuk menyusun beberapa stategi yang akan diterapkan pada proses revitalisasi lembaga adat nantinya. Illyas Sarbini misalnya melihat bahwa kita harus mengakui esistensi hukum adat ditengah perundang-undangan Republik Indonesia sepanjang adat tersebut masih hidup dan selaras dengan perkembangan masyarakat. “...Penelitian yang kita lakukan ini adalah bagian kecil untuk melihat kenyataan yang hidup, karena kenyataan itulah yang diabstraksikan dalam norma-norma hukum umum yang dapat diterima oleh seluruh warga, yang pada akhirnya digunakan untuk pemecahan masalah (problem solving)”. Boleh jadi, revitalisasi terhadap hukum adat menjadi inspirasi dalam pembentukan norma hukum nasional”. Sebenarnya istilah hukum adat sendiri berasal dari Bahasa Belanda adatrecht. Orang pertama yang memakai istilah ini adalah Snoucht Hurgronye yang kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah tehnis yuridis. Dikalangan masyarakat kita biasanya dikenal dengan hukum asli (tradisional) atau adat saja. Tetapi sebenarnya kata adat sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti kebiasaan. Jadi hukum adat itu sebenarnya adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Secara Nasional, Negara mengakui keberadaan hukum adat yang berlaku ditengah masyarakat. Simak saja pasal 18 b ayat 2 UUD 1945 mengatur bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan Undang-Undang”. Demikian juga pada pasal 32 ayat 1 UUD 1945 disebutkan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Pun dalam Undang-Undang No. 32 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa setiap pembentukan peraturan daerah yang berkaitan dengan desa wajib mengakui dan

menghormati hak, asal-usul dan adat istiadat desa. Dengan begitu, kita sama-sama mahfum bahwa keberadaan lembaga adat beserta hukum adatnya ditengah-tengah masyarakat tetap diakui eksistensinya. Apalagi jelas disebutkan pada pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 (LN 1951 No.9) hukum adat pidana tak tertulis masih tetap diakui sepanjang masih hidup. Makanya, dalam Tap MPR No. V tahun 1960 memerintahkan “...agar pembinaan hukum nasional berlandaskan hukum adat, yang sesuai dengan perkembangan kesadaran rakyat Indonsia dan tidak menghambat terciptanya masyarakat adil dan makmur”. Lalu pertanyaannya apa yang menjadi ukuran berlakunya hukum adat? “...ya ukuran berlakunya hukum adat yaitu eksistensi ditengah masyarakat pendukungnya...”, kata Ibu Nurfarhaty, M.Si. Lebih lanjut dikatakannya “ demikian pula halnya dengan adat dalam komunitas masyarakat Mbojo, seperti Hukum Adat Baja. Apakah hukum adat ini masih berlaku atau sudah tercerabut dari akar budaya Mbojo. Itulah yang menjadi ukuran berlakuknya hukum adat tersebut. Tapi dari pengamatan kami beberapa desa masih menerapan Hukum Adat Baja, sangat efektif dalam memberikan efek jera terhadap para pelaku pelanggar hukum. Namun, kata beliau dalam masyarakat kekinian sudah jarang dipraktekkan lagi, pun mungkin dalam keinginan yang hidup dalam masyarakat Bima masih mendambakan Hukum Adat Baja ini diterapkan kembali sebagai alternatif dalam memberantas kejahatan”. Perubahan – perubahan jaman telah mempengaruhi penilaian dan kepatutan kita dalam kehidupan sehari–hari. Perubahan-perubahan itu Telah merubah makna, isi kepatutan, keharusan dan lainnya. Pada masyarakat Bima yang selalu tunduk dan taat melaksanakan hukum adat baja dalam menangani kasus pelanggaran hukum sekarang telah terjadi pergeseran penilaian, ada yang menganggap bahwa adat baja tidak sesuai dengan perkembangan hukum moderen yang berorientasi pada perlindungan HAM dan ada pula sebagian masyarakat yang menginginkan dan menganggap hukum adat baja ini sebagai sebuah solusi untuk mengefektifkan berlakunya norma hukum dalam masyarakat, karena memang senyatanya bahwa hukum tidak berfungsi optimal mengontrol kehidupan sosial dengan indikatornya adalah semakin meningkatnya angka kejahatan. Penelitian yang melibatkan 48 tokoh kunci dari 25 desa yang ada di Kabupaten/Kota Bima menyebutkan bahwa persepsi responden terhadap tindakan kriminal yang acap kali terjadi di desanya adalah: pencurian (52,1%), Perjudian (22,9%), Perzinahan (2,1%), Perkelahian pemuda (10,4%), Minuman keras

Kejadian kriminal Bunuh diri

Penculikan

6052.1 50 Pencurian 40 30 22.9 20 Perjudian 10 2.1 2.1 0 2.1 2.1

Perceraian

Minuman keras

2.14.2

10.4

Perzinahan

Perkelahian pemuda

(2,1%), perceraian (2,1%), penculikan (2,1%), dan bunuh diri (2,1%).

LEMBAGA ADAT HIDUP ENGGAN MATI TAK MAU Tiga tahun terakhir intensitas tindakan kriminal yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat semakin meningkat. Kasus pencurian, perzinahan, minuman keras dan perkelahian antar pemuda masih mewarnai hari-hari kita. Disatu sisi, aparat penegak hukum sudah berupaya maksimal untuk menekan angka kejahatan yang terjadi. Di sisi lain, efek jera yang diberikan belum memiliki korelasi signifikan terhadap penurunan angka kejahatan. Mungkinkah Hukum Adat Baja menjadi sebuah pilihan ? Lalu bagaimana kondisi kekinian lembaga adat, mampukah lembaga adat untuk tetap eksis terhadap keberadaan dan keberfungsiannya? -------------------------------------------------------------------------BEBERAPA hasil penelitian menyebutkan bahwa tindakan kriminal yang acap kali terjadi 3 (tiga) tahun terakhir adalah: Pencurian 52.1%, Perjudian 22.9%, Perkelahian antar pemuda 10,4%, perzinahan 2,1%, minuman keras 2.1%, Perceraian 2.1%, Penculikan, 2.1% dan bunuh diri 2.1%. Bunuh diri, 2.1 Penculikan, 2.1 Angka ini menunjukan Perceraian, 2.1 bahwa intensitas kejahatan Minuman keras, 2.1 yang terjadi masih begitu Perkelahian , tinggi. Tingginya pemuda, 10.4 kecenderungan tingkat Perzinahan, 2.1 pelanggaran hukum dalam Pencurian, 52.1 masyarakat, terlebih lagi Perjudian, 22.9 dengan kasus-kasus pencurian, dan perbuatan asusila menurut Ilyas Sarbini adalah seolah-olah tidak ada rasa takut yang terpendam dalam diri pelaku saat melakukan pelanggaran hukum. Asumsinya, kondisi ini tercipta karena hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai alat kontrol sosial, yang berdampak terhadap rusaknya tatanan ketertiban sosial. Lebih lanjut Ilyas menjelaskan, kalau ingin memperbaiki efektifitas norma hukum dalam masyarakat maka aspek yang dilihat haruslah pada sistem hukum itu sendiri, yaitu substansi hukum, budaya hukum dan sarana prasarana hukumnya, termasuk didalamnya adalah pelaksanaan norma-norma hukum adat yang diusung oleh pendukungnya”. Hukum sendiri sebenarnya berada dalam satu sistem yang terintegrasi. Hukum akan berjalan dengan efektif apabila unit-unit pendukunganya mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana tempat ia (baca: hukum) diberlakukan. Ibarat sebuah mobil, mobil ini tidak akan mampu membawa penumpangnya hingga ke tempat tujuan yang diinginkan

apabila ada unit – unit mobil tersebut yang tidak mampu menjalankan fungsinya. Begitu juga dengan norma, nilai dan aturan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Bila salah satu unit saja seperti pelaksana hukum (aparat hukum) tidak mampu menjalankan fungsinya, maka hukum yang terintegrasi dalam satu sistem tersebut akan mengalami degradasi. Begitu juga norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hukum adat baja sebagai bagian dari hukum adat Bima yang pernah ada dan masih dipraktekan sebagian masyarakat Bima adalah sebagai salah satu bentuk tindakan pencegahan terjadinya pelanggaran hukum yang sangat efektif, baik untuk membuat jera pelaku kriminal, maupun untuk menakut-nakuti orang lain untuk tidak melakukan pelanggaran. Jika kita masih menginginkan berlakunya hukum ini, maka langkah staregis yang diambil adalah mengintegralisasikan kembali sistem hukum adat tersebut, kedalam sistem sosial masyarakat. Dan tentunya dengan melihat bagian dan unit dari kebiasaan, tradisi, dan nilai-nilai yang masih hidup dalam masyarakat. “...Hukum adat baja boleh jadi merupakan sebuah alternatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat...” ungkap Nurfarhaty, M.Si. Apalagi Hukum adat baja merupakan bentuk sanksi adat yang pernah hidup dan menjadi bagian integral dari tatanan sosial. Lebih lanjut Farhaty mengatakan, “ Kalau bisa, hukum adat baja tidak hanya diterapkan pada tindakan – tindakan kriminal seperti pencurian ternak, perzinahan, pemerkosaan. Tetapi bisa saja, hukum adat baja diberlakukan bagi orang-orang yang suka melakukan pembalakan hutan. Artinya, hukum adat yang akan direvitalisasi sedapat mungkin memberikan efek jera bagi pelaku-pelaku kejahatan”. Penelitian yang dilakukan oleh Tim revitalisasi lembaga adat juga menyoroti kemungkinan diberlakukannya hukum adat baja didalam tatanan sosial masyarakat Bima. Gufran, M.Si menjelaskan bahwa Salah satu hasilnya sangat fantastis, bahwa hampir seluruh responden memberikan apresiasi setuju jika hukum adat baja kembali diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari 42 responden atau sekitar 87.5% memberikan apresiasi setuju terhadap Tidak setuju penerapan hukum adat baja pada Ragu-ragu 4% tindakan-tindakan kriminal tertentu. 8% Hanya 4 orang yang ragu-ragu dan sisanya 2 orang mengatakan tidak Setuju setuju. Ini berarti penerapan hukum Ragu-ragu adat baja dalam sistem sosial Tidak setuju kemasyarakatan akan semakin mudah, kata Gufran. Ia menambahkan, Tinggal Setuju bagaimana sistem tersebut 88% diintegralkan bersama sistem sosial dengan membangun stuktur dan fungsi unit-unit pelaksananya ditingkat masyarakat desa sebagai penggusung norma-norma adat tersebut

Penjelasan ini diamini Ilyas Sarbini yang mengatakan tidak ada tumpang tindih antara hukum adat baja dan hukum positif. Penangkapan oleh polisi dikerumuni oleh banyak orang, masyarakat mendatangi tempat penangkapan secara terbuka sebenarnya merupakan bagian dari rumusan hukum baja itu sendiri. Namun, menurutnya, dari hasil penelitian tahap kedua oleh tim revitalisasi pada masing-masing desa di 5 (lima) Kecamatan yang telah dilakukan, masyarakat menghendaki adanya kerjasama antara pihak aparat penegak hukum dan pengurus lembaga adat dalam penanganan masalah sosial yang terjadi. Disamping itu, masyarakat menghendaki penyusunan berbagai aturan dan sanksi adat nantinya, harus melibatkan masyarakat secara partisipatif. Proses ini dilakukan karena memang tidak mungkin kita menyamakan sanksi adat antara desa yang satu dengan desa yang lain. “...sanksi ataupun aturan adat seharusnya bersumber dari kesepakatan masyarakat desa, apalagi yang menjalankan dan melaksanakan aturan adat itukan masyarakat itu sendiri”, kata Ilyas. Ditambahkannya, Baiknya, lembaga adat yang akan menjalankan fungsi, nilai/norma dan aturan adat hanya berada di tingkat desa yaitu Majelis Sara Tua adat. Dengan demikian, lembaga ini tidak boleh memiliki struktur hingga di tingkat kecamatan, karena boleh jadi setiap desa di Kecamatan memiliki sangsi/aturan adat yang berbeda. “...jadi sangat mustahil norma/nilai, Tidak Tahu, 16.7 Ada Lembaga aturan dan sanksi dijalankan bila Adat, 33.3 Majelis Sara Tua Adat memiliki struktur bertingkat-tingkat hingga ada ditingkat Kecamatan”. Sanksi adat yang diberlakukan tentunya akan diterapkan dan dilaksanakan oleh lembaga adat Tidak Ada yang ada di desa. Namun sangat Lembaga Adat, disayangkan, dari hasil penelitian 50 yang dilakukan menyebutkan bahwa keberadaan lembaga adat dari 25 desa yang dijadikan sampel penelitian masyarakat yang mengetahui keberadaanya hanya 33.3% yang memiliki lembaga adat, 50.0% tidak ada lembaga adat, dan sisanya 16% tidak tahu. Sama halnya dengan keberadaan lembaga adat, fungsi lembaga adat yang ada di Kabupaten Bima belum dapat berfungsi secara maksimal. Dari data yang diperoleh menyebutkan bahwa hanya sekitar 14.6% lembaga adat yang berfungsi. Sedangkan 45% responden menyatakan tidak berfungsi dan sisanya 39% tidak tahu.

Tidak tahu 40%

Berfungsi 15%

Tidak berfungsi 45%

Di dalam konteks kehidupan Tidak menjawab, Urusan sosial, sebenarnya masyarakat 2.1 pelanggaran tidak serta merta norma agama, menggantungkan segala 4.2 permasalahan sosial yang terjadi menjadi tanggung jawab lembaga adat. Menangani Masyarakat hanya masalah amoral, menginginkan bahwa urusan 31.3 adat-istiadat yang berkaitan dengan daur hidup (live Urusan adat circle) dan kegiatan sosial istiadat, 62.5 kemasyarakatan lainnya dapat diatur dan dijalankan oleh lembaga adat. Data penelitian menyebutkan bahwa fungsi lembaga adat yang paling krusial adalah menangani masalahmasalah adat istiadat 62.5%, kemudian lembaga adat berfungsi untuk menangani masalah amoral/asusila 31.3%, urusan pelanggaran norma keagamaan 4.2% dan sisanya tidak menjawab 2.1%. Dengan demikian, tidak semua masalah sosial kemasyarakatan diserahkan sepenuhnya kepada lembaga adat. Begitu juga terhadap permasalahan pelanggaran hukum. Ada bagian-bagian yang menjadi wewenang masyarakat adat, dan ada pula yang menjadi tugas dan tanggung jawab aparat penegak hukum. Pertanyaannya sekarang, langkah-langkah apa yang akan diambil dengan kondisi kekinian lembaga adat “hidup enggan mati tak mau”? Lalu bagaimana stategi –strategi yang akan dilakukan? Benarkah revitalisasi menjadi kata kuncinya?

REVITALISASI FUNGSI, KAJIAN STRUKTUR HINGGA REVISI PERDA “...ake dou dohoe, aina rawi...(disebut apa perbuatan asusila yang dilakukannya) bune ra karawi ba mada, mada kutirara labo maja adeku, sinci adeku dou dohoe...” ini sebagian kata yang diucapkan oleh pelaku pelanggar asusila yang dihukum secara adat. Ada kerinduan atas penyelengaraan kehidupan bermasyarakat yang lebih bermartabat, menjaga nilai-nilai tradisi yang hakiki, diselimuti jiwa spiritual yang kental. Pertanyaannya siapakah yang akan menjalankannya? Masih tersisakah kepercayaan masyarakat terhadap tokoh-tokoh yang ada di desa? Lantas bagaimana keberadaan lembaga adat di tengah masyarakat dan struktur kepemerintahan desa? Selengkapnya ikuti catatan Arief Rachman dari CeDES yang dipublikasikan atas kerjasama dengan Suara Mandiri ------------------------------------------------------------------------------Masyarakat menghendaki Majelis Sara Tua adat dapat berfungsi menciptakan masyarakat yang berakhlak mulia --- Meningkatkan harkat dan martabat masyarakat dalam memperkuat jati diri dan kepribadian --- Serta menciptakan rasa aman, tertib dan damai pada kehidupan masyarakat. Kesemua fungsi ini tentunya harus dijalankan sepenuhnya

oleh Majelis Sara Tua Adat. Pertanyaannya siapakah orang-orang yang akan duduk dalam kepengurusan Majelis Sara Tua yang akan menjalankan fungsi ini? Nurfarhaty, M.Si menjelaskan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Tim Revitalisasi ditemukan bahwa setiap warga desa adat memiliki hak yang sama untuk menjadi pengurus Majelis Sara Tua Adat, asalkan memenuhi beberapa kriteria yang sudah ditetapkan. Hasil penelitian menyebutkan, bahwa urutan kriteria yang paling banyak dipilih responden adalah: jujur (37.5%), Taat beribadah (35.4%), Adil (10.4%), Berwibawa (6.3%), Bijaksana (4.2%), Kaya (4.2%) dan sisanya (2.1%) tidak menjawab. Data ini sebenarnya menunjukan pada kita bahwa masyarakat sangat mendambakan figur yang memiliki sifat kejujuran, dan ini merupakan kriteria utama bagi seseorang yang akan menduduki kepengurusan Majelis Sara Tua Adat. Lebih lanjut Farhaty mengatakan, “...Secara struktur, Majelis Sara Tua Adat tidak memiliki stuktur di tingkat Kecamatan. Majelis ini hanya berada di Tingkat Desa, dan hanya berkedudukan di desa, dengan beranggotakan 7 (tujuh) orang yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, bendahara dan 4 (empat) orang anggota. Majelis ini bersifat otonom dan mandiri yang dipimpin oleh Ketua Majelis Sara Tua dan dibantu oleh majelis Sara Tua Kampo yang berkedudukan di kampo dan beranggotakan sebanyak 5 orang. Pemberdayaan Majelis Sara Tua sendiri menurut Farhaty merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat adat dan majelis Sara Tua. Lantas bagaimana dengan posisi Kepala Desa dan Pemerintah Kabupaten? “...Kepala Desa hanya mendorong dan membantu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi terselenggaranya tugas dan fungsi Majelis Sara Tua. Sedangkan Pemerintah Kabupaten memfasilitasi dan mendukung penyediaan sarana dan prasarana bagi Majelis Sara Tua...”, jelas Farhaty. Revitalisasi lembaga adat adalah sebuah keharusan. Keniscayaan jika hanya dilakukan sehari, dua hari atau tiga bulan atau bahkan tiga tahun. Revitalisasi harus dilakukan secara terrencana oleh Pemerintah Kabupaten Bima dan tentunya harus didukung sepenuhnya oleh masyarakat, dan tentunya bersama Majelis Sara Tua Adat “...ini bagian dari meletakkan dasar peradaban...”, ungkap Ilyas Sarbini. Hingga saat ini kata Ilyas, Tim Revitalisasi Lembaga Adat telah menyelesaikan beberapa tahapan kegiatan, seperti Lokakarya dan penelitian. Tim juga telah menyampaikan hasil rekomendasi berupa Rancangan Revisi Perda No.12 Tahun 2001 tentang Pemberdayan Lembaga Adat, kepada Badan Pembangunan Masyarakat dan Pemberdayaan perempuan (BPMPP) Kabupaten Bima. Tim juga telah merekomendasikan 5 (lima) desa pilot revitalisasi lembaga adat yaitu: Desa Tambe Kecamatan Bolo, Desa Talabiu Kecamatan Woha, Desa Roi Kecamatan Palibelo, Desa Mpili Kecamatan Donggo dan Desa Rai Oi Kecamatan Sape. Sampai saat ini kelima desa pilot tengah menyelesaikan pembahasan sangsi dan aturan adat secara partisipatif. Semoga nilai-nilai adat yang bersumber dari ajaran islam yang hakiki menjadi sandaran hidup masyarakat kita. Apapun yang telah dilakukan oleh Tim Revitalisasi adalah bagian kecil dari proses panjang mengembalikan identitas diri. Hingga suatu saat dengan kesadaran kita berbisik, dan hanya berbisik Aku Bangga menjadi Orang Bima.

Related Documents

Tulisan Lembaga Adat
October 2019 28
Tulisan
November 2019 43
Tulisan
June 2020 29
Tulisan
October 2019 42
Tulisan
December 2019 34
Adat
December 2019 37

More Documents from ""

Sambutan Oktober 2008
November 2019 19
Press Release Oktober 2008
December 2019 23
Press Release Oktober 2008
December 2019 24
Sambutan Nopember 2008
November 2019 29
Press Release November 2008
December 2019 34