Ushul Fiqh.docx

  • Uploaded by: royhan ismail
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ushul Fiqh.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,329
  • Pages: 8
BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Syariat Islam yang dianut oleh sekitar lebih dari satu milyar umat dewasa ini, berawal dari datangnya Nabi Muhammad Saw, beliau adalah pembawa risalah terakhir dari ajaran Ilahi yang merupakan lanjutan dari risalah yang pernah ada sebelumnya. Risalah Islam yang diwahyukan Tuhan dibawa oleh beliau menjadi petunjuk untuk segenap manusia demi mencapai falah atau keberuntungan dunia dan akhirat. Untuk memahami syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw itu, para ulama ushul fiqih mengemukakan dua pendekatan yaitu melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan melalui pendekatan maqashid al Syariah (Harun Nasution, 1997). Teori yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dari berbagai kasus termasuk persoalan-persoalan yang tidak dijelaskan secara rinci oleh nash Al Quran maupun Hadits, maka sangat dibutuhkan metode-metode seperti Ijma. Islam harus dipeluk secara kaffah oleh umatnya, maka konsekuensinya umat Islam harus mewujudkannya dalam berbagai aspek kehidupan, Karena itu sumber dalam Al Quran, Hadits termasuk Ijma kedudukannya sangat diperlukan sebagai pedoman untuk mencapai falah. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang di maksud dengan ijma’ ? 2. Apakah peran ijma’ dalm konteks hukum syara’ ? C. Tujuan 1. Dapat mengetahui pengertian ijma’. 2. Dapat mengetahui peran –peran ijma’ dalam lingkup hukum syara’.

BAB II PEMBAHASAN A.

Pengertian ijma’ Ijma’ merupakan sumber hukum islam yang berada di posisi ketiga setelah alqur’an dan hadist. Ijma’ jika di tinjau dari segi lughotnya berarti sepakat atau konsensus pengertian tersebut dapat di jumpai dalam al-qur’an surah yusuf, 12:15 yang berbunyi:

َ ‫فَلَ َّما ذَ َهبُواْ بِِۦه َوأ َ ۡج َمعُ ٓواْ أَن يَ ۡجعَلُوهُ فِي‬ ‫ب َوأ َ ۡو َح ۡينَا ٓ ِإلَ ۡي ِه لَتُنَبِئَنَّ ُهم بِأَمۡ ِره ِۡم َٰ َهذَا َو ُه ۡم ََل‬ ِ َ‫غ َٰيَب‬ ِ ِّۚ ‫ت ۡٱل ُج‬ َ‫يَ ۡشعُ ُرون‬

15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi".1 Di redaksi yang lain juga diterangkan ijma’ menurut bahasa memiliki dua pengertian, yakni: Pertama, azm berarti bertekad bulat melakukan sesuatu seperti ucapan : ".‫"أجمع فالن على كذا‬ “ fulan mengazam atas sesuatu”. Dan penertian ini juga dapat di temukan dalam al-qur’an surat yunus, 10:71:

ِ َ‫بَٔٔ ا َٰي‬ ِ َ‫علَ ۡي ُكم َّمق‬ ِ ‫يري‬ ِ‫ت ٱ ََّّلل‬ َ ‫علَ ۡي ِه ۡم نَبَأ َ نُوحٍ إِ ۡذ قَا َل ِلقَ ۡو ِمِۦه َٰيَقَ ۡو ِم إِن َكانَ َكب َُر‬ َ ‫۞وٱ ۡت ُل‬ ِ ‫امي َوت َۡذ ِك‬ َ ۡ ۡ َ َ َ ُ ُ ْ ْ ُ ‫علَ ۡي ُك ۡم‬ ُ ‫ٱَّللِ ت ََو َّكلتُ فَأ ۡج ِمعُ ٓوا أمۡ َر ُك ۡم َو‬ َّ ‫فَ َعلَى‬ ‫ي َو ََل‬ ُ ‫غ َّمٗة ث َّم ٱق‬ َ ‫ش َر َكا ٓ َء ُك ۡم ث َّم ََل يَ ُك ۡۡن أمۡ ُر ُك ۡم‬ َّ َ‫ُض ٓوا ِإل‬ ‫ون‬ ِ ُ‫ت‬ ِ ‫نظ ُر‬ 71. Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.2 Kedua, memiliki makna sepakat "‫"فأجمعوا أمركمز‬ “ karena itu bukan bulatkanlah keputusanmu.” sedangkan Ijma’ secara istilah berarti kesepakatan seluruh mujtahid setelah wafatnya rosulullah S.A.W dalam suatu masa atas urusan apapun.3 Di sebagian redaksi yang lain juga di terangkan bahwa, ijma’ adalah kesepakatan ulama yang

1

Saif al-din al-amidi, op.cit., hal. 101 Al-waraqat, terj. (lirboyo press) hal 140. 3 Syaikh al-islam zakariyya al-ansori, lubbul ushul, terj. (lirboyo press) hal 268. 2

2

ahi berijtihad dari umat muhammad S.A.W atas sebuah masalah baru di suatu masa selain masa hidupnya rosulullah S.A.W.4 sedangkan al-ghazali, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan umat muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan al-ghazali ini lah yang mengqoyyidi ijma’ hanya di lakukan oleh umat muhammad.5 al amidi mengatakn ijma’ haruslah di lakukan dan di di produksi oleh seluruh umat islam, karena suatu pendapat yang terhndar dari kesalahan hanyalah apabila di sepakati oleh seluruh umat.ijma’ menurutnya pula harus terumuskan dengan kesepakatan sekelompok ahl al hall wa al- ‘aqdi dari umat muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari peristiwa. Rumusan ini lah yang menyanggah pendapat imam alghazali bahwasannya ijma’ tidaklah harus di lakukan oleh seluruh umat, akan tetapi cukup dengan sekelompok yang di bebankan yakni ahl hall wa al-‘aqdi yang akan bertanggung jawab langsung terhadap umat, oleh karena itu orang awam tidak di perhitungkan dalam pengambilan keputusan ijma’.6 B.

Rukun dan Syarat Ijma’ Jumhur ulama’ menyatakan bahwasannya rukun-rukun ijma’ itu ada lima, yakni: 1. Yang terlibat dalam pembahasan suatu hukum syara’ melalui prosesi ijma’ adalah seluruh mujtahid. 2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia islam. 3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya. 4. Hukum yang di sepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-qur’an. 5. Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-qur’an dan hadits Rosulullah S.A.W7 Jumhur ulama’ disamping mengemukakan rukum lima tersebut, juga mengemukakan pula syarat-syarat ijma’ yakni: 1. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad. 2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya). 3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

4

Ibid. Abu hamid al-Ghazali, op.cit, jilid I, hal. 110 6 Saifudin al amidi, loc. Cit 7 Wahbah al-Zuhali, op.cit., hal. 491-497 5

3

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

12. C.

Di sebagian redaksi yang lain di terangakan bahwa syarat ijma’ yakni Harus di lakukan oleh mujtahid Pelaku ijma’ adalah orang islam. Ijma’ di lakukan oleh seluruh mujtahid. Terjadi pasca wafatunnabi Pelakunya lebih dari satu mujtahid. Tidak menunggu kematian seluruh peserta ijma’ Ijma’ pun bisa terjadi berasaskan qiyas. Kesepakatan umat pra-islam tidak bisa di jadikan asas hujjah di dalam islam. Ijma’ bisa berupa kesepakatan atas salah satu dari dua pendapat para ulama yang belum baku (istiqrar). Berpedoman pada batas minimal dari beberapa pendapat itu di benarkan selam tidak ada dalil lain. Objek ijma’ bisa berupa urusan agama, seperti zakat atau urusan dunia, seperti bahasa, ijma’ pun bisa di terapkan ada urusan logika, selam kehujjahan ijma’ tidak di dasarkan pada logika, seperti ijma’ terkait keesaan tuhan. Ijma’ harus di dasarkan pada dalil. 8

Kehujjahan ijma’ Menurut mayoritas ulama ijma’ dapat di jadikan pedoman hukum, yang bersandarkan atas firman allah

‫س ِبي ِل ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِيۡنَ نُ َو ِلِۦه َما ت َ َولَّ َٰى َونُصۡ ِل ِهۦ‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫ق‬ َ ‫سو َل ِم ۢۡن َبعۡ ِد َما تَبَيَّۡنَ لَهُ ۡٱل ُهدَ َٰى َويَت َّبِ ۡع غ َۡي َر‬ ِ ِ‫َو َمۡن يُشَاق‬ ‫يرا‬ ً ‫ص‬ ِ ‫سا ٓ َء ۡت َم‬ َ ‫َج َهنَّ َۖ َم َو‬

115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Dapat diambil sisi argumennya dari ayat di atas bahwa allah mengancam orang-orang yang memilih selain jalur yang telah di pilih oleh kaum yang beriman. Yang di maksud dari kaum beriman di sini adalh sesuatu yang telah berhasil mereka sepakati. Sehingga mafhum dari ayat tersebut adalah barang siapa yang tidak megikuti hasil ijma’ adalah haram. Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun ijma’ tepenuhi, ijma’ secara otomatis menjadi hujjah yang qoth’i, wajib untuk mengamalkan dan tidak di perkenankan mengingkarinya, bahkan orang-orang yang telah mengingkarinya di anggap kafir.9 Akan tetapi Ibrahim Ibn Siyar Al-Nazzam (tokoh mu’tazilah), dan ulama pembela khawarij dan syi’ah mengemukakan bahwa ijma’ tidak dapat di jadikan hujjah secara muthlaq. Al-nizam juga mengemukakan ijma’ tidaklah mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan seluruh mujtahid pada suatu masa dari 8 9

Syaikh al-islam zakariyya al-ansori, lubbul ushul, terj. (lirboyo press) hal 270-271 Ibid. Hal 272

4

berbagai belahan dunia islam untuk berkumpul, membahas suatu kasus, dan mengkajinya bersama. 10 sedangkan syi’ah tidak menerima hujjah sebagai dasar hukum di karenakan sang pembuat hukum menurut keyaqinan mereka adalah imam yang terhindar dari dosa (ma’shum) Sedangkan alasan ulama yang menetapkan ijma’ sebagai dasar hukum yang qoth’i yang menempatkan ijma’ berada pada nomer urut tiga setelah al-qur’an dan hadits ialah 1. Firman Allah S.W.T

َّ ْ‫َٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّذِيۡنَ َءا َمنُ ٓواْ أ َ ِطيعُوا‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ ْ‫ٱَّللَ َوأ َ ِطيعُوا‬ ُ‫سو َل َوأ ُ ْو ِلي ۡٱۡلَمۡ ِر ِمن ُك َۡۖم فَإِن ت َ َٰنَزَ ۡعت ُ ۡم فِي ش َۡي ٖء فَ ُردُّوه‬ ً ‫س ُۡن ت َۡأ ِو‬ َّ ‫سو ِل ِإن ُكنت ُ ۡم ت ُ ۡؤ ِمنُونَ ِب‬ َّ ‫ِإلَى‬ ‫يال‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫ٱَّللِ َو‬ َ ‫ر َوأ َ ۡح‬ٞ ‫ٱَّللِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ۡٱۡل ٓ ِخ ِّۚ ِر َٰذَلِكَ خ َۡي‬ 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ( QS. Annisa’ 4:59 ) Lafadz ulil amri di atas bersifaat umum, umumnya mencangkup pemimpin di bidang agama dan di bidang dunia. Sedang kan mufassir terkemuka di kalangan sahabat yakni ibn ‘abbas menafsirkannya dengan ulama’. 2. Hadits Rosulullah S.A.W ‫أمتي َل تجتمع على الخطأ‬ Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah.(H.R. Al Tirmidzi) Sedangkan di sebagian matan yang lain di tuliskan ‫َل تجتمع أمتى على الُضأللٗة‬ Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan. Menurut abdul wahhab khalaf, hadits tersebut menunjukkan bahwa hukum yang di sepakati seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum islam.11 D.

Tingkatan Ijma’ Ijma’ di tinjau dari segi cara kesepakatannya terbagi menjadi dua, yakni: 1. Ijma’ shorih Ijma’ shorih adalh kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan dapat di raih seyelah masing-masing mujtahid memberikan acuan sandaran pendapat masing-masing, terkait problem yang sedang di bahas. Ijma’ seperti ini sangatlah langka terjadi di karenakan terkait tempat dan juga atas pertemuan seluruh mujtahid pada masa tertentu. Akn tetapi apabila ijma’ ini terjadi atau telah di tetapkan maka, hukum yang di hasilkan mempunya kekuatan yang qoth’i. 2. Ijma’ sukuti 10 11

Muhammd abu zahrah, loc. Cit.; ‘ali hasbullah, op. Cit., hal. 112-113 Ibn al-hajib, op.cit., hal. 31; al taftazai, op.cit., jilid II, hal 48

5

Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu rentang masa tentang masalah hukum dan tersebar luas, sedangkan mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti hasil mujtahid yang telah di tentukan. Ijma’ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum hanya sebatas zhanni, Dalam masalah kajian ijma’ sukuti ulama bertentangan pendapat yang menetapkan sebagai hujjah atau tidak, Malikiyyah dan syafi’iyyah berpendapat bahwasannya ijma’ sukuti tidak lah bisa di jadikan hujjah,12 sedangkan hanafiyyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijma’ sukuti sama pangkatnya dengan ijma’ yang sebenarnya dan bersifat qoth’i.13 Alasan hanabilah dan hanafiyah menyatakan tersebut karena, menetapkan kehujjuahannya ijma’ sukuti hanya melalui logika ( dalil akal ). Al amidi, ibn al hajib, dan al karkhi berpendapat bahwasannyaijma’ sukuti tidak bisa di katakan ijma’ seutuhnya, akan tetapi dapat di jadikan hujjah, sedangkan derajat kehujjahannya hanya sebatas zhanni.14 Sedangkan alasan ulama’ yang tidak setuju tentang kehujjahannya ijma’ sukuti yakni karena ijma’ sukuti tersebut merupakan pendapat pribadi yang di sebarluaskan, sedangkan mujtahid yang lain hanya diam saja, sedangkan diamnya mujtahid tidak bisa di anggap sebagai tanda setuju, karena diamnya mereka mungkin juga bisa di sebabkan karena kondisi pribadi dan kondisi lingkungan yang mereka alami. Hal ini sesuai dalam rumusan qoidah fiqih ".‫"َل ينسب للساكت قول‬ “ tidak di anggap bicaranya bagi orang yang diam.”15

E.

Landasan Ijma’ Ulama’ ushul fiqh menyatakn bahwasannya ijma’ hauslah mempunyai dalil pendukung atas landasan dari nash-nash atau qiyas, apabila ijma’ tidak memiliki unsur-unsur tersebut maka ijma’ tersebut tidak lah sah.16 Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat tentang landasan yang bisa di jadikan pedoman dalam penetapan ijma’. Mayoritas ulama menatakan ijma’ haruslah dari dalil-dalil yang nash, yakni al-qur’an, al hadits yang mutawattir serta bisa juga dari hadis ahad serta qiyas. 12

Muhibbullah ibn ‘abdul syakur al-hanafi, op.cit, hal. 41 Ibn amir al-haj, op. Cit., jil III, hal.103 14 Shadr al syari’ah, op. Cit, jil II, hal.183 15 Faroidul bahiyyah fi qowaidul fiqhiyyah, syaikh abu bakar bin abi al-qosim bin ahmad al ahdali terj. Hal 168 16 Al bannani, syarh jamul jawami’, op.cit jilid II hal.186 13

6

Sedangkan ulama’ pemuka zahiriyyah mengataan bahwa landasan ijma’ harus dari dalil qoth’i tidak dari yang zhanni, seperti qiyas dan hadits ahad. Serta ulama’ boleh menentang ijma’ apabila hanya bersandar pada dalil yang zhanni.17 F.

Merusak Ijma’ Telah kia fahami dari gagasan-gagasan di atas bahwa ijma’ merupakan sumber hukum syari’at, yang qoth’i. Maka, apabila merusak ijma’ dengan cara yang tidak mengindahkan adalah hram adanya. Yakni diantaranya, 1. Memunculkan pendapat ketiga Yakni, ketika dalam suatu periode terdapat dua kubu mujtahid yang mukhtslif dalam memandang sudut hukum ( tafshil ) 2. Murtadnya seluruh umat islam 3. Tidak mengerti sesuatu yang tidak harus di mengerti 4. Tidak terbagi menjadi dua golongan.18

BAB III KESIMPULAN

Ijma menurut jumhur ulama adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad Saw pada suatu masa terhadap suatu hukum syara atau hal-hal yang berkaitan dengan persoalan furu’iyah (amaliyah praktis) termasuk masalah ekonomi, militer dan lainnya. Ijma menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al Quran dan Hadits Nabi. Hal ini berarti bahwa ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat 17 18

Ibnu hazm al-andalusi, al ahkam fi ushulil ahkam, jilid IV, hal 515-516 Syaikh al-islam zakariyya al-ansori, lubbul ushul, terj. (lirboyo press) hal.277

7

dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Quran dan Hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Al ghazali, abu hamid, al mankul min ta’liqot al ushul, terjemah al anhori, abu zakariyya, lubbul ushul, terjemah cet. Lirboyo press. al juwaini, abu al ma’ali, al waroqot, terjemah cet. Lirboyo press. haroen, nasrun, ushul fiqih, logos publishing house, cet I 1996.

8

Related Documents

Ushul Fiqh.docx
June 2020 16
Ushul Tsalatsah
December 2019 31
Tsalatsatul Ushul
May 2020 20
Ushul Fiqh
November 2019 36
Ushul-ghazali
June 2020 22
Ushul Iqih.docx
June 2020 27

More Documents from "muhlis"