TUGAS MAKALAH HUKUM JAMINAN
Kedudukan Hukum Jaminan Di Dalam Hukum Positif Indonesia
Nama
: Bayu Miantoro
NPM
: 8051801006
Prodi
: Magister Hukum
Dosen : Dr. Debiana S. Sudradjat, SH, M.Kn
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan makalah tentang Kedudukan Hukum Jaminan Dalam Hukum Positif di Indonesia. Makalah ini diajukan guna memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Jaminan. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik serta saran yang sekiranya bersifat membangun sangat saya harapkan demi sempurnya makalah ini. Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Bandung, Februari 2019 Penyusun
2
DAFTAR ISI Halaman Judul .......................................................................................... 1 Kata Pengantar ......................................................................................... 2 Daftar Isi ................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang .......................................................................................... 4 Rumusan Masalah .................................................................................... 5 Tujuan Makalah ........................................................................................ 5 Manfaat Makalah ...................................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 6 BAB III PEMBAHASAN Pembahasan dan Analisis ...................................................................... 19 BAB IV PENUTUP Penutup .................................................................................................. 25 Daftar Pustaka ........................................................................................ 26
3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam. Dalam hal kehidupan bermasyarakat, upaya manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan salah satunya dapat diwujudkan dalam suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yakni perikatan itu bersumber pada undang-undang atau perjanjian. Maksudnya para pihak dengan
sengaja
dan
disadari
sepenuhnya
berusaha
untuk
sepakat
mengikatkan diri dengan pihak lain, maka lahirlah perjanjian yang mengikat kedua belah pihak tersebut. Tentunya dalam rangkaian janji-janji itu terangkum hak dan kewajiban masing-masing pihak dan janji-janji tersebut harus ditepati. Manakala diantara mereka ada yang ingkar janji tentu menimbulkan kerugian bagi pihak lain yang mengadakan perjanjian. Untuk menjamin dipenuhinya kewajiban yang timbul dari suatu perikatan hukum diperlukan adanya suatu jaminan yang dapat dinilai dengan uang. Aturan hukum telah menyediakan sarananya yaitu seperti yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan Hukum Jaminan yang dapat dicermati dalam KUH Perdata. Jaminan secara hukum mempunyai fungsi untuk mengcover utang, karena itu jaminan merupakan sarana perlindungan bagi para Kreditor/pemberi pinjaman/pengguna jasa/penerima jaminan, yaitu kepastian akan pelunasan utang atau suatu prestasi dari Debitor/peminjam/penyedia jasa/penjamin. Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan timbul dari
4
perjanjian yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi Kreditor atas pelunasan utang atau pelaksanaan suatu prestasi sebagaimana telah diperjanjikan oleh Debitor atau pihak ketiga.
B. RUMUSAN MASALAH Adapun masalah-masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan hukum jaminan di dalam hukum perdata di Indonesia? 2. Apa sajakah prinsip-prinsip yang menjadi dasar hukum jaminan?
C. TUJUAN MAKALAH Makalah ini dibuat untuk menerangkan bagaimana kedudukan hukum jaminan di dalam hukum positif di Indonesia.
D. MANFAAT MAKALAH 1. Dapat mengetahui secara lebih jelas tentang hukum jaminan di Indonesia; 2. Dapat mengetahui kedudukan hukum jaminan di dalam hukum positif di Indonesia.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Jaminan Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa zekerbeid atau cautie. Zekerbeid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditor menjamin sepenuhnya tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitor terhadap barang-barangnya. Di dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1997, disimpulkan bahwa pengertian Jaminan adalah “menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum”. Sedangkan pengertian Hukum Jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi. Pengertian hukum jaminan dari berbagai pendapat para ahli: 1. Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan Hukum jaminan adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan bendabenda yang dibelinya sebagai jaminan .Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan dating. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan. 2. J Satrio Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminanjaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor. Definisi ini difokuskan
6
pada pengaturan pada hak-hak kreditor semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata,tetapi juga erat kaitannya dengan debitor. 3. Salim H.S Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit. 4. Prof. M. Ali Mansyur Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditor dan debitor yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit. Dari pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan. Berdasarkan pengertian diatas, unsur-unsur yang terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut: a. Adanya kaidah hukum. Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis; b. Adanya penerima dan pemberi jaminan. Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan (debitur). Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan (orang atau badan hukum). Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan non bank; c. Adanya jaminan. Jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan immateriil. Jaminan materiil adalah jaminan berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan jaminan atas benda-benda tidak bergerak. Jaminan immateriil merupakan jaminan non kebendaan;
7
d. Adanya fasilitas kredit. Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. B. Sejarah Hukum Jaminan di Indonesia Keadaan lembaga jaminan di Indonesia setelah Perang Dunia II mengalami
perkembangan
yang
lamban,
dalam
arti
tidak
terjadi
pembaharuan hukum ataupun pengaturan-pengaturan yang baru mengenai lembaga jaminan yang telah lama dikenal sejak berlakunya Kitab Undangundang Hukum Perdata , juga tidak terjadi pengaturan hukum mengenai lembaga jaminan yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan telah lama diakui oleh Yurisprudensi, misalnya lembaga jaminan fidusia, lembaga sewa beli,dan seterusnya.1 Jaminan
kebendaan
benda
bergerak
diikat
dengan
hak
gadai
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata pada Buku Kedua Bab XX pasal 1150 sampai dengan pasal 1161. Adapun obyek hak gadai adalah benda atau barang bergerak baik bertubuh/ berwujud / berbentuk (lichamelijke zaken ) maupun tidak bertubuh/ berwujud/ berbentuk (onlichamelijke zaken). Setelah berlakunya Undang- undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria , hak - hak adat yang bersifat bertentangan dengan ketentuan- ketentuan undang- undang tersebut tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur . Contohnya adalah hak gadai yang disebut dalam pasal 53 jo pasal 52 ayat(2) daan ayat (3) Undangundang Pokok Agraria yang menentukan , bahwa hak gadai sebagai hak yang bersifat sementara diatur untuk membatasi sifat- sifatnya yang bertentangan dengan Undang - undang Pokok Agraria dan hak gadai itu
1
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia Di Dalam Praktek Pelaksanaannya Di Indonesia, ,Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1987, hlm. 3
8
diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat , karena didaalam hak gadai ada unsur- unsurnya yang bersifat pemerasan.2 Jaminan kebendaan hak hipotik pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata Buku Kedua ,yaitu pasal 1162 sampai dengan pasal 1170, pasal 1173 sampai dengan pasal 1185, pasal 1189 sampai dengan pasal 1194 dan pasaal 1198 sampai dengan pasal 1232. Pasal pasal lainnya yang mengatur hipotik sejak semula belum pernah berlaku. Hipotik adalah suatu lembaga jaminan yang diperuntukan bagi khusus tanah yyang tunduk pada hukum barat , sedangkan jaminan yang sama bagi tanah- tanah Indonesia telah dikeluarkan S. 1908-542 jo S. 1909- 586, yaitu Regeling betreffede het creditverband yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1910 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan S.1917 - 497 jo S. 1917 -645, S. 1925-434, S.1939-287, S. 1931-168 jo S. 1931- 423, S. 1937190 jo S. 1931-191, S. 1938- 373 jo S. 1938-264, menurut peraturan mana terhadap tanah - tanah hak milik Indonesia dapat dijaminkan dengan credietverband. (Abdurrahman 1979 :173) Sejak tahun 1960 telah terjadi perubahan mendasar terhadap Kitab Undang- undang Hukum Perdata Indonesia., dengan disahkannya Undang- undang Pokok Agraria yang bermaksud mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional . Perubahan yang besar terlihat pada Buku Kedua Kitab Undang -undang Hukum Perdata , dalam diktum Undang- undang Pokok Agraria memutuskan Buku Kedua KUH Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya , kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang Pokok Agraria dinyatakan tidak berlaku. Undang- undang Pokok Agraria dalam hubungan dengan lembaga hak jaminan menggariskan sebagai berikut : a. Mencabut Buku Kedua Kitab Undang- undang Hukum Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan- ketentuan mengenai
2
Rachmadi Usman, Pasal- pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan , Jakarta, 2007, hlm.5
9
hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang- undang Pokok Agraria. b. Undang- undang Pokok Agraria menentukan adanya lembaga hak jaminan atas tanah yang diberi nama dengan sebutan "hak tanggungan", yang untuk selanjutnya akan diatur tersendiri, yaitu dengan Undang -undang Hak Tanggungan (pasal 51). c. Adapun hak- hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan tersebut adalah hak milik, hak guna usaha,dan hak guna bangunan sebagaimana tersebut dalam pasal-pasal 25,33 dan 39 Undang- undang Pokok Agraria. d. Selama Undang-undang Hak Tanggungan yang dimaksud belum terbentuk maka untuk sementara yang berlaku adalah ketentuanketentuan mengenai hipotik tersebut dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937- 190 (pasal 57). Credietverband merupakan suatu lembaga jaminan yang diciptakan untuk memberikan kesempatan kepada golongan pribumi untuk dapat memperoleh kredit dari lembaga - lembaga perbankan , dengan jaminan hak- hak atas tanah yang bukan merupakan hak- hak yang dikenal dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata yaitu hak- hak atas tanah menurut hukum adat yang mereka punyai. Karena hipotik hanya dapat diterapkan pada hak- hak atas tanah yang dikenal dalam Burgerlijk Wetboek.3 Oleh karena itu pemerintah Hindia Belanda memandang perlu menciptakan lembaga hukum jaminan atas hak atas tanah dengan jalan mereduksi lembaga dan ketentuan - ketentuan mengenai hipotik. Hak jaminan yang lain adalah fidusia (fiduciare-eigendomsoverdracht), yang diciptakan melalui Yurisprudensi. Fidusia adalah hak jaminan berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan utang. Jadi fidusia pada hakekatnya adalah penyerahan hak milik atas suatu benda kepada kreditor dengan perjanjian bahwa penyerahan tersebut hanya untuk menjamin atas pembayaran kembali uang pinjaman . Debitor dan Kreditor saling percaya bahwa penyerahan 3
J. Satrio, Hukum Jaminan , Hak- hak Jaminan Kebendaan , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
10
benda tersebut hanya untuk jaminan .Subekti mengemukakan , bahwa begitu sukarnya memperjuangkan kedudukan fidusia sebagai hak kebendaan ,disebabkan karena dalam hukum perdata sudah lama dianut suatu sistem, bahwa hak kebendaan itu terbatas jumlahnya dan hanya dapat diciptakan oleh peraturan undang-undang. Pada awalnya dianggap sebagai gadai yang gelap (klandestio), tetapi karena kebutuhan masyarakat yang begitu mendesak akan adanya suatu bentuk jaminan barang bergerak yang tetap dapat dikuasai oleh si berutang , yaitu barang-barang yang diperlukan untuk menjalankan usaha , maka akhirnya fidusia ini diberikan legalitas.4 Untuk melaksanakan amanat Undang-undang Pokok Agraria maka pada tanggal 9 April 1996 telah disahkan Undang- undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Dengan demikian maka ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dan credietverband dalam Buku Kedua Kitab Undang -undang Hukum Perdata dan S. 1908-542 serta perubahannya dinyatakan tidak berlaku. Demikian juga dengan lembaga jaminan fidusia telah diatur dalam Undangundang No. 42 Tahun 1999.
C. Sumber Pengaturan Hukum Jaminan Istilah sumber hukum dapat dipergunakan dalam tiga pengertian berbeda yang satu dengan yang lainnya, meskipun sebenarnya antara pengertian yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat, bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni: a. Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum pisitif, wujudnya dalam bentuk yang konkret, yakni berupa keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan. b. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukan aturan dan ketentuan hukum positif merupakan pula yang penting bagi setiap orang yang ingin mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu tempat pada waktu tertentu.
4
Subekti, R, Jaminan - jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 66
11
c. Sumber hukum dalam artian ketiga, yakni hal-hal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang didalam nanti
akan
menentukan
isi
hukum
positifnya,
juga
harus
memperhatikan faktor-faktor politis, agama, hubungan internasional dan lain-lainnya (Joeniarto, 1987: 1 dan seterusnya). Pengertian sumber hukum jaminan disini, yakni tempat ditemukannya aturan dan ketentuan hukum serta perundang-undangan (tertulis) yang mengatur mengenai jaminan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jaminan. Aturan dan ketentuan hukum dan perundang-undangan jaminan yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu ketentuan jaminan yang sedang berlaku pada saat ini. Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan jaminan, dapat ditemukan dalam: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Ketentuan dalam Pasal-Pasal Buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam Pasal-Pasal KUH Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai dan hipotek. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata. Selain mengatur hak jaminan kebendaa, dalam KUH Perdata diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggulangan utang (borghtocth) dan
perikatan
tanggung
menanggung.
Jaminan
hak
perseorangan ini tidak diatur dalam Buku II KUH Perdata, melainkan diatur dalam Buku KUH Perdata, yaitu pada Title Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari pasal 1820 sampai dengan p asal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur mngenaipengertian dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara
12
debitur (yang berhutang) dan penjamin (penanggung) utang serta antara para penjamin utang dan hapusnya penanggungan utang. Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam KUH Perdata tidak hanya bersumber kepada Buku II, melainkan bersumber pada Buku III, yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan hak jaminan perseorangan. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang) KUH Dagang merupakan terjemahan dari wetboek van koophandel sebagaimana termuat dalam staatsblad 1847 nomor 23, yang semua di peruntukan bagi golongan penduduk Eropa, yang kemudian seluruhnya juga di berlakukan kepada golongan penduduk Tionghoa dan Timur Asing lainnya dan bahkan diberlakukan kepada golongan penduduk pribumi. Pada dasarnya KUH Dagang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan hukum perdata khusus, yang terdiri atas 2 (dua) buku, yaitu buku I tentang dagang pada umunya dan buku II tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pelayaran, lazimnya mengatur mengenai hukum pengangkutan laut. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Secara khusus ketentuan mengenai hypotheek dan peraturan credietverband tetap dinyatakan masih berlaku sampai dengan diaturnya lembaga hak jaminan atas tanah yang baru. Sesuai dengan tujuan pokoknya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bukan saja mencabut ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku II KUH Perdata, juga mencabut beberapa ketentuan colonial lainnya sepanjang yang mengatur bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berkaitan dengan hukum jaminan, dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti lembaga Hipotek (Hypotheek) dan credietverband, yang akan diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri. Namun selama belum ada Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan tersebut sesuai yang dikehendaki oleh Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
13
1960, maka berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa dalam kurun waktu tersebut masih diberlakukan ketentuan hipotek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan ketentuan
credietverband
dalam
Staatsblad
1908
Nomor
542
sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, sepanjang hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Oleh karena itu, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengertian hipotek dan credietverband disini hendaknya diartikan sebagai “Hak Tanggungan” yang pengertiannya sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190. 4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dengan ketentuan dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa: “Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai credietverband sepenuhnya tidak diperlukan lagi. Sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang tidak berlaku lagi hanya yang menyangkut pembebasan hypotheek atas Hak atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah”. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 UndangUndang
Nomor
4
Tahun
1996
dengan
dihubungkan
dengan
penjelasannya, maka dapat disimpulkan: a. Dengan sendirinya ketentuan-ketentuan mengenai credietverband seluruhnya tidak berlaku lagi; b. Ketentuan-ketentuan
mengenai
hypotheek
sepanjang
yang
menyangkut pembebanan hipotek hak atas Tanah dengan bendabenda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi, sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang menyengkut pembebanan hipotek atas benda-benda lainnya yang bukan hak atas beserta
14
dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, masih tetap berlaku sebagaimana adanya sampai dengan diperbaruinya (Buku II) KUH Perdata tersebut. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak memerlukan terlalu banyak peraturan pelaksanaannya sebagai tindak lanjutnya. Hal-hal yang perlu ditindak lanjuti sebagaimana diperintahkan secara oleh UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996, meliputi: a. Dalam bentuk peraturan perundang-undangan i. Ketentuan tentang penentuan batas waktu berlaukunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk jenis kredit tertentu (pasal 15 ayat (5)). ii. Ketentuan tentang penyesuaian buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 24 ayat (2)). iii. Ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, sepanjang tidak ditentukan lain Undangundang Nomor 4 Tahun 1996. b. Dalam bentuk Peraturan Pemerintah i. Ketentuan tentang pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Milik (Pasal 4 ayat(3)). ii. Ketentuan tentang sanksi administrative pelanggaran atau kelalaian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris dalam memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Dengan demikian, setelah lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, keseluruhan ketentuan mengenai lembaga Hak Jaminan Hak Tanggungan diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri diluar KUH Perdata. Sejak saat itu tidak lagi berlangsung dualism Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan hipotek dan lainnya Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan credietverband, sehingga terciptalah unifikasi hukum lembaga Hak Jaminan atas hak atas tanah, sesuai dengan tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berkeinginan menciptakan unifikasi hukum pertanahan (tanah) nasional. 5. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
15
Pada tanggal 30 september 1999, pemerintah telah mensahkan dan sekaligus mengundang suatu Undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia, yakni dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia. Dari konsiderans menimbang undang-undang 42 Tahun 1999 tersebut,
kita
dapat
mengetahui
falsafah
yang
melatarbelakangi
kelahirannya yang berisikan konstatering fakta-fakta secara singkat serta alas an-alasan dan pertimbangan-pertimbangan perlunya membentuk undang-undang tentang jaminan fidusia. Setidaknya memuat tiga pertimbangan, yaitu: 1) Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang “jelas” dan “lengkap” yang mengatur mengenai fidusia; 2) Bahwa jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada “yurisprudensi” dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara ”lengkap” dan “komprehensif”. 3) Bahwa
untuk
”memenuhi
kebutuhan
hukum”
yang
dapat
melebihimemacu pembangunan nasional dan untuk “menjamin kepastian hukum” serta mampu “memberikan perlindungan hukum” bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang “lengkap” mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut “perlu didaftarkan” pada kantor pendaftaran fidusia. Dengan demikian, kelahiran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dalam penggunaan fidusia dan menampung kebutuhan hukum bagi dunia usaha terhadap pendanaan pembangunan ekonomi yang sebagian besar diperolehnya melalui kegiatan pinjam meminjam atau kredit. 6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 telah diadakan ketentuan “penghubung” antara peraturan yang memuat pengaturan lembaga hak jaminan atas hak atas tanah dengan ketentuan dalam pasalpasal undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Sehubungan dengan itu,
16
ketentuan dalam pasal 27 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan: “Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”. Adapun penjelasan atas pasal 27 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan: “Dengan ketentuan ini Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang didirikan atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara”. 7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman Dalam perspektif Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 memberikan kemungkinan pembebanan pemilikan rumah dijadikan sebagai jaminan utang secara terpisah dengan hak atas tanahnya. Hal ini ditentukan dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 yang bunyinya: 1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang. 2) a. pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta autentik yang dibuat oleh notaries sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Dalam rangkaian kelahiran Undang-Undang Penerbangan Nasional, pemerintah juga telah merakit suatu ketentuan untuk memberikan kemungkinan dibebaninya sebuah pesawat udara dengan hak jaminan, seperti tampak pada pasal 12 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Ketentuan dalam pasal undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 memberikan kemungkinan pembebanan pesawat udara dijadikan sebagai jaminan utang dengan menggunakan hipotek. Pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 menyatakan:
17
1) Pesawat terbang dan helicopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek. 2) Pembebanan
hipotek
pada
pesawat
terbang
dan
helicopter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan. 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Demikian pula untuk meneguhkan eksistensi dan posisi kipotek atas kapal laut sebagaiman diatur dalam KUH Dagang, maka ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran menegaskan, bahwa pembebanan atas kapal dijadikan sebagai jaminan utang dilakukan dengan hipotek. Ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 meyatakan: 1) Kapal yang terdaftar dapat dibebani hipotek. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
18
BAB III PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Jaminan di dalam Hukum Positif Indonesia
1. Hukum Kebendaan Dalam Perspektif Hukum Perdata (Kuh Perdata) Hukum kebendaan berkaitan erat dengan hukum keperdataan, hal ini disebabkan oleh hukum benda salah satu bidang hukum dari Hukum Perdata. Ditilik dari sistem perdata, hukum kebendaan merupakan salah satu subsistem dari hukum harta kekayaan, yaitu segala ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan objek dari hak milik. Dengan kata lain hukum kebendaan adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai kebendaan. Sistematika pembidangan hukumn perdata (materiil) dapat ditilik menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan dapat ditilik menurut KUH Perdata. Berbeda dengan sistematika KUH Perdata, maka pembidangan hukum perdata (materiil) menurut ilmu pengetahuan hukum meliputi 4 (empat) bidang, yaitu sebagai berikut: a. Hukum Perorangan (personenrecht) Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai pribadi alamiah (manusia) sebagai subjek hukum dalam hukum atau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam hukum, hak (kewajiban) subjektif seseorang serta hal-hal yang mempunyai pengaruh terhadap kedudukan seseorang sebagai subjek hukum, seperti jenis kelamin, status menikah, umur, domisili, status di bawah pengampuan, atau pendewasaan serta mengatur mengenai register pencatatan sipil. b. Hukum Kekeluargaan (familierecht) Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antarpribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, hubungan antara
19
suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian, atau periparan. c.
Hukum harta kekayaan (vermogensrecht) Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum seseorang dengan harta kekayaan yang dikuasainya, yang melahirkan hak atas kekayaan yang bersifat absolut (diatur dalam hukum kebendaan, termasuk hukum jaminan) dan melahirkan hak atas kekayaan yang bersifat relatif (diatur dalam hukum perikatan).
d. Hukum kewarisan (erfrecht) Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai peralihan (pemindahan) hak kepemilikan harta kekayaan seseorang setelah yang bersangkutan meninggal dunia (pewaris), menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing. Sementara itu, KUH Perdata membagi bidang hukum perdata tersebut atas 4 bidang pula, yang dituangkan dalam 4 buku, yaitu: 1) Buku I tentang Orang (van personen); 2) Buku II tentang Kebendaan (van zaken); 3) Buku III tentang Perikatan (van verbintenissen); 4) Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijs en verjaring). Pada prinsipnya pengaturan hukum kebendaan sebagian besar termuat dalam Buku II KUH Perdata, disamping diatur beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUH Perdata, maka kandungan materi yang diatur di dalamnya pada dasarnya meliputi kebendaan dan cara-cara membedakan benda, hak-hak kebendaan dan kewarisan. Adapun secara rinci hal-hal yang diatur dalam Buku II KUH Perdata tersebut sebagai berikut: a. Tentang kebendaan dan cara-cara membeda-bedakan benda b. Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan kenikmatan c.
Tentang kewarisan
d. Tetang piutang-piutang yang diistimewakan e. Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan jaminan 2. Hukum Jaminan Dalam Perspektif Hukum Kebendaan
20
Didalam pengembangan Usaha sarana yang mutlak adalah Modal. Jasa Bank berupa kredit telah menjadi urat nadi para pngusaha. Oleh karena itu, perangkat hukum jaminan yang memadai dan dapat mengimbangi perkembangan bidang ekonomi sangat dibutuhkan. Pentingnya dikarenakan
pengaturan
semakin
(hukum)
meningkatnya
lembaga
kegiatan
hak
jaminan
pembangunan
ini
pada
umumnya dan pembangunan dibidang ekonomi pada khususnya. Untuk itu dibutuhkan tersedianya dana pembangunan yang cukup besar, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Dalam kaitan ini sudah semestinya jika pemberi kredit (kreditor) dan penerima kredit (debitur) serta pihak lainnya yang terlibat di dalamnya mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan seimbang melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu, dirasakan sangat mendesak adanya lembaga jaminan dan hukum jaminan yang modern. Perlu sekali adanya hukum jaminan yang mampu mengatur konstruksi yuridis, yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang akan dibelinya sebagai jaminan. Peraturan-peraturan demikian kiranya harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian bagi lembaga-lembaga pemberi kredit, baik dari dalam maupun luar negeri. Lembaga jaminan tergolong bidang hukum yang bersifat netral tidak mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan spiritual dan budaya bangsa, sehingga terhadap bidang hukum ini tidak ada keberatannya untuk diatur dengan segera. Hukum jaminan tergolong dalam bidang hukum yang akhir-akhir ini secara popular disebut The Economic
Law,
Wiertschaftrecht
atau
Droit
Economique,
yang
mempunyai fungsi menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, sehingga bidang hukum demikian pengaturannya dalam undang-undang perlu diprioritaskan. Dalam perspektif hukum kebendaan, lembaga hak jaminan merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan yang memberi jaminan dan dengan sendirinyapengaturannya terdapat di dalam Buku II KUH Perdata. Apabila menilik sistematika KUH Perdata, terkesan hukum jaminan
hanya
merupakan
jaminan
kebendaan
saja,
berhubung
21
pengaturannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata. Padahal di samping jaminan kebendaan, dikenal pula jaminan perseorangan (persoonlijke zekerheidsrechten, personal guaranty), yang pengaturannya terdapat di dalam Buku III KUH Perdata. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa terdapat hubungan antara hukum jaminan dengan hukum kebendaan. Pembentukan hukum jaminan nasional dengan sendirinya harus tetap berpegang teguh pada prinsip dan sendi pokok yang diatur dalam kerangka sistem hukum kebendaan nasional. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa mengenai benda tanah sudah mendapat pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan benda lainnya bukan tanah pengaturannya bersifat dualistis, yaitu ada yang tunduk kepada KUH Perdata dan ada yang tunduk kepada hukum adat. Dalam pembentukan hukum kebendaan nasional mendatang sudah tentu akan bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan asas-asas serta sendi pokok yang melandasi hukum kebendaan nasional. Selanjutnya dari sini kita akan dapat merancang suatu (sistem) hukum jaminan nasional, baik itu jaminan kebendaan (maupun jaminan perseorangan). Menurut hukum adat yang dapat menjadi objek jaminan itu bisa tanah atau benda bukan tanah dengan lembaganya baik berupa tanggungan, jonggolan bagi tanah, sedangkan bagi benda bukan tanah akan berlaku gaed, borg atau cekalan. Di dalam kehidupan masyarakat adat dikenal istilah ngagade atau gade yang berarti menjaminkan benda, tetapi ini bukan dalam arti jual gade atau adol sende atau gadai tanah, Karena gadai tanah bukan perbuatan menjaminkan tetapi perbuatan jual untuk waktu tertentu. Jual gade merupakan perjanjian asesor terhadap perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian piutang. Namun adanya perbankanisasi menyebabkan lembaga-lembaga jaminan yang terdapat di dalam dan di luar KUH Perdata yang lebih dikenal masyarakat dan dijadikan sebagai acuan dalam hubungan hukum antara pihak lembaga keuangan bank dan bukan bank dengan calon debiturnya dalam penjaminan kredit atau pinjaman.
22
B. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan Ada beberapa prinsip yang berlaku/menjadi dasar bagi hukum jaminan, seperti pada gadai, hipotek, hak tanggungan, dan fidusia. Sebagai titik tolak untuk mengenal prinsip hukum jaminan akan diperbandingkan prinsip yang terdapat dalam hak tanggungan dan dalam hipotik. Sebagai alasannya karena hak tanggungan adalah sebagai pengganti hipotik yang khususnya mengatur tentang hak atas tanah dan credietverbad yang dimungkinkan ada persamaan prinsip-prinsip yang mendasarinya.5 Adapun prinsip-prinsip hukum jaminan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Absolut Mutlak Jaminan yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia secara garis besar mempunyai sejumlah asas yang antara lain memunyai sifat hak kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW. Yang dimaksud dengan hak kebendaan ialah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Berbeda dengan hak perorangan yang adalah relatif, artinya hak itu hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, dan hanya dapat dipertahankan melalui tuntutan (vordering) terhadap debitor tertentu saja secara pasif seseorang tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik hak (i). 2. Prinsip Droit de Suite Prinsip droit de suite Nampak jelas terdapat dalam Pasal 7 UUHT, yang menyatakan sifat hak tanggungan itu tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang hak tanggungan. Walaupun obyek hak tanggungan itu sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi jika debitor cedera janji dalam melakukan prestasi. 3. Prinsip Droit de Preference Hak jaminan kebendaan memberikan kedudukan didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap kreditor lainnya. Sistem hukum 5
Nunik Yuli Setyowati, PRINSIP – PRINSIP JAMINAN DALAM UNDANG – UNDANG HAK TANGGUNGAN, Jurnal Repertorium, Volume III No. 2, hlm. 100-101
23
kita mengenal pemberian perlindungan yang istimewa bagi kreditor. Perlindungan istimewa itu tertera dalam Pasal 1133 BW, yakni hak untuk didahulukan diantara para kreditor yang timbul dari Hak Istimewa, Gadai dan Hipotik. 4. Prinsip Spesialitas Asas ini menghendaki bahwa hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Dapat disimpulkan dala Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) UUHT. 5. Prinsip Publisitas Menurut PAsal 13 UUHT, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Melihat fungsi pendaftaran hak tanggungan di atas,
melambangkan
bahwa
kreditor
pemegang
hak
tanggungan
mendapatkan perlindungan serta kepastian hukum. Serta merupakan alat bukti bagi pemegang hak bahwa tanah yang telah dibebankan dengan hak tanggungan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian.
24
BAB IV PENUTUP Dari penjelasan yang ditelah disampaikan oleh makalah ini dapat disimpulkan bahwa: 1.
Dalam
perspektif
hukum
kebendaan,
lembaga
hak
jaminan
merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan yang memberi jaminan dan dengan sendirinyapengaturannya terdapat di dalam Buku II KUH Perdata. Apabila menilik sistematika KUH Perdata, terkesan hukum jaminan hanya merupakan jaminan kebendaan saja, berhubung pengaturannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata. Padahal di samping jaminan kebendaan, dikenal pula jaminan perseorangan (persoonlijke zekerheidsrechten, personal guaranty), yang pengaturannya terdapat di dalam Buku III KUH Perdata. 2.
Ada beberapa prinsip yang berlaku/menjadi dasar bagi hukum jaminan, seperti pada gadai, hipotek, hak tanggungan, dan fidusia. Prinsip-prinsip
hukum
jaminan
dalam
Undang-Undang
Hak
Tanggungan adalah prinsip absolute mutlak, prinsip droit de suite, prinsip droit de preference, prinsip spesialitas, dan prinsip publisitas.
25
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah 5. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia 6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun 7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman 8. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan 9. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Literatur Buku: 1. Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia Di Dalam Praktek Pelaksanaannya Di Indonesia, ,Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1987 2. Rachmadi Usman, Pasal- pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan , Jakarta, 2007 3. J. Satrio, Hukum Jaminan , Hak- hak Jaminan Kebendaan , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 4. R. Subekti, Jaminan - jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Jurnal: 1. Nunik Yuli Setyowati, PRINSIP – PRINSIP JAMINAN DALAM UNDANG – UNDANG HAK TANGGUNGAN, Jurnal Repertorium, Volume III No. 2
26