TUGAS REFRAT KULIAH TERBIMBING
Nama/NPM
:1. Heru Suradinata / 13310167 2. Yogo Prasetya / 13310440
Kelompok
:4
PERANAN GENETIK PADA ASMA
A. PENDAHULUAN Asma dan alergi merupakan kondisi umum dengan penyebab yang heterogen, kompleks dan masih belum diketahui secara jelas mekanismenya. Asma dan penyakit alergi sering terjadi bersamaan pada satu individu atau pada individu yang berbeda dalam satu keluarga. Prevalensi asma dan penyakit alergi beberapa dekade terakhir meningkat di seluruh dunia. Jumlah penderita asma di seluruh dunia berjumlah sekitar 300 juta orang dengan angka kematian sebesar 250.000 setiap tahun dan diperkirakan akan meningkat menjadi 400 juta orang pada tahun 2025. Penyakit alergi sendiri merupakan penyebab morbiditas yang luas, mengganggu sekolah dan produktivitas kerja, menurunkan kualitas hidup serta meningkatkan beban biaya medis dan nonmedis. Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan peningkatan hiperensponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Gejala episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Asma disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan dan genetik yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk dan fenotip yaitu asma alergi, resisten terhadap steroid, asma yang diinduksi oleh pajanan polusi udara, rokok, obesitas, asam asetilsalisilat dan latihan fi sik.2 Inflamasi alergi memiliki karakteristik aktivasi dari sel mast mukosa yang tergantung Ig-E dan infi ltrasi eosinofi l serta peningkatan jumlah sel T helper 2 (Th2).
B. ALERGI Terminologi alergi pertama kali diperkenalkan oleh Clemens von Pirquet pada tahun 1906 yang menemukan reaksi berupa gejala dan tanda yang tidak biasa pada orang-orang tertentu ketika terpajan pada suatu alergen. Namun istilah tersebut kini lebih identik dengan penyakit alergi yang juga dikenal sebagai kelainan atopi. Von Pirquet sendiri menggunakan istilah alergi tidak terbatas untuk respons biologis saja, tetapi juga pada proses imunitas (efek yang menguntungkan) dan penyakit alergi (efek yang merugikan). Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani atopos yang berarti tidak pada tempatnya; sering digunakan untuk menunjukkan kondisi alergi herediter, yaitu rinitis alergi (hay fever), asma, dan dermatitis atopi. Karakteristik atopi adalah ditemukannya IgE sebagai respons terhadap alergen lingkungan secara umum dan uji kulit yang positif.5,6 Penyakit asma, rinitis alergi dan dermatitis alergi yang juga dikenal dengan “trias alergi” memiliki hubungan klinis serta biasanya mempunyai riwayat sejak masa kecil. Beberapa studi longitudinal menunjukkan manifestasi atopi yang sudah dimulai sejak usia kanak-kanak misalnya dermatitis atopi dan alergi makanan yang terjadi saat bayi akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergi pada saat kanak-kanak. Sekitar 30% anak-anak dengan dermatitis atopi akan berkembang menjadi asma di kemudian hari dan hampir 66% akan menjadi rinits alergi. Sebagian besar (sekitar 80%) pasien asma memiliki riwayat rinitis alergi sedangkan sebanyak 1938% pasien rinitis alergi biasanya disertai dengan asma. Peningkatan prevalensi asma alergi diduga berdasarkan teori hygiene hypothesis, yaitu makin berkurangnya pajanan infeksi dan endotoksin di awal kehidupan akibat makin baiknya higiene seseorang dan makin luasnya pemberian vaksinasi serta penggunaan antibiotika sejak dini akan merangsang sistem imun yang mengganggu keseimbangan antara Th1 dan Th2 sehingga terjadi dominasi sel Th2 dibanding sel Th1. Sel Th1 dan Th2 memiliki peran yang berlawanan, yaitu untuk melawan infeksi (Th1) dan pada proses inflamasi alergi (Th2). Faktor lain yang akan memperkuat respons terhadap Th1 adalah anak-anak yang berasal dari keluarga besar (memiliki beberapa saudara kandung) sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit Tuberkulosis (Tb), Campak dan Hepatitis A di antara keluarga, terpajan pada agen infeksius, endotoksin dan hewan di usia dini akan menurunkan risiko terjadinya asma.
C. FAKTOR GENETIK DAN LINGKUNGAN PADA ASMA DAN ALERGI Perkembangan penyakit alergi dan asma merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan seperti pajanan terhadap alergen, infeksi dan polusi udara. Meskipun setiap orang terpajan dengan alergen dan tersensitisasi terhadap zat tertentu di lingkungan sekitar namun manifestasi alergi dan asma hanya terjadi pada beberapa orang saja. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor genetik yang berperan. Gen yang pertama kali diidentifikasi berpengaruh terhadap asma adalah a disintegrin and metalloprotease 33 (ADAM33) yang berperan dalam hiperesponsivitas bronkus dan proses remodeling jalan napas. Polimorfisme pada gen ADAM33 juga dihubungkan dengan proses terjadinya penurunan fungsi paru yang cepat pada populasi umum, penderita asma maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Lebih lanjut juga ditemukan bahwa asma yang dihubungkan dengan polimorfisme nukleutida tunggal pada ADAM33 dapat memprediksi penurunan fungsi paru pada anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ADAM33 sudah ada sejak awal masa kehidupan. Studi epidemiologi juga menunjukkan terdapat hubungan antara pajanan lingkungan dan risiko untuk terjadinya asma dan alergi. Selain faktor risiko genetik dilaporkan juga faktor ras/etnik, jenis kelamin, perokok aktif maupun pasif, mengkonsumsi produk hewani, hewan peliharaan anjing maupun kucing, jumlah anggota keluarga, riwayat perawatan rumah sakit di usia kanakkanak, infeksi pernapasan akibat virus, pajanan mikroba, vaksinasi, pemakaian antibiotik dan antipiretik, cara kelahiran saat bayi, pemberian ASI, polusi udara, obesitas, alergen, dan pajanan di tempat kerja. D. PATOFISIOLOGI INFLAMASI ALERGI PADA ASMA Lebih dari 10.000 liter udara mengalir ke dalam paru setiap hari. Inhalasi gas tersebut mengikut sertakan bakteri, virus, alergen dan bahan iritan yang semuanya dapat menyebabkan cedera pada epitel paru. Epitel yang rusak tersebut pada kondisi normal mampu melakukan perbaikan secara cepat. Sel epitel terkadang dalam proses perbaikan tersebut membutuhkan interaksi dengan fibroblas, jaringan saraf dan matriks ekstraseluler dilamina propria sehingga terjadi reepitelisasi dan reinervasi secara cepat. Interaksi anatomi dan fungsi antara epitel dan sel mesenkim tersebut disebut dengan epithelial-mesenchymal tropic unit (EMTU). Ini menunjukkan bila terdapat defek primer pada asma akibat faktor eksogen spesifik di epitel maka akan secara terus menerus dilepaskan growth factors. Mediator-mediator ini akan bekerja secara
terorganisir dengan sitokin Th2 sehingga menyebabkan gangguan fungsi EMTU yang akhirnya mengakibatkan aktivasi miofibroblas secara permanen. Sekali teraktivasi, miofibroblas akan memperkuat inflamasi yang terjadi dan dimulailah proses remodeling oleh epitel. Berikut ini adalah episode-episode yang khas terjadi pada asma bila terpajan oleh suatu alergen. 1. Fase induksi Proses inflamasi bronkus dan hiperresponsif jalan napas dimulai dari masuknya alergen ke dalam jalan napas. Sebagian besar antigen akan dibersihkan oleh pergerakan mukosiliar. Alergen yang dapat melalui mekanisme pertahanan tersebut akan menembus lapisan epitel dasar dan akan ditangkap oleh antigenpresenting cell (APC) terutama sel dendritik dan makrofag alveolar. Alergen tersebut akan dibawa ke kelenjar limfe dan dipresentasikan ke sel T dan B. Sel Th yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin (IL)-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-12, IL-13, IL18, interferon (IFN)-γ, tumor necrosis factor (TNF)-α, TNF-β dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMCSF). Sitokin yang paling berperan dalam perkembangan asma adalah IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13, sedangkan IL-4 dan IL-13 berperan penting pada produksi IgE. Interleukin -4 dan 13 bersama dengan IL-9 berperan dalam menghasilkan sel mast, produksi mukus yang berlebihan dan hiperesponsivitas jalan napas. Sitokin utama yang menyebabkan akumulasi eosinofi l adalah IL-5. 2. Reaksi asma fase dini Sel mast berperan penting pada reaksi asma fase dini yang menghubungkan IgE dan jalan napas hiperresponsif ditemukan di jaringan penunjang bronkus dan ruang perifer intraalveol dengan melepaskan zat kimia dan jumlah sel mast akan meningkat setelah pajanan alergen. Sel mast terlokalisir di dalam sel otot polos bronkus dan epitel bronkus penderita asma dan akan menginfi ltrasi kelenjar mukus jalan napas. Sel mast sendiri pada manusia dihasilkan dari sel induk pluripoten CD34+ dan bersirkulasi di dalam darah kemudian akan kembali ke jaringan. Saat terjadi serangan asma, jumlah sel mast yang berdegranulasi meningkat. Pajanan berulang terhadap alergen akan menyebabkan terjadinya ikatan silang antara antigen, IgE dan reseptor Fc pada sel mast. Ikatan tersebut menghasilkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan sitokin misalnya TNF-α. Hal ini merupakan penyebab timbulnya
gejalagejala hipersensitivitas tipe cepat seperti rinitis ringan sampai syok anafi laktik.4, Gejala-gejala ini terjadi pada hitungan menit sejak pajanan awal alergen dan mencapai puncak dalam 10-15 menit yang dalam keadaan normal akan membaik dalam 1-3 jam pascapajanan. Proses infl amasi ini pada akhirnya menyebabkan kontraksi otot polos jalan napas, edema dan meningkatnya sekresi mukus sehingga terjadi sumbatan jalan napas serta timbul gejala asma akut seperti hidung tersumbat, bersin, bronkokonstriksi dan kulit kemerahan. Respons fase dini ini akan menginduksi menurunnya VEP1 sebanyak 25%. 3. Reaksi asma fase lanjut Reaksi asma fase dini yang berlangsung sekitar 4-6 jam berikutnya akan diikuti reaksi asma fase lanjut yang lebih berat dan lama. Secara umum sel mast dan mediatormediator yang dilepaskannya akan menginduksi terjadinya konstriksi jalan napas, meningkatnya permeabilitas vaskular, hiperresponsif jalan napas, sekresi mukus dan meningkatkan penarikan sel-sel infl amasi ke dalam jalan napas setelah beberapa jam pajanan alergen terutama eosinofi l selain itu sel T, makrofag, basofi l, neutrofi l serta sel-sel struktural seperti sel epitel, fibroblas, sel endotel dan sel-sel otot polos. Sel-sel inflamasi ini dapat menghasilkan mediator-mediator infl amasi yang sangat banyak seperti kemokin, sitokin dan leukotrien yang berpengaruh baik secara langsung terhadap jalan napas maupun tidak langsung melalui mekanisme neural, peningkatan inflamasi jalan napas kronik setelah pajanan alergen berulang. Hasilnya adalah berupa inflamasi kronik jalan napas yang terus-menerus mengalami cedera hingga akhirnya menimbulkan perubahan struktural jalan napas dan akan tampak beberapa tahun berikutnya berupa penurunan VEP1 sebanyak 75%. Perubahan struktur ini secara keseluruhan disebut sebagai proses remodeling jalan napas.
E. REMODELING JALAN NAPAS Pajanan alergen yang terus menerus atau berulang menyebabkan inflamasi akan menetap dan sel imun innate dan adaptif akan banyak ditemukan di jaringan. Inflamasi yang menetap ini dihubungkan dengan perubahan pada struktur sel di jaringan dan pada banyak kasus terlihat perubahan fungsi dari organ yang sakit tersebut. Penelitian mengenai reaksi fase dini maupun fase lanjut telah banyak dilakukan dengan mudah pada subyek manusia sedangkan penelitian inflamasi alergi kronik yang berakibat
terjadinya proses remodeling jalan napas kebanyakan dilakukan terhadap subjek hewan coba yang mempunyai kelainan alergi yang kesemuanya tidak ada yang menyerupai penyakit pada manusia sehingga belum diketahui secara jelas apa yang terjadi setelah terpajan alergen yang terus menerus dan beragam juga perubahan pada infl amasi jaringan setempat dari reaksi fase dini dan reaksi fase lanjut ke inflamasi alergi kronik. Inflamasi pada pasien asma kronik dapat memengaruhi seluruh lapisan dinding jalan napas dan yang tersering adalah perubahan pada epitel termasuk peningkatan jumlah sel goblet yang memproduksi mukus, peningkatan sitokin dan kemokin sel epitelial, inflamasi pada daerah submukosa termasuk peningkatan terbentuknya endapan matrik ekstrasel di lamina retikularis, perubahan pada fibroblas, peningkatan pembentukan miofibroblas serta peningkatan vaskularisasi dan penebalan lapisan otot polos jalan napas disertai peningkatan ukuran, jumlah dan fungsi sel otot polos. Interaksi kompleks antara epitel jalan napas yang mengalami inflamasi kronik dengan EMTU diduga merupakan yang mengatur terjadinya proses remodeling jalan napas. Proses tersebut meliputi penebalan dinding jalan napas sebagai hasil dari terjadinya fibrosis subepitelial, hiperplasia dan hipertrofi miosit, hiperplasia miofi broblas, hipertrofi epitel serta hiperplasia sel goblet dan kelenjar mukus. Dinding jalan napas menjadi edematosa dan lapisan mukosa dan submukosa akan terinfiltrasi oleh eosinofil dan sel T. Membran basal juga menebal dan terdapat deskuamasi epitel. Miofibroblas diperkirakan berperan penting dalam proses remodeling jalan napas yang diyakini sudah terjadi meskipun pada asma ringan. Penelitian menunjukkan bahwa pengobatan antiinflamasi sejak dini dapat membatasi terjadinya remodeling jalan napas dengan berkurangnya deposit kolagen subepitel dan menurunkan diferensiasi fibroblas menjadi miofi broblas.
F. KESIMPULAN 1. Asma dan alergi menyebabkan peningkatan morbiditas, biaya kesehatan, dan mengganggu produktivitas kerja. 2. Terdapat hubungan antara faktor genetik dan pajanan lingkungan untuk terjadinya asma dan alergi. 3. Proses inflamasi alergi pada asma terdiri dari fase induksi, reaksi asma fase dini, dan reaksi asma fase lanjut. 4. Proses remodeling jalan napas terjadi akibat inflamasi yang terjadi kronik dan berulang serta sudah mulai terjadi pada asma ringan.