Tugas Kuliah Kelompok Hiv.docx

  • Uploaded by: farida
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Kuliah Kelompok Hiv.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,487
  • Pages: 45
MAKALAH SEMINAR MANAGER KASUS ODHA

KELOMPOK III

1. Khanifah Hidayanti

NIM

: G2A218103

2. Imam Budi Yuwono

NIM

: G2A218104

3. Farida Adi Rahayu

NIM

: G2A218107

4. Harini

NIM

: G2A218106

5. Henny Kartikasari

NIM

: G2A218105

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur

kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat-Nya kepada kelompok penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah mengenai management kasus HIV AIDS. Makalah ini disusun dalam rangka pendokumentasian dari aplikasi pembelajaran mata kuliah Sistem Imun dan Hematologi. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada tutor kelompok 11 dalam mata kuliah ini. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang. Pada akhirnya, penyusun mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Temanggung, Desember 2018

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang AIDS (Acquired lmmunodeficiency Sydrome) adalah sindrom atau kumpulan gejala

penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara didunia. Penyakit ini berkembang secara pandemi, menyerang baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang1. Penyakit HIV/AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS sehingga menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis pendidikan, ekonomi dan juga krisis kemanusiaan1. Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV/AIDS yang belum diketahui1. B.

Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan membahas lebih

dalam tentang management kasus pada HIV AIDS (Aqcuired Immune Deficiency Syndrome). Selain itu, makalah ini juga ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah HIV (Human Immunodeficiency Virus).

C.

Rumusan Masalah Kasus : Seorang manajer kasus mendampingi klien HIV / Aids sejak 5 tahun yang lalu, dia mengalami kelelahan dan putus asa karena banyak dari klien tidak patuh berobat, beberapa dari odha pergi menghilangkan jejak, sebagian sudah meninggal dunia, Saat ini manajer kasus tersebut kondisinya sakit, dia khawatir tertular penyakit dari klien dampingannya Diskusi : 1.

Siapa saja orang yang bisa menjadi manajer kasus odha ?

2.

Bagaimana menjadi manajeman yang baik pada klien HIV / Aids ini ?

3.

Apa saja tugas seorang manajer odha ?

4.

Apa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam manajemen kasus HIV/Aids ?

BAB II KONSEP DASAR

A.

Pengerertian HIV/AIDS AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh

menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk dalam famili retroviridae. Penyakit ini ditandai oleh infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV1,2. HIV/AIDS dapat juga dapat berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh dimana proses ini tidak terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun1.

B.

Epidemiologi AIDS Infeksi AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika oleh CDC (Central for Disease

Control) pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual sedangkan pada anak tahun 1983. Di Indonesia kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987 yang menimpa seorang warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya kasus di beberapa provinsi3. Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang menular adalah HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh mencapai masa AIDS. Virus ini terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina, dan bisa menular pula melaui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran penularan 4.

Tidak ada gejala khusus jika seseorang sudah terinfeksi HIV atau dengan kata lain orang yang mengidap HIV tidak bisa dikenali melalui diagnosis gejala tertentu, disamping itu orang yang terinfeksi HIV bisa tidak merasakan sakit. Berbulan-bulan atau tahun seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa menunjukkan gejala klinis yang khas tetapi baru tampak pada tahap AIDS5. Secara epidemiologik yang penting sebagai media perantara virus HIV adalah semen, darah dan cairan vagina atau serviks. Penularan virus HIV secara pasti diketahui melalui hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan hetero-seksual) yang tidak aman, yaitu berganti-ganti pasangan, seperti pada promiskuitas. Penyebaran secara ini merupakan penyebab 90% infeksi baru di seluruh dunia. Penderita penyakit menular seksual terutama ulkus genital, menularkan HIV 30 kali lebih mudah dibandingkan orang yang tidak menderitanya. Parenteral, yaitu melalui suntikan yang tidak steril, misalnya pada pengguna narkotik suntik, pelayanan kesehatan yang tidak memperhatikan sterilitas, mempergunakan produk darah yang tidak bebas HIV, serta petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS secara kurang hati-hati. Perinatal, yaitu dari ibu yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya. Transmisi HIV-I dari ibu ke janin dapat mencapai 30%, sedangkan HIV-2 hanya 10%. Penularan secara ini biasanya terjadi pada akhir kehamilan atau saat persalinan. Bila antigen p24 ibu jumlahnya banyak, dan/ atau jumlah reseptor CD4 kurang dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi. Ternyata HIV masih mungkin ditularkan melalui air susu ibu6,7,8,9. Berdasarkan cara penularan, insidensi tertinggi penularan AIDS melalui hubungan heteroseksual diikuti pengguna narkotika (nafza). Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entree).

Nafza

Heteroseksual Homoseksual Perinatal Tansfusi darah Tidak diketahui

Gambar 2.2.1 Jumlah penderita AIDS berdasarkan Cara Penularan berdasarkan Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810 Pada 10 tahun pertama sejak penderita AIDS pertama ditemukan di Indonesia, peningkatan jumlah kasus AIDS masih rendah. Pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus dan HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel. Pada akhir abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan kedalam kelompok negara dengan epidemi terkonsentrasi. Peningkatan jumlah penderita AIDS di Indonesia tiap tahun ditunjukkan pada gambar 2.2.210.

Gambar 2.2.2 Jumlah Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun Terakhir Berdasarkan Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810

Distibusi umur penderita AIDS pada tahun 2008 memperlihatkan presentasi tertinggi pada golongan umur 20-29 tahun dan penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hal ini dapat dilihat pada grafik 2.2.3.

Gambar 2.2.3 Jumlah Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun Terakhir Berdasarkan Kelompok Umur Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810

Gambar 2.2.4 Jumlah Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun TerakhirBerdasarkan Jenis Kelamin Tahun Pelaporan sd 31 Desember 200810

C.

Etiologi AIDS Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus

(HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. HIV terdiri dari 2 tipe yaitu virus HIV-1 dan HIV-2. Keduanya merupakan virus RNA (Ribonucleic Acid) yang termasuk retrovirus dan lentivirus.11,12,13 Karakteristik HIV12,13 : 

Tidak dapat hidup di luar tubuh manusia



Merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia



Kerusakan sistem kekebalan tubuh menimbulkan kerentanan terhadap infeksi penyakit



Semua orang dapat terinfeksi HIV



Orang dengan HIV + terlihat sehat dan merasa sehat



Orang dengan HIV + tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV



Seorang pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala dapat menularkan kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian infeksi HIV yaitu dengan tes darah.

Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul. Diameternya sekitar 100 nm dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid seperti terlihat pada gambar 2.3.1. Pada permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Retrovirus juga

memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu).14,15,16

Gambar 2.3.1 Struktur virus HIV16

Infeksi HIV terjadi saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120 berupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan maka RNA virus masuk kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan enzim RT. Setelah terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel, DNA HIV disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan baku untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi dengan proses yang disebut budding atau tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan diri dari sel yang terinfeksi. Setelah melepaskan diri, virus baru menjadi matang dengan terpotongnya bahan baku oleh enzim protease dan kemudian dirakit menjadi virus yang siap bekerja. Keseluruhan siklus hidup HIV dapat dilihat pada gambar 2.3.2.17,18,19

Gambar 2.3.2 Siklus hidup HIV19

D.

Patogenesis HIV/AIDS Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk

menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV. Penyakit HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel CD4+ dalam darah.18,19 Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu CCR5 yang berperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel CD4+ melalui kontak langsung antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran

darah dan kemudian menginfeksi organ-organ tubuh. Proses penyebaran HIV dapat dilihat pada gambar 2.3.3.20,21

Gambar 2.4.1 Proses terjadinya infeksi HIV19

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Setelah terjadi penyebaran infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.18,19 Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten

mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum

muncul

manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa

tahun siklus infeksi virus, kematian sel dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.20 Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan r espons imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf pusat. Gambaran jumlah CD+ dalam perjalanan infeksi HIV sampai tahap AIDS dapat dilihat pada gambar 2.4.2.21,22

Gambar 2.4.2 Manifestasi klinik AIDS berdasarkan jumlah CD4+22

Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbedabeda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan perkembangan penyakit bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun.

Perjalanan infeksi HIV dapat dilihat pada gambar 2.3.5.23

Gambar 2.4.3 Manifestasi klinik AIDS2

E.

Diagnosis HIV/AIDS

Dalam menentukan diagnosis HIV positif dapat ditegakkan berdasarkan beberapa hal. Dalam menentukan diagnosis awal dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang pernah diderita yang menunjukkan gejala HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tandatanda infeksi opurtunistik. Selain itu riwayat

pergaulan dapat membantu dalam

menegakkan diagnosa AIDS karena dapat menjadi sumber informasi awal penularan penyakit, hal ini seperti yang terlihat pada tabel 2.5.1.24,25

Tabel 2.5.1 Cara menentukan diagnosis dini infeksi HIV berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik25

Pemeriksaan laboratorium dalam menentukan diagnosis infeksi HIV dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara langsung dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus.25,26 Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA.27,28 Pada pemeriksaan ELISA, hasil test ini positif bila antibodi dalam serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin. Pada minggu 23 masa sakit telah diperoleh basil positif, yang lama-lama akan menjadi negatif oleh karena sebagian besar HIV telah masuk ke dalam tubuh .Interpretasi pemeriksaan ELISA adalah

pada fase pre AIDS basil masih negatif, fase AIDS basil telah positif. Hasil yang semula positif menjadi negatif, menunjukkan prognosis yang tidak baik.27,28,29 Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan infeksi HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB ini. Hasil test yang positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi terhadap komponen tertentu virus.28,29,30 Berdasarkan kriteria WHO, serum dianggap positif antibodi HIV-1 bila 2 envelope pita glikoprotein terlihat pada garis. Serum yang tidak menunjukkan pita-pita tetapi tidak termasuk 2 envelope pita glikoprotein disebut indeterminate. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum dinyatakan negatif. Bila hanya dijumpai 1 pita saja yaitu p24, dapat diartikan hasilnya fase positif atau fase dini AIDS atau infeksi HIV-1.31,32 Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung beberapa minggu disebut antibody negative window period. Pada awal infeksi, antibodi terhadap glikoprotein envelope termasuk gp41 muncul dan menetap seumur hidup. Sebaliknya antibodi antigen inti (p24) yang muncul pada infeksi awal, jumlahnya menurun pada infeksi lanjut. Pada infeksi HIV yang menetap, titer antigen p24 meningkat, dan ini menunjukkan prognosis yang buruk. Penurunan cepat dan konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang buruk.31,32

F.

Stadium Klinis HIV/AIDS WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak

dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat dari gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut :33 Tabel 2.6.1 Stadium klinik HIV/AIDS35 

Clinical Stage 1

 

Asymptomatic Persistent generalized lymphadenopathy



Clinical Stage 2

 

Moderate unexplained weight loss (<10% of presumed or measured body weight) Recurrent respiratory infections (sinusitis, tonsillitis, otitis media, and pharyngitis)



Clinical Stage 3



  

Unexplained severe weight loss (>10% of presumed or measured body weight) Unexplained chronic diarrhea for >1 month Unexplained persistent fever for >1 month (>37.6°C, intermittent or constant) Persistent oral candidiasis (thrush) Oral hairy leukoplakia Pulmonary tuberculosis (current)



Clinical Stage 4



HIV wasting syndrome, as defined by the CDC Pneumocystis pneumonia Recurrent severe bacterial pneumonia Chronic herpes simplex infection (orolabial, genital, or anorectal site for >1 month or visceral herpes at any site) Esophageal candidiasis (or candidiasis of trachea, bronchi, or lungs) Extrapulmonary tuberculosis Kaposi sarcoma Cytomegalovirus infection (retinitis or infection of other organs)

 

  

   

     

Herpes zoster Angular cheilitis Recurrent oral ulceration Papular pruritic eruptions Seborrheic dermatitis Fungal nail infections



Severe presumed bacterial infections (eg, pneumonia, empyema, pyomyositis, bone or joint infection, meningitis, bacteremia) Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis, or periodontitis Unexplained anemia (hemoglobin <8 g/dL) Neutropenia (neutrophils <500 cells/µL) Chronic thrombocytopenia (platelets <50,000 cells/µL)

   

         

Chronic cryptosporidiosis (with diarrhea) Chronic isosporiasis Disseminated mycosis (eg, histoplasmosis, coccidioidomycosis, penicilliosis) Recurrent nontyphoidal Salmonella bacteremia Lymphoma (cerebral or B-cell non-Hodgkin) Invasive cervical carcinoma Atypical disseminated leishmaniasis Symptomatic HIV-associated nephropathy Symptomatic HIV-associated cardiomyopathy Reactivation of American trypanosomiasis (meningoencephalitis or myocarditis)

     

G.

Central nervous system toxoplasmosis HIV encephalopathy Cryptococcosis, extrapulmonary (including meningitis) Disseminated nontuberculosis Mycobacteria infection Progressive multifocal leukoencephalopathy Candida of the trachea, bronchi, or lungs

Penatalaksanaan HIV/AIDS Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu

pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif. a.

Terapi antiretroviral (ARV) Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang.

ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah

ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratoris. Alur pemberian terapi ARV dapat dilihat pada gambar 2.7.1.36,37

Gambar 2.7.1 Langkah-langkah dalam pengobatan infeksi HIV.36 Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnoss AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml. Keadaan untuk memulai terapi ARV ditunjukkan pada tabel 2.7.2.37

Tabel 2.7.1 Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV37 Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini terdiri dari inhibitor dengan

senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI).36,37,38 Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi RNA virus pada DNA host. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan berikatan

langsung

dengan

enzim

reverse

transkriptase

dan

menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine (FTC), Didanosine (ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine.36,37,38 Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV), FosAmprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV).36,37,38 Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan

membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi lini pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog adenosine direkomendasikan untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini pertama dapat juga dengan mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan regimen obat ARV sebagai lini pertama dapat dilihat pada gambar 2.7.2.38 Tabel 2.7.2 Lini pertama pengobatan ARV.38

Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4+ dan atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi apabila terjadi penurunan jumlah CD4+.38 Selain itu terjadinya toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil

pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai.39 Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.39,40 Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.7.2.39,40 Tabel 2.7.3 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV.40

Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua obat lini pertama dengan rejimen lini kedua. Rejimen lini kedua pengganti harus terdiri dari obat yang kuat untuk melawan galur/strain virus. Terapi lini kedua yang direkomendasikan WHO terdiri dari kombinasi 2 regimen obat golongan NRTI dengan regimen obat golongan PI dosis rendah. Ritonavir merupakan pilihan utama golongan PI dalam terapi lini kedua. Golongan NRTI yang menjadi pilihan untuk terapi lini kedua adalah ddI atau TDF. Penambahan golongan

NNRTI dapat digunakan apabila pada terapi lini pertama menggunakan 3 obat golongan NRTI. Pemilihan regimen obat ARV untuk lini kedua dapat dilihat pada gambar 2.8.5.40 Tabel 2.7.4 Terapi lini kedua pengobatan ARV.40

b.

Terapi Infeksi Opportunistik Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan

dengan

infeksi-infeksi

yang

sebetulnya

berasal

dari

mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.41

Tabel 2.7.5 Infeksi Oportunistik pada penderita HIV/AIDS41 System

Examples of Infection/Cancer

Respiratory



Pneumocystis jirovecii Pneumonia (PCP)

system



Tuberculosis (TB)



Kaposi's Sarcoma (KS)

Gastro-intestinal



Cryptosporidiosis

system



Candida



Cytomegolavirus (CMV)



Isosporiasis



Kaposi's Sarcoma

Central/peripheral



Cytomegolavirus

Nervous system



Toxoplasmosis



Cryptococcosis



Non Hodgkin's lymphoma



Varicella Zoster



Herpes simplex



Herpes simplex



Kaposi's sarcoma



Varicella Zoster

Skin

Hampir

65%

penderita

HIV/AIDS

mengalami

komplikasi

pulmonologis dimana pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi M tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi.Alasan terpenting mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahanbahan infeksius maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis, terutama akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama serta bisa terjadi pada semua stadium dengan berbagai manifestasi. 42 Pneumocystis carinii (P. cranii) diklasifikasikan sebagai jamur. P. cranii merupakan penyebab Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) yang merupakan infeksi oportunistik tersering pada infeksi HIV/AIDS.Lebih dari separuh (70-80%) penderita AIDS mendapatkan paling sedikit satu episode PCP pada perjalanan klinis penyakitnya, denganmortalitas berkisar antara 1040%.42 Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di

rawat di rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau gradien arterialalveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis.16,18 Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus primakuin, atovaquone atau trimetrexate plus leucovorin.42,43 Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat beratnya imunosupresi yang terjadi.44 Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (tabel 2.8.6.). Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan.44,45

Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang memetabolisme PI dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan.44,45 Tabel 2.7.4 Rekomendasi untuk memulai terapi TBC pada penderita HIV/AIDS 45 Jumlah sel CD4 (per mm3) < 200

200 -350

Regimen yang dianjurkan

Keterangan

Mulai terapi TBC Mulai ARV segera setelahditerapi TBC dapat ditoleransi (antara 2 minggu-2 bulan) Paduan yang mengandung EFV Mulai terapi TBC

Dianjurkan ARV: EFV adalah kontrainkasi untuk ibu hamil atau perempuan usia subur tanpa kontrasepsi, sehingga EFV dapat diganti

Pertimbangan ARV: Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah fase Intensif :  Paduan yang mengandung EFV  Paduan yang mengandung NVP jika paduan TBC fase

> 350

Mulai terapi TBC

CD4 tidak Mulai terapi TBC memungkinkan untuk diperiksa

lanjutan tidak menggunakan rifampisin Tunda ARV Pertimbangan ARV

. Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.

Penyakit yang

disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.44 Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan.44,45 Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut dan frustrasi penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus.

Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu mempergunakan alatalat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkena bahan/sampah penderita.44,45 H.

Pencegahan Kegiatan pencegahan bagi kemungkinan penyebarluasan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan tujuan: a) Mencegah tertular virus dari pengidap HIV/AIDS. b) Mencegah agar virus HIV tidak tertularkan kepada orang lain Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh virus HIV ini adalah :46,47 1)

Berperilaku seksual secara wajar Risiko tinggi penularan secara seksual adalah para pelaku homoseksual, biseksual dan heteroseksual yang promiskuitas. Penggunaan kondom pada hubungan seks merupakan usaha yang berhasil untuk mencegah penularan; sedangkan spermisida atau vaginal sponge tidak menghambat penularan HIV.

2)

Berperilaku mempergunakan peralatan suntik yang suci hama Penularan melalui peralatan ini banyak terdapat pada golongan muda pengguna narkotik suntik, sehingga rantai penularan harus diwaspadai. Juga penyaringan yang ketat terhadap calon donor darah dapat mengurangipenyebaran HIV melalui transfusi darah(38).

3)

Penularan lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal. Seorang wanita hamil yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada janinnya sebesar 50%.

Untuk mencegah agar virus HIV tidak ditularkan ke orang lain dapat dilakukan dengan cara bimbingan kepada penderita HIV yang berperilaku seksual tidak aman, supaya menjaga diri agar tidak menjadi sumber penularan. Pengguna narkotik suntik yang seropositif agar tidak memberikan peralatan suntiknya kepada orang lain untuk dipakai; donor darah tidak dilakukan lagi oleh penderita seropositif dan wanita yang seropositif lebih aman bila tidak hamil lagi. I.

Konsep Dasar Kepatuhan a.

Pengertian kepatuhan Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditetapkan (Susan. B, 2002). Sackett (1976) mendefinisikan kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Neil Nevin, 2002). Kepatuhan terhadap pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tenaga medis mengenai penyakit dan pengobatannya. Tingkat kepatuhan setiap pasien biasanya digambarkan sebagai presentase jumlah obat yang diminum setiap hariya dan waktu minum dalam jangka waktu tertentu (Osterberg dan Terrence, 2005). Kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas. Kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pengobatan ARV pada pasien HIV. Namun kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidaksepahaman dapat disusul dengan kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan yang menganjurkan perubahan (Sarwono, 2009). Berdasarkan pengertian tentang kepatuhan dapat disimpulkan kepatuhan

dalam

pengobatan

yaitu

sejauh

mana

perilaku

pasien

menggunakan obat yang diminum setiap harinya dan waktu minum dalam

jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang diberikan oleh tenaga medis. b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Menurut Grean (1980) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan antara lain: 1.

Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, pendidikan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai.

2.

Faktor pendukung mencakup tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan dan juga lingkungan.

3.

Faktor pendorong mencakup sikap petugas kesehatan, perilaku petugas kesehatan, perilaku masyarakat.

Kepatuhan pasien terhadap pengobatanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi (Osterberg dan Terrence, 2005; Delamater, 2006; Kocurek, 2009): 1)

Faktor demografi Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah dan tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah terhadap regimen pengobatan.

2)

Faktor psikologi Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan. Sedangkan faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan gangguan makan yang dialami pasien dikaitkan dengan ketidakpatuhan

3)

Faktor sosial Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting dalam pengobatan ARV. Dukungan sosial dapat menurunkan rasa depresi atau stres penderita.

4)

Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi Penyakit kronik yang diderita pasien, regimen obat yang kompleks, dan efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan ketidakpatuhan pada pasien.

5)

Faktor yang berhubungan dengan tenaga kesehatan Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki tenaga kesehatan, seperti dokter menyebabkan penyampaian informasi menjadi kurang sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan pentingnya pengobatan. Keterbatasan tenaga kesehatan, seperti Apoteker waktu dan keahlian yang dimiliki Apoteker juga berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai pengguanaan obat sehingga cenderung meningkatkan ketidakpatuhan pasien.

c.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: 1.

Pemahaman tentang instruksi. Tak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham mengenai instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Splemen (1967) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka.

2.

Kualitas interaksi, antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien.

3.

Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat

berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan serta dapat menentukan tentang program pengobatan yang mereka terima. Part (1976) telah memperhatikan peran keluarga dalam pengembangan kebiasaan kesehatan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka. 4.

Keyakinan, sikap dan kepribadian, hubungan antara professional kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap anjuran pengobatan.

Derajat ketidakpatuhan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: a.

Kompleksitas prosedur pengobatan

b.

Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan.

c.

Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi nasehat dokter.

d.

Apakah penyakit tersebut benar menyakitkan.

e.

Keparahan

penyakit

dipersepsikan

oleh

pasien,

bukan

profesionalisme kesehatan. Dinicola dan dimatteo (1984), mengusulkan lima titik rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan adalah : 1)

Satu syarat untuk semua rencana menumbuhkan kepatuhan adalah mengembangan tujuan kepatuhan

2)

Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu dikembangkan strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi untuk mempertahankan perubahan tersebut.

3)

Pengontrolan perilaku seringkali tidak cukup untuk mengubah perilaku itu sendiri, faktor kognitif juga berperan penting terhadap perubahan perilaku.

4)

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor-faktor

penting dalam kepatuhan terhadap program medis 5)

Dukungan dari profesional kesehatan merupakan dukungan lain yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan

Berdasarkan beberapa teori tersebut dapat ditarik kesimpulan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan meliputi pemahaman interaksi yang baik oleh pasien, hubungan interaksi yang baik antara pasien dan konselor, dukungan sosial dan keyakinan dari orangtua maupun teman dan juga petugas kesehatan. d. Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui dua metode, yaitu (Osterberg dan Terrence, 2005) : 1)

Metode langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengukur viral load dalam darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam. Metode ini umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan terhadap penolakan pasien.

2)

Metode tidak langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan dengan bertanya pada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat dan menghitung tingkat pengambilan kembali resep obat. Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui Pengukuran kepatuhan dilakukan dengan cara menghitung sisa obat sesuai dosis obat yang diberikan pada waktu tertentu, Kepatuhan tinggi adalah : jumlah kombinasi obat ARV kurang dari 0-3 dosis yang tidak

diminum dalam periode 30 hari (≥ 95%). Kepatuhan sedang adalah jumlah kombinasi obat ARV antara 3-12 dosis yang tidak diminum dalam periode 30 hari (80-95%). Kepatuhan rendah, adalah jumlah kombinasi obat ARV lebih dari 12 dosis yang tidak diminum dalam periode 30 hari (<80%) (Depkes, 2007). Berdasarkan pengertian tingkat kepatuhan tersebut maka untuk mengetahui kepatuhan peneliti akan melakukan observasi jumlah sisa obat dan pemeriksaan CD4. e. Metode Meningkatkan Kepatuhan (Osterberg dan Terrence, 2005) 1)

Pemberian edukasi kepada pasien, anggota keluarga atau keduanya mengenai penyakit dan pengobatannya. Edukasi dapat diberikan secara individu maupun kelompok, dan dapat diberikan melalui tulisan, telepon, email atau datang kerumah.

2)

Mengefektifkan jadwal diit, olahraga, dan pendosisan obat melalui penyederhanakan regimen dosis harian, menggunakan kotak pil untuk mengatur jadwal dosis harian, dan menyertakan anggota keluarga berpartisipasi dalam mengingatkan pasien diit, olahraga dan meminum obat.

3)

Meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan

BAB III

FENOMENA KASUS HIV / AIDS DI INDONESIA

Penyebaran HIV/AIDS memang sangat sulit terdeteksi. Data yang di dapatkan saat ini hanya sebagian kecil dari besarnya jumalah orang yang sebenarnya mengidap HIV / AIDS. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes RI melaporkan sejak pertama kali terdeteksi di Indonesia pada 1987, kasus HIV-AIDS secara akumulatif hingga Maret 2018 lalu jumlahnya mencapai 291.129 kasus HIV dan 106.965 kasus AIDS. Kasus-kasus tersebut dilaporkan oleh 421 kabupaten dan kota. Itu berarti 82% dari total 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sementara itu, Badan PBB untuk penanggulangan HIV-AIDS ( UNAIDS ) memperkirakan 620.000 orang mengidap HIV di Indonesia pada 2016. Dari jumlah itu, 13% telah mengikuti terapi ARV (anti retro viral ), yaitu pengobatan untuk menekan perkembangbiakan virus dalam tubuhnya.

Data di atas menunjukkan lebih dari setengah kasus HIV-AIDS di Indonesia belum terdeteksi. Inilah yang dinamakan sebagai fenomena bongkahan es di bawah permukaan laut ( iceberg phenomenon ). Yaitu peningkatan jumlah ODHA yang tajam dan banyaknya kasus HIV/AIDS yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan sesungguhnya adalah kenyataan yang hanya terlihat di permukaan saja. Masih Banyak ODHA yang tidak terdeteksi hingga hari ini.

Fenomena ini juga sekaligus menunjukkan selama ini banyak orang yang tidak sadar dirinya telah terinfeksi HIV. Bahkan, sejumlah laporan menyebutkan banyak orang yang baru mengetahui dirinya telah lama terinfeksi HIV saat diperiksa di rumah sakit akibat sakit-sakitan, mereka terlambat mengetahuinya. Saat sejumlah penyakit menyerang (dikenal sebagai infeksi oportunistik) orang tersebut sudah memasuki fase AIDS di mana pengobatan dan perawatannya harus lebih ketat.

Pentingnya Tes HIV Secara Dini

Tes HIV adalah satu-satunya cara untuk memastikan apakah kita terinfeksi HIV atau tidak. Tes HIV lazimnya dilakukan dengan pemeriksaan darah untuk mencari antibodi terhadap HIV . Sampel darah diambil dengan jarum sekali pakai. Jika menunjukkan hasil “reaktif”, ada kemungkinan kita terinfeksi HIV. Namun tes tersebut perlu diulang lagi dengan cara berbeda untuk memastikan akurasinya. Jika hasilnya sama, dapat disebut “positif”.

Ada banyak manfaat apabila tes HIV dilakukan secara dini. Mereka yang tergolong berisiko tinggi tertular HIV sangat dianjurkan melakukan tes. Apabila mengetahui positif HIV, mereka dapat segera mendapat penanganan medis agar tetap sehat. Selain itu, melalui proses konseling yang baik, diharapkan mereka memiliki kesadaran untuk mencegah penularan HIV ke orang lain.

Pemerintah dan para pegiat HIV-AIDS di Indonesia sendiri telah gencar mengkampanyekan pentingnya tes HIV secara dini. Ini dilakukan terutama bagi kalangan yang berisiko seperti konsumen narkoba suntik, penjaja seks dan pelanggannya, atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.

Bahkan, melihat fakta tingginya ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV, pemerintah melalui Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes RI No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, yang di antaranya menyatakan bahwa tes dan konseling HIV dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan terkonsentrasi, serta ibu hamil dengan keluhan IMS dan tuberculosis di daerah epidemi rendah.

Kampanye promotif untuk meningkatkan kesadaran orang mengikuti tes HIV perlu terus dilakukan. Bagaimana pun, fenomena gunung es HIV-AIDS di Indonesia dan di sejumlah negara lain masih menjadi tantangan.

Berkaitan dengan itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir 2016 mengeluarkan sebuah rekomendasi, dilakukannya HIV Self-Testing atau Tes HIV Mandiri untuk meningkatkan cakupan tes HIV. Hal ini menjadi bagian dari upaya pencapaian target 90-90-90 yang dicanangkan PBB.

Target pertama PBB itu adalah, pada tahun 2020 sebanyak 90 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, 90 persen orang dengan HIV mendapat pengobatan, dan 90 persen orang yang mendapat pengobatan itu mengalami penuruan jumlah virus dalam tubuhnya.

Tes HIV Mandiri diharapkan menjadi cara inovatif untuk mencapai target tersebut. Dikutip dari situs resmi WHO, Tes HIV Mandiri dilakukan oleh individu dengan menggunakan cairan oral atau tetesan darah dari jari tangan untuk mengetahui status infeksi HIV secara pribadi, dalam keadaan nyaman, sendirian atau ditemani orang yang dipercaya. Hasilnya akan diperoleh dalam 20 menit atau kurang. Namun demikian, bagi yang hasil tesnya positif, sangat disarankan untuk melakukan tes konfirmasi pada klinik kesehatan untuk mendapatkan diagnosis yang definitif.

WHO juga mencatat ada 23 negara telah menerapkan kebijakan Tes HIV Mandiri ini dan sejumlah negara lainnya masih dalam tahap pengembangan. Indonesia sendiri tampaknya masih melakukan sejumlah kajian mendalam mengenai hal ini. Cukup beralasan mengingat sebuah kebijakan perlu mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari efektivitas hingga dampak yang mungkin timbul saat kebijakan itu telah diterapkan.

Di sisi lain, sejumlah fakta mengemuka dengan adanya alat tes HIV yang dijual secara “bebas” melalui internet atau farmasi swasta. Dengan mesin pencari di internet, akan mudah kita temui sejumlah toko online menawarkan alat tes HIV ini. Sangat mungkin penjualan informal dan tidak teregulasi semacam ini dapat melibatkan penggunaan produk yang tidak diketahui kualitas, keamanan, dan cara kerjanya.

Namun demikian, sekali lagi kita masih berhadapan dengan banyaknya kasus HIVAIDS yang belum terdeteksi. Rekomendasi dari WHO untuk meningkatkan cakupan tes HIV perlu menjadi pertimbangan penting dalam mengurai fenomena gunung es tersebut. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk menyikapi fenomena ini.

BAB IV PEMBAHASAN KASUS

Kasus : Seorang manajer kasus mendampingi klien HIV / Aids sejak 5 tahun yang lalu, dia mengalami kelelahan dan putus asa karena banyak dari klien tidak patuh berobat, beberapa dari odha pergi menghilangkan jejak, sebagian sudah meninggal dunia, Saat ini manajer kasus tersebut kondisinya sakit, dia khawatir tertular penyakit dari klien dampingannya Diskusi : 1.

Siapa saja orang yang bisa menjadi manajer kasus odha

2.

Bagaimana menjadi manajeman yang baik pada klien HIV / Aids ini ?

3.

Apa saja tugas seorang manajer odha ?

4.

Apa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam manajemen kasus HIV / Aids ?

Jawaban kasus 1.

Manajemen kasus merupakan salah satu metode intervensi yang dilakukan oleh pekerja sosial ditujukan untuk memberikan pelayanan yang komprehensif dalam menangani kebutuhan dan permasalahan ODHA

berkaitan dengan permasalahan

medis dan

psikososial. Manajemen kasus merupakan pelayanan keperawatan yang berkesinambungan yang dilakukan oleh perawat bekerjasama dengan bidang lain diantaranya dokter, psikolog, LSM, pejabat pemerintah, keluarga dan masyarakat untuk membantu dan mendukung orang dengan HIV/AIDS dalam memenuhi kebutuhan biopsikososial dan pelayanan yang diperlukan, rujukan yang sesuai serta perencanaan yang lebih mendukung kualitas hidup ODHA. 2.

Kriteria manager kasus ODHA Merupakan pelayanan keperawatan yang berkesinambungan yang dilakukan oleh perawat bekerjasama dengan bidang lain diantaranya dokter, psikolog, LSM, pejabat pemerintah,

keluarga dan masyarakat untuk membantu dan mendukung orang dengan HIV/AIDS dalam memenuhi kebutuhan biopsikososial dan pelayanan yang diperlukan, rujukan yang sesuai serta perencanaan yang lebih mendukung kualitas hidup ODHA. Bersifat profesional : a.

Bekerja dan peduli pada program penanggulangan HIV/AIDS

b.

Mampu menjaga kerahasiaan odha

c.

Mampu bekerjasama dengan tim perawatan kesehatan

d.

Mampu memfasilitasi akses odha pada perawatan dan dukungan

e.

Mencakupkan penanganan resiko dan pendidikan HIV

Manajemen kasus yang baik kepada pasien HIV / Aids a.

Bersifat ekonomis, mampu memanfaatkan sumber perawatan dan dukungan melalui koordinasi dengan lembaga formal dan informasi.

b.

Mampu melakukan pendekatan individual yang potensial meningkatkan kesadaran odha untuk : Mentaati saran petugas kesehatan secara benar, Mengurangi penyebaran HIV kepada orang lain

c.

Mampu melakukan pendekatan berbasis pemberdayaan yang menghilangkan ketergantungan odha pada lembaga

3.

Tugas seorang manager ODHA Kegiatan Inti Manajer kasus : 1

2

Intake / Penerimaan awal : a.

Membangun hubungan kolaburatif dengan klien

b.

Pengumpulan informasi

c.

Memberi informasi : Persyaratan, batas layanan, hak dan tanggungjawab klien

Asesmen Asesmen risiko penularan mencakup : a.

Upaya mengidentifikasi hambatan bagi klien untuk mengurangi risiko penularan

b.

Upaya pendidikan mengenai penularan HIV dan cara – cara memperkecil risiko

Asesmen kemampuan klien mengikuti perawatan, yaitu : Upaya mengidentifikasi kebutuhan perawatan dan dukungan 3.

Perencanaan Pelayanan Mengidentifikasi dan mendokumentasikan :

4.

a.

Pelayanan yang dibutuhkan klien, Tujuan dan hasil yang ingin dicapai

b.

Langkah – langkah pelayanan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan klien

c.

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan klien

Pengkaitan dan Rujukan a.

Melaksanakan strategi peremcanaan pelayanan dalam rangka

mencapai

kebutuhan klien

5.

b.

Mengkoordinasikan pelayanan dan rujukan – rujukan itu sendiri

c.

Mengadvokasi pelayanan terhadap klien jika dia tidak sanggup mendapatkannya

d.

Mengkoordikasikan dengan manajer kasus lain dengan siapa klien akan bekerja

e.

Membuat perjanjian dan pelaksanaan rujukan kepada lembaga lain

Monitoring dan Evaluasi a.

Memastikan semua kegiatan dilaksanakan sesuai rencana dan sesuai jadwal yang ditentukan

b.

Meyakinkan bahwa klien diakses secara tepat kepada yang dibutuhkan

c.

Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang mungkin diperoleh klien selama memperoleh pelayanan

d.

Menentukan apakah klien masih membutuhkan pelayanan manajemen kasus

e.

Mengakses kembali dan memperbaiki rencana pelayanan supaya selalu tepat

f.

Menyediakan dokumentasi yang tepat

4.

Prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam manajemen kasus HIV / Aids Jadi pada dasarnya yang harus diperhatikan dalam manajemen kasus HIV / aids adalah adanya keterkaitan antara pencegahan, VCT, perawatan, dukungan dan pengobatan

MANAJEMEN KASUS PENCEGAHAN

VCT

PERAWATAN

DUKUNGAN

PENGOBATAN

BAB V DAFTAR PUSTAKA

1.

Antoni, B. (2009). Anti Stigma dan Diskriminasi. Yayasan Lembaga Sabda (YLSA)

2.

Azza, A. (2010). Beban Perempuan Penderita HIV/AIDS dalam prespektif Gender. Jurnal Ners, Volume5 no.2, Oktober 2010.

3.

Dayaningsih, Diana (2009). Studi Fenomenologi pelaksanaan HIV Voluntary Conseling And Testing (VCT) di Rsup DR. Kariyadi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang

4.

Susilo, C. (2006). Efek Penyuluhan Terhadap Perubahan Stigma Masyarakat Tentang HIV/AIDS di Wilayah Puskesmas Situbondo. Journal Insight : Psikologi, Vol1. ISSN : 18584063

Related Documents

Tugas Kuliah
June 2020 19
Tugas Kuliah
October 2019 35
Tugas Kuliah
June 2020 16
Tugas Kuliah
June 2020 13

More Documents from "Yogo Prasetya"