SEJARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRIALISASI DI INDONESIA 1. STRATEGI INDUSTRIALISASI INDONESIA : DARI SUBTITUSI IMPOR HINGGA TEKNOEKONOMI Sejarah perekonomian mencatat adanya beragam strategi industrialisasi yang diterapkan oleh negara-negara dunia. Sebagian negara-negara tersebut berusaha merangsang perekonomian melalui ekspansi perdagangan internasional, penanaman modal asing, bantuan luar negeri, dan imigrasi. Disisi lain, beberapa negara menerapkan strategi subtitusi impor dan membangun perisai untuk melindungi ekonomi domestik dari intervensi dan pegaruh negara asing. Kebijakan yang memberikan akses sebesar-sebasarnya kepada pihak asing untuk memasuki pasar domestik acapkali dikenal dengan kebijakan “melihat ke luar” atau promosi ekspor. Sebaliknya, kebijakan yang membatasi akses pihak asing terhadap pasar domestik dikenal dengan kebijakan “melihat ke dalam” atau subtitusi impor. Kedua jenis kebijakan ini setidaknya harus dikaitkan dengan kebijakan lainya, seperti yang ditampilkan pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Perbedaan Strategi Outward dan Inward Looking Kasus pure outward-looking O1
O2
Perdagangan
dan
kebijakan
ekspansi ekspor Kebijakan ekonomi dalam negeri tipe “terbuka” Kebijakan
O3
bebas
bantuan
pintu luar
terbuka negeri
ke
O5
pintu
imigrasi
terbuka
I2
sektor I3
Kebijakan pintu terbuka terhadap PMA Kebijakan
I1 Kebijakan proteksionis dan subtitusi impor
terhadap
pemerintah O4
Kasus pure inward-looking
terhadap
Kebijakan ekonomi dalam negeri tipe tertutup Ketergantungan terhadap tabungan dalam negeri dan swasembada sumberdaya
I4 Hambatan terhadap PMA I5 Hambatan terhadap imigrasi
Sumber : Mynt (1984) Mynt (1984) menyebutkan adanya strategi “campuran”, yakni kombinasi outward dan inward-looking yang dianut oleh sebagian besar negara-negara Asia Tenggara. Kombinasi pertama terdiri dari strategi I1, I2, I3 dan O3. Adanya startegi O3 dalam kombinasi tersebut sejatinya ditujukan untuk menutupi kekurangan devisa pada tahap awal penerapan strategi subtitusi impor. Startegi jenis ini disebut sebagai import substitution policy mix, yang banyak
digunakan oleh negara Dunia Ketiga. Lebih lanjut, kombinasi kedua yang digagas oleh Mynt (1984) adalah gabungan strategi O1, O2, I3, I4 dan I5. Strategi ini diterapkan oleh Jepang pada masa Meiji. Selanjutnya, untuk Indonesia sendiri, strategi industrialisasi berubah seiring bergantinya kedudukan presiden. Masa orde lama dalam kepemimpinan Soekarno cenderung membentuk perisai atas intervensi asing terhadap pasar domestik. Kebijakan pada masa ini sangat berorientasi ke dalam, melalui dukungan peningkatan kucuran kredit perbankan dan subsidi. Akan tetapi, dalam masa recovery ini, teradapat beberapa masalah fundamental, salah satunya adalah cadangan devisa. Menipisnya cadangan devisa membuat pemerintah harus melakukan kontrol, yang pada akhirnya meyebabkan kelangkaan bahan baku dan suku cadang impor. Memasuki pemerintahan orde baru, kebijakan industrialisasi lebih membuka diri terhadap investasi asing sesuai ketetapan UU No. 1 Tahun 1967.
Pada masa kepemimpinan Soekarno, kebijakan yang diambil pemerintah diarahkan untuk mencapai kemandirian ekonomi. Nasionalisasi perusahaan Belanda telah dijadikan sebagai tugas utama pemerintah guna menegaskan kedaulatan NKRI. Anspach (1969) dan Thee (2004) menyebutkan bahwa sebagai bentuk kedaulatan negara, pemerintah perlu menguasai kendali peredaran uang dan kredit, yang diwujudkan melalui nasionalisasi Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Bertujuan untuk mencapai kemandirian ekonomi, pemerintah Indonesia kala itu mengusung Rencana Urgensi Ekonomi dengan program Benteng sebagai tandingan terhadap kepentingan ekonomi Belanda. Van Zanden dan Daan (2012) menyebutkan bahwa Rencana Urgensi Ekonomi merupakan satu-satunya rencana yang konsisten terhadap Industrialisasi. Dalam kebijakan ini,
pemerintah Indonesia memberikan lisensi impor kepada para pengusaha pribumi guna memupuk modal dan diversifikasi sektor industri. Kendatipun berhasil dalam pengendalian impor, program benteng memberikan beberapa masalah. Para pemegang lisensi menjual lisensinya kepada pengusaha asing, yang kala itu adalah etnik Tionghoa. Tindakan ini pada akhirnya menyebabkan hadirnya para pemburu rente yang mengejar keuntungan jangka pendak.