TUGAS USHUL FIQIH TENTANG HUKUM KARAHAH D I S U S U N OLEH KELOMPOK 13 NAMA : MUHAMMAD SENDI VIERI ANUGRAH SARIPUDIN
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah KARAHA secara bahasaTUNTUnan untuk meninggalkan suatu .yang makhruh
B. 1) 2) C. a)
Rumusan masalah Apakah pengertian dari karohah ? Apakah ruang lingkup dari karohah ? Tujuan penulisan Tujuan Umum Tujuan umum makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ushul fiqih yang menerangkan pengertian dan ruang lingkup karohah
b)
Tujuan Khusus Tujuan khusus makalah ini antara lain:
1)
Untuk dapat mengetahui pengertian dari karohah
2)
Untuk dapat mengetahui ruang lingkup karohah
Pengertian dan Pembagian Karahah ( Makruh ) Pengertian Karahah ( Makruh )
Karahah adalah tututan untuk meninggalkan suatu perbuatan, namun tuntutan itu di ungkapkan menjadi redaksi yang tidak memaksa. Meninggalkan perbuatan tersebut tidak di kenai hukuman. Karahah merupakan kebalikan dari nadb. contoh karahah adalah sebagai mana yang dijelaskan dalam hadis yang artinya : “Perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt adalah talak.(H.R.Abu Dawud dari Ibnu Umar:1863 dan Ibnu majah: 2008) Khitab hadis ini disebut karahah. Akibat dari khitab ini disebut makruh. Sedangkan perbuatan yang kenai khitab ini di sebut makruh. Ketentuan hukum karahah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan ibdah.perbedaannya,karahah merupakan perbuatan yang tidak disegani.contoh karahah adalah mengenai Perceraiaan . perbuatan karahah sebaiknya tidak dilakukan karena tidak ada tutunan dan sangat tercelah di hadapan Allah dan rasulullah saw. Pebuatan karahah dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dudukduduk menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna, seperti ngobrol terlalu malam,melihat telepisi sambil tertawa terbahak-bahak,banyak membicarakan hal-hal terkait dengan kesombongan dan ria, membaca buku-buku yang tidak ada gunanya(buku-buku yang menggauirahkan syahwatdan bukubuku yang membawa kemusrikan).
Beranda Nyantri di Al-Badar Pendidikan Amal Usaha Penerimaan Santri 2017 Ajakan Donasi
Home / Ulumuddin / Fiqh / Syakhsiyah / Pengertian dan Pembagian Karahah ( Makruh )
Pengertian dan Pembagian Karahah ( Makruh ) Posted by: redaksi 9 Mei 2013 15,163 Views Pengertian dan Pembagian Karahah ( Makruh )
Pengertian Karahah ( Makruh ) Karahah adalah tututan untuk meninggalkan suatu perbuatan, namun tuntutan itu di ungkapkan menjadi redaksi yang tidak memaksa. Meninggalkan perbuatan tersebut tidak di kenai hukuman. Karahah merupakan kebalikan dari nadb. contoh karahah adalah sebagai mana yang dijelaskan dalam hadis yang artinya : “Perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt adalah talak.(H.R.Abu Dawud dari Ibnu Umar:1863 dan Ibnu majah: 2008) Khitab hadis ini disebut karahah. Akibat dari khitab ini disebut makruh. Sedangkan perbuatan yang kenai khitab ini di sebut makruh. Ketentuan hukum karahah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan ibdah.perbedaannya,karahah merupakan perbuatan yang tidak disegani.contoh karahah adalah mengenai Perceraiaan . perbuatan karahah sebaiknya tidak dilakukan karena tidak ada tutunan dan sangat tercelah di hadapan Allah dan rasulullah saw. Pebuatan karahah dalam kehidupan sehari-hari, yaitu duduk-duduk menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna, seperti ngobrol terlalu malam,melihat telepisi sambil tertawa terbahak-bahak,banyak membicarakan hal-hal terkait dengan kesombongan dan ria, membaca buku-buku yang tidak ada gunanya(buku-buku yang menggauirahkan syahwatdan buku-buku yang membawa kemusrikan).
Pembagian Karahah ( Makruh ) Ulama hanafiyah berpendapat bahwa makruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim Makruh tanzih Makruh tanzih adalah tuntutan syara’ untauk meninggalkan suatu perbuatan lebih baik dari pada mengerjakannya. Tututan syara’ tersebut tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah hanafiayah sama dengan pengertian yang terdapat dilingkungan para jumhur ulama, seperti memakan daging kuda makruh tanzih. Makruh tahrim Makruh tahrim adalah tuntutan syara’ untuk meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang, namun dalil yang melarangnya termasuk dalil znnni, bukan dalil qat’i . dengan kata lain apabila yang melarangnya itu dalil qat’i disebut haram. Apabila yang melarangnya dalil zanni, disebut makruh tahrim. Contoh makruh tahrim adalah laranga memakai pakaian sutra dan perhiasan emas bagi kaum lelaki
LAFAS DARI SEGI SIGHAT TAKLIF A. Latar belakang Masalah Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah alQur’an dan sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa Arab tersebut para ulama
telah
menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam praktik penalaran fikih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antara yang sangat penting dan akan dikemukakan disini. Antara lain tentang Amar, nahi. B.
Lafas dari segi Sighat Taklif Telah ditetapkan bahwa hukum syar’i itu adalah Kitab (titah) Allah, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Kitab dalam bentuk
tuntutan
ada
dua
bentuk
yaitu
tuntutan
yang
mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah (amar) dan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan yang disebut dengan larangan (nahi). 1. Amar
Amar dapat dilihat dari beberapa segi, antara yang satu dengan lainnya saling berkaitan, Hakikatnya, definisinya, ucapan yang digunakan, penunjukkannya.1[1] a.
Hakikat Amar Kata amar banyak terdapat dalam al-Qur’an. Ada yang mengandung arti “ucapan” atau “perkataan”. Contohnya firman Allah dalam surat Thaha ayat 132 “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat”(Qs. Thaha :132) Ada juga kata amar yang tidak mengandung arti ucapan; diantaranya seperti untuk “sesuatu” atau “urusan” atau “perbuatan”. Beberapa arti amar dapat dilihat dalam contohcontoh ayat di bawah ini;
1.
Surat Al-Syura: 38 “urusan
mereka
(diputuskan)
dengan
musyawarat
antara
mereka”(Qs. Al-Syura:38) Amar dalam ayat ini mengandung arti “urusan” 2.
Surat Ali Imran: 159 “Dan
bermusyawaratlah
dengan
mereka
sesuatu”(Qs. Ali-Imron : 159) Amar dalam ayat ini mengandung arti “sesuatu”.
dalam
segala
3.
Surat al-Thalaq: 9 “Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan
adalah
akibat
perbuatan
mereka
kerugian
yang
besar.”(Qs.Al-Thalaq : 9)2[2] Amar dalam ayat ini mengandung arti “perbuatan” Karena adanya beberapa arti dari pemakayan kata Amar, maka menjadi perbincangan dari kalangan ulama tentang untuk apa sebenarnya (Hakikinya) digunakan kata Amar itu. b.
Definisi Amar Dalam setiap kata amar mengandung tiga urusan, yaitu:
Yang mengucapkan kata amar atau yang disuruh Yang dikenai kata amar atau yang disuruh Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu Perbincangan mengenai hal definisi amar ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul dalam merumuskannya: Diantara ulama, termasuk ulama mu’tazilah mensyaratkan bahwa kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak dapat disebut amar, tetapi disebut “doa”, seperti disebutkan dalam al-Qur’an Surat Nuh: 28 ”Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku,”(Qs.Nuh :28)
Sebagian besar ulama, termasuk Qodhi Abu Bakar dan Imam Haramain mendefinisikan amar sebagai berikut: “Suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari yang menyuruh untuk mengerjakan suatu perkataan yang disuruhnya.” c.
Sighat Amar Dikatakan ulama ushul diperbincangan tentang apakah dalam menggambarkan amar (menuntut orang mengerjakan sesuatu) ada ucapan yang dikhususkan untuk itu, sehingga dengan ucapan itu akan diketahui bahwa maksudnya adalah perintah untuk berbuat. Atau untuk amar itu tidak ada kata khusus, tetapi untuk mengerjakan sebagai suruhan tergantung kepada kehendak orang yang menggunakan kata amar itu. Dalam hal ini terdapat perbedaana dikalangan ulama :
1. Banyak ulama ushul fiqh berpendapat bahwa untuk tujuan menyuruh (amar) itu ada ucapan tertentu dalam penggunaan bahasa, sehingga tanpa ada qarinah apapun kita dapat mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah. 2. Abu al-Hasan (dari kalangan ulama mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu tidak dinamakan amar dengan semata melihat kepada lafadnya, tetapi dapat disebut amar, karena ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk melakukan perbuatan itu. 3. Abul Hasan dari kalangan ulama al-Asy’ariah ia berpendapat bahwa amar itu tidak mempunyai sighat tertentu.
d.
Amar dari Segi Dilalah (penunjukan) dan Tuntutannya Setiap lafadz amar menunjuk kepada dan menuntut suatu maksud tertentu. Maksud tersebut dapat diketahui dari sighat lafadz itu sendiri. Berikut adalah diantara bentuk tuntutan dari kata amar: 1. Untuk hukum wajib, artinya lafadz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafadz itu. Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa: 77; no4qx.¢•9$# (#qè?#uäur no4qn=¢Á9$# ó(#qßJŠÏ%r&ur “Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!,”(Qs Annisa : 77) Amar di dalam ayat ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qarinah yang mengarahkannya untuk itu. 2. Untuk hukum nadb atau sunnat, artinya hukum yang timbul dari amar itu adalah nadb, bukan untuk wajib. “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka,”(Qs. Al-Nuur : 33) Lafadz kitabah, yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan yang disuruh dalam ayat tersebut, menimbulkan hukum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu, maka tidak ada ancamannya apa-apa.
1. Nahi
a.
Definisi Nahi Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang “amar” yang menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan
yang
memberikannya,
berlaku
pula
dalam
pembicaraan tentang “nahi” (larangan). Apabila dalam nash syara’ terdapat lafazd khos dalam bentuk larangan, atau bentuk berita yang mengandung pengertian larangan, maka lafadz itu memberi pengertian haram, artinya tuntutan menahan sesuatu yang dilarang dengan pasti. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Baqarah: 221 ..Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. … Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa haram seorang lelaki muslim mengawini wanita musyrik sampai ia beriman. Jadi, definisi Nahi adalah: “Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, tidak menggunakan ‘Tinggalkanlah’, atau yang sejenisnya.” b.
Penunjukan atau tuntutan nabi Nahi itu menuntuk untuk meninggalakan suatu perbuatan dengan kata yang di dahuluui oleh kata larangan, yaitu : latap’al atau sewazan (yang setimbang dengan kata itu). Dalam Al-Quran Nahi yang menggunakan kata larangan itu mengandung beberapa maksud:
1.
Untuk hukum haram Umpamanya Firman Allah dalam Surat Al-Isra’ ayat 33. ª!$# tP§•ym ÓÉL©9$# }§øÿ¨Z9$# (#qè=çFø)s? Ÿwur “Jangan;lah
kamu
membunuh
jiwa
yang
di
haramkan
Allah(membununya)”(Qs. Al-Israa’)
c.
Hakikat Nahi Memang dalam al-Qur’an terdapat beberapa kemungkinan maksud dari larangan. Untuk apa sebenarnya (hakikat) nahi itu dalam pengertian lughawi? Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama, yaitu: 1. Jumhur ulama yang berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah untuk haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkannya. Dalam hal ini Jumhur ulama mengemukakan sebuah kaidah yang populer: “Asal dari larangan adalah untuk hukum haram” 2. Ulama Mu’tazilah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb (sunnat), dan berpendapat bahwa nahi itu menimbulkan hukum karahah (makruh). Berlakunya untuk haram tidak diambil dari larangan itu sendiri tetapi karena ada dalil lain yang memberi petunjuk 3. Hubungan Timbal Balik Antara Amar dan Nahi
Amar tentang sesuatu berarti tuntutan mengerjakan sesuatu itu. Sedangkan nahi atas sesuatu berarti tuntutan menjauhi sesuatu itu. Apabila suatu perbuatan disuruh untuk dikerjakan apakah berarti sama dengan kebalikannya berupa larangan untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain, apakah amar tentang sesuatu sama dengan nahi terhadap lawan sesuatu itu. Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai bentuk lawan dari suatu kata. Bentuk pertama adalah lafadz yang hanya mempunyai satu lawan kata. Bentuk yang seperti ini disebut (alternatif). Umpamanya lawan kata bergerak adalah diam. Bentuk kedua adalah lafadz yang lawan katanya lebih dari satu, disebut (kontradiktif). Umpamanya, lawan kata berdiri adalah duduk, berbaring, jongkok dan sebagainya. 1. Segolongan ulama, diantaranya ulama Hambali, berpendapat bahwa bila datang larangan mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan satu kata, berarti disuruh melakukan lawan kata dari segi artinya. Misalnya, dilarang bergerak berarti disuruh untuk diam. Bila lawan kata dari yang dilarang itu banyak berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan katanya. Mereka mengemukakan alasan bahwa bila dilarang
melakukan
sesuatu
perbuatan
berarti
wajib
meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan cara melakukan salah satu diantara lawan-lawan kata tersebut.
2. Banyak ulama, diantaranya Imam Haramain, al-Ghazali, alNawawi, al-Jufani dan lainnya berpendapat bahwa amar nafsi (tentang sesuatu yang tertentu), baik hukumnya wajib atau nadb bukanlah berarti larangan mengerjakan lawan sesuatu itu dan juga tidak merupakan kebiasaan bagi lawannya baik larangan itu menghasilkan hukum haram/karahah, baik lawan kata itu satu atau lebih dari satu.
kesimpulannya :hendak lah kita lebih menjaga diri kita dari sesuatu yang makhruh . yang mana pada makhruh itu yang akan membawa kita kepada hukum ny menjadi haram
PENUTUP semoga apa yang telah di terangkan tadi bisa bermanfaat bagi kita semua dan berkah amin ... sekian dari kelompok kami kami ucapkan terima kasih ... wassalammualaikum warahmatuallahi wabarakatuh ..