Tugas Muthia Jamur Entomopatogen (beauveria Bassiana)

  • Uploaded by: Muthia Amalia
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Muthia Jamur Entomopatogen (beauveria Bassiana) as PDF for free.

More details

  • Words: 2,028
  • Pages: 9
TUGAS PENGENDALIAN HAYATI HAMA TUMBUHAN

JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana

MUTHIA AMALIA C 05012621923007

DOSEN PENGAMPU PENGENDALIAN HAYATI HAMA TUMBUHAN

Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU TANAMAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019

JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana B. bassiana merupakan jamur entomopatogen yang dapat menurunkan tingkat persentase serangan pada beberapa serangan serangga hama di padi. B. bassiana ternyata juga efektif dalam mengendalikan serangga hama pada kedelai, seperti hama pengisap polong Riptortus linearis, Nezara viridula, dan Piezodorus hybneri. Serangga R. linearis yang terinfeksi cendawan B. bassiana ditandai dengan kolonisasi miselium berwarna putih, yang terjadi pada 7 hari setelah infeksi. B. bassiana juga efektif mengendalikan hama kutu kebul (Bemisia tabaci) yang terkenal sangat sulit dikendalikan dengan insektisida kimia. Mampu menginfeksi hama kumbang daun Phaedonia inclusa dan Epilachna soyae, yang juga menyerang polong hingga mengelupas dan mampu membunuh hama pada stadia telur karena bersifat ovisidal (ovicidal) (Prayogo, 2017) Beauveria bassiana mampu menurunkan tingkat persentase serangan wereng dan walang sangit di sawah lebak Desa Pemulutan, Pelabuhan Dalam Kabupaten Ogan Ilir (Anggraini et al., 2014). Efek ramuan B. bassiana pada WBC (Wereng Batang Coklat) mengakibatkan kehilangan nafsu makan pada 2 hari pertama dan kematian terjadi pada hari ketiga (Wisuda and Sedjati, 2018). Selain mampu mengendalikan serangan wereng dan walang sangit, B. bassiana juga mampu mengendalikan serangan penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas) (Thalib et al., 2013). Spora B. bassiana akan tampak berwarna putih seperti kapur pada bagian tubuh inang yang berwarna coklat (Shepard, Barrion and Litsinger, 1987). Menurut (Herlinda et al., 2010) jamur entomopatogen B. bassiana ini dapat ditemukan di dataran rendah dan daerah dataran tinggi Sumatera Selatan, namun mereka lebih banyak ditemukan di daerah dataran rendah daripada di dataran tinggi.

Nimfa Nezara viridula instar I dan telur yang mati terinfeksi cendawan B. bassiana pada umur 7 hari setelah inokulasi. Sumber : (Prayogo, 2017) Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae. Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce, Perancis yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian tersebut bukan saja sebagai penemuan penyakit pertama pada serangga, tetapi juga yang pertama untuk binatang.

Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini kemudian diberi nama B. bassiana (Posada and Vega, 2006) Biakan B. bassiana pada medium PDA mempunyai miselia dan konidia berwarna putih. Konidium dihasilkan oleh biakan yang telah bersporulasi yang berbentuk bulat, yang membentuk kumpulan seperti tepung. Konidia diproduksi di atas konidiofor yang berbentuk seperti botol (Elawati, Pujiyanto and Kusdiyantini, 2018). Menurut Kulu et al. (2015), ciri-ciri B. bassiana secara morfologi koloni berwarna putih, tekstur lembut seperti serbuk. Karakter mikroskopis B. bassiana memiliki miselium yang bersekat dan berwarna putih, konidiofor bercabang dan berpola zig-zag. Spora berbentuk bulat, bening (hialin), bersel satu tanpa sekat. Spora muncul dari setiap percabangan konidiofor.

Morfologi B. bassiana. (A) pertumbuhan B. bassiana pada medium PDA inkubasi 5 hari. (B) struktur mikroskopis B. bassiana perbesaran 40x10 (sumber: (Elawati, Pujiyanto and Kusdiyantini, 2018) Pada konidia B. bassiana akan tumbuh suatu tabung yang makin lama makin panjang mirip seuntai benang dan pada suatu waktu benang itu mulai bercabang. Cabangcabang yang timbul selalu akan tumbuh menjauhi hifa utama atau hifa yang pertama (Rahayuningtias and Julyasih, 2010). Cabang-cabang tersebut akan saling bersentuhan. Pada titik sentuh akan terjadi lisis dinding sel (anastomosis) sehingga protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa. Miselium yang terbentuk akan makin banyak dan membentuk suatu koloni (Rashki and Shirvani, 2013) Konidia jamur bersel satu, berbentuk oval agak bulat sampai dengan bulat telur, berwarna hialin dengan diameter 2-3 μm (Ratissa, 2011). Konidia dihasilkan dalam bentuk simpodial dari sel-sel induk yang terhenti pada ujungnya. Pertumbuhan konidia diinisiasi oleh sekumpulan konidia. Setelah itu, spora tumbuh dengan ukuran yang lebih panjang karena akan berfungsi sebagai titik tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya dimulai di bawah konidia berikutnya, setiap saat konidia dihasilkan pada ujung hifa dan dipakai terus, selanjutnya ujungnya akan terus tumbuh (Sahayaraj and Borgio, 2010). Dengan cara seperti ini, rangkaian konidia dihasilkan oleh konidia-konidia muda (rangkaian akropetal), dengan kepala konidia menjadi lebih hifa utama atau hifa yang pertama. Cabang-cabang tersebut

akan saling bersentuhan. Pada titik sentuh akan terjadi lisis dinding sel (anastomosis) sehingga protoplasma akan mengalir ke semua sel hifa. Miselium yang terbentuk akan makin banyak dan membentuk suatu koloni. Konidia menempel pada ujung dan sisi konidiofor atau cabang-cabangnya (Shophiya et al., 2014)

Konidia B. bassiana (pembesaran 400x) (Sumber: (Anwar, 2017) Hifa berukuran lebar 1-2 μm dan berkelompok dalam sekelompok sel-sel konidiogen berukuran 3-6 μm x 3 μm. Selanjutnya, hifa bercabang-cabang dan menghasilkan sel-sel konidiogen kembali dengan bentuk seperti botol, leher kecil, dan panjang ranting dapat mencapai lebih dari 20 μm dan lebar 1 μm (Herlinda, Adam and Thalib, 2006).

Sumber: https://silkpathdb.swu.edu.cn/fungi_bebas_arsef2860 Hifa cendawan entomopatogen B. bassiana berwarna putih kapur seperti kapas. Ulat yang mati disebabkan oleh cendawan jenis ini akan tampak pada integumen luarnya hifahifa yang berwarna putih kapur, apabila setelah dipindahkan ke dalam media PDA dan

tumbuh hifa-hifa jamur yang berwarna putih kapur, maka diduga cendawan tersebut merupakan B. bassiana (Utami and Ambarwati, 2014) Mekanisme Infeksi Jamur Beauveria bassiana B. bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih (Dinas Perkebunan Sumsel, 2017) Mekanisme infeksi cendawan B. bassiana dimulai dari adanya kontak antara konidia cendawan dengan tubuh larva. Kemudian konidia yang menempel pada tubuh larva akan membentuk tabung kecambah (apresorium) dan menghasilkan enzim kitinase untuk menembus kutikula. Selanjutnya, konidia menembus kutikula dan masuk ke dalam haemolimfa. Di dalam haemolimfa cendawan B. bassiana berkembang dan mengeluarkan toksin beauvericin yang akan merusak jaringan tubuh larva sehingga dapat menurunkan aktifitas larva (Mardiana, Salbiah and Hennie, 2015)

Siklus hidup entomopatogen B. bassiana (https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0022201102001477) Mekanisme infeksi dimulai infeksi langsung hifa atau spora B. bassiana ke dalam kutikula melalui kulit luar serangga. Pertumbuhan hifa akan mengeluarkan enzim seperti protease, lipolitik, amilase, dan kitinase. Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis kompleks protein di dalam integument yang menyerang dan menghancurkan kutikula, sehingga hifa tersebut mampu menembus dan masuk serta berkembang di dalam tubuh serangga. Mekanisme infeksi secara mekanik adalah infeksi melalui tekanan yang disebabkan oleh konidium B. bassiana yang tumbuh. Secara mekanik infeksi jamur B. bassiana berawal dari penetrasi miselium pada kutikula lalu berkecambah dan membentuk apresorium, kemudian menyerang epidermis dan hipodermis. Hifa kemudian menyerang jaringan dan hifa berkembang biak di dalam haemolymph (Indriyati, 2009). Pada perkembangannya di dalam tubuh serangga B. bassiana akan mengeluarkan racun yang disebut beauvericin yang menyebabkan terjadinya paralisis pada anggota tubuh serangga.

Seluruh tubuh serangga inang akan penuh oleh propagul B. bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh serangga inang, jamur ini akan menembus keluar dan menampakkan pertumbuhan hifa di bagian luar tubuh serangga inang yang biasa disebut “white bloom”. Pertumbuhan hifa eksternal akan menghasilkan konidia yang bila telah masak akan disebarkan ke lingkungan dan menginfeksi serangga sasaran baru (S. Malarvannan, P. D. Murali, S. P. Shanthakumar, 2010) Pada penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2017), konidia cendawan B. bassiana mulai berkecambah pada hari ke-2 setelah perlakuan. Hal tersebut dapat diketahui dari adanya miselia yang tumbuh pada ruas-ruas tungkai dan antena serangga inang juga pada bagian thoraks serangga inang. Miselia tersebut kemudian tumbuh dan berkembang, sehingga seluruh tubuh serangga inang dipenuhi oleh miselia cendawan B. bassiana. Setelah dilakukan pengamatan konidia dibawah mikroskop, terlihat bahwa cendawan tersebut mempunyai deskripsi yang sesuai dengan B. bassiana yang diaplikasikan, yaitu memiliki ciri konidia yang berbentuk bulat dengan percabangan konidiofor yang berbentuk zig-zag, konidiofor biasanya bergerombol atau melingkar atau sendiri-sendiri, tidak berwarna, serangga yang terinfeksi akan terlihat adanya miselia cendawan berwarna putih, yang menutupi seluruh tubuhnya (Humber 1997). Menurut Ferron (1985) cendawan entomopatogen akan melewati dua siklus yaitu siklus parasit dan siklus saprofit. Siklus parasit dimulai dari penempelan konidia ke tubuh serangga (dalam hal ini aplikasi penyemprotan) sampai dengan serangga mati. Kematian serangga inang diakibatkan oleh kolonisasi cendawan didalam tubuh inang disertai dengan toksikasi oleh racun yang diproduksi oleh cendawan. Cendawan B. bassiana mengeluarkan toksin beauvericin. Dalam percobaan ini, kematian serangga dapat berlangsung dalam 1 hari sesudah perlakuan. Siklus saprofit dimulai sejak kematian serangga sampai kemunculan cendawan di permukaan tubuh inang. Dalam percobaan ini, siklus saprofit dapat teramati mulai hari kedua.

DAFTAR PUSTAKA Anggraini, S. et al. (2014) ‘Serangan Hama Wereng dan Kepik pada Tanaman Padi di Sawah Lebak Sumatera Selatan Attack of Leafhopper and Ladybug Pests to Rice Plant in the Lowland Rice’, Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014, (September), pp. 46–53. Anwar, S. H. A. T. S. R. (2017) ‘Penggunaan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Balsamo) Vuillemin Dan Lecanicillium Lecanii (Zimm) Zare & Gams Untuk Mengendalikan Helopeltis Antonii Sign (Hemiptera: Miridae)’, J. Silvikultur Tropika, 08(3), pp. 197–202. Elawati, N. E., Pujiyanto, S. and Kusdiyantini, E. (2018) ‘Karakteristik Dan Sifat Kinetika Enzim Kitinase Asal Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana’, J Bioteknol Biosains Indones, 5(1), pp. 1–7. Ferron P. 1985. Fungal control. Di dalam: Kerkut GA, Gilbert LI, editor. Comprehensive Insect Physiology Biochemistry and Pharmacology; Volume 12. Oxford (EG): Pergamon Press. hlm 313-346 Herlinda, S. et al. (2010) ‘Identification and Selection of Entomopathogenic Fungi as Biocontrol Agents for Aphis gossypii from South Sumatra’, Microbiology Indonesia, 4(3), pp. 137–142. doi: 10.5454/mi.4.3.7. Herlinda, S., Adam, T. and Thalib, R. (2006) ‘Toksisitas Isolat-Isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Terhadap Nimfa Eurydema pulchrum (Westw.) (Hemiptera: Pentatomidae)’, 2(2), pp. 34–37. Indriyati (2009) ‘Virulensi Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana ( Balsamo ) Vuillemin ( Deuteromycotina : Hyphomycetes ) Terhadap Kutudaun ( Aphis Spp .) Dan Kepik Hijau ( Nezara Viridula )’, HPT Tropika, (2), pp. 92–98. Mardiana, Y., Salbiah, D. L. and Hennie, J. (2015) ‘Penggunaan Beberapa Konsentrasi Beauveria Bassiana Vuillemin Lokal Untuk Mengendalikan Maruca Testulalis Geyer Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)’, JOM Faperta, 2(1). Piter Kulu, I., Latief Abadi, A. and Afandhi, A. (2015) ‘Morphological and Molecular Identification of Beauveria bassiana as Entomopathogen Agent from Central Kalimantan Peatland, Indonesia’, International Journal of ChemTech Research CODEN, 8(4), pp. 2079–2084. Available at: http://sphinxsai.com/2015/ch_vol8_no4/4/(2079-2084)V8N4.pdf. Posada, F. and Vega, F. E. (2006) ‘Inoculation and colonization of coffee seedlings (Coffea arabica L.) with the fungal entomopathogen Beauveria bassiana (Ascomycota:

Hypocreales)’, Mycoscience, 47(5), pp. 284–289. doi: 10.1007/s10267-006-0308-6. Prayogo, Y. (2017) ‘Biopestisida Untuk Pengendalian Hama dan Penyakit Kedelai’, Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, pp. 75–94. Rahayuningtias, S. and Julyasih, K. S. M. (2010) ‘PENGARUH TINGKAT KERAPATAN SPORAJAMUR Bauveria Bassiana (Bals) Vuill TERHADAP MORTALITAS IMAGO WERENG COKLAT (Nilaparvata lugens Stal) DI LABORATORIUM1)’, Seminar Nasional HPTI, (April), pp. 87–90. Rashki, M. and Shirvani, A. (2013) ‘The effect of entomopathogenic fungus, beauveria bassiana on life table parameters and behavioural response of aphis gossypii’, Bulletin of Insectology, 66(1), pp. 85–91. Ratissa, D. A. (2011) ‘Keefektifan Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana ( Bals .) Vuill Terhadap C Ylas Formicarius ( F .) ( Coleoptera : Brentidae ) Dan Pengaruhnya Pada Keperidian’, Biology and Control of Urban Pest, 12(1), pp. 55– 57. S. Malarvannan, P. D. Murali, S. P. Shanthakumar, V. R. P. and S. N. (2010) ‘Laboratory evaluation of the entomopathogenic fungi , Beauveria bassiana against the Tobacco caterpillar , Spodoptera litura Fabricius ( Noctuidae : Laboratory evaluation of the entomopathogenic fungi , Beauveria bassiana against the Tobacco caterpillar ’, Journal of Biopesticides, 3(1), pp. 126–131. Sahayaraj, K. and Borgio, J. F. (2010) ‘Virulence of Enthomopatogenic Fungus Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin on Seven Inesect Pest’, Indian J, Agric, 44(3), pp. 195–200. Shepard, B. M., Barrion, A. T. and Litsinger, J. A. (1987) Helpful insects, spiders, and pathogens. Shophiya, J. N. et al. (2014) ‘BIOCONTROL POTENTIAL OF ENTOMOPATHOGENIC FUNGUS BEAUVERIA BASSIANA ( BALSAMO ) AGAINST PERICALLIA RICINI ( FAB .) ( LEPIDOPTERA : ARCTIIDAE ) LARVAE pumpkin’, 2(3), pp. 813–824. Sumsel, D. P. (2017) Agens Pengendali Hayati Beauveria bassiana untuk pengendalian Hama PBKo Pada Tanaman Kopi, http://disbun.sumselprov.go.id/agenspengendali-hayati-beauveria-bassiana-untuk-pengendalian-hama-pbko-padatanaman-kopi/. Thalib, R. et al. (2013) ‘Metarhizium Anisopliae Asal Tanah Lebak Dan Pasang Surut Sumatera Selatan Untuk Agens Hayati’, J. HPT Tropika, 13(1), pp. 10–18. Available at: file:///C:/Users/User/Downloads/794-2422-1-PB.pdf.

Utami, R. S. and Ambarwati, R. (2014) ‘Eksplorasi dan Karakterisasi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana dari Kabupaten Malang dan Magetan Exploration and Characterization of Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana from Malang and Magetan Regency’, LenteraBio, 3(1), pp. 59–66. Wisuda, N. L. and Sedjati, S. (2018) ‘Keragaan Sumber Kitin untuk Mempertahankan Virulensi Beauveria bassiana (Bals.), Jamur Pengendali Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal.)’, Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 22(2), p. 143. doi: 10.22146/jpti.28158.

Related Documents

Beauveria
November 2019 6
Jamur
June 2020 24
Jamur
May 2020 15
Jamur
June 2020 17
Jamur
October 2019 27

More Documents from "Oxy Asria"